paper madpem

13
PL 3201 MANAJEMEN DAN ADMINISTRASI PEMBANGUNAN MANAJEMEN KONFLIK Oleh : Hafnita Linda Liza Mona (15409070) Dosen : Andi Oetomo, Ir., M.PI PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN

Upload: hafnita-linda-liza-mona

Post on 24-Jul-2015

80 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Paper Madpem

PL 3201 MANAJEMEN DAN ADMINISTRASI PEMBANGUNAN

MANAJEMEN KONFLIK

Oleh :

Hafnita Linda Liza Mona (15409070)

Dosen :

Andi Oetomo, Ir., M.PI

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN

KEBIJAKAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2012

Page 2: Paper Madpem

A. Pendahuluan

Konflik merupakan hal yang sering terjadi dalam kehidupan manusia.

Konflik ini terjadi akibat adanya interaksi antar individu ataupun antar

kelompok. Hal yang mendasari terjadinya konflik ini yaitu adanya perbedaan

yang ada di setiap individu. Konflik yang terjadi tidak selamanya merugikan,

karena selain bersifat negatif (destruktif), konflik juga dipandang memiliki

nilai positif (konstruktif). Oleh karena itu, diperlukan cara menyikapi konflik

ini sehingga konflik yang terjadi lebih bernilai konstruktif. Melalui manajemen

konflik diharapkan perselisihan yang terjadi dapat diarahkan ke hasil akhir

berupa penyelesaian atau sesuatu lainnya yang bernilai konstruktif. Maka

untuk mengenal dan mengetahui lebih dalam mengenai konflik, paper ini

akan menjabarkan teori mengenai konflik dan manajemen konflik serta

keterkaitannya didalam bidang perencanaan.

B.Konfik

Istilah konflik pastinya sudah tidak asing lagi dalam kehidupan sehari-hari.

Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan.

Bahkan sepanjang kehidupan, manusia senantiasa dihadapkan dengan

konflik. Terdapat beberapa pengertian mengenai konflik menurut para ahli,

menurut Minnery (1986) konflik merupakan fenomena yang kompleks,

sifatnya dinamis, sulit dipahami, dan tidak dapat didefinisikan dengan pasti.

Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik merupakan kondisi terjadinya

ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang

ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain.

Menurut Nardjana (1994), konflik adalah akibat situasi dimana keinginan

atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain,

sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat diartikan bahwa inti dari

konflik yaitu :

• Adanya perselisihan dan/atau pertentangan

• Melibatkan dua pihak atau lebih (baik antar individu atau kelompok)

• Melibatkan perbedaan tujuan, kepentingan, nilai-nilai, cara pandang,

terhadap kondisi keterbatasan sumberdaya tertentu.

• Adanya tindakan untuk saling menghancurkan dan/atau merugikan.

Page 3: Paper Madpem

Konflik merupakan bentuk hubungan yang terjadi apabila masing-masing

aktor memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerjasama

satu sama lain. Dalam perencanaan, sangat mungkin terjadi suatu konflik

diantara aktor-aktor yang terkait yaitu pemerintah, pihak swasta, dan

masyarakat. Misalnya antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat,

antara pemerintah dengan pihak swasta atau masyarakat, atau antara

swasta dengan masyarakat.

Menurut Don Hellriegel dan Slocum, terdapat tiga macam tipe dasar

penyebab konflik yaitu:

• Konflik Tujuan (goal conflict), yaitu konflik yang terjadi apabila hasil akhir

yang diinginkan atau hasil yang dipreferensi, tidak bersifat kompatibel.

• Konflik Kognitif (cognitive conflict), yaitu konflik yang muncul apabila

individu-individu menyadari bahwa pemikiran mereka atau ide-ide mereka

tidak konsisten satu sama lain.

• Konflik Efektif, yaitu konflik yang muncul apabila perasaan-perasaan atau

emosi-emosi tidak kompatibel satu sama lain.

Selain itu, terdapat teori penyebab konflik yang terdiri dari :

• Teori Hubungan Masyarakat

Konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan,

dan permusuhan antar kelompok.

• Teori Negosiasi Prinsip

Konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan

pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.

• Teori Kebutuhan Manusia

Konflik disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental, dan

sosial) yang tidak terpenuhi.

• Teori Identitas

Konflik disebabkan karena identitas yang terancam, sering berakar pada

hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan.

• Teori Kesalahpahaman Antar Budaya

Konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi

diantara berbagai budaya yang berbeda.

• Teori Transformasi Konflik

Page 4: Paper Madpem

Konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan

ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan

ekonomi.

Pondy (1967) mengembangkan sebuah model tentang proses konflik yang

disebut sebagai “five stages of a conflict episode”. Berikut ini adalah lima

tahapan yang dilalui sejak suatu konflik itu berawal sebagai suatu proses.

Gambar 1. Tahapan Konflik

Sumber : Conflict management in Urban Planning

Berdasarkan tahapan di atas, Latent Conlict merupakan tahap dimana

muncul faktor-faktor dalam situasi yang dapat menjadi kekuatan potensial

guna mendorong konflik. Konflik laten sifatnya tersembunyi dan perlu

diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Selanjutnya

Percieved Conflict merupakan tahap pada waktu mana satu pihak

memandang pihak lain seperti akan menghambat atau mengancam

sasarannya. Lalu, Felt Conflict adalah tahap dimana konflik tersebut tidak

hanya dipandang atau dianggap ada, namun benar-benar dirasakan dan

dikenali keberadaannya. Sedangkan Manifest Conflict merupakan tahap

dimana kedua belah pihak berperilaku yang mengundang tanggapan dari

pihak lain. Dan tahap terakhir yaitu Conflict Aftermath dimana tahap sesudah

konflik diatasi, tetapi masih terdapat sisa-sisa ketegangan yang tertinggal

pada pihak-pihak yang bersangkutan yang nantinya disamping hal-hal lain

dapat menjadi dasar bagi Latent Conflict pada episode berikutnya.

Konflik dapat dipandang dari dua sisi, yaitu sisi positif yang membangun

(konstruktif) dan negatif yang merusak (destruktif). Seorang pakar bernama

Deustch menganggap bahwa hal yang harus dilakukan ketika muncul konflik

bukan untuk menghilangkan atau mencegah konflik, melainkan bagaimana

menjadikan konflik itu sesuatu yang produktif atau berguna.

Menurut G. Simmel (1955) dan L. Coser (1956), konflik memiliki aspek

positif yaitu mencegah terjadinya stagnasi/kemandekan, mendorong

timbulnya perhatian & rasa ingin tahu, sebagai salah satu cara untuk

Latent Conflict

Percieved Conflict Felt Conflict Manifest

ConflictConflict

Aftermath

Page 5: Paper Madpem

mengangkat dan mengedepankan masalah/persoalan, sebagai akar

penyebab bagi perubahan pribadi dan masyarakat, menciptakan dan

memperkuat identitas pribadi, jika konflik dilakukan dengan pihak luar akan

memperkuat kohesi/rasa keterikatan terhadap kelompok sendiri, diantara

kelompok-kelompok bertentangan bisa menciptakan fungsi-fungsi stabilisasi

dan integrasi bagi hubungan-hubungan sosial yang ada (mendorong

penyesuaian-penyesuaian yang mengakibatkan lahirnya sistem dan struktur

kemasyarakatan yang baru yang lebih bisa diterima semua pihak), dan dapat

merevitalisasi norma-norma yang ada maupun memunculkan norma-norma

baru (yang lebih sesuai dengan tuntutan kondisi baru).

Sedangkan konflik apabila dipandang dari sudut pandang negatif dapat

menghambat komunikasi antar setiap aktor, mengganggu kerjasama antara

aktor-aktor pembangunan, menggangu proses perencanaan dan

pelaksanaan, serta menumbuhkan ketidakpuasan terhadap sesuatu.

C. Konflik dalam Perencanaan

Seperti yang telah dijelaskan di awal, konflik dapat terjadi dimana-mana

dan di dalam perencanaan juga terjadi konflik. Minnery (1985)

mengungkapkan bahwa salah satu sumber konflik dalam perencanaan

adalah kebijakan. Suatu kebijakan dapat memuat larangan atau perintah

untuk melakukan sesuatu. Ada kepentingan dari pihak tertentu yang harus

dikorbankan dalam proses pengambilan kebijakan. Kepentingan yang saling

berbenturan antara pemangku kepentingan dapat menimbulkan konflik yang

harus mendapatkan upaya-upaya penyelesaian hingga akhirnya menemukan

titik temu untuk mengambil kebijakan. Hightower (1969) dan Faludi (1973)

dalam Minnery (1986:58) menyebutkan tipologi konflik dalam perencanaan

digolongkan menjadi empat, yaitu:

a. Konflik dalam (in) perencanaan kota

Konflik yang dipicu baik oleh individu maupun kelompok tentang

pemanfaatan sumberdaya terutama ketersediaan lahan. Konflik yang

berbasis sumberdaya merupakan aspek utama yang dibahas dalam

perencanaan kota. Sumber daya tersebut antara lain adalah fisik maupun

nonfisik. Dalam kategori ini konflik sumber daya (alam, fisik, informasi, dll)

merupakan sumber konflik utama (Minery. 1985; Forester, 1989) dimulai dari

permohonan zonasi hingga memeriksa disain rencana yang merupakan

kegiatan sehari-hari perencana yang penuh situasi konflik.

Page 6: Paper Madpem

b. Konflik melalui (through) perencanaan kota

Konflik dengan titik berat permasalahan pada hal-hal seputar

tanggungjawab perencana (issues about boundaries of responsibility)

meliputi konflik profesi dan antarorganisasi.

c. Konflik terhadap (over) perencanaan kota

Tipologi konflik ini terdiri dari adanya jenis debat filosofis yang dipicu oleh

perbedaan pemahaman mendasar (ideological differences) terhadap

perencanaan. Pertanyaan yang muncul dapat berupa perlu tidaknya

perencanaan. Konflik ini meliputi konflik perencanaan kota dalam konteks

hubungan antar pribadi (the human dimension of conflict), konflik

perencanaan kota dalam konteks proses sosial (the social context of urban

planning) dan konflik perencanaan dalam konteks bangsa/negara (the

nation-state context of urban planning).

d. Konflik mengenai (of) perencanaan kota

Jenis konflik yang berkaitan dengan cara, metode, landasan, dan prosedur

perencanaan kota, dari tahap pembuatan sampai tahap mekanisme

implementasi rencana. Tahap terakhir diyakini membutuhkan desain politik

sebagai sumber legitimasi sebuah rencana.

D.Manajemen Konflik

Setelah dijelaskan mengenai konflik yang dapat memiliki fungsi konstruktif

maupun fungsi destruktif, maka dibutuhkan sebuah manajemen konflik.

Manajemen konflik ini bertujuan untuk menyatukan kepentingan-

kepentingan dari berbagai pihak yang mengalami konflik hingga menemui

satu titik sebagai jalan keluar terhadap konflik tersebut. Menurut Ross

(1933), manajemen konflik adalah langkah-langkah yang diambil para pelaku

atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan kearah hasil

tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa

penyelesaian atau menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat,

atau agresif. Manajemen konflik juga dapat dijelaskan sebagai usaha yang

dilakukan untuk mengarahkan fungsi konstruktif suatu konflik lebih besar

dari fungsi destruktifnya.

Page 7: Paper Madpem

Sementara Minnery (1985) menyatakan bahwa manajemen konflik

merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan

proses. Proses manajemen konflik perencanaan kota merupakan bagian yang

rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa pendekatan model manajemen

konflik perencanaan kota secara terus menerus mengalami penyempurnaan

sampai mencapai model yang representatif dan ideal.

Manajemen konflik di dalam perencanaan kota meliputi beberapa langkah

yaitu : penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau

ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi

konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya),

menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, menentukan

peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola

konflik.

Menurut Fisher (2001), pendekatan dalam manajemen konflik secara lebih

umum dapat menggambarkan situasi secara keseluruhan seperti:

• Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang

keras.

• Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan

melalui suatu persetujuan perdamaian.

• Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari

kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak

yang terlibat.

• Resolusi Konflik, bertujuan untuk menangani sebab-sebab konflik dan

berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara

kelompok-kelompok yang bermusuhan.

• Transformasi Konflik, bertujuan untuk mengatasi sumber-sumber konflik

sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan

negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.

E. Strategi Manajemen Konflik

Menurut Chin dan Benne (1976), terdapat tiga tipe strategi dalam

manajemen konflik, yaitu:

Empirical-rational strategies

Page 8: Paper Madpem

Asumsi dasar dalam strategi ini adalah bahwa setiap orang akan

mengikuti pemikiran yang rasional sehingga perubahan baik dalam individu

maupun dalam organisasinya dapat terjadi.

Normative-reeducative strategies

Strategi ini mempunyai asumsi bahwa pola tindakan dan kegiatan

dipengaruhi oleh norma sociocultural dan komitmen individual sehingga

perubahan yang terjadi bukan hanya perubahan pengetahuan, informasi,

atau rasionalitas intelektual saja tapi juga perubahan perilaku, nilai-nilai,

keahlian dan hubungan yang signifikan.

Power-coercive strategies

Penggunaan kekuatan dalam penyelesaian konflik baik dalam bentuk

kekuatan politik maupun kekuatan lain sehingga akan menjadikan

perubahan dalam pihak-pihak yang ada dalam konflik tersebut.

Manajemen konflik konstruktif yaitu upaya mengembangkan solusi yang

membangun dan menguntungkan untuk semua pihak. Dalam hal ini,

terdapat fokus terhadap kebutuhan akan proses kooperatif dalam

menyelesaikan masalah bukan hanya pada hasilnya. Lebih disukai ketika

kekuatan pada setiap pihak relatif sama, walaupun pihak tersebut telah

menawarkan beberapa persetujuan tentang bagaimana pihak lemah dapat

menyangga dari posisi mereka dalam situasi yang tepat. (Deutsch, 1973,

Fisher 1983)

Dalam mendiskusikan manajemen konflik, perbedaan tindakan antara

penempatan tindakan pada satu pihak, dua pihak dan lebih selalu

dipertimbangkan. (Gulliver 1979, Nader&Todd 1978). Berdasarkan hal

tersebut dan menurut Ross (1993) terdapat tiga strategi manajemen konflik,

yaitu :

a. Self-Help Strategies

Mengurutkan dari penggunaan paksaan fisik sampai penarikan kembali,

yaitu tindakan individu atau kelompok yang memajukan kepentingan sendiri

tanpa koordinasi dengan yang lain. Strategi self-help sering dilihat sebagai

suatu tindakan sepihak yang bersifat destruktif dan dapat digunakan untuk

tindakan konstruktif dalam bentuk menarik diri, menghindar, tidak

mengikuti, atau melakukan tindakan independen.

b. Joint Problem Solving

Page 9: Paper Madpem

Meliputi prinsip-prinsip pembantahan dengan peran bersama untuk

menyelesaikan pertentangan, yaitu dapat dengan penawaran langsung antar

pihak dengan mediasi, arbitrasi dan negosiasi. Joint problem solving

memungkinkan adanya kontrol terhadap hasil yang dicapai oleh kelompok-

kelompok yang terlibat. Keputusan diambil secara bersama dan memberikan

keuntungan dengan kadar yang berbeda untuk setiap kelompok. Terdapat

beberapa strategi dalam joint problem solving ini yaitu:

• Identification of Conflict, menterjemahkan keluhan yang tersamar dari

pihak lain menjadi keinginan aktual/konkret

• Weighting Interest, menstrukturkan nilai yang dimiliki yang dimiliki

masing-masing pihak untuk mendapatkan kesamaan pandangan dalam

memandang suatu masalah

• Third Party Assistence Support, menyediakan tempat untuk

mempertemukan pelaku, memfasilitasi komunikasi, membuat prosedur,

membantu mendefinisikan perbedaan-perbedaan yang mendasar

• Effective Communication, menjamin berlangsungnya komunikasi efektif

walaupun tanpa disertai pertemuan fisik.

c. Third Party Decision Making

Menghasilkan keputusan final. Pihak ketiga merepresentasikan komunitas

yang lebih besar, membuat keputusan yang mengikat pembantahan atau

pertentangan melalui petunjuk untuk peranan norma dan kaidah. Pihak

ketiga membuat keputusan yang mengikat berdasarkan aturan-aturan untuk

mencapai hasil yang pasti. Keputusan yang diambil oleh pihak ketiga dapat

diterima oleh pihak-pihak yang terlibat konflik karena dianggap mempunyai

pegangan/pedoman yang baik.

Sejauh ini, posisi perencana merupakan posisi pihak ketiga. Strategi dalam

Third Party Decision Making atau dalam posisi pihak ketiga, yaitu:

• Mediation (penengah); mempertimbangkan tuntutan kedua belah pihak

lawan dan tidak mendukung salah satu pihak

• Bargaining (tawar menawar); memberikan penawaran, kompensasi, atau

negosiasi dari pihak terkait (Stern, 1976)

• Advocacy (pembelaan); melibatkan sebuah situasi dari kekuatan yang

tidak berimbang, tetapi melibatkan pihak ketiga yang memiliki kekuatan

dan keinginan untuk meluruskan ketidakseimbangan konflik

Page 10: Paper Madpem

• Persuasion (pembujukan); pemecahan konflik oleh salah satu pihak

dengan pihak lain secara objektif meninggalkan posisi asalnya, dan

• Arbitration (arbitrasi); menempatkan perselisihan dimana keputusannya

bersifat mengikat yang dibuat berdasarkan tuntutan konflik dari pihak

terkait dalam suatu perselisihan oleh pihak ketiga.

F. Kesimpulan

Manajemen konflik dan perencanaan kota merupakan suatu proses yang tidak dapat

dipisahkan. Saat suatu konflik muncul dan tidak dapat dihindari, konflik tersebut harus

dapat diidentifikasi karakteristiknya untuk diselesaikan. Konflik tersebut perlu di

evaluasi jika tidak memberi manfaat atau tidak dapat dikendalikan, maka diperlukan

tindakan selanjutnya. Manajemen konflik bertujuan untuk menjadikan konflik itu

berfungsi konstruktif sehingga konsep win-win solution harus ditegakkan agar tidak ada

pihak yang merasa dirugikan. Konflik sendiri terbagi menjadi dua yaitu konflik laten

(belum terjadi) dan konflik manifest (sudah terjadi). Seorang perencana lebih terfokus

pada penyelesaian konflik laten karena perencana seharusnya sudah bisa meramalkan

dan mengupayakan penyelesaian masalah yang belum terjadi. Kebijakan yang dibuat

oleh seorang perencana sebisa mungkin merupakan win-win solution untuk stakeholder

yang terkait.

Daftar Pustaka

Fisher, Simon, dkk. Mengelola Konflik. 2000. The British Council : Indonesia.

Minnery, John R. Conflict Management in Urban Planning. 1985. Gower Publishing

Company : USA.

Ross, Marc Howard. The Management of Conflict. 1993. Yale University Press : London.

Slide Kuliah Bapak Andi Oetomo “Manajemen Konflik dalam Penataan Ruang Wilayah dan

Kota”

Page 11: Paper Madpem