pegadaian proposalku
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan perekonomian dan dunia bisnis akan selalu diikuti oleh perkembangan
kebutuhan akan kredit, dan pemberian fasilitas kredit yang selalu memerlukan jaminan, hal ini
demi keamanan pemberian kredit tersebut dalam arti piutang yang meminjamkan akan terjamin
dengan adanya jaminan. Dalam konteks inilah letak pentingnya lembaga jaminan itu. Bentuk
lembaga jaminan, sebagian besar mempunyai ciri-ciri internasional yang dikenal hampir di
semua negara dan perundangundangan modern, yaitu bersifat menunjang perkembangan
ekonomi dan perkreditan serta memenuhi kebutuhan masyarakat akan fasilitas modal. Lembaga
jaminan, tergolong bidang hukum yang bersifat netral, karena tidak mempunyai hubungan yang
erat dengan kehidupan spiritual dan budaya bangsa. Sehingga terhadap bidang hukum yang
demikian, tidak ada keberatannya untuk diatur dengan segera. Karena jika dilihat, peraturan-
peraturan hukum yang bertalian dengan lembaga jaminan tersebut di Indonesia pada umumnya
sudah usang. Sedikit sekali peraturan yang mengalami perubahan sejak pembentukannya
sebagaimana dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan-peraturan
khusus lainnya, misalnya hipotik dan crediet verband. Gadai merupakan lembaga jaminan yang
telah sangat dikenal dan dalam kehidupan masyarakat, dalam upayanya untuk mendapatkan dana
guna berbagai kebutuhan. Pegadaian adalah sebuah BUMN di Indonesia yang usaha intinya
adalah bidang jasa penyaluran kredit/pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai.
Salah satu lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman pada masyarakat ialah
Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian, apabila masyarakat inginmendapatkan pinjaman maka
1
masyarakat harus memberikan jaminan barang kepada perum pegadaian. Melihat perkembangan
ekonomi Islam maka perum pegadaianpun mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut
dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik
seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat
tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh
imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah “rahn”,
dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi
hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhum bih (pinjaman nya) mempunyai tujuan
yang berbeda-beda misalnya, untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal
kerja, namun penggunaan metode mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya
pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI).
Dewan Syariah Nasional, “Briefcase Book Edukasi Profesional Syariah Mengatasi
Masalah dengan Pengadaian Syariah”, Renaisan, I (oktober, 2005),hlm 17 Manfaat yang bisa
didapatkan oleh masyarakat melalui pegadaian syariah, antara lain ; Pertama, proses yang cepat.
Dalam pegadaian syariah, nasabah dapat memperoleh pinjaman yang diperlukan dalam waktu
yang relatif cepat, baik proses administrasi, maupun penaksiran barang gadai. Kedua, caranya
cukup mudah, yakni hanya dengan membawa barang gadai (marhun) beserta bukti
kepemilikannya. Ketiga, jaminan keamanan atas barang diserahkan dengan standar keamanan
yang telah diuji dan diasuransikan, dan sebagainya.
2 Pada dasarnya dapat diketahui bahwa untuk memperoleh pinjaman (marhun bih) maka
si peminjam (rahin) harus memberikan harta/barang yang dijadikan jaminan (marhun) kepada
penerima gadai dalam hal ini pihak pegadaian (murtahin), namun apabila diakhir perjanjian
2
gadai ini rahin telah memenuhi semua kewajibannya, maka barang yang dijaminkan akan
kembali kepada rahin.
Meskipun tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sistem hukum Islam yang digunakan dalam
operasional pegadaian syariah memiliki banyak kelebihan dan keunggulan dibandingkan sistem
hukum yang tidak berbasis syariah namun hal ini tidak menutup kemungkinan akan timbulnya
masalah di pegadaian syariah.
Sejarah Pegadaian dimulai pada saat Pemerintah Belanda (VOC) mendirikan BANK
VAN LEENING yaitu lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan sistem gadai, lembaga
ini pertama kali didirikan di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746. Pegadaian sudah beberapa
kali berubah status, yaitu sebagai Perusahaan Negara (PN) sejak 1 Januari 1961 kemudian
berdasarkan PP.No.7/1969 menjadi Perusahaan Jawatan (PERJAN) selanjutnya berdasarkan
PP.No.10/1990 (yang diperbaharui dengan PP.No.103/2000) berubah lagi menjadi Perusahaan
Umum.
Dalam perkembangannya kemudian Perum Pegadaian mengembangkan gadai dengan
sistem syariah. Bagi Perum Pegadaian, bisnis syariah merupakan peluang yang tidak bisa
dilewatkan begitu saja. Apalagi, mayoritas warga Indonesia yang memanfaatkan jasa pegadaian
adalah Muslim. Sistem gadai syariah diberlakukan mulai Januari 2003 lalu. Diharapkan, sistem
ini akan memberikan ketenangan bagi masyarakat dalam memperoleh pinjaman tanpa bunga dan
halal.
Kehadiran lembaga pegadaian di Indonsia bukanlah hal yang asing lagi. Bahkan lembaga
ini menjadi sangat populer dikalangan masyarakat (khususnya Jakarta), ketika menjelang lebaran
3
tiba. Sudah merupakan tradisi bagi pemudik di ibukota untuk menggadaikan barang berharga
mereka menjelang bulan syawal.
Dengan menitipkan emas, kendaraan bermotor atau barang berharga lainnya sebagai
jaminan atas uang yang dipinjam, keinginan untuk bertemu sanak saudara dikampung dengan
kerinduan yang sangat pun terobati. Bukan tanpa alasan karena disaat ongkos dan harga
kebutuhan untuk oleh-oleh yang semakin menggila yang tidak lagi dapat diatasi oleh gaji
maupun pendapatan selama di Jakarta, maka pegadaian merupakan alternatif yang dapat
menjawab tersebut.
Sekilas lembaga ini memang terlihat sangat membantu. Dan tentu saja dengan
menyuarakan motto “ mengatasi masalah tanpa masalah”-nya, lembaga ini berhasil menafsir dan
mencitrakan dirinya di mata masyarakat sangat baik. Akan tetapi, disadari atau tidak ternyata
dalam prakteknya lembaga ini belum dapat terlepas dari persoalan.Dengan berkaca mata pada
syariat islam, ketika perjanjian gadai ditunaikan terdapat unsur-unsur yang dilarang syariat. Hal
ini dapat terlihat dari praktek gadai itu sendiri yang menentukan adanya bunga gadai, yang mana
pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Dan tentu saja pembayarannya haruslah tepat
waktu karena jika terjadi keterlambatan pembayaran, maka bunga gadai akan bertambah menjadi
dua kali lipat dari kewajibannya.Bukan hanya riba, ketidak jelasan (gharar), dan qimar juga ikut
serta menghiasi aktifitas lembaga ini. Yang secara jelas terdapat kencenderungan merugikan
salah satu pihak.
Memang hal ini tidaklah terlalu diperhatikan oleh masyarakat. Tetapi, ketika mereka
terjebak dengan bunga yang membengkak serta ketidak sanggupan uintuk membayar,maka di
sinilah masalah letak permasalahan itu muncul.Oleh karena itu, berangkat dari uraian yang telah
4
dikemukakan di atas,maka saya selaku penulis membuat esai ini dengan maksud untuk
menganalisa dan memberikan sebuah solusi dengan pendekatan fiqh islam sebagai jawaban atas
ketidak syari’an atas praktek pegadaian saat ini.
Berdasarkan pokok pikiran tersebut, penulis ingin melakukan suatu kegiatan penelitian
secara ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “ANALISIS PEGADAIAN SYARIAH (AR-
RAHN) DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM, FIQH MUAMALAH DAN
MASYARAKAT KOTA JAMBI”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas maka penulis akan mengidentifikasi
masalah yang ada yaitu:
1. Apa definisi dari gadai menurut konvensional dan syari’at Islam?
2. Bagaimakah pelaksanaan gadai dengan sistem syariah di Perum Pegadaian Jambi?
3. Bagaimana pandangan syari’at Islam terhadap gadai?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1.4. Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui pelaksanaan gadai dengan sistem syariah di Perum Pegadaian Jambi.
5
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi para pihak dalam pelaksanaan gadai dengan
sistem syariah di Perum Pegadaian Jambi.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan eksekusi dari gadai dengan sistem syariah apabila terjadi
wanprestasi.
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahanmasukan pengembangan
ilmu pengetahuan di bidang Hukum Jaminan yang terkait dengan pelaksanaan gadai dengan
sistem syariah.
2. Kegunaan Praktis
Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berharga bagi
berbagai pihak yang terkait dalam pelaksanaan gadai dengan sistem syariah.
3. Kegunaan Bagi Peneliti
Sebagai sarana untuk mengaplikasikan berbagai teori yang diperoleh.Menambah
pengalaman dan sarana latihan dalam menganalisis serta memecahkan masalah-masalah yang
ada di masyarakat. Sebagai sarana untuk menambah wawasan peneliti terutama yang
berhubungan dengan bidang kajian yang ditekuni selama ini.
6
Kerangka Pemikiran
3. Pemberian utang
2. Akad Rahn
7
Marhin bin
(utang)
Murtahin (pihak yang menerima
Rahin (pihak yang menggadaikan)
Akad baru Marhun (objek
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Gadai Konvensional dan Gadai Syariah
1. Pengertian Gadai Konvensional
Mengutip pendapat Susilo (1999), pengertian pegadaian adalah suatu hak yang diperoleh
seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut
diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang
lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut memberikan
kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah
diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi
kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang
atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan
barang tersebut bisa dijual jika orang yang berpiutang tidak mampu melunasi utangnya pada saat
jatuh tempo.Sedangkan pengertian Perusahaan Umum Pegadaian adalah suatu ban usaha di
Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan
berupa pembiayaan dalambentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.
2. Pengertian Gadai Syariah
Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan al-tsubut wa al-
dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi arti al-hab (tertahan). Sedangkan
definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam
8
pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh
atau sebagaian utang dari benda itu.
Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan atas
suatu manfaat barang yang diagunkan. Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan
rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat“,
ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu barang sebagai jaminan
terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya
maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad
yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang
apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya.
Dalam bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003) mengutip pendapat
Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang mendefenisikan rahn
sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat
dibayarkan dari (harga) benda itu bilautang tidak dibayar.” Sedangkan menurut Ahmad Baraja,
rahn adalah jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan
bisnis, jual beli mitra.
Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al-Mughni adalah sesuatu
benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang
berhutang tidak sanggup membayarnya dari yang berpiutang.
9
Dari ketiga defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang piutang
dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai
jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.
B. Landasan Hukum Gadai Konvensional dan Gadai Syariah
1. Landasan Hukum Gadai Konvensional
Pada awalnya lembaga pegadaian pertamakali didirikan pada tanggal 1 April 1901. Tetapi
seiring dengan perkembangan zaman, pegadaian beberapakali berubah status mulai sebagai
Perusahaan Jawatan (1901), Perusahaan di bawah IBW (1928),Perusahaan Negara (1960),dan
kembali ke perusahan jawatan 1969. baru sekitar tahun 1990 dengan lahirnya PP10/1990 tanggal
10 April 1990, sampai dengan terbitnya PP103 tahun 2000, pegadaian berstatus sebagai
Perusahaan Umum dan masuk sebagai salah satu BUMN dalam lingkungan Dep. Keuangan RI.
hingga sekarang.Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 pasal 6, dijelaskan bahwa sifat
usaha pegadaian adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus
memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Sedangkan isi pasal
7,dijabarkan:(1) Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golonganmenengah ke
bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.(2) Menghindarkan masyarakat dari
gadai gelap,praktek riba dan pinjaman tidak wajar.
2. Landasan Hukum Gadai Syariah
Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada
al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai.
10
Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang
menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan
menjadikan baju besinya sebagai jaminan.
Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi
yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur) ulama, ada beberapa rukun bagi akad
rahn yang terdiri dari, orang yang menggadaikan (ar-rahn), barang-barang yang digadai
(marhun), orang yang menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni
harga, dan sifat akad rahn. Sedangkan untuk sahnya akad rahn, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni: berakal, baligh, barang yang
dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima
gadai (marhun) atau yang mewakilinya.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn dapat dilakukan karena kejelasan
akan rahin, murtahin dan marhun merupakan keharusan dalam akad rahn. Sedangkan mengenai
saat diperbolehkan untuk menggunaan akad rahn, al-Qur’an dan al-Sunah serta ijma ulama tidak
menetapkan secara jelas mengenai akad-akad atau transaksi jual beli yang diizinkan untuk
menggunakan akad rahn.
Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rusdy bahwa mazhab Maliki
beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala macam harga dan pada semua macam
jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan pokok modal pada akad salam yang berkaitan dengan
tanggungan, hal ini disebabkan karena pada shaf pada salam disyaratkan tunai, begitu pula pada
harta modal. Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa akad gadai (rahn) tidak
boleh selain pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini berdasar pada ayat yang
11
berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah hutang piutang barang jualan, yang
diartikan mereka sebagai salam.
Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan bahwa
rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam, walaupun ada
perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut.
Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat yang ada
pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta
merawat agar benda (barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang tentunya
dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang gadai
tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda pendapat karena
masalah ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi sebagai
jaminan utang pihak yang menggadai.
.2. Teknik Transaksi
Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua
akad transaksi Syariah yaitu.
1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan
untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian
menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
2. Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya
12
sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas
penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukad akad
rukun dari akad transaksi tersebut meliputi :
a. Orang yang berakad : 1) Yang berhutang (rahin) dan 2) Yang berpiutang
(murtahin).
b. Sighat ( ijab qabul)
c. Harta yang dirahnkan (marhun)
d. Pinjaman (marhun bih)
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat
digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan
kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh
Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang
meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses
kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah
sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut
bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman..
Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’ yang
akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian.
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi :
13
1) Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang
jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2) Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada
murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu
jelas dan tertentu.
3) Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan
pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya,milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan
hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
4) Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka
waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
5) Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi,biaya
penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.
6) Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup
menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan
disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai
taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan
pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan.
Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah
ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan
adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
7) Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan
kesepakatan :
14
i. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum
empat bulan .
ii. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- ( sembilan puluh rupiah )
dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat
melunasi pinjaman.
iii. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat
pencairan uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk
o melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu
empat bulan,
o mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah
berjalan ditambah bea administrasi,
o atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo
nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka
Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai
penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang
menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang
kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian
Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
15
1. Kategori Barang Gadai
Muhammad Shalikul hadi mengutip pendapat Basyir (2003) bahwa jenis barang gadai
yang dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang bergerak dab tak bergerak,
sehingga barang yang dapat digadaikan bisa semua barang asal memenuhi syarat:
(1) Merupakan benda bernilai menurut hukum syara’
(2) Ada wujudnya ketika perjanjian terjadi
(3) Mungkin diserahkan seketika kepada murtahin.
2. Pemeliharaan Barang Gadai
Ada perbedaan pendapat para ulama dalam halpemeliharaaan barang gadai. Ulama
Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggung jawab
pemberi gadai karena barang tersebut merupakan miliknya dan akan kembali kepadanya.
Sedangkan para ulama Hanafiah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi
tanggungan penerima gadai yang mana dalam posisinya sebagai penerima amanat. Berdasarkan
pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa biaya pemeliharaan barang gadai adalah
hak rahin dalam kedudukannya sebagai pemilik yang sah. Akan tetapi jika harta atau barang
jaminan tersebut menjadi kekuasaan murtahin dan di izinka oleh maka biaya pemeliharaan jatuh
pada murtahin.
Sedangkan untuk mengganti biaya tersebut nantinya, apabila murtahin mendapat izin dari rahin
maka murtahin dapat memungut hasil marhun sesuai dan senilai dengan yang telah ia keluarkan.
Tetapi apabila rahin tidak mengizinkannya maka biaya pemeliharaan menjadi utang rahin
16
kepada murtahin. Pendapat ini dikutip oleh Muhammad Shalikul Hadi dari Sabiq (2003).Resiko
Atas Kerusakan Menurut para ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak
bertanggung jawab atas rusaknya barang gadai jika tidak disengaja. Sedangkan ulama Hanafiah
berpendapat bahwa hal tersebut menjadi tanggungan murtahin sebesar harga barang minimum,
dihitung mulai waktu diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai barang tersebut
rusak.
Shalikul Hadi mengutip Basyir (2003: 84) Pembayaran Atau Pelunasan Hutang GadaiApabila
sudah samapai jatuh tempo dan rahin belum membayarkan kembali utangnya maka murtahin
boleh memaksa rahin untuk menjual barangnya. Kemudian hasilnya digunakan untuk menebus
utang tersebut sedangkan jika terdapat sisa atas penjualan barang tersebut, maka akan
dikembalikan kepada rahin.Prosedur Pelelangan GadaiJika ada persyaratan akan menjual
barang gadai pada saat jatuh tempo, maka ini diperbolehkan dengan ketentuan:
(1) Murtahin harus mengetahui terlebih dahulu keadaan rahin
(2) Dapat memeperpanjang tenggang waktu pemabayaran
(3) Kalau keadaan mendesak murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain
dengan izin rahin
(4) Apabila ketentuan di atas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual barang gadai dan
kelebihan uangnya dikembalikan kepada rahin.
3. Pembentukan Laba Pegadaian
17
Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa pegadaian memperoleh laba dari bunga gadai. Tetapi
dari segi kaca mata syariah hal ini dilarang. Tentunya jika bunga gadai dihapuskan maka
lembaga pegadaian tidak akan dapat melanjutkan operasionalnya lagi. Sebaliknya jika hal ini
diperbolehkan hukum haram atas riba mengikatnya dan tentu saja kerugian salah satu pihak akan
terjadi.untuk mengatasi hal tersebut dapat diterapkan sebagai berikut:
(1) Melakukan transaksi gadai dengan akad Rahn
(2) Melakukan transaksi gadai dengan akad Bai’ al Muqoyyadah
(3) Melakukan Akad al Mudharabah.
(4) Melakukan dengan akad Qardhul Hasan
Itulah beberapa alternatif yang bisa dijalankan guna mengeliminir praktek riba dalam pegadaian
konvensional. Danjuga sebagai solusi atas persoalan yang terdapat dalampegadaian saat sekarang
ini, sehingga diharapkan natinya lembaga ini benar-benar telah menjalankan mottonya sebagai
lembaga yang mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah.
.Operasionalisasi Pegadaian Syariah
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional.
Seperti halnya Pegadaian konvensional , Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman
dengan jaminan barang bergerak.Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat
sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai
jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama ( kurang lebih 15
18
menit saja ). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah
uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Di samping beberapa kemiripandari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep;
teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang
implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional. Lebih jauh tentang ketiga
aspek tersebut, dipaparkan dalam uraian berikut.
1.3. Pendanaan
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan
dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur
riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan
kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang
dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat
sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga
keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.
Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian
Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu
a. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang
disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
b. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang
dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum
konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga
Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau
19
dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah
yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk
membenarkan penarikan bea jasa simpan.
Fiqh Pegadaian Syariah.
Dalam Fikih Muamalah, perjanjian gadai disebut “rahn”. Rahn menurut bahasa berarti penahanan dan penetapan[1] . sebagaimana firman Allah Swt:
‘“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. Qs.74:38
Adapun menurut istilah adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan hutang[2].
Landasan hukum Rahn atau landasan pinjam meminjam dengan jaminan (barg) adalah firman Allah:
Surat Al-Baqarah, ayat 283 :
“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.
Landasan hukum lainnya adalah hadits Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah ra.
ح�د�يد� م�ن� ع�ا د�ر� �ه� ه�ن و�ر� ط�ع�ام�ا �ه�ود�ي� ي م�ن� �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ه� الل س�ول� ر� ى �ر� ت اش� ق�ال�ت� ة� �ش� ع�ائ .ع�ن�
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan besi”.
Dan hadits dari Anas ra.
�ق�د� و�ل �خ�ة� ن س� �ة� �ه�ال و�إ ع�ير� ش� �ز� ب �خ� ب �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ي3 �ب الن �ل�ى إ ى م�ش� �ه� ن� أ �ه� ع�ن �ه� الل ض�ي� ر� �س� �ن أ ع�ن�
ا ع�ير� ش� �ه� م�ن �خ�ذ� و�أ �ه�ود�ي� ي �د� ن ع� �ة� �م�د�ين �ال ب �ه� ل ع�ا د�ر� �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ي> �ب الن ه�ن� �ه�ر� �ه�ل أل� .
“Dari Anas ra bahwasanya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”.
Landasan hukum berikutnya adalah Ijma’ ulama atas hukum mubah (boleh) perjanjian gadai.
20
Tentang siapa yang harus menanggung biaya pemeliharaan selama marhun berada di tangan murtahin, tatacara penentuan biayanya, dsb, adalah merupakan ijtihad yang dilakukan para fukaha.
Unsur-unsur rahn adalah : orang yang menyerahkan barang gadai disebut ‘rahin’, orang yang menerima barang gadai disebut “ murtahin “, dan barang yang digadaikan disebut “ marhun “ dan hutang yang disebut “marhun bih”.
Mengenai rukun dan sahnya akad gadai dijelaskan oleh Pasaribu dan Lubis sebagai berikut :
1. Adanya lafaz, yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. 2. Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya
terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.3. Adanya pemberi dan penerima gadai. 4. Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga dapat
dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.
5. Adanya barang yang digadaikan. 6. Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu
adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada dibawah pengasaan penerima gadai.
7. Adanya utang/hutang.
Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.Mengenai barang (marhum) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan dalam Kifayatul Akhyar bahwa semua barang yang boleh dijual-belikan menurut syariah, boleh digadaikan sebagai tanggungan hutang.Aspek lainnya yang perlu mendapat perhatian dalam kaitan dengan perjanjian gadai adalah yang menyangkut masalah hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam situasi dan kondisi yang normal maupun yang tidak normal. Situasi dan Kondisi yang tidak normal bisa terjadi karena adanya peristiwa force mayor seperti perampokan, bencana alam, dan sebagainya.
Dalam keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan kewajibannya adalah menerima uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai dengan yang disepakati dalam batas nilai jaminannya, sedang kewajiban rahin adalah menyerahkan barang jaminan yang nilainya cukup untuk jumlah hutang yang dikehendaki. Sebaliknya hak dari murtahin adalah menerima barang jaminan dengan nilai yang aman untuk uang yang akan dipinjamkannya., sedang kewajibannya adalah menyerahkan uang pinjaman sesuai dengan yang disepakati bersama.
Setelah jatuh tempo, rahin berhak menerima barang yang menjadi tanggungan hutangnya dan berkewajiban membayar kembali hutangnya dengan sejumlah uang yang diterima pada awal perjanjian hutang. Sebaliknya murtahin berhak menerima pembayaran hutang sejumlah uang
21
yang diberikan pada awal perjanjian hutang, sedang kewajibannya adalah menyerahkan barang yang menjadi tanggungan hutang rahin secara utuh tanpa cacat.
Di atas hak dan kewajiban tersebut diatas, kewajiban murtahin adalah memelihara barang jaminan yang dipercayakan kepadanya sebagai barang amanah, sedang haknya dalah menerima biaya pemeliharaan dari rahin. Sebaliknya rahin berkewajiban membayar biaya pemeliharaan yang dikeluarkan murtahin, sedang haknya adalah menerima barang yang menjadi tanggungan hutang dalam keadaan utuh.
Dasar hukum siapa yang menanggung biaya pemeliharaan dapat dirujuk dari pendapat yang didasarkan kepada Hadist Nabi riwayat Al-Syafi’i dan Al-Darulquthni dari Muswiyah bin Abdullah bin Ja’far :
“Ia (pemilik barang gadai) berhak menikmati hasilnya dan wajib memikul bebannya (beban pemeliharaannya)"[8]
Di tempat lain terdapat penjelasan bahwa apabila barang jaminan itu diizinkan untuk diambil manfaatnya selama digadaikan, maka pihak yang memanfaatkan itu berkewajiban membiayainya. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasullullah SAW :
Dari Abu Hurairah , barkata, sabda Rasullulah SAW : “Punggung (binatang) apabila digadaikan, boleh dinaiki asal dibiayai. Dan susu yang deras apabila digadaikan, boleh juga diminum asal dibiayai. Dan orang yang menaiki dan meminum itulah yang wajib membiayai.” (HR. Al-Bukhari)[9]
Dalam keadaan tidak normal dimana barang yang dijadikan jaminan hilang, rusak, sakit atau mati yang berada diluar kekuasaan murtahin tidak menghapuskan kewajiban rahin melunasi hutangnya[10]. Namun dalam praktek pihak murtahim telah mengambil langkah-langkah pencegahan dengan menutup asuransi kerugian sehingga dapat dilakukan penyelesaian yang adil.
Mengenai pemilikan barang gadaian, berdasarkan berita dari Abu Hurairah perjanjian gadai tidak merubah pemilikan walaupun orang yang berhutang dan menyerahkan barang jaminan itu tidak mampu melunasi hutangnya.
Dari Abu Hurairah, sabda Rasullulah SAW :
“Barang jaminan tidak bisa tertutup dari pemiliknya yang telah menggadaikannya. Dia tetap menjadi pemiliknya dan dia tetap berhutang “
Pada waktu jatuh tempo apabila rahin tidak mampu membayar hutangnya dan tidak mengizinkan murtahin menjual barang gadaiannya, maka hakim/pengadilan dapat memaksa pemilik barang membayar hutang atau menjual barangnya. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan kepada pemilik barang tetapi apabila kurang pemilik barang tetap harus menutup kekurangannya.
22
Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih menanggung hutang, maka penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut dengan harga umum. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan kepada ahli waris tetapi apabila kurang ahli waris tetap harus menutup kekurangannya atau barang gadai dikembalikan kepada ahli waris setelah melunasi hutang almarhum pemilik barang.
Dari ketentuan-ketentuan yang tersedia dapat disimpulkan bahwa barang gadai sesuai syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang antara individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat menurut Muhammad Akram Khan adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan. Hutang piutang dalam bentuk alqardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat dipergunakan untuk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah.
Di dalam bentuk al-qardhul hassan ini hutang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu jatuh tempo tanpa ada tambahan apapun yang disyaratkan (kembali pokok). Peminjam menanggung biaya yang secara nyata terjadi seperti biata penyimpanan dll., dan dibayarkan dalam bentuk uang (bukan prosentase). Peminjam pada waktu jatuh tempo tanpa ikatan syarat apapun boleh menambahkan secara sukarela pengembalian hutangnya.
Apabila peminjam memilih qardhul hassan, rabb al-mal tentu saja akan mempertimbangkannya apabila peminjam adalah pengusaha pemula dan apabila peminjam memilih perjanjian mudharabah maka terlebih dahulu harus disepakati porsi bagi hasil masing-masing pihak dimana posisi peminjam dana adalah sebagai mudharib.
Dalam kaitannya dengan keperluan komersial, tentunya peminjam bukanlah orang miskin karena dia mempunyai simpanan dalam bentuk harta tiak produktif (hoarding) yang dapat digadaikan. Dengan demikian fungsi dari gadai disini adalah mencairkan atau memproduktifkan (dishoarding) harta yang beku.
Dari uraian tersebut diatas, tidak tersurat sedikitpun uraian tentang lembaga gadai syariah sebagai perusahaan, mungkin karena pada waktu peristiwa itu terjadi belum ada lembaga gadai sebagai suatu perusahaan. Hal serupa juga terjadi pada lembaga hutang piutang syariah yang pada mulanya hanya menyangkut hubungan antar pribadi kemudian berkembang menjadi hubungan antara pribadi dengan bank.
Pengembangan hubungan antar pribadi menjadi hubungan antara pribadi dengan suatu bentuk perusahaan tentu membawa konsekuensi yang luas dan menyangkut berbagai aspek. Namun hendaknya tetap dipahami bahwa lembaga gadai adalah pelengkap dari lembaga hutang piutang. Hal ini juga mengandung arti bahwa hukum gadai dalam keadaan normal tidak merubah status kepemilikan. Baru apabila terjadi keadaan yang tidak normal, misalnya rahin pada saat
23
jatuh tempo tidak mampu melunasi hutangnya maka bisa terjadi peristiwa penyitaan dan lelang oleh pejabat yang berwenang.
Keadaan tidak normal ini bisa merubah status kepemilikan sehingga berkembang menjadi jual beli tunai (tijari), jual beli tangguh bayar (murabaha), dan jual beli dengan pembayaran angsuran (baiu bithaman ajil).
Bagaimana konsepsi lembaga gadai syariah dalam suatu perusahaan tentunya tidak berbeda dengan lembaga gadai syariah dalam hubungan antar pribadi. Alternatif yang tersedia untuk lembaga gadai syariah juga ada dua, yaitu hubungan dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan, dan hubungan dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.
Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai mudharib, tergantung akternatif yang dipilih. Aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan pada lembaga gadai perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dan lain-lain.
24
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.Metode penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
kualitatif. Adapun pengertian dari penelitian kualitatif adalah menurut Bagdan dan Taylor (1975)
seperti yang dikutip Lexy J. Moleong dalam bukunya ialah bahwa penelitian kualitatif adalah
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.
3.2. Penetapan Lokasi Penelitian
Adapun lokasi data penelitian ini adalah di wilayah dalam Kota Jambi.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang penulis butuhkan berdasarkan permasalahan maka penulis
menggunakan instrumen pengumpulan data sebagai berikut:
1. Wawancara
Adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Di
lakukan guna untuk memperoleh informasi dan keterangan langsung dari informan. Dalam hal
ini penulis mewawancarai pihak yang terkait yakni para masyarakat serta pihak lainnya yang
bisa membantu dalam melengkapi skripsi ini. Observasi, yakni memperhatikan secara akurat,
mencatat yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut.
Yang dilakukan guna untuk mengamati dan mencatat kondisi objek dengan melihat peran
mahasiswa pada perbankan. Telaah pustaka, berupa pengumpulan data dan informasi dari
25
sumber tertulis yang memiliki hubungan dengan masalah yang sedang diteliti berupa buku,
majalah, koran, dan sebagainya.
2. Kuisioner
Adalah teknik pengumpulan data dengan cara membuat daftar pertanyaan sebelumnya
dan disampaikan kepada responden untuk mendapatkan jawaban.
3. Dokumentasi
Adalah proses pengumpulan data yang diambil dari dokumen-dokumen yang dimiliki
oleh kampus-kampus dan literature yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.
3.4. Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kuantitatif.
Kuantitatif adalah metode penelitian yang menekankan pada pengujian
teori-teori melalui pengukuran variabel-variabel penelitian dengan angka
dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik.
3.5. Metode Analisa Data
Dalam penelitian ini digunakan perhitungan efisiensi bank syariah dari
sisi profit dengan menggunakan metode pendekatan alternative profit efficiency
sedangkan untuk perhitungannya menggunakan metode pendekatan
stochastic frontier approach (SFA) yang menghitung deviasi dari fungsi profit yang
diestimasi terlebih dahulu dengan profit frontiernya.
Alasan peneliti menggunakan pendekatan profit efficiency dengan metode
pendekatan stochastic frontier approach (SFA) adalah karena pendekatan profit
26
efficiency lebih superior dibanding pendekatan cost efficiency dengan argumen
antara lain (Berger dan Mester; dalam Astiyah Siti dan Jardine A. Husman,
2006; 534) :
1. Profit efficiency telah memperhitungkan inefficiency dari kedua sisi input
maupun output. Sedangkan cost efficiency lebih ditekankan pada sisi input,
padahal inefisiensi dari sisi output kemungkinan bisa sama atau bahkan
lebih besar dari inefisiensi input.
2. Secara konsep ekonomi maka profit efficiency juga dapat lebih diterima.
Misalkan suatu bank harus mengeluarkan tambahan biaya sebesar Rp. a
untuk meningkatkan keuntungan sebesar Rp. b (dimana b>a) dan variabel
lain dianggap tetap, maka secara konsep ekonomi efisiensi profit lebih dapat
diterima daripada efisiensi biaya.
3. Cost efficiency pada dasarnya didasarkan pada cost minimum pada suatu level
output tertentu, padahal tingkat output tersebut belum tentu pada tingkat
output optimal. Sehingga jika ada perubahan output maka kemungkinan hal
ini juga akan mempengaruhi tingkat cost efficiency.
Selain alasan diatas, pemilihan metode ini terkait dengan jenis pasar
perbankan di Indonesia yang tidak dapat diklasifikasikan dalam pasar
persaingan sempurna tetapi lebih cenderung pada pasar persaingan tidak
sempurna.
Metode SFA ini dikembangkan oleh Aigner, Lovell, Schmidt (1977). Pada
metode ini, profit dari suatu bank dimodelkan untuk terdeviasi dari profit
27
efficient frontier-nya akibat adanya random noise dan inefisiensi. Fungsi standar
stochastic profit frontier memiliki bentuk umum (log).
Pengujian Statistik
Uji Stasioneritas
Uji ini dilakukan untuk mendeteksi data apakah benar-benar bersifat
stasioner, karena ternyata data tidak stasioner berarti terdapat
ketidakstabilan model time series yang memungkinkan untuk dapat
menimbulkan gangguan autokorelasi pada model ekonometrik.
Uji Unit Root Augmented Dickey Fuller (Gujarati,2003:814 - 817)
Pengujian stasioner tidaknya data yang akan dianalisis, dilakukan dengan
mengunakan pengujian unit root. Prosedur pengujian yang dilakukan adalah
sebagai berikut :
Misalnya model time series memiliki bentuk seperti :
(1) Yt = b1 Yt-1 + e 1t (tanpa intercept)
(2) Yt = a2 + b1 Yt-1 + e 1t (dengan intercept)
(3) Yt = a3 + b1 Yt-1 + c3t + e 1t (dengan intercept dan trend waktu)
Ho: b1= 0 (terdapat unit root, Variabel Y tidak stasioner)
H1: b1 ≠ 0 (tidak terdapat unit root, Variabel Y stasioner)
28
Dengan menggunakan tabel Dickey Fuller yang sesuai dengan model time
series (2) , null hypothesis yang menyatakan adanya sifat stasioner dalam
model (2) akan ditolak apabila nilai t-statistik yang diperoleh berkaitan
dengan koefisien regresi model ini lebih kecil dari tabel dickey-fuller pada
tingkat signifikansi tertentu.
Uji Kointegrasi (Gujarati,2003:822-824; Koop,2000:156)
Uji ini dikembangkan berdasarkan adanya persepsi model data yang tidak
stasioner dapat terjadi kointegrasi jangka panjang antara tiap variabel yang
diuji. Uji ini disebut Engle-Granger Test dengan langkah :
Langkah Pertama :
Estimasi tiap parameter dari persamaan regresi dengan menggunakan
model Ordinary Least Square (OLS) dari X terhadapY dan peroleh nilai
residualnya.
Yt = α0 + α1 Xt1 + α2 Xt2 + ut
Langkah Kedua :
Lakukan uji stasioneritas (Unit Root Test) pada residual menggunakan ADF
critical value.
Apabila hipotesis Unit Root ditolak maka disimpulkan bahwa Y dan X
terkointegrasi dan apabila hipotesis unit root tidak ditolak, maka kointegrasi
tidak terjadi.
29
Uji Koefisien Determinasi (R2) (Gujarati, 2003:81-87)
Uji ini digunakan untuk mengukur kedekatan hubungan dari model
yang dipakai. Koefisien determinasi (R2) yaitu angka yang menunjukkan
besarnya kemampuan varians atau penyebaran dari variabel-variabel bebas
yang menerangkan variabel tidak bebas atau angka yang menunjukkan
seberapa besar variabel tidak bebas dipengaruhi oleh variabel-variabel
bebasnya.
Besarnya nilai koefisien determinasi adalah antara 0 hingga 1 (0 < R
<1), dimana nilai koefisien mendekati 1, maka model tersebut dikatakan
baik karena semakin dekat hubungan antara variabel bebas dengan variabel
tidak bebasnya.
Uji t-statistik (Gujarati, 2003: 129-133)
Uji t- statistik digunakan untuk menguji pengaruh parsial dari variabel –
variabel independen terhadap variabel dependennya. Pengujian ini dilakukan
dengan hipotesis:
H0 : βi = 0, variabel bebas tidak mempengaruhi variabel tidak bebas
H1 : βi ≠ 0, variabel bebas mempengaruhi variabel tidak bebasnya
Dengan menguji dua arah dalam signifikansi ½ , dan derajat kebebasan
(degree of freedom, df ) = n – k (n = jumlah observasi dan k = jumlah
parameter termasuk konstanta), maka hasil pengujian akan menunjukkan :
30
H0 : diterima bila t-stat < t-tabel
H1 : ditolak bila t-stat > t-tabel
Uji F-statistik (Gujarati, 2003:254-259)
Pengujian ini digunakan untuk menguji signifikansi pengaruh dari
semua variabel bebas secara keseluruhan terhadap variabel tidak bebasnya.
Hipotesa yang digunakan adalah :
Ho : β0 = β1 = β2 = β3 = β4 = β5 = β6 = 0 , Semua variabel bebas
secara
bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel tidak bebasnya.
H1 : Salah satu βn ≠ 0 ,Semua variabel bebas secara bersama-sama
berpengaruh terhadap variabel tidak bebasnya
Dengan tingkat keyakinan = α dan df = (k-1) (N-k)
Hasil pengujian akan menunjukkan :
- Apabila nilai F-hitung > F-tabel, maka Ho ditolak ; artinya setiap
variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel tidak
bebasnya.
- Apabila F-hitung F-tabel, maka Ho diterima ; artinya variabel bebas
secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel tidak bebasnya.
31
Pengujian Alternatif Lag dengan Akaike Information Criterion (AIC) (Gujarati,
2003:537)
Dari beberapa model lag yang menjadi alternatif, harus diketahui lag mana
yang memberikan hasil estimasi terbaik . Dalam penelitian ini digunakan
Akaike Information Criterion (AIC) sebagai dasar pemilihan. Kriteria
Informasi ini telah telah umum digunakan dalam data time series untuk
menentukan lag yang tepat. AIC dirumuskan sebagai :
Dimana :
e = natural logaritma ( e ~ 2,7183)
n = Total jumlah observasi sampel
k = jumlah variabel dalam model, termasuk intercept
= sample Residual Sum of Square (RSS)
Dari beberapa model alternatif lag, masing-masing dihitung nilai AIC nya.
Semakin rendah angka perhitungan AIC semakin baik performance dari
model tersebut.
Pengujian Masalah dalam Regresi Linear
Masalah Multikolinier (Gujarati,2003:341-375)
Multikolinear menunjukkan gejala adanya hubungan linear atau
hubungan yang pasti diantara explanatory variabel (variabel penjelas) dalam
model regresi. Gejala ditunjukkan oleh beberapa faktor, namun yang paling
32
mendukung penjelasan adanya multikolinier dalam model yaitu apabila nilai
R2 dari hasil regresi sangat tinggi namun sebagian besar explanatory
variabel tidak menjelaskan hubungan yang signifikan terhadap variabel yang
dijelaskan, melalui perbandingan antara nilai t-stat dan F-stat dengan t-tabel
dan F-tabel (Gujarati, 2003:354)
Karena pengukuran besarnya R2 dan jumlah t-stat signifikan bersifat
relatif, maka dilakukan pengujian tambahan dengan memperhatikan korelasi
parsial diantara regresor dalam bentuk matriks. Rule of Thumb dari
pengukuran ini adalah semakin tingginya nilai korelasi parsial sepasang
regresor, maka terdapat multikolinearitas (ibid, 355).
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Ghafur Ansori,. Gadai Sariah di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 2005.
2. Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : CV. Diponegoro, 2003.
3. Ghufran Sofiyanah, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syariah, Jakarta : RENAISAN
Anggota IKAPI, 2005.
4. Ibnn Rusdy, Bidaya al-Mujtahid, alih bahasa Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini,
1991.
5. Imam al’ama Ibn Mandur, Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi, 1999.
6. Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kutub al-Tis’ah (CD).
7. Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, Jakarta : Salemba Diniyah, 2003.
8. Muhammad Syafi’i Antonio, Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa
Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi, Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
UI, 1997.
9. Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A.. Fiqih Muamalah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001.
10. Sabiq, Sayyid, Fiqh us-Sunnah, Muhammad Sa‘eed Dabas, Jamal al-Din M. Zarabozo,
translators, Indianapolis, Ind., USA: American Trust Publications, c1985.
11. Susilo, Y. Sri, dkk. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat, 1999.
34