pemahaman masyarakat kecamatan pasar...
TRANSCRIPT
PEMAHAMAN MASYARAKAT KECAMATAN PASAR REBO
TERHADAP PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH (P3N)
(Studi di KUA Pasar Rebo Jakarta Timur )
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
NUURUL KAWAAKIB 204044103052
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H/2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 23 Agustus 2010 M 15 Ramadhan 1430 H
Nuurul Kawaakib
PEMAHAMAN MASYARAKAT KECAMATAN PASAR REBO
TERHADAP PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH (P3N)
(Studi di KUA Pasar Rebo Jakarta Timur )
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar SarjanaSyariah (S.Sy)
Oleh :
Nuurul Kawaakib 204044103052
Di Bawah Bimbingan
Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA NIP:195510151979031002
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Sekripsi yang berjudul PEMAHAMAN MASYARAKAT KECAMATAN PASAR REBO TERHADAP PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH (P3N) (Studi di KUA Pasar Rebo Jakarta Timur ), Telah di ujikan dalam siding Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta pada Tanggal 23 September 2010 Sekripsi ini telah di terima sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata 1 ( S1) pada jurusan Peradilan Agama. Jakarta, 23 September 2009 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr.H..M. Amin Suma, SH.,MA,.MM NIP. 195505051982031012
PANITIA SIDANG MUNAQASAH
1. Ketua : Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA (.........................)
NIP. 195505051982031012
2. Sekretaris : Drs. H. Ahmad Yani, MA. (.........................)
NIP. 196404121994031004
3. Pembimbing : Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA (.........................)
NIP. 195505051982031012
4. Penguji I : Drs. H. Ahmad Yani, MA. (.........................)
NIP. 196404121994031004
5. Penguji II : Kamarusdiana S.Ag. M.H (.........................)
NIP. 197202241998031003
PEMAHAMAN MASYARAKAT KECAMATAN PASAR REBO
TERHADAP PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH (P3N)
(Studi di KUA Pasar Rebo Jakarta Timur )
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun Oleh:
NUURUL KAWAAKIB 204044103052
Dibawah bimbingan
Dr.Djawahir Hejazziey,SH,MA NIP. 195510151979031002
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HDAYATULLAH JAKARTA
2010 M/1431H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Sekripsi yang berjudul PEMAHAMAN MASYARAKAT KECAMATAN PASAR REBO TERHADAP PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH (P3N) (Studi di KUA Pasar Rebo Jakarta Timur ) diajukan dalam siding munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Akhwal Syakhsiyyah (Peradilan Agama) Jakarta, 23 September 2010 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr.H..M. Amin Suma, SH.,MA,.MM NIP. 195505051982031012
PANITIA SIDANG MUNAQASAH
1. Ketua : Dr.Djawahir Hejazziey,SH,MA ( )
NIP. 195510151979031002
2. Sekretaris : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag. ( )
NIP. 196404121994031004
3. Pembimbing : Dr.Djawahir Hejazziey,SH,MA ( )
NIP. 195510151979031002
4. Penguji I : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag. ( )
NIP. 195505051982031012
5. Penguji II : Kamarusdiana, S. Ag., MH ( )
NIP. 197202241998031003
KATA PENGANTAR
Segala puji sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala Rahmat-Nya, hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat
dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan alam Baginda Besar Nabi
Muhammad SAW.
Penulisan karya Ilmiah dalam bentuk sekripsi ini merupakan salah satu bagian
syarat untuk menyelesaikan studi strata satu (S1) guna memperoleh gelar Sarjana
Syariah (S.Sy) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kebahagiaan yang tak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat
mempersembahkan yang terbaik kepada kedua orangtua, seluruh keluarga dan pihak-
pihak yang telah ikut andil dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
Sebagai bentuk penghargaan yang tidak terlukiskan, penulis sampaikan
ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Ketua Program Studi Ahwal AL-Syakshiyah dan Sekretaris Program Studi
yang telah membantu penulis secara tidak langsung dalam menyiapkan
Skripsi ini.
iii
3. Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA Ketua Program Non Reguler dan Drs. H.
Ahmad Yani, MA. Sekretaris Program Non Reguler.
4. Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA, Dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya memberikan bimbingan dan pengarahan serta bantuan
literatur dalam proses penyelesaian tugas akhir ini.
5. Segenap pegawai Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta setaf-setafnya
yang tak bosan-bosanya melayani penulis dalam proses penulisan sekripsi ini.
6. Segenap pengurus dan pegawai Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri
Jakarta yang telah membantu penulis dalam mencari data-data yang
diperlukan.
7. Pihak KUA Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur yang telah banyak
membantu dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan
dalam penyusunan skripsi.
8. Rasa ta`dzim dan terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda dan Ibunda
atas dukungan moril dan materiil, kesabaran, keikhlasan, perhatian, serta cinta
dan kasih sayang yang tidak habis-habisnya bahkan Do’a-do’a munajatnya
yang tak henti-hentinya siang dan malam kepada Allah SWT. Penulis
persembahkan skripsi ini. untuk kedua orangtua .
9. Kakak dan adikku yang telah memberikan dukungan semangat. Terima kasih
untuk semua perhatian dan kasih sayangnya.
iv
v
Dan akhirnya penulis akhiri dengan rasa Syukur kepada Allah SWT, Raja dari
segala Raja, pencipta Jagad Raya dan penguasa Ilmu Pengetahuan, Dengan segala
kelemahan dan kekurangan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa
meridloi setiap langkah kita. Amin.
Jakarta, 23 Agustus 2010 M 15 Ramadhan 1430 H
Nuurul Kawaakib
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................... 7
D. Metode Penelitian................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 14
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian dan Dasar Perkawinan......................................... 15
B. Rukun dan Syarat Perkawinan ............................................. 18
C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan .......................................... 24
D. Pengertian Pencatatan Perkawinan ....................................... 29
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PENCATATAN
PERKAWINAN
A. Letak Geografis KUA Kec. Pasar Rebo Jakarta Timur ........ 32
B. Kondisi Sosial Masyarakat Pasar Rebo Jakarta Timur ........ 33
C. Sejarah Singkat Pencatatan Perkawinan ............................... 34
vi
vii
D. Tujuan Pencatatan Perkawinan ............................................. 43
BAB IV PERANAN P3N DALAM PELAKSANAAN ADMINISTRASI
PERKAWINAN
A. Peranan dan tugas P3N dalam Administrasi Perkawinan ...... 46
B. Prosedur Pencatatan Perkawinan ........................................... 49
C. Pandangan Masyarakat Pasar Rebo Tentang P3N ................ 63
D. Analisis Penulis ..................................................................... 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 74
B. Saran-Saran ........................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 77
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................... 79
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1........................................................................................................... 64
Tabel 4.2........................................................................................................... 65
Tabel 4.3........................................................................................................... 65
Tabel 4.4........................................................................................................... 65
Tabel 4.5........................................................................................................... 66
Tabel 4.6........................................................................................................... 67
Tabel 4.7........................................................................................................... 67
Tabel 4.8........................................................................................................... 68
Tabel 4.9........................................................................................................... 68
Tabel 4.10......................................................................................................... 69
Tabel 4.11......................................................................................................... 69
Tabel 4.12......................................................................................................... 70
Tabel 4.13......................................................................................................... 70
Tabel 4.14......................................................................................................... 71
Tabel 4.15......................................................................................................... 71
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga),
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Pertimbangannya ialah sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila di mana sila
pertamanya ialah ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama kerohanian, sehingga perkawinan bukan
saja mempunyai unsure lahir jasmani, tetapi unsure batin atau rohani. 1
Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh masyarakat sejak zaman
dahulu, sekarang, dan masa yang akan datang sampai akhir zaman. Karena itu
perkawinan adalah merupakan masalah yang selalu hangat di kalangan
masyarakat dan di dalam peraturan hukum.
Dari perkawinan timbul hubungan suami istri dan kemudian hubungan
antara orang tua dengan anak-anaknya. Dan timbul pula hubungan kekeluargaan
sedarah dan semenda. Oleh karena itu perkawinan mempunyai pengaruh yang
sangat luas, baik dalam hubungan kekeluargaan pada khususnya, maupun dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada umumnya, maka hendaknya
1Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), Cet. I, hal 2-3
1
2
segenap bangsa Indonesia mengetahui seluk beluk berbagai peraturan hukum
perkawinan, agar mereka memahami dan dapat melangsungkan perkawinan
sesuai dengan peraturan yang berlaku demikian pula dalam memelihara
kelangsungan dan akibat-akibat perkawinan.2
Perkawinan adalah salah satu segi yang sangat penting yang diatur dalam
Islam. Al-Qur’an dan as-Sunnah mengaturnya dengan terperinci. Umat Islam
seluruh dunia, khususnya umat Islam Indonesia mematuhinya, dahulu sekarang
dan masa yang akan datang.
Pemerintah indonesia merasa sangat perlu mengatur masalah perkawinan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Maka
dikelurkanlah undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang mengatur masalah perkawinan.
Dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (2)
dikatakan: “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”3 Upaya pencatatan perkawinan ini merupakan masalah al
mursalah bagi kehidupan berumah tangga. Sebab pencatatan perkawinan
merupakan bukti yang otentik bahwa seseorang telah melangsungkan pernikahan.
Bila dikemudian hari terjadi konflik atau permasalahan dalam kehidupan berumah
2Bakri A. Rahman dan Drs. Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-
undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1993), h. 1 3Depag RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan: UU Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2001), h. 13
3
tangga sehingga perlu diselesaikan di Pengadilan Agama, yang menjadi syarat
utama adalah status mereka, apakah mereka merupakan suami yang sah (legal)
atau tidak menurut kacamata hukum negara. Untuk mengetahui peristiwa hukum
berupa perkawinan diperlukan bukti otentik yaitu berupa kutipan akte nikah.
Walaupun di dalam undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat
(1) dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. Tetapi dalam hal administrasi
perlu adanya bukti-bukti yang otentik sehingga tidak ada alasan lain untuk
menyanggahnya.
Pencatatan perkawinan memang sangat penting sekali dalam kehidupan
berumah tangga, terutama bagi kaum perempuan. Ini merupakan salah satu upaya
pemerintah untuk melindungi hak-hak perempuan dalam perkawinan. Di samping
itu pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat.4 Begitu pentingnya pencatatan perkawinan sehingga pemerintah
mencantumkannya dalam undang-undang.5 Dalam pencatatan perkawinan,
tentunya ada lembaga yang menangani masalah ini. Dalam UU No. 22 Tahun
1946 pasal 1 dikatakan pernikahan yang dilakukan menurut agama Islam,
4Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet
IV, h. 107 5Sebelum kaluarnya UU No. 1 Tahun1974 juga telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang pada waktu itu hanya berlaku pada wilayah Jawa dan Madura, dikarenakan kondisi Negara yang pada saat itu belum stabil, sebagai penguatan dari undang-undang itu, kemudian pemerintah mengeluarkan UU No. 32 1954 tentang Penetapan Berlakunya UU No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura (nusantara)
4
selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatatan nikah yang diangkat
oleh menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya. Menurut pasal ini,
pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah yang berada
pada tiap KUA Kecamatan. Untuk memperkuat dan memperjelas masalah
pencatatan perkawinan, maka dikeluarkanlah peraturan Menteri Agama No. 2
Tahun 1990 tentang Kewajiban Pencatatan Nikah. Selain Pegawai Pencatat Nikah
(PPN), pencatatan perkawinan juga dapat dilakukan di kantor Catatan Sipil (KCS)
berdasarkan Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 221a tahun 1975.
Dalam keadaan tertentu karena luasnya daerah atau besarnya jumlah
penduduk yang perlu diberi pelayanan oleh kantor Urusan Agama kecamatan baik
dalam pelayanan nikah, talak, cerai dan rujuk maupun bimbingan agama Islam
pada umumnya maka perlu dibentuk pejabat pembantu yang dinamakan
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Hal ini dilakukan untuk memperbaiki
keadaan kelurahan terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan agama.
Mengingat selanjutnya pemerintahan kelurahan makin lama semakin sempurna,
maka ada pembagian kerja antara anggota-anggota kelurahan tertentu agar
kehidupan beragama penduduk terpelihara dengan baik.
Diangkatnya Pembantu Pegawai Pencatat Nikah selanjutnya disebut P3N
sangat penting sekali dalam rangka pemerataan pelayanan terutama pernikahan
kepada masyarakat. Dalam suatu kecamatan biasanya daerah kelurahannya
banyak sekali penduduknya dan sangat jauh dari kantor KUA, sehingga sulit
sekali dijangkau oleh PPN apabila ada anggota masyarakat yang hendak
5
melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu perlu sekali diangkat seorang
Pegawai Pembantu. Disamping sebagai pembantu PPN, P3N juga berkewajiban
melaksanakan pembinaan ibadah. Melayani pelaksanaan pada umurnya bagi
masyarakat Islam di wilayahnya termasuk membantu Badan Kesejahteraan
Mesjid (BKM). Pembinaan Pengamalan Agama Islam (P2A), Lembaga
Pengembangan Tilawati Qur’an (LPTQ) dan Badan Penasehat Perkawinan
Perselisihan dan Perceraian (BP4).6
Sebagian masyarakat juga tidak tahu bahkan tidak memahami tentang
tugas-tugas pokok P3N tersebut, mereka beranggapan P3N itu sebagai petugas
resmi dari KUA bahkan menganggap sebagai penghulu
Berdasarkan permasalahan di atas, pembantu Pencatat Nikah sangat
membantu sekali dalam administrasi perkawinan, disamping itu juga sangat
membantu dalam urusan-urusan beragama.
Oleh karena itu, peneliti membahas masalah ini dalam skripsi yang
berjudul :PEMAHAMAN MASYARAKAT KECAMATAN PASAR REBO
TERHADAP PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH (P3N) (Studi di
KUA Pasar Rebo Jakarta Timur )
6Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1989 tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
Pasal 4 ayat (3)
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dari sekian banyak masalah yang berhubungan dengan tugas
pembantu pegawai pencatat nikah yang tidak mungkin dikaji dalam penulisan
itu, maka dalam kesempatan ini penulis mencoba membatasi masalah yang
akan diteliti seputur tugas pegawai pencatat nikah dalam masalah administrasi
perkawinan. Dalam administrasi perkawinan ada berbagai macam dan
jenisnya yaitu pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk. Akan tetapi untuk
tidak melebar dan penelitian ini peneliti membatasi hanya pada masalah
pencatan perkawinan. Dengan kata lain yang dimaksud administrasi
perkawinan di sini yaitu hanya sekitar pencatatan perkawinan.
Dari sekian rentang waktu terjadiniya pencatatan perkawinan di KUA
Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur, maka penulis membatasinya hanya
pada peristiwa yang terjadi Sepanjang tahun 2009.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dalam
skripsi ini dibatasi hanya pada lingkup sejauh mana masyarakat pasar rebo
mengetahui dan memahami tugas-tugas P3N, yang pada kenyataannya
masyarakat belum mengetahui tugas-tugas tersebut. Bahkan ada yang
menganggap P3N itu sebagai petugas resmi dari KUA dan ada sebagian yang
menganggap sebagai penghulu, tapi kenyataannya tidak seperti itu P3N hanya
bertugas membantu tugas-tugas dari PPN dan P3N berkewajiban
7
melaksanakan pembinaan ibadah melayani pelaksanaan pada umumnya bagi
masyarakat Islam di wilayah termasuk pembantu badan kesejahteraan mesjid
(BKM) pembinaan pengamalan agama Islam (P2H, Lembaga Pengembangan
Tilawatil Qur’an LPTQ) dan badan Penasehat perkawinan perselisihan dan
perceraian atau BP4.
Berdasarkan batasan-batasan permasalahan di atas maka pokok
permasalahan dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) ?
2. Bagaimana peranan Pembantu Pencatat Nikah (P3N) di KUA Kecamatan
Pasar Rebo Jakarta Timur?
3. Bagaimana pemahamn masyarakat Pasar Rebo terhadap Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah (P3N)?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui yang apa dimaksud dengan Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah (P3N).
2. Mengetahui bagaimana peranan Pembantu Pencatat Nikah (P3N) di KUA
Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur dan
3. untuk mengetahui bagaimana pemahamn masyarakat Pasar Rebo terhadap
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).
8
Selain itu, tujuan dalam pembuatan skripsi ini adalah untuk menyelesaikan
studi S1 pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metodelogi Penelitian
Untuk memperoleh sumber yang memadai dalam penulisan skripsi ini,
penulis menggunakan metode pengumpulan data penelitian lapangan dan
penelitian pustaka.
1. Penelitian pustaka (library research). Penelitian ini dilakukan dengan
menelusuri kepustakaan seperti literatur atau text book, serta buku-buku yang
ada hubungannya dengan pembahasan skripsi ini. Penelitian dengan cara ini,
guna mendapatkan suatu landasan teoritis berupa pendapat-pendapat atau
tulisan-tulisan para sarjana atau pihak-pihak yang berwenang dan juga untuk
memperoleh informasi, baik dalam bentuk ketentuan-ketentuan formal
maupun data melalui naskah resmi yang ada, selain itu penulis juga
mengadakan penelitian atau pengamatan langsung terhadap Pemahaman
Masyarakat Terhadap Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) Studi Kasus
KUA Pasar Rebo. Penelitian dengan cara ini adalah untuk memperoleh data
sekunder yang dibutuhkan oleh penulis dalam penulisan karya ilmiah ini.
2. Penelitian lapangan (field research). Penelitian ini untuk mendapatkan data
primer dalam pembuatan skripsi ini yaitu untuk mendapatkan penjelasan-
penjelasan tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Penelitian
9
dilakukan dengan melakukan wawancara dan survei dengan instrumen angket.
Obyek wawancara dan angket pada penelitian ini adalah sebagian tokoh
masyarakat yang terlibat langsung terhadap masalah-masalah dalam penulisan
skripsi ini.
3. Dalam penelitian ini ada beberapa tahapan yang perlu dilewati seperti yang di
jelaskan di bawah ini:
1) Tahapan awal adalah mengumpul data mengenai potensi dan realisasi
Pemahaman Masyarakat Terhadap Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
(P3N) Studi Kasus KUA Pasar Rebo. Sumber data ini di peroleh langsung
dari Masyarakat Pasar Rebo.
2) Memilih instrumen penelitian yang tepat, yaitu survey dalam bentuk
kuesioner.
3) Merumuskan kuisioner berdasarkan kategori hipotesis yang telah
ditetapkan.
4) Menyebarkan kuisioner kepada 100 masyarakat Pasar Rebo. Adapun
metode pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel purposive
sampling.
5) Selanjutnya, kuisioner yang telah di isi oleh responden dilakukan
penyortiran dan pengecekan jawabannya, dalam penelitian ini didapat
kuisioner yang diisi oleh responden dengan lengkap dan layak untuk
dianalisis.
10
6) Semua kuisioner yang telah lengkap dan layak tersebut direkapitulasi
semua hasil datanya, disesuaikan dengan jawaban responden dan teknik
analisis yang akan digunakan.
7) Jika semua item dinyatakan valid dan reliabel, maka dilanjutkan dengan
analisis data. Semua data dianalisis dengan program SPSS versi 12.5
penggunaannya disesuaikan dengan teknik analisis data yang telah
ditentukan sebelumnya.
8) Langkah selanjutnya adalah menjawab hipotesis penelitian dan apa yang
menjadi tujuan diadakan penelitian ini, yaitu untuk mengetahui pandangan
masyarakat Pasar Rebo terhadap Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
(P3N).
9) Setelah mendapat jawaban atas pertanyaan (hipotesis) penelitian dan
tercapainya tujuan penelitian ini, maka diambil kesimpulan penelitian dan
saran-saran yang bermanfaat bagi perkembangan masyarakat guna
mencapai masyarakat yang dicita-citakan.
4. Pengambilan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah Suatu kumpulan menyeluruh dari suatu objek yang
merupakan perhatian peneliti7. Berdasarkan tujuan penelitian maka
populasi yang digunakan adalah masyarakat Pasar Rebo yang memahami
7Ronny Kountour, “Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi Dan Tesis (Jakarta: CV.
Teruna Gravica, 2004), h, 137
11
tentang hal-hal yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. Adapun
jumlah populasi masyarakat Pasar Rebo adalah 162.575 orang jiwa.
b. Sampel
Sampel sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti dan
dimaksudkan untuk menggeneralisasikan atau mengangkat kesimpulan
penelitian sebagai sesuatu yang berlaku bagi populasi.8 Berdasarkan
penjelasan sevilla untuk penelitian jumlah subjek yang dijadikan sampel
minimal adalah 30 orang9, oleh karena itu peneliti mengambil sampel
untuk penelitian adalah 100 orang masyarakat Pasar Rebo.
5. Teknik Pengumpulan Data
Metoda yang digunakan dalam penelitian adalah wawancara, observasi
dan angket atau kuesioner. Menurut Arikunto, kuesioner adalah sejumlah
pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh imformasi dari
responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal yang diketahui.
Kuesioner dibedakan atas beberapa jenis tergantung pada sudut pandang cara
menjawab. Dalam penelitian ini menggunakan kuesioner tertutup dan
langsung yaitu sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal
memilih dan responden menjawab tentang dirinya.
8 Arikunto, ”prosedur penelitian suatu pendekatan praktik” h, 131 9G. Consuelo Sevilla, dkk, Pengantar Metode Penelitian (Jakarta: Universitas Indonesia,
1993), h, 114
12
6. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data adalah suatu alat yang dipakai dalam sebuah
penelitian yang berguna untuk memperoleh data yang nantinya akan
dianalisis. Data yang diperoleh akan dikumpulkan menggunakan instrumen
wawancara dan skala Model Likert.10
Skala ini, digunakan untuk mengukur pandangan masyarakat Pasar
Rebo mengenai Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Pada variable
dibuat pernyataan yaitu : pernyataan yang memihak dan memberi isyarat
dukungan permasalahan yang sedang diteliti (favorable).
7. Tehnik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan akan diolah, dianalisa dan
diinterprestasikan untuk dapat menggali dan menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan.
Sementara itu teknik penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada
Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah edisi tahun 2008.
E. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan dalam penulisan dan pemahaman, skripsi ini
dibagi menjadi lima bab dan setiap bab terdiri dari sub pembahasan, dengan
sistematika penyusunannya sebagai berikut :
10Saifuddin Azwar,”Penyusunan Skala Psikologi” ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h, 97
13
Bab I : Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
pembahasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan,
metode penelitian, Review Studi Terdahulu, dan sistematika
penulisan.
Bab II : Pada bab ini akan dibahas mengenai Pengertia dan dasar
perkawinan, Rukun dan syarat perkawinan, Tujuan dan
hikmah perkawinan dan Pengertian pencatatan perkawinan.
Bab III : Gambaran Umum Tentang Pencatatan Perkawinan yang
meliputi, Hakikat dan Tujuan Perkawinan, Sejarah Singkat
Pencatatan Perkawinan, Prosedur Pencatatan Perkawinan
Bab IV : Peranan P3N Dalam Pelaksanaan Administrasi Perkawinan
yang meliputi, Kondisi Obyektif KUA Kecamatan Pasar
Rebo Jakarta Timur, Tugas-Tugas Pembantu Pencatat
Nikah di KUA Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur,
Peranan P3N dalam Administrasi Perkawinan di KUA
Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur, dan terakhir Analisis
Penulis
Bab V : Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian dan Dasar Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh.1 Perkawinan disebut juga “pernikahan”,
berasal dari kata nikah (حاكن) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan,
saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi).2 Kata
“nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga
untuk arti akad nikah.3
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya
adalah:
الرجل استمتاع ملك ليفيد الشارع وضعه عقد هو شرعا الزواج باالرجل . 4المرأة استمتاع وحل بالمرأة
Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dan laki-laki.
2. Dasar-dasar Hukum Perkawinan
1Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. III edisi
2, h. 456 2Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, t.t), jilid 3, h. 109 3Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Cet III, h.29 4 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, h. 30
14
15
Tentang melakukan perkawinan, Ibnu Rusyd5 menjelaskan:
Segolongan fuqaha, yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat
bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa
nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah
itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah
untuk segolongan yang lain. Demikian itu menurut mereka ditinjau
berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya.
Perbedaan pendapat ini kata Ibnu Rusyd disebabkan adanya penafsiran
apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits-hadits yang berkenaan
dengan masalah ini, harus diartikan wajib, sunnat ataukah mungkin mubah?
Ayat tersebut adalah:
............... .(3 : ءاسنلا)
.... maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua tiga atau empat.... (QS. An-Nisaa’: 3)
Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang
melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’
yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnat (mandub) dan
adakalanya mubah.
5Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Da al-Fikr, t. th), jilid
II, h. 2
16
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah,
di samping ada yang sunnat, wajib, haram dan makruh. Di Indonesia,
umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal melakukan perkawinan
ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat ulama Syafi’iyah.6
Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang
melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu
dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, haram, makruh ataupun mubah.
a. Melakukan perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah
mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan
akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum
melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib.
b. Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan
akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang
tersebut adalah sunnah.
c. Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tadak mempunyai
kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-
kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan
perkawinan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukum
melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.
6Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), edisi I, Cet
II, h. 18
17
d. Melakukan perkawinan hukumnya makruh bagi orang yang mempunyai
kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai
kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya
tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak
mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami
isteri dengan baik.
e. Menikah diMubahkan bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan
berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan
isteri. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong
dan penghambatnya untuk kawin itu sama, seperti mempunyai keinginan
tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk
melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.7
B. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,
seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat.8 Atau
adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.
7Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, h. 18-22 8Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet. I, Juz I, h. 9
18
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat. Atau, menurut Islam, calon
pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama Islam.
Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.
1. Rukun Perkawinan
Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas;
a. Adanya calon suami dan isteri yang akan melakukan perkawinan
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita9.
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya
yang akan menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW:
ةعبرالا هجرخا) باطل فنكاحها وليها اذن بغير نكحت امرأة ايما (ئاسنللالا
Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal.
(ىنطقرادلاو هجام نبا هاور)نفسها المرأة تزوج وال المرأة التزوج
Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.
c. Adanya dua orang saksi
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang
menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan sabda Nabi SAW: 9 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, h. 47
19
عدل وشاهدى بولى اال النكاح (دمحا هاور)
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab Kabul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat: Imam
Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
a) Wali dari pihak perempuan;
b) Mahar (Maskawin);
c) Calon pengantin laki-laki;
d) Calon pengantin perempuan;
e) Sighat akad nikah.
Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu;
a) Calon pengantin laki-laki;
b) Calon pengantin perempuan;
c) Wali;
d) Dua orang saksi;
e) Sighat akad nikah.
Menurut Ulama Hanafiyah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja
(yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon
pengantin laki-laki) sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah
itu ada empat, yaitu:
a) Sighat (ijab dan qabul);
20
b) Calon pengantin perempuan;
c) Calon pengantin laki-laki;
d) Wali dari pihak calon pengantin perempuan.10
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena
calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung
menjadi satu rukun, seperti terlihat di bawah ini.
Rukun perkawinan:
a) Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan, yakni mempelai
laki-laki dan mempelai perempuan;
b) Adanya wali;
c) Adanya dua orang saksi;
d) Dilakukan dengan sighat tertentu11
2. Syarat-syarat perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.
Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan
menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami isteri.
Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua:
a. Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin
menjadikannya isteri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang
10Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar’ al Fikr, 1989), Cet. III, h.
36 11Zakiah Daradjat (et al), Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid, 2, h. 38
21
yang haram dinikahi, baik karena haram dinikahi untuk sementara maupun
untuk selama-lamanya.
b. Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Secara rinci, masing-masing rukun di atas akan dijelaskan syarat-
syaratnya sebagai berikut;
1. Syarat-syarat kedua mempelai
a. Syarat-syarat pengantin pria
Syari’at Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh
calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu;
1) Calon suami beragama Islam;
2) Terang (Jelas) bahwa calon suami itu benar laki-laki;
3) Orangnya diketahui dan tertentu;
4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon isteri;
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon isteri serta tahu
betul calon isterinya halal baginya.
6) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu;
7) Tidak sedang melakukan ihram;
8) Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon isteri;
9) Tidak sedang mempunyai isteri empat.12
b. Syarat-syarat calon pengantin perempuan:
12Zakiah Daradjat (et al), Ilmu Fiqh, h. 38-39
22
1) Beragama Islam atau ahli Kitab;
2) Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci);
3) Wanita itu tentu orangnya;
4) Halal bagi calon suami;
5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam
iddah;
6) Tidak dipaksa/ikhtiyar;
7) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
2. Syarat-syarat Ijab Kabul.
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan Kabul dengan lisan,
inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan).
Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala
yang bisa dipahami.
3. Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan
atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.
Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh berakal dan adil (tidak
fasik). Perkawinan tanpa wali tidak sah, berdasarkan sabda Nabi
بولي اال احالنك (ئاسمخلا هاور)
Artinya: “Tidak sah perkawinan tanpa wali”.
23
فلها بها دخل فان (3×)باطل فنكاحها وليها اذن بغير نكحت امرأة ايما له ال من ولى السلطانف استجروا فان فرجها فرجها من استحل بما المهر
13(ئاسنلاآلا ةسمخلا هاور) له ولى Artinya: “Perempuan mana saja yang kawin tanpa izin walinya maka perkawinannya itu batal (3X). Apabila suami telah melakukan hubungan seksual maka si perempuan sudah berhak mendapatkan maskawin lantaran apa yang telah ia buat halal pada kemaluan perempuan itu. Apabila wali-wali itu enggan maka sultanlah (pemerintah) yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada walinya.”
4. Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki,
muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (paham)
akan maksud akad nikah.
Ada yang berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu adalah sebagai
berikut:
a) Berakal, bukan orang gila;
b) Baligh, bukan anak-anak;
c) Merdeka, bukan budak;
d) Islam;
e) Kedua orang saksi itu mendengar.
C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
1. Tujuan Perkawinan14
13 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, h. 59
24
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera
dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota
keluarga; sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan
terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah
kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang
perlu mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah
SWT untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala
aktifitas hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi manusia yang antara lain
keperluan biologisnya termasuk aktivitas hidup, agar manusia menuruti tujuan
kejadiaannya, Allah SWT mengatur hidup manusia dengan aturan
perkawinan.
Jadi aturan perkawinan menurut Islam merupakan tuntutan agama
yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan perkawinan
pun hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama. Sehingga kalau
diringkas ada dua tujuan orang melangsungkan perkawinan ialah memenuhi
nalurinya dan memenuhi petunjuk agama. Mengenai naluri manusia seperti
tersebut pada ayat 14 surat Ali Imran:
14Zakiah Daradjat (et al), Ilmu Fiqh, h. 48-53
25
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak ..... (QS. Ali-Imran: 14)
Melihat dua tujuan di atas, dan memperhatikan uraian Imam Al-
Ghazali dalam Ihyanya tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka
tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima yaitu:
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan;
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal;
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram
atas dasar cinta dna kasih sayang.
2. Hikmah Perkawinan
Adapun di antara hikmah perkawinan yang dapat ditemukan dalam
perkawinan itu adalah menghalangi mata dari melihat kepada hal-hal yang
tidak diizinkan syara dan menjaga kehormatan diri dari terjatuh pada
kerusakan seksual. Hal ini adalah sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh
26
Nabi dalam haditsnya yang muttafaqun ‘alaih yang berasal dari Abdullah bin
Mas’ud:
واحسن للبصر اغض فإنه فاليتزوج الباءة منكم استطاع من الشباب يامعشر 15( ىراخبلا هاور) وجاء فإنه بالصوم فعليه يستطع لم ومن للفرج
Artinya: “Hai sekalian pemuda, barangsiapa yang telah sanggup di antara kamu kawin, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (kepada yang dilarang oleh agama) dan memelihara kehormatan. Dan barangsiapa tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa. Maka sesungguhnya puasa itu adalah perisai baginya.” (HR. Bukhori) Adapun hikmah-hikmah perkawinan sebagai berikut:
a. Menyambung Silaturrahmi
Pada awalnya Tuhan menciptakan seorang manusia, yaitu Adam a.s,
kemudian Tuhan menciptakan Siti Hawa sebagai pasangan Adam a.s.
setelah itu manusia berkembang biak menjadi beberapa kelompok bangsa
yang tersebar di seluruh alam, karena esakan habitat yang menyempit
serta sifat primordial keingintahuan manusia akan isi alam semesta.
Mereka semakin menjauh dari lokasi asal nenek moyangnya, dan
membentuk kelompok bangsa tersendiri secara evolutif menyebabkan
terjadinya perubahan, peradaban bangsa, dan warna kulit sehingga mereka
tidak dapat mengenal antara satu dengan lainnya. Datangnya Islam dengan
institusi perkawinan memberi peluang menyambung kembali tali kasih
yang telah terputus lama.
15 Zainuddin Hamidy, dkk, Terjemahan Hadits Shahih Bukhari Jilid IV, (Jakarta: Widjaya,
1983), Cet. II, h. 8
27
b. Memalingkan Pandangan yang Liar
Seorang yang belum berkeluarga belum mempunyai ketetapan hati dan
pikiranpun masih labil. Dia belum mempunyai pegangan dan tempat untuk
menyalurkan ketetapan hati dan melepaskan kerinduan dan nafsu
syahwatnya. Sangat wajar jika seorang pemuda berhayal terhadap lawan
jenisnya yang tidak jelas. Keadaan seperti ini tidak bisa kita pungkiri,
sehingga dengan perkawinan sifat-sifat seperti itu dapat dikurangi.
c. Estafet Amal Manusia
Kehidupan manusia di bumi ini sangat singkat dan dibatasi waktu.
Ironisnya, kemauan manusia sering kali melampaui batas umurnya dan
batas kemampuannya. Bertambahnya usia menyebabkan berkurangnya
kreativitas dan produktivitas menurun baik secara kualitas maupun
kuantitas. Sehingga suatu saat ajal datang menjemput dapat melanjutkan
amal ataupun cita-citanya yang terbengkalai diperlukan seorang penerus
yang dapat meneruskan amal dan cita-citanya. Anak sebagai pelanjut cita-
cita dan penambah amal orang tua, hanya mungkin di dapat melewati
pernikahan. Sehingga begitu pentingnya keturunan bagi estaetika amal
dan cita-cita manusia.
d. Mengisi dan Menyemarakkan Dunia
Salah satu misi eksistensi manusia di bumi ini adalah memakmurkan
dunia dan membuat dunia semarak dan bernilai. Untuk itu Tuhan memberi
kemudahan melalui kemampuan ilmu dan teknologi.
28
Dengan kecerdasan manusia dan kemampuannya, akal manusia dapat
menaklukkan isi bumi ini. Sehingga dibutuhkan manusia yang banyak
dalam rangka memakmurkan bumi ini. Dan ini semua bermuara dengan
adanya istitusi perkawinan sebagai alat reproduksi yang generatif, ideal
dan terhormat mencapai tujuan tersebut.
e. Menjaga Kemurnian Nasab
Mendapatkan keturunan yang sah hanya dapat diperoleh melalui
perkawinan yang sah pula. Melalui perkawinan inilah dapat dilahirkan
nasab yang sah pula sebab wanita yang mendapatkan benih dari saluran
yang resmi, mampu memberikan keturunan yang dijamin orisinalitasnya.
Menjaga keturunan dalam istilah hukum Islam disebut hifdzu nasl adalah
sesuatu yang dharury (sangat esensial). Karena ketiadaannya dapat
menciptakan krisis kemanusiaan, malapetaka yang besar dan dapat
merusak sendi kemanusiaan. Sehingga reproduksi generasi di luar nikah
tidak mendapatkan legitimasi dan ditentang keras oleh agama Islam.16
D. Pengertian Pencatatan Perkawinan.
Untuk memastikan status perdata seseorang, ada beberapa peristiwa
hukum yang perlu dilakukan pencatatan, salah satunya adalah perkawinan. Fungsi
16Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), Cet. I, h. 27-30
29
pencatatan tersebut ialah pembuktian bahwa persitiwa hukum yang dialami oleh
seseorang itu benar-benar terjadi.17
Masalah pencatatan nikah ini menempati terdepan dalam pemikiran fiqih
modern, mengingat banyaknya masalah yang timbul dari tidak dicatatnya
perkawinan yang berhubungan dengna soal-soal penting seperti asal-usul anak,
kewarisan dan nafkah. Timbulnya penertiban administrasi modern dalam kaitan
ini telah membawa kemudahan pencatatan akad dan transaksi-transaksi yang
berkaitan dengan barang-barang tak bergerak dan perusahaan. Pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Meskipun Ulama
Indonesia umumnya setuju atas ayat tersebut dan tidak ada reaksi terbuka atasnya,
tetapi karena persyaratan pencatatan di atas tidak disebut dalam kitab-kitab fiqih,
dalam pelaksanaanya masyarakat muslim Indonesia masih mendua.18
Sesuai dengan pasal 2 ayat (1) dan pasal 11 ayat (1), (2) dan (3) PP No. 9
Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.19
Pasal 1
1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan pernikahannya
menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana
17Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya, 2003), h. 48 18Maratussholihah, Pernikahan dalam perspektif Al-Qur’an, Artikel diakses pada 16 Mei
2010 dari http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/hukum-islam/pernikahan-dalam-perspektif-al-qur’an-makalah.
19 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Semarang: Baringin Raya),
30
dimaksudkan dalam undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan
nikah, talak dan rujuk.
Pasal 11
1) Sesaat sesudah dilaksanakannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat
berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2) Akta perkawinan yang telah ditanda tangani oleh mempelai itu, selanjutnya
ditanda tangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri
perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
ditanda tangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
3) Dengan penanda tanganan Akta perkawinan maka perkawinan telah tercatat
secara resmi.
Di dalam HIR Akta otentik diatur dalam pasal 165 (lihat juga Ps. 1868
BW, 285 RBg) yang berbunyi sebagai berikut : “Akta otentik yaitu suatu akta
yang dibuat atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, merupakan bukti
yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang
mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan
tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi
yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya
dengan pokok daripada akta.20
20Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberti 1998), Cet.
I, h. 124
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG PENCATATAN PERKAWINAN
A. Letak Geografis KUA Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur
Wilayah Kecamatan Pasar Rebo yang terletak di sebelah timur Provinsi
DKI Jakarta adalah salah satu dari sepuluh kecamatan yang berada di wilayah
Kotamadya Jakarta Timur yang dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur DKI
Jakarta Nomor : 16.0/I/I/1996 tanggal 12 Agustus 1996 tentang pembentukan kota
administratif kecamatan dan Kelurahan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
(Lembaran Daerah Nomor 5 Tahun 1996)
Wilayah Kecamatan Pasar Rebo berdasarkan Keputusan Gubernur DKI
Jakarta Nomor 1227 tahun 1989 memiliki luas 1.297.70 Ha. Dibagi habis ke
dalam lima kelurahan. Adapun batas-batas wilayah Kec. Pasar Rebo adalah:
Sebelah Utara : Jl. Tengah, Jl. Bala Rakyat, Jl. Condet, Jl. H. Nasih, Jl.
Mandor Baning, Jl. H. Taiman Timur, Jl. Tri Kora II.
Sebeah Timur : Kali Cipinang, Jl. Raya Bogor, Kec. Ciracas.
Sebelah Selatan : Setu Tipar Desa Mekar Sari, Pilar Batas DKI dengan
Jawa Barat, PT. Panasonik, Ds. Tugu/Palsi Gunung, Setu
Arman/Ds. Rumbut Kec. Cimanggis Kotamadya Depok
Sebelah Barat : Kali Ciliwung, Kec. Pasar Minggu Jakarta Selatan.
31
32
B. Kondisi Sosial Masyarakat Pasar Rebo Jakarta Timur
1. Perkembangan Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Jumlah penduduk Kecamatan Pasar Rebo pada tahun 2007 sebanyak
162.747 Jiwa yang terbagi sebesar 87.489 berjenis kelamin laki-laki dan
75.258 berjenis kelamin perempuan
Kecamatan pasar rebo terdiri dari lima kelurahan masing-masing
diantaranya Kelurahan Pekayon dengan luas wilayah 3,18 (Km2) dengan
jumlah penduduk 40.195 jiwa, Kelurahan Kalisari dengan luas wilayah 2,90
(Km2) jumlah penduduk 31.374, Kelurahan Baru dengan luas wilayah 1,89
(Km2) jumlah penduduk 25.527, Keluranan Cijantung dengan luas wilayah
2,38 (Km2) jumlah penduduk 34.772, Kelurahan Gedong dengan luas wilayah
2,63 (Km2) jumlah penduduk 30.879 jiwa.
2. Perkembangan Sekolah
Jumlah Sekolah Dasar yang ada pada kecamatan Pasar Rebo masing-
masing Kelurahan Pekayon 18, Kalisari 12, Baru 8, Cijantung 16, Gedong 14,
Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Kecamatan Pasar Rebo masing-
masing Kelurahan Pekayon 3, Kalisari 2, Baru 2, Cijantung 7, Gedong 5,
Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Pekayon 4, Kalisari 2, Baru 2,
Cijantung 12, Gedong 6, Jumlah Universitas 2
3. Jumlah Perkawinan dan Perceraian Menurut Kecamatan
Jumlah Perkawinan dan perceraian Kecamatan Pasar rebo tahun 2007
jumlah nikah 62 (5,%) Jumlah cerai 6 (10%)1
1 BPS, Pasar Rebo dalam angka 2008, Badan Pusat statistic Kota Administrasi Jakarta Timur, 45
33
C. Sejarah Singkat Pencatatan Perkawinan
Undang-undang pertama pencatatan perkawinan, perceraian yang
sekaligus dikelompokkan sebagai usaha pembaharuan pertama. Adalah dengan
diperkenalkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946. pertama Undang-undang ini
hanya berlaku untuk pulau Jawa, yang kemudian Undang-undang pertama tentang
perkawinan yang lahir setelah Indonesia dengan Undang-undang No. 32 Tahun
1945, yakni Undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Thalak dan Rujuk.
Keberadaan Undang-undang No.22 Tahun 1946 ini adalah sebagai kelanjutan dari
Stbl. No. 198 Tahun 1895, dan sebagai pengganti dari Huwelijks Ordonatie Stbl.
No. 348 Tahun 1929 jo Stbl. No. 467 Tahun 1931, dan Vorstenlandse Hewelijks
Ordonantie Stbl. No. 98 Tahun 1933. Aulawi mencatat, seyogyanya Undang-
undang No. 22 Tahun 1946 ini berlaku untuk seluruh Indonesia tetapi karena
keadaan belum memungkinkan, maka diberlakukan untuk daerah Jawa dan
Madura. Kemudian diberlakukan di seluruh Indonesia pada Tahun 1945, dengan
di Undangkan Undang-undang No. 32 Tahun 1945, yang isinya memperlakukan
Undang-undang No. 22 Tahun 1946 di seluruh Indonesia.
Undang-undang No. 22 Tahun 1946 ini diikuti dengan lahirnya Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang No. 1 Tahun
1975 yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 ini adalah
Undang-undang pertama yang mencakup seluruh unsur-unsur dalam perkawinan
dan perceraian. Adapun isi dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 terdiri dari 14
bab dan 67 pasal.
34
Kehadiran Undang-undang No.1 Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya
Peraturan Pelaksanaannya dengan PP No. 9 Tahun 1974 Tentang Pelaksanaan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang kemudian disusul dengan keluarnya
Peraturan Menag dan Mendagri. Bagi umat Islam diatur dalam peraturan Menag
No. 3 Tahun 1975, kemudian diganti dengan Peraturan Menag No. 2 Tahun 1990.
bagi yang beragama selain Islam diatur dalam Keputusan Mendagri No. 221 a
Tahun 1975, tanggal 01 Oktober 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan
Perceraian pada Kantor Catatan Sipil. Adapun isi PP No. 9 Tahun 1975 terdiri
dari 10 bab, 49 pasal.
Pada Tahun 1983 lahir pula PP No. 10 yang mengatur tentang izin
perkawinan dan perceraian bagi PNS. Peraturan ditetapkan tanggal 21 April 1983
ini, berisi 23 Pasal. Pada Tahun 1989 lahir Undang-undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. RUU UU PA ini diajukan dengan amanat Presiden
tanggal 3 Desember 1988 dan dihantarkan dengan Ketetapan Pemerintah pada
Rapat Paripurna DPR pada tanggal 28 Januari 1989. undang-undang yang
ditetapkan pada tanggal 14 Desember 1989 ini secara umum berisi tentang
Pengadilan yang meliputi susunan Pengadilan, ketetapan Pengadilan dan hukum
acara. Namun pada Bab IV, hukum acara, bagian kedua pemeriksaan sengketa
perkawinan (Pasal 65-88), dibahas juga tentang perkawinan, khususnya yang
menyangkut proses atau tata cara perceraian. Dengan demikian, meskipun pada
prinsipnya, Undang-undang ini berhubungan dengan pengadilan, namun ada juga
pembahasan tentang perkawinan.
35
Pada Tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi perubahan PP No. 10
Tahun 1983, yang isinya memuat beberapa pasal yang ada dalam PP No. 10
Tahun 1983. PP No. 45 Tahun 1990 ini hanya berisi 2 pasal.
Pada akhir Tahun 1991 berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) di
Indonesia, mengenai perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Kompilasi ini
berlaku dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang kemudian
diikuti dengan keluarnya Menag RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan
Inpres RI No. 1 Tahun 1991 tersebut.2
Lahirnya Undang-undang perkawinan yang berlaku bagi semua warga
Negara Republik Indonesia tanggal 2 Januari 1974 untuk sebagian besar telah
memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah dikumandangkan
sejak Kongres Perempuan Indonesia pertama Tahun 1928 yang kemudian susul
menyusul dikedepankan dalam kesempatan-kesempatan lainnya berupa harapan
perbaikan kedudukan wanita dalam perkawinan. Perbaikan yang didambakan itu
terutama diperuntukkan bagi golongan “Indonesia asli” yang beragama Islam
yang hak dan kewajibannya dalam perkawinan tidak diatur dalam hukum yang
tertulis. Hukum perkawinan orang yang beragama Islam yang tercantum dalam
kitab-kitab fiqih (kitab-kitab hukum fiqih Islam), menurut sistem hukum di tanah
2Atho Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta:
Ciputat Press, 2003), Cet. I, h. 23-27. dan dapat dilihat juga dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan perkawinan. Departemen Agama RI, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam Zakat dan Wakaf, 2001, h. 7
36
air kita tidaklah dapat digolongkan ke dalam kategori “hukum tertulis” karena
tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan.
Masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian pergerakan wanita pada
waktu itu adalah soal-soal (1) perkawinan paksa, (2) poligami, dan (3) talak yang
sewenang-wenang. Karena itu pula arah tuntutan perbaikan ditujukan kepada
ketiga pokok persoalan tersebut.
Segera setelah Indonesia merdeka, langkah-langkah perbaikan diadakan
oleh Pemerintah dengan antara lain mengeluarkan Undang-undang (1946) tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (NTR). Setelah itu disusul dengan beberapa
Peraturan Menteri Agama mengenai wali hakim dan tatacara pemeriksaan perkara
fasid nikah, talak dan rujuk di Pengadilan Agama. Namun demikian, dengan
langkah-langkah itu, perbaikan yang dituntut belumlah terpenuhi karena Undang-
undang dan peraturan-peraturan itu hanyalah mengenai soal-soal formil belaka,
tidak mengenai hukum materilnya yakni Undang-undang yang mengatur
perkawinan sendiri.
Mengenai yang tersebut terakhir ini, sejak Tahun 1950 Pemerintah
Republik Indonesia telah berusaha memenuhinya dengan jalan membentuk
Panitia-panitia yang bertugas membuat Rancangan Undang-undang Perkawinan
dan telah pula RUU ini dibahas dalam siding DPR antara Tahun 1958-1959, tetapi
pemerintah tidak berhasil menjadikannya Undang-undang. Antara Tahun 1967-
1970, DPR-GR telah juga membahas RUU Perkawinan, tetapi nasib RUU ini pun
sama saja dengan nasib RUU sebelumnya.
37
Pada bulan Juli 1973, Pemerintah Republik Indonesia kembali
mengajukan sebuah RUU yang terkenal dengan Rancangan Undang-undang
Perkawinan kepada DPR-RI dan setelah mendapat banyak sekali tanggapan pro
dan kontra mengenai beberapa bagian penting Menteri RUUP tersebut baik di
dalam DPR maupun di dalam masyarakat, akhirnya dicapailah suatu consensus
yang membawa pengaruh pada sidang-sidang selanjutnya, sehingga tercapai juga
kata mufakat di antara para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah
mengundangkan Undang-undang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 dalam
Lembaran Negara yang kebetulan nomor dan tahunnya sama dengan nomor dan
tahun Undang-undang Perkawinan tersebut yakni Nomor 1 Tahun 1974.
Pada tanggal 1 April 1975, setelah 1 Tahun 3 bulan Undang-undang
Perkawinan ini diundangkan, lahir Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
yang memuat Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan tersebut. Dan
dengan demikian, mulai tanggal 1 Oktober 1975 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 itu telah dapat berjalan secara efektif. 3
Demikian sejarah pencatatan perkawinan tidak bisa dilepaskan dari
sejarah pembentukan Undang-undang perkawinan itu sendiri. Karena pencatatan
perkawinan itu sendiri tercakup dalam Undang-undang perkawinan.
3Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003),
Cet. I, h. 20-23
38
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pencatatan perkawinan, harus
dilihat ketentuan yang diatur dalam Bab II PP No. 9 Tahun 1975. Bab II memuat
ketentuan pencatatan perkawinan, yang memberi penjelasan tentang pencatatan
perkawinan yang dimaksud oleh pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sesuai
dengan PP No. 9 Tahun 1975 ditentukan Undang-undang mana yang mengatur
pencatatan perkawinan.
a. Bagi mereka yang beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1974
tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk (ayat 1 pasal 2). Dan tentang hal ini
diatur pada Bab II dan Bab IV Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1955
pada pasal 5-17.
b. Sesuai dengan ketentuan ayat (2) pasal 2 bagi mereka yang bukan beragama
Islam dan yang melangsungkan perkawinan menurut kepercayaan agama
mereka pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pencatat Perkawinan pada
Kantor Catatan Sipil.
1. Bagi yang beragama Kristen yang terdiri dari penduduk bumi putra di
daerah Jawa-Madura dan Minahasa berlaku di Reglemen Pencatatan Sipil
bagi bangsa Indonesia Kristen Jawa, Madura dan Minahasa (Stbl. 1933
No. 75 diubah dengan Stbl. 1933 No. 327 jo. 338 Stbl. 1934 No. 621 dan
622, Stbl.1936 No. 247 dan 607, Stbl. 1938 No. 246 dan 247 dan 170 jo.
39
No. 264, Stbl. 1939 No. 288 tentang pencatatan pernikahan ini diatur pada
bagian keenam pasal 48-58.
2. Bagi Tionghoa berlaku Reglemen Pencatatan Sipil Tionghoa, yaitu
Ordonatie tanggal 29 Mei 1917 Stbl. 1917 No. 130, mulai berlaku tanggal
1 Mei 1919. Stbl 1919 No. 81. Mengenai pencatatan pernikahan dalam
Reglemen ini diatur pada bagian kelima mulai dari pasal 67-72.
3. Bagi mereka yang termasuk golongan Eropa pencatatan pernikahan diatur
dalam Reglemen Pencatatan Sipil Eropa Stbl. 1849 No. 25 yang telah
mengalami perubahan dan penambahan. Dalam reglemen tersebut
pencatatan perkawinan diatur dalam bagian kegita dan keempat
sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 54-63.4
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ini adalah unifikasi karena hanya
ada satu Undang-undang yang berlaku untuk semua warga Negara. Tetapi isinya
adalah diferensiasi bervariasi yang jelas dapat dibaca pada pasal 2 ayat (1) yang
berbunyi, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu. Bila perkawinan putus karena perceraian,
harta bersama diatur menurut hukum masing-masing (pasal 37). Yang dimaksud
dengan “hukumnya” ialah, “Hukum Agama”, Hukum Adat dan hukum-hukum
lainnya”. Demikian bunyi penjelasan pasal tersebut. Diferensiasi berdasarkan
perbedaan agama, juga tampak dalam pencatatan perkawinan: untuk yang
4M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional: Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan
PP No. 9 Tahun 1975, (Medan: CV Zahir, 1975), Cet. I, h. 15-16
40
beragama Islam oleh Pegawai Pencatat NTR, sedang untuk mereka yang bukan
muslim oleh pegawai Catatan Sipil.5
Pelaksanaan pencatatan perkawinan itu tidaklah menjadi suatu ketentuan
sahnya suatu perkawinan, hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu
tidaklah menjadi suatu ketentuan sahnya suatu perkawinan hanya menyatakan
bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi, hal ini hanya semata-
mata bersifat administratif.
Sedangkan mengenai sahnya suatu perkawinan, sebagaimana dengan tegas
dinyatakan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2, bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaanya
itu.
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2)
menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku. Namun tidak dijelaskan tentang maksud
diadakannya suatu pencatatan. Penjelasan umum hanya mengatakan bahwa tiap-
tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan dengan surat-surat keterangan yang berbentuk akta resmi yang juga
dimuat dalam daftar catatan.6
5Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 24 6Joko Prakoso SH, Ketut Murtika, SH, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bina Aksara, 1987), Cet. I, h. 16
41
Pelaksanaan pencatatan nikah mempunyai dasar hukum, yaitu:
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954
b. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
c. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama pasal 84
ayat (1), (2), dan (3).
d. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 197 tentang perkawinan.
e. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Hakim
f. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah.
g. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai
Pencatat Nikah
h. Keputusan Menteri Agama Nomor 40 Tahun 1991 tentang Biaya Nikah dan
Rujuk bagi Umat Islam.
i. Keputusan Menteri Agama Nomor 40 Tahun 1991 tentang Pengelolaan Biaya
Nikah dan Rujuk bagi umat Islam.
j. Surat Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 16 Tahun 1992
tentang Pedoman Pelaksanaan Biaya Nikah dan Rujuk bagi Umat Islam.
42
D. Tujuan Pencatatan Perkawinan
Pernikahan sebaiknya diproyeksikan untuk mencegah mudharat yang akan
terjadi bila pembinaan rumah tangga tidak dikelola dengan baik dan penuh
tanggung jawab. Pencatatan nikah bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat, ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan
khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan
nikah yang dibuktikan oleh akta, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri
maka salah satu diantaranya dapat melakukan upaya hukum guna
mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta
tersebut, suami isteri memiliki bukti autentik atas perbuatan hukum yang telah
mereka lakukan.7
Pencatatan nikah juga berfungsi sebagai pengatur lalu lintas praktik
poligami yang sering dilakukan secara diam-diam oleh pihak-pihak tertentu yang
hanya menjadikan nikah di bawah tangan atau nikah tanpa pencatatan sebagai alat
poligami atau berpoliandri. Setiap pasangan yang akan menikah di KUA (Kantor
Urusan Agama) atau KCS (Kantor Catatan Sipil) bisaanya harus melalui
mekanisme pengumuman status calon mempelai setelah terdaftar sebagai
pasangan yang hendak menikah. Ketika data tentang status masing-masing calon
7Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada, 2000),
h. 107
43
mempelai diumumkan dan ternyata ada yang berkeberatan perkawinan bisa saja
batal.8
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat (1), pasal 6 ayat (2) dan
pasal 7 ayat (1) jo. Penjelasan Undang-undang Perkawinan Nomor 4 huruf (b):
Pasal 5
1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat Pasal 6
2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatatn Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum Pasal 7
Perkawinan hanya dapat dibuktikan oleh Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah9 Penjelasan Undang-undang perkawinan nomor 4 huruf (b) berbunyi: “Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”10
Penjelasan itu menunjukkan bahwa tujuan pencatatan perkawinan itu tiada
lain semata-mata untuk kepentingan administrasi (Penstadiran) dan tidak ada
hubungannya dengan sahnya suatu perkawinan.11
8Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya, h. 101 9 Lihat KHI 10 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Semarang: Baringin Raya), 11 K. Wantjik Saleh dalam uraian peraturan pelaksanaan UU Perkawinan, h. 16
44
Dengan adanya Akta Nikah, akan memberikan kepastian hukum yang kuat
kepada suami isteri, baik dalam lingkungan masyarakat dimana mereka tinggal
maupun di muka hakim di persidangan karena Akta merupakan salah satu bukti
tertulis yang harus diperlihatkan.
BAB IV
PERANAN PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH (P3N) DALAM
PELAKSANAAN ADMINISTRASI PERKAWINAN
A. Peranan dan Tugas P3N dalam Administrasi Perkawinan
1. Peran Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
Lembaga pencatatan nikah merupakan syarat administratif, selain
substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum, ia mempunyai
cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu
perkawinan.1
Pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 berbunyi:
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku 2
Dari apa yang di atur di dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang No.1
Tahun 1974 dapat kita ketahui bahwa di Indonesia perkawinan sudah
dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya, akan tetapi selanjutnya di dalam ayat 2 disebutkan bahwa
tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hal ini menggambarkan bahwa perkawinan yang dilakukan
1 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. IV, h. 111
2 Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1989), Cet. I
45
46
menurut hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh kedua pasangan
tersebut sudah dapat dianggap sah, tetapi menurut hukum negara perkawinan
tersebut belum dianggap sah karena belum dicatatkan dilembaran negara.
Agar perkwinan tersebut dianggap sah menurut hukum negara maka
perkawinan tersebut haruslah dicatat oleh istansi yang berwenang untuk
melakukan pencatatan perkawinan tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975 diatur mengenai instansi yang berwenang untuk melakukan
pencatatan, yaitu:
1. PPNTR, bagi mereka yang beragama Islam, sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32
Tahun 1954
2. Kantor Catatan Sipil (KCS) atau instansi/pejabat yang membantunya bagi
mereka yang bukan beragama Islam, sebagaimana yang diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan mengenai catatan sipil.
Pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan
dalam suatu perkawinan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu
syarat diakui atau tidaknya perkawinan tersebut, dan hal ini banyak membawa
konsekuensi bagi yang bersangkutan. Bilamana suatu perkawinan tidak
dicatat, sekalipun perkawinan tersebut sah menurut ajaran agama dan
kepercayaannya, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara. Begitu pula
segala akibat yang timbul dari perkawinan tersebut dan bahkan bagi yang
bersangkutan dapat dikenakan ketentuan pidana.
47
2. Tugas dan Fungsi KUA Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur
a. Tugas
Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasar Rebo mempunyai tugas :
“Melaksanakan tugas pokok dan fungsi Kantor Departemen Agama
dalam wilayah Kecamatan berdasarkan kebijakan Kantor
Departemen Agama Kodya Jakarta dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”.
Berdasarkan hal tersebut, maka Kepala KUA Kecamatan Pasar
Rebo dengan berpedoman pada Buku Administrasi KUA Kecamatan
yang diterbitkan oleh Pemerintah DKI Jakarta mempunyai tugas :
1) Memimpin dan mengkoordinasikan kegiatan semua unsur di
lingkungan KUA Kecamatan dan memberikan bimbingan serta
petunjuk pelaksanaan tugas masing-masing staf (pegawai) KUA
Kecamatan Pleret sesuai dengan job masing-masing.
2) Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala KUA Kecamatan wajib
mengikuti dan mematuhi petunjuk serta peraturan yang berlaku.
3) Setiap unsur di lingkungan KUA Kecamatan, wajib mengikuti dan
mematuhi bimbingan serta petunjuk kepala KUA Kecamatan dan
bertanggungjawab kepada Kepala KUA Kecamatan.
4) Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala KUA Kecamatan
bertanggungjawab kepada Kepala Kandepag Kodya.
48
b. Fungsi
Berdasarkan KMA nomor 517 tahun 2001 tentang Penataan
Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, maka Kantor Urusan
Agama Kecamatan Pasar Rebo selain tugas pokok tersebut di atas juga
mempunyai fungsi melaksanakan kegiatan dengan potensi organisasi
sebagai berikut :
1) Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi.
Menyelenggarakan kegiatan surat menyurat, pengurusan surat,
kearsipan, pengetikan, dan rumah tangga Kantor Urusan Agama
Kecamatan.
2) Melaksanakan pencatatan Nikah dan Rujuk, mengurus dan
membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial,
kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji berdasarkan Peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
B. Prosedur Pencatatan Perkawinan
Prosedur atau cara pelaksanaan pencatatan nikah meliputi pemberitahuan
kehendak nikah, pemeriksaan nikah, pengumuman kehendak nikah, akad nikah
dan penandatanganan akta nikah serta pembuatan kutipan akta nikah.
49
1. Pemberitahuan Kehendak Nikah
PPN, Pembantu PPN ataupun BP4 dalam memberikan penasehatan dan
bimbingan hendaknya mendorong kepada masyarakat dalam merencanakan
perkawinan agar melakukan persiapan pendahuluan sebagai berikut:
a. Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian tentang
apakah mereka saling cinta/Tahu dan apakah kedua orang tua mereka
menyetujui/merestuinya. Ini erat hubungannya dengan surat-surat
perTahuan calon mempelai dan surat izin orang tua, agar surat-surat
tersebut tidak hanya formalitas saja.
b. Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan, baik
menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hal ini untuk mencegah terjadinya penolakan atau
pembatalan perkawinan.
c. Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang rumah
tangga hak dan kewajiban suami isteri dan sebagainya.
d. Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkan,
calon mempelai supaya memeriksa kesehatannya dan kepada calon
mempelai wanita diberikan suntikan imunisasi tetanus toxoid.
Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang maka orang
yang hendak menikah memberitahukan kehendaknya kepada PPN/Pembantu
PPN yang mewilayahi tempat akan dilangsungkannya akad nikah. Sekurang-
kurangnya sepuluh hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan.
50
Pemberitahuan kehendak nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai
atau orang tua wakilnya dengan membawa surat-surat yang diperlukan:
a. Surat perTahuan calon mempelai
b. Akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul (akta
kelahiran atau surat kenal lahir hanya untuk diperlihatkan dan dicocokkan
dengan surat-surat lainnya. Untuk keperluan Administrasi. Yang
bersangkutan menyerahkan salinan foto copynya).
c. Surat keterangan tentang orang tua
d. Surat keterangan untuk nikah (Model N1)
e. Surat izin kawin bagi calon mempelai anggota TNI/Polri
f. Akta Cerai Talak/Cerai Gugat atau Kutipan Buku Pendaftaran Talak/Cerai
jika calon mempelai seorang janda/duda.
g. Surat Keterangan Kematian suami/isteri yang dibuat oleh Kepala Desa
yang mewilayahi tempat tingggal atau tempat matinya suami/isteri
menurut contoh Model N6, jika calon mempelai seorang janda/duda
karena kematian suami/isteri.
h. Surat izin dispensasi, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur
menurut ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2)
sampai dengan (5) dan pasal 7 ayat (2).3
3Pasal 6 UUP No. 1 Tahun 1974 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) Tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.
51
2. Pemeriksaan Nikah
Pemeriksaan terhadap calon suami, calon isteri dan wali nikah
sebaiknya dilakukan secara bersama-sama, tetapi tidak ada halangannya jika
pemeriksaan itu dilakukan sendiri-sendiri. Bahkan dalam keadaan yang
meragukan, perlu dilakukan pemeriksaan sendiri-sendiri. Pemeriksaan
dianggap selesai apabila ketiga-tiganya selesai diperiksa secara benar.
Apabila pemeriksaan calon suami isteri and wali itu terpaksa
dilakukan pada hari-hari yang berlainan. Maka kecuali pemeriksaan pada hari
pertama, di bawah kolom tanda tangan yang diperiksa ditulis tanggal dan hari
pemeriksaan.
1) Nikah diawasi oleh PPN
a. Pemeriksaan ditulis dalam daftar pemeriksaan nikah (Model NB)
b. Masing-masing calon suami, calon isteri dan wali nikah mengisi ruang
I, II dan IV dalam daftar pemeriksaan nikah dan ruang lainnya diisi
oleh PPN.
c. Dibaca dan dimana perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang
dimengerti oleh yang bersangkutan.
d. Setelah dibaca, kemudian ditandatangani oleh yang diperiksa dan PPN
yang memeriksa, kalau tidak bisa membubuhkan tanda tangan dapat
diganti dengan cap ibu jari tangan kiri.
e. Untuk tertibnya administrasi dan memudahkan ingatan, PPN membuat
buku yang diberi nama “Catatan Pemeriksaan Nikah” sebagai berikut:
52
Nama Calon
Peg. Yang ditugaskan untuk menghadiri akad
nikah
No Urut Tanggal
Suami Isteri
Hari/Tgl Ketentuan
Akad Nikah Suami isteri
Nomor Akta Nikah
Ket
1 2 3 4 5 6 7 8 9
f. Pada ujung model NB sebelah kiri atas diberi nomor yang sama
dengan nomor urut buku di atas dan kode-kode desa serta Tahun,
contoh 16/7/2005 angka 16 adalah angka urut pemeriksaan dalam
Tahun ini, angka 7 adalah kode desa tempat dilangsungkannya
pernikahan dan 2005 adalah Tahun pelaksanaan pemeriksaan.
g. PPN mengumumkan kehendak nikah.
2) Nikah diawasi oleh Pembantu PPN (di luar Jawa dan Madura)
a. Pemeriksaan ditulis dalam daftar pemeriksaan nikah (model NB)
rangkap dua.
b. Masing-masing calon suami, calon isteri dan wali nikah mengisi ruang
I, II dan IV dalam Daftar Pemeriksaan Nikah dan ruang lainnya diisi
oleh Pembantu PPN.
c. Dibaca dan dimana perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang
dimengerti oleh yang bersangkutan.
d. Setelah dibaca kemudian kedua lembar model NB di atas
ditandatangani oleh yang diperiksa dan Pembantu PPN yang
53
memeriksa. Kalau tidak bisa membubuhkan tanda tangan diganti
dengan cap ibu jari tangan kiri.
e. Untuk tertibnya administrasi dan memudahkan ingatan, Pembantu
PPN mencatat dalam buku yang diberi kolom sebagai berikut:
Nama Calon No Urut Tanggal Suami Isteri
Hari/Tgl Ketentuan
Akad Nikah Biaya
Nomor Akta Nikah
Ket
1 2 3 4 5 6 7 8
f. Pada ujung model NB sebelah kiri atas diberi nomor yang sama
dengan nomor urut buku di atas.
g. Pembantu PPN mengumumkan kehendak nikah.
h. Surat-surat yang diperlukan dikumpulkan menjadi satu dengan model
NB dan disimpan dalam sebuah Map.
i. Setelah lewat masa pengumuman dan akad nikah telah dilangsungkan,
maka nikah itu dicatat dalam halaman 4 model NB. Kemudian dibaca
di hadapan suami, isteri, wali nikah dan saksi-saksi, selanjutnya
ditandatangani. Tanda tangan itu dibubuhkan pada kedua lembar
model NB di atas.
j. Selambat-lambatnya 15 hari setelah hari akad nikah satu lembar model
NB yang dilampiri surat-surat yang diperlukan dikirimkan kepada
PPN yang bersangkutan beserta biayanya.
54
k. PPN yang menerima model NB dari pembantu PPN memeriksa
dengan teliti, kemudian mencatat dalam Akta Nikah dan
menandatangani. Kemudian PPN membuat Kutipan Akta Nikah
selanjutnya diberikan kepada Pembantu PPN untuk disampaikan
kepada suami dan isteri.
3. Pengumuman Kehendak Nikah
PPN/Pembantu PPN mengumumkan kehendak nikah pada papan
pengumuman (dengan model NC) setelah persyaratan dipenuhi. Pengumuman
dilakukan:
a. Oleh PPN di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan dilangsungkan dan
di KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing
b. Oleh pembantu PPN di luar Jawa di tempat-tempat yang mudah diketahui
umum.
PPN/Pembantu PPN tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum
lampau sepuluh hari kerja sejak pengumuman, kecuali seperti yang diatur
dalam pasal 3 ayat (3) PP No.9 Tahun 1975 yaitu apabila terdapat alasan yang
sangat penting. Misalnya salah seorang akan segera bertugas ke luar negeri.
Maka dimungkinkan yang bersangkutan memohon dispensasi kepada Camat
selanjutnya Camat atas nama Bupati memberikan dispensasi.
Dalam kesempatan waktu sepuluh hari ini calon suami isteri
seyogyanya mendapat nasihat perkawinan dari BP4 setempat.
55
4. Akad Nikah
a. Akad nikah dilangsungkan di bawah pengawasan di hadapan PPN. Setelah
akad nikah dilangsungkan, nikah itu dicatat dalam Akta Nikah rangkap
dua (model N).
b. Kalau nikah dilangsungkan di luar Balai Nikah, nikah itu dicatat pada
halaman 4 model NB dan ditandatangani oleh suami, isteri, wali nikah dan
saksi-saksi serta PPN yang mengawasinya. Kemudian segera dicatat
dalam Akta Nikah (Model N), dan ditandatangani hanya oleh PPN atau
wakil PPN.
c. Akta Nikah dibaca, kalau perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang
dimengerti oleh yang bersangkutan dan saksi-saksi kemudian
ditandatangani oleh suami, isteri, wali nikah, saksi-saksi dan PPN atau
wakil PPN.
d. PPN membuat Kutipan Akta Nikah (Model NA) rangkap dua, dengan
kode dan nomor yang sama. Nomor tersebut (…./…./…./…../)
menunjukkan nomor urut dalam Tahun, nomor urut dalam bulan, angka
romawi bulan dan angka Tahun.
e. Kutipan Akta Nikah diberikan kepada suami dan isteri.
f. Nomor di tengah pada model NB (Daftar Pemeriksaan Nikah) diberi
nomor yang sama dengan nomor Akta Nikah.
g. Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah harus ditandatangani oleh PPN.
Dalam hal wakil PPN yang melakukan pemeriksaan dan menghadiri akad
56
nikah di luar Balai Nikah, Wakil PPN hanya menandatangani daftar
pemeriksaan nikah dan pada kolom 5 dan 6 menandatangani Akta Nikah
pada kolom 6.
h. PPN berkewajiban mengirimkan Akta Nikah kepada Pengadilan Agama
yang mewilayahinya, apabila folio terakhir pada buku Akta Nikah telah
selesai dikerjakan.
i. Jika mempelai seorang janda atau duda karena cerai talak atau cerai gugat,
PPN memberitahukan kepada Pengadilan Agama yang memberikan Akta
Cerainya, bahwa duda/janda tersebut telah menikah dengan menggunakan
formulir ND rangkap 2. setelah pemberitahuan nikah tersebut diterima,
Pengadilan Agama mengirimkan kembali lembar II kepada PPN setelah
membubuhkan stempel dan tanda tangan penerima. Selanjutnya PPN
menyimpan bersama berkas Daftar Pemeriksaan Nikah (Model NB).
Dalam hal perceraian itu terjadi sebelum berlakunya Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
1) PPN membuat catatan pinggir (catatan lain-lain) pada Buku Pendaftaran
Talak atau Cerai terdahulu bahwa orang tersebut telah menikah dengan
menyebutkan tempat, tanggal dan nomor Kutipan Akta Nikah serta
ditandatangani dan dibubuhi tanggal oleh PPN.
2) Dalam hal perceraiannya di daftar di tempat lain, PPN memberitahukan
kepada PPN yang mendaftar perceraian tersebut bahwa duda/janda
tersebut telah menikah dengan menggunakan formulir ND rangkap 2.
57
PPN penerima pemberitahuan mencatat hal tersebut dalam catatan lain-
lain pada buku pendaftaran Talak atau Cerai sebagaimana pada angka 1).
Kemudian mengembalikan lembar II model ND setelah dibubuhi stempel
dan tanda tangan penerima. Selanjutnya PPN pengirim memberitahukan
setelah menerima kembali, menyimpan model ND lembar II tersebut
bersama berkas Daftar Pemeriksaan Nikah (model NB).4
Di samping pembahasan-pembahasan prosedur pencatatan perkawinan
di atas, ada juga pembahasan yang berkenaan dengan permasalahan
pencatatan perkawinan, di antaranya adalah:
a. PerTahuan, Izin dan Dispensasi
Dalam UUP No. 1 Tahun 1974 terkandung beberapa prinsip untuk
menjamin cita-cita luhur perkawinan, yaitu asa sukarela, partisipasi
keluarga, poligami dibatasi secara ketat, dan kematangan fisik dan mental
calon mempelai.
Sebagai realisasi dari asas sukarela maka perkawinan harus
berdasarkan atas perTahuan kedua calon mempelai. Oleh karena itu setiap
perkawinan harus mendapat perTahuan kedua calon mempelai. Tanpa
adanya paksaan dari pihak manapun. Dengan demikian dapat dihindari
terjadinya kawin paksa. Untuk itu diisi Surat PerTahuan Mempelai (model
N3).
4Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Bandung: Bidang
Urusan Agama Islam Kanwil Departemen Agama Islam Propinsi Jawa Barat, 1992), h. 4-11
58
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang, karena ia akan memasuki dunia baru, membentuk keluarga
sebagai unit terkecil dari keluarga bangsa Indonesia yang religius dan
kekeluagaan, maka diperlukan partisipasi keluarga untuk merestui
perkawinan itu. Oleh karena itu, bagi yang berada di bawah umur 21
Tahun baik pria maupun wanita diperlukan izin dari orang tua. Untuk itu
perlu diisi Surat Izin Orang Tua dengan formulir model N5. Dalam
keadaan orang tua tidak ada, maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas. Akhirnya
izin dapat diperoleh dari Pengadilan, apabila karena suatu dan lain sebab
izin tidak dapat diperoleh dari wali. Orang yang memelihara atau keluarga
tersebut di atas.
Perkawinan menurut UUP No. 1 Tahun 1974 menganut asas
monogami, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hokum
dan agamanya mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari
seorang. Namun demikian hal itu, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi
persyaratan tertentu dan memperoleh izin dari Pengadilan Agama.
Prinsip kematangan calon mempelai dimaksudkan bahwa calon
suami isteri harus telah matang jasmani dan rohani untuk melangsungkan
perkawinan, agar supaya dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan
dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Di samping itu, perkawinan
mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Ternyata
59
bahwa batas umur yang lebih rendah bagi wanita untuk kawin
mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Oleh karena itu
ditentukan batas umur untuk kawin yaitu 19 Tahun bagi pria dan 16 Tahun
bagi wanita. Bahkan dianjurkan perkawinan itu dilakukan pada usia
sekitar 25 Tahun bagi pria dan 20 tahun bagi wanita. Namun demikian
dalam keadaan yang sangat memaksa (darurat), perkawinan di bawah
batas umur minimum sebagaimana yang ditentukan dalam UUP tersebut
dimungkinkan, setelah memperoleh dispensasi dari Pengadilan atas
permintaan orang tua.
b. Penolakan Kehendak Nikah
Apabila setelah diadakan pemeriksaan nikah, ternyata tidak
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan baik persyaratan menurut
hokum munakahat maupun persyaratan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka PPN atau Pembantu PPN harus menolak
pelaksanaan pernikahan, dengan cara memberikan surat penolakan kepada
yang bersangkutan serta alasan-alasan penolakannya (model N9)
Atas penolakan tersebut yang bersangkutan dapat mengajukan
keberatan melalui Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya.
Pengadilan Agama memeriksa perkara penolakan dengan acara singkat
(sumir), menguatkan penolakan, atau memerintahkan pernikahan
dilangsungkan.
60
Jika Pengadilan Agama memerintahkan pernikahan dilangsungkan,
maka PPN atau Pembantu PPN harus melaksanakan perintah tersebut.
c. Pencegahan Pernikahan
Pernikahan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat untuk melangsungkan pernikahan, yang mengajukan pencegahan
pernikahan adalah :
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
2. Saudara dari salah seorang calon mempelai;
3. Wali Nikah;
4. Pengampu (kuratele) dari salah seorang calon mempelai
5. Pihak yang berkepentingan.
Pencegahan pernikahan diajukan ke Pengadilan Agama dalam
daerah hukum tempat pernikahan akan dilangsungkan oleh mereka yang
dapat mencegah pernikahan ini. Mereka yang melakukan pencegahan
pernikahan harus memberitahukan pula kepada PPN atau Pembantu PPN
yang bersangkutan tentang usaha pencegahannya PPN atau Pembantu
PPN harus memberitahukan kepada masing-masing calon mempelai.
Setelah mengetahui adanya usaha pencegahan pernikahan, PPN
atau Pembantu PPN tidak boleh melangsungkan pernikahan, kecuali
pencegahan itu telah dicabut dengan putusan Pengadilan Agama atau
pencegahan ditarik kembali oleh yang mencegah.
d. Pembantu Pernikahan
61
Pernikahan dapat dibatalkan, apabila setelah berlangsung akad
nikah diketahui adanya larangan menurut hukum peraturan perundang-
undangan tentang perkawinan.
Pembatalan pernikahan dilakukan oleh Pengadilan Agama dalam
daerah hukum tempat pernikahan dilangsungkan atau tempat tinggal
kedua suami isteri. Yang dapat mengajukan pembatalan pernikahan yaitu:
1. Dari keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
2. Suami atau isteri;
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
4. Pejabat yang ditunjuk berdasarkan pertaturan perundang-undangan
menurut UUP No.1 Tahun 1974 pasal 16 ayat (2).
e. Biaya Pencatatan Nikah
Besarnya biaya pencatatan perkawinan menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No.51 Tahun 2000 tentang Tarif atas jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Departemen
Agama adalah Rp. 30.000,00.- sedangkan untuk pernikahan bedolan
(pernikahan yang dilakukan di luar balai nikah), sesuai dengan Surat
Keputusan Kepala Departemen Agama Kabupaten Bekasi Nomor:
Mi.05/Ila/KU.03/1248/2001 tanggal 21 November 2001 tentang
Penyesuaian Biaya Nikah Bedolan adalah Rp. 50.000.00,-. Dan menurut
Surat Keputusan Bupati KabupatenBekasi Nomor 180/1247/HUK/2001
62
tentang Penyesuaian Biaya Nikah Bedolan, biaya nikah bedolan di
Kabupaten Bekasi sebesar Rp. 80.000.00,-
Berdasarkan surat dari Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji Departemen Agama tanggal 24 Desember 2004
dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas layanan di
bidang nikah dan rujuk kepada masyarakat, mulai Tahun 2005 setoran
biaya pencatatan nikah dan rujuk sebesar Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu) di
setor langsung oleh masyarakat yang bersangkutan melalui PT. Bank
Rakyat Indonesia Tbk., PT. Bank Negara Indonesia Tbk dan PT. Pos
Indonesia.5
C. Pandangan Masyarakat Pasar Rebo Tentang P3N
1. Identitas Responden
Bagian ini penulis akan menyajikan mengenai identitas responden
masyarakat Pasar Rebo yang telah di ambil sampelnya secara purposif
sampling sebayak 35 orang responden adapun identitas responden sebagiman
dapat di jelaskan pada tabel berikut:
5Surat dari Dirjen Bimas dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Nomor Dt.
1.1/2/HM.001/4934/2004, tanggal 29 Desember 2004
63
Tabel 4.1 Responden Berdasarkan Usia
Frequency Percent
30 3 8.6
31 1 2.9
32 2 5.7
34 1 2.9
35 2 5.7
36 1 2.9
37 1 2.9
38 1 2.9
39 1 2.9
40 2 5.7
41 1 2.9
42 2 5.7
43 1 2.9
44 2 5.7
45 1 2.9
46 1 2.9
47 2 5.7
48 1 2.9
50 1 2.9
51 1 2.9
52 1 2.9
54 1 2.9
55 1 2.9
56 1 2.9
57 2 5.7
60 1 2.9
Valid
Total 35 100.0
Sumber: Data diolah dari angket
Data di atas menunjukkan usia responden yang menjadi sampel
dalam penelitian ini memiliki usia yang beragam. Dari data ini dapat
diketahui bahwa rata-rata usai responden Pasar Rebo berkisaran pada
40 an yang masih tergolong pada usia produktif.
64
Tabel 4.2 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Frequency Percent
Laki-Laki 24 68.6
Perempuan 11 31.4
Valid
Total 35 100.0
Sumber: Data diolah dari angket
Data berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa sebagian
besar (68.6 %) di dominasi oleh laki-laki sedangkan sisanya (31.4%)
adalah perempuan.
Tabel 4.3 Responden Berdasarkan Status Perkawinan
Frequency Percent
Menikah 31 88.5
Duda / Janda Mati 2 5.7
Valid
Duda / Janda Cerai 2 5.7 Total 35 100.0
Sumber: Data diolah dari angket
Data berdasarkan status perkawinan menunjukkan bahwa
sebagian besar responden (88.5%) sudah menikah, sedanngkan(5.7
%) Duda/janda cerai dan (5.7%) Duda/janda mati
Tabel 4.4 Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Frequency Percent
SD 8 22.9
SLTP 9 25.7
SLTA 14 40.0
D3 2 5.7
S1 2 5.7
Valid
Total 35 100.0
Sumber: Data diolah dari angket
65
Data berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa
sebagian besar responden (40.0%) berpendidikan SLTA sebesar
(22.9%) berpendidikan SD sebesar (25.7%) berpendidikan SLTP,
sebesar (5.7%) responden berpendidikan D3 dan sebesar (5.7%)
responden berpendidikan S1.
Tabel 4.5 Responden Berdasarkan Pekerjaan
Frequency Percent
Pedangang 22 62.9
Pegawai Negeri 1 2.9
Pegawai Swasta 2 5.7
Pengusaha 1 2.9
Valid
Lainya 9 25.7 Total 35 100.0
Sumber: Data diolah dari angket
Data berdasarkan tingkat pekerjaan menunjukkan bahwa
sebagian besar responden (62.9%) berpropesi sebagai pedagang,
sebesar (25.7%) lainya, sedangkan (5.7%) responden berpropesi
sebagai pegawai swastaserta masing-masing sebesar (2.9%)
pengusaha dan pegawai negeri.
2. Tingkat Pemahaman Masyarakat Kelurahan Pasar Rebo
Terhadap P3N
Bagian ini akan menjelaskan tentang pemahaman masyarakat
dari sampel yang diambil sebanyak 35 kuisioner dengan menggunakan
sistem random simpel dimana sampelya adalah masyarakat Kecamatan
66
Pasar Rebo, adapun pemahaman masayarakat Kecamatan Pasar Rebo
terhadap P3N dapat silihat pada tabel-tabel sebagaimana berikut:
Tabel 4.6 Responden Berdasarkan
Tingkat pengetahuan tata cara pernikahan yang dilakukan pada KUA Pasar Rebo
Frequency Percent
Tidak Tahu 1 2.9
Tahu 13 37.1
Sangat Tahu 21 60.0
Valid
Total 35 100.0
Sumber: Data diolah dari angket
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan tentang tata cara
pernikahan yang dilakukan pada KUA Pasar Rebo Jakarta Timur
menunjukkan sebagian besar (60.0%) Sangat Tahu, (37.1%) Tahu, dan
(2.9%) Tidak Tahu.
Tabel 4.7 Responden Berdasarkan
Tingkat pengetahuan masyarakat tentang prosedur pencatatan nikah di KUA Kec. Pasar Rebo
Frequency Percent
Tidak Tahu 2 5.7
Tahu 20 57.1
Sangat Tahu 13 37.1
Valid
Total 35 100.0
Sumber: Data diolah dari angket
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang
prosedur pencatatan nikah di KUA Kec. Pasar Rebo Jakarta Timur
menunjukkan sebagian besar (57.1%) Tahu, (37.1%) Sangat Tahu, dan
(5.7%) Tidak Tahu.
67
Tabel 4.8 Responden Berdasarkan
Tingkat pengetahuan masyarakat tentang tugas dan peran pembantu pegawai pencatat nikah di KUA Kec. Pasar Rebo
Frequency Percent
Tidak Tahu 1 2.9
Tahu 17 48.6
Sangat Tahu 17 48.6
Valid
Total 35 100.0
Sumber: Data diolah dari angket
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang
tugas dan peran pembantu pegawai pencatat nikah di KUA Kec. Pasar
Rebo Jakarta Timur menunjukkan sebagian besar (48.6%) Tahu,
(48.6%) Sangat Tahu, dan (2.9%) Tidak Tahu.
Tabel 4.9 Responden Berdasarkan
Tingkat pengetahuan masyarakat tentang Setiap perkawinan harus memberitahu tahu sekurang-kurangya 10 hari kerja sebelum pernikahan
kepada pegawai pencatat nikah Frequency Percent
Tidak Tahu 1 2.9
Tahu 15 42.9
Sangat Tahu 19 54.3
Valid
Total 35 100.0
Sumber: Data diolah dari angket
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang
Setiap perkawinan harus memberi tahu sekurang-kurangya 10 hari
kerja sebelum pernikahan kepada pegawai pencatat nikah di KUA
Kec. Pasar Rebo Jakarta Timur menunjukkan sebagian besar (54.3%)
Sangat Tahu, (42.9%) Tahu, dan (2.9%) Tidak Tahu.
68
Tabel 4.10 Responden Berdasarkan
Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai Pembantu pegawai pencatat nikah KUA Pasar Rebo sudah maksimal melaksanakan tugasnya dalam melayani
masyarakat.
Frequency Percent
Sangat Tidak Tahu 1 2.9
Tidak Tahu 1 2.9
Tahu 17 48.6
Sangat Tahu 16 45.7
Valid
Total 35 100.0
Sumber: Data diolah dari angket
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat mengenai
Pembantu pegawai pencatat nikah KUA Pasar Rebo sudah maksimal
melaksanakan tugasnya dalam melayani masyarakat, menunjukkan
sebagian besar (48.6%) Tahu, (45.7%) Sangat Tahu, (2.9%) Tidak
Tahu dan (2.9%) Sangat Tidak Tahu.
Tabel 4.11 Responden Berdasarkan
Tingkat pengetahuan masyarakat tentang lemaga pencatatan perkawinan KUA Pasar Rebo keberadaanya adalah sangat penting bagi masyarakat pada masa ini
Frequency Percent
Tidak Tahu 1 2.9
Tahu 14 40.0
Sangat Tahu 20 57.2
Valid
Total 35 100.0
Sumber: Data diolah dari angket
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang
lemaga pencatatan perkawinan KUA Pasar Rebo keberadaanya adalah
69
sangat penting bagi masyarakat pada masa ini menunjukkan sebagian
besar (57.2%) Sangat Tahu, (40.0%) Tahu, (2.9%) Tidak Tahu.
Tabel 4.12 Responden Berdasarkan
Tingkat pengetahuan masyarakat tentang Pencatatan perkawinan itu menjadi wajib dilaksanakan karena kemaslahatan
Frequency Percent
Sangat Tidak Tahu 1 2.9
Tidak Tahu 7 20.0
Tahu 17 48.6
Sangat Tahu 10 28.6
Valid
Total 35 100.0
Sumber: Data diolah dari angket
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang
Pencatatan perkawinan itu menjadi wajib dilaksanakan karena
kemaslahatan data hasil angket menunjukkan sebagian besar (48.6%)
menajawab Tahu, (28.6%) Sangat Tahu, (20.0%) Tidak Tahu dan
(2.9%) menyatakan Sangat Tidak Tahu.
Tabel 4.13 Responden Berdasarkan
Tingkat pengetahuan masyarakat tentang Perkawinan harus dicatat di KUA dan perceraian dicatat di PA
Frequency Percent
Tahu 20 57.1
Sangat Tahu 15 42.9
Valid
Total 35 100.0
Sumber: Data diolah dari angket
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang
Perkawinan harus dicatat di KUA dan perceraian dicatat di PA data
70
hasil angket menunjukkan sebagian besar (57.1%) menyatakan Tahu
dan (42.9%) menyatakan Sangat Tahu.
Tabel 4.14 Responden Berdasarkan
Tingkat pengetahuan masyarakat tentang pembantu pegawai pencatat nikah KUA Pasar Rebo melayani masyarakat dengan baik
Frequency Percent
Tidak Tahu 7 20.0
Tahu 19 54.3
Sangat Tahu 9 25.7
Valid
Total 35 100.0
Sumber: Data diolah dari angket
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang
pembantu pegawai pencatat nikah KUA Pasar Rebo melayani
masyarakat dengan baikdari data hasil angket menunjukkan sebagian
besar (54.3%) menyatakan Tahu, (25.7%) Sangat Tahu dan sisanya
(20.0%) Tidak Tahu.
Tabel 4.15 Responden Berdasarkan
Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai setelah dilakukan Akad Nikah, maka langkah selanjutnya adalah penulisan pada Akta Nikah.
Frequency Percent
Tahu 21 60.0
Sangat Tahu 14 40.0
Valid
Total 35 100.0
Sumber: Data diolah dari angket
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tingkat
pengetahuan masyarakat setelah dilakukan Akad Nikah, maka langkah
selanjutnya adalah penulisan pada Akta Nikah, Untuk pelaksanaan
71
Nikah di Balai Nikah, maka Pencatatan Akta Nikah dapat langsung
dilakukan oleh Penghulu yang mengawasi dan mencatat pernikahan
data hasil angket menunjukkan sebagian besar (60.0%) menyatakan
Tahu, (40.0%) Sangat Tahu.
D. Analisis Penulis
Analisis penulis terhadap pemahaman pada masyarakat Kecamatan Pasar
Rebo mengenai pembantu pegawai pencatat nikah atau yang sering disebut P3N
rata-rata masyarakat menjawab Tahu atau paham mengenai P3N tersebut hal ini
terlihat dalam data bahwa (48.6%) Tahu, (48.6%) Sangat Tahu, dan (2.9%) Tidak
Tahu data tersebut berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang tugas dan
peran pembantu pegawai pencatat nikah di KUA Kec. Pasar Rebo Jakarta Timar,
sedangkan berdasarkan tingkat pengetahuan tentang tata cara pernikahan yang
dilakukan pada KUA Pasar Rebo Jakarta Timur menunjukkan sebagian besar
(60.0%) Sangat Tahu, (37.1%) Tahu, dan (2.9%) Tidak Tahu. Berdasarkan tingkat
pengetahuan tentang tata cara pernikahan yang dilakukan pada KUA Pasar Rebo
Jakarta Timur menunjukkan sebagian besar (60.0%) Sangat Tahu, (37.1%) Tahu,
dan (2.9%) Tidak Tahu.
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang tugas dan peran
pembantu pegawai pencatat nikah di KUA Kec. Pasar Rebo Jakarta Timur
menunjukkan sebagian besar (48.6%) Tahu, (48.6%) Sangat Tahu, dan (2.9%)
Tidak Tahu. Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang Setiap
72
perkawinan harus memberi tahu sekurang-kurangya 10 hari kerja sebelum
pernikahan kepada pegawai pencatat nikah di KUA Kec. Pasar Rebo Jakarta
Timur menunjukkan sebagian besar (54.3%) Sangat Tahu, (42.9%) Tahu, dan
(2.9%) Tidak Tahu.
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat mengenai Pembantu
pegawai pencatat nikah KUA Pasar Rebo sudah maksimal melaksanakan
tugasnya dalam melayani masyarakat, menunjukkan sebagian besar (48.6%)
Tahu, (45.7%) Sangat Tahu, (2.9%) Tidak Tahu dan (2.9%) Sangat Tidak Tahu.
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang lemaga pencatatan
perkawinan KUA Pasar Rebo keberadaanya adalah sangat penting bagi
masyarakat pada masa ini menunjukkan sebagian besar (57.2%) Sangat Tahu,
(40.0%) Tahu, (2.9%) Tidak Tahu.
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang Pencatatan
perkawinan itu menjadi wajib dilaksanakan karena kemaslahatan data hasil angket
menunjukkan sebagian besar (48.6%) menajawab Tahu, (28.6%) Sangat Tahu,
(20.0%) Tidak Tahu dan (2.9%) menyatakan Sangat Tidak Tahu.
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang Perkawinan harus
dicatat di KUA dan perceraian dicatat di PA data hasil angket menunjukkan
sebagian besar (57.1%) menyatakan Tahu dan (42.9%) menyatakan Sangat Tahu.
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang pembantu pegawai
pencatat nikah KUA Pasar Rebo melayani masyarakat dengan baikdari data hasil
73
angket menunjukkan sebagian besar (54.3%) menyatakan Tahu, (25.7%) Sangat
Tahu dan sisanya (20.0%) Tidak Tahu.
Data Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat tingkat pengetahuan
masyarakat setelah dilakukan Akad Nikah, maka langkah selanjutnya adalah
penulisan pada Akta Nikah, Untuk pelaksanaan Nikah di Balai Nikah, maka
Pencatatan Akta Nikah dapat langsung dilakukan oleh Penghulu yang mengawasi
dan mencatat pernikahan data hasil angket menunjukkan sebagian besar (60.0%)
menyatakan Tahu, (40.0%) Sangat Tahu.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada penulisan skripsi ini selanjutnya penulis dapat simpulkan yang
merupakan jawaban rumusan permasalahan yang penulis buat adapun kesimpulan
yang didapat adalah sebagaimana berikut:
1. Yang dimaksud dengan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) adalah
petugas yang ditunjuk oleh menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk
olehnya dan mempunyai kewenagan dalam pencatatan dalm hal perkawinan
maupun perceraian.
a. Peranan Pembantu Pencatat Nikah (P3N) di KUA Kecamatan Pasar
Rebo Jakarta Timur memegang peran sangat penting dalam sebuah
ikatan perkawinan dalam kehidupan berumah tangga, terutama bagi
kaum perempuan. Ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk
melindungi hak-hak perempuan dalam perkawinan. Di samping itu
pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat.
2. Pemahaman masyarakat Kecamatan Pasar Rebo terhadap keberadaan
pembantu pencatat nikah P3N data bahwa (48.6%) Tahu, (48.6%) Sangat
Tahu, dan (2.9%) tidak tahu,
74
75
B. Saran
1. Dalam pelaksanaan pencatatn pernikahan hendaknya pegawai pencatat
pernikahan dalam melaksanakan tugas dan fungsinys sesuai dengan ketentuan
undang-undang agar dan harus ada pengawasan bagi para pegawai pencatat
agar tidak terjadi pungutan liar yang akan merugikan masyarakat.
2. Pada dasarnya pemahaman masyarakat Kecamatan Pasar Rebo sudah cukup
pahan mengenai tugas dan fungsi P3N namun alangkah lebih-baiknya
sosialisasi dan mengenai proses perkawinan dan biaya perkawinan itu
dilakukan oleh pihak petugas yang terkait supaya tihdak terjadi kesalah
fahaman antara biaya pernikahan dan biaya-biaya lain supaya tidak terjadi
pungutan-pungutan liar pada prosesi pernikahan yang akan di laksankan.
3. Penulis harap para pihak-pihak yang terkait dal hal administratip pernikahan
membuat mudah untuk hal pernikahan agar diharapkan tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet IV
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), edisi I, Cet II
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet. I, Juz I
Bakri A. Rahman dan Drs. Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1993)
Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007
Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. III edisi 2,
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008) Cet. Ke-6
Depag RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan: UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2001)
Ghazaly, Abd Rahman, Fiqih Munakahat (Jakarta: Pranada Media Group, 2006), Cet II,
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), Cet. I
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Da al-Fikr, t. th), jilid II
76
77
Kumanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI 1993)
Mohammad Anwar, Pegangan Sosiologi, (Bandung CV. Armico, 1996), Cet.I
Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, t.t), jilid 3,
Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1989 tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Pasal 4 ayat (3)
UU No. 1 Tahun1974 juga telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, UU No. 32 1954 tentang Penetapan Berlakunya UU No. 22 Tahun 1946
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Cet III
Zakiah Daradjat (et al), Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid, 2