obat-obat hipertensi.doc
TRANSCRIPT
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
1/16
Obat-obat Hipertensi
Obat-obat yang dipakai untuk mengobati hipertensi meliputi simpatolitik, penghambatenzim pengubah angiotensin (ACE inhibitor), penghambat reseptor angiotensin,
penghambat kanal kalsium, vasodilator, dan diuretic (Tabel 15-1). Sampai tingkatan
tertentu, obat-obat ini bereaksi dengan mengganggu mekanisme homeostatic normal.Kemanjuran, toksisitas, dan kombinasi yang tepat dari obat-obat hipertensi ini dapat
diprediksi dengan memperhitungkan tempat dan mekanisme obat-obat ini. Efektivitas
obat yang diberikan tidak dapat dianggap sebagai bukti bahwa mekanisme aksinyaberhubungan dengan patogenesis hipertensi sistemik.
Tabel 15-1. Obat-obat yang digunakan untuk menerapi hipertensi sistemik
Simpatolitik
Penghambat Beta-adrenergik (acebutolol, atenolol, betaxolol, bisoprolol, carteolol,metoprolol, nadolol, penbutolol, pindolol, propanolol, timolol)
Labetolol
PrazosinTerazosin
Doxazosin
Clonidine
Penghambat enzim pengubah-angiotensin
Captopril
Enlapril
BenazeprilFosinopril
Lisinopril
Quinapril
RamiprilPenghambat reseptor angiotensinLosartan
Penghambat saluran kalsium
Diltiazem
Nicardipine
NifedipineVerpamil
Felodipine
Isradipine
Obat-obat vasodilator
HydralazineMinoxidil
Diuretik
Thiazides
Loop diuretik (bumetanide, ethracrynic acid, furosemide, torsemide)Diuretik penghemat-potassium (amiloride, sprionolactone, triamterene)
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
2/16
Interaksi potensial antara obat antihipertensi dan anestesi terlalu dilebih-lebihkan.
Jika interaksi tersebut terjadi, biasanya hal itu dapat diperkirakan dan dengan demikian
interaksi tersebut dapat dihindari atau diminimalkan efeknya. Hal khusus yang munculselama pemberian anestesi kepada pasien yang mendapatkan obat antihipertensi
mencakup (a) berkurangnya aktivitas sistem syaraf simpatik, (b) perubahan respon
terhadap obat simpatomimetik, dan (c) sedasi. Berkurangnya aktivitas sistem syarafsimpatik terlihat pada hipotensi ortostatik dan turunnya tekanan darah sistemik yang
sangat besar selama anestesi karena merespon (a) kehilangan darah yang akut, (b)
perubahan posisi tubuh, atau (c) turunnya venous return karena tekanan positif ventilasiparu-paru. Obat antihipertensi mengakibatkan habisnya norephinephrine dari ujung-ujung
syaraf atau beraksi pada otot vaskular periferal dengan mengurangi kepekaan terhadap
obat simpatomimetik yang beraksi secara tidak langsung (Eger dan Hamilton, 1959).
Sebaliknya, terhambatnya sistem syaraf simpatik, yang menghalangi reseptor alfa-adrenergik terhadap denyut tonik, akan mengakibatkan berlebihnya respon terhadap obat
katekolamin dan simpatomimetik yang beraksi secara langsung.
Dipertahankannya terapi obat hipertensi selama perioperasi dikaitkan dengan
lebih sedikitnya fluktuasi tekanan darah sistemik dan jantung selama anestesi. Pasienyang menjalani terapi obat antihipertensi selama masa perioperasi juga lebih terhindar
dari disritmia kardiak (Prys-Roberts et al., 1971). Adalah kesimpulan yang tak dapatdielakkan bahwa terapi obat antihipertensi yang sebelumnya memang efektif seharusnya
dilanjutkan terus selama masa perioperasi. Sehubungan dengan hal ini, dosis biasa dan
farmakologi khusus dari tiap obat antihipertensi serta refleks fisiologis yang timbulsebagai respon terhadap perubahan tekanan darah karena obat harus dipertimbangkan
dalam merencanakan dilakukannya anestesi.
SimpatolitikPenghambat Beta-adrenergik
Penghambat Beta-adrenergik yang dipakai sebagai terapi obat tunggal untuk
hipertensi sistemik adalah yang paling efektif bagi pasien-pasien muda dan berusiamenengah, juga untuk penderita penyakit arteri koroner. Penggunaan penghambat beta
sebagai terapi antihipertensi berbeda, dalam pengertian interval dosis, dengan
pemakaiannya sebagai terapi anti angina. Pada pasien-pasien penderita angina, pemberianobat serum yang tidak memadai akan meningkatkan resiko iskemia miokardial.
Sebaliknya, penambahan interval dosis pada pasien pengidap hipertensi ringan dan
sedang akan meningkatkan penyembuhannya dan relatif aman. Propanolol adalah
penghambat beta yang dipakai dalam interval terpanjang, namun sejumlah obatpenghambat beta lain memiliki sifat-sifat yang lebih bermanfaat.
Mekanisme aksiPenghambat beta dapat diklasifikasikan mengacu pada apakah obat itu
menunjukkan sifat-sifat selektif atau non selektif dan apakah obat itu memiliki aktivitas
simpatomimetik intrinsik. Penghambat beta yang memiliki sifat selektif hanya terbataspada reseptor beta (kardiak), sementara penghambat beta nonselektif memiliki afinitas
yang sama dengan reseptor beta1, dan beta2 (otot vaskular dan otot bronkial, metabolis).
Penghambat beta yang memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik cenderung jarang
menimbulkan bradikardia sehingga tidak memungkinkan untuk menunjukkan disfungsi
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
3/16
ventrikular kiri. Obat ini juga jarang menimbulkan vasospasme dan dengan demikian
memperburuk gejala penyakit vaskular periferal. Efek antihipertensi penghambat beta
dapat dikurangi oleh obat-obat nonsteroidal antiinflamasi.Berbeda dengan penghambat beta non selektif, penghambat beta1 selektif
(asebutolol, atenolol, metoprolol) yang diberikan dalam dosis rendah tidak akan
menimbulkan bronkospasme, penurunan aliran darah periferal, atau tertutupnyahipoglikemia. Karena itulah penghambat beta adalah obat yang lebih banyak digunakan
untuk pasien-pasien pengidap penyakit paru-paru, diabetes mellitus yang tergantung
insulin, atau penyakit vaskular periferal bergejala. Efek simpatomimetik intrinsik dariasebutolol dan pindolol bermanfaat bagi pasien-pasien yang mengalami bradikardia dan
gagal jantung kongestif. Metoprolol, propanolol, dan timolol dianggap memiliki sifat
kardioprotektif.
Efek Samping
Pengobatan hipertensi dengan penghambat beta memungkinkan timbulnya resiko
tertentu, mencakup bradikardia, gagal jantung kongestif, bronkospasme, klaudikasi,
tertutupnya hipoglikemia, sedasi, impotensi, dan kemungkinan juga munculnya anginapectoris jika pemberian obat tiba-tiba dihentikan. Pasien-pasien yang mengalami gagal
jantung kongestif atau bersamaan dengan tertutupnya jantung tidak dapat menerimapenghambat beta melebihi dari dosis sedang. Pasien-pasien penderita asma seharusnya
tidak diberi penghambat beta. Terapi antihipertensi jangka panjang dengan penghambat
beta dapat mengakibatkan terjadinya atau memburuknya intoleransi glukosa (Dornhost etal., 1985; Witchcroft, 1985). Penghambat beta berpotensi meningkatkan resiko
hipoglikemi yang serius pada pasien diabetes karena menumpulkan respon sistem syaraf
otonom yang dapat memperingatkan terjadinya hipoglikemia. Meskipun demikian,
kasus hipoglikemia tidak terlihat meningkat pada pasien diabetes yang mendapatantagonis beta-adrenergik untuk mengontrol hipertensi (Shorr et al., 1997).
LabetololLabetolol memadukan sifat-sifat penghambat dari alfa1-adrenergik dan beta-
adrenergik serta juga menimbulkan efek vasodilatasi secara langsung. Adanya sifat
penghambatan menjadikan alfa-adrenergik jarang mengakibatkan bradikardia dan efeknegatif inotropik jika dibandingkan dengan penghambat beta. Sifat alfa ini dapat
mengakibatkan hipotensi ortostatik. Kasus bronkospasme serupa, terlihat juga dalam
pengobatan dengan atenolol dan metoprolol. Pengobatan dengan labetolol dapat
mengakibatkan naiknya plasma aminotransferase. Tidak adanya komplikasi sehubungandengan pemberian obat ini lebih sedikit terjadi bila dibandigkan dengan penghambat beta.
Metabolit labetolol dalam plasma tersebut dapat mengakibatkan diagnosis keliru terhadap
pheokromasitoma (Bouloux et al., 1985). Paresthesis (kulit kepala gatal) dantersumbatnya urine kemungkinan akan menyertai pemberian obat ini untuk hipertensi.
PrazosinPrazosin adalah antagonis reseptor alfa1-adrenergik selektif postsinaptik
mengakibatkan efek vasodilatasi terhadap vaskulatur arterial dan vena. Tidak adanya
antagonisme reseptor alfa2 prasinaptik menyebabkan hambatan normal dari hambatan
lengkap norephinephrine. Obat ini tidak menimbulkan refleks yang meningkatkan
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
4/16
keluaran cardiac output dan pelepasan renin. Jika prazosin dipakai sebagai satu-satunya
obat antihipertensi untuk mengobati hipertensi ringan dan sedang, maka hal itu kurang
efektif dibandingan dengan thiazida diuretik. Meskipun demikian jika digunakan sebagaiobat sekunder yang dikombinasi dengan diuretik, prazosin terbukti cukup efektif untuk
pasien muda yang mengidap hipertensi yang cukup berat. Penerimaan pasien terhadap
prazosin relatif tinggi.
Selain untuk pengobatan hipertensi esensial, prazosin juga bermanfaat untukmengurangi beban pasien gagal jantung kongestif. Efektivitas prazosin sebagai obat
antidisritmik kardiak telah terbukti dengan meningkatnya dosis epinephrine eksogen yang
dibutuhkan untuk menimbulkan disritmia kardiak selama anestesi halothane pada hewan
(Maze dan Smith, 1983). Hal ini menunjukkan peran reseptor alfa-adrenergikpostsinaptik dalam miokardium untuk sensitisasi kardiak yang dipengaruhi halothane.
Prazosin juga merupakan obat yang sangat bermanfaat untuk persiapan praoperasi bagi
pasien pheoromasitoma. Obat ini digunakan untuk mengurangi vasospasme pada
fenomena Raynaud. Indikasi bermanfaat prazosin lainnya adalah untuk pengobatanhipertrofi prostatik ringan pada pria dewasa, karena obat ini mengurangi ukuran kelenjar
(Foglar et al., 1995).
Farmakokinetik
Prazosin nyaris termobilisasi sepenuhnya, dan kurang dari 60 % bioavaibilitassetelah pemberian oral menunjukkan metabolisme hepatis pertama yang penting, waktu
paruh sekitar 3 jam dan akan bertambah lama bila terjadi gagal jantung kongestif namun
bukan disfungsi ginjal. Kenyataannya obat ini dimetabolisasi dalam hati sehingga
memungkinkan penggunaannya pada pasien gagal ginjal tanpa mengubah dosisnya.
Efek-efek kardiovaskular
Prazosin mengurangi resistensi vaskular sistemik tanpa menyebabkan takikardiyang dipengaruhi refleks atau meningkatkan aktivitas ginjal yang terjadi selama
pemberian hydralazine atau minoksidil. Kegagalan mengubah aktivitas plasma ginjal
menunjukkan berlanjutnya aktivitas reseptor alfa2 yang secara normal menghambatpelepasan renin. Kemampuan vaskular baik dalam resistensi maupun pembuluh
kapasitans turun mengakibatkan turunnya vena balik dan keluaran kardiak. Karena lebih
besarnya afinitas reseptor alfa dalam vena daripada arteri, maka prazosin menimbulkan
perubahan hemodinamis (hipotensi ortostatik) yang lebij menyerupai nitrogliserindaripada hidralazine.
Efek SampingEfek samping prazosin meliputi vertigo, penyimpanan cairan, dan hipotensi
ortostatik. Penyimpanan cairan memerlukan pemberian diureyik secara bersamaan. Pada
beberapa kasus, setelah dosis pertama prazosin, pasien kemungkinan mengalami sinkopmendadak yang biasanya bersifat postural dan terkait dengan dosisi. Vasodilatasi
periferal akut diduga menyebabkan lemahnya respon sinkopal ini. Obat anti peradangan
nonsteroidal bisa menghalangi efek anti hipertensif dari prazosin. Mulut kering. Kongesti
hidung, mimpi buruk, sering buang air kecil, lesu, dan disfungsi seksual dapat menyertai
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
5/16
pemberian obat ini. Hipotensi selama anestesi epidural dapat melebih-lebihkan
keberadaan prazosin, menunjukkan penghmabtan alfa1 karena obat sehingga mencegah
kompensasi vasokontriksi dalam bagian tubuh yang tidak terhambat (Lydiatt et al., 1993).Turunnya resistensi vaskular sistemik mengakibatkan hipotensi yang kemungkinan tidak
responsif terhadap dosis klinis agonis alfa1-adrenergik seperti phenilephrine. Dalam
keadaan ini, pemberian epinephrine diperlukan untuk meningkatkan resistensi vaskularsistemik dan tekanan darah sistemik. Kombinasi prazosin dan penghambat beta diduga
dapat mengakibatkan hipotensi refraktoris selama anestesi regional karena respon
terhadap beta1 serta agonis alfa1 yang berpotensi tumpul.
Terazosin dan Doxazosin
Terazosin dan doxazosin menyerupai prazosin, yakni berlaku sebagai agonis
reseptor alfa1. efek sampingnya juga serupa dengan prazosin. Manfaat dari obat iniadalah kemanjurannya jika diberikan sekali dalam sehari.
Clonidine
Clonidine adalah agonis alfa1-adrenergis parsial selektif (alfa2 dan alfa1berbanding 220:1) yang berlaku sebagai obat antihipertensif karena kemampuannya
mengurangi keluaran sistem syaraf simpatis dari sistem syaraf pusat (SSP). Obat initerbukti efektif dalam menyembuhkan pasien penderita hipertensi berat atau penyakit
yang berhubungan dengan renin. Dosis harian biasa untuk pasien dewasa secara oral
adalah 0,2-0,3 mg. Ketersediaan clonidine transdermal yang dirancang untuk pemberianmingguan sangat bermanfaat untuk pasien bedah yang tidak mampu menjalani
pengobatan medis secara oral.
Manfaat Klinis Lainnya
Analgesia
Pemberian clonidine tanpa pengawet ke dalam ruang epidural atau subarachnoid(150-450 g) menyebabkan anelgesia tergantung dosis (dose-dependent analgesia) dan,
berbeda dengan opioid, tidak menimbulkan depresi ventilasi, pruritus, nausea, dan
muntah, atau tertundanya pengosongan gastrik (Asai et al., 1997; Bonnet et al., 1989;Eisenach et al., 1996; Filos et al., 1994). Diaktifkannya reseptor alfa2 postsinaptik dalam
gelatinosa substansia tulang belakang dianggap merupakan mekanisme di mana clonidine
bisa menyebabkan analgesia. Clonidine dan morfin, jika digunakan secara bersamaan
sebagai analgesik neuraksial tidak memperlihatkan toleransi silang (Milne et al., 1985).Hipotensi, sedasi, dan mulut kering dapat menyertai penggunaan clonidine neruaksial
sehingga mengakibatkan analgesia.
Pengobatan clonidine oral praanestesia (5 g/kg) mendorong timbulnya analgesia
pascaoperasi karena morfin intratekal ditambah tetracaine tanpa meningkatkan intensitas
efek samping dari morfin (Goyagi dan Nishikawa, 1996). Dosis pengobatan clonidinepraanestesi yang sama akan: (a) menumpulkan refleks takikardia yang berhubungan
langsung dengan laringoskopi untuk intubasi trakea, (b) turunnya labilitas intraoperasi
tekanan darah dan jantung, (c) turunnya konsenstrasi plasma katekolamin, dan (d) secara
dramatis menurunkan kebutuhan anestetis akan obat yang dihirup (MAC) dan
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
6/16
disuntikkan (Engleman et al., 1989; Flacke et al., 1987; Ghigone et al., 1987; Quintin et
al., 1996). Dosis kecil clonidine secara oral (2 g/kg) mengurangi episode iskemik
miokardial perioperasi tanpa mengurangi stabilitas hemodinamis pada pasien yangdiduga atau memang menderita penyakit arteri koroner (Stuhmeier et al., 1996).
Clonidine secara signifikan tidak berpotensi menimbulkan depresi ventilasi karena
morfin (Bailey et al., 1991). Disebutkan bahwa pengobatan praanestetis clonidine secaraoral justru menambah dan bukannya mengurangi respon penekanan terhadap ephedrine
intravena (IV) (Nishikawa et al., 1991). Respon yang bertambah ini merupakan
pertimbangan dalam menentukan dosis ephedrine yang dibutuhkan untuk menyembuhkanhipotensi yang berhubungan dengan pemberian clonidine selama masa praoperasi.
Kenyataan bahwa efek clonidine yang paling menonjol adalah menurunkan aktivitas
sistem syaraf simpatik, membuka kemungkinan bahwa respon kardiovaskular terhadap
hipotensi dapat dikurangi. Meskipun demikian, terdapat bukti bahwa konsentrasi plasmakatekolamin dapat meningkatkan respon terhadap hipotensi walau clonidine telah
diberikan sebelumnya (Doddo et al., 1997).
Bertambah Lamanya Efek Anestesi Regional
Clonidine, 75-105 g, ditambahkan pada larutan yang mengandung tetrakain atau
bupivakain dan ditempatkan dalam ruang subarachnoid untuk memperpanjang durasipenghambatan syaraf sensori dan motoris yang terjadi karena anestesi lokal (Bonnet et
al., 1989; Goyagi dan Nishikawa, 1996). Perlunya infus cairan dan turunnya tekanan
darah diastolik kemungkinan lebih besar terjadi pada pasien-pasien yang menerima
larutan anestesi lokal yang mengandung clonidine. Bradikardia janin bisa membatasimanfaat clonidine subarachnoid pada pasien obstetrik (Eisenach dan Dewan, 1990).
Pemberian clonidine secara oral 150-200 g, 1-1,5 jam sebelum dilakukannya anestesi
spinal dengan tetrakain atau lidokain mengakibatkan bertambah lamanya anestesisensoris secara significan (Liu et al., 1995; Ota et al., 1994). Dalam hasil riset lain,
clonidine oral, 200 g, mempersingkat waktu permulaan penghambatan sensoris dan
motoris (Singh et al., 1994). Kendati demikian, premedikasi clonidine meningkatkanresiko bradikardia dan hipotensi yang secara klinis signifikan. Mekanisme untuk
clonidine oral yang memperlama anestesi spinal tetap harus ditentukan (Liu et al., 1995).
Penambahan clonidine 0,5 g/kg untuk larutan yang mengandung 1 % mepivacane
sehingga memperpanjang durasi penghambatan Plexus brakial dilakukan melaluipendekatan aksiler.
Diagnosis PheokromositomaClonidine oral sebanyak 0,3 mg akan mengurangi konsentrasi plasma katekolamin
pada pasien normal namun tidak demikian jika terjadi pheokromositoma (Bravo et al.,
1981). Hal ini mencerminkan kemampuan clonidine untuk menekan pelepasankatekolamin secara endogen dari Ujung syaraf, namun bukan mencampurkan kelebihan
katekolamin ke dalam sirkulasi pheokromositoma.
Pengobatan terhadap Penghentian Opioid
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
7/16
Clonidine efektif untuk menekan tanda dan gejala pengambilan opioide (Gold et
al., 1980). Clonidine diduga menggantikan penghambatan dimediasi opioide dengan
penghambatan dimediasi alfa2 terhadap aktivitas simpatik SSP. Penghambatan keluaransistem syaraf simpatik oleh clonidine bisa berguna dalam mengurangi gejala-gejala yang
berhubungan dengan merokok dan penghentian penggunaan nikotin terkait (Glassman et
al., 1988).
Pengobatan terhadap Kondisi Menggigil
Pemberian clonidine 75 g IV, mengehntikan keadaan menggigil (Delaunay et al.,1993). Efik yang dikehendaki ini menunjukkan kemampuan clonidine, seperti anestesi
yang mudah menguap (volatile anesthetics), opioide, dan propofol, sentral
termoregulator. Obat-obat yang menghambat vasokontriksi pengatur suhu dapat
menyebabkan hipotermia Inti (core hypothermia) dan menghambat keadaan menggigil.Terdapat bukti bahwa clonidine sedikit atau tidak meningkatkan ambang batas
berkeringat (the sweating threshold) (memicu suhu Inti). Sebagai bukti kemampuannya
dalam menghambat kontrol pengatur suhu, clonidine mengurangi vasokontriksi dan
ambang menggigil.
Berkurangnya Efek Hemodinamis KetaminePemberian premedikasi clonidine oral 5 g 90 menit sebelum induksi anestesi,
mengurangi naiknya tekanan darah dan jantung secara normal terjadi setelah pemberian
ketamine sebanyak 1 mg/kg IV (Doak dan Duke, 1993).
Mekanisme Aksi
Clonidine merangsang alfa2-adrenergik untuk menghambat neuron di Inti
vasomotor medularis. Sebagai akibatnya terjadi penurunan aliran sistem syaraf simpatik.Turunnya aktivitas sistem syaraf simpatik ditunjukkan dengan turunnya tekanan darag,
detak jantung (heart rate) dan cardiac output. Kemampuan clonidine mengubah fungsi
kanal potasium dalam SSP (membran sel menjadi terhiperpolarisasi) kemungkinanmerupakan mekanisme untuk besarnya penurunan kebutuhan anestesi yang diakibatkan
oleh clonidine dan obat lain bahkan oleh agonis alfa2-adrenergik yang lebih selektif
seperti dexmedetomidine. Pemberian clonidine secara neuraksial menghambat pelepasanP zat spinal dan pemutusan syaraf nociceptif yang disebabkan oleh stimulasi yang
berbahaya.
FarmakokinetikClonidine segera diserap setelah pemberian oral dan mencapai konsentrasi plasma
puncak dalam waktu 60-90 menit. Waktu pencernaan clonidine berlangsung antara 9-12
jam. Sekitar 50 % yang termetabolisasi dalam hati sementara sisanya diekskresi tanpaberubah dalam urine. Durasi efek hipotensif setelah dosisi oral tunggal adalah sekitar 8
jam. Jalar transdermal memerlukan waktu sekitar 48 jam untuk menghasilkan konsentrasi
plasma terapeutik.
Efek Kardiovaskular
Turunnya tekanan darah sistolik yang ditimbulkan oleh clonidine lebih menonjol
daripada turunnya tekanan darah diastolik. Pada pasien yang menjalani pengobatan
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
8/16
kronis, resistencia vaskular sistemik kurang dipengaruhi, dan keluaran kardiak, yang
awalnya turun kembali ke tingkat sebelum dilakukan pemberian obat. Refleks
kardiovaskular homeostasis dipertahankan sehingga menghindari masalah hipotensi atauhipertensi ortostatik selama pemberian. Kemampuan clonidine menurunkan tekanan
darah sistemik tanpa paralisisi rflex homeostasis pengimbang sangatlah bermanfaat.
Aliran darah renal dan angka filtrasi glomerular dipertahankan saat dilakukan terapiclonidine.
Efek SampingEfek samping paling umum yang ditimbulkan oleh clonidine adalah sedasi dan
xerostomia. Sesuai dengan sedasi, dan barangkali secara lebih khususu, efek agonis
terhadap reseptor alfa2 postsinaptik pada SSP mendekati 50 % kebutuhan anestesi akan
obat anestetis yang dihirup (MAC) dan obat uang disuntikkan pada pasienprapengobatam yang mendapat clonidine pada pangobatan praanestetis (Engelman et
al,m 1989; Flacke et al., 1987; Ghignone et al., 1987). Pasien prapengobatan yang
mendapat clonidine sering menunjukkan konsentrasi plasma katekolamin lebih redah
karena merespon stimulasi bedah dan biasanya memerlukan pengobatan bradikardiadengan antikolinergis IV. Sebagaimana dengan obat antihipertensif lainnya, penyimpanan
sodium dan air sering terjadi sehingga diperlukan kombinasi clonidine dengan diuretik.Sebaliknya, efek diuretik selama anestesi umum telah dipaparkan setelah pemberian
clonidine oral 2,5 g/kg, seperti pengobatan praanestetik (Hamaya et al., 1994). Ruam
kulit (skin rashes) sering muncul, impotensi kadang terjadi, sementara hipotensi ortostatikjarang timbul.
Hipertensi Balik (Rebound Hypertension)
Dihentikannya terapi clonidine secara mendadak dapat mengakibatkan hipertensibalik paling cepat 8 jam atau paling cepat 36 jam setelah dosis terakhir (Husserl dan
Messerli, 1981). Hipertensi balik paling mungkin muncul pada pasien yang menerima >
1, 2 mg clonidine setiap hari. Meningkatnya tekanan darah sistemik dapat dihubungkandengan konsentrasi sirkulasi katekolamin yang ditambah > 100 % dan intensifnya
vasokonstriksi periferal. Gejala-gejala kegelisahan, diaforesis, pusing, sakit perut, dan
takikardia sering mendahului meningkatnya tekanan darah aktual. Penghambatan betaadrenergis dapat melebih-lebihkan besaran hipertensi balik karena efek vasodilatasi
penghambatan beta2 dari katekolamin dan membiarkan aksi alfa vasokonstriksi tidak
melawan. Terapi antidepresan trisiklik juga dapat melebih-lebihkan hipertensi balik yang
berkaitan dengan dihentikannya secara mendadak terapi clonidine (Stiff dan Harris,1983). Antidepresan trisiklik memang berpotensi memiliki efek penekan
norephinephrine.
Hipertensi balik baiknya dapat dikontrol dengan mengulangi terapi clonidine ataudengan pemberian obat vasodilatasi seperti hydralazine atau nitroprusside. Obat
penghambat beta-adrenergik sangat bermanfaat namun kemungkinan hanya dapat
diberikan jika penghambatan alfa-adrenergik menghindari aksi alfa-vasokontriksi yangtidak melawan. Dalam hal ini, labetolol dengan efek antagonis alfa dan beta akan berguna
dalam perawatan pasien yang mengalami hipertensi balik. Bila terapi clonidine oral
dihentikan karena pembedahan, penggunaan clonidine transdermal akan memberikan
tingkat penyembuhan yang berkelanjutan sepanjang 7 hari (White dan Gilbert, 1985).
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
9/16
Untuk penghentian yang terencana (planned withdrawal), dosis clonidine dikurangi
secara bertahap setelah 7 hari atau lebih.
Hipertensi balik setelah penghentian pengobatan kronis secara mendadak denganobat antihipertensif tidak hanya bersifat khas pada clonidind (Husserl dan Messerli,
1981). Penghentian mendadak terapi penghambat beta, misalnya dihubungkan dengan
bukti klinis aktivitas sistem syaraf simpatik yang berlebihan. Obat antihipertensif yangberaksi secara terpisah terhadap mekanisme sistem syaraf simpatik inti dan periferal
(vasodilator langsung, penghambat ACE) tidak berkaitan dengan hipertensi balik setelah
penghentian terapi secara tiba-tiba.
Dexmedetomidine
Dexmedetomidine adalah agonis alfa2-adrenergis potensial, selektif, dan spesifik
(alfa2 banding alfa1 1,620:1) (Bloor et al., 1992; Sandler et al., 1996). Obat ini adalahdextrostereoisomer dan secara farmakologis merupakan komponen aktif dari
medetomidine, yang telah digunakan bertahun-tahun dalam praktik kedokteran hewan
memanfatkan efek hipnotis, sedatif, dan analgesiknya. Dibandingkan dengan clonidine,
dexmedetomidine tujuh kali lebih selektif untuk reseptor alfa2 dan durasi aksinya lebihpendek daripada clonidine. Sehubungan dengan hal itu, dexmedetomidine dianggap
merupakan agonis lengkap terhadap reseptor alfa2 dan durasi aksinya lebih pendekdaripada clonidine. Sehubungan dengan hal itu, dexmedetomidine dianggap merupakan
agonis lengkap terhadap reseptor alfa2 sementara clonidine adalah agonis parsial (rasio
aktivitas alfa2 terhadap alfa2 untuk clonidine adalah 220:1) (Sandler, 1996). Seperticlonidine, prapengobatan dengan dexmedetomidine mengurangi respon hemodinamis
dari intubasi trakeal, menurunkan konsentrasi plasma katekolamin selama anestesi,
menurunkan kebutuhan perioperasi akan obat anestesi yang dihirup dan opioid, dan
meningkatkan peluang hipotensi (Jalonen et al., 1997). Dexmedetomidine mengurangiMAC untuk anestesi yang mudah menguap pada hewan > 90 % dibandingkan dengan
sekitar 50 % untuk clonidine (Segal et al., 1988). Pada pasien, MAC isoflurane berkurang
35 % dan 48 % dengan konsentrasi plasma dexmedetomidine masing-masing sebesar 0,3ng/ml dan 0,6 ng/ml (Aantaa et al., 1997). Selama analgesia tergantung dosis yang
menonjol dan sedasi yang ditimbulkan oleh obat ini, terjadi juga depresi ventilasi ringan.
Sebagaimana clonidine. Dexmedetomidine dilaporkan cukup efektif dalam mengurangiefek kardiostimuli dan delirium paska anestesi dengan ketamin (Levanen et al., 1995).
Dexmedetomidine menaikkan kisaran sushu yang tidak memicu pertahanan pengatur
suhu (thermoregulatory defenses). Karena itulag, dexmedetomidine, seperti clonidine,
memungkinkan munculnya hipotermia perioperasi dan terbukti merupakan pengobatanyang efektif untuk keadaan menggigil (Talke et al., 1997).
Penghambat Enzim Pengubah Angiotensin (Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors)
Penghambat ACE merupakan kemajuan penting dalam pengobatan terhadap
segala jenis hipertensi karena potensinya meningkatkan kesembuhan pasien dan efeknya
yang minimal (Croog et al., 1986). Obat ini telah ditetapkan sebagai terapi pertama (first-
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
10/16
line therapy) untuk pasien yang menderita hipertensi sistemik, gagal jantung kongestif,
dan regurgitasi mitral. Data menunjukkan bahwa penghambat ACE lebih efektif dan lebih
aman daripada obat antihipertensif lainnya dalam pengobatan hipertensi pada penderitadiabetes (Hommel et al., 1986). Terdapat bukti lain bahwa penghambat ACE menunda
bertambah parahnya penyakit ginjal diabetik (Remuzzi dan Ruggenenti, 1993). Senyawa
ini dapat menyebabkan berkurangnya hipertropi ventrikular, sehingga penghambat ACEsangat bermanfaat untuk pasien yang beresiko mengalami gagal jantung kongestif.
Mekanisme AksiPenghambat ACE dapat dikelompokkan berdasarkan unsur struktural yang
berinteraksi dengan ion zinc dari enzim tersebut serta bentuk pemberian obat itu.
Perbedaan utama di antara penghambat ACE yang digunakan secara klinis adalah durasi
aksinya (Miranda dan Grissom, 1991). Dengan menghalangi konversi angiotensin Imenjadi angiotensin II, penghambat ACE mencegah angiotensin II yang dimediasi
vasokontriksi dan stimulasi sistem syaraf simpatik. Penghambat ACE tidak memiliki efek
samping SSP yang berkaitan dengan obat antihipertensif, termasuk depresi, insomnia,
dan disfungsi seksual. Efek balik lain, seperti gagal jangtung kongestif, bronkospasme,bradikardia, dan bertambah parahnya penyakit vaskular periferal tidak terlihat pada
penggunaan penghambat ACE. Tidak dijumpai pula perubahan metabolis yangdipengaruhi oleh terapi diuretik, seperti hipokalemia, hiponatremia, dan hiperglikemia.
Hipertensi balik seperti pada pemberian clonidine tidak ditemui pada penghambat ACE.
Tabel 15-2. Efek-efek farmakologis dosis tunggal penghambat enzim pengubah-
angiotensin
Obat Dosis (mg) Proobat Waktu OnsetBerefek
WaktuPuncak (jam)
Durasi Efek
Captopril
ElanaprilLisinopril
Ramipril
100
2010
20
Tidak
YaTidak
Ya
15-30
60-12060
30-60
1-2
4-82-4
3-8
6-10
18-3018-30
24-60
Efek Samping
Batuk, kongesti respiratori atas, rhinorrhea, dan gejala seperti alergi adalah efeksamping paling umum penghambat ACE (Israili et al., 1992). Diduga bahwa respon jalan
udara ini menunjukkan potensi efek-efek kinin karena terhambatnya aktivitas peptidyl-
dipeptidase karena pengaruh obat. Jika tekanan respiratori bertambah, dianjurkanpenyuntikan epinephrine yang tepat (0,3-0,5 ml dari dilusi subkutan 1:1000).
Angioderma adalah potensi komplikasi akibat pengobatan dengan penghambat ACE
(Brown et al., 1997). Proteinuria muncul pada sekitar 1 % pasien, terutama jika diidappula penyakit ginjal. Penghambat ACE seharusnya digunakan secara berhati-hati atau
dihindari pada pasien yang diduga mengalami stenosis arteri ginjal, karena perfusi renal
pada pasien ini sangat tergantung pada angiotensin II.
Manajemen Praoperasi
Konsensus mengenai terapi penghambat ACE menetapkan masih
diperbolehkannya penggunaan semua jenis obat tersebut sampai dilakukannya
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
11/16
pembedahan dan segera melakukannya kembali setelah operasi (Miranda dan Grissom,
1991). Muncul keprihatinan tentang potensi instabilitas hemodinamik dan hipotensi pada
pasien-pasien yang menerima penghambat ACE pada masa praoperasi. Bertambahlamanya hipotensi ditemukan pada pasien yang menjalani anestesi umum untuk
pembedahan minor dimana terapi penghambat ACE dipertahankan sampai pagi hari
sebelum pembedahan. Hipotensi selama dilakukannya anestesi pada pasien hipertensiyang secara kronis mendapat penghambat ACE dilanjutkan sampai pagi hari sebelum
pembedahan dibandingkan dengan pasien yang terapinya dihentikan setidaknya 12 jam
(captopril) atau 24 jam (elanapril) praoperasi (Coriat et al., 1994). Prosedur bedah yangmemerlukan keluarnya banyak cairan tubuh juga dihubungkan dengan hipotensi pada
pasien yang diobati dengan penghambat ACE. Pada pasien yang menjalani prosedur
bedah ekstensif dengan pembuangan cairan atau darah besar-besaran, adalah pilihan yang
baik jika teraoi penghambat ACE dihentikam dan menggantinya dengan obatantihipertensif yang aksinya lebih singkat (Mirenda dan Grissom, 1991). Meskipun
demikian, pengobatan dengan penghambat ACE tidak meningkatkan hipotensi setelah
dilakukan anestesi pada pasien pengidap disfungsi miokardial yang terpengaruh infarksi
(Ryckwaert dan Colson, 1997). Hipotensi berlebihan yang disebabkan olehdilanjutkannya terapi penghambat ACE ternyata responsif terhadap infus cairan kristaloid
dan/atau pemberian simpatomimetik seperti ephedrine atau phenylephrine. PenghambatACE dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan hipoglikemia, yang terjadi jika obat ini
diberikan kepada pasien penderita diabetes mellitus. Kendati demikian tidak ada bukti
bahwa hipoglikemia lebih besar pada pasien diabetik yang diberi penghambat ACE untukmengontrol hipertensi (Shorr et al., 1997).
Captopril
Captopril adalah obat antihipertensif yang efektif jika diberikan secara oral (12,5-25,0 mg setiap 8-12 jam) yang beraksi karena inhibisi kompetitif enzim pengubah
angiotensin I (peptydil-dipeptidase). Ini adalah enzim yang mengubah angiotensin I tak
aktif menjadi angiotensin II aktif. Angiotensin II menyebabkan stimulasi sekresialdosterone oleh korteks adrenal. Akibat dari penghambatan enzim ini oleh captopril
adalah penurunan sirkulasi konsentrasi plasma angiotensin II dan aldosterone yang dapat
diprediksi dan disertai dengan peningkatan pengimbang dalam angiotensin I dan tingkatrenin. Kenaikan konsentrasi plasma renin memperlihatkan hilangnya kontrol umpan balik
negatif yang secara normal diberikan angiotensin II. Penurunan sekresi aldosterone
mengakibatkan sedikitnya kenaikan jumlah potasium serum.
Farmakokinetik
Captopril diserap dengan baik setelah pemberian oral, dimana 25-30 % dari obat
itu terikat dengan protein saat sirkulasi. Penghambatan enzim pengubah terjadi selama 15menit setelah pemberian oral. Ekskresi captopril yang tidak berubah dalam urine ini
mencapai 50 %. Singkatnya, waktu pencernaan captopril (sekitar 2 jam) disebabkan;
sebagian, oleh oksidasinya menjadi sulfida tunggal (dimer sulfide) dan campuran (mixedsulfide), semuanya diekskresi oleh ginjal.
Efek Kardiovaskular
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
12/16
Efek antihipertensi captopril dikarenakan turunnya resistensi vaskular sistemik
sebagai akibat dari turunnya penyimpanan sodium dan air. Turunnya resistensi vaskular
sistemik terutama tampak menonjol pada ginjal, sementara aliran darah serebral danaliran darah koroner masih tetap diatur sendiri (autoregulated). Biasanya captopril
mengurangi tekanan darah sistemik tanpa perubahan keluaran kardiak dan detak jantung
yang terjadi bersamaan, hipotensi ortostatik tidak terjadi karena obat ini tidakmengganggu aktivitas sistem saraf simpatik. Tidak adanya peningkatan deta jantung yang
dipengaruhi refleks pengimbang saat tekanan darah turun, menunjukkan bahwa captopril
dapat menyebabkan perubahan kepekaan baroreseptor (William, 1988). Captopril dapatmeningkatkan kemanjuran vasodilator dalam pengobatan terhadap gagal jantung
kongestif, diduga karena kenaikan yang dipengaruhi penghambatan vasodilator terhadap
keluaran renin. Pembalikan efek vaskular dan renal yang dramatis dari scleroderma akan
menyertai pemberian captopril.
Efek Samping
Ruam atau pruritus muncul pada sekitar 10 % pasien dan perubahan atau
hilangnya selera (dysgeusia) terjadi pada 2-4 % kasus. Obat antiradang nonstereoidaldapat melawan efek antihipertensif captopril, menunjukkan peran sintetis prostaglandin
dalam efek penurunan tekanan darah obat ini. Captopril dapat menaikkan konsentrasiserum potasium dan menyebabkan hiperkalemia, khususnya pada pasien dengan fungsi
ginjal tidak atau jika diuretik dengan sedikit potasium (potassium-sparing diuretic)
diberikan secara bersamaan (Williams, 1988). Efek ini terhadap konsentrasi serumpotasium menunjukkan gangguan karena obat dengan stimulus besar terhadap pelepasan
aldosterone. Granulositopenia ditemukan pada 0,3 % pasien, paling sering muncul pada
pasien pengidap penyakit gagal ginjal berat. Efek paling penting namun juga paling
jarang dari captopril adalah angiedema yang boleh jadi disebabkan oleh penghambatankarena obat metabolisme bradikinin.
ElanaprilElanapril adalah penghambat ACE yang mirip captopril karena memiliki efek
farmakologis. Obat ini terikat dengan enzim sehingga dosis oral harian sudah cukup
efektif. Elanapril dapat beruba pro-obat yang dicerna dalam hepar sampai obat bentukaktif, elanaprilat. Bentuk aktif ini mengandung sedikit gugus sulfihidril yang dianggap
menyebabkan beberapa efek balik captopril. Ruam, granulositopenia, dan
ketidakmampuan ginjal lebih jarang terjadi saat pemberian elanapril daripada captopril.
Pasien kronis yang mendapat penghambat ACE dan tidak mampu menjalanipenyembuhan oral dapat meneruskan terapi antihipertensif tanpa dihentikan dengan
pemberian elanapril IV. Manfaat preparasi IV ini dalam manajemen hipertensi
perioperasi sebagaimana dibandingkan dengan obat lain belum dapat ditentukan.
Penghambat Reseptor Angiotensin (Angiotensin Receptor Blockers)
Losartan
Losartan adalah kelompok baru agen antihipertensif efektif yang secara oral
efektif sebagai antagonis pada reseptor angiotensin II (jenis AT1). Angiotensin II
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
13/16
terbentuk dari angiotensin I karena aksi ACE dan berfungsi sebagai hormon vasoaktif
primer dalam sistem angiotensin renin. Losartan dan metabolit asam karbosiklik aktif
menghalangi efek vasokonstriktor dan efek sekresi-aldosterone angiotensin II denganmenghambat secara selektif ikatan angiotensin II dan reseptor AT1 yang ditemukan
dalam otot vaskular. Metabolit aktif dari Losartan, 10-40 kali lebih kuat daripada obat
induk dalam menghambat efek penekan angiotensin II. Metabolisme hepatik pertamayang penting terjadi setelah pemberian obat ini secara oral. Dosis sekali sehari (20-50
mg) cukup memadai.
Tidak adanya umpan balik negatif angiotensin II menyebabkan kenaikan aktivitasplasma renin 2-3 kali lipat dan kenaikan konsentrasi plasma angiotensin II. Konsentrasi
plasma aldosterone berkurang pada pasien yang mendapat obat ini, tapi tampaknya
terdapat sedikit efek terhadap konsentrasi plasma potasium. Obat yang beraksi secara
langsung terhadap sistem renin-angiotensin ini dapat menyebabkan kematian janin danneonatal jika diberikan selama masa kehamilan; menekankan perlunya menghentikan
obat ini jika kehamilan sudah terdeteksi.
Reaksi balik yang berhubungan dengan pengobatan losartan ini jarang timbul.
Efek sampingnya sama dengan penghambat ACE, kecuali kasus batuk yang lebih rendahpada pasien yang diobati dengan losartan.
Penghambat Kanal Kalsium (Calcium Channel Blockers)
Kendati penghambat kanal kalsium pada awalnya diperkenalkan sebagai terapi
kedua untuk penyembuhan angina pectoris; dan dalam kasus verapamil, dipakai dalampengobatan tachydysarhytmias supraventricular, efek hipotensifnya dimanfaatkan secara
klinis sebagai obat antihipertensi. Untuk pengobatan terhadap hipertensi esensial, obat ini
dapat dianggap sebagai vasodilator. Penghambat kanal kalsium berhasil dalam
menyembuhkan hipertensi pada pasien dewasa, berkulit hitam, dan peka terhadap garam.Munculnya iskemia miokardial dapat meningkat pada pasien yang mendapat nifedipine
dengan aksi singkat, verapamil, dan diltiazem dosis tinggi (Furberg et al., 1995; Psaty et
al., 1995). Resiko serupa tidak ditemukan dalam pasien yang mendapat penghambatkanal kalsium dengan aksi lama. Penggunaan penghambat kanal kalsium tidak
membutuhkan pembatasan sodium secara bersamaan, yang menjadikan obat
antihipertensi ini unik dan menjadi pilihan bagi pasien yang beranggapan bahwapembatasan sodium tidak dapat diterima.
Obat Vasodilatasi
HydralazineHydralazine adalah derivatif dari phtalazine yang menurunkan tekanan darah
sistemik dengan efek relaksan langsungnya terhadap otot vaskular, efek dilatasi terhadap
arteriol lebih besar daripada terhadap otot vaskular, efek dilatasi terhadap arteriol lebihbesar daripada terhadap vena. Efek vasodilatoris lebih menonjol pada sirkulasi koroner,
serebral, renal, dan splanchnic. Vasodilatasi menunjukkan gangguan yang terkait dengan
hydralazine terhadap perpindahan ion kalsium dalam otot vaskular.
Bila digunakan dalam pengobatan hipertensi sistemik kronis, hydralazine paling
sering diberikan berupa kombinasi dengan penghambat beta dan diuretik. Pemberian
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
14/16
penghambat beta secara bersamaan membatasi peningkatan refleks aktivitas sistem syaraf
simpatik yang dipengaruhi hydralazine. Penghambat beta secara efektif mencegah
takikardia dan menaikkan sekresi renin. Efek sampingnya minimal jika diberikan sebagaibagian dari terapi gabungan.
Pengobatan pada suatu krisis hipertensi dapat dilakukan dengan hydralazine
sebanyak 2,5-10,00 mg IV. Efek antihipertensi akan mulai terasa 10-20 menit setelahpemberian IV dan selesai 3-6 jam kemudian. Meskipun demikian respon tekanan darah
sistemik terhadap hydralazine tidak diprediksi dan bisa terjadi pula hipotensi yang
bertambah lama (Abe, 1993).
Farmakokinetik
Metabolik pertama hepatik ekstensif membatasi ketersediaan hydralazine setelah
pemberian secara oral. Asetilasi merupakan jalur utama pencernaan hydralazine.Asetilator cepat memiliki bioavaibilitas lebih rendah (sekitar 30 %) daripada asetilator
lambat (sekitar 50 %) setelah pemberian hydralazine secara oral. Selama pemberian dosis
ganda, asetilator lambat mencapai konsentrasi plasma hydralazine yang lebih tinggi
daripada mereka yang mengasitelat (to acetylate) secara cepat. Waktu pencernaan rata-rata 3 jam. Setelah pemberian IV, < 15 % obat tidak berubah dalam urin.
Efek Kardiovaskular
Hydralazine lebih sering menurunkan tekanan darah diastolik daripada tekanan
darah sistolik. Resistensi vaskular sistemik juga turun. Detak jantung, stroke volume, dancardiac output naik, memperlihatkan kenaikan refleks dimediasi baroreseptor dalam
aktivitas sistem syaraf simpatik karena penurunan tekanan darah sistemik. Walaupun
demikian, takikardia yang dipengaruhi hydralazine lebih besar daripada yang
diperkirakan berdasarkan refleks dan kurang berkorelasi dengan perubahan-perubahandalam tekanan darah. Kenaikan detak jantung yang berlebihan ini memperlihatkan efek
langsung hydralazine terhadap jantung dan CNS, selain respon yang dimediasi
baroreseptor.Dilasi pada arteriol dibandingkan pada vena tersebut meminimalkan hipotensi
ortostatik dan mendorong kenaikan keluaran kardiak. Efek ydralazine berkembang secara
bertahap sekitar 15 menit, bahkan setelah pemberian IV. Aliran darah splanchnic,koroner, serebral, dan renal biasanya bertambah. Angka flitrasi glomerular, fungsi tubular
renal, dan volume urine tidak dipengaruhi. Aktivitas renin juga bertambah dalam
aktivitas sistem syaraf simpatik mengakibatkan naiknya sekresi renin oleh sel-sel
juxtaglomerulal renal.
Efek Samping
Seperti vasodilator lain, hydralazine menyebabkan penyimpanan sodium dan air,jika diuretik tidak diberikan secara bersamaan. Efek samping umum lain dari hydralazine
mencakup vertigo, diaphoresis, nausea, dan takikardia. Stimulasi miokardial yang terkait
dengan terapi hydralazine dapat menimbulkan angina pectoris dan perubahan dalamkarakteristik elektrokardiogram iskemia miokardial. Efek samping akan berkurang secara
perlahan-lahan dan toleransi akan tercipta jika pemberian diteruskan. Demam, urtikaria,
polineuritis, anemia, dan pansitopenia jarang terjadi namun memerlukan dihentikannya
terapi hydralazine. Neuropathi periferal bisa diobati dengan pyridoxine. Senyawa yang
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
15/16
mengandung hydrazine, seperti hydralazine, dapat mengakibatkan defluorinasi terhadap
enflurane (Mazze et al., 1982).
Sindrom seperti erythematosus lupus sistemik terjadi pada 10-20 % pasien yangdiobati secara kronis (> 6 bulan) dengan hydralazine, khususnya jika dosis harian > 200
mg. Sindrom itu terjadi secara mencolok pada pasien yang merupakan asetilator lambat.
Gejala-gejala hilang jika obat dihentikan, membedakannya dari penyakit sesungguhnya.
Minoxidil
Minoxidil adalah obat antihipertensif aktif, diberikan secara oral yangmenurunkan tekanan darah sistemik melalui relaksasi langsung otot arterioral (Gb. 15-8).
Memiliki efek lemah terhadap pembuluh kapasitans vena. Digunakan dengan diuretik dan
penghambat beta lainnya atau minoxidil simpatolitik manjur lainnya yang efektif dalam
pengobatan hipertensi paling berat (gagal ginjal, penolakan transplantasi, penyakitrenovaskular). Penggunaan obat ini berkurang karena penghambat ACE dan penghambat
kalsium juga efektif dengan efek samping lebih sedikit.
FarmakokinetikSekitar 90 % minoxidil dosis oral diserap sistem gastrointestinal, dan angka
plasma puncak dicapai dalam waktu 1 jam. Metabolisme glucoronide minoxidil tak aktifcukup ekstensif dan hanya 10 % dari obat ini yang tak berubah dalam urin. Waktu
pencernaan sekitar 4 jam.
Efek Kardiovaskular
Efek hipotensif minoxidil disertai dengan kenaikan heart rate dan kardiak yang
mencolok. Stimulasi refleks yang sama dari sistem syaraf simpatik juga disertai dengan
kenaikan konsentrasi plasma norepinefrin dan renin, dengan penyimpanan sodium dan airterkait. Hipotensi ortostatik tidak menonjol pada pasien yang mendapat minoxidil.
Efek SampingPenyimpanan cairan, ditunjukkan dengan kenaikan berat badan dan edema, adalah
efek samping umum terapi minoxidil. Furosemide atau bahkan dialisis diperlukan jika
penyimpanan cairan tidak responsif terhadap diuretik yang kurang manjur. Hipertensipulmonal yang terkait dengan minoxidil lebih mungkin muncul karena penyimpanan air
daripada efek khas obat ini terhadap kardiovaskular pulmonal. Efek samping yang serius
dari terapi minoxidil dan diduga mencerminkan akumulasi cairan dalam rongga serous
adalah terjadinya efusi perikardial dan kompresi jantung akut (cardiac tamponade),khususnya jika disfungsi ginjal berat terjadi (Husserl dan Messerli, 1981). Penelitian-
penelitian echocardiographic sangat membantu jika diduga terjadi efusi perikardial.
Kelaianan-kelaianan pada elektrokardiogram diciran dengan datar atauterbaliknya gelombang T dan naiknya tegangan kompleks QRS. Selama terapi jangka
panjang, kelainan gelombang T biasanya hilang dan tegangan QRS turun.
Hipertrikosis, yang paling banyak ditemukan di sekitar wajah dan lengan, adalahefek samping buruk yang muncul namun tidak berbahaya, yang sampai derajat tertentu
muncul pada hampir semua pasien yang menjalani pengobatan > 1 bulan. Efek samping
ini tidak disebabkan oleh kelainan endokrin.
-
7/22/2019 Obat-obat Hipertensi.doc
16/16
DIURETIK
Diuretik saat ini jarang digunakan untuk mengawali dan mempertahankan terapi
antihipertensi dibandingkan dulu. Untuk meningkatkan kesembuhan pasien, dipilihlahdiuretik yang relatif tidak mahal dan mereka yang hanya perlu mengkonsumsinya sehari.
Karena biayanya yang lebih mahal, durasi aksinya yang lebih singkat dan terbatasnya
bukti bahwa obat itu adalah obat antihipertensif yang efektif, maka diuretik yang manjur(furosemide, asam ethacrynic, bumetanide) biasanya dianjurkan untuk pasien yang
terbukti mengalami ketidakmampuan ginjal, jika diuretik thiazide tidak efektif. Untuk
pasien yang alergi terhadap thiazide, maka diuretik yang dipilih adalah asam ethacrynic.Hipokalemia yang dipengaruhi diuretik adalah efek samping yang cukup sering
muncul. Durasi aksi diuretik adalah determinan penting kecenderungannya yang
menyebabkan hipokalemia dengan aksi obat lebih lama yang menimbulkan kaliuresis
lebih lama. Hipokalemia berkepanjangan akan mengganggu metabolisme glukosa danmeningkatkan terjadinya iritabilitas ventrikular. Hipokalemia yang dipengaruhi obat
penting untuk dihindari oleh pasien pengidap penyakit arteri koroner dan mereka yang
diobati dengan digitalis.
Diuretik yang kurang mengandung potasium kurang manjur dibadingkan diuretiklainnya. Obat ini memiliki manfaat khusus untuk pengobatan pada pasien yang beresiko
jika terjadi hipokalemia. Sebaliknya karena terdapat resiko hiperkalemia yangdipengaruhi obat, obat ini sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien yang fungsi
ginjalnya tidak lengkap dan mereka yang diobati dengan penghambat ACE.