penyelesaian gugatan harta bersama pasca · pdf fileprof. dr. h. muhammad amin suma, sh, ma,...
TRANSCRIPT
PENYELESAIAN GUGATAN HARTA BERSAMA PASCA
PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR
Oleh :
JAM’AN NURKHOTIB MANSUR
NIM : 204044103495
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
PENYELESAIAN GUGATAN HARTA BERSAMA PASCA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
JAM’AN NURKHOTIB MANSUR
204044103495
Dibawah Bimbingan :
Drs. Jawahir Hedjazie, SH, MA
NIP. 130789745
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PENYELESAIAN SENGKETA PERCERAIAN
KOMULASI DENGAN GUGATAN HARTA BERSAMA TENTANG (Studi
Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Tangerang), telah diujikan
dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 4 Desember 2008. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Islam (SHI) pada Jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Pidana Islam.
Jakarta, 10 Maret 2008
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
Panitia Sidang Munaqosah
Ketua Asmawi, M.Ag : ( ............................. )
NIP. 150 282 934
Sekretaris Sri Hidayati, M.Ag : ( ............................. )
NIP. 150 282 403
Pembimbing I Jaenal Aripin, M.Ag : ( ............................. )
NIP. 150 247 330
Penguji I Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA : ( ............................. )
NIP. 150 220 554
Penguji II Sri Hidayati, M.Ag : ( ............................. )
NIP. 150 282 403
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “PENYELESAIAN GUGATAN HARTA BERSAMA
PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR”
telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Desember 2008 Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program Strata 1 (S1)
pada Program Studi Ahwal al Syakhsiyah
Jakarta, 10 Maret 2009
Mengesahkan,
Dekan
Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA,
MM
NIP. 150 210 422
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua
Drs.H.Djawahir Hejazie, SH, MA
(…………...……………)
NIP. 130789745
Sekretaris
Drs.H.Ahmad Yani, MA
(..……….………………)
NIP. 150 269678
Pembimbing I
Dr.H.Muhamma Taufiki, M.A.
(…………...……………) NIP. 150 290 159
Pembimbing II
Kamarusdiana, S.Ag, MH
(………...………………)
NIP. 150 285 972
Penguji I
Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, MA
(……………...…………) NIP. 150275509
Penguji II
Drs.H.A. Djawahir Hejazie, SH, MA
(…………...……………)
NIP. 150 789 745
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... .................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................
11
D. Metode Penelitian.................................................................
12
E. Sistematika Penulisan ...........................................................
15
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian .....................................
16
Sebab-sebab Perceraian ................................................................
17
Akibat Perceraian ..........................................................................
33
Solusi dan Pencegahan Terjadinya Perceraian ..............................
36
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA
Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama..............................
45
Ruang Lingkup Harta Bersama ...................................................
47
Terbentuknya Harta Bersama .....................................................
51
Kedudukan Harta Bersama Apabila Teradi Perceraian...................
54
Ketentuan Tentang Pembagian Harta Bersama ...............................
55
BAB IV PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA
TIMUR TENTANG GUGATAN PERCERAIAN
KUMULASI DENGAN HARTA BERSAMA
A. Gambaran Umum tentang Pengadilan Agama
Jakarta Timur...........................................................................
62
B. Kronologis Perkara .................................................................... 65
Pertimbangan dan Putusan Majelis Hakim .......................................
67
Analisis Penulis...............................................................................
69
BAB V PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................
73
Saran...........................................................................................
74
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah Satu hubungan hukum yang biasa
dilakukan oleh manusia sejak zaman Nabi Adam a.s. sehingga, apabila dilihat
dari sisi historis, hukum yang paling awal (pertama) dikenal manusia adalah
hukum keluarga, khususnya hukum perkawinan yang ditandai dengan
perkawinan Nabi Adam a.s dengan isterinya Siti Hawa. Manusia menyakini
benar bahwa Nabi Adam a.s adalah manusia pertama dan isteri serta anak-
anaknya yang hidup sezaman dengan Nabi Adam a.s dipandang sebagai
generasi manusia pertama, maka hukum telah ada sejak generasi Nabi Adam
a.s dan keluarganya.1
Allaw SWT telah memilih dengan cara perkawinan manusia dapat
keturunan dan dapat melestarikan kehidupannya setelah masing-masing
pasangan siap melakukan peranannya yang positif. Sebagaimana Firman Allah
SWT, dalam Surat an-Nisa / 4 : 1 yang berbunyi :
�ة و��� ���� زو��� و�� ����� ر��� آ ��ا و�ء وا���ا �)� أ)�� ا&��س ا���ا ر�#" ا&%ي ���#" �! � وا
)1:�ء ا &�ة س� ر(ا. ا&%ي ��ء&�ن �2 وا1ر��م إن ا. آ�ن ,��#" ر+�*�
Artinya :
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan
istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
1 M.Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2004), cet. Ke I, h. 3-4
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.
BC ذ&@ ?)�ت &��م و�! =)��2 أن ��� &#" �! أ #" أزوا�� &>#��ا إ&��� و�;: ���#" ��دة ور��8 إن
)21: م س� رة ا &� و ()> #�ون
Artinya :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir.
Hukum perkawinan juga diatur dalam hadist Nabi Muhammad,
diantaranya sebagai berikut :
س>�K ا. ص م )� �;I� ا &I*� ب �! ا +� ل &�� ر س� ل: ,! ,*� ا. ا�! �;� د رFG ا. ,�2 +� ل
2 &2 و ع ��#" ا&*� ء ة L<��Cو �C م �N& �� 2��;C OK<( "& !ج و� � �& !N�2 ا N*�& QR� وا �C ج
) �> � ,��2 (�� ء 2
Artinya : Dari Abdullah bin Mas'ud r.a. ia berkata : telah berkata kepada kami
Rasulullah SAW : "Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang
telah sanggup kawin, maka hendaklah ia kawin. Karena sesungguhnya kawin
menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan
memelihara farji. Dan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah ia
berpuasa karena puasa itu adalah perisai baginya (أH.R. Bukhori Muslim).
Allah SWT tidak ingin menjadikan manusia itu seperti makhluk yang
lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan anatara laki-
laki dan perempuan secara anarki dan tidak ada aturan yang mengaturnya,
demi menjaga martabat kemulyaan manusia, Allah SWT menurunkan hukum
perkawinan yang sesuai dengan martabat manusia itu.
2 Al-Imam Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani Ash Shan'ani, Subul al-Salam, juz 3, (Kairo,
Dar Ihya al-Turas al-Araby, 1379 H/1960 M), h. 109
Hukum perkawinan mengatur hubungan antara seorang laki-laki
dengan seorang wanita, dimulali dari akad pernikahan hingga pernikahan itu
berakhir dengan karena kematian, perceraian dan lain sebagainya.
Bangsa Indonesia yang berdasarkan pancasila telah memiliki undang
undang perkawinan nasional yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang
telah dimuat dalam lembarann negara No. 1 Tahun 1974, yang sifatnya
dikatakan menampung sendi-sendi dan memberikan landasan hukum
perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai
golongan masyarakat yang berbeda.3
Di dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 memberikan
definisi Perkawinan adalah : "Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" (pasal 1). Untuk itu,
penjelasan umum poin 4 huruf a menyatakan : "suami isteri perlu saling
membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan melengkapi kesejahteraan spiritual dan
material".4 "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya" (pasal 2 ayat 1).
Selain itu juga, Bangsa Indonesia telah memiliki Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang terdiri dari hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Untuk mereka yang beragama Islam, KHI ini berdasarkan Instruksi Presiden
3 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan,
Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung, Mandar Maju, 1990), h. 2 4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000), ed.
Ke-1, cet. Ke-4, h. 268
Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 1991.
Dalam KHI dinyatakan bahwa perkawinan menurut hukum Islam
adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqan Ghalidzan
untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah
(pasal 2).
Akan tetapi, kenyataan membuktikan bahwa memelihara kelestarian
dan kesinambungan sebuah perkawinan tidaklah mudah, berbagai godaan dan
rintangan siap menghadang bahtera perkawinan, sehingga sewaktu-waktu
perkawinan dapat putus di tengah jalan. Putusnya perkawinan dapat terjadi
karena berbagai hal, baik karena meninggal dunia atau faktor lain seperti :
faktor biologis, psikologis, ekonomis serta perbedaan pandangan hidup dan
sebagainya, seringakali merupakan pemicu timbulnya konflik dalam
perkawinan.
Jika faktor-faktor tersebut dapat diselesaikan dengan baik, maka akan
dapat mempertahankan mahligai perkawinannya. Namun sebaliknya, jika
faktor-faktor tersebut tidak dapat diselesaikan, maka akan timbul perceraian
sebagai jalan keluar terakhir yang akan ditempuhnya.
Perceraian menurut hukum Islam pada prinsipnya dilarang, hal ini
dapat dilihat pada isyarat sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa talak atau
perceraian adalah perbuatan halal namun dibenci oleh Allah.
روY ا��V دا ( ا �QX ا&UW ل ا . ا &UVK ق : �م +� ل ,! ا �! ,�� ,! ا&�*B ص�B ا. ,��2 وس
)وا�! �� �2 وا&�W آ" 5
Artinya :
Dari Ibn Umar Ra berkata : bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda : "Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak
(perceraian)".(Riwayat Abu Daud, Ibnu Majjah dan al-Hakim dari Ibnu Umar).
Oleh karea itu, isyarat tersebut menunjukkan bahwa talak atau
perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai "pintu darurat" yang boleh
ditempuh, manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi
dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya.6
Setelah terjadi perceraian bukan berarti persoalan-persoalan rumah
tangga langsung berakhir, justeru dengan adanya perceraian banyak persoalan
yang harus diselesaikan oleh suami isteri, salah satunya adalah mengenai
persoalan harta bersama dan pengaturannya.
Salah satu isi Kompilasi Hukum Islam khususnya dalam buku I
tentang Perkawinan, membahas perihal harta kekayaan dalam perkawinan.
Permasalahan ini dianggap penting untuk dicantumkan dalam KHI, mengingat
dunia perkawinan selain berbicara mengenai ketenangan hidup juga tidak
terlepas dari segala kemungkinan yang pahit dalam kehiupan yang rumah
tangga. Perceraian, salah satu sengketa rumah tangga yang terburuk yang
mungkin terjadi bagi siapa saja, perlu mendapat antisipasi dan pembelajaran
sebelumnya agar para pasangan suami-isteri merasa siap dalam menghadapi
5 Al-Imam Hafidz Abi Daud Sulaeman, Sunan Abi Daud, (Kairo, Dar al-Harin, 1988
M/1408 H), juz 2, h. 261 6 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia., h. 269
konflik-konflik yang mungkin terjadi di kemudian hari, termasuk masalah
pembagian harta bersama ketika terjadi perceraian.
Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengatur
tentang harta perkawinan, pada bab VII dalam judul harta bersama dalam
perkawinan. Menurut pasal 36 Undang-undang Tahun 1974 tersebut
dijelaskan yang dimaksud dengan harta bersama adalah :
1. Harta Benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta Bawaan dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah
dinawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menetukan lain.
Jadi pengertian harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh
selama perkawinan di luar hadiah atau warisan, maksudnya adalah harta yang
didapat atas usaha mereka atau usaha sendiri-sendiri selama masa ikatan
perkawinan.
Kemudian dalam pasal 37 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 dijelaskan bahwa : "apabila perkawinan putus karena perceraian, harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing". Dalam penjelasan pasal
tersebut dijelaskan yang dimaksud dengan hukum masing-masing adalah
hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Dengan demikian
hukum agama dan hukum adat termasuk bagian dari sistem hukum yang ada
di Indonesia.
Hukum agama dalam hal ini (Syari'at Islam) tidak mengenal
percampuran harta kekayaan antara suami isteri karena perkawinan artinya
harta isteri menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya. Begitupun harta
suami, tetap menjadi milik suami dan dikuasai penuh olehnya. Akan tetapi
karena menurut agama Islam dengan perkawinan menjadilah sang isteri
Syarikat al-rajuli fi al-hayati (kongsi sekutu seorang suami dalam melayani
bahtera hidup). Maka antara suami isteri terjadilah Syirkah al-mufawwadlah
atau perkongsian tak terbatas. Jika selama perkawinan memperoleh harta,
maka harta tersebut adalah harta syirkah yaitu harta bersama yang menjadi
milik bersama dari suami isteri. Oleh karena masalah pencarian bersama
suami isteri adalah termasuk perkongsian atau syirkah, maka untuk
mengetahui hukumnya perlu dibahas lebih dahulu tentang macam-macam
perkongsian sebagaimana telah dibicarakan oleh para ulama dalam kitab
fikih.7
Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan bahwa Hukum Islam tidak
mengenal adanya percampuran harta milik suami dengan harta milik isteri,
masing-masing pihak bebas mengatur harta milik masing-masing dan tidak
diperkenankan adanya campur tangan salah satu pihak dalam pengaturannya.
Ikut campurnya salah satu pihak hanya bersifat nasihat saja, bukan penentu
dalam pengelolaan harta milik pribadi suami atau isteri tersebut. Ketentuan
hukum Islam tersebut sangat realistis, karena kenyataannya percampuran hak
milik suami isteri menjadi harta bersama banyak menimbulkan masalah dan
kesulitan sehingga memerlukan aturan khusus untuk menyelesaikannya.
Meskipun hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta pribadi
7 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Kencana
Prenada Media Group, 2006), cet. Ke-I, h. 111
masing-masing ke dalam harta bersama suami isteri tetapi dianjurkan adanya
saling pengertian antara suami isteri dalam mengelola harta pribadi tersebut,
jangan sampai di dalam mengelola kekayaan pribadi ini dapat merusak
hubungan suami isteri yang menjurus kepada perceraian. Apabila
dikhawatirkan akan timbul hal-hal yang tidak diharapkan, maka hukum Islam
memperbolehkan diadakan perjanjian perkawinan sebelum pernikahan
dilaksanakan. Perjanjian ini dapat berupa penggabungan harta milik pribadi
masing-masing menjadi harta bersama, dapat pula ditetapkan tentang
penggabungan hasil harta milik pribadi masing-masing suami isteri dan dapat
pula ditetapkan tidak adanya penggabungan milik pribadi masing-masing
harta bersama suami isteri. Jika dibuat perjanjian sebelum pernikahan
dilaksanakan, maka perjanjian itu adalah sah dan harus dilaksanakan. 8
Pengaturan harta bersama dalam hukum Adat cukup beragam. Hal ini
dikarenakan ada beberapa puluh daerah hukum Adat di Indonesia. Hukum
Adat Jawa berbeda dengan hukum Adat Minangkabau, Aceh, Bugis dan
sebagainya. 9
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 88 menyatakan :
"apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka
perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama".
Pada umumnya perselisihan harta bersama ini baru muncul ketika
suami isteri akan memutuskan ikatan perkawinan (bercerai). Dalam hal ini
apabila suami atau isteri menginginkan agar semua masalah yang berkaitan
8 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Perjanjian-perjanjian Tertentu, (Bandung,
Sumur, tanpa tahun), hlm. 170 9 Majalah Nasehat Perkawinan dan Keluarga BP-4, No : 265/Tahun XXIII/Juli 1994 , h. 12
dengan perceraian (salah satunya pembagian harta bersama) sekaligus tuntas.
Maka Pengadilan Agama memperbolehkan suami atau isteri tersebut untuk
menggabungkan tuntutan perceraian dengan tuntutan pembagian harta
bersama tersebut dalam satu surat gugatan.
Ditinjau dari segi berperkara, tata cara seperti ini paling efisien dan
tidak banyak membuang waktu, karena pada saat penggugat mengajukan
gugatan, sekaligus mencakup gugatan pokok (gugatan perceraian) dengan
gugatan pembagian harta bersama.
Di Pengadilan Agama sendiri penyelesaian perkara perceraian
bersamaan dengan gugatan harta bersama, sudah diterapkan yaitu dengan cara
mendudukkan gugat pembagian harta bersama sebagai gugat assesor terhadap
guagatan perceraian. Cara assesor-nya dapat ditetapkan dalam suatu acuan
jika gugat perceraian ditolak otomatis gugat pembagian harta bersamapun
dinyatakan tidak dapat diterima. Begitupun sebaliknya jika gugat perceraian
dikabulkan bari terbuka kemungkinan untuk mengabulkan pembagian harta
bersama sepanjang barang-barang yang ada dapat dibuktikan sebagai harta
bersama. 10
Adapun kebolehan menggabung gugat perceraian dengan pembagian
harta bersama ini, berdasar pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 7
Tahun 1989 yaitu : "gugatan soal penguasaan anak, nafkah isteri dan harta
bersama suami isteri dapat mengajukan bersama-sama dengan gugatan
10 M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2001), ed. 2, h. 267
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum
tetap".
Menurut penjelasan pasal 82 ayat (1) menyatakan : "hal tersebut
adalah demi tercapainya prinsip atau asas bahwa peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, yang tercantum dalam pasal 4
ayat (2) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Jika merujuk pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun
1989. Pasal ini memberi pilihan bagi penggugat, apakah dia ingin
menggabung gugat perceraian dengan pembagian harta bersama, atau akan
menggugatnya tersendiri setelah perkara perceraian memperoleh kekuatan
hukum yang tetap. Dalam kebebasan memilih tata cara dimaksud, sudah
barang tentu lebih bermanfaat menggabung gugat perceraian dengan
pembagian harta bersama, karena sekaligus dapat diselesaikan kedua
permasalahan tersebut dengan tidak menghabiskan banyak waktu, tenaga dan
biaya. Sehingga suami isteri dapat lebih cepat menikmati harta bersama
tersebut.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari pemaparan di atas dapat dirumuskan masalah sebagai titik berat
penulisan skripsi ini, yaitu :
c. Pembatasan Masalah
1. yang dimaksud dengan cerai ini adalah cerai gugat yang dilakukan
oleh isteri.
2. yang dimaksud dengan Pengadilan Agama adalah Pengadilan Agama
Jakarta Timur
d. Perumusan Masalah
Pesfektif Hukum Islam dan Hukum Positif tentang harta bersama dalam
kaitannya dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur
No
1. Bagaimana putusan hakim Pengadilan Agama yang memeriksa perkara
cerai dikumulasikan dengan gugatan harta bersama ?
2. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap putusan hakim di
Pengadilan Agama tersebut ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun Tujuan penulisan ini adalah;
1. Mengetahui putusan hakim Pengadilan Agama yang memeriksa perkara
cerai dikumulasikan dengan gugatan harta bersama.
2. Mengetahui perspektif hukum Islam terhadap putusan hakim di Pengadilan
Agama tersebut.
Dan manfaat penulisan ini adalah untuk menambah khazanah keilmuan dalam
bidang hukum keluarga di Indonesia khususnya berkaitan dengan masalah
perceraian dan harta bersama, sedangkan manfaat praktisnya diiharapkan
skripsi ini dapat menjadi bahan rujukan bagi masyarakat, praktisi hukum yang
ingin mengetahui masalah cerai gugat dan kaitannya dengan harta bersama.
D. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat data
Adapun jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
jenis kualitatif yakni berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan-aturan
dari fenomena yang diteliti, oleh karena itu berupaya mengupas dan
mencermati suatu secara ilmiah dan kualitatif mengenai "Penyelesaian
Sengketa Perceraian Komulasi dengan Gugatan Harta Bersama (Studi
Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur)", Sedangkan sifat data dalam
penelitian ini untuk menggambarkan data dan informasi di lapangan
berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam.
Metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif. Metode
deskriptif bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik
populasi tertentu secara faktual dan cermat. Penelitian deskriptif bertujuan
untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan,
gejala kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau
penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu, antara
suatu gejala dan gejala lain di dalam masyarakat. Atau data kualitatif yakni
deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan-aturan dari
fenomena yang diteliti.11
11 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,
2004), h. 3
Cara ini bertujuan untuk mendeskripsikan "Penyelesaian Sengketa
Perceraian Komulasi dengan Gugatan Harta Bersama (Studi Kasus di
Pengadilan Agama Jakarta Timur)", Sedangkan sifat dalam penelitian ini
termasuk dalam penelitian yang bersifat deskriptif analitis yakni penelitian
yang menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta
yang diperoleh secara mendalam. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan
untuk menggambarkan dan menganalisis secara mendalam tentang
"Penyelesaian Sengketa Cerai Komulasi dengan Gugatan Harta Bersama
(Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur)"
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber data primer yang dilakukan dengan mengambil sample putusan
hakim pengadilan agama Jakarta Timur tentang kasus gugat cerai
dihubungkan dengan harta bersama..
b.Sumber Data sekunder yaitu memperoleh dari al-Qur’an, Sunnah,
Perundang-undangan Republik Indonesia, buku-buku umum, buku-buku
Islam dan data-data tertulis lain yang relevansinya berkaitan dengan
judul skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
A.Penggunaan Bahan Dokumen berupa putusan hakim di Pengadilan
Agama yang berkaitan dengan putusan cerai dan harta bersama.
Dengan menggunakan pendekatan terhadap kasus yang
berhubungan dengan, "Penyelesaian Sengketa Perceraian Komulasi
dengan Gugatan Harta Bersama Khususnya di Pengadilan Agama
Jakarta Timur.
4. Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang penulis guanakan adalah teknik
analisis semantic analysis (analisa domain). Teknik analisa domain adalah
mencoba menggambarkan objek penelitian pada tingkat permukaan. Jadi
di dalam penelitian ini penulis hanya bersifat eksploratif. Artinya, analisis
hasil penelitian ini hanya ditargetkan untuk memperoleh deskriptif objek.
Penelitian secara general, tanpa harus merinci ke dalam detailnya (unsur-
unsur).
Alasan penulis menggunakan metode analisis ini adalah karena
metode ini sangat relevan dengan objek yang akan diteliti, yaitu penulis
mencoba menggambarkan secara khusus mengenai "Penyelesaian
Sengketa Perceraian Komulasi dengan Gugatan Harta Bersama Khususnya
di Pengadilan Agama Jakarta Timur
.
E. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN terdiri dari ;Latar Belakang Masalah;
Perumusan dan Pembatasan Masalah; Tujuan dan Kegunaan
Penelitian, Metode Penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN menguraikan tentang
Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian, Sebab-sebab Perceraian,
Akibat Perceraian, Solusi dan Pencegahan Terjadinya Perceraian
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA terdiri dari;
Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama, Ruang Lingkup Harta
Bersama, Terbentuknya Harta Bersama, Kedudukan Harta Bersama
Apabila Terjadi Perceraian, Ketentuan tentang Pembagian Harta
Bersama
BAB IV PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR
TENTANG GUGATAN PERCERAIAN KUMULASI DENGAN
HARTA BERSAMA; membahas tentang Proses Pemeriksaan Gugatan
Perceraian, Kronologis Perkara, Pertimbangan dan Putusan Hakim
serta Analisis Penulis
BAB V PENUTUP merupakan Kesimpulan. Dan Saran-saran
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.12 Menurut H.A.Fuad Said dalam
bukunya "Perceraian Menurut Hukum Islam" Perceraian adalah putus hubungan
perkawinan antara suami isteri.13
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
perceraian adalah perpisahan atau perihal bercerai antara suami isteri. 14
Talak secara etimologis berasal dari kata thalaqa yang artinya lepas. 15
Di
dalam al-Qur'an terdapat kata Faraqa yang disebutkan sebagai kata yang semakna
dengan Talaqa, yaitu dalam Q.S.Ath-Thalaq ayat 2 yaitu :
�#�ZC !أ��� !X�� ذا[Cل ��#" وأ+���ا�ه! ��;�وف أو �Cر+�ه! ��;�وف وأش��وا ذوي ,
ا&��Iدة . ذ&#" )�,b �2 �! آ�ن )�a! ��. وا&��م ا?�� و�! )>� ا. )`;: &2 �_���
Artinya : Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka
dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu
tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran
dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang
siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan ke luar.
Ayat ini mengandung perintah yang bersifat alternatif bagi suami untuk
memilih salah satu pilihan yaitu antara pilihan mengikat tali perkawinan kembali
12 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : intermasa, 1995), cet. Ke-27, h.42 13 Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1994), cet.
Ke-1, h.1 14 Anton M. Moeliono dkk, (ed), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1990), Cet. Ke-4, h. 164 15 Ahmad Warson Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia, (Yogyakarta : Unit
Pengadaan Buku-Buku Keagamaan, 1984), h. 923
atau pilihan lain yaitu tetap melepas dan membiarkan isterinya dalam keadaan
ditalak.
Menurut istilah syara talak adalah melepaskan ikatan pernikahan dengan kata-
kata atau lafal yang menunjukkan talak atau perceraian. 16 Sayyid Sabiq
mendefinisikan talak dengan melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan
suami isteri. 17
Talak atau Furqah dalam istilah fiqh mempunyai arti yang umum dan arti yang
khusus, arti secara umum adalah segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan
oleh suami, yang telah ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang jatuh dengan
sendirinya seperti perceraian yang disebabkan meninggalnya salah seorang dari
suami atau isteri, sementara dalam arti khusus perceraian yang dijatuhkan oleh
suami saja. 18
B. Sebab-sebab Perceraian
Kehidupan beristri tidak hanya diwarnai oleh hal-hal yang menyenangkan.
Aneka hikmah bisa digali, sehingga kebahagiaan hidup beristri pun siap menanti.
Tetapi aneka penyebab konflik pun ikut mewarnai rona kehidupan beristri,
sehingga apabila tidak diwaspadai akan menjadi biang ketegangan atau bahkan
bisa memutuskan ikatan persuami istrian.
16 Ibnu Mas'ud dan Zainal Abidin S, Fiqih Madzhab Syafi'I (Edisi Lengkap), (Bandung,
CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1, h. 354 17 Al-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Terjemah, (Bandung : PT Al-Ma'arif, 1996), Cet. Ke-2,
Jilid 9, h. 9 18 H.A.Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974),
Cet. Ke-2, h. 156
Sehubungan dengan itu, maka suami sebagai orang yang paling bertanggung
jawab dalam kehidupan berkeluarga, hendaknya mewaspadai aneka penyebab
konflik itu sedini mungkin. Sehingga jalinan persuami istrian dapat lestari dan
kebahagiaan pun tidak mudah ternoda. Adapun aneka penyebab konflik persuami
istrian di maksud tentu saja amat beragam, antara lain19 :
1. Kurang Teliti Memilih Pasangan
Di dalam novel-novel atau telenovela, sering digambarkan betapa agungnya
sebuah percintaan, betapa romantisnya hubungan antar kekasih, keluarga dan
keindahan-keindahan lain, yang disuguhkan dengan sangat mengesankan hati
penikmatnya. Karena itu, pemirsa atau pembaca novel lalu membayangkan
idealnya sebuah pernikahan, "andai suamiku itu…" "andai kekasihku seromantis
itu…" dan sekian kata "andai" terjun pada pasangan kita.
Namun, apa yang terjadi bila kenyataannya tidak demikian? Suami suka main
selingkuh dan mulai tidak transparan terhadap istri. Bahkan, jelas-jelas sudah
membohongi istri karena istri menemukan banyak bukti tentang kebohongan itu.
Ternyata, kekasihnya memang telah menjalin hubungan mesra dengan wanita lain.
Maka, tak pelak lagi, peperangan pun terjadi. Entah perang fisik, mulut atau
bahkan perang dingin.
2. Minim Persamaan
19 M.Nipan Abdul Hakim, Membahahagiakan Istri Sejak Malam Pertama, (Yogyakarta
: Mitra Pustaka, 2005), cet. Ke-VII, h. 128
Ada pendapat mengatakan bahwa pernikahan yang ideal adalah yang
berlandaskan persamaan. Namun, sayangnya banyak yang salah dalam
menginterpretasikan pendapat tersebut. Menurut mereka, yang dimaksud dengan
"persamaan" adalah mempunyai hobi yang sama, baik itu menonton film, renang,
penggemar barang antic, travelling, atau hobi apa pun yang sama. Padahal, yang
dimaksudkan adalah sama dalam hal-hal yang prinsipil dan berkaitan dengan
sikap mental.
Akan lebih bagus lagi bila pasangan itu saling melengkapi. Misalnya, yang
egois pasti sukar berdampingan dengan altruis, yang rasional pasti sulit
berdampingan dengan yang mengandalkan instingtif, yang gemar bertindak cepat
pasti sangat susah melangkah dengan yang penunda, yang komunikatif akan repot
bila harus bersanding dengan yang suka memendam perasaan, dan lain
sebagainya.
Masalahnya, hubungan asmara itu terlalu fluktuatif karena menyangkut
masalah hati dan hati sering berbolak-balik (tidak pernah konstan). Kadang,
persamaan dan perbedaan tertutup sejumlah faktor dan baru terlihat saat
pernikahan sudah terjadi, lalu diperburuk dengan keengganan
mengkomunikasikan kekecewaan dan harapan. Banyak yang memilih untuk diam
digerogoti kenyataan yang mengecewakan, bertengkar dengan perasaan sendiri,
lantas bercerai untuk meredakan marah yang dianggap sudah tidak dapat
terelakkan dan dikompromikan lagi.
3. Ketidakmampuan Pasangan Untuk Saling Mendukung Saat Melewati
Masa-masa Sulit
Di dalam sebuah pernikahan, pasti ada masa-masa sulitnya. Masa-masa
sulit tersebut tidak saja dialami oleh pasangan muda, tetapi juga pasangan yang
sudah bertahun-tahun membina sebuah keluarga. Masa-masa sulit yang dimaksud
adalah masa di mana pasangan suami istri sedang menghadapi persoalan dalam
keluarganya. Permasalahan bisa terjadi karena faktor kesehatan, emosi, ekonomi,
anak, pekerjaan, pembagian tugas, dan peran, serta sangat mungkin faktor
pengaruh orang luar.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada empat hal yang dapat
menimbulkan permasalahan dalam keluarga, yaitu : (1) Faktor Fisiologis, (2)
Psikologis, (3) Sosial Ekonomi, dan (4) Religius.
Dalam menghadapi masa-masa sulit, bila pasangan tidak dapat
menemukan jalan keluar dengan bekerja sama dan saling mendukung, toleransi,
pengertian, saling dapat menerima, memberikan cinta kasih, dan mempercayai
maka permasalahan itu justru akan semakin berat dan dapat menimbulkan
permasalahan baru.
Hinnga pada akhirnya, mereka menyadari bahwa sudah tidak ada
kecocokan dan kesingkronan lagi. Hal itu dapat dilihat dari ketidakmampuan
dalam mengatasi problem keluarga dengan baik sehingga bagaimana mungkin
dapat melanjutkan kehidupan berumah tangga?
Bagi pasangan yang sudah tidak tahan lagi menanggung beban
penderitaannya dan dirasa sudah tidak ada jalan keluar bagi kemaslahatan
bersama maka mereka akan mengambil jalan pintas, yaitu bercerai. Mereka tidak
menyadari bahwa dengan jalan tersebut justru menjerumuskan mereka dalam
masalah baru yang lebih berat dan rumit. Wallahu a'lam bishawab.
4. Lihat Masalah Dari Segi Pelakunya
Siapakah yang tidak ingin sukses dalam berumah tangga? Tentu, semua orang
mendambakan kesuksesan dalam berumah tangga, bahkan sejak pertama menjalin
hubungan asmara. Keinginan luhur seperti itulah yang menyemangati diri
memasuki jenjang pernikahan. Obsesi kian menyala untuk membangun rumah
tangga agar lestari dan membahagiakan.
Namun, untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia, tentu tidak semudah
mengangankannya. Bahkan kerikil tajam yang berpotensi menentang keintiman
hubungan dan mengganjal laju bahtera keluarga sehingga terjadi perceraian. Hal
itu bisa melanda di mana saja. Di kota, di desa, bahkan yang terpencil sekalipun.
Bisa juga melanda rakyat golongan bawah, menengah, maupun golongan atas,
baik konglomerat ataupun pejabat. Melihat fenomena tersebut, kita lihat penyebab
dari pelakunya, misalnya :
a. Suami atau istri menyepelekan pasangannya.
b. Suami atau istri melakukan Perselingkuhan.
c. Masing-masing mempunyai kesibukan sehari-hari.
d. Suami atau istri tidak dapat memenuhi kewajiban atau perannya dengan
baik.
e. Pasangan mempunyai penghasilan yang berlebihan dan tidak dapat
menggunakan dengan baik (terutama suami yang berkantong tebal).
f. Suami dan istri hidup berjauhan.
g. Tidak ada lagi perasaan saling memberi dan menerima, cinta kasih,
toleransi dan saling mempercayai sehingga sulit untuk terjadi komunikasi
yang baik.
h. Provokasi dari pihak luar agar rumah tangga menjadi hancur. Perceraian
juga bisa terjadi karena ada pihak lain yang tidak senang dengan
kebahagiaan dan keberhasilan kita. Ketidaksenangan itu bisa dengan cara
menciptakan suasana panas sehingga sering terjadi pertengkaran dan salah
paham yang berkepanjangan antara suami dan istri, sampai akhirnya
terjadi perceraian. 20
Kekerasan dalam sebuah perkawinan dapat terjadi karena :
a. Pertengkaran soal uang : suami mengetatkan uang belanja, diberi paspasan
hanya untuk kebutuhan masak, sementara isteri punya kebutuhan yang
lainnya.
b. Cemburu : biasanya kalau isteri bekerja dan mempunyai kedudukan atau
penghasilan yang lebih tinggi dari suami maka suami merasa rendah diri
dan ini merupakan benih kecemburuan; atau isteri seorang yang pandai
bergaul sehingga banyak kawannya baik laki-laki maupun perempuan,
suami mudah menjadi cemburu.
c. Problema seksual : impotensi, frigidity, hiperseks, dapat menjadi pangkal
pertengkaran. Mungkin gejala sudah muncul ketika masih bulan madu,
20 Afifah Pujihastuti, Karena Istri Ingin Dimengerti, (Sukoharjo : Samudera, 2006),
cet. I, h. 83-86
suami menunjukkan sikap / cara yang brutal / kasar dalam hubungan seks
sehingga isteri menarik diri secara fisik dan psikis.
d. Alkohol atau minuman keras : dalam keadaan dibawah pengaruh
minuman keras yang berlebihan biasanya suami kurang dapat kontrol diri.
e. Pertengkaran tentang anak : ketidakserasian dalam pandangan sikap
ataupun cara menghukum anak merupakan benih subur untuk terjadinya
pertengkaran yang sering kali diikuti dengan kekerasan.
f. Suami di PHK atau menganggur : kesalahan suami karena kesulitan
ekonomi sebagai akibat menganggur ata di PHK seringkali disalurkan
dengan cara yang keliru yaitu marah-marah kepada isteri dan tidak tertutup
kemungkinan dalam bentuk kekerasan.
g. Isteri ingin sekolah lagi atau bekerja : bayangan tentang terganggunya roda
kehidupan rumah tangga dan isteri yang senang-senang dengan teman-
temannya (terutama laki-laki) seringkali jadi pemicu pertengkaran.
Apabila isteri bekerja maka isteri tidak lagi bergantung secara ekonomi
kepada suami, hal ini dapat menurunkan harga diri / ego kepada suami,
disinilah biasanya cekcok akan terjadi.
h. Kehamilan : belum adanya kehamilan atau kehamilan yang tidak
direncanakan dapat merupakan gannguan dalam hubungan suami-isteri
dan menjadi pangkal pertikaian.
i. Isteri / suami menggunakan obat-obatan (drug abused) atau minum alcohol
: ketidaksenangan suami atas kelakuan isteri disambut dengan sikap yang
kurang control dari isteri (pengaruh obat dan alcohol) seringkali
menimbulkan kekerasan.
Adapun aneka penyebab konflik persuami-isterian di maksud tentu saja
amat beragam, antara lain :
a) Kesibukan
Kehidupan bersuami-isteri takkan luput dari beragam kesibukan.
Apalagi di era sekarang yang tidak hanya kaum suami saja yang memiliki
kesibukan di luar rumah, tetapi kaum isteri pun tidak sedikit yang
memiliki profesi di luar rumah.
Kesibukan harian biasanya cukup menyita waktu, sehingga waktu
untuk berbagi rasa dengan keluarga pun bisa-bisa tersita habis. Suami
harus pulang larut malam dan pergi pagi-pagi sebelum sempat berbagi rasa
dengan isteri dan anak-anak. Bahkan isteri pun misalnya harus melakukan
hal yang sama, sehingga rumah yang susah-payah dibangunnya hanya
berfungsi sebagai tempat transit. Anak-anak harus rela menjalani hari-
harinya tanpa ksih sayang dan pendidikan langsung dari kedua orang tua
kandungnya. Akhirnya, kecurigaan dari masing-masing pihak pun bisa
bermunculan dan bisa jadi hubungan di antara sesama anggota keluarga
semakin menegang, bahkan bisa jadi membuahkan konflik berkepanjangan
yang memporak-porandakan ikatan persuami-isterian.
Jangankan kesibukan yang sampai menyita waktu dari masing-
masing pihak. Kesibukan dari satu pihak pun terkadang dapat menjadi
penyebab panasnya hubungan persuami-isterian. Hal ini bisa terjadi
manakala di antara masing-masing pihak itu tidak ada rasa saling
pengertian dan tidak ada rasa saling pengertian dan tidak ada pengaturan
waktu secara tepat. Suami merasa asyik dengan pekerjaannya sendiri dan
isteri pun merasa disibukkan oleh pekerjaan rumah tangga yag tak kunjung
selesai. Masing-masing tidak mau menghargai kesibukan pasangannya.
Suami merasa capai dengan kesibukan pekerjaannya dan isteri pun merasa
kecapaian menyelesaikan kesibukannya sendiri. Sehingga hubungan
sehari-hari bisa menegang dan konflik pun bisa terjadi setiap saat.
Di balik kesibukan, pengangguran pun sangat mudah menyulut
konflik. Apalagi jika salah satu terlalu sibuk dan pihak yang lain terlalu
banyak waktu yang terluang. Suami terlalu sibuk dengan pekerjaannya,
sementara isteri terlalu berleha-leha dengan ngerumpi dan berfoya-foya.
Atau bahkan sebaliknya, isteri sibuk bekerja, sementara kerja suami hanya
tidur dan lontang-lantung.
Semua itu harus diwaspadai secermat mungkin oleh para suami.
Suami hendaknya membuat komitmen yang tegas bersama isteri
tercintanya, agar dalam diri masing-masing tertanam betul rasa saling
pengertian dan memahami kesibukan pasangannya. Dan waktu yang
digunakan untuk menyelesaikan kesibukannya masing-masing pun
hendaklah diatur sedemikian rupa, sehingga tetap tersedia waktu yang
cukup untuk saling berbagi rasa. Kesibukan dapat terselesaikan dengan
baik, tetapi waktu untuk keluarga pun tetap harus mendapat porsi yang
cukup.
b) Beda Pendapat
Beda pendapat tidak jarang menjadi pemicu terjadinya konflik.
Terlebih lagi jika masing-masing bersikukuh mengklaim bahwa
pendapatnya sendiri yang benar dan memaksakan kepada pemilik
pendapat lain sebagai yang tidak benar. Maka yang terjadi adalah ibarat
seekor kucing bertemu dengan seekor anjing. Satu pendapat ibarat seekor
kucing dan pendapat yang lain ibarat seekor anjing. Sulit dipertemukan
dan dalam banyak hal sering meruncing menjadi perang tanding.
Sebagai suami-isteri, hendaklah beda pendapat itu dipandang
sebagai sesuatu yang wajar. Isteri tidak harus sama pendapatnya dengan
suami. Suami hendaknya lebih dahulu mengawali kesadaran yang
demikian seraya mempertanyakan kepada diri sendiri: "Jikalau aku boleh
berpendapat demikian, mengapa isteriku tidak boleh berpendapat begitu?"
Kemudian kesadaran yang demikian itu , hendaklah ditanamkan pula
kepada isteri tercinta. Sehingga terjadilah saling pengertian antara yang
satu dengan yang lain secara selaras. Beda pendapat tidak perlu
diperuncing dan konflik antara keduanya pun tak perlu terjadi.
Kewajaran beda pendapat antara suami-isteri, jika dipertemukan ke
arah yang positif, justeru akan membuahkan sesuatu yang terbaik dan akan
melengkapi kebahagiaan berdua. Dengan beda pendapat, hasil
musyawarah akan lebih matang. Dengan beda pendapat, hasil musyawarah
akan lebih matang. Sebuah rencana besar akan terprogram lebih tepat
melalui perumusan dari berbagai pendapat. Sebuah diskusi akan
menghasilkan titik temu yang paling bijak melalui adu pendapat.
Sebagai pemimpin keluarga, seorang suami hendaklah lebih arif
dalam menghadapi perbedaan pendapat dengan isteri tercintanya.
Anggaplah beda pendapat itu sebagai penyedap yang dapat menambah
kemesraan bersuami-isteri. Bisa jadi pendapat isteri yang berbeda dengan
pendapat dirinya itu justeru lebih baik ketimbang pendapat dirinya. Maka
lebih arif apabila setiap beda pendapat yang terjadi di antara keduanya itu
dipertemukan melalui musyawarah terbuka. Sehingga yang ditemukan
adalah rahmat bukan konflik dan bukan bencana.
c) Kehadiran Pihak Ketiga
Kehidupan berkeluarga takkan luput dari kehadiran pihak ketiga,
baik dari keluarga besarnya sendiri maupun dari luar keluarga besarnya.
Bagi suami, pihak ketiga dari keluarga besarnya sendiri meliputi : orang
tua sendiri, mertua, saudara kandung, saudara sepupu, para ipar, saudara
sepupu isteri, paman, bibi dan segenap keluarga besar lainnya. Sedangkan
dari luar keluarga meliputi : teman-teman dekat suami, teman sekerja
suami, teman dekat isteri atau teman sekerja, para tetangga, masyarakat
sekitar dan kenalan-kenalan lainnya.
Semua itu dapat membuka dua kemungkinan yang berbeda.
Kemungkinan pertama adalah menguntungkan dan mempererat hubungan
suami-isteri serta membahagiakannya. Kemungkinan kedua adalah
merugikan atau merenggangkan hubungan suami-isteri yang bisa
membuka konflik atau bahkan kehancuran keluarga. Terutama jika
kehadiran mereka itu mulai mencoba menyentuh urusan intern suami-
isteri.
Kehadiran orang tua suami, bukan tidak mungkin akan
menimbulkan ketegangan antara suami dengan isteri. Orang tua yang
biasanya memang memiliki rasa sayang sepanjang masa kepada anak-
anaknya, kadang-kadang tidak bisa memisahkan dalam mengungkapkan
kasih sayangnya. Sehingga pengungkapan kasing sayang kepada anak
yang telah beristeri pun kadang-kadang disamakan dengan ketika ia belum
beristeri. Mereka mungkin kurang menyadari, bahwa perlakuannya yang
demikian itu bisa menimbulkan kecemburuan dan ketidaksenangan
menantunya.
Selain pihak orang tua sendiri hendaknya menyadari akan hal itu,
pihak suami pun hendaknya bertindak bijaksana. Ia harus bisa bertindak
tegas dalam membatasi antara urusan keluarganya sendiri dengan keluarga
lain, sekalipun itu adalah orang tuanya sendiri. Ia harus ikut menyadarkan
orang tuanya jika bertindak yang tidak semestinya terhadap dirinya. Dan
juga bisa menjernihkan suasana itu terhadap isterinya. Sehingga suasana
persuami-isterian tetap damai dan terhindar dari konflik yang tidak
diinginkan.
Demikian halnya dengan kehadiran mertua yang mungkin masih
belum bisa memisahkan antara pengungkapan kasih-sayang terhadap
putrinya tatkala belum bersuami dengan sesudahnya. Maka selain mertua
sendiri hendaknya menyadari bahwa putrinya telah berkeluarga sendiri,
pihak suami pun hendaknya bisa bersikap arif. Jika perlu, ia ikut
menyadarkan mertua yang memperlakukan putrinya tidak sebagaimana
mestinya dan tidak mudah terpancing emosinya tatkala menghadapi
kenyataan itu.
Sedangkan kehadiran pihak ketiga lainnya, baik dari dalam
keluarga besarnya sendiri maupun dari luar keluarga besarnya, hendaknya
tetap diwaspadai kemungkinannya. Kemungkinan pertama, mereka dapat
mengisukan sesuatu yang dapat menegangkan hubungan suami-isteri. Dan
kemungkinan kedua, mereka adalah manusai biasa yang tidak luput dari
perasaan cinta dan cemburu, sekalipun itu adalah saudara kandung atau
iparnya sendiri. Mereka yang laki-laki, tidak mustahil kemudian timbul
benih-benih cinta terhadap isteri kita. Dan kita para suami pun tidak
tertutup kemungkinan tumbuh perasaan cinta terhadap salah satu dari
meraka yang wanita, sekalipun ia adalah ipar sendiri. Apalagi wanita lain,
seperti teman sekerja atau kenalan baru misalnya.
Sehubungan dengan itu, maka sebagai langkah kewaspadaan yang
harus ditempuh suami adalah menanamkan kedewasaan diri, baik kepada
dirinya sendiri maupun kepada isterinya. Yakni tidak mudah terkecoh oleh
berita yang tidak benar atau kasak-kusuk tentang keluarganya yang belum
tentu benar, dan menjauhi kedekatan hubungan atau terlalu seringnya
berhubungan dengan lawan jenis, sekalipun dia adalah ipar sendiri.
Sehingga tidak mudah termakan isu dan tidak mudah cemburu atau
dicemburui. Hubungan suami-isteri tetap padu dan terhindar dari konflik
yang tidak diinginkan.
d) Kesalahpahaman
Kesalahpahaman juga sering mewarnai kehidupan bersuami-isteri
dan bisa berbuntut konflik. Bahkan tidak mustahil pula akan menyebabkan
keretakan dan kehancuran persuami-isterian. Terutama jika
kesalahanpahaman itu berkepanjangan dan tidak diruntut akar
permasalahannya.
Maka sebagai suami yang bijak hendaknya senantiasa berpijak
pada kearifan sikap dalam menghadapi setiap masalah. Tidak mudah
terpancing oleh segala sesuatu yang belum jelas akar permasalahannya
atau belum tahu persis masalah yang sesungguhnya. Dan juga tidak
memiliki hobi membuat masalah atau gemar melakukan sesuatu yang
mengandung masalah.
Setiap permasalahan yang muncul di tengah-tengah persuami-
isterian, alangkah bijaksananya apabila terlebih dahulu ditelusuri akar
permasalahannya. Kemudian dicarikan jalan keluar melalui musyawarah.
Sehingga masalah bisa diselesaikan secara tuntas, tidak meninggalkan
bekas-bekas yang mencurigakan bagi masing-masing pihak dan
kesalahpahaman pun tak perlu terjadi.
Aktifitas yang dilakukan oleh suami maupun isteri, hendaknya
dilakukan secara terbuka, terutama hal-hal yang dilakukan di luar rumah
dan tidak terlihat secara langsung oleh masing-masing pihak. Ke mana
suami pergi dan apa tujuannya, hendaknya diungkapkan apa adanya
kepada isteri di rumah. Begitu pun sebaliknya. Suami hendaknya
menanamkan komitmen ini secara adil, diberlakukan bagi isteri dan
diteladankan oleh dirinya sendiri.
Selain itu, di dalam pergaulan suami-isteri sehari-hari hendaknya
juga ditanamkan kebiasaan berlaku jujur. Tidak mencoba-coba menipu
salah satunya. Karena sekali dua kali mencoba untuk menipu, lama-lama
akan terbiasa. Padahal kemungkinan besar suatu saat tipuan itu akan
terketahui oleh pihak yang merasa ditipu. Dan sekali perbuatan itu
diketahui, maka selamanya pihak yang ditipu itu akan kehilangan
kepercayaan atas ucapan dan perbuatannya. Kecurigaan demi kecurigaan
akan selalu muncul dan kesalahpahaman pun sulit dihindarkan. Bahkan
konflik demi konflik pun tiidak mustahil bakal terjadi dan kebahagiaan
keluarga sulit diharapkan. Ucapan dan perbuatan yang dapat menimbulkan
kecurigaan, hendaknya sedini mungkin dihindarkan. Sehingga tidak
mengundang kesalahpahaman dan tidak memancing masalah.21
e) Arogan
Sifat arogan tidak jarang meracuni dan memecah belah umat
manusia. Ia muncul dari perasaannya yang berlebihan, merasa paling
besar, merasa paling kaya, merasa paling wajib dihormati, merasa paling
cantik, merasa paling tampan, merasa paling pandai, merasa paling
berpengalaman, merasa paling benar dan seterusnya.
21 M. Nipan Abdul Halim Membahagiakan Isteri Sejak Malam Pertama, hal 128-136
Maka bagaimana jadinya dengan pasangan suami-isteri yang salah
satunya bersifat egois ? dan bagaimana pula jika keduanya sama-sama
egois ?
Seorang suami hendaknya memenuhi dari dirinya menghindari sifat egois
dan kemudian menanamkan pula kepada isteri tercintanya agar
menghindarinya jauh-jauh. Kesadaran itu hendaknya tidak hanya
diberlakukan dalam kehidupan bersuami-isteri belaka, melainkan dalam
kehidupannya secara menyeluruh.
Dengan menghindari sifat arogan, niscaya konflik antar suami-
isteri tidak perlu terjadi, perang tanding dapat dihindarkan dan kedamaian
pun dapat diharapkan.
f) Kemandulan
Satu hal yang bisa menyebabkan konflik antara suami dengan isteri adalah
kemandulan. Jika hal ini sampai terjadi, maka tak urung suami-isteri tersebut
dirundung kegelisahan, penuh penyesalan yang berkepanjangan dan dunia pun
serasa mencekam. Dan apabila masing-masing lepas kendali, maka kejadian-
kejadian kecil pun dengan gampangnya membangkitkan konflik.
Oleh karena itu, maka jauh sebelum duduk di kursi pelaminan, para calon
suami hendaklah berhati-hati dalam menentukan pilihan. Pilihan wanita yang
subur dan penyayang, agar nantinya tidak terjadi penyesalan yang
berkepanjangan. Anak yang ditunggu-tunggu segera lahir, proses regenerasi
lancar, dan masalah yang dapat menyebabkan konflik pun teratasi.
Namun apabila upaya itu telah dilaksanakan secara optimal, tetapi
kehendak Tuhan tidak mengijinkan, sehingga kemandulan pun tetap terjadi; maka
langkah yang paling bijak adalah berserah diri kepada-Nya dan mencarikan jalan
keluar yang terbaik melalui musyawarah yang benar.
Demikian beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya konflik yang
harus diwaspadai, utamanya oleh para suami. Sebenarnya masih banyak masalah
yang dapat menimbulkan konflik antara suami-isteri. Namun dengan beberapa
yang telah diisebutkan di atas, kiranya cukup memberikan gambaran yang
memadai.
Rona kehidupan beristeri tidak selamanya manis dan tidak selamanya
getir. Maka yang manis harus terus diupayakan dan yang getir sedini mungkin
diwaspadai agar tidak sampai terjadi. Kalaupun telah terlanjur terjadi, maka mesti
diupayakan agar tidak berlarut-larut dan dapat segera di atasi, hingga
keberadaannya menjadi bumbu penyedap yang cukup berarti.22
C. Akibat Perceraian
Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan akibat putusnya perkawinan, dari
segi timbulnya masa iddah :
1. Karena talak adalah timbulnya masa iddah dan selama masa iddah, isteri boleh
dirujuk.
22 Ibid, hal 140-142
2. KHI pasal 153 (1) : Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku
masa iddah, kecuali qobla al-dukhul dan perkawinannya putus buka karena
kematian suami.
3. KHI pasal 155 : Waktu iddah bagi wanita yang putus perkawinannya karena
khuluk, fasakh dan li'an berlaku iddah talak.23
Dari segi nafkah, KHI pasal 149 menyebutkan :
1. Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang atau
benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al-dukhul.
2. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah,
kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan
hamil.
3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla
al-dukhul.
4. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur
21 tahun. 24
Jika perceraian tersebut karena khuluk maka, seperti yang tertera dalam KHI
pasal 161, akan mengurangi jumlah talak dan tidak dapat rujuk. Dan apabila
karena li'an maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang di
kandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban
memberi nafkah (KHI pasal 162).
Dari Segi Pemeliharaan anak, KHI pasal 156 menyebutkan :
23 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, 1, h. 225
24 Kompilasi Hukum Islam (KHI), h. 69
1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan
oleh :
a. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu
b. Ayah
c. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah
d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayah atau ibunya.
3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah di
cukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama
dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak
hadhanah pula.
4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa
dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anal, Pengadilan
Agama memberikan putusnya berdasarkan huruf (a), (b), (c), (d).
6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut
padanya.
D. Solusi dan Pencegahan Terjadinya Perceraian
Upaya yang baik dalam pemecahan persoalan-persoalan sebelum
membesar dan membeku adalah mengikuti sebagian cara yang bisa menghasilkan
buah-buah positif dalam meredam bara perselisihan dan mengembalikan dua insan
pada bingkai kehidupan perkawinan. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut :
Melakukan cara-cara non-reaktif atau pasif dalam menghadapi badai
persoalan, seperti tetap tenang (tidak bicara), menampakkan simpati atau
raut muka bersabda;
Di antara cara non-reaktif adalah ke luar dari kamar tempat
pasangannya dan menjauh dari medan masalah. Hal penting ditekankan di
sini, si isteri tidak boleh pergi dari rumah. Jangan sampai ia pergi dari
rumah, betapapun besarnya persoalan. Karena pergi dari rumah akan
membuka pintu Syiqaq, bahkan akan sulit menutupnya, dan kadang
sampai pada perceraian. Terlebih lagi, dengan begitu berarti ia telah
membantu menyebarkan rahasia keluarga ke luar rumah.
1. Berusaha membatasi masalah atau perselisihan anatara suami-isteri saja,
dan menjaga agar tidak keluar dan meluas ke orang-orang di luar mereka,
betapapaun dekatnya, terutama anak-anak. Karena menyimpan masalah-
masalah seperti ini dari anak-anak adalah sesuatu yang sangat penting,
demi untuk mengantisipasi mereka dari kegoncangan dan problem-
problem psikologis yang ditimbulkan oleh teladan buruk yang mereka
lihat dalam sebuah keluarga yang broken dan tercabik-cabik ini. Demikian
pula penting menyimpan masalah dari anggota keluarga yang lain dengan
tujuan agar kesulitan tersebut sempit, sehingga mudah mencairkannya.
2. Jangan sampai membiarkan perselisihan berlarut-larut dalam rumah tangga
meski hanya satu malam, agar tidak sampai berlarut-larut, sehingga hati
tidak membeku dan perasaan tidak berpikir macam-macam sesudah
sebelumnya terjalin erat.
Pada saat yang demikian, baik bagi sang suami jika ia berinisiatif
lebih dahulu melakukan perdamaian dengan isteri setelah perasaan dan
jiwanya tenang, beristighfarlah dan memohon pertolongan kepada Allah.
Bsgi isteri, ia mesti melakuakan cara apa saja yang bisa dipakai untuk
bernaikan dengan suami, seperti mencoba berbicara dengan sang suami
setelah pertengkaran mereda. Atau, tidak memperdulikan atau menutup
mata atas kesalahan suaminya dan menyerahkan msalah itu kepada Allah,
lalu ia berbesar hati dan menunjukkan budi pekertinya yang baik dengan
kesabaran sesuai dengan petunjuk-petunjuk Rasulullah Saw, yang luhur
dalam menanggapi masalah-masalah seperti ini.
Suami sebaliknya harus mengerti atas apa yang diharapkan
isterinya, lalu dia menyebutnya dengan kehangatan dan kelembutan,
sehingga redalah ketegangan dan lenyaplah pertikaian. Diantara cara yang
dapat digunakan salah seorang dan pasangan untuk kepentingan ini adalah
menulis surat permintaan maaf. Atau menelepon suaminya di tempat kerja,
bagi isteri, atau menelepon isterinya di rumah, bagi suami.
Hal itu juga bisa dilakukan dengan berhias dan mempercantik diri,
serta menyuguhkan makanan yang disukai suaminya atau memberi
surprise pada suami. Atau si suami membawakan hadiah untuk isterinya
ketika dia pulang dari tempat kerja. Dalam keadaan seperti ini, wajib bagi
masing-masing untuk tidak terlibat lagi dalam perselisihan sebelumnya,
seolah-olah hal itu belum pernah terjadi. Jika tidak, segala usaha akan
menemukan kegagalan.
Yang paling penting dalam semua peristiwa adalah penyeselan dari
masing-masing pihak atas apa yang telah terjadi. Menyadari dengan penuh
sepenuh hati. Memikirkan semua kesalahan satu persatu. Memastikan
tekad untuk menghilangkan ketegangan sebelum terlambat. Melakukan itu
harus tanpa keraguan, karena nafsu selalu menyuruh kepada keburukan
yang kadang mengalihkan niat baiknya sebelum ia melakukannya, yaitu
dengan mengkaji persoalan dari segala seginya dan membahayakan apa
yang akan terjadi kalau masing-masing tetap mempertahankan egoisnya,
serta dampak-dampak buruk lain yang disebabkan yang kadang
menemukan titik nadirnya pada perceraian, runtuhnya rumah tangga, dan
terlantarnya anak-anak.
3. Menunjuk seseorang yang bijak
Pada saat suami isteri tidak berhasil mencapai kata sepakat atau berbaikan
dengan menghindari setiap pengaruh dari luar demi menjaga kesucian kehidupan
keluarga mereka berdua dan menjauhkan sesuatu yang tidak diperbolehkan
diketahui bahkan oleh orang terdekat mereka, yaitu kehormatan dan rahasia
keluarga, maka tidak boleh tidak mereka mesti berdamai dengan memakai
perantara secara terang-terangan, yang keputusannya dapat mengeluarkan mereka
dari masalah yang mereka berdua hadapi. Agar kata putusan itu diserahkan
kepada seorang hakim agama, atau yang ahli dalam negosiasi. Shulh atau
berdamai ini dilakukan atasa dasar, bahwa persolan-persoalan telah demikian
sulit, dan tangga-tangga untuk mendamaikan perselisihan yang menimpa mereka
berdua tidak bisa dicapai secara mudah.
Biasanya, suami-isteri lalu mengangkat persoalan keluarga mereka kepada
perantara. Yaitu, ketika keduanya gagal untuk mencapai kesepakatan yang
diinginkan, dan keberpalingan (nusyuz) keduanya, atau salah satu keduanya
membahayakan, sampai pada batas keharusan adanya pihak ketiga untuk
menanganinya, sebagaimana yang telah kami sebutkan tadi. Lebih baik masalah
ini segera di bawa ke pengadilan, sebelum isu pertikaian merebak keluar dari
bingkai keluarga, karena hal ini akan membantu meredam fitnah, dan akan
membuat sedikit lebih sulit memecahkannya bagi perantara.
Ayat yang agung di atas menjelaskan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh
seorang perantara tersebut agar ia bisa melaksanakan tugas ini dengan tanggung
jawab. Sifat-sifat itu adalah sebagai berikut :
a. Sifat Adil
Sifat ini mesti dimilki oleh setiap perantara yang dimintai pendapat
dan keputusan dalam sebuah perselisihan, yang keputusannya nanti akan
menjadi putusan dan persoalan yang sedang dipertentangkan. Sifat adil
adalah sifat yang jauh lebih dari keberpihakan pada dua pihakk yang
berselisih. Perantara tidak boleh mengambil keuntungan pribadi dari
perselisihan ini. Kami akan menyimpulkan pernyataan ini dengan
mengungkapkan hendaknya keputusannya itu objektif, sesuai dengan
kerelaan Allah dan kedua belah pihak yang berselisih.
b. Memilki Pengetahuan
Yang dimaksud dengan memiliki pengetahuan dalam konteks ini,
bukanlah seorang perantara harus berada pada level yang tinggi dalam
bidang fiqih dan agama, karena keputusan itu tidak digantungkan pada
ketinggian derajat pengetahuan secara akademis. Hanya saja yang
dimaksudkan, agar ia berada pada tingkat mengetahui syara' dan hukum-
hukum agama, khusunya yang berkenaan dengan masalah perselisihan
yang akan diputuskannya.
Keahlian ini membuatnya credible dan capable : kata-katanya
didengar dan berwibawa, serta diterima oleh masing-masing pihak suami-
isteri yang bertikai.
c. Mempunyai Hubungan Kerabat (Famili)
Kerabat memilki pengertian yang luas; ia bisa berarti masih termasuk
dalam batas yang paling sempit kemudian sanak saudara, lalu suku atau atau
marga. Namun, hal ini juga bisa meluas, dalam konteks wajar, misalnya
hingga menyangkut satu dusun atau satu daerah.
Adapun pengertiannya menurut yang disebutkan dalam ayat di
atas, yang dimaksud adalah, wallahu a'lam: hendaknya perantara atau
penengah tersebut adalah termasuk anggota keluarga yang paling dekat,
jika itu mingkin.
Hikmah di balik persyarakat adanya hubungan famili sangat dalam,
terlalu banyak untuk disebutkan semua dalam pemabahasan ini. Karena:
Pertama, famili dekat akan menjaga kehormatan keluarga dekatnya, dan
tidak akan melakukan sesuatu yang dapat membuka aib atau rahasia-
rahasinya. Pun juga ia adalah orang yang paling mengerti karakter, latar
belakang dan ikhwal-ikhwal mereka berdua, serta memahami konsep yang
benar untuk menciptakan iklim keluarga yang sehat bagi keduanya.
Kedua, dia mesti memilih kata-kata yang baik yang dapat dicerna
dan dipahami oleh keduanya. Artinya, ia menguasai cara untuk
memberikan pemahaman kepada keduanya, dan dia mengerti dari mana
dia akan memulai dan bagaimana dia melaksanakannya.
Ketiga, jangan lupa, bahwa dengan kekerabatan kedua pasangan
akan lebih berani mengutarakan pelik-pelik masalah mereka di
hadapannya dan semua rahasia tentang perselisihan mereka; sesuatu yang
tidak akan mereka lakukan di hadapan seorang hakim yang asing.
Yang segera terbersit dalam benak kita ketika merenungkan ayat ini adalah
perdebatan-perdebatan yang telah terjadi pada para ahli tafsir dan fiqih
berdasarkan pada perkataan-perkataan ulama salaf, yaitu apakah fungsi dua
penengah terbatas pada fungsi pendamai saja ? ataukah sebagai pendamai
sekaligus penemu kelangsungan atau pemutusan tali perkawinan, baik talak atau
khulu', apabila keadaan menuntutnya ? dan apakah keduanya tetap berada dalam
koridor wakil atas pihak suami dan pihak isteri untuk mendamaikan, sehingga
mereka tidak berhak menceraikan kecuali atas izin dari keduanya ? ataukah
keduanya memiliki hak untuk menentukan kebijakan sesuai dengan fungsi
keduanya sebagai penengah perdamaian secara mutlak ?
Para ahli tafsir dan ahli fiqih berbeda pendapat dalam masalah-masalah
tersebut. Mereka memiliki pendapat-pendapat yang mirip dan pendapat-pendapat
tersebut akan disimpulkan sesuai dengan pendapat empat mazhab sebagai berikut
:
• Mazhab Maliki, keputusan yang diambil dua orang penengah terhadap
masalah suami-isteri, sesuai dengan kebijakan keduanya, yaitu talak atau
khulu', adalah sah dan terlaksana tanpa izin dari mereka berdua atau
persetujuan hakim, setelah keduanya menemukan jalan buntu. Apabila
keduanya telah memutuskan perceraian (thalak), maka yang terjadi adalah
talak ba'in.
• Mazhab Syafi'i dan Hambali, mereka berpendapat : dua penengah atau
mediator adalah wakil dari pihak suami dan isteri untuk
berdamai.keduanya tidak memiliki otoritas untuk menceraikan, kecuali
dengan izin dari kedua belah pihak.oleh karena itu, si suami harus terlebih
dahulu memberi izin pada wakilnya untuk bercerai atau berdamai dan si
isteri memberi izin wakilnya untuk khulu' atau berdamai sesuai atas
permintaan masing-masing.
• Mazhab Hanafi berpendapat : dua orang penengah boleh mengangkat
keputusan mereka berdua kepada qadhi (hakim), dan hakimlah yang
berhak menceraikan suami-isteri itu menurut pertimbangannya. Talak itu
adalah talak ba'in, dengan didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.
Oleh sebab itu, sang penengah tidak boleh menceraikan tanpa lenih dahulu
menawarkan tidak boleh menceraikan tanpa lebih dahulu menawarkan
persoalan itu kepada kedua pasangan.
Betapapun pendapat mereka berbeda dalam masalah ini, sesungguhnya hal
itu menunjukkan keinginan yang kuat dan para imam kaum muslimin untuk
mengambil dasar dan kitab Allah yang agung dan petunjuk-petunjuk nabi-Nya
yang luhur. Bagi pihak suami dan isteri, mereka harus menerima keputusan dua
mediator itu, demi kebaikan keduanya dan anak-anak mereka.
Akan tetapi, wajib bagi dua orang penengah, sebelum melontarkan
gagasan untuk mendamaikan, mempelajari dan mendalami lebih dahulu seluruh
penyebab perselisihan yang terjadi antara suami-isteri, dan meneliti sedetail-
detailnya agar hasil dan putusannya itu benar.
Begitulah yang seharusnya dilakukan. Setelah mengetahui semua pelik-
pelik masalahnya secara baik, barulah keduanya menyampaikan gagasan
perdamaian untuk pasangan suami istri dengan segala keikhlasan dan kejujuran,
agar tidak timbul penyesalan dan hasil keputusannya itu, seraya
mempertimbangkan dengan cermat bahwa kelak tidak akan timbul penyesalan dan
hasil keputusannya itu. Selain itu juga mempertimbangkan dengan cermat bahwa
berlarut-larutnya masalah dalam menyelesaiakan pertikaian keduanya akan
menambah persoalan semakin rumit. Kedua penengah tersebut juga mesti
mengingatkan masing-masing akan ikatan kuat yang menjalin mereka berdua
yang tidak dapat dipisahkan oleh menderanya persoalan, egoisme, aturan yang
kaku dan sikap yang salah dari masing-masing pihak.
Oleh karena itu, tetaplah shulh sebagai shulh dalam Islam dan sisi mana
pun adanya. Tetaplah ia dengan kata bersabda (perdamaian : shulh), karena
dengannya kehormatan rumah tangga dan kelangsungan kehidupan keluarga yang
tenang dan bahagia tetap terjaga.25
25 Kamil al-Hayali, Solusi Islam Dalam Konflik Rumah Tangga, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2005), cet. I, h. 64-75
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA
E. Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama
Sebelum membahas tentang harta bersama, ada baiknya kita mengenal
tentang definisi harta perkawinan, karena harta bersama merupakan dampak atau
bagian dari perkawinan itu sendiri.
Harta perkawinan yaitu kesatuan harta yang dikuasai dan dimiliki oleh
suatu keluarga selama perkawinannya.
Selanjutnya dikenal pula istilah harta kekayaan suami istri atau harta
suami istri. Yang dimaksud harta suami istri adalah harta kepunyaan suami istri
yang diperoleh masing-masing sebelum perkawinan (harta bawaan), maupun harta
yang diperoleh mereka selama dalam perkawinan. 26
Pengertian harta bersama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
"kesatuan harta yang dikuasai dan dimiliki oleh suatu keluarga selama
perkawinan". 27
Menurut Thalib, 28
harta perkawinan suami isteri apabila dilihat dari sudut
asal usulnya dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu :
1. Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya sebelum mereka
kawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri atau
disebut harta bawaan.
26 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-
undang Perkawinan dan Hukum Perdata (Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1981), h. 15 27 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia" (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), Cet. Ke-IV, h. 299 28 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1986), Cet. V, h.
83
2. Harta masing-masing suami istri yang dimiliki sesudah mereka berada dalam
hubungan perkawinan, tetapi diperolehnya bukan dari usaha mereka baik
seorang-seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau
warisan untuk masing-masing.
3. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas
usaha mereka berdua atau salah seorang, inilah yang disebut harta bersama.
Di dalam al-Qur'an dan Hadits tidak diatur tentang harta bersama dalam
perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai penuh
olehnya demikian pula sebaliknya, harta suami menjadi milik suami dan dikuasai
sepenuhnya. Dalam kitab-kitab hukum fiqh pun tidak ada yang membicarakan.
Seolah-olah masalah harta bersama kosong atau vakum dalam hukum Islam.
Sedangkan dalam kesadaran kehidupan sehari-hari masyarakat Islam di
Indonesia sejak dari dulu hukum adat mengenalnya dan diterapkan terus-menerus
sebagai hukum yang hidup. Apakah kenyataan ini dibuang dari kehidupan
masyarakat? tentu tidak mungkin, dari pengamatan lembaga harta bersama lebih
besar maslahatnya dari mudharatnya. Atas dasar metodologi maslahah mursalah.
29 "Urf" dan kaidah "al-'Adatu al-Muhakamat". Para ulama melakukan pendekatan
kompromistis kepada hukum adapt. Selain pendekatan kompromistis, Prof Ismuha
dalam disertasinya.30
Telah mengembangkan pendapat pencaharian bersama
suami istri mestinya masuk dalam Ru'bu Muamalah tetapi ternyata secara khusus
tidak dibicarakan, mungkin hal ini disebabkan karena pada umumnya pengarang
29
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah,
1990), h. 84 30 Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri, Ditinjau Dari Sudut Undang-undang
Perkawinan 1974 dan Hukum Adat ( Jakarta : Bulan Bintang, 1986), h. 282
dari kitab-kitab tersebut adalah orang Arab, sedangkan adat Arab tidak mengenal
adanya adat harta bersama, tetapi di sana ada dibicarakan mengenai masalah
perkongsian yang dalam bahasa Arab disebut syirkah atau syarikhah.
Oleh karena itu masalah pencaharian bersama suami istri ini adalah
termasuk pengkongsian atau syarikah maka untuk mengetahui hukumnya, perlu
kita bahas dahulu pengertian perkongsian atau syirkah dan macam-macam
perkongsian serta hukumnya menurut empat mazhab.
Syirkah menurut bahasa adalah percampuran harta dengan harta lain
sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dari yang lain.31
Menurut istilah Hukum
Islam adalah adanya hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu.32
B. Ruang Lingkup Harta Bersama
Dalam realita kehidupan masyarakat selama ini, banyak yang menganggap
bahwa seluruh harta kekayaan yang ada dalam perkawinan secara otomatis
menjadi harta bersama. Karena akad nikah yang telah diucapkan dianggap dapat
mempersatukan segala sesuatu yang dimiliki oleh suami isteri, termasuk masalah
harta kekayaan. Padahal, harta kekayaan dalam perkawinan meliputi harta
bawaan, harta pribadi dan harta bersama yang satu sama lain memiliki status yang
berbeda untuk dimiliki dan dikuasai.
Mengenai harta bersama sendiri, masih perlu pengkategorian yang jelas
mana yang termasuk objek harta bersama dan mana yang bukan. Oleh karena itu,
31 Abdul Rahman al-Jaziri, Kitab Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah (Beirut : Dar al-Fikr,
1991), Jilid 4, h. 61 32
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri, Ditinjau Dari Sudut Undang-undang
Perkawinan 1974 dan Hukum Adat., h. 283
untuk mengetahui bagaimana cara menentukan objek harta bersama suami isteri
dalam perkawinan, diperlukan gambaran mengenai ruang lingkup harta bersama.
Menurut hukum Islam, ruang lingkup harta bersama (syirkah) sebatas
penghasilan yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Demikian juga
dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa harta benda yang diperoleh
selama dalam perkawinan menjadi harta bersama. KHI juga menegaskan bahwa
harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami
isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta
bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Jadi, secara garis besar ruang lingkup harta bersama terbatas pada
penghasilan suami isteri selama masa perkawinan berlangsung. Ini yang difahami
oleh kebanyakan orang. Tetapi menurut Yahya Harahap, untuk menentukan objek
harta bersama tidak sesederhana itu. Menurutnya, ruang lingkup harta bersama
sebagai berikut :
1. Harta yang dibeli selama perkawinan
Setiap barang yang dibeli selama perkawinan maka secara otomatis menurut
hukum, harta tersebut menjadi objek harta bersama suami isteri, tanpa
mempersoalkan siapa yang membeli, terdaftar atas nama siapa dan harta
tersebut terletak dimana. Hal ini berdasarkan putusan Mahkamah Agung
tanggal 5 Mei 1971 No. 803 K/Sip/1970. Dalam putusan ini dijelaskan bahwa
harta yang dibeli atau isteri ditempat yang jauh dari tempat mereka adalah
termasuk harta bersama suami isteri jika pembelian dilakukan selama
perkawinan. 33
Lain halnya jika uang pembeli barang berasal dari harta pribadi suami atau
isteri, maka barang tersebut tidak menjadi objek harta bersama melainkan
menjadi milik pribadi. Hal ini dapat dilihat pada kaidah yang tertuang dalam
putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1975 No. 151 K/Sip/1974. 34
terdapat pula dalam KHI pasal 86 ayat 2 yang menyatakan bahwa harta isteri
tetap menjadi hak milik isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta
suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
2. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta
bersama
Untuk menentukan sesuatu barang termasuk objek harta bersama dapat
ditentukan oleh asal-usul uang biaya pembelian atau pembangunan barang
yang bersangkutan, meskipun barang tersebut dibeli atau dibangun sesudah
terjadi perceraian. Praktek ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung
tanggal 5 Mei 1970 No. 803 K/Sip/1970 yakni apa saja yang dibeli, jika uang
pembelinya berasal dari harta bersama maka dalam barang tersebut melekat
harta bersama meskipun telah berubah wujudnya.
3. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan
Apabila dalam sengketa harta bersama terdapat perbedaan pendapat tentang
suatu harta, apakah termasuk objek harta bersama atau bukan. Maka
33 M. Yahya Harahap, (Mengambil sumber dari Yurisprudensi Jawa Barat 1969-1972, h.
31), Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Peradilan Agama (Undang-undang No 7
Tahun 1989).,(Jakarta : Pustaka Kartini, 1997), Cet ke-3.,h.303 34 Ibid, h. 80
ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa
harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan
berlangsung dan uang pembelinya tidak berasal dari uang pribadi. Dalam
putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Juli 1974 No. 808 K/Sip/1974
ditentukan bahwa masalah atas nama siapa harta terdaftar bukan faktor yang
menggugurkan keabsahan suatu harta menjadi objek harta bersama, asal dapat
dibuktikan tersebut diperoleh selama perkawinan berlangsung dan
pembiayaannya berasal dari harta bersama.
4. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan
Penghasilan yang tumbuh dan berasal dari harta bersama sudah pasti menjadi
harta bersama. Akan tetapi bukan hanya penghasilan yang tumbuh dalam harta
bersama, penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi juga menjadi objek harta
bersama. Dengan demikian, fungsi harta pribadi dalam perkawinan ikut
menopang dan meningkatkan kesahteraan keluarga. Barang pokoknya
memang tidak boleh diganggu gugat, tetapi hasil yang tumbuh dari padanya
jatuh menjadi objek harta bersama. Tentu saja apabila tidak ditemukan lain
dalam perjanjian.
5. Segala penghasilan pribadi suami isteri
Segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh
dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing
pribadi sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama suami isteri. Penegasan
ini berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 11 Maret 1971 No. 454
K/Sip/1970. Penggabungan penghasilan pribadi dengan sendirinya terjadi
menurut hukum Islam, sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.
Dengan demikian, objek harta bersama dapat diketahui bukan hanya sebatas
penghasilan yang diperoleh suami isteri selama perkawinan berlangsung,
tetapi dapat ditentukan lain dengan cara-cara tersebut di atas.
C. Terbentuknya Harta Bersama
Terbentuknya harta bersama dalam perkawinan adalah sejak saat tanggal
terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan bubar. Hal ini tercermin dari
pasal 35 Undang-undang Perkawinan yang menegaskan bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 35
Dengan demikian, harta apapun yang diperoleh terhitung sejak saat
dilangsungkan akad nikah sampai saat perkawinan pecah, baik karena salah satu
pihak meninggal dunia atau karena perceraian, maka seluruh harta tersebut dengan
sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Kecuali jika harta yang
diperoleh berupa warisan atau hibah oleh salah satu pihak. Harta tersebut tidak
termasuk harta bersama, tetapi jatuh menjadi harta pribadi si penerima.
Menurut Sayuti Thaib, harta bersama termasuk pada saat terjadi syirkah.
Adapun terjadinya syirkah dapat melalui cara-cara sebagai berikut :
1. Dengan mengadakan perjanjian syirkah secara tertulis atau diucapkan sebelum
atau sesudah berlangsungnya akad nikah.
35 Ibid., h.299
2. Dengan ditentukan oleh Undang-undang atau peraturan perundang-undangan
lain bahwa harta yang dimaksud adalah harta bersama suami isteri.
3. Berjalan dengan sendirinya. Artinya syirkah dapat terjadi dengan kenyataan
dalam kehidupan sehari-hari suami isteri itu. Cara ketiga ini khusus untuk
harta bersama yang diperoleh atas usaha selama masa perkawinan, di mana
suami dan isteri bersatu dalam mencari hidup dan membiayai hidup.36
Yang menjadi catatan penulis adalah dengan dilakukannya perjanjian
perkawinan sebelum atau sesudah akad nikah, memungkinkan adanya kemudahan
bagi kedua belah pihak baik suami atau isteri untuk mempergunakan haknya atas
harta yang dimilikinya dan memperjelas status harta kekayaan yang ada dalam
perkawinannya. Dengan adanya perjanjian perkawinan terhadap harta bersama itu
terbentuk, dalam wujud apa dan bagaimana pengelolaanya. Sehingga, terhadap
harta bersama tersebut, baik suami atau isteri tidak dapat mempergunakannya
secara pribadi di luar kepentingan rumah tangga.
Perjanjian yang dibuat setelah perkawinan biasanya lebih sulit dilakukan
daripada sebelum perkawinan berlangsung. Apabila sebelumnya tidak ada
perjanjian nikah, isteri hendaknya mengatakan dengan jelas keinginannya untuk
mendapat hibah atau hadiah dari suami, misalnya rumah atau barang-barang lain.
Akan tetapi lebih baik lagi agar semua itu dibuat tertulis dan ada saksi-saksi
sehingga tidak timbul masalah di kemudian hari.
Menurut Dr. Lutfi Fathullah, "Sebetulnya, perjanjian perkawinan bisa
ditetapkan bersama oleh pasangan yang akan menikah, dibuat daftar apa saja yang
36 Sayuti Thaib, , Hukum Kekeluargaan Indonesia.,h. 84-85
mereka ingin jadikan harta bersama, apa yang tetap menjadi milik masing-masing,
apa hak nafkah isteri dari suami, apa kewajiban suami dalam nafkah keluarga, di
dalam perkawinan kelak. Janji nikah tidak perlu seperti selama ini yang sudah
seperti paket." 37
Barangkali hanya segelintir pasangan yang dengan kesadaran bersama
mau menyusun perjanjian pernikahan sebelum mereka memutuskan menghadap
ke penghulu. Karena bagi sebagian orang, perjanjian semacam itu dianggap
menodai ikatan suci pernikahan dan tentu saja tidak ada pasangan yang ingin
bercerai. Padahal, perjanjian pernikahan sebenarnya berguna untuk acuan jika
suatu saat timbul konflik itu akan datang. Ketika pasangan harus bercerai,
perjajian itu juga bisa dijadikan rujukan sehingga masing-masing mengetahui hak
dan kewajibannya.
Dengan demikian, untuk mengantisipasi segala persoalan yang akan terjadi
di kemudian hari, upaya preventif perlu dilakukan oleh pasangan yang hendak
menikah atau baru menikah untuk membuat perjanjian perkawinan secara tertulis
mengenai harta bersama dalam perkawinannya. Karena ada pendapat yang
mengatakan bahwa dengan akad nikah itu saja tidak cukup menjadi patokan
terbentuknya harta bersama, maka lebih baik harta bersama itu terbentuk pada saat
dilakukan perjanjian (syirkah) dalam perkawinan.
D. Kedudukan Harta Bersama Apabila Teradi Perceraian
37 KompasOnline/Jakarta/Buat Perjanjian Dulu Sebelum Mengucapkan "Saya
Terima"/Updated:Senin, 27 Juli 2005, 10:44 WIB diambil Jum'at 15 Februari 2008 pk 20.30 WIB
Mengenai hal ini diatur dalam pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 yaitu : "Bila
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing", yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ditegaskan
dalam penjelasan pasal 37 itu sendiri yaitu : "Hukum agama, hukum adat dan
hukum lainnya".
Dengan demikian, bila perkawinan putus karena perceraian maka
pembagian harta bersama diatur menurut hukum agama bekas suami isteri itu, dan
jika agama mereka tidak mempunyai hukum agama tentang harta bersama, maka
berlakulah hukum adat mereka, dan jika mereka tidak pula mempunyai hukum
adat tentang harta bersama yaitu tidak ada hidup bersama, atau suami isteri
berbeda tingkat kemasyarakatannya. Hal ini bertentangan dengan pasal 1 UU No.
1 Tahun atau pada umumnya bertentangan dengan Demokrasi Pancasila. Seperti
perkawinan "nyaundang kagelung" dalam suku sunda yang berarti isteri lebih
tinggi derajat ekonominya dari suami, bahkan suami dibiayai oleh isteri. Disini
tidak mengenal harta bersama karena tidak sederajat. Ada juga perkawinan
"manggih koyo" yang berarti pihak laki-laki berdarah biru sedang perempuannya
orang biasa, di sini juga tidak menimbulkan harta bersama, dan lain-lain. Maka
untuk hal-hal semacam ini dijalankan hukum tertulis (Hukum Perundang-
undangan) tentang harta bersama yakni Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974.
Apabila penjelasan pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut dihubungkan
dengan ketentuan pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam maka penerapan
hukum Islam soal pembagian harta bersama baik dalam cerai mati maupun cerai
hidup sudah mendapat kepastian positif. Karena baik dalam cerai mati pasal 96
ayat 1 menegaskan : "Separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup
lebih lama". Begitu pula dalam cerai hidup pasal 97 menegaskan "janda atau duda
cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.38
Jadi menurut apa yang dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam
penerapan pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 suami isteri masing-masing berhak
mendapat setengah bagian dari harta bersama apabila perkawinan putus. Tidak
menjadi soal apakah putusnya karena cerai mati atau cerai hidup. Pendirian yang
digarisakan dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut sajalah dengan pandangan
orientasi makna syarikat yang ditentukan dalam hukum Islam. 39
E. Ketentuan Tentang Pembagian Harta Bersama
Mengenai pembagian harta bersama ini, penulis tidak akan menguraikan
secara detail seluruh persoalan yang berkaitan dengan harta bersama karena
terlalu luas cakupannya. Persoalan yang erat hubungannya dengan pembagian
harta bersama seperti pembagian harta bersama yang disebabkan karena
perceraian, perkawinan serial (poligami), kematian, maupun sengketa harta
bersama lain yang mungkin saja terjadi di tengah masyarakat, tentu perlu ada
ruang khusus untuk membahas seluruhnya secara detail. Oleh karena itu, dalam
tulisan ini penulis hanya memberikan gambaran umum mengenai pembagian harta
38 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989), (Jakarta, Pustaka Kartini, 1997), cet. ke 3,h. 308 39 Ibid, h. 280
bersama dari berbagai persoalan tersebut dengan menitikberatkan pada apa yang
terdapat dalam KHI di Indonesia.
1. Pembagian dalam cerai hidup
Penerapan hukum Islam dalam soal pembagian harta bersama baik dalam
cerai mati atau cerai hidup, sudah mendapat kepastian positif. KHI yang tertuang
dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 telah mengaturnya dalam pasal 96 dan 97. Secara
khusus, pasal 97 KHI mengatur tentang pembagian harta bersama dalam hal cerai
hidup yang rumusannya sebagai berikut: Janda atau duda cerai hidup masing-
masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan”.
Dalam rumusan pasal tersebut diatur bahwa suami isteri masing-masing
berhak mendapat setengah bagian dari harta bersama apabila perkawinan pecah
karena perceraian. Menurut Yahya Harahap, pendirian yang digariskan dalam
KHI sejalan dengan pandangan orientasi makna syarikat yang ditentukan dalam
hukum Islam itu sendiri. Oleh karena harta bersama disejajarkan konstruksinya
dengan pengertian syarikat, sehingga suami isteri dianggap bersyarikat atau
berkongsi terhadap harta bersama, adalah patut untuk memberi hak dan bagian
yang sama apabila perkawinan mereka pecah.40
Menurut Drs. Abdul Manaf, MH., harta yang diperoleh selama dalam
ikatan perkawinan dianalogikan dengan harta milik suatu badan usaha atau harta
perserikatan, karena didasarkan pada pandangan bahwa pernikahan bukanlah
suatu adat sepihak, melainkan sebagai akad timbal balik dari kedua belah pihak
40
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989., h. 308
suami dan isteri. Dalam kerangka pikir ini, masing-masing pihak mempunyai hak
dan kewajiban secara timbal balik, yakni saling memberi dan menerima. Dalam
sebuah rumah tangga, yang penting adalah kesepakatan, baik secara tegas maupun
tersirat, bahwa segala kenikmatan dan kerugian yang ditimbulkan dalam
pengurusan rumah tangga harus ditanggung bersama. Atas dasar pemikiran ini,
maka harta yang diperoleh itu dianggap sebagai harta bersama, tanpa
mempersoalkan pihak mana yang paling banyak berperan dalam
mendapatkannya.41
Dengan demikian, secara tegas KHI mengatur ketentuan pembagian harta
bersama bagi masing-masing suami isteri yaitu 50% : 50% tanpa mempersoalkan
siapa yang paling banyak mengupayakan dan terdaftar atas nama siapa harta
bersama tersebut.
2. Pembagian dalam cerai mati
Pasal 96 KHI menyebutkan: “Apabila terjadi cerai mati, maka separoh
harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.” Pertimbangan
rumusan pasal ini sama dengan pembagian harta bersama dalam hal cerai hidup,
yakni akad nikah menyerupai perkongsian dalam bidang muamalat, sehingga
selama hidup berumah tangga, antara suami isteri membangun perekonomian
keluarga secara bersama-sama. Oleh karena itu, masing-masing suami isteri
berhak mendapat setengah bagian dalam pembagian harta bersama yang
dihasilkan selama perkawinannya itu.
41
Abdul manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Isteri dalam
Perjanjian Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung, (Bandung, Mandar Maju, 2006), cet.
ke 1, h. 68
Hanya saja, pembagian harta bersama dalam keadaan cerai mati bisa
menimbulkan banyak permasalahan yang memerlukan penerapan tersendiri.
Permasalahan yang dimaksud antara lain:
3. Cerai mati tanpa anak
Dalam hal cerai mati tanpa ada anak yang dilahirkan dalam perkawinan,
penerapannya berdasar hukum adat terdapat beberapa variasi. Jika suami mati
meninggalkan isteri tanpa anak, maka ada yang berpendapat bahwa harta bawaan
suami maupun harta bersama jatuh menjadi warisan janda yang ditinggalkan.
Paling tidak, si janda berhak untuk menguasai dan menikmati selama dia hidup
atau selama dia belum kawin dengan lelaki lain.42
Pendapat lain yang lebih bersifat tuntas mengatakan bahwa selesaikan
dengan segera pembagian harta bersama antara janda dengan ahli waris mendiang
suami. Cara yang demikian terasa lebih adil dan lebih sesuai dengan ajaran Islam
yang menyuruh penyelesaian harta peninggalan (tirkah) sesegera mungkin pada
saat harta peninggalan telah terbuka untuk dibagi.43
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam menghadapi kasus harta
bersama dalam suatu perkawinan yang tidak dikaruniai anak, apabila perkawinan
pecah karena salah satu meninggal dunia, lebih baik segera lakukan pembagian
antara pihak yang masih hidup dengan ahli waris pihak yang meninggal tanpa
mempersoalkan pihak mana yang lebih dulu meninggal.
3. Cerai mati ada anak
42
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989., h. 309 43 Ibid
Dalam bunyi putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Agustus 1959 No. 258
K/Sip/1959 disebutkan bahwa dalam kasus cerai mati dengan meninggalkan
keturunan, baik isteri (janda) maupun anak-anak dapat menuntut pembagian harta
bersama.44
Pada prinsipnya, pembagian harta bersama dalam keadaan cerai mati ada
anak boleh dikatakan tidak menimbulkan permasalahan yaitu setengah bagian
menjadi hak janda/duda dan yang setengah bagian lagi menjadi hak ahli waris
mendiang suami/isteri sebagai tirkah.
Tetapi, permasalahan muncul dari kekakuan hukum adat yang pada
umumnya masyarakat merasa tabu untuk segera memecah harta bersama antara
janda atau duda dengan anak-anak mereka. Harta bersama tetap dijadikan utuh di
bawah kekuasaan ayah atau ibunya. Padahal ini akan berakibat kemalangan bagi
anak-anak di kemudian hari, yaitu apabila ayah atau ibunya menikah lagi dengan
orang lain. Permasalahan semakin kompleks ketika rumah tangga kedua juga
bersengketa dalam masalah harta bersama apalagi telah lahir anak-anak dari
perkawinan itu. Dalam hal ini, pembagian harta bersama sesegera mungkin
setelah adanya kematian lebih diutamakan untuk meghindari kasus-kasus seperti
itu.
4. Pembagian dalam perkawinan poligami
Dalam pasal 94 ayat (1) dan (2) KHI dirumuskan mengenai bentuk harta
bersama dalam perkawinan serial atau perkawinan poligami, yaitu (1) Harta
bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari
44 Ibid, h. 311
seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri; (2) Pemilikan harta bersama
dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang
sebagaimana ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang
kedua, ketiga atau keempat.45
Ketentuan pembagian harta bersama dalam perkawinan serial atau
poligami mengandung beberapa asas, yaitu pertama, dalam perkawinan serial atau
poligami terbentuk beberapa paket harta bersama. Artinya, berapa jumlah paket
harta bersama dimaksud, tergantung pada berapa banyak isteri yang dikawini oleh
suami. Kedua, terwujudnya harta bersama terhitung mulai tanggal perkawinan
dilangsungkan. Maksudnya, tiap paket harta bersama dihitung sejak pernikahan
dilangsungkan dan berakhir dengan putusnya perkawinan. Ketiga, masing-masing
harta bersama tersebut terpisah dan berdiri sendiri. Maksudnya, dalam perkawinan
serial atau poligami tidak ada penggabungan antara satu paket dengan paket yang
lainnya, sehingga harta bersama antara suami dengan isteri pertama, kedua, dan
seterusnya masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.46
Dalam hal pembagiannya, tidak berbeda dengan perkawinan monogami,
artinya masing-masing suami isteri berhak atas seperdua bagian harta bersama,
hanya saja dalam perkawinan serial atau poligami terlebih dahulu harus
dipisahkan hartanya secara paket dan sejak kapan lahirnya harta bersama perpaket
45
Pengadilan Tinggi Agama Bandung, Pengadilan Tinggi Agama Bandung, Instruksi
Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dilengkapi
dengan UU No. 7 Tahun 1989, UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975, Bandung, PTA,
1996/199., h. 46-47 46
Abdul Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Isteri dalam
Perjanjian Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung , h. 65
tersebut. Sehingga, dalam pembagiannya tidak ada saling tumpang tindih dan
terjadi perebutan harta bersama antara isteri yang satu dengan isteri yang lainnya.
BAB IV
PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR
TENTANG GUGATAN PERCERAIAN KUMULASI
DENGAN HARTA BERSAMA
A. Gambaran Umum tentang Pengadilan Agama Jakarta Timur
Sejarah terbentuknya Pengadilan Agama Jakarta Timur berkaoitan erat
dengan sejarah pembentukan pengadilan agama pada umumnya terutama di
wilayah daerah khusus ibukota Jakarta. Secara khusus sejarah terbentuknya
Pengadilan Agama ke;as IA Jakarta Tumur adalah berdasarkan keputusan Menteri
Agama RI Nomor 67 TAHUN 1963 JO nomor 4 tahun 1967, adapun secara
kronologis saat-saat terbentuknya Pengadilan Agama Jakarta Timur sevagai
berikut;
a. Pada saat itu pengadilan Agama di Jakarta ini hanya memiliki satu
pengadilan Agama yaitu Pengadilan Agama Istimewa jakarta Raya yang
dibantu 2 (dua) kantor cabang Pengadilan agama Jakarta tengah.
Kemudian seiring dengan bertambahnya warga Ibu kota ini, sehingga
terbitlah keputusan menteri Agama nomor 67 tahun 1963 yang berbunyi
antara lain “ membubarkan kantor-kantor cabang pengadilanagama
(bentuk lama) dalam daerah khusus ibukota Jakarta Raya”.
b. Pada tahun 1966 Gubernur Kepada Daerah khusus ibukota Jakarta melalui
keputusan nomor 1b 3/1/1/1966 tanggal 12 Agustus 1966 membagi ibu
kota negara ini menjadi 5 (lima) wilayah yurisdiksi dengan sebutan kota
administrasi.
Dengan pembentukan kota administratif tersebut secara yuruidis formil
keberadaan pengadilan agama istimewa berikut 2 (dua) kantor cabangnya
dipandang sudah tidak aspiratuif lagi melayani kepentingan masyarakat pencari
keadilan yang berdomisili di 5 (lima) wilayah. Untuk itu kepala inspektorat
pengadilan agama menyambut baik kebijakan gubernur secara secara mengajukan
nota usul kepada Direktorat Pengadilan Agama melalui surat nomor B/I/100
tanggal 24 Agustus tentang usul pembentukan kantor cabang pengadilan agama
dalam daerah khusus ibujoa Jakarta Raya sesuai dengan pembagian 5 (lima)
wilayah administrasi yang baru dibentuk.
Dengan rekomendasi tersebut Direktur pengadilan agama meneruskan nota
dimaksud kepada menteri aama RI dengan suratnya Nomor B/I/1049 tanggal 19
September 1966 tentang persetujuan atas usu kepala inspektorat pengadilan
agama. Kedua surat pejabat teras pengadilan agama tersebut menjadi bahan
pertimbangan keputusan menteri agama RI Nomor 4 tahun 1967 tentang
perubahan kantor-kantor cabang pengadilan agama dalam daerah khusus ibukota
Jakartra Raya tanggal 17 Januari 1967 yang berbunyi sebagai berikut;
1. Membubarkan kantor-kantor cabang pengadilan agama (bentuk lama)
dalam daerah khusus ibukota Jakarta raya yaitu;
a. Kantor cabang pengadilan agama jakarta utara dan
b. Kantor cabang pengadilan agama Jakarta Barat
2. Membentuk kantor-kantor cabang pengadilan agama yang baru
sederajat/setara dengan kantor pengadilan agama tingkat II, yaitu;
a. Kantor caban pengadilan agama Jakarta Utara
b. Kantor cabang pengadilan agama Jakarta Barat
c. Kantor cabang pengadilan agama Jakarta Selatan dan
d. Kantor cavang pengadilan agama Jakarta Timur
Akhirnya nomor 1b 3/I/I1966 tanggal 12 Agustus 1966, maka pada tanggal 18
Februari 1967 diresmikan sebutan maupun operasional pengadilan agama Jakarta
Timur menjadi sebagai berikut;
a. Pengadilan Agama Jakarta Pusat
b. Pengadilan Agama Jakarta Utara
c. Pengadilan Agama Jakarta Barat
d. Pengadilan Agama jakarta Selatan
e. Pengadilan Agama Jakarta Timur
Pengadilan Agama Jakarta Timur dibentuk dan berdiri berdasarkan
keputusan menteri agama RI nomor 4 tahun 1967 tanggal 17 Januari 1967, pada
saat itu munculnya sebutan pengadilan agama Jakarta Timur di wilayah hukum
DKI Jakarta bermula dari sebuah proses ketika lembaga pengadilan agama di
wilayah hukum DKI Jakarta diberi nama Pengadilan Agama Jakarta Timur, lalu
pada saat yang bersamaan lahir pula pengadilan agama lain yang berkedudukan
di 4 (empat) wilayah hukum DKI Jakarta dalam lingkungan pengadilan agama
Jakarta Timur, yaitu;
a. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
b. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat
c. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara dan
d. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Secara jelas disebutkan dalam keputusan tersebut bahwa pengadilan
agama yang terletak di jantung Ibu kota negara RI memiliki
keistimewaan yaitu double atau peran ganda yaitui di satu sisi sebagai
kantor induk dari 4 (empat) pengadilan agama yag berada di 4 (empat)
wilayah yurisdiksi yang mengelililnganya, sedangkan pada sisi yag
lain dalam operasionalnya adalah juga pengadilan agama yang
berkedudukan di wilayah kekuasaan kota Jakarta Pusat.
B. Kronologis Perkara
Perkara dengan nomor 991/Pdt.G/2005/PAJT antara Jusnita binti
Yusmanti sebagai Penggugat konvensi/Tergugat Rekonvensi melawan
Lukman Hariyanto bin Salim sebagai tergugat Konvensi/Penggugat
rekonvensi.
Kejadian bermula pada hari minggu tanggal 1 Juni 1987 dengan
dilangsungkannya akad nikah antara mereka dan setelah itu keduanya telah
bercerai di Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan nomor akta cerai
714/2004/PAJT, akan tetapi dalam putusan cerai tersebut belum ada putusan
masalah harta bersama.
Adapun yang menjadi sengketa harta bersama adalah tanah dan
bangunan di kecamatan Jatinegara Rt 01/01 seluas 65 m2, sebidang tanah
seluas 4210 m2 di Cisarua, Tanah kavling seluas 297 m2 di jl Raya Bekasi
Km 24 Cakung, Tanah dan Bangunan di Bintara Blok C 16 , Sebuah mobil
kijang tahun 200 No Pol B 1836 JL, Sebuah mobil mitsubishi Colt Diesel
tahun 1989 dengan No Pol B 9863 DM, Isuzu Panther tahun 1996 No Pol B
9646 BR, Mobil Isuzu Panther tahun 1996 No Pol B 1731 PH.
Menurut Penggugat, seluruh harta tersebut berada di tangan
tergugat, dan penggugat merasa kawatir atas harta bersama tersebut,
karenanya penggugat meminta agar harta tersebut yang didapat selama
perkawinan agar dibagikan setengahnya 50 % antara penggugat dan tergugat,
serta penggugat memohon agar harta itu disita untuk menjamin keamanan
harta selama proses persidangan.
Tergugat dalan jawabannya membantah bahwa seluruh harta di
atas adalah harta bersama dan dikuasai oleh tergugat, sebab dalam
kenyataannya semua harta bersama tersebut tidak satupun berada pada
tergugat, kecuali mobil kijang tahun 2000 warna hijau metalik dengan No Pol
B 1936 JL, dan itupun belum selesai cicilannya.
Begitu pula tergugat konvensi mendalilkan bahwa antara
penggugat dan tergugat sebenarnya masih ada hutang usaha kepada produsen
mainan/importir sejumlah Rp 150.000.000,- dan menggadaikan BPKB mobil
kepada pihak ketiga sejumlha Rp. 95.000.000,-.
Tergugat juga menyampaikan bahwa masih ada harta bersama
yang diperoleh penggugat dan tergugat berupa 1 unit usaha di Jl Pintu Pasar
Timur No. 14B Rt 010/04 Balimester, 2 unit toko yang terletak di Jl RE
Martadinata Ciputat, 1 Unit Apartemen Taman Anggrek, dan 1 unit rumah
yang terletak di Blok A No. 18 Komplek Perumahan Mediterania.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, masing-masing pihak mengajukan
alat bukti berupa potokopi akta cerai serta surat-surat tanah maupun kendaraan
bermotor.
Begitu pula dihadirkan saksi-saksi untuk menguatkan dalil masing-
masing pihak seperti penggugat menghadirkan Atis Gustina Bin HM Nafis
yang merupakan teman penggugat, dan dalam keterangannya saksi
mengetahui antara penggugat dan tergugat memiliki dua buah toko di jl pintu
air timur no. 10 dan di depan pintu pasar timur No 14 bentuknya ruko.
Saksi kedua Angelina binti Aji Yusmanto menerangkan bahwa
saksi mengetahui penggugat dan tergugat mempunyai tanah di Sukabumi
seluas 4000 m2 namun saksi tidak mengetahui proses jual belinya.
Pada saat pembuktian pihak tergugat tidak mengajukan bukti saksi-
saksi meskipun sudah diberikan kesempatan oleh Majelis Hakim.
B. Pertimbangan dan Putusan Majelis Hakim
Majelis Hakim pengadilan agama Jakarta Timur menimbang bahwa
terbukti antara penggugat dengan tergugat telah terjadi perceraian sesuai
dengan putusan No. 565/Pdt.G/2004/PAJT tanggal 4 Agustus 2008. Hal ini
memang tidak dibantah oleh Penggugat maupun tergugat.
Sejak terjadinya perceraian memang masalah harta bersama belum
diselesaikan, karenanya majelis hakim memandang bahwa ketentuan pasal 86
ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 jo Undang-Undang No 3 tahun 2006 yang
menegaskan bahwa harta bersaa (gono-gini) dapat diajukan sesudah putusan
perceraian memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena itu gugatan
penggugat tidak bertentangan dengan ketentuan tersebut.
Majelis Hakim juga menimbang bahwa sertifikat HGB No. 58
kelurahan Balimester dengan ketentuan bukti potokopi telah cukup menjadi
alat bukti . Adapun obyek tanah di 4210 di kampung Citawali dan di
Sukabumi seluas 242 m2, dan tanah si Taman Lestari serta sebidang tanah
kavling seluas 297 m2 di perumahan Taman Modern dan tanah yang terletak
di Jalan Bintara Blok C 16 Rt 001/01, keluarahan Bintara ditetapkan sebagai
harta bersama antara penggugat dan tergugat.
Sedangkan sebuah mobil kijang LG tahun 2000 warna biru metalkik
No Pol B 1836 JL majelis hakim juga memandang sebagai harta bersama. Dan
masing-masing berhak mendapat 1 bagian.
Majelis hakim sebaliknya menimbang masalah hutang sejumlah Rp.
95.000.000,- tidaklah menjadi hutang bersama, disebabkan ketika terjadi akad
hutang piutang penggugat tidak diberitahu proses tersebut.
Adapun mobil Isuzu Panter No Pol B 9646 BR menjadi harta bersama
didasarkan pengakuan tergugat dan Isuzu panther No. Pol 1731 PH dibantah
oleh tergugat dengan dalil mobil itu milik orang lain dan tidak dibantah oleh
penggugat maka harus ditolak sebagai harta bersama.
Berdasarkan fakta dan pertimbangan di atas, maka majelis hakim
memutuskan bahwan tanah dan bangunan yang terletak di Jl Pintu pasar timur
No. 10, sebidang tanah seluas 4210 M2 di Kampung Ciawi tali, sebidang
tanah seluas 297 m2 di Taman modern Cakung dan di Jln Bintara Blok C 16
serta mobil Kijang tahun 2000 dan mobil isuzu Kijang tahun 1996 warna biru
Bo Pol B 9346 BR, kesemuanya menjadi harta bersama.
Majelis hakim menghukum penggugat dan tergugat untuk melakukan
pembagian harta bersama tersebut dan menyerahkan bagian masing-masing
dan apabila tidak dapat dibagi secara fisik maka dapat dilelang dimuka umum
dan hasilnya di bagi untuk penggugat dan tergugat.
C. Analisis Penulis
Seputar harta gono gini dalam Islam dan Hukum di Indonesia
Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya penulis ingin menganalisa
masalah gugat cerai dihubungankan dengan harta bersama dalam perspektif
hukum Islam. Dalam perspektif hukum Islam masalah cerai sudah diatur
dalam al-Qur’an dalam surat at-Thalaq ayat 2 yang membuat pilihan bagi
suami untuk menjalin rumah tangga kembali dengan isterinya atau melepaskan
ikatan suami isteri tersebut.
Dalam sistem hukum di Indonesia dikenal 2 (dua) istilah cerai yaitu cerai
talak yang datang dari suami dan diistilahkan dengan permohonan berdasarkan
ketentuan pasal 66 UU No. 7 tahun 1989 Jo UU No. 3 tahun 2006. serta
cerai yang datang dari isteri yang dikenal dengan istilah cerai gugat sesuai
dengan ketentuan pasal 73 UU No. 7 tahun 1989 Jo UU No. 3 tahun 2006.
Perkara nomor 991/Pdt.G/2005/PAJT di Pengadilan agama Jakarta Timur
adalah perkara yang terkait dengan akibat perceraian yaitu masalah harta
bersama. Dalam perkara ini penggugat yang bernama Jusnita mengajukan
gugatan harta bersama karena pada saat gugat cerai diajukan harta bersama
belum menjadi tuntutan. Dan pihak pengadilan agama menerima gugatan
tersebut. Penulis membenarkan prihal penerimaa perkara tersebut, karena
ketentuan pasal 66 ayat (5) UU No. 7 tahun 1989 Jo UU No 3 tahun 2006
yang membenarkan komulasi gugatan cerai dengan harta bersama dan dapat
diajukan bersama-sama atau setelah terjadinya perceraian.
Namun demikian, untuk menentukan apakah gugatan harta bersama isteri
tersebut dapat diterima atau tidak tergantung dari proses yang dilalui sudah
sesuai prosedur beracara di pengadilan atau belum termasuk dalam hal ini
adalah proses pembuktian yang merupan keharusan dalam sistem hukum
acara yang dianut di Indonesia yaitu pasal 163 HIR yang mengharuskan setiap
orang yang merasa memiliki hak dapat mengajukan bukti bahwa dia terbukti
memiliki hak tersebut.
Prihal pembuktian ketentuan hukum di Indonesia mendasarkan pada pasal
164 HIR yang mencantumkan alat bukti berupa surat, saksi, persangkaan,
sumpah. Dalam kasus di atas antara Jusnita dengan Lukman Hariyanto hakim
mendasarkan proses pembuktian kepada Surat-surat terlebih dahulu baru
kemudian saksi-saksi.
Ada beberapa objek yang diminta oleh penggugat seperti tanah, motor dan
mobil yang memang terbukti harta tersebut hasil dari harta bersama, maka
majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat Jusnita binti Yusmanto. Akan
tetapi majelis hakim juga menolak gugatan balik dari tergugat agar hutang
yang dimilikinya juga menjadi hutang bersama.
Penulis memandang bahwa putusan hakim tersebut dari segi hukum
formal sudah sesuai dengan ketentuan, karena mendasarkan proses
pembuktian dari surat dan saksi-saksi. Memang dalam konsep hukum formil
saksi itu haruslah menganut azas testimonium de auditu atau saksi harus
mengetahu secara langsung pristiswa tersebut secara langsung maupun tidak
langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Suma, M., Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet. Ke I, h. 3-4
Al-Imam Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani Ash Shan'ani, Subul al-Salam, juz 3,
(Kairo, Dar Ihya al-Turas al-Araby, 1379 H/1960 M), h. 109
Al-Imam Hafidz Abi Daud Sulaeman, Sunan Abi Daud, (Kairo, Dar al-Harin, 1988 M/1408 H), juz 2,
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Maktabah al-Dakwah al-
Islamiyah, 1990)
Abdul Rahman al-Jaziri, Kitab Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah (Beirut : Dar al-
Fikr, 1991), Jilid 4
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta, PT
Kencana Prenada Media Group, 2006), cet. Ke-I
Abdul Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Isteri dalam
Perjanjian Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-
undangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung, Mandar Maju, 1990), h. 2
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2000), ed. Ke-1, cet. Ke-4
Anton M. Moeliono dkk, (ed), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1990), Cet. Ke-4, h. 164
Ahmad Warson Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia, (Yogyakarta : Unit
Pengadaan Buku-Buku Keagamaan, 1984
A.Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974),
Cet. Ke-2
Afifah Pujihastuti, Karena Istri Ingin Dimengerti, (Sukoharjo : Samudera, 2006),
cet. I,
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Terjemah, (Bandung : PT Al-Ma'arif, 1996), Cet. Ke-
2, Jilid
Ibnu Mas'ud dan Zainal Abidin S, Fiqih Madzhab Syafi'I (Edisi Lengkap),
(Bandung, CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1
Kamil al-Hayali, Solusi Islam Dalam Konflik Rumah Tangga, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2005)
KompasOnline/Jakarta/Buat Perjanjian Dulu Sebelum Mengucapkan "Saya Terima"/Updated:Senin, 27 Juli 2005, 10:44 WIB diambil Jum'at 15
Februari 2008 pk 20.30 WIB
Pengadilan Tinggi Agama Bandung, Pengadilan Tinggi Agama Bandung,
Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia dilengkapi dengan UU No. 7 Tahun 1989, UU No. 1
Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975, Bandung, PTA, 1996/199., h. 46-47