pbl 2 tropmed

Upload: karina-gading-yustesari

Post on 30-Oct-2015

63 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

N

TRANSCRIPT

18

I. PEMBAHASAN I

Informasi 1

Seorang perempuan berusia 34 tahun datang ke praktek dokter dengan keluhan gatal terus-menerus dan ruam di seluruh tubuhnya. Keluhan sudah dirasakan sejak 5 tahun yang lalu, disertai dengan baal dan kesemutan pada kedua lengan. Pasien juga mengeluh kedua kakinya terasa agak baal.

A. Identifikasi Masalah

Perempuan, 34 tahun

Keluhan utama: gatal, ruam

Lokasi

: seluruh tubuh

Onset

: 5 tahun

Frekuensi

: terus menerus

Keluhan tambahan: baal, kesemutan kedua lengan, kedua kaki terasa baal

Dikarenakan informasi masih terbatas, diperlukan tambahan anamnesis dan pemeriksaan fisik, meliputi pemeriksaan ujud kelainan kulit, pemeriksaan sensoris dan motorik.

B. Daftar Hipotesis

Berdasarkan informasi 1, dapat ditegakkan hipotesis berdasarkan temuan positif dari anamnesis. Temuan positif tersebut adalah:

1. Gatal sistemik

2. Ruam, atau urtika

3. Baal atau hipoestesi

4. Kesemutan atau parestesia

Pembahasan yang akan diberikan adalah tentang gatal sistemik, hipoestesia, dan parestesia. Pembahasan tentang urtika telah dilakukan pada PBL sebelumnya.

1. Penyebab gatal sistemik adalah:

a. Penyakit kronik, biasanya menyebabkan gatal neurologik. Penyakit yang dapat menyebabkan gatal adalah:

1) Penyakit hati, biasanya yang disertai manifestasi ikterik

2) Gagal ginjal3) Limfoma4) Leukemia

b. Berbagai obat-obatan dapat menyebabkan gatal, yaitu barbiturat, aspirin dan obat lainnya yang menimbulkan reaksi alergi pada orang-orang tertentu

c. Keadaan imunosupresan dapat menyebabkan tubuh rentan terhadap agen penyebab gatal, yang tersering adalah gatal karena jamur dan bakteri. Penyakit yang dapat menyebabkan keadaan menjadi imunosupresan adalah:

1) HIV/ AIDS2) Penggunaan kortikosteroid jangka panjang3) Pasien dengan kemoterapi

d. Systemic lupus eritematosuse. Morbus Hansen atau kusta2. Hipoestesia

Keadaan hipoestesia bisa dikarenakan gangguan pada sistem saraf pusat atau sistem saraf perifer. Gangguan pada saraf pusat atau sentral dapat disebabkan adalah abnormalitas pada otak atau medulla spinalis, sedangkan pada saraf perifer bisa dikarenakan gangguan pada akson ataupun mielin saraf. Manifestasi baal pada kulit yang disertai bentuk kelainan kulit yang lain biasanya terjadi karena gangguan pada saraf perifer, seperti pada bekas luka yang membentuk parut, atau penyakit yang menyerang saraf, seperti Morbus Hansen.

3. Parestesia

Parestesia biasanya disebabkan oleh keadaan iskemik dari saraf, yang sering menyebabkan parestesia adalah kelainan saraf perifer, seperti pada neuropati diabetika.Berdasarkan penjelasan tersebut, maka diabetes banding yang mungkin dari informasi 1 adalah:

1. Neuropati perifer diabetic

Neuropati perifer diabetik (NPD )sudah lama dijumpai pada penderita DM dan diperkenalkan oleh sarjana Rollo (1798), yang menggambarkan adanya nyeri dan paraestesi pada tungkai bawah penderita DM. Mohr dan Comi melaporkan angka kejadian NPD berkisar 50-60%, sedangkan Melton dan Dyck (1987) mengungkapkan bahwa insiden NPD bervariasi antara 5-80 % pada penderita DM, tergantung pada populasi penderita, terutama menyangkut umur dan lamanya DM, metode dan cara penelitian.Menurut Veves A dan Boulton AJM (1992) yang dikutip oleh Sutjahjo A menyatakan bahwa penegakan diagnosis NPD secara klinis cukup didapatkan 2 dari 4 kriteria sebagai berikut :a. Adanya gejala-gejala klinik

b. Didapatkannya tanda-tanda kelainan sensoris,

c. Didapatkannya tanda-tanda kelainan motoris,

d. Pemeriksaan elektroneurofisiologi (EMNG).

2. Morbus Hansen atau kusta

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah mycobacterium tubercukosis yang bersifat inteseluler obligat. Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopi, dan histopatologis (Djuanda, 2008).

C. Patogenesis dan Patofisiogis

ParestesiaParesthesia adalah manifestasi umum dari proses patologis dari sistem syaraf pusat dan perifer yang dikarenakan aktifitas impuls ektopik pada kutaneus aferen ataupun proyeksi sentral. Kutaneus aferen lebih sensitif dari akson motor dikarenakan perbedaan dalam biofisiknya. Perbedaan ini kemungkinan termasuk dalam lebih tahannya konduktansi Na+ dan perbaikan pada kutanus aferen, sifat yang memberikan perlindungan yang besar pada kegagalan konduksi impuls tapi menciptakan kecenderungan yang lebih besar untuk aktivitas ektopik. Pergeseran alkali yang dihasilkan oleh hiperventilasi secara selektif meningkatkan konduktansi Na+ persisten, saat depolarisasi membran yang dihasilkan oleh iskemia Na+ channel persisten dan sementara. Parestesia postiskemik dan posttetanik terjadi ketika hiperpolarisasi pompa Na+ / K secara menetap dicegah oleh peningkatan K+ ekstraseluler. Gradien elektrokimia untuk K+ berbalik, dan masuknya K+ memicu depolarisasi regeneratif. Mekanisme umum paresthesia dapat menjelaskan parestesia pada subjek normal dan mungkin relevan dalam beberapa gangguan saraf perifer (Mogyoros, 2000).

II. PEMBAHASAN IIA. Informasi 2Pemeriksaan fisik menunjukkan banyak lesi di seluruh tubuhnya, termasuk ruam yang di daerah jembatan hidung, pipi, perut, dan punggung. Lesi tampak sebagai makula, sebagian eritematosa dan sebagian hipopigmentasi. Tidak ada lesi meninggi. Tampak hipopigmentasi pada kedua kaki sampai setinggi lutut. Alis pasien tampak mulai tipis. Terjadi peningkatan reflek fisiologis. Terdapat anesthesia pada kedua lengan sesuai nervus ulnaris.Berdasarkan informasi tersebut, maka dapat dibuat diagnosis kerja, yaitu Morbus Hansen atau kusta. Alasannya:

1. Terdapat lesi berupa makula, eritematosa, dan hipopigmentasi. Pada neuropati diabetika tidak didapatkan lesi tersebut.

2. Anesthesia sesuai dengan nervus ulnaris, berarti kelainan ada pada struktur nervus sesuai dermatom, sedangkan pada neuropati diabetika yang diserang adalah nervus perifer yang tidak mengikuti perjalanan saraf.Diagnosis tersebut belum pasti, karena dalam menentukan diagnosis penyakit akibat infeksi, harus ditemukan mikroorganisme tersebut, sehingga perlu diajukan beberapa pemeriksaan tambahan, seperti:

1. Kerokan kulit untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis

2. Biopsi kulit

3. Tes serologis

4. PCR

Diagnosis pasti adalah ketika pada pemeriksaan mikroskopis kerokan kulit terdapat penampang bakteri tahan asam berbentuk basil, atau ditemukan M. leprae pada biopsi kulit.

B. Informasi 3

Biopsi lesi kulit

: BTA positif

Pemeriksaan serologi: seropositif

Pemeriksaan PCR

:band positif setinggi 129 bp

Berdasarkan informasi tersebut, maka diagnosis pasti bisa ditegakkan, yaitu morbus Hansen atau lepra.

III. MORBUS HANSEN

A. Definisi

Morbus Hansen atau kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan testis dan sendi-sendi.

B. Etiologi

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil gram positif dengan ukuran 38 m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol. Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan iskemia, fibrosis, dan kematian akson. Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C, tidak dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer,hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung.

C. Epidemiologi

Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya 1000 BTA dalam 1 LPSedangkan untuk mengetahui persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan nonsolid maka dipergunakan Indeks Morfologi (IM) dengan rumus : jumlah solid / (jumlah solid + non solid) x 100%Syarat perhitungan

a. Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA

b. IB 1+ tidak perlu dibuat IM nya karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari dalam 1000 sampai 10.000 lapang pandang

c. Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM nya sebab dengan IB 3+ maksimum harus dicari dalam 100 lapang pandang.2. Pemeriksaan histopatologik

Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis secara teliti dan pemeriksaan bakterioskopis. Pada sebagian kecil kasus bila diagnosis masih meragukan, pemeriksaan histopatologis dapa membantu. Pemeriksaan ini sangat membantu khususnya pada anak-anak bila pemeriksaan saraf sensoris suli dilakukan, juga pada lesi dini contohnya pada tipe intermediate, serta untuk menentukan tipe yang tepat. Gambaran histopatologik tipe tuberkoloid adalah tuberkel dankerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit nonsolid. Pada tipe lepramatosa terdapat kelim sunyi sub epidermal yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapatkan sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borerline terdapat campuran unsur-unsur tersebut.

3. Pemeriksaan serologikPemeriksaan serologik membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu, pemeriksaan serologik dapat menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada penularan serumah.Macam-macam pemeriksaan serologik kusta adalah :

a. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)

b. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)

c. ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstic)I. Penatalaksanaan Umum :

Menjelaskan penyakit dan perjalanannya, termasuk terjadinya reaksi, tetapi harusdengan pertimbangan keadaan psikologis pasien (contoh: jangan langsung menjelaskan diagnosisnya Kusta)

Mencari / melakukan pemeriksaan kontak

Khusus :1. Pengobatan tipe PB

Dosis dewasa : 6 dosis selama 6-9 bulan per dosis terdiri dari :

Rifampisin 600 mg/bulan

Dapson 100 mg/ hari

Dosis anak :

Rifampisin 450 mg/ bulan

Dapson 50 mg/ hari

2. Pengobatan tipe MB

Dosis dewasa : 12 dosis dalam 18 bulan per dosis :

Rifampisin 600 mg/bulan

Lampren 300 mg/bulan

Lampren 50 mg/ hari

Dapson 100 mg/ hari

Dosis anak :

Rifampisin 450 mg/ bulan

Lampren 200 mg/ bulan

Lampren 50 mg/2 hari

Dapson 50 mg/ hari

3. Pengobatan alternatif

Pemberian initial therapy

berupa Rifampisin 600mg / hari selama 14 hari berturutturut, kemudian diteruskan seperti pengobatan WHO (terutama untuk MB)

Pemberian Rifampisin 600mg, Ofloksasin 400mg dan Minosiklin 100mg sekaliminum setiap bulan dalam 24 bulan (untuk MB)

Penatalaksanaan Reaksi

1. Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi anestesi, paralisis atau kontraktur

2. Mencegah kerusakan pada mata yang dapat menyebabkan kebutaan (iridosikiitis)

3. Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas

4. Mengatasi nyeri(analgetika, sedatif)

Pengobatan Reaksi

1. Obat antikusta terus dilanjutkan2. Istirahat atau imobilisasi3. Pemberian obat anti reaksi :a. Reaksi ringan : Aspirin 600-1200 mg/hari atau analgetika lain (Paracetamol) Talidomid 400 mg/hari diturunkan sampai 50 mg/hari (kasus khusus)a. Reaksi berat : Dirawat di Rumah Sakit Reaksi tipe 1 harus segera diberikan kortikosteroid Reaksi tipe 2 dapat diberikan klofazimin, talidomid dan kortikosteroid sendiri-sendiri atau bersama-sama b. Pemberian kortikosteroid :Dosis dimulai antara 30-80 mg/hari, sebaiknya digunakan sebagai dosis tunggal dipagi hari

Pengobatan prednison pada reaksi tipe 1:2 minggu I : 30 mg/hari

2 minggu II: 20 mg/hari

2 minggu IV: 10 mg/hari

2 minggu V : 5 mg/hari

Pengobatan prednison pada reaksi tipe 2 :2 minggu I : 30 mg/hari

2 minggu II : 20 mg/hari

1 minggu III: 15 mg/hari

1 minggu IV: 10 mg/hari

1 minggu V : 5 mg/hari1. Farmakologi

a. DDS (Diaminodifenol Sulfon)

1) Sediaan: tablet 25 mg, 100 mg

2) Dosis

: 1-2 mg/kg BB setiap hari

3) Absorbsi: usus

4) Waktu paruh: 1-2 hari

5) Ekskresi: empedu, urin

6) Interaksi: meningkatkan efek teofilin

7) Kontraindikasi: gangguan hepar

8) Efek samping: nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrolisis, epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, methemoglobinemia

b. Rifampisin

1) Sediaan: tablet 150 mg, 300 mg

2) Dosis

: 10 mg/kg BB diberikan setiap hari atau setiap bulan

3) Absorbsi: saluran pencernaan

4) Kerja

: menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengikat RNA polimerase sehingga terjadi hambatan sintesis RNA bakteri

5) Ekskresi: empedu, feses, urin

6) Interaksi: meningkatkan ekskresi metadon, meningkatkan eleminasi antikoagulan, meningkatkan eleminasi kontrasepsi, menurunkan kadar plasma ketokonazol, siklosporin, dan kloramfenikol

7) Kontraindikasi: hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, jaundice, bayi baru lahir, bayi prematur, kehamilan trisemester pertama

8) Efek samping: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gangguan gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi kulit

c. Klofazimin (Lamprene)

1) Sediaan: tablet 50 mg, 100 mg

2) Dosis

: 50 mg setiap hari, 100 mg selang satu hari, 3 x 100 mg setiap minggu, 200-300 mg setiap hari untuk terapi ENL

3) Absorbsi: usus

4) Kerja

: bersifat sebagai anti inflamasi

5) Waktu paruh: 2 bulan

6) Ekskresi: feses

7) Indikasi : Morbus Hansen

8) Efek samping: warna kecoklatan pada kulit, warna kuning pada sclera, nyeri abdomen, nausea, diare, anokresia, vomitus, penurunan berat badan

d. Ofloksasin

1) Sediaan: tablet 200 mg, 300 mg, 400 mg, vial 200 mg dalam 50 mL

2) Dosis

: 400 mg dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis

3) Absorbsi:saluran cerna

4) Kerja

: menghentikan sintesis DNA bakteri dengan menghambat DNA girase sehingga mencegah relaksasi DNA superkoil yang dibutuhkan untuk transkripsi dan duplikasi

5) Waktu paruh: 5-7 jam

6) Kadar puncak: 1-3 g/mL

7) Ekskresi: ginjal

8) Interaksi: meningkatkan kadar teofilin, kerjanya menurun jika pasien mengonsumsi antasida

9) Kontraindikasi: hipersensitivitas, hamil, menyusui, anak atau remaja sebelum akhir fase pertumbuhan

10) Efek samping: gangguan saluran cerna (mual, diare), insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness, halusinasi

e. Minosiklin

1) Sediaan: tablet dan kapsul 50 mg, 100 mg, suspensi 50 mg/5 mL, bubuk 100 mg per vial

2) Dosis

: 100 mg setiap hari

3) Absorbsi: saluran pencernaan

4) Kerja

: menghambat ikatan aminoasil-tRNA di RNA ribosom sehingga terjadi penurunan jumlah asam amino baru ke rantai peptida yang tumbuh sehingga terjadi penghambatan sintesis protein

5) Kadar puncak: 2-4 g/mL

6) Ekskresi: feses, empedu, urin

7) Interaksi: absorbsi menurun jika pasien mengonsumsi antasida

8) Efek samping: warna gigi bayi dan anak, hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, dizziness, unsteadinessf. Klaritromisin

1) Sediaan: tablet 250 mg, 500 mg

2) Dosis

: untuk Morbus Hansen 500 mg setiap hari dalam 28-56 hari

3) Absorbsi: usus

4) Kerja

: menghambat sintesis protein

5) Waktu paruh: 5-7 jam

6) Ekskresi: empedu, urin, feses

7) Kontraindikasi: hipersensitivitas

8) Efek samping: nausea, vomitus, diare, toksisitas hati (ISFI, 2006; Katzung, 1997).

Penggunaan untuk Morbus Hansen :

MDT untuk pausibasilar (I, TT, BT) terdiri dari rifampisin 600 mg setiap bulan dan DDS 100 mg setiap hari selama 6-9 bulan. Pemeriksaan klinis dilakukan setiap bulan dan pemerik saan bakterioskopik dilakukan setelah 6 bulan pengobatan. Kedua pemeriksaan tersebut dilanjutkan minimal setiap tahun selama 2 tahun. Masa pengobatan multibasilar selama 12-18 bulan yang terbagi menjadi 12 dosis dan pengobatan kasus pausibasilar dengan lesi kulit 2-5 buah adalah 6 dosis dalam 6-9 bulan. Pengobatan untuk pausibasilar dengan lesi kulit tunggal adalah rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal. Jika pasien mengalami resisten terhadap rifampisin dan DDS, dapat diganti dengan regimen pengobatan klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg, minosiklin 100 mg per hari selama 6 bulan diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofoksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 8 bulan (Kosasih, Wisnu, Sjamsoe-Daili, Menaldi; 2006).

2. Non Farmakologi

a. Pencegahan cacat

1) Melaksanakan diagnosis dini kusta

2) Pemberian MDT yang cepat dan tepat

3) Mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf

4) Memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin

b. Rehabilitasi

1) Operasi

2) Fisioterapi

3) Memberi lapangan pekerjaan yang sesuai dengan cacat tubuhnya

c. Terapi psikologik (Kosasih, Wisnu, Sjamsoe-Daili, Menaldi; 2006).IV. KESIMPULAN

1. Kusta atau morbus Hansen adalah abnormalitas kulit yang disebabkan oleh bakteri Myvobacterium leprae, dengan manifestasi pada kulit dansistem saraf perifer, namun dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan testis dan sendi-sendi.2. Secara klinis, lepra dibagi menjadi tipe lepromatosa, tuberkuloid, dan borderline. Perbedaan tipe tersebut adalah karena respon imun individu.

3. Diagnosis kusta dilakukan dengan melakukan anmnesis, pemeriksaan fisik dengan melihat ujud kelainan kulit, dan melakukan pemeriksaan neurologis. Diagnosis pasti adalah dengan ditemukannya BTA pada kerokan kulit atau biopsi kulit.

4. Pengobatan kusta dilakukan dalam tempo 6 bulan-2 tahun dengan kombinasi beberapa regimen obat DDS, rifampisin, lamprene, ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin tergantung jenis tipe lepra.DAFTAR PUSTAKABagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. 2005. Standar Pelayanan Medik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Bandung: RSHS.Bahri, H. A. Syaiful, Andreas H., J. M. F. Adam, H. Harsinen S. 2011. Sub Bagian Endokrin-Metabolik Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Makassar: Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Unhas. Brooks, Geo F., Janet S. Butel, Stephen A. Morse. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg. Jakarta: EGC.

Deanna A. Hagge, Nashone A. Ray, James L. Krahenbuhl, and Linda B. Adams. 2004. An In Vitro Model for the Lepromatous Leprosy Granuloma. Fate of Mycobacterium Leprae from Target Macrophages After Interaction with Normal and Activated Effector Macrophages The Journal of Immunology, 172: 7771-9

Dennies L. Kasper et al. 2005. Leprosy. Dalam: Horrisons Principles of Internal Medicine. Sixteenth Edition.

ISFI. 2006. ISO Indonesia. Volume 41. Jakarta: Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.

Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: EGC.

Kayser, F. H., K. A. Bienz, J. Eckert, R. M. Zinkernagel. 2005. Medical Microbiology. New York: Thieme Stuttgart.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. 2007. Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5 Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Mogyoros, I., Bustock H., Burke D. 2000. Mechanisms of paresthesias arising from healthy axons. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10679707. Diakses pada 21 September 2011 pada pukul 03.51 WIB.

Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill. Halaman 1789-96.

Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. 2007. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill. Halaman 665-71.