naskah akademik - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/naskah akademik...

185
Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002 1 NASKAH AKADEMIK PERUBAHAN UNDANG UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG SISTEM NASIONAL PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA 2012

Upload: hoangdiep

Post on 01-Feb-2018

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

1

NASKAH AKADEMIK

PERUBAHAN UNDANG UNDANG

NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG SISTEM NASIONAL PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU

PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA

2012

Page 2: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

2

Bab 1 Pendahuluan

1.1. Latarbelakang

Pertanyaan yang paling mendasar yang perlu dijawab adalah: apa kontribusi teknologi dalam

negeri terhadap pembangunan nasional? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi tolok ukur

bagi perkembangan Sistem Inovasi Nasional (SINas) di setiap negara, termasuk Indonesia.1

Akan tetapi untuk menjawab pertanyaan ‘sederhana’ ini, maka perlu didahului dengan

pemahaman yang lebih mendalam tentang anatomi permasalahannya.

Sesungguhnya banyak kelembagaan di Indonesia yang melakukan kegiatan riset. Setiap institusi

pendidikan tinggi wajib melakukan kegiatan riset sebagaimana amanah Tridharma Perguruan

Tinggi. Tiga tugas pokok institusi pendidikan tinggi negeri maupun swasta adalah melakukan

kegiatan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selain

instansi pendidikan tinggi, di Indonesia juga terdapat banyak lembaga riset pemerintah dan

non-pemerintah.2

Keberadaan lembaga riset yang banyak, aktivitas riset yang rutin dan masif, serta dukungan

pembiayaan dari berbagai sumber ternyata belum menjadi jaminan bahwa akan mampu

menghasilkan teknologi yang secara langsung dapat ditranslasi menjadi produk barang

dan/atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Faktanya, sampai saat ini masih sangat sedikit

teknologi domestik yang dihasilkan oleh akademisi, peneliti, atau perekayasa di dalam negeri

yang diadopsi oleh industri untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa untuk memenuhi

kebutuhan publik. Tidak banyak juga teknologi yang dikembangkan di dalam negeri yang

digunakan oleh masyarakat, maupun oleh berbagai lembaga pemerintah, baik untuk

peningkatan kualitas pelayanan publik maupun sebagai landasan pembuatan kebijakan dan

regulasi.

Rendahnya adopsi teknologi tersebut antara lain berakar pada kenyataan bahwa intensitas dan

kualitas komunikasi dan interaksi antara lembaga riset atau perguruan tinggi (sebagai aktor

pengembang teknologi) dengan industri atau pengguna teknologi lainnya yang masih sangat

terbatas. Hal ini mengakibatkan ketidakpaduan (mismatch) antara teknologi yang dihasilkan

dengan kebutuhan industri atau para pengguna teknologi lainnya. Masalah ini merupakan

masalah yang paling serius dan mendasar (fundamental problem) dalam upaya mewujudkan

1 Sistem Inovasi Nasional adalah sistem aliran teknologi dan informasi antara kelembagaan pengembang-pengguna teknologi,

didukung oleh kelembagaan terkait lainnya, yang menjadi kunci dari proses inovatif pada suatu negara.

2 Dibawah koordinasi Kementerian Negara Riset dan Teknologi terdapat 7 kelembagaan yang tugas pokoknya

menyelenggarakan riset atau kegiatan yang terkait dengan implementasi hasil riset. Kelembagaan riset tersebut berstatus sebagai Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). Selain LPNK tersebut, pada masing-masing kementerian teknis juga terdapat Badan Penelitian dan Pengembangan masing-masing. Kelembagaan riset non-pemerintah terdapat di beberapa industri besar, selain itu juga ada yang berupa lembaga riset independen yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Page 3: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

3

SINas. UU No. 18 Tahun 2002 menyebutkan sistem nasional penelitian, pengembangan dan

penerapan (litbangrap) iptek bertujuan untuk memperkuat daya dukung iptek untuk

percepatan pencapaian tujuan negara, peningkatan daya saing dan kemandirian bangsa dalam

pergaulan internasional.

Berfungsinya SINas tidak hanya membutuhkan: [1] keberadaan lembaga pengembang teknologi

yang produktif dan berkualitas;3 [2] industri yang dikelola dengan baik dan didukung tenaga

kerja terampil dan/atau terdidik yang produktif serta kelimpahan bahan baku; dan [3] fasilitasi

aktif dari pemerintahan serta kebijakan dan regulasi yang mendukung pewujudan ekosistem

yang kondusif; tetapi juga membutuhkan [4] niat dan motivasi yang tinggi antara pihak

pengembang dan pengguna teknologi untuk berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain

berdasarkan asas kesetaraan dan saling menguntungkan (mutualistik). UU No. 18 Tahun 2002

menyebutkan fungsi dari sistem nasional litbangrap iptek adalah untuk membentuk pola

hubungan yang saling memperkuat antara unsur penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan

iptek dalam satu keseluruhan yang utuh untuk mencapai tujuan sistem nasional litbangrap

iptek.

Paradigma yang lalu menempatkan pihak pengembang teknologi (institusi pendidikan tinggi

dan lembaga riset) secara dominan dalam mewarnai ‘genre’ teknologi yang dikembangkan.

Pendekatan yang lebih dominan bersifat supply-push ini ternyata gagal dalam mempersuasi

industri dan pihak pengguna lainnya untuk mengadopsi teknologi hasil riset oleh perguruan

tinggi maupun lembaga riset tersebut.

Kegagalan paradigma yang lalu ini perlu disikapi secara cerdas dan objektif, dengan

mengesampingkan kepentingan sektoral ataupun profesi. Tentu perlu telaah komprehensif

terhadap anatomi permasalahan dalam implementasi paradigma supply-push yang kurang

optimal tersebut, selain juga perlu dilakukan pencermatan yang matang terhadap alternatif-

alternatif untuk memperbaiki paradigma lama tersebut.

Kenyataan ini menjadi argumen yang sangat kuat untuk melakukan penelaahan terhadap posisi

SINas Indonesia saat ini dan mencari alternatif pendekatan yang tepat agar pola hubungan

pengembang-pengguna teknologi dapat efektif, efisien, dan produktif menghasilkan produk

barang dan/atau jasa yang dibutuhkan rakyat Indonesia, yang berarti sekaligus secara nyata

akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan (perekonomian) nasional.

Upaya mengubah paradigma yang lama dengan paradigma yang baru agar ditekankan pada

pola dan arah hubungan antara pengembang dan pengguna teknologi serta pihak-pihak lain

yang terkait. Secara substansial upaya ini dapat disebut sebagai upaya reorientasi arah dan pola

hubungan antar-aktor dalam sistem nasional litbangrap iptek. Diharapkan dengan melakukan

3 Kualitas kelembagaan pengembang teknologi dilihat dari kualitas akademik sumberdaya manusia (SDM) yang

mengawakinya, ketersediaan sarana dan prasarana riset yang canggih dan sesuai dengan kebutuhan fokus riset yang menjadi tugas pokoknya, ketersediaan dan/atau kemudahan mengakses sumber informasi ilmiah, dan fasilitas pendukung lainnya untuk menciptakan suasana akademik (academic environment) yang kondusif, serta kemampuannya dalam mendifusikan teknologi yang dihasilkan kepada pengguna potensial.

Page 4: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

4

reorientasi sistem nasional litbangrap iptek, maka teknologi domestik yang dihasilkan akan

lebih berpeluang untuk diadopsi oleh para pengguna, terutama industri dan pelaku produksi

lainnya di dalam negeri. Resultan dari adopsi teknologi untuk produksi barang dan/atau jasa ini

adalah peningkatan kontribusi nyata teknologi terhadap pembangunan nasional.

Satu hal yang sangat fundamental yang perlu reorientasi adalah anggapan bahwa masalah

litbangrap iptek merupakan permasalah teknologi yang berkaitan dengan ekonomi

(economically-related technological problems), padahal sesungguhnya penguatan sistem

nasional litbangrap iptek adalah permasalahan ekonomi yang butuh dukungan teknologi untuk

memecahkannya (technologically-related economical problems).

Kemajuan perekonomian sangat tergantung pada kinerja litbangrap iptek-nya, yang pada

prinsipnya adalah tergantung pada kapasitas negara dalam mengembangkan teknologi yang

sesuai dengan kebutuhan nyata dan sesuai pula dengan kapasitas adopsi dari para pengguna

teknologi. Untuk kasus Indonesia, kesadaran akan pentingnya peran teknologi dalam

pembangunan perekonomian nasional tersurat dari ditetapkannya pengembangan sumberdaya

manusia (SDM) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sebagai salah satu dari tiga strategi

utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI),

disamping dua strategi utama lainnya, yakni pengembangan potensi ekonomi melalui enam

koridor yang telah ditetapkan dan memperkuat konektivitas nasional.4

Kesesuaian teknologi dengan kebutuhan nyata membuka peluang lebih lebar untuk teknologi

tersebut dapat diadopsi, namun belum sepenuhnya menjamin bahwa sistem nasional

litbangrap iptek akan otomatis terbangun. Ekosistem yang kondusif sangat dibutuhkan untuk

tumbuh-kembang inovasi, terutama dalam bentuk kebijakan dan regulasi yang akomodatif,

yang memudahkan para aktor inovasi untuk berkomunikasi dan berinteraksi serta juga

memudahkan proses adopsi teknologi domestik oleh para pengguna di dalam negeri.

Arahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono5 untuk mengutamakan upaya pemenuhan

kebutuhan (demand) pasar domestik menumbuhkan semangat untuk lebih gigih mewujudkan

sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan (litbangrap) iptek yang lebih handal.

Penduduk Indonesia yang saat ini (BPS, 2010) telah mencapai 237 juta, merupakan pasar yang

sangat besar dan menjadi target banyak negara asing dalam memasarkan produknya. Para

pengembang teknologi dan industri dalam negeri harus bahu membahu membangun sinergi

untuk tidak membiarkan pasar domestik Indonesia dibanjiri oleh produk dan/atau jasa dari

negara-negara asing.

4 Untuk pelaksanaan MP3EI, telah pula diterbitkan Perpres 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menetapkan tiga kelompok kerja (Pokja), yakni: Pokja Sinkronisasi dan Perbaikan Regulasi, Pokja Percepatan Pembangunan Infrastruktur, dan Pokja SDM dan Iptek. Pokja SDM dan Iptek diketuai oleh Menteri Pendidikan Nasional dan wakil ketuanya adalah Menteri Negara Riset dan Teknologi, dengan anggota dari kementerian PPN/Bappenas, Ristek, Diknas, Nakertrans, Keuangan, UKM dan Koperasi, serta dari anggota KIN, Kadin, dan ketua asosiasi profesi dan usaha terkait.

5 Pada Seminar di Institut Teknologi 10 November Surabaya tanggal 14 Desember 2010.

Page 5: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

5

Sinergi pengembang-pengguna teknologi dalam penguatan inovasi nasional merupakan aksi

yang tepat dan sepatutnya dilakukan. Inisiatif inovasi dari Komite Inovasi Nasional yang

ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan,

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), antara lain menyebutkan penguatan

inovasi melalui skema 747 memerlukan pendanaan R&D hingga 1% dari GDP. Skema 747 ini

mencakup tujuh langkah perbaikan ekosistem inovasi, pengembangan empat wahana

percepatan pertumbuhan ekonomi, dan pencapaian tujuh sasaran visi inovasi 2025.

Peningkatan dukungan pendanaan untuk menunjang program inovasi ini dapat dilaksanakan

secara bertahap sesuai dengan daya dukung pemerintah, BUMN, dan partisipasi badan usaha.

Akan sangat ideal jika Pemerintah mampu mewujudkan tujuh sasaran visi inovasi 2025 melalui

pembentukan ekosistem yang lebih kondusif melalui regulasi dan kebijakan yang tepat. Adanya

peraturan perundang-undangan yang konsisten dalam penyelenggaraan pemerintahan yang

baik (good governance), sehingga tumbuh-kembang sistem nasional litbangrap iptek dapat

berlangsung secara lebih sehat, produktif, dan berkelanjutan.

1.2. Permasalahan

Keberadaan lembaga riset yang banyak, aktivitas riset yang rutin dan masif, serta dukungan

pembiayaan dari berbagai sumber ternyata belum menjadi jaminan bahwa akan mampu

menghasilkan teknologi yang secara langsung dapat ditranslasi menjadi produk barang

dan/atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Faktanya, sampai saat ini masih sangat sedikit

teknologi domestik yang dihasilkan oleh akademisi, peneliti, atau perekayasa di dalam negeri

yang diadopsi oleh industri untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa untuk memenuhi

kebutuhan publik. Tidak banyak juga teknologi yang dikembangkan di dalam negeri yang

digunakan oleh masyarakat, maupun oleh berbagai lembaga pemerintah, baik untuk

peningkatan kualitas pelayanan publik maupun sebagai landasan pembuatan kebijakan dan

regulasi.

Hasil penelitian LIPI (Sri Mulatsih dan Prakoso Bhairawa Putera, 2000) terkait dengan sistem

penelitian iptek dan sistem inovasi nasional, antara lain menyimpulkan inovasi masih belum

memenuhi kebutuhan pasar (ekonomi). Interaksi dan koordinasi antar elemen dalam

menghasilkan inovasi masih sangat diperlukan dalam membangun suatu sistem inovasi

nasional. Menurut Benyamin Lakitan (2012), rendahnya adopsi teknologi tersebut antara lain

berakar pada kenyataan bahwa intensitas dan kualitas komunikasi dan interaksi antara

lembaga riset atau perguruan tinggi (sebagai aktor pengembang teknologi) dengan industri

atau pengguna teknologi lainnya yang masih sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan

ketidakpaduan (mismatch) antara teknologi yang dihasilkan dengan kebutuhan industri atau

para pengguna teknologi lainnya. Masalah ini merupakan masalah yang paling serius dan

mendasar (fundamental problem) dalam upaya mewujudkan SINas. UU No. 18 Tahun 2002

menyebutkan sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan (litbangrap) iptek

Page 6: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

6

bertujuan untuk memperkuat daya dukung iptek untuk percepatan pencapaian tujuan negara,

peningkatan daya saing dan kemandirian bangsa dalam pergaulan internasional.

1.3. Maksud dan Tujuan Penulisan

Pertanyaan yang fundamental dan filosofis perlu ditranslasi menjadi pertanyaan-pertanyaan

teknis dan operasional agar jawabannya juga menjadi lebih dapat ditindaklanjuti dalam bentuk

aksi nyata yang diharapkan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan nyata yang menjadi

batu sandungan dalam upaya mewujudkan penguatan inovasi secara lebih produktif dan

menyejahterakan rakyat.6 Berbagai persoalan terkait rendahnya kontribusi teknologi di

Indonesia saat ini diyakini berakar pada tidak relevannya teknologi yang dikembangkan dengan

kebutuhan nyata yang dihadapi rakyat, bangsa, dan negara ini.

Persoalan terkait dengan upaya penguatan inovasi tidak dapat disederhanakan secara

berlebihan (over-simplified) hanya menjadi persoalan relevansi teknologi. Disadari betul bahwa

upaya penguatan inovasi nasional merupakan upaya penguatan sistem inovasi yang sangat

kompleks. Banyak aktor yang ikut berperan, dengan derajat dan jenis partisipasi yang berbeda

tentunya. Banyak faktor yang mempengaruhi ekosistem dimana sistem inovasi ditumbuhkan,

termasuk ekonomi, sosio-kultural, hukum, dan politik. Interaksi dari berbagai aktor dan faktor-

faktor yang ikut berpengaruh tersebut yang akan membentuk sistem inovasi nasional yang

lebih kokoh. Selain kompleks, upaya penguatan inovasi juga sensitif terhadap dinamika peran

para aktor dan faktor-faktor pembentuk ekosistem tumbuhnya.

Memahami persoalan dalam upaya penguatan inovasi nasional yang sangat kompleks tersebut,

maka penulisan naskah akademik perubahan UU Nomor 18 Tahun 2002 ini dimaksudkan untuk:

[1] Memahami realita dan permasalahan dalam upaya penguatan kemampuan

penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan iptek saat ini;

[2] Mencoba merajut sosok ideal SINas Indonesia dalam mewujudkan tujuh sasaran visi

inovasi 2025 secara lebih produktif dan menyejahterakan rakyat;

[3] Mengidentifikasi dan mengantisipasi dinamika perubahan faktor-faktor yang berpotensi

mempengaruhi ekosistem SINas (lingkungan strategis); dan

[4] Mengembangkan konsepsi SINas Indonesia yang realistis yang diyakini mampu

diaktualisasikan untuk mewujudkan sasaran penguatan inovasi.

Penulisan dokumen ini bertujuan untuk digunakan sebagai bahan referensi akademik yang

menjadi dasar pertimbangan perubahan UU No. 18 Tahun 2002, terutama dalam penyusunan

regulasi yang relevan dengan upaya mewujudkan penguatan inovasi yang lebih produktif dan

menyejahterakan rakyat. Sebagai referensi akademik, dokumen cetak biru ini diharapkan

6 Perlu selalu diingat bahwa konsitusi UUD 1945 jelas mengamanahkan bahwa pembangunan ilmu pengetahuan

dan teknologi harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemajuan peradaban bangsa (Pasal 31 ayat 5).

Page 7: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

7

mampu memberikan informasi yang komprehensif, mutakhir, dan relevan dengan kondisi

Indonesia, serta memberikan kerangka konsepsi yang objektif dan mungkin-dicapai

(achievable) dengan sumberdaya yang dimiliki Indonesia. Informasi ini merupakan langkah

langkah yang diperlukan untuk melakukan perbaikan ekosistem inovasi. Sesuai Perpres No. 32

Tahun 2011 tentang MP3EI, langkah-langkah perbaikan ekosistem inovasi mencakup:

a. pengembangan sistem insentif dan regulasi yang mendukung inovasi dan budaya

penggunaan produk dalam negeri;

b. peningkatan kualitas dan fleksibilitas perpindahan sumberdaya manusia;

c. pembangunan pusat-pusat inovasi untuk mendukung IKM;

d. pembangunan klaster inovasi daerah;

e. pengembangan sistem remunerasi peneliti yang lebih baik;

f. revitalisasi infrastruktur R&D; dan

g. pengembangan sistem dan manajemen pendanaan riset yang mendukung inovasi.

Karena tujuannya adalah untuk menjadi landasan dalam pembuatan kebijakan dan/atau

regulasi, maka dokumen cetak biru ini walaupun kental berbasis akademik, namun diupayakan

agar mudah dan enak dibaca dengan gaya bahasa dan penggunaan terminologi yang lebih

bersahabat (reader-friendly), terutama bagi para pembuat kebijakan dan regulasi.

1.4. Metode Penelitian Hukum

Penyusunan Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan,

dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menggunakan metode pendekatan deskriptif-

analitis. Pendekatan ini menggambarkan berbagai permasalahan secara utuh dan menyeluruh,

selanjutnya dilakukan analisis yang menjadi bagian-bagian sebagai sistem yang terbagi atas sub

sistem-sub sistem dari suatu ekosistem sebagai suatu kesatuan dalam merumuskan

penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU Nomor 18

Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi.

Hasil analisis tersebut menjadi landasan untuk mengidentifikasi peraturan perundang-

undangan yang ada, khususnya hukum tertulis yang berlaku yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya-upaya penguatan inovasi secara nasional.

Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan secara interdisipliner dan multidisipliner,

dan dengan pendekatan dari segi pengelolaannya secara terpadu. Melalui pendekatan

interdisipliner akan diketahui hukum dan ilmu hukum yang mengatur penguatan inovasi dan

melalui pendekatan multi disipliner akan diketahui ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang

mendukung pengaturan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang

Page 8: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

8

Perubahan UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan

Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Metode pendekatan sistemik ini digunakan sebagai konsekuensi dari pengertian dan

pemahaman mengenai kompleksitas penguatan inovasi secara nasional. Penelitian ini harus

pula mendekati permasalahan yang ada dalam upaya peningkatan penguasaan, pemanfaatan

dan pemajuan iptek untuk mendorong inovasi dan difusi teknologi seoptimal mungkin. Oleh

karena itu penelitian ini secara futuristik harus menyangkut upaya pembangunan yang

berkelanjutan dalam sistem hukum yang ada bagi penguatan inovasi nasional.

Pada dasarnya penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan

Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dilakukan dengan menggunakan metode

penelitian yuridis normatif. Metode ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis, dengan

data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan perekayasaan, inovasi, maupun difusi teknologi, serta kegiatan

penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi), serta bahan

hukum sekunder maupun tertier (hasil-hasil penelitian, pengkajian, majalah hukum, hasil focus

group discussion, dan sebagainya) serta data-data yang diperoleh dari para anggota tim

penyusunan naskah akademik.

Tahapan penelitian diawali dengan melakukan inventarisasi hukum, khususnya peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai kegiatan perekayasaan, inovasi, maupun difusi

teknologi, serta kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Data ini selanjutnya dianalisis secara kualitatif berdasarkan norma-norma hukum

yang berlaku dan disusun sebagai bagian dari pengembangan sistem hukum nasional di bidang

ilmu pengetahuan dan teknologi, dan merupakan bahan-bahan hukum dalam mempersiapkan

Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002

tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi.

Sumber hukum materiil masalah perekayasaan, inovasi, maupun difusi teknologi ini mengacu

pada inventarisasi permasalahan, kemudian diupayakan untuk menarik azas-azas hukum dan

rumusan norma yang akan dijadikan acuan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,

Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Sedangkan inventarisasi dan

pengolahan data dilakukan melalui:

1. Penelusuran kepustakaan, dengan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan

yang sudah ada dan berlaku di Indonesia termasuk kebijakan inovasi nasional, konvensi

dan traktat internasional yang terkait alih teknologi, maupun yang terkait dengan

perekayasaan, inovasi, maupun difusi teknologi;

2. Mengkaji bahan-bahan seminar, makalah, kertas kerja, maupun putusan pengadilan yang

terkait dengan inovasi teknologi;

Page 9: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

9

3. Mengkaji Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, termasuk pelaksanaan peraturan pelaksanaannya, terutama Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual, dan Hasil Penelitian Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan; serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagaian Pendapatan Badan Usaha untuk Kegiatan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi. Kajian ini mencakup bagaimana implementasi, kendala-kendala dalam prakteknya, dan peraturan perundang-undangan yang terkait; dan

4. Hasil Diskusi atau informasi anggota tim di Kementerian Riset dan Teknologi.

1.5. Sistematika Penulisan

Sesuai dengan maksud penulisan naskah akademik perubahan UU Nomor 18 Tahun 2002 ini dan tujuan yang hendak dicapai, maka sistematika penulisan dirinci sebagai berikut:

Bab Judul dan Deskripsi Substansi

I Pendahuluan

(UU No. 12/2011: latar belakang, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan naskah akademik, metode penelitian hukum)

Mencakup tentang latar belakang penulisan naskah akademik perubahan UU Nomor 18 Tahun 2002, permasalahan, maksud dan tujuan penulisan dokumen, metode penelitian hukum, serta rincian sistematika penulisan dokumen.

Latar Belakang memberikan informasi awal tentang persoalan pokok yang dihadapi terkait dengan rendahnya kontribusi teknologi terhadap pembangunan nasional Indonesia, argumen tentang pentingnya upaya memperkuat inovasi nasional dalam rangka meningkatkan kontribusi teknologi, terutama untuk meningkatkan produktivitas nasional dan kesejahteraan. Inisiatif inovasi nasional dari Komite Inovasi Nasional dalam rangka pencapaian tujuh sasaran inovasi nasional perlu diperkuat melalui peraturan perundang-undangan. Program penguatan inovasi nasional ini mencakup tujuh langkah perbaikan ekosistem inovasi, pengembangan empat wahana percepatan pertumbuhan ekonomi, dan pencapaian tujuh sasaran visi inovasi 2025.

Permasalahan secara garis besar memberikan gambaran kondisi kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek, serta berbagai kendala dalam upaya memenuhi kebutuhan pasar (ekonomi). Interaksi dan koordinasi antar elemen dalam menghasilkan inovasi masih sangat diperlukan dalam membangun suatu sistem inovasi nasional yang lebih tangguh. Ketidakpaduan (mismatch) antara teknologi yang dihasilkan dengan kebutuhan industri atau para pengguna teknologi lainnya perlu diperhatikan. Masalah ini merupakan masalah yang paling serius dan mendasar (fundamental problem) dalam upaya penguatan inovasi, sehingga

Page 10: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

10

Bab Judul dan Deskripsi Substansi

memerlukan perubahan UU No. 18 Tahun 2002.

Maksud dan tujuan penulisan adalah menjelaskan tentang niat yang terkandung dalam penyusunan dokumen naskah akademik ini dan kemanfaatan yang dapat diperoleh publik dengan tersedianya dokumen ini.

Metode penelitian hukum memberikan gambaran mengenai metode yang dilakukan di dalam penelitian ini. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan analisis deskriptif terhadap berbagai peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum, dan fakta di masyarakat, maupun berbagai informasi yang relevan dari berbagai narasumber maupun diskusi-diskusi.

Sistematika menjelaskan tentang tata urut penulisan dokumen yang sekaligus juga merinci tentang substansi isi dokumen.

II Inovasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Mencakup kajian teoritis dan kajian implementasi UU No. 18 Tahun 2002.

Kajian teoritis mencakup uraian tentang beberapa konsepsi penting termasuk makna inovasi, pendekatan kesisteman, penguatan inovasi, dan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-base economy); para aktor inovasi nasional yang terdiri dari aktor pengembang, pengguna, dan aktor penting lainnya yang ikut menentukan dinamika ekosistem inovasi; dinamika interaksi antar-aktor; dan upaya penciptaan ekosistem yang kondusif untuk tumbuh kembang inovasi.

Kajian implementasi UU No. 18 Tahun 2002 mencakup:

Analisis Undang-undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Bingkai Ekonomi Berlandaskan Iptek (Knowledge Based Economy) : Sri Mulatsih, dan Prakoso Bhairawa Putera, LIPI, 2009.

Seri Diskusi Sistem Inovasi dan Daya Saing - Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan: Tatang A Taufik, BPPT dan Kementerian Riset dan Teknologi, 2005.

Pengembangan Peraturan untuk Mendukung Unit Komersialisasi Kelembagaan Iptek, Kementerian Riset dan Teknologi, 2007.

III Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-undangan Terkait

Untuk menyajikan realita potret peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek di Indonesia saat ini, maka akan diulas tentang kinerja perekonomian nasional; dilakukan analisis tentang ekosistem pembangunan nasional, terutama kebijakan-kebijakan yang secara langsung mempengaruhi tumbuh-kembang inovasi nasional, termasuk kebijakan maupun peraturan perundang-undangan terkait makro ekonomi, perindustrian dan perdagangan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan pembangunan infrastruktur sosial; dan dilakukan pula identifikasi permasalahan dan analisis efisiensi sistem inovasi terkait orientasi pembangunan inovasi, peran dan kontribusi aktor inovasi, ketersediaan dan kesiapan infrastruktur inovasi, dan

Page 11: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

11

Bab Judul dan Deskripsi Substansi

peran pemerintah dalam skenario pengembangan SINas.

IV Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis

Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penyusunan peraturan perundang-undangan setidaknya harus memenuhi tiga syarat, yaitu syarat yuridis, sosiologis, dan filosofis. Syarat yuridis, menurut Hans Kelsen, apabila pembentukannya berdasarkan pada kaidah atau peraturan yang lebih tinggi (teori “Stufenbau”nya dari Kelsen). Menurut Kelsen, efektivitas dari peraturan perundang-undangan harus dibedakan dengan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan, karena efektivitas hukum merupakan fakta. Syarat kedua adalah syarat sosiologis, yang menekankan pada efektivitas hukum yang akan dibuat. Menurut teori kekuasaan, hukum berlaku secara sosiologis karena adanya pemaksaaan berlakunya oleh penguasa; terlepas apakah masyarakat menerima atau menolaknya. Syarat filosofis apabila peraturan perundang-undangan yang diterapkan sesuai dengan cita-cita hukum, atau sesuai dengan nilai positif yang tertinggi, misal cita-cita hukum bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Secara sosiologis penguatan inovasi nasional dapat memenuhi karakteristik inovasi yang khas Indonesia yang mencakup: [1] orientasi arah dan prioritas teknologi yang dikembangkan; [2] skenario interaksi yang intensif dan produktif antara lembaga/aktor inovasi; [3] relevansi dan produktivitas lembaga pengembang teknologi; [4] kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi, dan [5] kontribusinya terhadap pembangunan nasional.

Reorientasi Arah dan Prioritas Riset, kesesuaian teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan pengguna (demand-driven) merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam membangun inovasi nasional. Selain itu, dalam rangka membangun kemandirian bangsa, teknologi yang dikembangkan harus pula sesuai dengan potensi sumberdaya nasional;

Interaksi yang Intensif Antar-aktor Inovasi diharapkan mampu mendorong pengembangan SDM yang relevan dengan kebutuhan, membangun semangat kebersamaan antar aktor inovasi, secara bertahan mengubah minset pada pengembang teknologi agar lebih berorientasi pada kebutuhan nyata dan lebih sensitif terhadap persoalan yang dihadapi pengguna teknologi;

Peningkatan Produktivitas dan Relevansi Teknologi Domestik menjadi isu yang sangat penting. Namun demikian, teknologi yang relevan saja memang belum cukup menjadi jaminan bahwa teknologi tersebut akan diadopsi pengguna, karena masih akan tergantung pada kapasitas adopsi pengguna teknologi; peranan lembaga intermediasi akan sangat berat jika teknologi yang dikembangkan tidak relevan dengan kebutuhan dan tidak sepadan dengan kapasitas adopsi pengguna;

Ekosistem Inovasi yang Kondusif dibutuhkan untuk tumbuh-kembang SINas. Ekosistem SINas yang kondusif dapat diwujudkan melalui kebijakan dan

Page 12: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

12

Bab Judul dan Deskripsi Substansi

regulasi yang tepat di berbagai sektor yang secara langsung mempengaruhi kinerja para aktor inovasi dan interaksi antar-aktor tersebut;

Kontribusi terhadap Pembangunan Nasional pada akhirnya akan dievaluasi berdasarkan kontribusi inovasi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, disamping sebagai sasaran antaranya adalah pertumbuhan ekonomi, terbangunnya masyarakat berbasis pengetahuan, dan stabilitas keamanan nasional.

Secara filosofis penguatan inovasi nasional harus mampu mengantisipasi perubahan lingkungan strategis. Upaya penguatan inovasi nasional harus bersifat dinamis menyesuaikan dengan dinamika perubahan lingkungan strategis, baik pada tingkat global, regional, maupun nasional.

Dinamika Lingkungan Global yang paling penting adalah semakin kentaranya kecenderungan untuk mendorong pengembangan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nyata, sehingga lebih berpeluang untuk digunakan dalam proses produksi barang dan/atau jasa. Selanjutnya secara nyata berkontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian.

Dinamika Lingkungan Regional ASEAN memperlihatkan bahwa posisi Indonesia secara relatif lebih lamban kemajuan pembangunan ipteknya dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Oleh sebab itu, perlu percepatan dalam mewujudkan dan memperkuat inovasi Indonesia yang dimulai dengan perubahan mindset para pengembang teknologi dan meningkatkan peran dunia usaha dalam pembangunan iptek.

Dinamika Lingkungan Nasional pada tahun 2011 ini ditandai dengan diluncurkannya MP3EI yang menempatkan pembangunan iptek sebagai salah satu strategi utama untuk percepatan dan perluasan pembanguan ekonomi Indonesia. Pengakuan atas potensi peran iptek ini diharapkan dapat menjadi momentum yang tepat untuk memperkuat inovasi nasional.

V Jangkauan, Arah Pengaturan dan Ruang Lingkup

Arah dan Jangkauan Pengaturan Penguatan Inovasi Nasional Upaya mewujudkan SINas yang efektif dan produktif dalam mendukung pembangunan perekonomian membutuhkan peranan pemerintah dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh kembang SINas tersebut. Tugas utama pemerintah adalah menyiapkan ‘panggung’ untuk pengembangan SINas agar para aktor inovasi secara nyaman dapat memainkan peranannya masing-masing.

Panggung SINas yang ideal perlu didahului dengan formulasi kebijakan di berbagai sektor pendukung inovasi nasional yang tepat. Kebijakan yang terkait secara langsung dan diyakini akan sangat berpengaruh terhadap kinerja SINas adalah kebijakan ekonomi makro, keuangan, dan perpajakan; kebijakan perindustrian dan perdagangan; kebijakan riset dan pengembangan teknologi; kebijakan ketenagakerjaan; kebijakan pendidikan nasional; kebijakan

Page 13: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

13

Bab Judul dan Deskripsi Substansi

penyediaan infrastruktur sosial; dan kebijakan dalam rangka mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance). Kebijakan dapat mendukung arah penguatan inovasi nasional yang mencakup: [1] membangun inovasi sebagai sistem; [2] revitalisasi lembaga pengembang teknologi; [3] peningkatan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi; [4] peningkatan peran lembaga intermediasi; [5] penyiapan S&T Park; [6] membangun pusat unggulan inovasi; [7] mendorong pembentukan konsorsium inovasi; [8] revitalisasi DRN; [9] sinkronisasi dan perbaikan regulasi, dan [10] berbasis sumberdaya dan memenuhi kebutuhan nasional.

Lingkup Materi Rancangan Undang-Undang Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Kebijakan inisiatif inovasi 1-747, maupun penentuan arah penguatan SINas merupakan upaya untuk mendorong kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi yang lebih bersifat demand-driven. Dua kebijakan tersebut, secara garis besar menekankan pada penguatan empat hal, yaitu:

1. penguatan jaringan rantai (interaksi sinergis) institusi publik, lembaga ristek, universitas, dan swasta;

2. peningkatan hasil, pendayagunaan, rekayasa inovasi - pengembangan, difusi, dan pemanfaatan teknologi;

3. peningkatan penerapan dan diseminasi hasil penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek (temuan/teknologi baru dan produk inovatif yang mempunyai nilai ekonomi) agar dapat dirasakan masyarakat; dan

4. penguatan inovasi nasional agar diprioritaskan untuk dilakukan di wilayah NKRI.

VI Rangkuman dan Rekomendasi

Merupakan bagian akhir dokumen yang menyajikan rangkuman terkait dengan unsur dan isu penting dalam penguatan inovasi nasional serta rekomendasi materi perubahan kebijakan dan/atau regulasi yang ada.

Page 14: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

14

Bab 2 Inovasi dan Pertumbuhan Ekonomi

2.1. Kajian Teoritis

2.1.1. Konsepsi Inovasi Nasional

Adanya pemahaman yang tepat tentang terminologi dasar dan konsepsi pokok merupakan

langkah awal yang sangat strategis dan penting untuk dilakukan. Hal ini sangat relevan dalam

memformulasikan kebijakan publik dan/atau regulasi yang secara legal sifatnya mengikat

semua pihak. Pemahaman yang tepat ini sangat diperlukan ketika pokok bahasannya terfokus

pada inovasi, karena kata inovasi sudah sangat populer, digunakan dalam berbagai komunitas,

dikaitkan dengan banyak aspek kehidupan, tetapi dengan interpretasi yang sangat variatif.

Rentang interpretasi itu mulai dari yang sangat ‘longgar’, yakni inovasi dipadankan sebatas

sesuatu yang berbeda (dari yang umumnya sudah diketahui) sampai ke definisi akademik yang

lebih teknis dan spesifik. Keadaan menjadi lebih runyam karena di kalangan akademik pun,

definisi inovasi masih beragam. Oleh sebab itu, perlu penegasan tentang apa yang dimaksud

dengan inovasi yang digunakan dalam dokumen naskah akademik ini.

Ketika yang dibahas adalah inovasi, maka pemahaman tentang inovasi sebagai suatu ‘sistem’

perlu dimantapkan. Pendekatan sistem diperlukan dalam menganalisis maupun dalam

merancang kebijakan inovasi nasional SINas yang paling cocok. Inovasi sebagai suatu sistem

yang kompleks tidak dapat dianalisis dengan cara memutilasi komponen-komponennya untuk

ditelaah secara terpisah; sebaliknya juga tidak bisa dirancang komponen-komponennya secara

parsial baru kemudian dirajut menjadi inovasi nasional. Interaksi dinamis antar-aktor, interaksi

antara aktor inovasi dengan ekosistemnya, serta dinamikan dan kontinyuitas sirkulasi aliran

informasi kebutuhan dan pasokan teknologi merupakan kesatuan utuh yang diperlukan dalam

upaya penguatan inovasi.

Dalam suatu sistem, kebijakan penguatan inovasi secara tersurat mengindikasikan bahwa

sistem inovasi yang dimaksud berada pada level negara. Namun masih perlu dijelaskan bahwa

sistem dimaksud bersifat sentralistik menjadi sebuah sistem tunggal yang besar dan kompleks,

atau terdiri dari banyak sub-sistem sesuai dengan karakteristik persoalan dan potensi

sumberdaya masing-masing satuan wilayah dalam suatu negara yang diikat oleh satu tujuan

kolektif, misalnya untuk menyejahterakan rakyat. Penguatan inovasi yang akan diwujudkan

tentu perlu dijelaskan kepada publik agar publik dapat secara nyata, efektif, dan efisien

memberikan kontribusinya bagi kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.

Penguatan inovasi nasional haruslah menjadi simpul pengikat antara teknologi dan ekonomi.

Pengembangan teknologi dalam kerangka penguatan inovasi dirancang agar dapat memberikan

Page 15: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

15

kontribusi nyata terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. Para ekonom era modern

yakin bahwa di saat sekarang dan di masa yang akan datang mesin utama yang akan

mendorong perkembangan perekonomian suatu negara adalah tingkat penguasaan dan

aplikasi dari teknologi yang dikuasai tersebut. Oleh sebab itu, pembangunan perekonomian

harus berbasis pada pengetahuan (knowledge-based economy, disingkat KBE), tidak dapat lagi

hanya dengan mengandalkan kelimpahan sumberdaya alam.

Pengertian inovasi, konsepsi tentang pendekatan sistem, dan KBE selanjutnya akan ditelaah

secara lebih komprehensif, serta akan pula diberi penegasan pada bab ini tentang pengertian

dan konsepsi dasar yang digunakan dalam dokumen naskah akademik ini. Inovasi merupakan

sebuah kata yang saat ini sedang ‘naik daun’. Semua komponen masyarakat menggunakan

kata ini baik dalam komunikasi sosial maupun pada forum yang lebih formal. Persoalannya

adalah walaupun masing-masing pihak menggunakan kata yang sama, namun sangat mungkin

bahwa pihak-pihak tersebut mempunyai pemahaman yang berbeda tentang inovasi.

Inovasi diadopsi dari Bahasa Latin ‘innovatus’ yang berarti memperbarui. Pada awalnya inovasi

diartikan sebagai suatu proses untuk memperbarui sesuatu yang sudah ada atau menghasilkan

sesuatu yang dianggap baru. Untuk melakukan suatu pembaruan berarti seseorang perlu

mengubah caranya dalam membuat keputusan, melakukan sesuatu dengan metoda yang

berbeda, atau memilih sesuatu yang diluar norma yang berlaku. Inovasi dapat dimaknai sebagai

upaya mengubah nilai-nilai yang selama ini telah menjadi landasan dari suatu sistem. Jika

suatu sistem berubah, maka sangat mungkin akan membuka peluang untuk menghasilkan

sesuatu yang berbeda, atau sesuatu yang sama sekali baru. Inovasi dapat berkaitan dengan

penambahan atas sesuatu yang telah ada, memunculkan unsur yang sama sekali baru, atau

melakukan perubahan cara berpikir yang radikal dan revolusioner. Perubahan tersebut dapat

terlihat dari produk yang dihasilkan, proses untuk menghasilkan produk tersebut, atau struktur

dan fungsi organisasi yang berperan dalam proses produksinya.

Saat ini, inovasi telah menjadi topik yang penting dalam berbagai bidang ilmu, termasuk

ekonomi, bisnis, desain, teknologi, engineering, dan sosiologi. Dalam perspektif ekonomi,

inovasi harus menghasilkan nilai tambah atau peningkatan produktivitas. Walaupun inovasi

lebih sering dikaitkan dengan produk yang dihasilkan, namun dalam perspektif ekonomi, proses

untuk menghasilkan produk tersebut juga sama pentingnya. Proses yang dimulai dari ide,

kemudian ditransformasi menjadi sesuatu yang bermanfaat.

Inovasi sering dicampur-aduk pengertiannya dengan invensi. Kedua terminologi ini sebetulnya

berbeda, invensi adalah proses atau produk baru yang secara nyata berbeda atau sama sekali

baru dibandingkan dengan proses atau produk serupa yang telah ada; sedangkan inovasi lebih

dilihat dari perspektif kemanfaatan (ekonomi) dari proses dan produk baru yang dihasilkan

tersebut. Ada perumpamaan yang menarik untuk membedakan antara invensi dan inovasi.

Invensi merupakan proses konversi uang menjadi ide; sedangkan inovasi mengubah ide

menjadi uang. Inovator menghasilkan keuntungan finansial dari hasil karyanya; sedangkan

inventor menemukan sesuatu yang baru, namun belum tentu dapat menghasilkan uang dari

hasil temuannya tersebut. World Bank (2010) menyatakan bahwa “what is not disseminated

Page 16: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

16

and used, is not an innovation”. Berdasarkan ini, maka inovasi harus didiseminasikan (oleh

penghasil) dan dipakai (oleh pengguna), bermakna pula bahwa inovasi harus bermanfaat

(terbukti karena dipakai oleh pengguna). Pengguna dalam konteks ini adalah industri/dunia

usaha, masyarakat awam, atau pemerintah.7 OECD (2005) menggunakan definisi inovasi: “An

innovation is the implementation of a new or significantly improved product (good or service),

or process, a new marketing method, or a new organizational method in business practices,

workplace organization or external relations”.8 Inovasi merupakan implementasi dari suatu

produk, proses, metoda pemasaran, atau metoda organisasi yang baru atau secara signifikan

telah diperbaiki. Produk dapat berupa barang maupun jasa. Metoda organisasi mencakup

praktek bisnis, organisasi kerja, atau hubungan dengan pihak eksternal.

Uraian dan referensi di atas memberikan pemahaman bahwa: [1] inovasi merupakan sesuatu

(produk, proses, cara pemasaran, atau metoda organisasi) yang baru, yang tentunya hanya

dapat terlahirkan dari pemikiran yang kreatif; [2] inovasi selain baru, juga harus pula secara

signifikan lebih baik dari produk, proses, cara pemasaran, atau metoda organisasi yang telah

dikenal sebelumnya; [3] status yang lebih baik ini, membuka peluang bagi produk dan proses

inovatif untuk digunakan dalam berbagai aktivitas manusia, sehingga pada dasarnya inovasi

merupakan sesuatu yang bermanfaat; [4] kemanfaatan suatu produk merupakan prasyarat

untuk komersialisasi atau untuk peningkatan kesejahteraan sosial.

Proses inovasi berlangsung mulai dari munculnya ide di benak para inovator sampai pada

termanfaatkannya produk inovatif tersebut. Proses yang panjang ini hampir selalu melibatkan

banyak aktor, baik yang terlibat secara langsung dalam aliran ide menjadi produk yang

bermanfaat, maupun para aktor yang berperan dalam membangun ekosistem yang kondusif

bagi keberlangsungan aliran tersebut. Proses inovatif selalu membentuk suatu sistem yang

kompleks. Oleh sebab itu, penelaahan inovasi harus dilakukan dengan pendekatan sistem, tidak

dapat dilakukan secara linier.

Interaksi antar-aktor dan interaksi antara aktor dengan ekosistem inovasi bersifat sangat

dinamis dan timbal-balik. Telaah secara partial dengan pendekatan linier tak akan mampu

menjelaskan sistem inovasi secara komprehensif dan benar. Dengan demikian, maka sangatlah

penting untuk membekali setiap pihak yang terlibat dalam upaya mewujudkan inovasi nasional

untuk memahami konsepsi pendekatan sistem. Perlu dibedakan antara unsur sistem dengan

lingkungannya (ekosistem). Hal ini perlu untuk membedakan antara penghela endogen

(endogenous drivers), yakni para aktor yang secara langsung menggerakkan inovasi, dengan

penghela eksogen (exogenous drivers), yakni para aktor yang memberikan dukungan dalam

mewujudkan ekosistem yang kondusif untuk tumbuh-kembang inovasi nasional (Bathelt, 2003).

7 Bandingkan dengan pengertian inovasi yang digunakan pada UUNo. 18/2002 pada Pasal 1 butir 9 yang saat ini

masih berlaku: “Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi”. Pengertian inovasi versi UUNo. 18/2002 ini dirasakan sudah tidak pas lagi dengan konteks saat ini.

8 OECD’s Oslo Manual 2005 Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data

Page 17: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

17

Liu dan White (2001) menggunakan istilah aktor primer dan sekunder. Pemilahan ini hanya

untuk membedakan posisi peran para aktor yang terlibat, tetapi akan keliru jika pembagian ini

berdampak pada pengisolasian sistem dari lingkungannya (Asheim dan Coenen, 2005)

Pendekatan sistem merupakan buah dari pemikiran sistemik (systems thinking). Mingers dan

White (2010) menyatakan bahwa systems thinking is a discipline in its own right, with many

theoretical and methodological developments, but it is also applicable to almost any problem

area because of its generality. Selanjutnya, Mingers dan White (2010) merinci bahwa

pendekatan sistem (systems approach) mencakup: [1] melihat situasi secara holistik (berarti

tidak bersifat reduksionis), sebagai kumpulan elemen yang berinteraksi satu sama lain dalam

suatu lingkungan tertentu; [2] memposisikan hubungan atau interaksi antara elemen lebih

penting dari elemen-elemennya sendiri dalam membentuk perilaku sebuah sistem; [3]

memahami adanya hirarki/jenjang dalam suatu sistem dan ‘mutual casuality’ dalam masing-

masing jenjang maupun antar-jenjang; dan [4] memahami bahwa manusia akan beraksi sesuai

dengan tujuan dan rasionalitas yang berbeda.

Sistem Inovasi Nasional (SINas) didefinisikan dalam beberapa versi. Freeman (1987)

mendefinisikan SINas sebagai jaringan kelembagaan pemerintah dan/atau swasta yang

melaksanakan dan berinteraksi dalam inisiasi, modifikasi, difusi, dan impor teknologi baru;

sedangkan Lundvall (1992) mendefinisikan SINas sebagai elemen dan hubungan yang interaktif

dalam proses produksi, difusi, dan penggunaan pengetahuan baru yang bernilai ekonomi yang

berada dalam atau berasal dari suatu negara. Definisi yang lebih sederhana dikemukakan oleh

Nelson (1993), yang menyatakan bahwa SINas sebagai sekelompok institusi yang interaksinya

menentukan kinerja inovatif suatu negara. Sementara Patel dan Pavitt (1994) mengambarkan

SINas sebagai kelembagaan-kelembagaan nasional dengan struktur dan kompetensinya yang

menentukan laju dan arah pembelajaran teknologi (technological learning) pada suatu negara.

Definisi SINas yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Metcalfe (1995), yakni sebagai

sekumpulan institusi yang secara sendiri dan bersama-sama berkontribusi dalam

pengembangan dan difusi teknologi baru serta memberikan kerangka bagi pemerintah dalam

membuat dan mengimplementasikan kebijakan untuk mempengaruhi proses inovasi. Dengan

kata lain, SINas merupakan suatu sistem keterkaitan antar-kelembagaan untuk menciptakan,

menyimpan, dan mentransfer pengetahuan, ketrampilan, dan artefak untuk melahirkan

teknologi-teknologi baru.

Definisi menurut peraturan perundang-undangan, dapat ditemui dalam Peraturan Presiden

Nomor 32 Tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional, disebutkan bahwa “SINas adalah suatu

jaringan rantai antara institusi publik, lembaga riset dan teknologi, universitas serta sektor

swasta dalam suatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka panjang

dapat mendorong, mendukung, dan menyinergikan kegiatan untuk menghasilkan,

mendayagunakan, merekayasa inovasi-inovasi di berbagai sektor, dan menerapkan serta

mendiseminasikan hasilnya dalam skala nasional agar manfaat nyata temuan dan produk

inovatif dapat dirasakan masyarakat.”.

Page 18: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

18

Berdasarkan berbagai definisi di atas, maka ada beberapa pengertian dasar yang dapat ditarik

berkaitan dengan SINas, yakni: [1] kegiatan yang dicakup adalah pengembangan, difusi, dan

pemanfaatan teknologi; [2] pelakunya terdiri dari beberapa kelembagaan –baik pemerintah

maupun swasta- yang berinteraksi satu sama lain secara sinergis; [3] produk yang dihasilkan

adalah teknologi ‘baru’ yang mempunyai nilai ekonomi; dan [4] ruang lingkup dalam

melaksanakan kegiatan inovasi ini adalah negara. Pengertian dasar dalam sistem inovasi

nasional ini diperkuat dalam Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi Nomor

246/M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional untuk Meningkatkan

Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan Nasional.

Definisi SINas yang diusung pada periode 1980-1990an telah menyebutkan bahwa SINas

mencakup kegiatan difusi dan pemanfaatan teknologi, serta telah menyebutkan bahwa

teknologi yang dimaksud adalah teknologi yang punya potensi untuk dikomersialisasikan.

Namun demikian, adopsi teknologi oleh para pengguna teknologi di banyak negara (terutama

negara-negara berkembang) masih sangat minimal. Oleh sebab itu, kegalauan akan rendahnya

adopsi teknologi tersebut terlihat mewarnai definisi atau deskripsi SINas yang diusung pada

kurun waktu tahun 2000-an, yang memberi ketegasan bahwa teknologi yang dihasilkan harus

berakhir dengan dimanfaatkannya teknologi tersebut oleh para pengguna.

The World Bank (2010) dengan sangat tegas mencanangkan bahwa sesuatu (baca: teknologi)

yang tidak didiseminasikan dan tidak digunakan bukanlah inovasi. Sharif (2010)

mendeskripsikan inovasi sebagai upaya kolektif mengubah ide menjadi sesuatu yang bernilai

(turning idea into values). Prakteknya, inovasi harus diawali dengan menjawab tiga pertanyaan

yang sangat fundamental, yakni: [1] what is possible with technology? [2] what is desirable to

the society? [3] what is viable in the market?9

Pendekatan dalam upaya penguatan inovasi nasional secara ekstrim dapat dibedakan menjadi

dua, yakni berdasarkan pendekatan supply-push dan pendekatan demand-driven. Pendekatan

supply-push mengutamakan dan dimulai dari proses pengembangan teknologi oleh institusi

pendidikan tinggi dan lembaga riset. Produk teknologi yang dihasilkan kemudian didifusikan

kepada pihak pengguna, terutama industri yang akan memanfaatkannya untuk menghasilkan

produk komersial berupa barang dan jasa. Proses difusi teknologi tersebut dapat melalui atau

tanpa melalui lembaga intermediasi, dapat difasilitasi atau tanpa difasilitasi oleh Pemerintah

atau pihak lain yang kompeten.

Pengembangan inovasi nasional dengan pendekatan demand-driven mengutamakan dan

dimulai dari pemahaman tentang masalah, kebutuhan, dan preferensi masyarakat yang dapat

dideteksi langsung oleh pihak pengembang teknologi maupun melalui mitranya dari komunitas

bisnis. Sinyal kebutuhan masyarakat ini diterjemahkan oleh industri dalam bentuk kebutuhan

teknologi untuk memproduksi barang dan/atau jasa yang sesuai dengan keinginan masyarakat

tersebut. Berdasarkan informasi ini, lembaga riset dan/atau institusi pendidikan tinggi

9 Dicuplik dari keynote address oleh Nawaz Sharif (2010) berjudul ‘Governance of Innovation Systems in the

Current Global Setting’, di LIPI, Jakarta

Page 19: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

19

mengembangkan teknologi yang relevan dengan kebutuhan. Inovasi yang dikembangkan

melalui pendekatan demand-driven akan lebih berpeluang untuk memberikan kontribusi nyata

terhadap pembangunan perekonomian, karena lebih berpeluang untuk diadopsi industri.

Walaupun demikian, sebagian komunitas akademik dan peneliti menganggap pendekatan

demand-driven akan mengebiri kreativitas ilmiah. Anggapan yang demikian, mengabaikan

kenyataan bahwa kreativitas sesungguhnya lebih terangsang untuk muncul pada kondisi yang

‘tidak nyaman’, misalnya dalam kondisi serba keterbatasan, di bawah tekanan, dalam

kerangkeng regulasi yang kaku, dan tentu termasuk dalam kondisi keharusan mengembangkan

teknologi sesuai kebutuhan pasar.

Secara teoritis dapat dimunculkan pendekatan yang moderat dan akomodatif, yakni dengan

memadukan pendekatan supply-push dan demand-driven. Akan tetapi, sebagaimana halnya

teori fisika, proses aliran hanya akan terjadi jika ada perbedaan derajat antara posisi asal dan

posisi sasaran. Maknanya, dalam penguatan inovasi, walaupun pendekatan demand-driven

yang dipilih tetapi tidak berarti ruang untuk pendekatan supply-push digusur habis. Pilihan

pendekatan tersebut lebih untuk menjamin agar aliran teknologi dapat terjadi secara

berkesinambungan dan komersialisasi produk yang dihasilkan dapat menjadi pasokan ‘energi’

untuk kontinuitas aliran teknologi tersebut.

Sejak tahun 1960-an mulai muncul keyakinan bahwa perbedaan kemajuan perekonomian

antar-negara terkait langsung dengan tingkat penguasaan teknologi dari masing-masing negara

(Fagerberg dan Srholec, 2008). Sebelum periode tersebut, kemajuan perekonomian lebih

banyak dikaitkan dengan jumlah uang yang terakumulasi (accumulated capital) per tenaga

kerja. Keyakinan bahwa ada keterkaitan yang kuat antara kemajuan perekonomian dengan

tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan ‘mazhab’ ekonomi baru,

yakni ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy selanjutnya disingkat KBE)

yang menunjukkan bahwa dalam perkembangannya, ekonomi saat ini semakin bergantung

pada kemajuan pengetahuan dan teknologi, informasi, dan tenaga kerja berketerampilan

tinggi. Untuk dapat memberikan dampak nyata dan langsung, maka sumberdaya ekonomi ini

harus mudah diakses oleh dunia usaha dan para penguna lainnya.10

KBE pada prinsipnya merupakan ekonomi yang secara langsung berbasis pada produksi,

distribusi, dan penggunaan pengetahuan dan informasi. Saat ini banyak upaya yang dilakukan

oleh para ahli ekonomi untuk menjelaskan secara langsung (baik secara teoritis maupun

pengembangan model) tentang kontribusi pengetahuan dan teknologi terhadap pertumbuhan

ekonomi. Teori Pertumbuhan Baru (New Growth Theory) mencerminkan upaya untuk

memahami tentang peran pengetahuan dan teknologi dalam mendorong produktivitas dan

pertumbuhan ekonomi. Investasi di bidang riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan,

serta manajerial merupakan determinan penting KBE. Selain besaran nilai investasi untuk

pengembangan pengetahuan dan teknologi, kelancaran distribusi pengetahuan (baik melalui

10

OECD (2005) mendefinisikan ekonomi berbasis pengetahuan sebagai: ‘an expression coined to describe trends in advanced economic towards greater dependence on knowledge, information, and high skill levels, and the increasing need for ready access to all of these by the business and public sectors’.

Page 20: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

20

jalur formal maupun informal) juga merupakan faktor esensial yang mempengaruhi kinerja

perekonomian. Penguasaan pengetahuan dan teknologi yang tinggi tetapi hanya terisolir di

kalangan akademik atau periset semata tidak akan memberikan dampak terhadap kinerja

perekonomian. Intensitas hubungan dan kelancaran aliran pengetahuan dan teknologi antar-

aktor dalam sistem inovasi akan menjadi faktor penentu kinerja perekonomian.

Lapangan kerja dalam konteks KBE akan lebih banyak membutuhkan tenaga kerja dengan

ketrampilan tinggi atau berpendidikan tinggi, mengingat bahwa dinamika perubahan

pengetahuan dan teknologi berlangsung dalam tempo yang cepat. Walaupun demikian,

pendidikan dan ketrampilan tinggi tersebut perlu mempunyai relevansi yang juga tinggi dengan

persoalan dan kebutuhan nyata. Oleh sebab itu, untuk mendukung KBE, institusi pendidikan

tinggi perlu dirancang agar selain mampu menyelenggarakan pendidikan yang secara akademik

berkualitas, juga harus pula memahami persoalan dan kebutuhan nyata agar dapat mengemas

kurikulum yang relevan terhadap persoalan dan kebutuhan nyata tersebut.11

Upaya untuk menaksir kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan perekonomian dilakukan

antara lain dengan menghitung Total Factor Productivity (TFP). Namun demikian, tidak semua

pakar ekonomi sependapat bahwa TFP bisa mencerminkan kontribusi teknologi. Kelemahan

teoretis dan ketidakkonsistenan empiris dari hasil perhitungan pada berbagai negara dengan

tingkat kemajuan teknologi yang berbeda menjadi lahan subur untuk perdebatan. Kesimpulan

dari kajian yang dilakukan oleh Lipsey dan Carlaw (2001) patut direnungkan: “There is no reason

to believe that changes in TFP in any way measure technological change”. Prinsip dasarnya

adalah bahwa teknologi hanya memberikan kontribusi jika digunakan dalam proses produksi

untuk menghasilkan produk barang/jasa yang dibutuhkan konsumen. Adopsi teknologi akan

terjadi jika pihak pengembang teknologi memahami kebutuhan pihak pengguna. Dalam konteks

komersialisasi, pengguna yang dimaksud adalah industri yang memahami kebutuhan dan

preferensi konsumen. Produk teknologi yang pengembangannya tidak berorientasi pada

kebutuhan nyata tentu akan sulit dijual ke pengguna. Upaya yang umum dilakukan untuk

merangsang atau mempercepat difusi teknologi adalah membentuk lembaga intermediasi.

Akan tetapi, lembaga intermediasi akan sulit berfungsi efektif jika teknologi yang ditawarkan

adalah sesuatu yang tidak dibutuhkan, atau dibutuhkan tapi kalah handal secara teknis

dan/atau kurang kompetitif secara ekonomi.

Ada kesulitan dalam mengevaluasi ekonomi berbasis pengetahuan, antara lain karena

keterbatasan dan mutu indikator terkait pengetahuan yang saat ini tersedia. Indikator yang

berbasis pada nilai investasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semata

(seperti jumlah belanja riset dan pengembangan, jumlah dan kualitas personel pengembang

teknologi) belum cukup untuk memberikan gambaran tentang kinerja KBE. Indikator dari sisi

keluaran kegiatan riset dan pengembangan serta distribusinya diyakini akan lebih relevan,

11

Elaborasi lebih mendalam mengenai isu ini dapat dibaca pada Lakitan (2009):”Kebijakan Pengembangan dan Implementasi Sistem Inovasi Nasional: menjembatani pendidikan, riset, industri, dan konsumen”. Jurnal Dinamika Masyarakat 8(1):1501-1516.

Page 21: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

21

misalnya data stok pengetahuan dan kelancaran aliran distribusi/difusinya, intensitas interaksi

antara aktor sistem inovasi, serta tingkat ketrampilan dan relevansi pendidikan tenaga kerja.

OECD (1996) mengidentifikasi empat gugus indikator penting yang perlu dikembangkan teknik

pengukurannya (secara statistik) untuk mengevaluasi kinerja KBE, yakni indikator terkait: [1]

knowledge stocks and flows, [2] knowledge rates of return, [3] knowledge networks, dan [4]

knowledge and learning. Gugus indikator [1] memperlihatkan pentingnya mengetahui

penambahan stok pengetahuan per satuan input pada kegiatan riset dan pengembangan, serta

mengetahui kelancaran aliran pengetahuan dan teknologi dari penyedia ke pengguna. Gugus

indikator [2] merupakan indikasi dari besarnya perolehan sosial dan kemanfaatan bagi publik

per satuan input kegiatan riset dan pengembangan. Gugus indikator [3] memberikan indikasi

tentang proses aliran dan intensitas interaksi antara aktor inovasi. Sedangkan gugus indikator

[4] melingkupi indikator ‘human capital’, mengukur kemanfaatan bagi publik untuk investasi di

bidang pendidikan dan pelatihan, atau kegiatan lain yang terkait langsung dengan upaya

meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

2.1.2. Aktor Inovasi Nasional

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan,

dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU No. 18 Tahun 2002) menggunakan

terminologi kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai aktor inovasi. Nuansa

kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi ini mencakup perguruan tinggi, lembaga

penelitian dan pengembangan, badan usaha, dan lembaga penunjang merupakan aktor-aktor

utama dalam inovasi.12 Namun demikian UU No. 18 Tahun 2002 menyebutkan pula perlunya

peran aktif warganegara dalam pelaksanaan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan

pemajuan iptek.

Kompleksitas penguatan inovasi tercermin antara lain dari banyaknya aktor yang terlibat dan

ikut menentukan atau mempengaruhi kinerja sistem ini. Untuk memudahkan pemahaman dan

agar kompleksitas yang ada tidak mengaburkan esensi dasar dari inovasi, maka ada baiknya

aktor yang banyak tersebut dipilah menjadi: [1] aktor utama (primer) yang terlibat langsung

dalam proses aliran teknologi, mulai dari pengembangannya sampai pada penggunaannya

untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkan konsumen; dan [2] aktor

penunjang (sekunder) yang berperan dalam membentuk ekosistem yang kondusif agar aktor-

aktor utama dapat unjuk kinerja secara optimal.

Aktor utama terdiri dari para pengembang/penyedia teknologi, para pengguna teknologi, dan

para pihak yang memfasilitasi dan/atau melakukan intermediasi interaksi dan komunikasi

antara penyedia dan pengguna teknologi. Perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan

pengembangan sebagaimana dimaksud UU No. 18 Tahun 2002 merupakan unsur penting dari

12 Pasal 6 ayat (1) UU No. 18/2002 menetapkan bahwa ‘kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas

unsur perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang’.

Page 22: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

22

pengembang/penyedia teknologi. Namun demikian pengembang/penyedia teknologi tidak

hanya terbatas pada dua unsur tersebut, tetapi mencakup semua pihak yang secara nyata

melakukan kegiatan pengembangan teknologi, misalnya institusi riset non-pemerintah, unsur

pelaksana riset dan pengembangan pada industri, dan para periset individual.13

OECD (2002) membuat klasifikasi lembaga riset dan pengembangan (R&D) berdasarkan

pengelola, pemegang kendali kebijakannya, penyandang dana, dan orientasi komersialisasi

produk riset yang dihasilkannya (Gambar 1). Berdasarkan kriteria ini maka ada empat

kelompok lembaga R&D, yakni: [1] perguruan tinggi (higher education), [2] lembaga R&D bisnis

(business enterprise), [3] lembaga R&D pemerintah (government), dan [4] lembaga R&D nirlaba

(private non-profit). Pengelompokan ini digunakan dalam mengevaluasi kinerja lembaga riset

dan pengembangan negara-negara dunia.

UU No. 18 Tahun 2002 hanya mengenal dua lembaga pengembang teknologi, yakni perguruan

tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan. Seluruh perguruan tinggi di Indonesia,

negeri maupun swasta, mengemban tiga tugas pokok yang dikenal sebagai tridharma

perguruan tinggi, yakni melakukan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian

kepada masyarakat. Namun demikian, mayoritas perguruan tinggi di Indonesia masih lebih

dominan terkonsentrasi pada kegiatan pendidikan dan pengajaran. Kiprah dan kontribusinya

terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih belum kentara. Hal ini antara

lain disebabkan karena kegiatan riset masih lebih diposisikan sebagai ‘academic exercises’,

belum fokus pada upaya untuk menghasilkan invensi dan inovasi.

Lembaga R&D pemerintah termasuk: [1] Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK,

sebelumnya dikenal sebagai LPND) yang (salah satu) tugas pokok dan fungsinya adalah

melaksanakan kegiatan riset dan pengembangan; dan [2] unit kerja penelitian dan

pengembangan pada kementerian dan pemerintah daerah.

13

Pasal 8 ayat (3) UU No.18/2002 menetapkan lembaga-lembaga yang tergolong sebagai lembaga litbang, yakni dapat berupa organisasi yang berdiri sendiri, atau bagian dari organisasi pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, badan usaha, lembaga penunjang, dan organisasi masyarakat.

Page 23: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

23

Gambar 1. Klasifikasi berdasarkan status formal lembaga riset dan pengembangan (adaptasi dari OECD, 2002)

Sementara kegiatan riset di perguruan tinggi lebih berorientasi pada pengembangan ilmu

pengetahuan, maka selayaknya riset yang dilaksanakan oleh lembaga R&D pemerintah lebih

fokus pada upaya menyediakan solusi teknologi bagi berbagai permasalahan yang dihadapi

rakyat dan negara dan/atau menyediakan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nyata

dalam rangka mendukung pembangunan perekonomian nasional, kesejahteraan rakyat, dan

peningkatan peradaban bangsa.14

Banyak industri dan badan usaha lainnya mempunyai unit kerja yang tugas utamanya adalah

melakukan riset dan pengembangan, baik riset untuk mendapatkan informasi kebutuhan dan

selera konsumen yang akan dijadikan dasar dalam pengembangan strategi pemasaran maupun

riset-riset pengembangan produk. Riset yang dilakukan badan usaha jelas berorientasi

komersil, walaupun saat ini sering dikemas dengan berbagai ‘bungkus’ lain dalam rangka

membangun citra perusahaan atau memanfaatkan kecenderungan preferensi konsumen,

misalnya terkait dengan kepedulian mengenai isu lingkungan.

Peningkatan intensitas kegiatan riset oleh badan usaha dapat menjadi indikasi yang positif

tetapi sekaligus juga negatif. Positif dalam konteks pengembangan teknologi akan mengalami

akselerasi mengingat potensi kekuatan dunia usaha dalam membiayai kegiatan riset dan

relevansi teknologi yang dikembangkan juga akan semakin meningkat, karena dunia usaha

14

Sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945, tujuan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan peradaban bangsa.

Perguruan Tinggi Badan Usaha Lembaga Pemerintah

Lembaga Non-Pemerintah Perguruan Tinggi

TIDAK

Apakah secara administratif dikelola

oleh perguruan tinggi?

Apakah dikendalikan atau dominan

dibiayai oleh lembaga non-pemerintah?

Perguruan Tinggi

YA

Lembaga Pemerintah

TIDAK YA

Apakah secara administratif dikelola

oleh perguruan tinggi?

YA

Jika kendali dan pembiayaan dilakukan

oleh pihak yang berbeda, maka status

lembaga riset & pengembangan tersebut

tergantung pada pihak mana yang

dominan membiayainya

TIDAK

Badan Usaha

TIDAK

TIDAK

Perguruan Tinggi

Badan Usaha

YA

Apakah produknya dijual sesuai harga

pasar? TIDAK

Apakah dikendalikan atau dominan

dibiayai oleh badan usaha?

YA

TIDAK

Apakah dikendalikan atau dominan

dibiayai oleh pemerintah?

YA

Lembaga Riset & Pengembangan

Apakah berada dalam institusi

pendidikan tinggi?

YA

Page 24: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

24

tidak akan melakukan kegiatan riset jika tidak ada potensi kemanfaatan hasilnya. Dunia usaha

akan selalu memposisikan biaya riset sebagai bagian dari investasi. Kecenderungan

peningkatan intensitas riset oleh dunia usaha dapat pula menjadi indikasi negatif, apabila

kecenderungan ini merupakan bentuk reaksi dari dunia usaha atas rendahnya relevansi

dan/atau mutu teknologi yang dikembangkan oleh perguruan tinggi dan lembaga riset

pemerintah. Bukan rahasia umum bahwa saat ini komunikasi dan interaksi antara para pihak

pengembang teknologi (perguruan tinggi dan lembaga R&D pemerintah) dengan pihak industri

belum terbangun secara intensif. Walaupun saat ini, lembaga R&D yang berorientasi komersial

umumnya masih merupakan unit kerja internal lembaga bisnis, namun cikal-bakal lembaga

R&D komersial yang independen sudah mulai nampak tumbuh. Jurang yang masih

membentang lebar antara perguruan tinggi atau lembaga R&D pemerintah dengan dunia usaha

merupakan peluang untuk tumbuh kembang lembaga R&D independen.

Lembaga R&D swasta nirlaba sudah berkiprah lama di Indonesia dengan sumber pembiayaan

umumnya dari lembaga-lembaga internasional. Lembaga R&D nirlaba ini lebih banyak

berkiprah di ranah ilmu-ilmu sosial, terutama fokus pada isu-isu hangat pada tataran global,

misalnya isu sosial (kesejahteraan rakyat, penyakit menular, pendidikan anak), isu politik dan

pemerintahan (demokratisasi, desentralisasi, hak asasi manusia, korupsi), dan isu lingkungan

(deforestasi, pencemaran/polusi, perubahan iklim).

Badan usaha atau industri merupakan salah satu unsur pengguna teknologi.15 Unsur pengguna

lainnya adalah [1] masyarakat pelaku produksi barang/komoditas/jasa, misalnya petani,

nelayan, peternak, pengrajin; dan [2] pemerintah dalam rangka melaksanakan pelayanan publik

dan untuk menjaga kedaulatan negara. Badan usaha merupakan pengguna teknologi yang

bersifat komersial, sedangkan masyarakat dan pemerintah lebih bersifat bauran antara

komersial dan pelayanan publik. Dapat bersifat komersial jika lembaga pengembang

teknologinya bukan merupakan lembaga R&D pemerintah, kegiatannya tidak dibiayai oleh

pemerintah, atau merupakan lembaga R&D asing. Sebaliknya, jika pengembang teknologinya

adalah lembaga R&D pemerintah, atau kegiatan pengembangan teknologi dimaksud

sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah, maka sudah sepatutnya teknologi yang dihasilkan

tersebut dapat digunakan oleh pemerintah dan masyarakat secara bebas. Perlu diingat bahwa

kepemilikan paten lazimnya adalah ditangan pihak yang membiayai kegiatan pengembangan

teknologi yang bersangkutan.

Kapasitas adopsi para pengguna teknologi di Indonesia masih belum besar. Badan usaha di

Indonesia masih dominan bergerak di sektor perdagangan, sehingga kebutuhan dan kapasitas

adopsi teknologinya relatif rendah. Industri produsen barang dan jasa di Indonesia banyak yang

hanya merupakan unit produksi dari sebuah perusahaan multinasional atau hanya bersifat

sebagai penerap teknologi asing yang sudah mapan yang dilaksanakan berdasarkan lisensi yang

diberikan oleh pihak-pihak pengembang teknologi luar negeri. Mengingat pada saat ini segmen

industri besar cenderung lebih bergantung pada teknologi asing (yang mungkin disebabkan

15

UU No. 18 Tahun 2002 hanya menyebutkan badan usaha sebagai aktor pengguna teknologi.

Page 25: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

25

karena kemampuan teknologi nasional belum memadai untuk memasok kebutuhan teknologi

tersebut atau mungkin karena alasan lain yang bersifat non-teknis), maka pengguna teknologi

domestik yang paling potensial adalah masyarakat awam dan usaha kecil dan menengah

(UKM). Oleh sebab itu, harusnya segmen pengguna ini harus dipasok penuh oleh pengembang

teknologi domestik.

Kenyataannya, teknologi yang dibutuhkan masyarakat awam dan UKM pun belum sepenuhnya

dikuasai oleh teknologi domestik, masih dibanjiri oleh teknologi maupun produk teknologi

asing. Misalnya, kebutuhan alat dan mesin pertanian masih dominan diimpor dari berbagai

negara, terutama Jepang dan Cina. Untungnya benih padi sudah dapat dipenuhi dari hasil riset

dan teknologi dalam negeri. Pemerintah seharusnya menjadi pengguna utama teknologi dalam

negeri, terutama teknologi di bidang pertahanan dan keamanan.16 Disamping untuk

meningkatkan kemandirian bangsa, juga penggunaan teknologi dalam negeri akan

menggairahkan kegiatan pengembangan teknologi itu sendiri, karena secara langsung akan

meningkatkan aliran dana untuk pembiayaannya.

Penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta jiwa dan kebutuhan peralatan utama sistem

pertahanan (alutsista) nasional yang besar, mengingat luas wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) yang sedemikian besar, merupakan dua argumen utama untuk menjadikan

kebutuhan domestik sebagai pasar utama bagi produk teknologi dalam negeri. Orientasi

pengembangan teknologi Indonesia perlu lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan dan

pemecahan persoalan dalam negeri terlebih dahulu, baru setelah pasar domestik dikuasai (dan

teknologi Indonesia sudah lebih kompetitif) maka pertimbangan ekspor teknologi nasional

menjadi lebih layak diupayakan.

Pihak ketiga yang tergolong sebagai aktor utama inovasi adalah para pihak yang berperan

sebagai intermediator atau fasilitator untuk meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi

antara para pengembang dengan para pengguna teknologi. Pada saat ini, peran intermediasi

dan fasilitasi ini diharapkan dimainkan lebih banyak oleh pemerintah. Pemerintah tentunya

dapat membentuk lembaga-lembaga khusus untuk menjalankan fungsi/tugas ini.

Untuk menjalankan peran intermediasi, Kementerian Riset dan Teknologi, misalnya, pernah

mendorong pembentukan lembaga yang dirancang khusus untuk fungsi intermediasi ini, yakni

Business Technology Center (BTC) di 8 lokasi, tersebut di beberapa kota.17 Namun peran

intermediasi dari lembaga-lembaga BTC tersebut kelihatannya masih jauh dari harapan,

sebagian penyebabnya berasal dari kapasitas dan kompetensi lembaga yang tidak memadai,

dan sebagian lagi karena teknologi hasil pengembangan dalam negeri yang tidak sesuai dengan

16

Sudah ada arahan dari Presiden RI agar kebutuhan teknologi dan produk teknologi di bidang pertahanan dan keamanan memprioritaskan teknologi dalam negeri sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kemandirian bangsa.

17 Pendirian BTC ini merupakan tidak lanjut rekomendasi dari hasil kajian ‘Periskop’ yang dilaksanakan pada

tahun 2000 atas kerjasama antara Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia dengan Kementerian Pendidikan Jerman. Sejak tahun 2010, BTC yang dikelola BPPT telah dilebur masuk ke dalam organisasi BPPT Engineering.

Page 26: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

26

kebutuhan nyata (tidak relevan). Teknologi yang dikembangkan lebih mahal dan/atau kalah

handal dibandingkan dengan teknologi sejenis yang sudah tersedia di pasar.

Untuk penguatan peran intermediasi ini, pemerintah melalui Kementerian Riset dan Teknologi

juga telah menfasilitasi pendirian Business Innovation Center (BIC) pada tahun 2008.18 Sejak

tahun 2008 tersebut, BIC telah menerbitkan katalog tahunan hasil-hasil riset yang dianggap

berpeluang untuk dikomersialisasikan, melalui serial terbitan buku ‘100 Inovasi Indonesia’

(2008), ‘101 Inovasi Indonesia (2009), ‘102 Inovasi Indonesia’ (2010), dan yang terakhir ‘103

Inovasi Indonesia’ (2011). Visi BIC adalah menjadi lembaga intermediasi inovasi bisnis yang

terdepan, dalam menunjang daya saing ekonomi dan bisnis di Indonesia. Hal ini dilakukan

dengan mensinergikan elemen-elemen akademisi, bisnis, dan pemerintah (A-B-G) dalam proses

inovasi, sehingga dalam waktu 10 tahun, kegiatan inovasi di Indonesia akan menjadi unggulan

(benchmark) negara-negara lain di ASEAN.

Sejak 2011, BIC ditempatkan di kawasan Puspiptek Serpong sesuai dengan skenario untuk

menjadikan kawasan ini sebagai Science and Technology Park (STP), dimana aktor-aktor utama

inovasi akan difasilitasi untuk berada dalam kawasan yang sama. Kedekatan secara fisik diyakini

akan mampu merangsang aktor-aktor tersebut untuk meningkatkan komunikasi dan

interaksinya. Keterkaitan lembaga-lembaga pengembang, intermediasi, dan pengguna

teknologi di kawasan ini diharapkan dapat menjadi model implementasi Sistem Inovasi

Nasional.

Selain tiga aktor utama inovasi yang telah dijelaskan sebelumnya, juga banyak aktor atau

lembaga pendukung lainnya yang berperan penting dalam membangun inovasi secara lebih

produktif dan berkesinambungan. Lembaga pendukung mencakup lembaga-lembaga yang

mempunyai kewenangan dan/atau kapasitas untuk: [1] membuat regulasi dan/atau kebijakan

terkait tumbuh-kembang inovasi nasional maupun daerah; [2] menyiapkan sumberdaya

manusia yang dibutuhkan untuk aktor penggerak sistem inovasi; [3] memberikan dukungan

finansial bagi para aktor inovasi dalam menjalankan perannya masing-masing; dan [4]

membangun infrastruktur sosial. 19

Kelembagaan yang dikategorikan sebagai pendukung adalah lembaga atau aktor yang tidak

terlibat langsung dalam proses pengembangan, difusi, maupun penggunaan teknologi untuk

produksi barang dan/atau jasa yang dibutuhkan publik maupun negara; tetapi berperan nyata

dan signifikan dalam mewujudkan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh-kembang inovasi.

Kementerian Pendidikan, Budaya, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Ministry of

Education, Culture, Sport, Science and Technology, secara resmi disingkat MEXT) Jepang

18

Entah mengapa lembaga-lembaga intermediasi yang dibentuk penamaannya selalu menggunakan bahasa Inggeris, walaupun lebih banyak orientasinya adalah untuk memediasi antara pengembang teknologi nasional dengan para (calon) pengguna potensial di dalam negeri.

19 Lembaga penunjang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan,

dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi memberikan dukungan dan membentuk iklim yang kondusif bagi penyelenggaraan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (UU No. 18 Tahun 2002, Pasal 10 ayat (1)).

Page 27: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

27

menggunakan diagram konseptual untuk memperlihatkan posisi lembaga pendukung atau

penunjang ini (Gambar 2), yakni berupa lembaga-lembaga yang berwenang untuk membuat

kebijakan tentang perekonomian, infrastruktur sosial, pendidikan, ketenagakerjaan, ilmu

pengetahuan dan teknologi, serta pajak dan keuangan. Kebijakan-kebijakan ini berperan

menunjang kemantapan ‘panggung’ (platform) basis pengetahuan untuk interaksi atau

kerjasama antara pengembang dengan pengguna teknologi.

Suatu hal yang menarik dari konsepsi ini adalah: [1] fondasi yang paling mendasar dalam

penguatan inovasi adalah lingkungan, budaya, tradisi, dan karakter bangsa; [2] kemantapan

‘panggung’ untuk para aktor utama inovasi dalam berkiprah akan tergantung pada dukungan

kebijakan dan regulasi yang relevan; dan [3] secara jelas memperlihatkan bahwa pada akhirnya

kegiatan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi harus berujung pada produk/barang

dan/atau jasa yang sesuai dengan permintaan pasar. Namun demikian dalam konsepsi MEXT

tersebut, tidak ditampakkan posisi dan peran lembaga intermediasi dalam mewujudkan suatu

sistem inovasi.

Gambar 2. Diagram Konsepsi Sistem Inovasi Nasional (adaptasi dari MEXT, 2002)

Regulasi dan kebijakan yang mendukung upaya penumbuh-kembangan inovasi, antara lain

misalnya: pemberian insentif teknis dan/atau finansial bagi badan usaha yang menggunakan

teknologi nasional dalam kegiatan usahanya; pemberian kompensasi yang sebanding bagi

badan usaha yang berkontribusi dalam pembiayaan kegiatan pengembangan teknologi

nasional; pemberian prioritas dukungan pembiayaan bagi lembaga dan/atau individu peneliti

Lingkungan, budaya, tradisi, karakter bangsa

Politik dan Ekonomi

Pemerintah

Ek

on

om

i

Infra

stru

ktu

r

Sosial

Pe

nd

idik

an

Ke

ten

ag

ak

erja

an

Ipte

k

Pa

jak

&K

eu

an

ga

n

Basis Pengetahuan

Pengembang

Teknologi

[Univesitas,

Litbang]

Pengguna

Teknologi

[Industri]

Kerjasama

Pasar

Pro

du

k & jasa

Perm

intaan

Masyarakat

Kebijakan

Basis Pengetahuan

Industri

Pasar

AKTOR UTAMA

AKTOR PENDUKUNG

Page 28: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

28

atau perekayasa yang fokus pada upaya untuk menghasilkan teknologi yang sesuai kebutuhan

dan/atau dapat menjadi solusi bagi permasalahan nasional; pemberian insentif bagi lembaga

intermediasi yang berhasil meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi antara

pengembang dan pengguna teknologi. Memberikan akses yang lebih mudah dalam

pemanfaatan laboratorium pemerintah di berbagai lembaga penelitian dan pengembangan,

maupun pengembangan program pendampingan dari para tenaga ahli (peneliti dan

perekayasa) juga dapat menjadi alternatif upaya penumbuh-kembangkan inovasi.

Untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang dapat menggerakkan inovasi, maka institusi

pendidikan (terutama pendidikan tinggi) perlu mengembangkan program studi dan kurikulum

yang relevan dengan sektor atau profesi yang sesuai dengan kebutuhan nyata. Academic

excellence yang sering menjadi jargon pendidikan tinggi harus dibarengi dengan peningkatkan

relevansinya dengan kebutuhan pembangunan dan potensi sumberdaya nasional. Konsepsi

inovasi di Jepang (Gambar 2) dapat dijadikan referensi dalam konteks ini. Kebijakan yang

mendukung dan akses yang terbuka luas untuk mendapatkan sumber pembiayaan merupakan

pra-kondisi yang dibutuhkan dalam upaya penguatan inovasi nasional. Ketersediaan dan akses

ke skim kredit atau bentuk kemudahan lain untuk modal kerja baik bagi pengembang teknologi

maupun industri akan ikut merangsang tumbuh-kembang inovasi.

Venture capital (VC) merupakan salah satu bentuk sumber pembiayaan bagi perusahaan baru

tumbuh (startup companies). VC menjadi opsi sumber pembiayaan bagi perusahaan yang

belum berpengalaman, masih terlalu kecil untuk bisa menarik dana publik melalui pasar modal,

atau masih sulit meyakinkan pihak perbankan untuk mendapatkan pinjaman. Skenario VC yang

umum adalah pemodal memberikan dana awal bagi suatu usaha dan dana tersebut

diperhitungkan sebagai saham pada perusahaan yang bersangkutan. Karena resiko usaha baru

yang tinggi dan investasi butuh waktu 3-7 tahun untuk bisa cair, maka biasanya pemodal selain

mendapat porsi saham yang signifikan, juga ikut mengendalikan kebijakan dan pengambilan

keputusan pada perusahaan tersebut.

Secara umum ada 6 tahap pembiayaan yang mungkin didapat dari VC, yakni: [1] seed money,

pembiayaan yang tidak besar dan dipergunakan untuk membuktikan bahwa ide baru yang

digagas berpotensi untuk menghasilkan produk atau jasa komersial –biasanya disediakan oleh

‘angel investor’; [2] start-up, pembiayaan tahap awal untuk dana pemasaran atau

pengembangan produk; [3] First-Round, dana untuk penjualan awal dan biaya produksi; [4]

Second-Round, untuk biaya kerja tahap awal dimana perusahaan sudah mulai menjual produk

tetapi belum memberikan keuntungan; [5] Third-Round, disebut juga ‘mezzanine financing’,

untuk biaya pengembangan usaha bagi perusahaan yang mulai memperoleh keuntungan; dan

[6] Fourth-Round, disebut juga ‘bridge financing’, digunakan untuk pembiayaan persiapan ‘go

public’.

Peran penting infrastruktur sosial sangat sering terabaikan dalam berbagai sektor

pembangunan, berbeda dengan infrastruktur fisik yang telah cukup dipahami peran dan

kontribusinya. Oleh sebab itu, upaya penguatan inovasi tidak boleh mengabaikan peran

Page 29: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

29

infrastruktur sosial ini.20 Sesungguhnya sangat jelas bahwa amanah konstitusi menyatakan

bahwa tujuan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk menyejahterakan

rakyat dan memajukan peradaban. Tujuan ini hanya akan tercapai jika pembangunan

infrastruktur sosial menjadi bagian esensial dari skenario membangun kemampuan inovasi

nasional. Infrastruktur sosial termasuk sarana dan prasarana kesehatan, pendidikan, seni dan

budaya, informasi, olahraga dan rekreasi, perumahan, sarana komunitas/lingkungan, pelatihan

dan kesempatan kerja, hukum dan keamanan publik, layanan tanggap darurat, transportasi

publik, serta dukungan lain untuk individu, keluarga, dan komunitas (Casey, 2005).

2.1.3. Interaksi Antar-Aktor Inovasi

Pendekatan untuk memahami inovasi tentunya harus bersifat sistemik, tidak dapat dimutilasi

menjadi segmen-segmen yang terpisah satu sama lain. Penelaahan aktor-aktor inovasi tidak

dapat dilakukan secara terisolir satu sama lain. Sebagai contoh, walaupun seandainya lembaga

R&D Indonesia sudah sedemikian majunya sehingga setara dengan lembaga-lembaga serupa

pada level dunia, tetapi tidak otomatis bahwa inovasi di Indonesia menjadi lebih produktif dan

memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Kemajuan R&D bisa menjadi modal untuk mewujudkan kemampuan inovasi yang lebih

tangguh. Data empiris juga menunjukkan adanya korelasi antara penguasaan teknologi dengan

kemajuan perekonomian suatu negara. Akan tetapi adalah keliru jika serta-merta disimpulkan

bahwa hubungan sebab akibat tersebut bersifat otomatis. Perlu diingat pula, upaya

membangun kemampuan inovasi nasional merupakan suatu yang kompleks dan banyaknya

aktor yang ikut berperan di dalamnya. Resultan dari interaksi antar-aktor juga masih sangat

tergantung pada ekosistem dimana hal tersebut berlangsung.

Interaksi dan komunikasi antar-aktor yang intensif akan memperbesar peluang untuk terjadinya

aliran informasi kebutuhan teknologi dari para pihak pengguna teknologi ke pihak pengembang

teknologi, sehingga teknologi yang dikembangkan diharapkan sudah semakin mengacu pada

upaya memenuhi kebutuhan nyata. Pengembangan teknologi yang relevan dengan kebutuhan

pengguna jika telah mempertimbangkan juga secara seksama kapasitas adopsi oleh pihak

pengguna, baik dari dimensi teknis, finansial, maupun sosio-kultural, maka akan meningkatkan

kemungkinan bagi teknologi tersebut untuk digunakan.

Keberhasilan untuk mewujudkan kemampuan inovasi yang lebih produktif dan berkontribusi

positif terhadap pembangunan perekonomian suatu bangsa (yang pada gilirannya diharapkan

dapat memberikan dampak nyata terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat) berkorelasi

positif dengan intensitas komunikasi dan interaksi antara para aktor inovasi. Namun demikian,

pada saat ini justeru persoalan interaksi dan komunikasi antara aktor inovasi ini yang masih

tersumbat, masih sangat sering terkendala.

20

Pemerintah Jepang, sebagai contoh, telah mengenali peran infrastruktur sosial ini dalam menentukan keberhasilan membangun SINas, sebagaimana yang terlihat pada konsepsi SINas yang dikembangkan oleh MEXT (2002).

Page 30: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

30

Survei Periskop tahun 2000, yang dilaksanakan di 10 kota besar Indonesia (Bandung, Semarang,

Yogyakarta, Surabaya, Padang, Palembang, Samarinda, Makassar, Manado, dan Mataram) atas

kerjasama antara Kementerian Riset dan Teknologi dan Kementerian Pendidikan Jerman

berhasil mengungkapkan bahwa kerjasama antara industri dengan perguruan tinggi, lembaga

R&D, dan lembaga intermediasi teknologi masih sangat jarang. Kalaupun ada, umumnya hanya

terbatas pada masalah operasional dan perawatan mesin dan peralatan saja (Hidayat, 2010).

Dalam konteks interaksi antar-aktor inovasi ini, pada tahun 1994 lahir model ‘Triple Helix’ dari

upaya untuk mengawinkan antara analisis kelembagaan infrastruktur pengetahuan dengan

analisis evolusioner ekonomi berbasis pengetahuan (Leydesdorff dan Meyer, 2006). Untuk

menyederhanakan sebuah sistem yang kompleks, model triple helix menggunakan dinamika

non-linier hubungan universitas-industri-pemerintah. Pada periode tahun 2000-an, konsepsi

triple helix ini juga gencar dikumandangkan di Indonesia sebagai bentuk model penguatan

kemampuan inovasi nasional dengan menggunakan nama populer triple helix ABG (academic-

business-government) (Kadiman, 2008). Pada dasarnya, akademisi dalam konsepsi ABG ini

mewakili komunitas pengembang teknologi, bisnis mewakili komunitas pengguna teknologi,

dan pemerintahan mewakili lembaga yang berfungsi untuk melakukan regulasi, intermediasi,

dan fasilitasi.

Terlepas dari konsepsi mana yang digunakan untuk menjelaskan tentang kinerja inovasi

nasional, permasalahan fundamentalnya adalah sama, yaitu rendahnya intensitas komunikasi

dan interaksi antara aktor inovasi. Komunikasi dan interaksi antara pengembang dengan

pengguna teknologi, antara akademisi dengan bisnis, antara perguruan tinggi atau lembaga

R&D dengan industri masih memerlukan dukungan kebijakan. Teknologi yang dihasilkan oleh

pengembangan seringkali tidak sesuai atau tidak relevan dengan kebutuhan para pengguna

untuk meningkatkan produktivitas ataupun untuk dijadikan solusi terhadap persoalan yang

dihadapi. Selanjutnya, karena relevansi teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan nyata

yang rendah, maka lembaga intermediasi mendapat beban yang sangat berat, bahkan mungkin

menjadi ‘mission impossible’ bagi lembaga intermediasi untuk mendorong agar teknologi

tersebut digunakan oleh industri/badan usaha, masyarakat, maupun pemerintah.

2.1.4. Ekosistem Inovasi Nasional

Kemampuan inovasi nasional pada prinsipnya ditentukan oleh kelancaran aliran informasi

kebutuhan dan persoalan yang dihadapi oleh pihak (calon) pengguna potensial ke pihak

pengembang teknologi dan sebaliknya. Disisi lain kelancaran aliran paket teknologi yang

dihasilkan pihak pengembang ke pihak pengguna juga menjadi faktor yang menentukan.

Namun demikian performa akhir dari upaya penguatan kemampuan inovasi nasional akan

dipengaruhi oleh berbagai pihak. Berbagai regulasi dan kebijakan akan ikut mempengaruhi,

termasuk kebijakan-kebijakan yang diluar kendali para aktor utama inovasi, misalnya kebijakan

pembangunan perekonomian, kebijakan keuangan dan perpajakan, kebijakan pendidikan

nasional, kebijakan ketenaga-kerjaan, dan kebijakan pembangunan infrastruktur sosial (lihat

Page 31: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

31

Gambar 2). Berbagai regulasi dan kebijakan di berbagai sektor ini merupakan komponen dalam

ekosistem inovasi nasional. Pada level daerah, ada lagi regulasi dan kebijakan daerah, misalnya

berupa berbagai peraturan daerah (Perda).

Dalam kajiannya yang terkait dengan upaya translasi rationale21 menjadi kebijakan, Laranja et

al. (2008) mencoba menjawab tiga pertanyaan yang sangat mendasar, yakni: (1) Apakah

rationale untuk intervensi pemerintah dapat diturunkan dari berbagai teori dengan perspektif

yang berbeda? (2) Apakah bentuk instrumen kebijakan yang digunakan dalam intervensi

pemerintah berkaitan dengan berbagai rationale? Dan (3) Apakah yang dapat disimpulkan

terkait level teritorial/kewilayahan yang tepat dari suatu kebijakan sistem inovasi yang

didasarkan atas teori terpilih dan rationale yang dikembangkan berdasarkan teori tersebut?

Untuk menjawab tiga pertanyaan di atas, ada lima teori yang ditelaah Laranja et al. (2008),

yakni: (1) Neoclassical, (2) Schumpeterian Growth Theory, (3) Neo-Marshallian, (4) Systemic

Institutional Approaches, dan (5) Evolutionary (Tabel 1). Pemilihan teori yang berbeda sebagai

landasannya, akan melahirkan rationale untuk intervensi pemerintah, level intervensi, dan

instrumen kebijakan yang berbeda pula. Namun demikian, teori sangat jarang diadopsi secara

utuh untuk diterjemahkannya menjadi rationale oleh pembuat kebijakan. Umumnya, hanya

akan dicuplik beberapa elemen saja sesuai dengan kepentingan yang hendak dikawal.

Rationale yang berbasis teori lebih sering diposisikan sebagai justifikasi atau alasan untuk

menetapkan kebijakan tertentu sesuai dengan yang diinginkan, jarang untuk merumuskan atau

memilih alternatif kebijakan yang paling tepat.

Tabel 1. Synthesis of theoretical rationales for science, technology and innovation policy

Neoclassical Schumpeterian growth theory

Neo-Marshallian Systemic

institutional approaches

Evolutionary

Consideration of technology

Technology as information and “incorporated” in capital investment

Technology as endogenous non-rival, non-excludable generated by R&D

Broad definition including social innovation

Broad (including social innovations). Technology as applied knowledge

Broad Technology as applied knowledge

Consideration of space

No consideration of space beyond reduction of information costs, transportas, location costs

Neutral but with implications for divergence/convergence

Proximity (and space) play a role in inducing changes in behaviour

Space as on dimension for specific evolutionary processes

21

Rationale dalam konteks ini adalah model yang diformalisasi dan didasarkan dari teori dan konsepsi terpilih yang memberikan informasi tentang desain, implementasi, dan evaluasi kebijakan (Laranja et al., 2008)

Page 32: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

32

Neoclassical Schumpeterian growth theory

Neo-Marshallian Systemic

institutional approaches

Evolutionary

Rationale for public intervention

Market failures. Information-transmission failures. Appropriability failure

Support to accumulation of endogenous R&D

Flexible “external economies of agglomeration”

System failure, Institutional failures System dysfunctions

Learning failures, cognitive gaps, Block-in, dysfunctions. Lack of diversity

Objective of intervention

Substitute for less than optimal use of resources

Creat conditions for increasing returns to R&D

Reduction of costs in information, transports. Promote locally based networks of cooperation, and competition

Overall coherence of the system, roles and function of actors. Adequate institutional setting

Avoid lock-in. Increase cognitive capacity. Improve diversity and selectivity

Level of intervention

Centralised-national level No differentiation of levels of intervention

Centralised-national level, but with focus in more advanced region

Regional level but also national level with regional focus(decentralised)

National and regional levels

Multi-level. Balances centralised with decentralised intervention

Role of policy maker

Compensate for less than optimal private investment. Optimise resources

Incentivate accumulation of “monopolistic” gains

Creation of a collaborative industrial community. Education for creating pool of skills

Coodinating the system, help in networking. “Animateur”

Identification of technology specific failures. Design of segmented targeted intervention ”adaptive role”

Examples of policy instruments

Subsidies and tax incentives to R&D, investment in local advanced technology infrastructure. Park for Science and Technology

Subsides and tax incentives to R&D, Investment in local advanced technology infrastructure. Park for Science and Technology. Large mobilisation projects

Technology infrastructure. Extension services(“servizi reali”) ranging from technology to education and training cluster policies

Subsidies and tax incentivate to R&D, Technology infrastructures. Extension services

Subsidies and tax incentivate to R&D, technology infrastructures. Extension services. Proactive intermediation brokerage (translation of implicit knowledge)

Mode of operationalisation (target, eligibility criteria, selectivity)

Target different kinds of individual actors. Favours supply-side initiatives. Science push measures. Return on Investment and

Targets different kind of individual actors. Favours science push and large R&D projects. Favours R&D support to hi-tech, criteria of

Targets both individual actors and “collective” actions. Favours demand approaches and provision of “ shared” public services.

System as a target. Criteria balances support to individual actors with increasing collaboration, interactions and networking. Favours collective

Targets both individual actors and groups, networks of actors or systems of innovation. Learning

Page 33: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

33

Neoclassical Schumpeterian growth theory

Neo-Marshallian Systemic

institutional approaches

Evolutionary

opportunity for appropristion as criteria

concentration for increasing returns

Use of the value chain or cluster concept

governance opportunity, and variety (increase or reduction) as Criteria. Favours collective governance

Source: Laranja et al (2008)

Komponen ekosistem inovasi tidak hanya berupa regulasi dan kebijakan yang bersifat legal-

formal, tetapi juga mencakup berbagai komponen non-formal, seperti budaya (termasuk

norma dan etika), tradisi, dan nilai-nilai luhur atau karakter bangsa (Gambar 2). MEXT (2002)

sudah mengenali komponen ini dan mengintegrasikannya dalam upaya membangun

kemampuan inovasi nasional di Jepang.

Ekosistem inovasi terbangun dari komponen-komponen yang bersifat intangible maupun yang

bersifat tangible. Komponen yang bersifat intangible atau tak-berwujud mencakup semua

regulasi, kebijakan, budaya, tradisi, karakter, dan komponen lain yang dapat mempengaruhi

performa SINas tetapi tidak dapat divisualisasikan wujud fisiknya. Komponen yang bersifat

tangible (wujud fisiknya dapat divisualisasikan) mencakup antara lain sumberdaya manusia

terdidik dan/atau terlatih yang tersedia, sumberdaya alam yang potensial untuk dikelola

sebagai bahan baku proses produksi barang maupun jasa yang dibutuhkan, dan sumberdaya

finansial untuk mendukung kegiatan pengembangan teknologi maupun untuk proses produksi.

Interaksi antara inovasi dengan ekosistem tempat dimana inovasi akan dikembangkan dan

ditumbuhkan pada dasarnya bersifat saling-pengaruh. Regulasi dan kebijakan (baik yang secara

langsung maupun tidak langsung terkait dengan pengaturan inovasi, dan difusi teknologi) tentu

akan mempengaruhi (secara positif atau mungkin juga negatif) performa inovasi nasional;

sebaliknya dinamika interaksi antar-aktor inovasi, perkembangan iptek, serta dinamika

kebutuhan dan persoalan pengguna teknologi akan mengharuskan terjadinya penyesuaian

regulasi dan kebijakan.

Budaya, tradisi, dan nilai-nilai luhur atau karakter merupakan ‘penciri’ suatu bangsa yang

cenderung untuk selalu dilestarikan eksistensinya. Dengan demikian, dalam konteks inovasi,

komponen ini merupakan komponen ekosistem yang bersifat ‘statis’, yang diposisikan sebagai

fondasi untuk bangunan kebijakan inovasi. Potensi sumberdaya alam juga merupakan

komponen ekosistem yang menjadi acuan dalam merancang kemampuan inovasi nasional. Saat

ini kecenderungan yang terjadi adalah ketersediaan dan jenis keahlian sumberdaya manusia

yang secara dominan mewarnai inovasi. Seharusnya kebutuhan untuk mendukung tumbuh-

kembang inovasi sesuai dengan potensi nasional dan kebutuhan pasar (atau pengguna) yang

menentukan pola penyiapan dan pengembangan sumberdaya manusia.

Page 34: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

34

Sumberdaya finansial dan inovasi akan saling berhubungan secara interaktif, saling beinteraksi

secara positif (snowballing effect) sehingga masing-masing berkembang dan tumbuh semakin

kuat. Sumberdaya finansial yang tersedia akan mendorong kemampuan inovasi semakin

tumbuh berkembang menjadi sebuah sistem yang lebih produktif dan efisien dalam

menghasilkan produk barang dan jasa yang bernilai ekonomi, sehingga secara nyata akan

mendorong pertumbuhan perekonomian suatu negara. Selanjutnya pertumbuhan

perekonomian secara langsung juga berarti meningkatnya ketersediaan sumberdaya finansial

untuk membangun kemampuan inovasi nasional dengan kapasitas yang lebih besar.

Sebaliknya inovasi yang bersifat stagnan (atau dorman) karena tidak mampu menghasilkan

teknologi untuk meningkatkan produktivitas atau efisiensi proses produksi, tidak akan pula

mampu memberikan kotribusi terhadap pertumbuhan perekonomian. Kondisi ini selain

menyebabkan rendahnya sumberdaya finansial untuk mendukung pengembangan inovasi juga

menghilangkan kepercayaan publik terhadap inovasi itu sendiri. Akibatnya inovasi bukan akan

tumbuh berkembang, tetapi sebaliknya akan menjadi faktor yang semakin tidak diperhitungkan

dalam skenario besar pembanguan perekonomian suatu bangsa.

2.2. Kajian Implementasi UU No. 18 Tahun 2002

2.2.1. Mulatsih, Sri,. dan Prakoso Bhairawa Putera. 2009. Analisis Undang-undang No. 18

Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi dalam Bingkai Ekonomi Berlandaskan Iptek (Knowledge

Based Economy).

Penelitian yang dilakukan oleh Sri Mulatsih dan Prakoso Bhairawa Putera terhadap

implementasi UU No. 18/2002 menunjukkan pengembangan dan penerapan iptek masih belum

dimanfaatkan secara optimal, terutama di kegiatan ekonomi dan sosial budaya. Menurut

penelitian yang dilakukan, hal itu disebabkan antara lain belum terjalinnya hubungan yang baik

antara lembaga penelitian perguruan tinggi dan industri. Kondisi ini mendorong industri

nasional cenderung memanfaatkan lisensi impor. Selain itu, secara umum Indonesia belum

menjadi pelaku iptek yang diperhitungkan dalam dunia internasional, serta sumber daya iptek

yang mampu diakumulasikan masih terbatas.

Berdasarkan implementasi UU No. 18 Tahun 2002, temuan mendasar yang diidentifikasikan

dalam pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002 adalah lemahnya koordinasi kegiatan riset di daerah,

dan interaksi pelaku iptek. Padahal sejak awal UU No. 18 Tahun 2002 dimaksudkan untuk

meletakkan dasar bagi perkembangan kelembagaan iptek dengan interaksinya. UU No. 18

Tahun 2002 meletakkan pemerintah daerah sebagai salah satu komponen pendukung

pelaksanaan sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan iptek khususnya

ditingkat daerah. Pemerintah daerah berkewajiban menumbuh-kembangkan motivasi,

memberi stimulus dan memfasilitasi dalam menciptakan iklim pertumbuhan dan sinergi unsur

kelembagaan, sumber daya dan jaringan iptek.

Page 35: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

35

Kondisi awal di lokasi yang menjadi sampel penelitian ini (tahun 2009) terlihat telah ada

dukungan secara yuridis formal melalui pembentukan Peraturan Daerah ataupun Keputusan

Gubernur tentang pembentukan badan/bagian/unit yang menangani kegiatan penelitian dan

pengembangan di daerah. Namun demikian, dukungan yuridis tidak diikuti ini tidak diikuti

adanya dukungan sumber daya yang memadai. Semua daerah responden menyebutkan

minimnya sumber daya peneliti, begitu juga dengan dana, sarana dan prasarana dalam

pemaksimalan tugas dan fungsi di daerah.

Temuan lainnya yang menarik adalah mengenai pembentukan jalinan interaksi antar

kelembagaan yang diharapkan dapat membentuk pola sistem nasional bagi kemajuan iptek di

Indonesia. Pada awalnya dan sampai saat ini, pembentukan jalinan interaksi ini distimulus oleh

Kementerian Riset dan Teknologi. Dengan memberikan dana insentif untuk kegiatan penelitian,

pengembangan dan penerapan iptek diharapkan akan memperkuat jaringan kelembagaan

perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga penunjang dan badan

usaha. Namun demikian menurut penelitian Mulatsih dan Putera (2009), kondisi yang terjadi

cukup ironis karena interaksi yang terjadi hanya terjalin sebatas pemanfaatan dana riset, tanpa

adanya keberlanjutan difusi hasil penelitian yang aplikatif oleh dunia usaha.

Perspektif Pemangku Kepentingan UU No. 18 Tahun 2002

Dalam menganalisis temuan dalam implementasi UU Nomor 18 Tahun 2002 di atas, Mulatsih

dan Putera (2009) menggunakan indikator keadaan, yaitu tanggapan lembaga-lembaga

(stakeholders). Pelaksana undang-undang ini adalah perguruan tinggi, lembaga litbang, dan

industri. Untuk mengetahui keadaan tersebut ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Table 6.1 Tanggapan terhadap UU No. 18 Tahun 2002

Variabel Lembaga Pandangan/Perspektif

Tanggapan/respon terhadap UU No. 18/2002

Perguruan tinggi Pada umumnya pengetahuan tentang UU ini masih sangat sedikit. Namun UU ini perlu untuk mengarahkan/mengatur kegiatan penelitian supaya efektif. Yang lebih diperlukan lagi adalah sosialisasi dan implementasinya.

Balitbang pemerintah daerah (balitbangda)

Secara umum UU ini belum diketahui, Balitbangda merasa bahwa UU ini belum menjadikan lembaga-lembaga penelitian daerah sebagai garda terdepan dalam kegiatan penelitian dan pengembangan. Selama ini balitbangda terikat dengan PP No. 38, bahwa penelitian dan pengembangan itu tidak termasuk sebagai kegiatan wajib atau pilihan.

Badan usaha (Stem cell and cancer institute-PT Kalbe Farma)

Cukup paham dengan UU ini, karena sering diundang sebagai pemangku kepentingan, khususnya dalam diskusi penyusunan PP No. 35 Tahun 2007 tentang alokasi dana sebagian pendapatan badan usaha.

Page 36: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

36

Tabel di atas menunjukkan bahwa unsur kelembagaan yang diteliti (perguruan tinggi, lembaga

litbang daerah, dan badan usaha/industri) masih rendah tanggapannya terhadap UU No. 18

Tahun 2002, hanya salah badan usaha yang terlihat aktif dalam merespon kebijakan ini. Karena

dari temuan penelitian, perusahaan (badan usaha) ini meletakkan visi dan misi usahanya untuk

bisnis dan penelitian. Di samping itu juga interaktif terhadap kebijakan pemerintah, khususnya

dalam mengemban misi penelitian dan pengembangan baik untuk kepentingan industri

maupun kepentingan nasional masih rendah.

Bagi perguruan tinggi dan lembaga litbang daerah, khususnya yang diteliti tampaknya kurang

memahami kedudukan dan fungsi mereka dalam memperkuat visi dan misi dalam upaya

penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan iptek. Namun demikian, ada beberapa responden

yang cukup tertarik dengan memaksimalkan peran dan fungsi litbang daerah dalam dua tahun

terakhir, seperti yang telihat dari Badan Litbang Daerah Sumatera Selatan;

“Keberadaan undang-undang ini cukup diketahui, tetapi yang belum adalah menjadikan lembaga-

lembaga penelitian dan pengembangan daerah ini sebagai garda terdepan dalam hal penelitian dan

pengembangan di daerah. Selain itu masih adanya paradigma memandang sebelah mata terhadap

balitbangda oleh pihak-pihak di daerah. Kegiatan-kegiatan penelitian dan pengembangan yang

dilakukan selama ini diarahkan untuk mendukung visi dan misi pembangunan daerah. Sehingga

Balitbangda Sumsel berkolaborasi dengan lemlit-lemlit di perguruan tinggi yang berada di wilayah

ini. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, menimbulkan kebingungan pada balitbangda, karena

masing-masing instansi memiliki litbang sehingga fungsi dan tugas balitbangda apa.”

Kondisi semacam ini memang berbeda dengan lembaga litbang di daerah yang lain, seperti

Balitbangda Sulawesi Selatan; pelaksanaan penelitian dan pengembangan hanya menjadi tugas

pendukung instansi lain di wilayah kerjanya, dan adanya PP No. 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menjadikan penelitian di daerah bukan merupakan urusan

wajib, tetapi pilihan. Bagian penelitian dan pengembangan yang menjadi subbagian di bawah

struktur Sekretaris Daerah Provinsi Yogyakarta, belum mengimplementasikan kebijakan ini

pada tingkat daerah, hal ini disebabkan karena alasan teknis dengan perpindahan struktur

bagian penelitian dan pengembangan yang sebelumnya di bawah Badan Perencanaan Daerah.

Sehingga bagian ini masih merencanakan tindakan untuk pelaksanaan kegiatan, walaupun

sebenarnya berdasarkan surat pembentukan terjabarkan tugas dan fungsi bagian ini – tentunya

memberikan tugas untuk melakukan penelitian dan pengembangan di daerah.

Kelembagaan, Sumberdaya, dan Jaringan

Kelembagaan, sumber daya, dan jaringan iptek merupakan unsur-unsur utama dalam sistem

nasional penelitian, pengembangan dan penerapan iptek, yang didukung adanya peran

pemerintah/pemerintah daerah, dan masyarakat. Adanya UU No. 18 Tahun 2002 diharapkan

kelembagaan, sumber daya, dan jaringan iptek menjadi berkembang lebih baik untuk

Page 37: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

37

membangun kemampuan iptek nasional yang lebih kuat untuk mencapai tingkatan ekonomi

sejajar dengan negara lain.

Pasal 6 UU No. 18 Tahun 2002 menyebutkan, setiap kelembagaan iptek (perguruan tinggi,

lembaga litbang, badan usaha dan lembaga penunjang) berfungsi mengorganisasikan

pembentukan sumber daya manusia, penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan

difusi teknologi. Menurut Mulatsih dan Putera (2009), perguruan tinggi sebagai kelembagaan

iptek diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia (peneliti, perekayasa, teknisi, dan

sebagainya) yang diperlukan dalam upaya peningkatan kemampuan penguasaan, pemanfaatan

dan pemajuan iptek. Lembaga litbang menjadi mencari peneliti, perekayasa, teknisi dan

semberdaya manusia lain yang diperlukan untuk memperkuat kegiatan penelitian,

pengembangan, dan penerapan iptek. Selanjutnya untuk mengetahui fungsi kelembagaan iptek

yang disurvei, dapat dilihat pada Tabel 6.2 di bawah ini.

Tabel 6.2 Tugas Pokok dan Fungsi Kelembagaan Iptek

Kelembagaan Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Kelembagaan

Perguruan tinggi (ITB,UGM, UNHAS, UNSRI)

Dalam mengembangkan inovasi melalui penelitian dan pengembangan, lebih banyak dilandasi oleh Tri Darma Perguruan Tinggi.

Balitbangda (Sumsel,Sulsel, DIY)

Tugas penelitian pada dasarnya sebagai tugas struktural dari Kemendagri. Sehingga kegiatan ini tidak selalu dilakukan seperti lembaga penelitian lainnya. Bahkan seperti Pemda DIY, bidang penelitian menurut struktur organisasi baru hanya berfungsi sebagai lembaga pemberi ijin penelitian. Namun demikian, juga melakukan koordinasi untuk menginventarisasi hasil penelitian di daerah.

Badan usaha (Stem cell and cancer institute-PT Kalbe Farma)

Tugas utamanya adalah melakukan penelitian bidang mikrobiologi untuk sell kanker. Sumber dana murni swasta di PT Kalbe Farma (bergerak di bidang farmasi).

Selain kelembagaan, sumber daya, jaringan dan pembiayaan dipandang sebagai aspek inti

dalam kegiatan penelitian dan pengembangan. Dalam Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2002

disebutkan, pemerintah mendorong kerja sama antar kelembagaan iptek dalam

pengembangan jaringan informasi iptek. Untuk itu, perguruan tinggi dan lembaga litbang agar

mengusahakan penyebaran informasi hasil kegiatan, termasuk pembentukan Sentra HKI.

Kelembagaan iptek juga diarahkan untuk membentuk jalinan hubungan interaktif yang

memadukan unsur-unsur kelembagaan iptek untuk menghasilkan kinerja dan manfaat lebih

besar secara bersama. Namun demikian, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang masih

bersifat sektoral menjadikan amanah yang disebutkan dalam UU No. 18 Tahun 2002 ini belum

berjalan dengan baik.

Page 38: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

38

Aspek terpenting dalam pelaksanaan penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan iptek adalah

pembiayaan. Menurut UU No. 18 Tahun 2002, pembiayaan pelaksanaan kegiatan penelitian,

pengembangan dan penerapan iptek merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah

dan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, ketentuan ini masih memerlukan penjelasan

bagaimana merealisasikan pembiayaan ini, terutama dalam pelaksanaan fungsi dan pemerintah

sebagai motivator dan stimulator perkembangan sistem nasional litbangrap iptek.

Pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002

Pelaksanaan suatu undang-undang merupakan suatu penjabaran isi dari pasal-pasal ke dalam

peraturan-peraturan atau kebijakan yang disebut sebagai arrangement institutions, berupa

peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan kebijakan PP. Selama hampir

sepuluh tahun pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002 telah diturunkan empat peraturan

pemerintah yang perlu disusun, yaitu terkait dengan pelaksanaan Pasal 16, 17, 22 dan Pasal 28.

UU No. 18 Tahun 2002 mencakup 9 bab dan 32 pasal dan penjelasannya, termasuk 2 bab di

dalamnya tentang ketentuan sanksi dan ketentuan peralihan. Secara politis UU ini telah

memenuhi syarat dalam proses penyusunannya sehingga UU ini telah diundangkan sejak 29 Juli

2002. Sebagai payung hukum UU ini merupakan acuan seluruh elemen yang tercakup dalam

sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek, antara lain lembaga

penelitian, perguruan tinggi, industri dan pihak terkait lainnya.

Secara hierarkis, Undang-Undang sebagai produk policy level akan diimplementasikan melalui

tingkatan organisasi (level of organization) yaitu berupa peraturan pelaksanaannya. UU No. 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan peraturan

pelaksanaan dari undang-undang adalah sesuai dengan hirarkhi-nya, yaitu peraturan

pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah provinsi; dan peraturan daerah

kabupaten/kota. Dalam pelaksanaannya UU No. 18 Tahun 2002, tiga tahun setelah disahkan

diturunkan dua Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksanaannya, yaitu PP No. 20

Tahun 2005 dan PP No. 35 Tahun 2007. Tahun 2005 disahkan, PP No. 20 Tahun 2005 tentang

Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh

Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan. Kemudian di tahun berikutnya,

PP No. 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha Untuk

Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi. Peraturan pemerintah

terakhir yang diturunkan sebagai pelaksanaan dari undang-undang No. 18 Tahun 2002 adalah

mengenai Perizinan Pelaksanaan Kegiatan Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi yang Berisiko Tinggi dan Berbahaya, tertanggal 18 Juli 2009 dalam

Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 Tahun 2009

Pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002, antara lain dapat mengacu penjelasan Riant Nugroho

(2009), dalam public policy, undang-undang sebagai bentuk dari kebijakan di Indonesia masih

menganut model kebijakan continental atau yang berasal dari Belanda; model kebijakan yang

dibuat berjenjang sesuai dengan hierarki implementabilitasnya. Undang-undang merupakan

kebijakan yang dinilai mempunyai posisi tertinggi, dan dibuat dengan pasal-pasal yang bersifat

makro atau umum untuk kemudian dibuat petunjuk pelaksanannya. Akibatnya di Indonesia

Page 39: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

39

banyak terjadi kasus di mana sudah ada undang-undang, tetapi pelaksanaannya tidak effektif

karena peraturan atau kebijakan pelaksanaannya belum dibuat.

Dalam kaitannya dengan penguatan inovasi, pola jalinan interaksi atau yang dikenal dengan

jaringan, responden penelitian Mulatsih dan Putera (2009) berpendapat interaksi yang

dilakukan antar pelaku iptek di lembaga litbang, perguruan tinggi, badan usaha maupun di

masyarakat selama ini masih tidak terpola. Interaksi yang dilakukan belum terlembaga dan

hanya dilakukan secara personal (individu). Responden lainnya menyatakan, kerjasama atau

interaksi yang terjalin selama ini hanya sebatas pemanfaatan dana riset yang dimiliki oleh

badan litbang daerah saja.

“Jalinan interaksi selama ini belum berjalan maksimal, walaupun kami memiliki jaringan peneliti Sumatera Selatan yang telah mendapat pesetujuan dari gubernur tetapi belum maksimal. Interaksi berjalan karena adanya kerjasama penelitian yang menggunakan dana atau dibiayai oleh balitbangda. Interaksi yang terlaksana sebatas antara balitbangda dengan peneliti yang bersangkutan yang mayoritas berasal dari perguruan tinggi.”

Simpul pola interaksi terlihat lebih baik dilakukan oleh perguruan tinggi. Jaringan yang dikembangkan di perguruan tinggi, beberapa telah dapat menyambung simpul industri (beberapa), lembaga penelitian pemerintah lainnya, dan penelitian swasta.

“LPPM-ITB melakukan jejaring penelitian dengan lembaga lain disebut sebagai mitra kerja, namun tampaknya jejaring peneliti yang dibangun antar lembaga penelitian di wilayah Jawa Barat (ITB, Bappeda, LSM) belum ada.”

Dukungan pemerintah daerah dalam menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim kondusif dalam sistem penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek di daerah sesuai dengan amanat UU No. 18 Tahun 2002 secara bertahap mengalami kemajuan.

“Dengan keluarnya Perda No. 5 Tahun 2008 menunjukkan bahwa adanya perhatian dari pemerintah daerah. Masuknya Bagian Penelitian dan Pengembangan di Biro Administrasi Pembangunan adalah indikasi baik. Untuk kelengkapan lainnya sedang diproses. Untuk Dewan Riset Daerah, pemerintah daerah masih mencari format terbaik, karena yang ada selama ini adanya kumpulan pakar-pakar di Badan Penerapan dan Pengembangan Teknologi DIY.”

“Pemerintah daerah telah menganggarkan sejumlah dana sehingga setiap tahunnya balitbangda melaksanakan program dan kegiatan penelitian pengembangan yang mengacu pada program prioritas pemerintah provinsi, pada tahun 2008 kemarin melaksanakan sebanyak 2 program utama dan 60 kegiatan dengan pendanaan sebesar Rp. 10.323.550.072,- yang seluruhnya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah pemerintah provinsi. Indikasi ini menandakan bahwa adanya dukungan dari pemerintah walaupun masih dirasa kurang dalam segi penambahan alokasi dana ataupun sarana prasarana untuk menunjang kegiatan penelitian.”

Secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah telah memberikan ruang untuk mendorong kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek. Akan tetapi, kebijakan internal di setiap daerah responden berbeda, adanya ruang bagi masing-masing elemen dalam UU No. 18 Tahun 2002 diharapkan dapat mengoptimalkan dan keberlanjutan aktivitas litbangrap iptek. Dukungan kebijakan serta pendanaan yang secara terus menerus dan berkelanjutan program yang dilakukan pada tingkat daerah, karena bagaimanapun juga sistem nasional tidak dapat berjalan secara maksimal tanpa adanya dukungan pelaksanaan sistem pada level daerah.

Page 40: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

40

2.2.2. ‘Seri Diskusi Sistem Inovasi dan Daya Saing - Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan’, Tatang A Taufik: BPPT dan Kementerian Riset dan Teknologi, 2005.

UU No. 18 Tahun 2002 merupakan tonggak penting, landasan hukum yang diharapkan dapat memperkuat landasan pembangunan dan mempercepat perkembangan iptek, mendorong pertumbuhan dan pendayagunaan sumberdaya iptek. UU No. 18 Tahun 2002 diharapkan dapat memperkuat jaringan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam pemajuan iptek.

Menurut Tatang (2005) meskipun tidak secara eksplisit disebutkan sistem inovasi, namun sistem nasional litbangrap iptek merupakan keterkaitan yang tidak terpisahkan dan saling memperkuat antara unsur-unsur kelembagaan, sumber daya, dan jaringan iptek dalam satu keseluruhan yang utuh. Selanjutnya Tatang (2005) menyebutkan, esensi keterkaitan ini sama dengan atau setidaknya berangkat dari konsep sistem inovasi nasional, dan karenanya merupakan langkah penting bagi perkembangan sistem inovasi di Indonesia. Sistem nasional litbangrap iptek ini diperlukan untuk mencapai tujuan:

a. memperkuat daya dukung iptek bagi keperluan mempercepat pencapaian tujuan negara, serta

b. meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan internasional.

Oleh karena itu perkembangan sistem inovasi ini akan ditentukan oleh pelaksanaan lebih lanjut (secara legal) dan implementasinya. Salah satu pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002 adalah penguatan fungsi kelembagaan iptek dalam sistem nasional litbangrap iptek. Upaya ini dilakukan melalui:

a. mengorganisasikan pembentukan sumber daya manusia, penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi;

b. pembentukan iklim dan memberikan dukungan kebijakan yang diperlukan bagi penyelenggaraan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek.

Pemajuan ataupun penguatan sistem inovasi pada tataran daerah menurut Tatang (2005) adalah sesuatu yang penting bagi perkembangan sistem inovasi nasional dan peningkatan daya saing secara nasional. Penguatan sistem inovasi di tataran daerah merupakan bagian integral atau sub sistem dari pilar sistem inovasi nasional. Upaya-upaya terpadu dalam penguatan kelembagaan, interaksi dan proses pembelajaran akan menjadi semakin penting pada tataran daerah. Dalam peraturan perundang-undangan yang ada, tanggung jawab daerah dalam pembangunan iptek dan sistem inovasi cukup besar. Hal ini juga ditegaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, antara lain:

a. tujuan otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah (Pasal 2 ayat (3));

b. kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban antara lain: memajukan dan mengembangkan daya saing daerah (Pasal 27 ayat (1) butir g.)

UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Page 41: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

41

Pembangunan Nasional, maupun peraturan perundang-undangan lainnya diharapkan menjadi landasan legislasi untuk mengintegrasikan, meningkatkan sinkronisasi dan sinergi dalam pengembangan sistem inovasi.

2.2.3. ‘Pengembangan Peraturan untuk Mendukung Unit Komersialisasi Kelembagaan

Iptek’, Kementerian Riset dan Teknologi, 2007

Salah satu masalah yang dihadapi dalam pembangunan iptek dalam upaya memperkuat daya

dukung iptek untuk meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa adalah ketergantungan

yang tinggi terhadap teknologi luar. Ketergantungan ini sebagai akibat dari kurang

berkembangnya teknologi/inovasi dalam negeri. Dalam beberapa kasus, sektor usaha masih

merasakan hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri belum dapat diterapkan dalam

kegiatan industri. Ketergantungan teknologi dari luar, seringkali dibarengi kesulitan dalam

pemeliharaannya, karena tidak selalu mendapatkan akses secara lengkap teknologi yang ada.

Kerjasama-kerjasama yang dilakukan mengenai transfer teknologi cenderung mengarah pada

kerjasama perdagangan, sehingga transfer teknologi dapat dikatakan tidak terjadi, yang ada

adalah jual beli teknologi. Teknologi menjadi komoditas yang sangat mahal dan seringkali

memberatkan beban keuangan negara secara keseluruhan, karena pembelian barang modal

yang sarat dengan teknologi.

Transfer teknologi dari lembaga penelitian dan pengembangan kepada industri dan masyarakat

melalui bentuk kemitraan, seringkali masih menghadapi persoalan yang cukup serius, seperti

HKI, pembagian royalty, pemanfaatan produk. Kesulitan dalam proses transfer teknologi

tersebut tidak hanya terjadi pada industri besar saja tapi terjadi juga pada industri kecil dan

menengah. Hal ini menyebabkan industri kecil dan menengah cenderung menggunakan tenaga

konvensional yang dimiliki atau membeli dari luar negeri untuk perbaikan (improvement) dalam

kegiatan proses produksinya.

Alasan yang melatarbelakangi kondisi tersebut sebenarnya adalah suatu hal yang cukup logis.

Para pengusaha kecil dan menengah ini masih meragukan kualitas produk teknologi hasil

penelitian dan pengembangan, termasuk juga keberlanjutannya (sustainability). Alasan lainnya,

adanya gap antara teknologi hasil penelitian dan pengembangan dengan kebutuhan pasar yang

ada, belum lagi ketepatan waktu pemanfaatannya. Andaipun ada keterkaitan antara dunia

usaha dan lembaga penelitian dan pengembangan saat ini baru sebatas asistensi dari pihak

penelitian dan pengembangan yang kebanyakan masih terbatas pada aspek pengujian produk

dan peralatan.

Kondisi ini memperlihatkan, program yang direncanakan dan dilaksanakan masih kurang fokus,

cenderung mengerjakan terlalu banyak kegiatan. Hal ini masih ditambah kurangnya

perhitungan pencapaian optimal dalam penggunaan sumberdaya keuangan dan sumberdaya

manusia, meskipun peralatan yang dimiliki sebenarnya sudah cukup memadai. Jumlah dan

kualitas sumberdaya manusia di Indonesia yang cukup memadai, kurang dimanfaatkan secara

optimal. Hasil-hasil penelitian dan pengembangan umumnya masuk dalam publikasi ilmiah

Page 42: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

42

tingkat nasional, hanya sedikit yang menghasilkan hak paten dan masuk dalam publikasi

internasional. Hal ini juga menunjukkan, hasil-hasil kajian dari perguruan tinggi maupun

lembaga penelitian masih belum sesuai dengan kebutuhan pasar, juga belum memadai untuk

mendapatkan pengakuan secara ekonomis.

Sesuai pasal 16 UU No. 18 Tahun 2002, perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan

pengembangan wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan

litbangnya. Ketentuan ini ditujukan bagi kegiatan litbang yang dibiayai sepenuhnya atau

sebagian oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Pengalihan ini dilakukan pada badan usaha,

pemerintah, atau masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewajiban ini dimaksudkan agar hasil litbang

dapat dimanfaatkan seluas mungkin oleh masyarakat, menghasilkan nilai tambah ekonomi dan

meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan. Investasi pemerintah dalam bentuk

hasil litbang ini diharapkan dapat menghasilkan public return sebesar mungkin.

Permasalahan krusial lainnya adalah pembentukan unit kerja dalam upaya komersialisasi hasil

litbang. Di satu sisi perguruan tinggi maupun lembaga litbang memerlukan adanya unit kerja

yang mandiri untuk melakukan pengelolaan administrasi hasil penjualan produk litbang secara

lebih optimal. Semua hasil penjualan hasil litbang dapat dikelola secara langsung oleh lembaga

melalui unit komersialisasi hasil litbang ini, sehingga lembaga memperoleh pendapatan yang

dapat digunakan untuk investasi berbagai kegiatan litbang lainnya, yang mungkin ditujukan

untuk pengembangan teknologi tepat guna maupun sebagai upaya mendukung perbaikan

pendapatan peneliti. Pembentukan unit kerja yang mendorong peningkatan komersialisasi hasil

litbang ini, sesuai dengan PP No. 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual

dan Hasil Penelitian Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan

Pengembangan. Dalam Pasal 16 peraturan pemerintah tersebut menyatakan, perguruan tinggi

dan lembaga litbang wajib membentuk unit kerja yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan

pengelolaan dan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan litbang di

lingkungannya. Sedangkan pengaturan mengenai pembentukan, susunan organisasi, rincian

tugas, tata kerja unit kerja, dan penetapan prosedur pengelolaan dan alih tekologi kekayaan

intektual serta hasil kegiatan litbang diatur oleh lembaga yang bersangkutan. Unit kerja ini

dapat merupakan lembaga baru, sebagai penambahan unit-unit kerja yang ada, atau dengan

memanfaatkan unit yang ada, seperti penambahan tugas dan fungsi lembaga Sentra HKI di

perguruan tinggi dan lembaga litbang.

Dalam pelaksanaannya pembentukan unit kerja seperti yang disyaratkan pada PP No. 20 Tahun

2005 masih mengalami hambatan. Adanya perubahan struktur organisasi lembaga, sebagai

pelaksanaan kebijakan pemerintah, misal Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur

Negara (Menpan) untuk mengurangi pembentukan lembaga baru, seperti Unit Komersialisasi

Hasil Litbang. Kebijakan ini akan membatasi pembentukan lembaga baru, dan tampaknya akan

menjadi salah satu hambatan dalam merealisasikan komersialisasi hasil litbang. Oleh karena

itu, kajian pengembangan kebijakan yang mendukung komersialisasi hasil litbang masih perlu

Page 43: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

43

dilakukan dengan bersinergi lebih erat dengan para pengambil keputusan di bidang aparatur

negara.

Unit Profit Pelayanan Jasa Teknis dan Jasa Konsultasi di Perguruan Tinggi

Perguruan Tinggi sebagai bagian integral dari pendidikan di Indonesia diarahkan seoptimal

mungkin melakukan proses transformasi pendidikan dan pengajaran, penelitian dan

pengembangan di bidang iptek, serta aplikasi hasil litbang tersebut melalui kegiatan

pengabdian kepada masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa kegiatan penelitian dan

pengabdian sebenarnya tidak bisa dipisahkan dan telah menjadi tugas dan kewajiban dari

perguruan tinggi untuk merealisasikannya. Hal ini menuntut perguruan tinggi untuk menggali

sumber dana lainnya selain dari Pemerintah, melalui penjualan jasa konsultasi dan jasa teknis

litbang, suatu kegiatan komersialisasi hasil riset. Upaya komersialisasi ini belum berjalan

maksimal, sehingga hasilnya belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal. Hasil

riset di bidang teknologi industri yang dihasilkan lembaga penelitian dan pengabdian

masyarakat maupun para peneliti di perguruan tinggi sebenarnya cukup banyak, namun kurang

sosialisasi, dan memberikan sentuhan komersialisasi terhadap produk yang dihasilkan. Hasil

dari riset ini juga seringkali tidak memperhatikan struktur biaya, sehingga ketika diterapkan

tidak mampu bersaing dengan produk-produk yang dihasilkan oleh pihak lain, swasta atau

perusahaan. Struktur biaya penelitian yang tinggi menyebabkan hasil penelitian perguruan

tinggi menjadi terlalu mahal untuk pengguna. Oleh karena itu, lembaga litbang dan perguruan

tinggi perlu memperhatikan struktur biaya litbangnya agar menarik untuk dikomersialkan

kepada para pelaku usaha dan masyarakat. Tingginya biaya litbang antara lain disebabkan biaya

administrasi yang tinggi, seperti misalnya birokrasi yang panjang dalam mekanisme

pengelolaan dana penelitian, dan perpajakan.

Dilihat dari proses penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi dituntut untuk

menghasilkan produk-produk yang memiliki keunggulan kompetitif untuk dapat diterima

pengusaha sebagai pengguna hasil penelitian. Untuk menghasilkan produk yang lebih

kompetitif, maka perguruan tinggi didorong menuju terwujudnya universitas penelitian

(research university). Dalam bentuk ini, kegiatan penelitian menjadi kegiatan utama, disamping

kegiatan pengajaran dan pengabdian masyarakat. Para dosen dan mahasiswa harus memiliki

kemampuan dalam memecahkan masalah aktual yang ada di masyarakat, melalui berbagai

kegiatan penelitian yang bersifat aplikatif. Permasalahan lainnya adalah kurangnya sosialisasi

hasil litbang, dan produk penelitian masih banyak yang bersifat teoritis dan belum dapat

diterapkan di masyarakat. Banyak skripsi, tesis, maupun desertasi tersimpan di perpustakaan,

padahal banyak diantaranya yang memiliki potensi untuk dikomersialisasikan. Banyak karya

ilmiah yang tidak aplikatif, meskipun secara akademik dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan fakta di lapangan, umumnya pihak industri menghendaki hasil litbang yang dapat

menghasilkan produk akhir secara cepat, mudah, murah. Pihak pengguna beranggapan hasil

litbang perguruan tinggi maupun lembaga litbang Pemerintah masih bersifat teoritis dan belum

dapat diaplikasikan. Kalangan dunia usaha lebih menyukai teknologi yang sudah siap pakai,

daripada membeli hasil litbang perguruan tinggi yang masih belum teruji dalam

Page 44: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

44

pemanfaatannya. Penyediaan dana penelitian kepada para peneliti sering kali belum dapat

memberikan solusi yang tepat untuk memecahkan permasalahan yang ada di lapangan, baik di

masyarakat maupun di dunia usaha.

Pembiayaan kegiatan perguruan tinggi, termasuk biaya litbang mengacu pada PP No. 60 Tahun

1999 tentang Perguruan Tinggi. Dalam Pasal 114 antara lain diatur sebagai berikut :

Pasal 114

(1) Pembiayaan Perguruan Tinggi dapat diperoleh dari sumber pemerintah, masyarakat dan pihak luar negeri.

(2) Penggunaan dana yang berasal dari Pemerintah baik dalam bentuk anggaran rutin maupun anggaran pembangunan serta subsidi diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Dana yang diperoleh dari masyarakat adalah perolehan dana Perguruan Tinggi yang berasal dari sumber-sumber sebagai berikut : a. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP); b. Biaya seleksi ujian masuk perguruan tinggi; c. Hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi; d. Hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi; e. Sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga Pemerintah atau lembaga non-

Pemerintah; dan f. Penerimaan dari masyarakat lainnya.

(4) Penerimaan dan penggunaan dana yang diperoleh dari pihak luar negeri diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Usaha untuk meningkatkan penerimaan dana dari masyarakat didasarkan atas pola prinsip tidak mencari keuntungan.

Dalam ketentuan di atas, perguruan tinggi dapat menggali penerimaan dari masyarakat. Hal ini

memberikan kemungkinan bagi perguruan tinggi mendirikan unit usaha sebagai salah satu

sumber pembiayaan dari masyarakat. Unit usaha ini dapat pula berbentuk unit usaha

komersial, suatu unit yang mampu menunjang penyelenggaraan Tri Dharma Perguruan Tinggi

melalui pengelolaan hasil litbang yang lebih profesional.

Unit Profit Pelayanan Jasa Teknis dan Jasa Konsultasi di Lembaga Litbang

Pembentukan unit pelayanan jasa teknis dan jasa konsultasi di lembaga litbang lebih diarahkan

untuk mengkomersialkan kekayaan intelektual dan hasil-hasil litbang. Inovasi yang memiliki

nilai komersial yang harus dilindungi oleh hak atas kekayaan intelektual. Agar inovasi dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat diperlukan sosialisasi, upaya untuk memperkenalkan berbagai

produk litbang kepada masyarakat. Penerimaan masyarakat ini akan mendorong terjadinya alih

teknologi, baik berupa kekayaan intelektual maupun hasil-hasil litbang lainnya.

Hasil yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan pengalihan teknologi dapat berupa pengalihan

codified knowledge maupun tacit knowledge transfer. Kegiatan terebut merupakan upaya

pemanfaatan hasil litbang dan pengalihan kemampuan penguasaan iptek oleh perguruan tinggi

dan lembaga litbang. Kegiatan ini memerlukan pendekatan tersendiri, dan seringkali tidak sama

dengan pengelolaan kelembagaan lain, seperti pengelolaan perizinan, atau penerimaan hasil

Page 45: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

45

selisih harga ataupun penerimaan keuntungan dari BUMN. Keuntungan yang diperoleh dari

pengalihan teknologi juga dapat mengurangi ketergantungan pendanaan kegiatan litbang di

Perguruan Tinggi maupun Lembaga Litbang pada anggaran Pemerintah. Oleh karena itu,

adanya keleluasaan dalam pengelolaan penggunaan pendapatan alih teknologi mempunyai

peran penting dalam mendorong kemandirian lembaga penelitian. Pendapatan dari alih

teknologi ini dapat digunakan untuk berbagai kegiatan antara lain:

1) memperbesar pendanaan litbang yang diperlukan untuk menguasai kemajuan iptek dan

mengembangkan invensi serta menggali dayagunanya;

2) memberikan insentif yang diperlukan untuk meningkatkan motivasi dan kemampuan

invensi di lingkungan litbang;

3) memperkuat kemampuan pengelolaan kekayaan intelektual, termasuk pemeliharaan,

perlindungan, dan alih teknologi;

4) melakukan investasi untuk memperkuat sumber daya iptek yang dimiliki, baik yang

berbentuk keahlian sumber daya manusia dan pengorganisasiannya, aset informasi dan

iptek, serta sarana prasarana iptek;

5) meningkatkan kualitas dan memperluas jangkauan alih teknologi dan jasa iptek;

6) memperluas jaringan kerja dengan lembaga-lembaga lain yang berkaitan dengan

pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Lembaga litbang pemerintah umumnya ditujukan untuk melaksanakan penelitian,

pengembangan dan pengkajian dalam rangka mencapai suatu keunggulan iptek dalam rangka

pemecahan masalah-masalah pembangunan di berbagai bidang. Meskipun hampir semua

perencanaan program lembaga litbang pemerintah ditujukan untuk tujuan penerapan iptek,

namun dalam praktik belum banyak hasil-hasil litbang yang langsung dapat diterapkan. Hasil

litbang masih belum dapat dimanfaatkan, baik dalam rangka pemecahan masalah di bidang

teknis, membantu dunia usaha dalam kegiatan proses produksi maupun kegiatan manajemen

lainnya. Hasil kajian yang dihasilkan masih kurang diminati dunia usaha karena adanya

ketidaksesuaian antara hasil litbang dengan kebutuhan yang didasarkan pada tuntutan

konsumen. Hal ini menyebabkan implementasi hasil litbang masih rendah. Oleh karena itu,

upaya peningkatan komersialisasi hasil litbang memerlukan suatu perencanaan program yang

lebih holistik, dengan melibatkan calon pengguna. Penyusunan rencana juga harus

memperhatikan standar-standar teknologi yang berlaku di dunia usaha, pola kerjasama yang

berlaku dalam komersialisasi hasil litbang. Perencanaan harus memperhatikan faktor-faktor

lain. Faktor yang mempunyai peran penting adalah faktor finansial, yang secara kondusif dapat

mendukung upaya komersialisasi hasil litbang secara lebih proporsional dan berpihak kepada

lembaga dan jajaran penelitiannya.

Page 46: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

46

Bab 3 Evaluasi dan Analisis Kebijakan Penguatan

Inovasi dalam Peraturan Perundang-undangan

Penguatan inovasi secara garis besar ditandai adanya elemen-elemen/aktor yang melakukan

jejaring untuk saling berinteraksi menghasilkan inovasi. Di Indonesia, secara umum penguatan

inovasi antar elemen-elemen atau aktor penghasil teknologi masih kurang. Kurangnya

komunikasi dan interaksi menyebabkan penerapan inovasi yang dihasilkan oleh aktor/lembaga

penghasil inovasi tersebut belum dapat didayagunakan sepenuhnya. Padahal lembaga

penelitian, perguruan tinggi, industri dan pihak terkait lainnya sebagai aktor/lembaga yang

tercakup dalam penguatan inovasi akan menjadi kunci keberhasilan pertumbuhan ekonomi

nasional.

Mengacu pada strategi penguatan inovasi dari Kementerian Pendidikan, Budaya, Olahraga,

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Ministry of Education, Culture, Sport, Science and

Technology, secara resmi disingkat MEXT) Jepang yang telah dikemukakan di bab sebelumnya,

maka secara konseptual dapat diperlihatkan posisi lembaga pendukung atau penunjang.

Lembaga-lembaga ini merupakan lembaga-lembaga yang berwenang untuk membuat kebijakan

tentang perekonomian, infrastruktur sosial, pendidikan, ketenagakerjaan, ilmu pengetahuan

dan teknologi, serta pajak dan keuangan. Kebijakan-kebijakan ini berperan menunjang

kemantapan ‘panggung’ (platform) basis pengetahuan untuk interaksi atau kerjasama antara

pengembang dengan pengguna teknologi. Menurut konsepsi ini, fondasi yang paling mendasar

dalam penguatan inovasi adalah lingkungan, budaya, tradisi, dan karakter bangsa. Selanjutnya

perlu adanya kemantapan ‘panggung’ untuk para aktor utama inovasi dalam berkiprah akan

tergantung pada dukungan kebijakan dan regulasi yang relevan. Tahap berikutnya adalah

dukungan kegiatan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi yang berujung pada

produk/barang dan/atau jasa yang sesuai dengan permintaan pasar. Pada ketiga tahapan posisi

dan peran lembaga intermediasi sangat diperlukan dalam mewujudkan suatu sistem inovasi.

Kinerja dan perkembangan inovasi nasional sangat dipengaruhi oleh peraturan perundang-

undangan maupun kebijakan di berbagai sektor yang terkait. Olehkarena itu diperlukan

evaluasi dan analisis kebijakan penguatan inovasi dalam peraturan perundang-undangan

terkait. Peraturan ini terutama terkait dengan peraturan perundang-undangan di bidang

ekonomi, perdagangan dan industri, bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, bidang

pendidikan, bidang ketenagakerjaan, bidang pendidikan, serta peraturan perundang-undangan

lainnya berkaitan dengan infrastruktur sosial.

Page 47: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

47

1. Bidang Perindustrian dan Perdagangan

Stabilitas makro ekonomi sangat penting bagi dunia bisnis, sehingga akan sangat menentukan

tingkat daya saing (competitiveness) suatu negara. Walaupun tentu saja, produktivitas suatu

negara tidak hanya ditentukan oleh stabilitas makro ekonominya. Pemerintah tidak akan dapat

melakukan pelayanan publik dengan baik, jika selalu terbelit hutang dan keharusan

membayarnya dengan suku bunga tinggi atau dalam kondisi cenkeraman persoalan makro

ekonomi yang tidak mampu dituntaskan. Perusahaan tidak dapat berbisnis secara efisien dan

bergairah jika inflasi tidak dapat diprediksi. Dengan demikian perekonomian tidak dapat

tumbuh secara ber-kesinambungan jika kondisi makro ekonomi tidak stabil.

Kondisi makro ekonomi Indonesia untuk periode 2008-2010 tergolong stabil. Berdasarkan

survei World Economic Forum (WEF, 2010), skor untuk stabilitas makro ekonomi Indonesia

pada tahun 2010 mencapai 5,2 dan menduduki peringkat 35 dari 139 negara yang disurvei. Jika

persepsi masyarakat dunia terhadap stabilitas makro ekonomi ini dapat terus dipelihara dan

jika mungkin terus ditingkatkan, maka akan semakin menarik bagi kalangan bisnis untuk

berinvestasi dan menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia.

Tumbuh kembang kegiatan bisnis akan membuka peluang untuk peningkatan daya beli

masyarakat dan memperbesar kapasitas pasar domestik (market size). Untuk periode 2008-

2010, berdasarkan survei WEF peringkat ukuran pasar domestik Indonesia juga terus

meningkat, berturut-turut dari peringkat 17 (2008), menjadi 16 (2009) dan 15 (2010). Survei

yang dilakukan oleh UNCTAD (2009) tentang prospek investasi dunia (World Investment

Prospects Survey) menyimpulkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke 9 dunia, setelah

Cina, Amerika Serikat, India, Brazil, Rusia, Inggeris, Jerman, dan Australia (Gambar 3). Namun

demikian, peringkat ini perlu dilihat secara cermat, karena daya tarik utama bagi para investor

untuk menanamkam modalnya adalah ukuran pasar domestik dan laju pertumbuhan pasar

domestik dari negara tujuan invenstasi tersebut. Dua faktor ini lebih dominan dalam

pengambilan keputusan untuk berinvestasi dibandingkan dengan program insentif yang

ditawarkan, ketersediaan dan kemurahan upah tenaga kerja, akses untuk pengelolaan

sumberdaya alam, dan efektivitas peran pemerintah.

Indonesia dengan penduduknya yang lebih dari 237 juta jiwa dengan daya beli yang relatif baik

merupakan pasar domestik yang sangat potensial bagi investor asing. Pasar domestik Indonesia

akan menjadi sasaran empuk bagi investor asing jika Indonesia tidak mampu membangun SINas

yang kuat untuk menopang pembangunan ekonomi nasional. Makro ekonomi yang terpelihara

stabilitasnya dan kapasitas pasar domestik yang terus membesar merupakan ekosistem yang

positif untuk tumbuh-kembang SINas. Peningkatan kapasitas pasar bermakna peningkatan

permintaan masyarakat akan barang dan jasa, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.

Peningkatan permintaan barang dan jasa yang lebih banyak dan/atau lebih bermutu akan

meningkatkan kebutuhan industri akan teknologi yang lebih sesuai. Dinamika ini membuka

peluang dan tantangan bagi lembaga pengembang teknologi untuk melakukan riset yang

relevan dengan kebutuhan industri.

Page 48: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

48

Jika peningkatan kebutuhan teknologi yang relevan ini dikomunikasikan oleh industri ke pihak

pengembang teknologi dan pihak pengembang teknologi mampu menyediakan paket teknologi

yang tidak hanya relevan, tetapi juga handal dan sesuai kapasitas adopsi pelaku bisnis, maka

SINas akan lebih dirasakan geliatnya. Pada kurun waktu yang sama (2008-2010), survei WEF

juga memperlihatkan terjadinya peningkatan peringkat Indonesia dari 47 menjadi 36.

Gambar 3. Peringkat daya tarik Indonesia bagi investor asing

Kebijakan pembangunan perekonomian Indonesia yang baru diluncurkan yang dikemas dalam

Keppres No. 32 Tahu 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang telah menetapkan enam koridor pembangunan ekonomi

sesuai dengan potensi sumberdaya setempat perlu dibarengi dengan upaya membangun

penguatan inovasi yang berkesesuaian. Apalagi pengembangan sumberdaya manusia dan iptek

telah dipilih sebagai salah satu dari tiga strategi utamanya.

Kinerja dan perkembangan SINas akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan di berbagai

sektor yang terkait, termasuk perdagangan dan industri. Harus ada dorongan agar produk

barang dan jasa yang diperdagangkan, terutama untuk ekspor, diutamakan sudah merupakan

produk-produk jadi yang dibutuhkan oleh konsumen akhir (consumer products). Kebijakan

yang berorientasi untuk mendorong ekspor agar lebih diprioritaskan pada produk jadi,

Page 49: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

49

merupakan bentuk kebijakan yang secara nyata akan mendorong adopsi teknologi pada

industri-industri di dalam negeri, sekaligus membuka lapangan kerja, dan meningkatkan nilai

tambah produk yang diekspor. Indonesia saat ini masih dominan mengekspor komoditas atau

bahan mentah (raw materials) atau produk-produk setengah-jadi (intermediate products) yang

secara ekonomi merugikan dan secara ekologi kurang bersahabat, karena cenderung

mengeksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan mempunyai nilai ekonomi yang

rendah. Ungkapan yang dikemukakan Surapranata (2011) patut direnungkan, bahwa

seharusnya Indonesia tidak mengekspor bahan baku dan keringat, tetapi lebih didorong untuk

mengekspor produk yang dihasilkan dengan keringat anak bangsa di dalam negeri.22

Upaya meningkatkan nilai tambah komoditas atau produk ekspor sudah dilakukan, tetapi

dirasakan masih belum optimal, misalnya produk sawit yang diekspor masih sangat dominan

berbentuk minyak sawit kasar (crude palm oil, disingkat CPO). Ekspor dalam bentuk produk

dengan muatan teknologi tinggi sudah ada namun masih relatif rendah porsinya (Gambar 4).

Sejak akhir tahun 1980-an sudah mulai ada produk dengan muatan teknologi tinggi, tetapi

masih sangat rendah, yakni hanya sekitar 1 persen; kemudian secara berangsur naik dan

mencapai puncaknya pada awal tahun 2000-an yang mencapai kisaran antara 14-16 persen;

tetapi pada akhir tahun 2000-an kembali menurun menjadi sekitar 10 persen.

Sumber: The World Bank, diunduh dari tradingeconomics.com (18 Januari 2011) Gambar 4. Persentase ekspor produk Indonesia dengan kandungan teknologi tinggi, periode 1989-2008

22

Disampaikan oleh Suharna Surapranata, Menteri Negara Riset dan Teknologi, pada Rapim Lengkap Kementerian Riset dan Teknologi, hari selasa 18 Januari 2011. Bermakna bahwa sebaiknya tidak mengekspor bahan mentah dan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri, tetapi perlu didorong untuk mengekspor barang jadi yang diproduksi di dalam negeri dengan memanfaatkan tenaga kerja dan teknologi nasional.

Page 50: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

50

Saat ini Indonesia masih dihadapkan pada dua kendala yang menjadi tantangan utama, yakni:

[1] keterbatasan kapasitas investasi nasional di sektor industri hilir untuk mengolah bahan

mentah atau bahan setengah jadi menjadi produk jadi; sedangkan investor asing lebih banyak

tertarik pada bidang usaha yang terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam, baik di sektor

pertanian (terutama perkebunan) maupun di sektor pertambangan; dan [2] belum siapnya

teknologi nasional untuk menyokong tumbuh kembang industri hilir tersebut, yakni kapasitas

untuk mengembangkan teknologi yang relevan, handal, dan secara ekonomi kompetitif

dibanding produk teknologi serupa yang tersedia di pasar dunia. Indonesia tak akan mampu

membangun kemandirian perekonomiannya jika tidak mampu mengatasi dua tantangan utama

ini.

Indonesia memang juga telah mengekspor produk teknologi tinggi. Produk dengan muatan

teknologi tinggi mencakup produk-produk yang membutuhkan intensitas R&D tinggi, seperti

produk kedirgantaraan (aerospace), komputer, farmasi (pharmaceuticals), instrumen riset

(scientific instruments), dan electrical machinery. Namun demikian, nilai ekspor produk-produk

bermuatan teknologi tinggi tersebut sejak tahun 2000 tidak mengalami kemajuan yang berarti

dan relatif stagnan, yakni hanya berfluktuasi sekitar 4,4 sampai 6,5 milyar dolar Amerika (Tabel

2). Kontribusi produk teknologi tinggi ini masih sangat rendah dibandingkan dengan nilai total

ekspor Indonesia pada periode tersebut.

1.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Perdagangan dan Industri.

1.1.1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Menurut UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, penanaman modal harus menjadi

bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan

pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi

nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan

masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Tujuan penyelenggaraan

penanaman modal, antara lain untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi

nasional.

Sebagai upaya mendorong kemampuan teknologi nasional, Pasal 10 Ayat (4) menyebutkan

bahwa perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan

menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara

Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu terkait dengan

riset, kegiatan penanaman modal di Indonesia dapat memperoleh fasilitas. Pasal 18 Ayat (3)

menyebutkan, bahwa untuk mendapatkan fasilitas sekurang-kurangnya kegiatan penanaman

modal memenuhi salah satu kriteria berikut ini:

a. menyerap banyak tenaga kerja;

b. termasuk skala prioritas tinggi;

Page 51: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

51

c. termasuk pembangunan infrastruktur;

d. melakukan alih teknologi;

e. melakukan industri pionir;

f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah

g. perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu;

h. menjaga kelestarian lingkungan hidup;

i. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;

j. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; atau

k. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di

dalam negeri.

Menurut ketentuan di atas, inovasi termasuk kriteria yang dapat diajukan untuk memperoleh

fasilitas penanaman modal. Selanjutnya dalam pasal ini disebutkan mengenai kemungkinan

pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu,

terutama bagi penanaman modal baru bagi industry pionir. Industri pionir adalah industri yang

memiliki keterkaitan luas, mempunyai nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi,

memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

1.1.2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Peraturan perundang-undangan ini antara lain menyebutkan, Pemerintah dan Pemerintah

Daerah memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang (a) produksi dan pengolahan, (b)

pemasaran, (c) sumber daya manusia; dan (d) desain dan teknologi. Selanjutnya terkait dengan

pengembangan dalam bidang desain dan teknologi, alih teknologi maupun inovasi merupakan

salah satu strategi yang perlu dikembangkan. Selain itu UMKM dapat melakukan:

a. meningkatkan kemampuan di bidang desain dan teknologi serta pengendalian mutu;

b. meningkatkan kerjasama dan alih teknologi;

c. meningkatkan kemampuan Usaha Kecil dan Menengah di bidang penelitian untuk

mengembangkan desain dan teknologi baru;

d. memberikan insentif kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang mengembangkan

teknologi dan melestarikan lingkungan hidup; dan

e. mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk memperoleh sertifikat hak atas

kekayaan intelektual.

Guna mengembangkan kemampuan UMKM menjadi usaha yang tangguh dan mandiri,

pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat dapat memfasilitasi,

mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan yang saling membutuhkan, mempercayai,

memperkuat, dan menguntungkan. Kemitraan antar UMKM dengan Usaha Besar mencakup

proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber

Page 52: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

52

daya manusia, dan teknologi. Menurut UU No. 20 Tahun 2008, UMKM yang melakukan

kemitraan dimungkinkan untuk mendapatkan insentif. Menurut Pasal 25, Menteri dan Menteri

Teknis mengatur pemberian insentif kepada Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan

UMKM melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga

kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan

pendidikan dan pelatihan.

Sementara dukungan kelembagaan ditujukan untuk mengembangkan dan meningkatkan fungsi

inkubator, lembaga layanan pengembangan usaha, konsultan keuangan mitra bank, dan

lembaga profesi sejenis lainnya sebagai lembaga pendukung pengembangan Usaha Mikro,

Kecil, dan Menengah. Yang dimaksud dengan “inkubator” adalah lembaga yang menyediakan

layanan penumbuhan wirausaha baru dan perkuatan akses sumber daya kemajuan usaha

kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagai mitra usahanya. Inkubator yang

dikembangkan meliputi: inkubator teknologi, bisnis, dan inkubator lainnya sesuai dengan

potensi dan sumber daya ekonomi lokal. Adapun yang dimaksud dengan “lembaga layanan

pengembangan usaha” (bussines development services-providers) adalah lembaga yang

memberikan jasa konsultasi dan pendampingan untuk mengembangkan Usaha Mikro, Kecil,

dan Menengah.

1.1.3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum

RI yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas

tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan

geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor,

dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. KEK

terdiri atas satu atau beberapa zona, antara lain zona pengolahan ekspor, logistik, industri,

pengembangan teknologi, pariwisata, dan energi yang kegiatannya dapat ditujukan untuk

ekspor dan untuk dalam negeri. Upaya-upaya penguatan inovasi dapat masuk KEK, sebagai

upaya pengembangan teknologi tertentu untuk meningkatkan daya saing produk barang dan

jasa.

Pengusaha mendapat fasilitas dan kemudahan dalam KEK. Pasal 30 menyebutkan bahwa (1)

setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK diberikan fasilitas Pajak Penghasilan

(PPh), dan Ayat (2) menyebutkan, selain fasilitas PPh dapat diberikan tambahan fasilitas PPh

sesuai dengan karakteristik zona. Selain itu, Pasal 32 ayat (1), menyebutkan bahwa impor

barang ke KEK dapat diberikan fasilitas berupa, antara lain:

a. penangguhan bea masuk;

b. pembebasan cukai, sepanjang barang tersebut merupakan bahan baku atau bahan

penolong produksi;

c. tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk barang kena pajak; dan

Page 53: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

53

d. tidak dipungut PPh impor.

1.1.4. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional

Terkait dengan penguatan inovasi, Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang

Kebijakan Industri Nasional antara lain menyebutkan, Pemerintah dapat memberikan fasilitas,

antara lain kepada kepada: industri yang melakukan penelitian, pengembangan dan inovasi;

dan industri yang melakukan alih teknologi. Fasilitas tersebut berupa insentif fiskal, insentif

non-fiskal, dan kemudahan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Permohonan pemberian fasilitas diajukan kepada Tim Nasional Peningkatan Ekspor

dan Peningkatan Investasi. Meskipun insentif fiskal diberikan oleh Kementerian Keuangan,

namun demikian bentuk insentif non fiskal maupun kemudahan lainnya merupakan peluang

untuk mendorong kebijakan-kebijakan yang diperlukan.

Sebagai upaya mendorong penguatan inovasi nasional, Perpres No. 28 Tahun 2008

memungkinkan pengembangan kebijakan dalam upaya peningkatan penggunaan produksi

dalam negeri dalam rangka penghematan; pengembangan sumberdaya manusia sektor industri

secara intensif melalui akselerasi transformasi teknologi; produk melalui teknologi tepat guna,

disamping manajemen dan kewiraswastaan. Selain itu, Perpres No. 28 Tahun 2008 juga

menekankan perlunya pengembangan teknologi industri melalui:

a. peningkatan kapasitas (pendalaman) teknologi pada sistem produksi;

b. peningkatan jumlah penemuan baru hasil litbang nasional yang dapat dimanfaatkan oleh

sistem produksi;

c. peningkatan kapasitas difusi teknologi pada sistem produksi;

d. peningkatan kapasitas kelembagaan teknologi dalam mendukung sistem produksi;

e. peningkatan intermediasi dan pola insentif yang mendorong kemitraan dan kegiatan

litbang di dunia usaha;

f. mendorong pengembangan rancang bangun dan perekayasaan industri dan

pembentukan lembaga R&D dalam rangka inovasi teknologi dan pengembangan bahan

baku alternatif;

g. meningkatkan infrastruktur untuk mendukung pengembangan iptek untuk menciptakan

dan menyerap teknologi dan invoasi yang berorientasi pasar.

2. Bidang Keuangan dan Perpajakan

2.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Keuangan dan Perpajakan.

2.1.1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

Dalam UU No. 36 Tahun 2008 disebutkan tidak semua penghasilan menjadi obyek pengenaan

pajak. Ada pula penghasilan wajib pajak yang dapat dijadikan faktor pengurang pajak

Page 54: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

54

penghasilan bruto, antara lain yang berkaitan dengan penelitian dan pengembangan.

Ketentuan UU No. 36 Tahun 2008 menyebutkan, yang menjadi faktor pengurang (tax

deduction) penghasilan bruto, yaitu “biaya penelitian perusahaan dan/atau sumbangan dalam

rangka penelitian dan pengembangan di Indonesia”. Selanjutnya dalam peraturan

pelaksanaannya, bukan menjadi obyek pajak adalah “sisa lebih yang diterima atau diperoleh

lembaga atau badan nirlaba di bidang pendidikan formal dan/atau penelitian dan

pengembangan yang ditanamkan kembali dalam jangka waktu 4 tahun”.

Adanya ketentuan pengecualian sebagai obyek pajak atau pengurangan penghasilan bruto

merupakan fasilitas atau insentif di bidang perpajakan yang diberikan untuk mendorong

kemampuan riset, inovasi dan investasi riset dan pengembangan badan usaha/industri di

Indonesia.

2.1.2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

Menurut UU No. 17 Tahun 2006 ini dimungkinkan pemberian insentif dan fasilitas untuk

mendorong inovasi dan investasi R&D swasta nasional. Insentif ini berupa pembebasan bea

masuk atas impor buku ilmu pengetahuan dan barang atau peralatan untuk keperluan

penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Pasal 25).

Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan yaitu barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan penelitian/riset

atau percobaan guna peningkatan atau pengembangan suatu penemuan dalam bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi. Pembebasan bea masuk diberikan berdasarkan rekomendasi dari

kementerian terkait.

2.1.3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk

Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah

Tertentu

Sejalan dengan upaya penguatan inovasi maupun investasi di bidang riset swasta di Indonesia,

menurut PP No. 1 Tahun 2007, pemerintah dapat memberikan fasilitas insentif pajak. Wajib

pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-

daerah tertentu dapat diberikan insentif dan fasilitas pajak penghasilan. Pasal 2 menyebutkan

bahwa wajib pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi dapat

diberikan fasilitas pajak penghasilan berupa:

(a) pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman

modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5 % (lima persen) per

tahun,

(b) penyusutan dan amortisasi yang dipercepat,

(c) pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar

Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan

Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku; dan

Page 55: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

55

(d) kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10

(sepuluh) tahun.

2.1.4. Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan

Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas

Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastuktur

Sosial Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto

PP No. 93 Tahun 2010 merupakan aturan pelaksanaan UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan (yang telah diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008). Melalui peraturan ini,

diharapkan dapat meningkatkan pendanaan riset dari pihak swasta. Sumbangan dari pihak

swasta ini akan mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional. Bagi wajib

pajak swasta yang menyumbangkan sebagian pendapatannya untuk kegiatan penelitian dan

pengembangan iptek dapat memperoleh fasilitas pajak/keringanan pajak. Pasal 1 menyebutkan

bahwa sumbangan dan/atau biaya terkait penelitian dan pengembangan dapat dikurangkan

sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena

pajak bagi wajib pajak dalam satu tahun.

2.1.5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan Di Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu

Peraturan ini memuat ketentuan berkaitan dengan perlakuan perpajakan di Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam

KAPET, diberikan perlakuan di bidang Pajak Penghasilan (fasilitas perpajakan) sebagai berikut:

a. penyusutan dan atau amortisasi yang dipercepat;

b. kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai paling

lama 10 (sepuluh) tahun;

c. pajak penghasilan menurut Pasal 26 atas dividen sebesar 10%.

Sedangkan yang dimaksudkan KAPET, menurut Keppres No. 150 Tahun 2000 tentang Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu adalah wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang

memenuhi persyaratan: a) memiliki potensi untuk cepat tumbuh; dan/atau; b) mempunyai

sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya; dan/

atau c) memiliki potensi pengembalian investasi yang besar.

Setiap Pengusaha Di Kawasan Berikat (PDKB) di dalam wilayah KAPET juga dapat diberikan

fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah tidak dipungut atas :

a. impor barang modal atau peralatan lain oleh PDKB yang berhubungan langsung dengan

kegiatan produksi;

b. impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB;

c. pemasukan Barang Kena Pajak dari Daerah Pabean Indonesia Lainnya, untuk selanjutnya

disebut DPIL, ke PDKB untuk diolah lebih lanjut;

Page 56: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

56

d. pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut;

e. pengeluaran barang dan atau bahan dari PDKB ke perusahaan industri di DPIL atau

PDKB lainnya dalam rangka subkontrak;

f. penyerahan kembali Barang Kena Pajak hasil pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha

Kena Pajak di DPIL atau PDKB lainnya kepada Pengusaha Kena Pajak PDKB asal;

g. peminjaman mesin dan atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari PDKB

kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dan pengembaliannya ke PDKB

asal.

3. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

3.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

3.1.1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,

Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Diundangkannnya UU No.18 Tahun 2002 memberikan manfaat besar bagi pengembangan Iptek

di Indonesia, karena:

1) memberikan landasan hukum;

2) mendorong pertumbuhan dan pendayagunaan sumber daya Iptek secara lebih efektif;

3) menggalakkan pembentukan jaringan; dan

4) mengikat semua pihak, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk berperan

serta secara aktif.

Dalam rangka memadukan sinergisme kerja berbagai unsur kelembagaan Iptek, UU No. 18

Tahun 2002 menjelaskan mengenai perlunya penguatan jaringan sistem nasional penelitian,

pengembangan, dan penerapan iptek (sisnas litbangrap iptek). Jaringan tersebut berfungsi

untuk membentuk jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur unsur kelembagaan

iptek (lembaga litbang, perguruan tinggi, badan usaha dan lembaga penunjang lainnya) untuk

menghasilkan kinerja dan manfaat yang lebih besar dibandingkan apabila masing-masing unsur

kelembagaan berjalan secara sendiri-sendiri. Untuk mengembangkan jaringan tersebut seluruh

elemen Sisnas Iptek wajib mengusahakan kemitraan dalam hubungan yang saling mengisi,

melengkapi, memperkuat, dan menghindarkan terjadinya tumpang tindih yang merupakan

pemborosan. Kunci penting untuk terlaksananya sinergisme kerja antar unsur Sisnas Iptek

adalah terbangunnya suatu sistem perencanaan pembangunan nasional Iptek dalam jangka

pendek, menengah, maupun jangka panjang. Pasal 18 dan 19 UU No. 18 Tahun 2002

menyatakan bahwa “Pemerintah wajib merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka

kebijakan pemerintah di bidang Iptek” yang dituangkan sebagai “kebijakan strategis

pembangunan nasional Iptek”.

Page 57: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

57

Salah satu kewajiban Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam UU No. 18 Tahun 2002 adalah

mengkoordinasikan perumusan “kebijakan strategis pembangunan nasional Iptek” dengan

mempertimbangkan segala masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan

Iptek. Dalam skala yang lebih kecil, Pasal 20 UU No. 18 Tahun 2002 menjelaskan mengenai

kewajiban Pemerintah Daerah untuk merumuskan prioritas serta kerangka kebijakan

pembangunan daerah Iptek yang dituangkan dalam “kebijakan strategis pembangunan Iptek

di daerah”. Seperti halnya di tingkat nasional, Pemerintah Daerah juga dalam merumuskan

kebijakan strategisnya harus mempertimbangkan masukan dan pandangan yang diberikan oleh

unsur kelembagaan Iptek.

Dalam perumusan prioritas dan berbagai aspek kebijakan Iptek, Menteri wajib memperhatikan:

1) penguatan ilmu dasar dan kapasitas litbang;

2) penguatan pertumbuhan industri berbasis hasil litbang;

3) penguatan kemampuan audit teknologi yang dikaitkan dengan penguatan Standar

Nasional Indonesia (SNI).

4) Mengembangkan instrumen kebijakan yang diperlukan, dengan memperhatikan

kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara serta keseimbangan tata kehidupan

manusia dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Untuk mendukung perumusan prioritas dan berbagai aspek kebijakan Iptek dibentuk Dewan

Riset Nasional dan Dewan Riset Daerah. Dengan demikian, dapat dikatakan UU No. 18 Tahun

2002 merupakan pedoman dan landasan hukum utama dalam pelaksanaan pembangunan

iptek nasional. Sebagai Undang-Undang yang mengatur sistem iptek nasional, peraturan

perundang-undangan ini sangat menekankan pentingnya pembentukan jaringan yang menjalin

hubungan interaktif semua unsur kelembagaan iptek sehingga kapasitas dan kemampuannya

dapat bersinergi secara optimal.

Dalam upaya penguatan inovasi, beberapa ketentuan dalam UU No. 18 Tahun 2002 dapat

menjadi acuan, antara lain:

a. Setiap kekayaan intelektual dan hasil kegiatan penelitian, pengembangan,

perekayasaan, dan inovasi yang dibiayai pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib

dikelola dan dimanfaatkan dengan baik oleh perguruan tinggi, lembaga riset, dan badan

usaha yang melaksanakannya (Pasal 13 ayat (4)).

b. Perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan

yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa ilmu pengetahuan

dan teknologi untuk mengembangkan diri (Pasal 16 ayat (3)).

c. Dalam menetapkan prioritas utama dan mengembangkan berbagai aspek kebijakan

penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, Menteri

antara lain wajib memperhatikan pentingnya upaya penguatan pertumbuhan industri

berbasis teknologi untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi

Page 58: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

58

teknologi serta memperkuat tarikan pasar bagi hasil kegiatan penelitian dan

pengembangan (Pasal 19 ayat (3) huruf b.).

d. Pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan penguasaan, pemanfaatan, dan

pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tanggung jawab bersama antara

masyarakat dan pemerintah (Pasal 26).

e. Badan usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan

kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam meningkatkan kinerja

produksi dan daya saing barang dan jasa yang dihasilkan (Pasal 28 ayat (1)).

f. Anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat digunakan dalam lingkungan

sendiri dan dapat pula digunakan untuk membentuk jalinan kemitraan dengan unsur

kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi lain (Pasal 28 ayat (2)).

3.1.2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan

Geofisika

UU No. 31 Tahun 2009 secara tegas menekankan perlunya penguatan inovasi dan alih teknologi

dalam pengembangan industri meteorologi, klimatologi, dan geofisika. Pasal 78 UU No. 31

Tahun 2009 menyebutkan pengembangan industri meteorologi, klimatologi, dan geofisika yang

mencakup inovasi dan alih teknologi harus mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya

nasional.

3.1.3. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan

PP ini merupakan peraturan pelaksanaan ketentuan Pasal 69 UU No. 23 Tahun 1992 tentang

Kesehatan. Dalam Pasal 2 disebutkan, litbang kesehatan bertujuan untuk memberikan masukan

iptek serta pengetahuan lain yang diperlukan untuk menunjang pembangunan kesehatan

dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Menurut PP No. 39

Tahun 1995 litbang kesehatan dapat diselenggarakan oleh lembaga asing, atau melibatkan

peneliti asing, atau kerja sama dengan lembaga asing yang memenuhi persyaratan. Pengaturan

kegiatan litbang asing dalam PP No. 39 Tahun 1995 mempunyai keterkaitan dengan PP No. 41

Tahun 2006 tentang Perizinan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan bagi Perguruan Tinggi

Asing, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing dan Orang Asing,

dimana disebutkan kegiatan litbang asing dilakukan atas dasar izin berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penelitian bagi orang asing.

3.1.4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian

Pendapatan Badan Usaha Untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi dan

Difusi Teknologi

Peraturan ini merupakan peraturan pelaksanan UU No. 18 Tahun 2002. Peraturan ini memberi

kewenangan kepada Menteri yang membidangi riset dan teknologi untuk memberikan

rekomendasi insentif – di bidang perpajakan maupun bantuan teknis (technical assistance) –

Page 59: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

59

dalam rangka mendorong kemampuan peningkatan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi

di badan usaha.

Berdasarkan peraturan ini, badan usaha dapat mengajukan permohonan rekomendasi insentif

litbang kepada Menteri. Namun dalam hal ini, kewenangan Menteri hanya sebatas

memberikan rekomendasi scientific opinion kepada instansi yang berwenang dibidang

perpajakan maupun lembaga pemberi bantuan teknis. Keputusan persetujuan dan penolakan

pemberian insentif tetap berada dalam kewenangan masing-masing instansi yang berwenang

dimaksud.

Ketentuan dan pelaksanaan insentif atau fasilitas perpajakan yang dimaksud dalam PP No. 35

Tahun 2007 berkaitan erat dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan

kepabeanan (insentif fiskal). UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan, PP No. 1/2007 tentang

Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau

di Daerah-Daerah Tertentu, PP No. 93 Tahun 2010 dan UU No. 17 Tahun 2006 tentang

Perubahan atas UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan merupakan beberapa peraturan

perundang-undangan yang menyediakan insentif riset.

Sementara itu, insentif bantuan teknis (insentif non fiskal) berhubungan dengan penempatan

tenaga ahli peneliti, perekayasan dan dosen atau pemanfaatan laboratorium-laboratorium

milik pemerintah. Pelaksanaan insentif bantuan teknis terkait dengan ketentuan UU

Kepegawaian, PP No. 12 Tahun 2002 jo. PP No. 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS

maupun ketentuan-ketentuan yang terkait dengan aturan tentang lembaga Kementerian LPNK

dan LPK.

Dari sisi regulasi, sebenarnya pemerintah sudah berupaya mengakelarasi kegiatan riset dan

inovasi dunia usaha atau untuk mendorong inovasi dan investasi R&D swasta. Sehingga

persoalannya bukan pada kekosongan peraturan, namun bagaimana penyusunan kebijakan

pelaksanaannya dapat bersinergi dengan baik. Upaya ini mutlak dilakukan, mengingat regulasi

masih menyisakan sejumlah pertanyaan selain sifatnya cenderung sektoral sehingga tidak

mudah implementasinya. Pertanyaan menyangkut UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak

Penghasilan misalnya, antara lain berkaitan dengan bagaimana kriteria yang menentukan

badan usaha mendapatkan tax deduction, atau bagaimana urgensi dan pengaruh pemberian

fasilitas/insentif terkait dengan usaha peningkatan kemampuan inovasi nasional.

3.1.5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan

Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi

dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan

Peraturan Pemerintah ini merupakan penjabaran Pasal 16 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2002, yang

menekankan pentingnya alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan-kegiatan

litbang agar memberikan nilai tambah ekonomi dan dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam

memperbaiki kualitas hidup.

Selain itu, beberapa ketentuan dalam PP No. 20 Tahun 2005 menekankan pentingnya sinergi

antara perguruan tinggi dan lembaga riset/riset dengan badan usaha, seperti Pasal 26 huruf a

Page 60: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

60

yang menyatakan bahwa sinergi berprinsip mempertukarkan dan/atau mengintegrasikan

sumber daya tertentu untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat tertentu. Sedang Pasal

20, menyatakan bahwa sinergi perguruan tinggi dan lembaga litbang dengan lembaga riset

lainnya dapat dilakukan antara lain dengan mekanisme perjanjian kerjasama maupun

perjanjian lisensi. Upaya ini diharapkan juga mendorong inovasi di sektor usaha.

Sebagai peraturan pelaksanaannya, antara lain Peraturan Menteri Negara Riset Dan Teknologi

No. 04/M/PER/III/2007 tentang Tata Cara Pelaporan Kekayaan Intelektual, Hasil Kegiatan

Penelitian Dan Pengembangan Dan Hasil Pengelolaannya. Di dalam peraturan menteri ini,

perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan harus melaporkan hak kekayaan

intelektual yang telah diperoleh dan/atau yang sedang dalam proses pendaftaran, hasil

kegiatan penelitian dan pengembangan milik pemerintah dan/atau pemerintah daerah, serta

pengelolaannya kepada Menteri. Tujuan pelaporan adalah untuk mendayagunakan hasil

kegiatan penelitian dan pengembangan yang dibiayai oleh pemerintah dan/atau pemerintah

daerah bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan hidupnya.

3.1.6. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan

Pengembangan Perikanan

Menurut PP No. 30 Tahun 2008 penyelenggaraan litbang perikanan bertujuan untuk:

a. meningkatkan kemandirian dalam penguasaan iptek di bidang perikanan;

b. mengungkapkan dan memahami potensi dan permasalahan sumber daya ikan dan

lingkungannya serta mengembangkan teknologi pengelolaan perikanan dan konservasi

sumber daya ikan; dan

c. menyiapkan dan menyediakan basis ilmiah yang kuat dan teknologi tepat guna sebagai

kunci dalam menyusun kebijakan pengelolaan dan pengembangan usaha perikanan

agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan serta

menghargai kearifan tradisi/budaya lokal.

Dalam rangka pengembangan kerjasama litbang perikanan, Pasal 15 menyebutkan

penyelenggaraan litbang perikanan dapat bekerja sama dengan pelaksana litbang; pelaku

usaha perikanan; asosiasi perikanan; dan/atau lembaga litbang milik asing. Kerjasama ini

meliputi penyediaan tenaga ahli, asistensi teknis litbang, penyediaan dana dan sarana litbang,

pendidikan dan pelatihan serta kegiatan lain yang dapat mempercepat pembangunan

perikanan.

3.1.7. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Penelitian dan Pengembangan,

Serta Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan

Menurut PP No. 12 Tahun 2010 kegiatan litbang kehutanan meliputi kegiatan: (a) penelitian

dasar, (b) penelitian terapan, (c) penelitian kebijakan; dan/atau (d) pengembangan

eksperimental. PP ini juga menyebutkan, kegiatan litbang kehutanan diselenggarakan oleh

Pemerintah, dan dapat bekerja sama dengan lembaga litbang pemerintah provinsi, lembaga

litbang kabupaten/kota, perguruan tinggi, badan usaha, dan masyarakat.

Page 61: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

61

Penyelenggaraan litbang, serta diklat kehutanan dilaksanakan dengan memperhatikan:

a. ilmu pengetahuan dan teknologi, kearifan tradisional, serta kondisi social budaya

masyarakat;

b. potensi dan karakteristik biofisik setempat guna menjamin terjaganya kekayaan plasma

nutfah khas Indonesia dari pencurian atau gangguan lainnya yang mengancam punahnya

plasma nutfah tersebut.

Berkaitan dengan kerjasama penelitian internasional, sebagaimana PP No. 39 Tahun 1995

tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, PP No. 12 Tahun 2010 juga mempunyai

keterkaitan dengan PP No. 41 Tahun 2006 tentang Perizinan Kegiatan Penelitian dan

Pengembangan bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing,

Badan Usaha Asing dan Orang Asing. Pasal 22 menyebutkan, lembaga litbang asing, peneliti

asing, perguruan tinggi asing, atau badan usaha asing dapat menyelenggarakan litbang

kehutanan setelah mendapatkan izin dari instansi Pemerintah sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan. Selanjutnya di ayat (2)-nya disebutkan lembaga litbang asing, peneliti

asing, perguruan tinggi asing, atau badan usaha asing dalam menyelenggarakan litbang

kehutanan harus bekerja sama dengan Badan Litbang Kehutanan Kementerian.

3.1.8. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional

Kebijakan inovasi nasional di Indonesia perlu dilaksanakan secara terencana, terpadu,

terintegrasi, dan terkoordinasi dalam satu kesatuan Sistem Inovasi Nasional (SINas) guna

meningkatkan produktifitas nasional dan mempercepat pertumbuhan ekonomi bangsa. Dalam

rangka penguatan SINas ini dibentuk Komite Inovasi Nasional (KIN). Dalam Perpres ini yang

dimaksud dengan SINas adalah “suatu jaringan rantai antara institusi publik, lembaga riset dan

teknologi, universitas serta sektor swasta dalam suatu pengaturan kelembagaan yang secara

sistemik dan berjangka panjang dapat mendorong, mendukung, dan menyinergikan kegiatan

untuk menghasilkan, mendayagunakan, merekayasa inovasi-inovasi di berbagai sektor, dan

menerapkan serta mendiseminasikan hasilnya dalam skala nasional agar manfaat nyata temuan

dan produk inovatif dapat dirasakan masyarakat.”

KIN mempunyai tugas untuk: (a) membantu Presiden dalam rangka memperkuat sistem inovasi

nasional dan mengembangkan budaya inovasi nasional; (b) memberi masukan dan

pertimbangan mengenai prioritas program dan rencana aksi, termasuk alokasi pembiayaan dan

fasilitas untuk penguatan sistem inovasi nasional yang menghasilkan produk produk inovatif,

dan (c) melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan dan program

penguatan SINas. Menurut Perpres No. 23 Tahun 2010, penguatan SINas diutamakan

mencakup inovasi-inovasi di bidang ketahanan pangan, ketahanan energi, bioteknologi, industri

manufaktur, industriinfrastruktur, transportasi dan industri pertahanan, teknologi pemrosesan

pertanian dan pemrosesan ikan laut dalam, manajemen bencana alam, serta inovasi lainnya

yang berbasis ilmu pengetahuan (knowledge).

Page 62: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

62

3.1.9. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2005 tentang Dewan Riset Nasional (DRN)

Peraturan Presiden tentang DRN mengatur tentang pelaksanaan tugas DRN dalam membantu

Menteri dalam merumuskan arah, prioritas utama maupun kerangka kebijakan di bidang

penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam

melaksanakan tugasnya itu, DRN memperhatikan pemikiran dan pandangan dari pihak-pihak

yang berkepentingan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sesuai Perpres No. 16 Tahun 2005, tugas utama DRN adalah :

a. membantu Menteri dalam merumuskan arah dan prioritas utama pembangunan ilmu

pengetahuan dan teknologi;

b. memberikan berbagai pertimbangan kepada Menristek dalam penyusunan kebijakan

strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi.

3.1.10. Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pengkoordinasian Perumusan dan

Pelaksanaan Kebijaksanaan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi

Instruksi Presiden dalam memberi arahan perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan strategis

pembangunan nasional iptek (Jakstranas Iptek). Perumusan Jakstranas Iptek dilakukan oleh

Menteri Negara Riset dan Teknologi secara terkoordinasi dengan instansi-instansi terkait.

Koordinasi dilakukan terutama untuk menentukan dan melaksanakan arah kebijakan, prioritas

utama dan kerangka kebijakan pemerintah dalam pembangunan iptek secara nasional.

4. Bidang Pendidikan.

Dalam konteks penguatan inovasi, jenjang pendidikan yang paling relevan adalah pada strata 2

dan 3 untuk dukungan kemampuan individual dan kapasitas pengembangan teknologi nasional;

sedangkan pendidikan menengah kejuruan23, program diploma, dan strata 1 lebih dilihat

relevansinya sebagai elemen pendukung penguatan kapasitas adopsi dari sisi pengguna

teknologi, yakni sebagai tenaga kerja terampil untuk aplikasi teknologi di perusahaan industri,

atau usaha mandiri skala kecil dan menengah.

23

Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. Lebih spesifik berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang pendidikan menengah, menjelaskan bahwa pendidikan kejuruan mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk pelaksanaan jenis pekerjaan tertentu.

Tahun Nilai Ekspor (juta USD)

Tahun Nilai Ekspor (juta USD)

1989 79 1999 2.672

1990 112 2000 5.698

1991 197 2001 4.403

1992 465 2002 5.070

1993 850 2003 4.580

Page 63: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

63

Tabel 2. Persentase ekspor Indonesia dengan kandungan teknologi tinggi untuk periode 1989-2008

Sumber : The World Bank, diunduh dari tradingeconomics.com (18 Januari 2011)

Secara umum program pendidikan Indonesia belum dirancang agar dapat optimal mendukung

tumbuh kembang inovasi. Sebagai contoh, riset tugas akhir program strata 2 dan 3 (thesis dan

disertasi) masih dominan diposisikan hanya sebagai indikator penguasaan bidang ilmu yang

sesuai dengan program studi yang diikuti; sedangkan upaya untuk meningkatkan relevansinya

dengan realita di bidang ilmu yang bersangkutan masih dirasakan minimal. Dengan kata lain,

topik riset masih ditentukan oleh keinginan mahasiswa dan arahan pembimbing/promotornya,

belum didorong oleh kesadaran agar hasil riset tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat

luas, industri, ataupun kebutuhan pemerintah. Beberapa pengecualian tentu ada, tetapi arus

utamanya harus diakui masih murni berorientasi akademik.

Idealnya, kegiatan tugas akhir yang hanya berorientasi akademik hanya diimplementasikan

sampai pada jenjang strata 1 atau program diploma, karena lulusan pada jenjang ini memang

masih lebih diposisikan sebagai langkah penyiapan tenaga berpengetahuan dasar yang cukup

dan/atau mempunyai ketrampilan di bidangnya masing-masing. Lulusan strata 1 kemudian

dapat memilih alur karirnya untuk berkiprah: [1] memperkuat kapasitas adopsi teknologi

lembaga pengguna; atau [2] meningkatkan kemampuannya sebagai pengembang teknologi.

Pendidikan program diploma dan sekolah menengah kejuruan sejak awal dirancang untuk

menyiapkan tenaga terdidik dan terampil yang siap bekerja.

PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pada Pasal 3 butir

b menyatakan bahwa: “Pengelolaan pendidikan ditujukan untuk menjamin mutu dan daya

saing pendidikan serta relevansinya dengan kebutuhan dan/atau kondisi masyarakat”.

Peraturan ini jelas mengenali peran penting relevansi, disamping mutu pendidikan. Namun

dalam prakteknya, unsur relevansi ini masih belum secara kentara menjadi ruh orientasi

pengelolaan pendidikan di Indonesia. Akibatnya banyak lulusan pendidikan tinggi yang masih

belum mendapatkan pekerjaan tetap24 dan cukup banyak pula yang berkerja di sektor yang

tidak secara langsung terkait dengan latar belakang pendidikan formalnya.

Konsepsi sistem inovasi nasional yang sangat baik sekalipun hanya akan bisa

diimplementasikan dengan baik jika didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas

dengan keahlian/keterampilan yang sesuai kebutuhan. Sumberdaya manusia yang dimaksud

tentunya hanya akan dapat tersedia jika sistem pendidikan nasional juga dirancang selaras

dengan konsepsi sistem inovasi nasional.

24

Sekitar 1 juta orang lulusan perguruan tinggi yang saat ini masih menganggur.

1994 1.340 2004 5.808

1995 1.658 2005 6.571

1996 2.250 2006 5.900

1997 2.561 2007 5.225

1998 2.188 2008 5.625

Page 64: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

64

4.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Pendidikan.

4.1.1. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional

Terkait dengan kegiatan penelitian, UU No. 20 Tahun 2003 yang antara lain menyebutkan: (1)

bahwa perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan

pengabdian kepada masyarakat, dan (2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola

sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan

pengabdian kepada masyarakat.

Kewajiban yang pertama dikenal sebagai ‘Tri Dharma Perguruan Tinggi’. Pelaksanaan penelitian

terutama dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan pengembangan ilmu pengetahuan dan

proses belajar mengajar. Olehkarena itu perkembangan iptek juga merupakan salah satu

materi kurikulum. Menurut Pasal 36 UU No. 20 Tahun 2003, kurikulum disusun sesuai dengan

jenjang pendidikan dengan memperhatikan:

a. peningkatan iman dan takwa;

b. peningkatan akhlak mulia;

c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;

d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;

e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;

f. tuntutan dunia kerja;

g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

h. agama;

i. dinamika perkembangan global; dan

j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

4.1.2. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan

Pasal 3 butir b menyatakan bahwa: “Pengelolaan pendidikan ditujukan untuk menjamin mutu

dan daya saing pendidikan serta relevansinya dengan kebutuhan dan/atau kondisi

masyarakat”. Peraturan ini jelas mengenali peran penting relevansi, di samping mutu

pendidikan. Namun dalam prakteknya, unsur relevansi ini masih belum secara kentara menjadi

ruh orientasi pengelolaan pendidikan di Indonesia. Akibatnya banyak lulusan pendidikan tinggi

yang masih belum mendapatkan pekerjaan tetap25 dan cukup banyak pula yang bekerja di

sektor yang tidak secara langsung terkait dengan latar belakang pendidikan formalnya.

25

Sekitar 1 juta orang lulusan perguruan tinggi yang saat ini masih menganggur.

Page 65: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

65

Konsepsi sistem inovasi yang sangat baik sekalipun hanya akan berhasil apabila dapat

diimplementasikan dengan baik jika didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas

dengan keahlian/keterampilan yang sesuai kebutuhan. Sumberdaya manusia yang dimaksud

tentunya hanya akan dapat tersedia jika sistem pendidikan nasional juga dirancang selaras

dengan konsepsi penguatan inovasi nasional.

4.1.3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen

Menurut PP No. 37 Tahun 2009, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas

utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,

teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Berdasarkan Pasal 26, dosen memperoleh kesempatan meningkatkan kompetensi, studi serta

kesempatan melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Kesempatan untuk

melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat mencakup kesempatan untuk

memperoleh dan/atau memanfaatkan sumber daya pendidikan yang dimiliki oleh Pemerintah,

pemerintah daerah, penyelenggara pendidikan tinggi atau satuan pendidikan tinggi, dan

masyarakat. Pasal 32, menyebutkan bahwa dosen dapat memperoleh cuti untuk studi dan

penelitian atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan/atau

olahraga.

5. Bidang Ketenagakerjaan.

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan pengertian tentang tenaga kerja,

yakni mencakup setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang

dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (Pasal 1

butir 2). Apabila dikaitkan dengan tujuan pembangunan SINas sendiri, yakni untuk mewujudkan

sistem pengelolaan ilmu pengetahuan dan teknologi agar lebih efektif dan efisien dalam

menghasilkan produk barang dan/atau jasa sesuai kebutuhan pengguna (masyarakat, industri,

atau pemerintah), maka terlihat jelas benang merah keterkaitan antara kebijakan

ketenagakerjaan dengan upaya penguatan inovasi nasional.

Lebih lanjut dinyatakan pada Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003, bahwa pembangunan

ketenagakerjaan bertujuan: [a] memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara

optimal dan manusiawi; [b] mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan

tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; [c]

memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan [d]

meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Butir b Pasal 4 di atas memberikan

penegasan bahwa salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah untuk penyediaan

tenaga kerja yang sesuai kebutuhan. Nuansa ini sangat sejalan dengan konsepsi penguatan

inovasi nasional, dimana kebutuhan (demand) yang menentukan orientasi pembangunan dan

pengembangannya.

Pembangunan ketenagakerjaan sesuai dengan sifatnya akan lebih berada pada posisi sebagai

pemasok kebutuhan tenaga kerja. Oleh sebab itu, hubungan yang sinergis dan serasi harus

Page 66: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

66

dimulai dengan mewujudkan penguatan inovasi yang lebih mantab, dengan tujuan dan

kebutuhan yang jelas. Inovasi yang dibangun berbasis pada potensi dan kebutuhan nasional

bermakna telah mempertimbangkan kondisi ketenagakerjaan Indonesia, sehingga dengan

sendirinya diawali dengan kesenjangan (gap) yang minimal antara kebutuhan penguatan

inovasi nasional dengan ketersediaan tenaga kerja domestik. Selanjutnya, secara bertahap

dilakukan upaya meningkatkan produktivitas penguatan inovasi yang dalam prosesnya tentu

mengharuskan adanya peningkatan mutu dan relevansi keahlian tenaga kerja.

Skenario untuk membangun keterpaduan antara pembangunan SINas dengan penyiapan

tenaga kerja pendukungnya saat ini belum diformulasikan. Lebih jauh, penyiapan tenaga kerja

juga tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, sangat jelas

bahwa upaya mewujudkan SINas yang produktif dan efektif dalam memajukan perekonomian

nasional membutuhkan keterpaduan dengan kebijakan ketenagakerjaan dan sekaligus juga

dengan kebijakan pendidikan nasional (Gambar 5).

Gambar 5. Penyerasian Sistem Pendidikan, ketenagakerjaan, SINas, dan perekonomian nasional

Tenaga kerja berperan sekaligus sebagai subjek dan objek pembangunan. Kemajuan suatu

bangsa dan negara sangat tergantung dari peran mana yang lebih besar porsinya yang

diperankan oleh tenaga kerja secara kolektif. Jika lebih besar perannya sebagai subjek

pembangunan yang secara aktif berkontribusi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing,

maka bangsa dan negara tersebut akan berpeluang lebih besar untuk lebih maju; sebaliknya

jika lebih banyak perannya hanya sebagai objek pembangunan, maka akan sangat berat beban

yang diemban untuk memajukan bangsa dan negara tersebut.

Kinerja sektor pendidikan tentu akan menjadi tumpuan utama dalam memperbesar porsi

tenaga kerja yang menjadi subjek pembangunan. Dengan demikian maka keberhasilan

pembangunan pendidikan harusnya tidak hanya dievaluasi berdasarkan jumlah atau persentase

penduduk yang berpartisipasi pada setiap jenjang pendidikan atau persentase populasi yang

menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu; tetapi perlu juga didasarkan atas persentase

jumlah lulusan yang berperan sebagai subjek pembangunan atau sebagai tenaga kerja

produktif yang berkontribusi terhadap keberhasilan pembangunan nasional di segala sektor.

Kinerja Perekonomian

Nasional

Kesejahteraan rakyat

dan kemandirian bangsa

Produktivitas Inovasi

Nasional

Kontribusi teknologi

terhadap perekonomian

nasional

Kebijakan ketenagakerjaan

SDM pengembang,

pengguna & intermediasi

Sistem Pendidikan

Nasional

Lulusan bermutu dan

relevan kebutuhan

lapangan kerja

Page 67: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

67

Selanjutnya, dalam kerangka penguatan inovasi, maka keberhasilan pembangunan sektor

ketenagakerjaan perlu dievaluasi berdasarkan peran aktif dan produktifnya sebagai

pengembang teknologi, pengguna teknologi dalam sistem produksi, dan intermediasi; bukan

hanya sebagai konsumen barang dan/atau jasa yang dihasilkan dari hasil aplikasi teknologi

semata.

Posisi tenaga kerja Indonesia saat ini masih belum terlalu membanggakan, karena masih lebih

banyak yang berperan dalam proses produksi barang atau jasa, tetapi untuk kegiatan-kegiatan

ekonomi dengan muatan teknologi yang minimal. Kenyataan ini sebetulnya bukan hanya

menjadi cerminan dari kualitas tenaga kerja yang masih rendah, tetapi juga karena industri

dengan muatan teknologi tinggi masih belum berkembang di Indonesia. Kegiatan ekonomi

masih dominan pada fase eksploitasi sumberdaya alam atau produksi bahan mentah, belum

banyak kontribusi industri hilir terhadap perekonomian nasional.

5.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Ketenagakerjaan.

5.1.1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

UU No. 13 Tahun 2003 antara lain mengatur mengenai peranan dan kedudukan tenaga kerja,

pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja. Kualitas tenaga

kerja ini tidak terlepas dari peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan

perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Dalam Pasal 3 disebutkan pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas

keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.

Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :

a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;

b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai

dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;

c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan

d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

5.1.2. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 99

Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS

Tenaga ahli terdiri dari peneliti, perekayasa dan dosen pemerintah adalah PNS. Tenaga ahli

sebagai PNS tunduk kepada UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, PP No. 12/

Tahun 2002 jo. PP No. 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS, dan Keputusan Kepala

BKN No. 12 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2002 tentang

Kenaikan Pangkat PNS, yang berkaitan dengan ketentuan PNS dipekerjakan atau

diperbantukankan, dan hak mendapatkan tunjangan.

Pasal 6 hruf c PP No. 99 Tahun 2000 menyebutkan “PNS yg dipekerjakan atau diperbantukan

Page 68: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

68

berdasarkan ketentuan Pasal ini adalah PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan secara

penuh pada proyek pemerintah, organisasi profesi, negara sahabat atau badan internasional,

dan badan usaha yang ditentukan”.

Namun ketentuan PP No. 99 Tahun 2000 tidak berlaku bagi keperluan technical assistance

peneliti dan perekayasa pemerintah ke badan-badan usaha swasta. Peneliti, perekayasa dan

dosen tidak diperkenankan bekerja dan diperbantukan di badan-badan usaha. Menurut pihak

BKN dan Menpan, ketentuan mengenai ‘badan usaha yang ditentukan’ ini hanya ditujukan bagi

keperluan perbantuan guru-guru pemerintah yang mengajar ke sekolah-sekolah swasta.

Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2002 jo. Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2000 tentang

Kenaikan Pangkat PNS ini sangat tidak sejalan dengan upaya pemerintah dalam mendorong

inovasi dan investasi R&D swasta nasional.

5.1.3. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen,

Tunjangan Khusus Guru dan Dosen Serta Tunjangan Kehormatan Profesor

Berdasarkan Pasal 10 , 11 dan 12 tunjangan khusus diberikan bagi guru dan dosen PNS yang

ditugaskan oleh pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus, yang besarnya 1 (satu)

kali gaji pokok pegawai negeri sipil yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Sedangkan tunjangan khusus bagi guru dan dosen bukan PNS diberikan

sesuai dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik bagi guru dan dosen

PNS.

Sedangkan tunjangan kehormatan, sebagaimana Pasal 15 dan 16 diberikan kepada dosen yang

memiliki jabatan akademik profesor dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan

sebesar 2 (dua) kali gaji PNS yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Tunjangan kehormatan bagi profesor bukan PNS diberikan sesuai

dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik yang berlaku bagi profesor

PNS.

5.1.4. PP No. 31 Tahun 2007 tentang Tunjangan Jabatan Perekayasa dan Teknisi Penelitian

dan Perekayasaan

PNS yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Perekayasa dan

Teknisi Penelitian dan Perekayasaan diberikan tunjangan jabatan fungsional sesuai dengan

beban kerja dan tanggung jawab pekerjaannya.

Menurut Peraturan Bersama Menristek dan Kepala BKN No. 13/M/PB/VIII/2008 dan No. 22

Tahun 2008 diatur hal-hal yang berkaitan dengan usulan penilaian dan penetapan angka kredit,

tim penilai, kenaikan jabatan/pangkat, pengangkatan, pembebasan sementara, pemberhentian

dalam dan dari jabatan, penyesuaian/inpassing dalam jabatan dan angka kredit.

Untuk menjamin adanya persamaan persepsi, pola pikir dan tindakan dalam melaksanakan

pembinaan perekayasa, BPPT ditunjuk sebagai instansi pembina jabatan perekayasa. BPPT

selaku pembina jabatan perekayasa, antara lain melakukan :

a. menetapkan 11 standar kompetensi jabatan fungsional perekayasa;

Page 69: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

69

b. menetapkan pedoman formasi jabatan fungsional perekayasa;

c. menyusun kurikulum pendidikan dan pelatihan jabatan fungsional perekayasa;

d. melakukan pengkajian dan pengusulan tunjangan jabatan fungsional perekayasa;

e. mensosialisasikan jabatan fungsional perekayasa serta petunjuk pelaksanaannya;

f. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan fungsional/teknis fungsional perekayasa;

g. mengembangkan sistem informasi jabatan fungsional perekayasa;

h. memfasilitasi pelaksanaan jabatan fungsional perekayasa;

i. memfasilitasi pembentukan organisasi profesi perekayasa;

j. memfasilitasi penyusunan dan penetapan etika profesi dan kode etik perekayasa;

k. melakukan monitoring dan evaluasi Jabatan Fungsional Perekayasaan

6. Bidang Infrastruktur Sosial.

Infrastruktur sosial pada prinsipnya mencakup semua fasilitas yang dapat meningkatkan

kapasitas dan produktivitas masyarakat. Oleh sebab itu, sering juga disebut sebagai

infrastruktur komunitas (community infrastructure). Dengan demikian maka infrastruktur sosial

tidak hanya mencakup ‘soft infrastructure’ (seperti dukungan untuk pengembangan komunitas,

keluarga, dan individu; layanan informasi; pelatihan ketrampilan; perlindungan hukum;

keamanan publik; dan layanan darurat); tetapi juga mencakup ‘hard infrastructure’ (seperti

fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, fasilitas untuk kegiatan seni dan budaya, fasilitas

olahraga dan rekreasi, perumahan sehat, fasilitas lingkungan, fasilitas ibadah, dan tranportasi

publik).

Akibat buruk dari kurangnya perhatian dalam pembangunan infrastruktur sosial telah semakin

dirasakan oleh negara-negara maju, misalnya berupa gangguan keamanan lingkungan atau

mutu sumberdaya manusia yang rendah yang kemudian menjadi beban pembangunan.

Kesenjangan sosial yang terjadi ternyata sangat mahal biaya remediasinya. Menyadari akan hal

ini maka beberapa negara maju mulai secara sungguh-sungguh berupaya memperbaikinya.

Misalnya Inggris menganggarkan hampir 3 milyar pound untuk pembenahan infrastruktur

sosialnya. Pemerintah Australia juga mengambil inisiatif untuk membenahi infrastruktur sosial

ini (Casey, 2005).

Indonesia sebagai negara berkembang kelihatannya belum menunjukkan perhatian yang baik

terhadap infrastruktur sosial ini pada sebagian besar wilayah perdesaan dan lingkungan kumuh

perkotaan. Akibatnya kesenjangan sosial-ekonomi antara perdesaan dan perkotaan semakin

melebar. Kenyataan ini telah secara nyata menyebabkan laju urbanisasi yang semakin sulit

dibendung. Kesenjangan antara komunitas kaya dan miskin di perkotaan juga terasa semakin

melebar. Kondisi ini menyebabkan antara lain semakin meningkatnya frekuensi kerusuhan di

Page 70: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

70

perkotaan. Walaupun banyak yang mengkaitkan fenomena kerusuhan ini sebagai dampak dari

demokratisasi di Indonesia.

Kesenjangan sosial-ekonomi jelas tidak ‘compatible’ dengan upaya membangun inovasi

nasional yang produktif dan berkelanjutan. Oleh sebab itu, dalam skenario besar

pengembangan sistem inovasi nasional Indonesia perlu disediakan ruang untuk pembangunan

infrastruktur sosial.

Beberapa peraturan perundang-uindangan terkait dengan pengembangan infrastruktur sosial

sebagaimana di bawah ini.

6.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Infrastruktur Sosial.

6.1.1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Kereta Api

Menurut UU No. 23 Tahun 2007, pemerintah mendorong kemampuan di dalam negeri rancang

bangun dan rekayasa perkeretaapian nasional. Kegiatan ini antara lain mengedepankan

lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang dikenal sebagai penghasil teknologi. Hal tersebut

di ataur dalam Pasal 118 ayat (1) dan (2).

Pasal 118 (1) Untuk pengembangan perkeretaapian dilakukan rancang bangun dan rekayasa perkereta

apian. (2) Rancang bangun dan rekayasa perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh: a. pemerintah; b. pemerintah daerah: c. badan usaha; d. lembaga penelitian; atau e. perguruan tinggi.

6.1.2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

Sebagaimana dengan UU No. 23 Tahun 2007, melalui UU No. 5 Tahun 1984 pemerintah juga

berupaya mendorong pengembangan rancang bangun dan perekayasaan industri. Upaya ini

memberikan kesempatan bagi peneliti dan perekayasa di berbagai lembaga penelitian dan

pengembangan maupun perguruan tinggi dalam peningkatan kemampuan industri nasional.

UU No. 5 Tahun 1984 menyebutkan pembedaan teknologi industri dan teknologi tepat guna.

Teknologi industri adalah cara pada proses pengolahan yang diterapkan dalam industri.

Teknologi yang tepat guna adalah teknologi yang tepat dan berguna bagi suatu proses untuk

menghasilkan nilai tambah. Sedangkan barang jadi adalah barang hasil industri yang sudah siap

pakai untuk konsumsi akhir ataupun siap pakai sebagai alat produksi.

Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1984 menyatakan bahwa pengaturan dan pembinaan bidang usaha

industri dilakukan dengan memperhatikan “penyebaran dan pemerataan pembangunan

industri dengan memanfaatkan sumber daya alam dan manusia dengan mempergunakan

proses industri dan teknologi yang tepat guna untuk dapat tumbuh dan berkembang atas

kemampuan dan kekuatan sendiri”.

Page 71: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

71

Keterkaitan dengan teknologi, di Pasal 16, Bagian VI UU No. 5 Tahun 1984, ayat (1) disebutkan

“Dalam menjalankan dan/atau mengembangkan bidang usaha industri, perusahaan industri

menggunakan dan menciptakan teknologi industri yang tepat guna dengan memanfaatkan

perangkat yang tersedia dan telah dikembangkan di dalam negeri. Pada ayat (2) Apabila

perangkat teknologi industri yang diperlukan tidak tersedia atau tidak cukup tersedia di dalam

negeri, Pemerintah membantu pemilihan perangkat teknologi industri dari luar negeri yang

diperlukan dan mengatur pengalihannya ke dalam negeri.Dan pada ayat (3) Pemilihan dan

pengalihan teknologi industri dari luar negeri yang bersifat strategis dan diperlukan bagi

pengembangan industri di dalam negeri, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Page 72: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

72

Bab 4 Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis

Pembentukan peraturan perundang-undangan umumnya telah memperhatikan proses

pemberlakuannya. Kajian mengenai persyaratan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang

baik selalu berkembang agar penerapan peraturan perundang-undangan sesuai dengan tujuannya.

Secara garis besar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan memperhatikan dua hal, yaitu

pertama adanya politik hukum yang jelas, merupakan kebijakan pemerintah mengenai arah mana

hukum tersebut diarahkan. Kedua, adanya kesadaran hukum masyarakat, yaitu konsepsi abstrak di

dalam diri manusia tentang keserasian antara ketertiban dan ketenteraman atau kondisi yang

sepantasnya diinginkan. Hukum yang baik adalah apabila terdapat keserasian antara politik hukum yang

dibuat oleh pemerintah dengan kesadaran hukum masyarakat.

Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penyusunan

peraturan perundang-undangan setidaknya harus memenuhi tiga syarat, yaitu syarat yuridis, sosiologis,

dan filosofis. Syarat yuridis, menurut Hans Kelsen, apabila pembentukannya berdasarkan pada kaidah

atau peraturan yang lebih tinggi (teori “Stufenbau”nya dari Kelsen). Menurut Kelsen, efektivitas dari

peraturan perundang-undangan harus dibedakan dengan berlakunya suatu peraturan perundang-

undangan, karena efektivitas hukum merupakan fakta. Sedangkan Zevenbergen menyatakan, hukum

berlaku secara yuridis, apabila kaidah hukum terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan. Logemann

berpendapat, kaidah hukum mengikat, apabila menunjukan hubungan keharusan antara suatu kondisi

dan akibatnya. Syarat kedua adalah syarat sosiologis, yang menekankan pada efektivitas hukum yang

akan dibuat. Menurut teori kekuasaan, hukum berlaku secara sosiologis karena adanya pemaksaaan

berlakunya oleh penguasa; terlepas apakah masyarakat menerima atau menolaknya. Hal itu diperkuat

dengan teori pengakuan yang menyatakan bahwa berlakunya hukum ataupun peraturan perundang-

undangan didasarkan atas penerimaan atau pengakuan atas peraturan tersebut. Syarat filosofis apabila

peraturan perundang-undangan yang diterapkan sesuai dengan cita-cita hukum, atau sesuai dengan

nilai positif yang tertinggi, misal cita-cita hukum bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam

pembukaan UUD 1945.

Pembentukan peraturan perundang-undangan harus memenuhi ketiga syarat tersebut. Apabila

peraturan perundang-undangan hanya menekankan pada pemenuhan persyaratan yuridisnya

saja, maka ada kemungkinan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan hanya

merupakan kumpulan kaidah yang mati. Demikian halnya apabila peraturan perundang-

undangan hanya menekankan pada aspek sosiologis-nya saja, lebih menekankan teori

kekuasaan, maka peraturan perundang-undangan yang dibuat cenderung menjadi sekumpulan

aturan-aturan pemaksa. Apabila peraturan tersebut hanya berlaku secara filosofis, maka

peraturan tersebut hanya merupakan cita-cita saja. Dengan demikian apabila pembentukan

peraturan perundang-undangan diartikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat

atau pencapaian tujuan-tujuan tertentu, maka penyusunan suatu peraturan perundang-

undangan harus memenuhi ketiga syarat tersebut.

Page 73: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

73

Di samping syarat–syarat tersebut, Logemann berpendapat, lingkup berlakunya suatu

peraturan perundangan-undangan agar ditentukan pula. Lingkup ini dibedakan menjadi empat,

yaitu wilayah, pribadi, waktu, dan masalah tertentu. Lingkup wilayah menyangkut ruang atau

wilayah yang akan dibatasi melalui pembentukan peraturan perundang-undangan. Lingkup

pribadi menunjukan siapa atau apa yang akan diatur peranannya melalui peraturan perundang-

undangan. Lingkup waktu berhubungan dengan jangka waktu tertentu yang diatur oleh suatu

peraturan perundang-undangan. Terakhir adalah lingkup masalah yang bersangkutan dengan

permasalahan apa saja yang akan menjadi obyek suatu peraturan perundang-undangan.

4.1. Aspek Yuridis

Amandemen keempat UUD 1945 yang ditetapkan oleh MPR pada tanggal 10 Agustus 2002

merupakan landasan yuridis bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada.

Amandemen ini belum menjadi pertimbangan yuridis saat penetapan UU No. 18 Tahun 2002

tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi yang disahkan pada tanggal 29 Juli 2002. Amandemen keempat UUD 1945, secara

jelas telah mengamanahkan pemajuan iptek. Hal itu dapat ditemui di dalam Bab XIII,

Pendidikan dan Kebudayaan. Secara jelas ketentuan ini tercantum dalam Pasal 31, yang

selengkapnya berbunyi:

Pasal 31

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan

keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur

dengan undang-undang.

(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan

belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan

penyelenggaraan pendidikan nasional.

(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama

dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Menurut Amandemen keempat UUD 1945 ini, kemajuan iptek secara tegas ditetapkan, yaitu

agar diarahkan untuk mendorong kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring, 2008) diartikan sebagai 1 kemajuan

(kecerdasan, kebudayaan) lahir batin: bangsa-bangsa di dunia ini tidak sama tingkat ~ nya; 2

hal yg menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Dapat dikatakan

manusia dan peradaban adalah hal yang tidak dapat dipisahkan karena manusia itu memiliki

cipta, rasa dan karsa. Perkembangan cipta, rasa dan karsa ini menimbulkan perkembangan

pengetahuan. Kemajuan kebudayaan ini sering dikatakan sebagai peradaban. Sebagai contoh :

dahulu manusia menanam karet dan menunggu hasil sesuai kemampuan alam untuk

memproduksi, tetapi saat ini dengan adanya perkembangan pengetahuan, aplikasi pupuk, dan

Page 74: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

74

teknik pemeliharaan menjadikan pohon karet menghasilkan lebih banyak. Demikian halnya

dengan penggunaan perangkat otomatis, teknologi informasi dan mikroelektronika, telah

membantu manusia dalam berbagai kegiatannya, maupun pengembangan ilmu pengetahuan.

Menurut UU No. 18 Tahun 2002, ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali,

disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu yang

dilandasi oleh metodologi ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif, kualitatif, maupun eksploratif

untuk menerangkan pembuktian gejala alam dan/atau gejala kemasyarakatan tertentu.

Sedangkan teknologi dalam UU No. 18 Tahun 2002 diartikan sebagai cara atau metode serta

proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu

pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan

peningkatan mutu kehidupan manusia. Menurut Jaques Ellul (1967: 1967 xxv), teknologi adalah

”keseluruhan metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap

bidang kegiatan manusia.” Pengertian teknologi secara umum menurut Ellul (1967) adalah:

Proses yang meningkatkan nilai tambah.

Produk yang digunakan dan dihasilkan untuk memudahkan dan meningkatkan kinerja.

Struktur atau sistem di mana proses dan produk itu dikembangkan dan digunakan.

Dapat dikatakan teknologi merupakan aplikasi dari pengetahuan sebagai respons atas tuntutan

manusia akan kehidupan yang lebih baik. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara umum

adalah karya manusia, dan tanpa adanya manusia kedua karya tersebut tidak akan ada.

Menurut UU No. 18 Tahun 2002 berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi berpotensi

memberikan dukungan yang besar bagi kesejahteraan masyarakat, kemajuan bangsa,

keamanan dan ketahanan bagi perlindungan negara, pelestarian fungsi lingkungan hidup,

pelestarian nilai luhur budaya bangsa, serta peningkatan kehidupan kemanusiaan. Secara

umum iptek berkembang melalui kreativitas berbagai penemuan (discovery), maupun

penciptaan (invention), yang selanjutnya melahirkan berbagai bentuk inovasi dan rekayasa.

Sedangkan kegunaan iptek bagi manusia juga ditentukan oleh nilai, moral, norma dan hukum

atau peraturan perundang-undangan yang mendasarinya.

Dengan demikian dapat dikatakan dalam perkembangan peradaban manusia, iptek mempunyai

peran sentral. Adanya kemajuan penguasaan dan pemanfaatan iptek akan berimbas pada

peningkatan daya saing dan akan mendorong kemajuan bangsa. Berbagai inovasi diciptakan

untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia, memberi kemudahan dalam

kehidupan manusia. Dengan kata lain, apabila iptek terus berkembang, kesejahteraan umat

manusia juga meningkat. Berbagai penemuan di bidang kesehatan, misalnya, merupakan hasil

dari penguasaan dan pemanfaatan iptek sehingga berbagai penyakit telah dapat disembuhkan.

Apabila iptek berkembang tetapi kesejahteraan umat manusia tidak berkembang, atau bahkan

menurun, maka dapat dikatakan penguasaan dan pemanfaatan iptek tidak berfungsi dengan

baik.

Page 75: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

75

4.2. Aspek Sosiologis

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, indikator perkembangan iptek antara lain adalah

peningkatan berbagai penemuan (discovery), p e n c i p t a a n ( invention), yang selanjutnya

menumbuhkan berbagai bentuk inovasi dan rekayasa. Meskipun inovasi sering dicampur-

aduk pengertiannya dengan invensi, namun perbedaan yang menonjol adalah inovasi lebih

melihat dari perspektif kemanfaatan (ekonomi) dari proses dan produk baru yang dihasilkan

tersebut. Bahkan secara tegas World Bank (2010), menekankan inovasi harus didiseminasikan

(oleh penghasil) dan dipakai (oleh pengguna), atau dengan kata lain inovasi harus bermanfaat

(terbukti karena dipakai oleh pengguna). Pengguna dalam konteks ini adalah industri/dunia

usaha, masyarakat awam, atau pemerintah.26

Secara sosiologis penekanan ketentuan atau aturan-aturan yang memaksa (coercion) dalam

pengembangan iptek kurang tepat. Penekanan pada kreatifitas, kebebasan berpikir menjadikan

penggunaan pemaksaan tidak relevan. Dalam UU No. 18 Tahun 2002 penggunaan aturan

pemaksa harus disesuaikan dengan asas undang-undang ini yang menekankan pada asas

kebenaran ilmiah, asas kebebasan berpikir, asas kebebasan akademis, serta tanggung jawab

akademis. Sejalan dengan semangat ini, penggunaan sanksi dalam UU No. 18 Tahun 2002,

hanya terlihat pada kegiatan litbangrap iptek yang berisiko tinggi dan berbahaya. Menurut UU

No. 18 Tahun 2002 dimungkinkan penggunaan sanksi pidana berupa denda paling banyak Rp.

50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan/atau penjara paling lama 6 (enam) bulan.

Ketiga persyaratan di atas dirumuskan dan tercakup dalam penyusunan peraturan

perundangan-undangan. Demikian halnya dengan upaya penguatan inovasi nasional melalui

peraturan perundang-undangan. Walaupun dirasakan telah terjadi kemajuan dalam

pemahaman tentang konsepsi dasar sistem inovasi dan telah terjadi perkembangan

metodologis untuk analisis sistem inovasi, namun sampai saat ini masih belum berhasil

dirumuskan kebijakan dan peraturan perundang-undangan sistem inovasi yang pas untuk

kondisi Indonesia. Berbagai jenis instrumen kebijakan yang pas untuk digunakan, serta pada

tingkat kewilayahan mana sistem inovasi tersebut tepat untuk diimplementasikan, mengingat

kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan potensi sumberdaya alam Indonesia yang sangat

majemuk.

Saat ini, telaah tentang sistem inovasi sangat jarang berujung pada preskripsi kebijakan sistem

inovasi yang konkrit, sistematis, dan detil. Umumnya hanya menghasilkan atau

merekomendasikan prinsip dasar dan/atau taksonomi kebijakan sebagai bentuk intervensi yang

dibutuhkan dari pihak pemerintah. Untuk dapat efektif, maka kebijakan harus mengandung

muatan pengaturan dan tidak hanya memberikan pemahaman umum.

26

Bandingkan dengan pengertian inovasi yang digunakan pada UU No. 18/2002 pada Pasal 1 butir 9 yang saat ini masih berlaku: “Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi”. Pengertian inovasi versi UU No. 18/2002 ini dirasakan sudah tidak pas lagi dengan konteks saat ini.

Page 76: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

76

Teori sistem inovasi yang berkembang di Indonesia banyak yang diadopsi secara langsung dari

sistem inovasi yang dianut oleh negara-negara maju, yang kondisinya dalam berbagai dimensi

sangat berbeda dengan Indonesia. Teori inovasi yang tidak mengakar pada realita Indonesia

akan sangat berisiko jika dijadikan pijakan dalam merumuskan kebijakan sistem inovasi

Indonesia. Kebijakan yang tak kentara warna Indonesianya, walaupun didukung dengan

regulasi yang kuat, tetap saja sering tidak efektif dalam implementasinya.

Karakteristik inovasi yang khas Indonesia perlu diformulasikan dengan tepat, termasuk: [1]

orientasi arah dan prioritas teknologi yang dikembangkan; [2] skenario interaksi yang intensif

dan produktif antara lembaga/aktor inovasi; [3] relevansi dan produktivitas lembaga

pengembang teknologi; [4] kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi, dan [5]

kontribusinya terhadap pembangunan nasional.

4.2.1. Reorientasi Arah dan Prioritas Riset

Inovasi nasional di Indonesia wajib berbasis pada potensi sumberdaya nasional, baik

sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, serta kemampuan pembiayaan dan

infrastruktur pembangunan lainya yang telah dimiliki atau yang secara rasional akan dapat

dikelola. Luasnya wilayah nusantara dan keragaman potensi sumberdaya merupakan alasan

yang rasional untuk membangun sistem inovasi yang lebih operasional pada wilayah cakupan

yang lebih kecil (sekarang digunakan terminologi Sistem Inovasi Daerah, atau disingkat SIDa)

atau sistem inovasi yang secara spesifik fokus pada potensi ekonomi tertentu, baik itu terfokus

pada komoditas tertentu yang bernilai ekonomi tinggi ataupun pada potensi sumberdaya lahan

atau laut dengan karakteristek yang khas.

MP3EI juga menganut pembangunan ekonomi berbasis wilayah yang membagi NKRI menjadi

enam koridor dan sekaligus juga mengangkat komoditas tertentu sebagai fokus pembangunan

pada masing-masing dari enam koridor ekonomi tersebut. Pengembangan sistem inovasi tentu

perlu diserasikan dengan realita strategi pembangunan bidang perekonomian tersebut.

Namun demikian, cakupan wilayah dari suatu sistem inovasi sebaiknya tidak berbasis pada

satuan wilayah administrasi pemerintahan (provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, desa), tetapi

sebaiknya lebih berbasis pada satuan kawasan pembangunan perekonomian, misalnya pada

hamparan lahan dengan karateristik agroekosistem tertentu yang menopang pembangunan

ekonomi berbasis pertanian, atau wilayah laut dengan karakteristik marine ecology yang khas,

atau dapat juga untuk satuan kawasan dengan karakteristik sosio-ekonomi-kultural

masyarakatnya yang spesifik.

Pengembangan inovasi daerah yang berbasis agroekosistem lahan misalnya, dirancang untuk

mendukung kegiatan ekonomi di lahan sub-optimal basah (lebak dan pasang surut), atau

dirancang untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk kelautan di wilayah

Indonesia bagian timur. Pendekatan ini dapat dilakukan pula untuk komoditas perkebunan

dengan volume dan nilai produksi yang lebih besar sehingga memberikan kontribusi yang

significant bagi perekonomian nasional (misalnya sawit dan karet). Selain itu pendekatan sosial-

Page 77: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

77

ekonomi-budaya dilakukan untuk masyarakat pengrajin dan industri ukiran kayu di Jepara atau

masyarakat dengan budaya yang khas seperti di Bali.

Dikotomi pilihan pengembangan sistem inovasi pada tingkat nasional dengan tingkat

daerah/lokal seharusnya tidak perlu terjadi. Pengembangan inovasi daerah dapat difokuskan

pada pengembangan sistem inovasi yang lebih teknis dan operasional sesuai kebutuhan

ataupun unggulan yang akan dikembangkan di daerah. Fokus dukungan dapat dilakukan pada

aktivitas ekonomi tertentu yang diunggulkan, untuk dapat dikelola dan dievaluasi kinerjanya

secara lebih baik. Pengembangan inovasi nasional memberikan ‘template’ sebagai acuan untuk

pengembangan inovasi daerah, sehingga tujuan pembangunan nasional yang sifatnya universal

dapat dikawal, yakni terutama untuk menyejahterakan rakyat sebagaimana yang diamanahkan

oleh konstitusi. Selain berbasis pada potensi sumberdaya nasional atau lokal, pengembangan

sistem inovasi di Indonesia perlu didukung pengembangan teknologi yang lebih terarah, sesuai

dengan realita kebutuhan atau persoalan yang dihadapi oleh para pengguna teknologi, baik

industri, masyarakat, ataupun pemerintah.

Kecenderungan global saat ini cenderung menggiring pengembangan teknologi lebih ke arah

pemenuhan kebutuhan atau menyediakan solusi bagi permasalahan nyata yang ada di

masyarakat. Istilah yang muncul untuk menggambarkan orientasi riset dan pengembangan

teknologi sesuai kebutuhan pengguna ini cukup beragam, antara lain demand-driven, market-

driven (mulai jarang digunakan karena terkesan terlalu mengarah pada komersialisasi), need-

driven, issue-driven (Jepang), mission-driven (Swedia), dan evidence-based (mulai digunakan

oleh komunitas ilmu sosial atau pihak yang melihat teknologi dari perspektif ilmu sosial).

Keragaman istilah atau terminologi yang digunakan ini menunjukkan perlunya reorientasi

dalam pengembangan teknologi untuk menopang sistem inovasi dalam upaya meningkatkan

kontribusi teknologi terhadap pembangunan perekonomian. Keragaman istilah ini disebabkan

adanya perbedaan aspek atau dimensi yang ingin ditekankan, meskipun esensinya sama yakni

mendorong agar pengembangan teknologi sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang

dihadapi oleh para pengguna teknologi. Indonesia tentunya harus berada dalam mainstream ini

jika secara sungguh-sungguh ingin mewujudkan sistem inovasi nasional ataupun daerah yang

berkontribusi nyata terhadap pembangunan ekonomi dengan harapan dapat pula

meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kemampuan inovasi juga merupakan faktor penguatan daya saing yang sangat penting (Taufik,

2005). Selanjutnya Tatang Taufik menyebutkan, penguatan daya saing ini menjadi semakin

relevan apabila dikaitkan dengan kecenderungan sebagai berikut:

a. Tekanan persaingan global yang semakin meningkat;

b. Produk yang semakin kompleks dan memilki siklus hidup yang semakin pendek karena

cepatnya kemajuan teknologi dan perubahan tuntutan konsumen;

c. Kedua keadaan tersebut juga mengakibatkan persaingan pasar yang semakin cepat dan

kompleks.

Page 78: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

78

Kemampuan inovasi yang rendah akan menempatkan badan usaha ataupun industri bersaing

pada segmen pasar yang umumnya konvensional. Pangsa pasar yang cenderung menurun dan

semakin jenuh akan lebih mengandalkan persaingan harga dengan nilai tambah yang relatif

rendah.

Kecenderungan industri saat ini, pasar dan teknologi berubah sangat cepat, dimana tekanan

atas biaya cenderung meningkat, tuntutan konsumen yang semakin tinggi, dan siklus produk

atau time-to-market yang semakin pendek. Menurut EISDISR (2001), tantangan utama bagi

perusahaan di lingkungan bisnis yang kompleks dan persaingan global yang semakin ketat

adalah mengembangkan dan mempertahankan keunggulan daya saing. Dalam situasi demikian,

Peter Drucker menekankan bahwa setiap organisasi harus mempunyai suatu kompetensi, yaitu

inovasi.

4.2.2. Interaksi yang Intensif Antar-aktor Inovasi

Strategi ini mempunyai rentang cakupan yang lebar, dari upaya sinkronisasi program penyiapan

sumberdaya manusia yang relevan dan kompeten, optimalisasi fungsi kelembagaan pengelola

pendidikan, serta penguatan kelembagaan yang bertanggung jawab dalam pengembangan

teknologi. Selain untuk meningkatkan kecerdasan akademik, pendidikan juga diarahkan untuk

meningkatkan sensitivitas terhadap permasalahan nyata yang dihadapi bangsa. Pendidikan

perlu diupayakan tidak hanya peningkatan mutunya tetapi juga dibarengi dengan upaya

peningkatan relevansinya terhadap kebutuhan nyata. Lembaga penyelenggara pendidikan

tinggi akan menjadi lembaga penunjang yang menentukan dalam konteks ini.

Tidak semua disiapkan menjadi pengembang teknologi yang handal, dengan derajat penalaran

akademik yang tinggi, dan sensitif terhadap dinamika persoalan dan kebutuhan masyarakat.

Implementasi inovasi nasional juga memerlukan adanya pengguna teknologi yang terampil.

Pengguna teknologi ini antara lain, adalah tenaga teknis yang berperan mengaplikasikan

teknologi dalam proses produksi barang atau jasa. Idealnya, populasi pengguna teknologi yang

terampil jauh lebih banyak dibandingkan dengan populasi pengembang teknologi. Rasio yang

pas antara pengembang-pengguna teknologi tentu tergantung pada jenis teknologi yang

diimplementasikan.

Persentase jumlah peneliti atau perekayasa terhadap total populasi suatu negara sering dipakai

sebagai indikator kemajuan inovasi nasional negara yang bersangkutan. Walaupun angka ini

mungkin mengindikasikan kemampuan negara tersebut untuk mengembangkan teknologi,

tetapi sesungguhnya basis argumennya sangat dangkal, malah dapat menyesatkan.

Hal ini bisa dicermati dari beberapa perspektif: [1] teknologi yang berdampak signifikan dan

mampu mengubah ‘wajah’ dunia dalam berbagai bidang bukan merupakan hasil kerja kolektif

seluruh populasi peneliti suatu negara, tetapi merupakan hasil kerja kelompok ‘kecil’ peneliti

pada satu laboratorium atau kolaborasi peneliti antar-laboratorium; [2] jumlah peneliti yang

banyak tidak otomatis berarti akan banyak teknologi bermanfaat yang dihasilkan, karena selain

tergantung pada produktivitas peneliti, juga ditentukan oleh relevansi substansi yang diteliti;

Page 79: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

79

dan [3] sebagian besar peneliti bekerja di perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah yang

mayoritas pada saat ini lebih fokus pada riset akademik yang tak terkait langsung dengan

persoalan nyata, akibatnya hasil riset yang diperoleh masih sulit untuk diadopsi oleh industri.

Argumentasi di atas mencoba mengingatkan bahwa aspek yang paling penting untuk mendapat

perhatian dalam proses penyiapan sumberdaya manusia yang diproyeksikan untuk menjadi

pelaku utama pengembangan teknologi bukan terletak pada aspek kuantitasnya, tetapi lebih

pada aspek kualitasnya. Kualitas dimaksud mencakup basis mutu akademik dan relevansi

keahliannya terhadap kebutuhan nyata. Implikasi operasionalnya adalah Indonesia tidak perlu

terlalu berambisi untuk meningkatkan angka persentase jumlah peneliti per sejuta penduduk

(atau indikator lain yang serupa), tetapi lebih perlu menyiapkan tenaga-tenaga pengembang

teknologi yang punya basis kapasitas akademik yang hebat dan juga sensitif terhadap dinamika

permasalahan dan kebutuhan bangsa. Untuk konteks ini, kuantitas menjadi tidak penting.

Indonesia tidak perlu ‘kelihatan’ baik secara statistik, yang perlu adalah Indonesia mampu dan

produktif dalam menghasilkan solusi teknologi bagi permasalahan bangsa.

Kesiapan sumberdaya manusia wajib dibarengi dengan langkah reorientasi pengembangan

teknologi dari supply-push ke demand-driven. Jika selama ini aktor penentu arah inovasi

nasional diperankan secara ‘terlalu’ dominan oleh para pengembang teknologi, sehingga

pendekatan yang diterapkan adalah supply-push, yakni melakukan pengembangan teknologi

dahulu, baru kemudian ‘ditawarkan’ kepada industri untuk menggunakannya. Pendekatan ini

ternyata tidak efektif untuk meningkatkan intensitas interaksi antara pengembang dan

pengguna teknologi. Aliran teknologi banyak yang tersumbat. Penyebab utamanya adalah

ketidakpaduan antara teknologi yang dikembangkan atau yang dihasilkan dengan kebutuhan

industri. Kalaupun jenis teknologinya sesuai tetapi seringkali tidak kompetitif secara ekonomi

untuk diaplikasikan. Strategi untuk memperlancar aliran teknologi dalam inovasi nasional dan

untuk meningkatkan intensitas kolaborasi antara pengembang dan pengguna teknologi adalah

melakukan reorientasi, yakni jika sebelumnya pihak pengembang teknologi menjadi penentu

arah dan prioritas pilihan teknologi, maka peran ini di masa yang akan datang perlu

dipercayakan pihak pengguna teknologi. Pendekatan yang dipilih tentunya juga berubah arah,

dari supply-push menjadi demand-driven.

Namun demikian perlu diperhatikan pula, inovasi seringkali bukan hanya menekankan

technology push (driven) atau demand pull (driven) secara “hitam-putih” yang tegas, tetapi

lebih merupakan proses di antaranya atau kombinasi keduanya (Tatang, 2005). Selanjutnya

Tatang menggaris bawahi, inovasi juga merupakan proses yang kompleks dan dinamis yang

sering menunjukkan paradoks. Meski inovasi didorong oleh kompetisi atau persaingan, inovasi

tidak berkembang tanpa adanya kerjasama (co-operation), bahkan adakalanya antara

perusahaan yang saling bersaing. Inovasi tidak hanya bergantung pada bagaimana perusahaan,

perguruan tinggi dan para pembuat kebijakan bekerja, namun juga bagaimana mereka

bekerjasama (Tatang, 2005).

Pada tahap awal, proses reorientasi dalam pengembangan kerjasama ini tentunya belum akan

berjalan mulus. Hal ini terlihat dari Indikator Ekonomi Berbasis Pengetahuan Indonesia tahun

Page 80: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

80

2007, pada skala 2.8, sama dengan Vietnam (World Bank, 2010). Akan ada resistensi

(penolakan) dari pihak pengembang teknologi dan adanya keengganan di pihak pengguna

teknologi. Pergeseran mindset selalu membutuhkan waktu relatif panjang, karenanya proses ini

akan berlangsung secara bertahap (gradual). Ekspektasi pada tahap awal adalah mulai

tumbuhnya kesepakatan bahwa pengembangan teknologi perlu berubah arah, menjadi lebih

fokus untuk menjawab permasalahan nyata atau memenuhi kebutuhan industri dan

masyarakat pengguna.

0

1

2

3

4

5

6

7

Singapura Malaysia Philipina Vietnam

Resistensi internal sangat mungkin untuk muncul di kalangan akademisi dan periset dalam

proses pergeseran prioritas riset dari curiousity-driven research menjadi goal-oriented research,

dari riset yang dilakukan untuk pemuasan rasa keingin tahuan akademik menjadi riset untuk

menjawab permasalah nyata yang dihadapi masyarakat dan negara. Hal ini sesuai pula dengan

kecenderungan yang diungkapkan OECD (1999), bahwa inovasi memerlukan lebih hanya

sekedar litbang. Produk barang dan jasa semakin ‘sarat dengan pengetahuan’ (knowledge

intensive), tetapi juga tidak selalu ‘sarat dengan litbang’ (R&D intensive).

Pengalaman Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) melalui program insentifnya menjadi bukti

empiris tentang sulitnya menggeser kegiatan para akademisi dan periset keluar dari zona

nyamannya (comfortable zone). Akademisi dan periset masih nyaman di wilayah riset akademik

(dasar dan terapan), sedangkan kegiatan yang lebih bersifat hilir (difusi teknologi dan

peningkatan kapasitas iptek sistem produksi) untuk mendorong agar hasil risetnya diadopsi

oleh pengguna masih sangat kurang diminati. Hal ini antara lain terlihat, saat Kementerian Riset

dan Teknologi secara terbuka dan kompetitif menawarkan empat program insentif kepada

komunitas akademik di perguruan tinggi dan peneliti di lembaga riset pemerintah, yakni

program riset dasar, riset terapan, difusi iptek, dan penguatan kapasitas iptek sistem produksi.

Dua program yang pertama merupakan pengembangan iptek, sedangkan dua program terakhir

merupakan upaya mentransfer dan aplikasi teknologi yang dihasilkan oleh pihak pengguna

teknologi. Pada tahun 2008, proposal untuk riset pengembangan iptek mencapai 89,84 persen,

sedangkan proposal untuk difusi dan aplikasi iptek hanya 10,16 persen. Dengan upaya yang

Page 81: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

81

lebih intensif untuk menumbuhkan minat komunitas akademisi dan peneliti untuk berperan

dalam kegiatan difusi dan aplikasi iptek, pada tahun 2009 proposal untuk kegiatan ini

meningkat menjadi 24,95 persen.

Memperhatikan upaya yang telah dilakukan, strategi yang perlu dilakukan dalam rangka

memicu dan memacu pergeseran preferensi atau prioritas riset ini antara lain adalah: [1]

meluruskan pemahaman tentang status ilmiah goal-oriented research dan [2] memberikan

insentif yang lebih baik bagi pelaksanaan riset untuk solusi permasalahan nyata ini. Kekeliruan

pemahaman tentang ‘riset pesanan’ disebabkan bukan oleh makna hakiki dari goal-oriented

research tersebut, tetapi lebih disebabkan karena riset ini telah diseleweng-kan pemaknaannya

oleh kepentingan-kepentingan lain yang bersifat non-scientific. Sejatinya, goal-oriented

research harus dimaknai sebagai riset akademik yang tidak hanya potensial untuk memberikan

kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga sekaligus dapat secara nyata

menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat.

Merupakan langkah yang tepat jika Pemerintah lebih mengarahkan bantuan pembiayaan

risetnya pada kelompok goal-oriented research, terlebih lagi pada saat negara sedang

mengalami krisis ekonomi, dimana setiap rupiah yang dibelanjakan negara harus berpotensi

menggerakkan perekonomian domestik. Sudah saatnya, pembiayaan kegiatan riset diposisikan

tidak hanya untuk mendukung upaya pencerdasan bangsa, tetapi juga sekaligus sebagai

investasi untuk menumbuhkan kemandirian bangsa dalam menyediakan solusi teknologi bagi

masalah-masalah mendasar yang menyangkut hajat hidup asasi masyarakat. Sangat ironis jika

untuk memenuhi kebutuhan solusi teknologi untuk masalah-masalah sederhana (misalnya di

sektor pertanian), Indonesia masih tergantung pada pasokan teknologi asing. Apalagi jika untuk

mengimpor teknologi asing tersebut (yang sebetulnya dalam tataran teknologi tergolong

sederhana), negara harus mengeluarkan devisa yang signifikan karena kuatitas kebutuhannya

yang masif.

Salah satu persoalan yang serius saat ini adalah rendahnya sensitivitas atau kepedulian

pengembang teknologi terhadap kebutuhan dan persoalan yang dihadapi para pengguna

teknologi. Pengembang teknologi, baik di akademisi maupun peneliti, jarang melakukan

observasi secara cermat persoalan ataupun kebutuhan pihak pengguna. Riset yang

direncanakan lebih terkait dengan latar belakang akademik peneliti atau akademisi yang

bersangkutan dan mengarah pada topik yang sedang populer di kalangan akademisi.

Kecenderungan lainnya adalah memilih topik-topik yang terkesan maju secara teknologi tetapi

tidak terkait langsung dengan kebutuhan atau persoalan nyata. Capaian akademik seringkali

lebih menarik dibandingkan dengan kontribusi dalam memenuhi kebutuhan atau menyediakan

solusi untuk persoalan yang dihadapi industri, masyarakat, atau pemerintah.

Meski demikian secara akademik, ternyata akademisi dan peneliti Indonesia masih belum

tergolong produktif dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini antara lain

terlihat dari jumlah artikel pada jurnal sains dan teknik tahun 2003, para peneliti Indonesia

menghasilkan 178 tulisan. Angka ini tidak jauh berbeda dengan Filipina, namun jauh di bawah

Malaysia dan Thailand. Kenyataan ini tentu harus dibenahi, sulit bagi pengembang teknologi di

Page 82: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

82

Indonesia untuk berada posisi terdepan secara akademik. Berbagai kendala antara lain

kurangnya alokasi anggaran untuk pembiayaan riset dan kurang memadainya peralatan dan

fasilitas riset. Namun sesungguhnya, kendala yang lebih serius terletak pada mindset para

pengembang teknologi tersebut, yang belum termotivasi untuk melaksanakan riset yang

berkualitas dan masih cenderung menganggap riset hanya sebagai ritual akademik.

0

200

400

600

Singapura Malaysia Filipina Vietnam Laos

Negara

Perlu diyakini bahwa perhatian berbagai pihak, termasuk pemerintah, untuk memberikan

dukungan pembiayaan yang lebih besar akan lebih mungkin terwujud jika pengembang

teknologi juga mampu membuktikan kontribusi nyata terhadap pembangunan nasional,

terutama pembangunan perekonomian.

Riset yang dirancang sesuai kebutuhan nyata dapat menjadi riset yang berkualitas ilmiah tinggi

apabila dilaksanakan dengan metodologi yang tepat dan dengan menjunjung tinggi etika

akademik. Hasil riset dengan reputasi dan pilihan topik seperti ini jelas akan berpeluang untuk

dipublikasikan pada jurnal ilmiah, dan dapat menghasilkan paten yang diminati pengguna

(karena relevan dengan kebutuhan sehingga berpeluang untuk diaplikasikan dalam proses

produksi), sehingga terbuka peluang untuk mendapatkan royalti.

Kekeliruan pemahaman yang sering terjadi adalah bahwa teknologi yang dihasilkan dari riset

yang berbasis kebutuhan nyata statusnya akan kurang canggih, sebagaimana juga kekeliruan

dalam memahami definisi teknologi tepat guna (appropriate technology) yang sering dianggap

identik dengan teknologi sederhana. Sesungguhnya rentang spektrum teknologi yang berbasis

kebutuhan atau teknologi tepat guna dapat bervariasi dari teknologi yang sangat sederhana

sampai dengan teknologi super canggih, karena faktanya realita persoalan dan kebutuhan

teknologi juga sangat variatif. Sebagai contoh, pemerintah membutuhkan teknologi canggih

untuk mewujudkan kemandirian dalam sektor pertahanan dan keamanan negara; sebaliknya

petani membutuhkan teknologi yang sesuai dengan kapasitas adopsinya untuk meningkatkan

produktivitas tanaman dan pendapatannya.

Page 83: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

83

Di antara banyak perubahan yang perlu dilakukan dalam rangka penguatan inovasi, salah satu

yang urgensinya paling tinggi adalah meningkatkan sensitivitas dan kepedulian para

pengembang teknologi terhadap kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi industri,

masyarakat, dan pemerintah.

4.2.3. Peningkatan Produktivitas dan Relevansi Teknologi Domestik

Sensitivitas dan kepedulian pengembang teknologi yang diikuti dengan perencanaan dan

pelaksanaan riset yang tepat akan membuahkan teknologi yang relevan. Jika semakin banyak

aktor pengembang teknologi yang mengikuti alur ini, maka Indonesia akan memulai era baru

dalam mengembangkan inovasi nasional. Relevansi dan produktivitas riset akan menjadi mesin

produksi teknologi yang secara nyata akan meningkatkan kontribusi terhadap berbagai sektor

pembangunan nasional, termasuk bidang perekonomian.

Peningkatan kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi akan memberikan umpan-

balik (feedback) yang positif, efek bola salju akan terjadi. Dukungan pembiayaan aktivitas riset

akan semakin tumbuh, baik dari pemerintah maupun dari dunia usaha, karena kepercayaan

pihak pengguna teknologi akan semakin meningkat. Pengguna teknologi ikut menikmati

kontribusi teknologi terhadap pemenuhan kebutuhan dan menjadi alternatif solusi persoalan

yang dihadapi para pengguna teknologi tersebut. Kondisi yang diharapkan sebagai modal untuk

memperkuat inovasi nasional adalah pendekatan demand-driven dapat menjadi mainstream

pengembangan teknologi domestik, sehingga persentase teknologi yang relevan kebutuhan

semakin meningkat dan kontribusi teknologi terhadap perekonomian nasional semakin

dirasakan publik. Harapan akhirnya adalah teknologi dapat memberikan kontribusi nyata

terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dan memajukan peradaban bangsa

sebagaimana yang diamanahkan oleh Pasal 31 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945.

Upaya peningkatan relevansi teknologi dengan kebutuhan nyata belum sepenuhnya menjamin

bahwa teknologi akan diadopsi pengguna. Satu faktor yang menentukan, yakni kemampuan

atau kapasitas adopsi dari pengguna terhadap teknologi potensial yang dihasilkan. Oleh sebab

itu, untuk memperbesar peluang pemanfaatan teknologi perlu dilakukan perbaikan di kedua

sisi, yakni meningkatkan relevansi teknologi yang dibarengi dengan upaya meningkatkan

kapasitas adopsi pengguna. Kapasitas adopsi pengguna teknologi bersifat multi dimensi,

termasuk dimensi teknis, finansial, sosiokultural, dan kemungkinan juga politik. Peningkatan

kapasitas adopsi untuk dimensi teknis relatif mudah dilakukan, misalnya melalui pelatihan atau

pendidikan formal bagi para aktor pengguna. Kapasitas adopsi dari dimensi ekonomi/finansial

akan lebih sulit ditingkatkan, namun kebijakan pemerintah terkait penyediaan kredit modal

usaha dapat menjadi cara efektif untuk membantu pengguna teknologi dalam meningkatkan

kapasitas adopsinya dari dimensi finansial.

Persoalan rendahnya kapasitas adopsi teknologi, secara umum dapat dijumpai pada

masyarakat pengguna teknologi di Indonesia, termasuk komunitas petani, peternak, nelayan,

pembudidaya ikan, dan pengrajin atau berbagai pelaku usaha skala kecil lainnya. Rendahnya

Page 84: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

84

adopsi teknologi, selain disebabkan teknologi yang tidak relevan, juga dikarenakan rendahnya

kebutuhan teknologi, tidak hanya persoalan rendahnya kapasitas adopsi. Hal ini juga dapat

dijumpai pada pelaku bisnis Indonesia, dengan aktivitas utama perdagangan, bukan industri

manufaktur. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan adopsi teknologi, diperlukan transformasi

dari pedagang menjadi produsen. Penguatan inovasi tidak dapat berfungsi optimal apabila

kegiatan bisnis yang dominan masih berupa perdagangan. Kondisi ini menjadikan upaya riset

dan pengembangan teknologi yang sudah diarahkan sesuai dengan kebutuhan nasional,

berbasis sumberdaya dalam negeri, dan berorientasi pasar domestik menjadi tidak effektif.

Secara umum, bisnis di Indonesia memerlukan transformasi, dari kecenderungan dominan

perdagangan menjadi dominan industri produsen barang dan jasa. Kelompok industri ini yang

paling berpotensi untuk mengadopsi teknologi domestik yang telah dikembangkan.

Rangsangan untuk tumbuh-kembang industri produsen barang dan/atau jasa yang berbasis

teknologi nasional dan sesuai dengan kebutuhan pasar domestik perlu lebih diintensifkan.

Ketersediaan teknologi domestik yang secara teknis sesuai dengan kebutuhan dan secara

ekonomi menguntungkan akan dibutuhkan industri produsen barang dan jasa. Namun

demikian, pada fase awal diperlukan dukungan insentif tambahan agar perdagangan

bertransformasi ke arah industri atau produsen barang dan jasa. Oleh karena itu, penguatan

industri dalam negeri merupakan salah satu pilar utama pendukung strategi penguatan inovasi

nasional. Peningkatan investasi dan akses permodalan untuk pengembangan dan/atau

penumbuhan industri baru berbasis teknologi nasional perlu mendapat dukungan dari berbagai

pihak dan difasilitasi perkembangannya.

Aksesibilitas untuk tiga kunci sukses industri produsen perlu dijamin, yakni: [1] akses untuk

mendapatkan bahan baku yang cukup, sesuai dengan spesifikasi teknis, harga yang pantas (dan

relatif stabil), serta cukup tersedia sesuai siklus produksi; [2] akses untuk mendapatkan modal,

sumberdaya manusia, dan teknologi yang sesuai secara teknis serta kompetitif secara ekonomi;

dan [3] akses pasar yang terjamin. Pasar domestik Indonesia yang besar merupakan potensi

untuk menjadi ‘penyerap’ bagi semua produk barang dan jasa yang dihasilkan industri dalam

negeri.

Percepatan proses adopsi teknologi nasional oleh pengguna di dalam negeri dan upaya

mendorong arus informasi kebutuhan teknologi untuk pihak pengembang memerlukan peran

aktif dari lembaga intermediasi. Pada saat ini, hampir semua lembaga intermediasi terbentuk

atas inisiatif pemerintah dan sebagian juga diawaki oleh aparatur pemerintah. Belum adanya

lembaga intermediasi yang diinisiasi oleh pihak bisnis maupun masyarakat dapat menjadi

indikasi bahwa kegiatan ini masih dianggap belum menarik, atau masih diyakini belum akan

membuahkan hasil. Persepsi ini sesungguhnya dapat dipahami, karena berbagai kondisi yang

terjadi saat ini masih belum ‘favorable’ untuk berfungsinya kelembagaan intermediasi.

Lembaga intermediasi berperan sebagai penghubung antara lembaga pengembang teknologi

dengan pengguna teknologi. Kelembagaan intermediasi ini belum berfungsi secara efektif, jika

prasyarat dasarnya belum terpenuhi, yakni adanya relevansi teknologi yang dikembangkan

dengan kebutuhan industri yang merefleksikan preferensi dan daya beli konsumen. Kondisi lain

Page 85: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

85

yang kurang kondusif bagi lembaga intermediasi adalah: [1] sistem perlindungan Hak atas

Kekayaan Intelektual masih belum membudaya di kalangan pengembang teknologi di

Indonesia, sehingga berpotensi menjadi masalah jika dikomersialisasikan; [2] preferensi

komunitas bisnis Indonesia masih cenderung sebagai pedagang daripada sebagai produsen;

kalaupun masuk ke wilayah industri produsen barang/jasa, maka lebih cenderung memilih

memproduksi barang di bawah lisensi asing; dan [3] pelaku industri dalam negeri belum

percaya atas kehandalan teknologi domestik hasil karya anak bangsa, sehingga lebih cenderung

membeli teknologi asing.

Lembaga intermediasi perlu diawaki oleh personel yang memahami tentang teknologi dan

sekaligus punya kemampuan persuatif yang tinggi dan terampil dalam menjual. Upaya ini dapat

dilakukan dengan merekrut peneliti/akademisi, dan dilatih ketrampilan pemasaran-nya; atau

merekrut tenaga pemasaran dan diperkaya wawasan teknologinya. Opsi kedua kelihatannya

lebih baik, karena merubah karakter manusia (terkait marketing skills) lebih membutuhkan

waktu dibandingkan dengan menambah pengetahuan tentang teknologi tertentu.

4.2.4. Ekosistem Inovasi yang Kondusif

Selama proses transisi pergeseran orientasi arah dan prioritas riset, peran pemerintahan sangat

dibutuhkan, yakni dalam bentuk: [1] regulasi yang mendukung dan [2] fasilitasi percepatan laju

proses reorientasi dan mengurangi kemungkinan terjadinya ‘gesekan’ yang tidak perlu antar-

pihak terkait.

Peran regulasi pemerintah ditujukan untuk mengawal agar implementasi penguatan inovasi

secara konsisten mengarah pada upaya: [1] menyediakan solusi teknologi bagi permasalahan

nyata yang dihadapi rakyat; [2] menyeimbangkan posisi psikologis dan peran aktif antara pihak

pengembang teknologi dengan pihak pengguna teknologi sehingga interaksi antara keduanya

terjadi dalam kerangka kemitraan yang setara harkatnya, proporsional kontribusinya, dan

saling ‘complementary’ ruang kiprahnya; dan [3] memberdayakan sumberdaya manusia

Indonesia sesuai dengan kapasitasnya masing-masing agar dapat secara langsung berperan

aktif dalam implementasi penguatan inovasi nasional.

Berkaitan dengan upaya membangun inovasi nasional secara utuh, dibutuhkan pula regulasi

dan fasilitasi pemerintah dalam menyiapkan sumberdaya manusia sesuai kebutuhan untuk

pengembangan teknologi dan kebutuhan tenaga terampil untuk aplikasi teknologi, melalui

program pendidikan yang berkesesuaian, terutama pada jenjang pendidikan tinggi dan

menengah kejuruan. Bentuk fasilitasi dari pemerintah yang lain adalah dukungan untuk

kolaborasi riset dengan pembiayaan bersama (sharing funding) oleh pemerintah dan pihak

industri. Porsi pemerintah disalurkan melalui lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi.

Kegiatan riset kolaborasi dalam format ini sudah mulai dilaksanakan, tetapi belum optimal

menunjukkan kemanfaatan hasilnya. Hal ini terutama karena substansi riset masih dominan

ditentukan oleh pihak pengembang teknologi, bukan atas usulan pihak industri. Dalam

Page 86: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

86

beberapa kasus, pihak industri hanya diposisikan untuk memenuhi kelengkapan administratif

agar dana pemerintah bisa dialirkan ke lembaga riset atau perguruan tinggi. Bentuk riset

kolaborasi yang lain tidak dalam bentuk pembiayaan bersama, tetapi dalam bentuk riset yang

diawaki oleh personel dari pihak pengembang dan pengguna teknologi serta memanfaatkan

fasilitas dan sarana riset yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Agar diperhatikan apapun bentuk

atau format riset kolaborasi, akan memberikan kemanfaatan pada publik jika substansi masalah

yang diteliti merupakan masalah aktual yang dihadapi masyarakat, bukan masalah hipotetik

yang diilhami oleh berbagai referensi asing.

Regulasi pemerintah dapat pula berupa insentif bagi kedua belah pihak untuk berkolaborasi,

misalnya dukungan pembiayaan dari pihak industri untuk kegiatan riset dapat dianggap sebagai

bagian dari pembayaran pajak yang menjadi kewajibannya (tax deductible). Upaya ke arah ini

sesungguhnya sudah dilakukan pemerintah, yakni dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah

No. 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk

Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi. Dalam PP No. 35 Tahun

2007 dinyatakan badan usaha yang mengalokasikan pendapatannya untuk peningkatan

kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan insentif, dimana

insentif tersebut dapat berbentuk insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis

penelitian dan pengembangan.

Bentuk regulasi lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah penerapan Standar Nasional

Indonesia (SNI) bagi seluruh produk barang/jasa di Indonesia. SNI telah memenuhi WTO Code

of Good Practices, yakni dirumuskan berdasarkan asas keterbukaan (openess), transparansi

(transparency), konsensus dan tidak memihak (consensus and impartiality), keefektifan dan

relevan (effectiveness dan relevance), koheren (coherence), dan berdimensi pembangunan

(development dimension). Dengan demikian, penerapan SNI diharapkan tidak hanya

bermanfaat bagi kepentingan domestik tetapi juga untuk kepentingan perdagangan global.

Adanya rasa bangga dan percaya diri warga negara sebagai sumberdaya manusia penggerak

pembangunan yang diimbangi dengan terciptanya lingkungan yang kondusif untuk berusaha,

merupakan modal kuat dalam menuju Indonesia yang lebih sejahtera di masa yang akan

datang. Jika lintasan (pathway) ini ditempuh dengan baik, maka tak akan ada lagi keraguan

bahwa teknologi domestik akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam pembangunan

nasional dan standarisasi akan menyempurnakan upaya penguatan inovasi di Indonesia.

Berdasarkan telaah yang telah diuraikan di atas, maka ada beberapa komponen kebijakan yang

dibutuhkan untuk mewujudkan adanya sistem inovasi nasional (SINas) yang mampu

memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan nasional. Strategi ini mencakup:

(1) Sinkronisasi antara teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan dan permasalahan

yang dihadapi industri, masyarakat, dan pemerintah;

(2) Rangsangan untuk tumbuh-kembang industri produsen barang dan/atau jasa yang

berbasis teknologi nasional dan sesuai dengan permintaan pasar domestik;

Page 87: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

87

(3) Vitalisasi lembaga intermediasi untuk percepatan proses adopsi teknologi nasional oleh

industri dalam negeri dan sebaliknya juga arus informasi kebutuhan teknologi kepada

pihak pengembang teknologi; dan

(4) Dukungan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum untuk memfasilitasi,

menstimulasi, dan mengakselerasi interaksi antar-aktor utama dalam penguatan inovasi

nasional, serta mendekatkan hubungan dengan kelembagaan pendukung lainnya.

Keempat strategi ini mempunyai keterkaitan satu sama lain. Oleh sebab itu, seluruh strategi

harus dilaksanakan secara interaktif dan sinambung. Keberhasilan membangun inovasi nasional

hanya dapat dicapai jika semua strategi ini dapat dieksekusi dengan baik.

4.2.5. Kontribusi terhadap Pembangunan Nasional

Terlepas dari intensitas dan besaran (magnitude) kontribusinya, iptek akan selalu dibutuhkan

dalam pembangunan semua sektor. Dengan demikian isu utamanya bukan terletak pada ada

atau tidak adanya peranan teknologi dalam pembangunan nasional, tetapi terletak pada

bagaimana cara agar teknologi yang dikembangkan dapat efektif dan efisien dalam mendukung

pembangunan nasional di semua sektor. Oleh sebab itu, yang penting dilakukan adalah

merancang inovasi nasional yang tepat, yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional

dan upaya memberikan solusi atas permasalahan nyata yang dihadapi rakyat. Kemampuan dan

kemandirian pengembangan teknologi nasional yang didasarkan atas kebutuhan dan

permasalahan nyata menjadi modal dasar implementasi penguatan inovasi di Indonesia.

Pengembangan teknologi nasional perlu mengutamakan pemberdayaan dan pendayagunaan

sumberdaya manusia Indonesia sebagai tenaga penggeraknya, memanfaatkan sumberdaya

alam nasional sebagai bahan baku atau tapak operasionalnya (operational site). Pengembangan

teknologi nasional juga perlu mempertimbangkan secara cermat kapasitas adopsi pengguna

teknologi dalam negeri.

Teknologi dengan warna Indonesia yang kental ini diyakini akan lebih berpeluang untuk

mengalir lancar dari pihak atau lembaga pengembang teknologi ke pihak pengguna teknologi.

Keberhasilan penguatan inovasi nasional akan ditakar dari kelancaran aliran teknologi (fluidity

of technology flow), bukan berdasarkan kecanggihan teknologi yang mampu dikembangkan.

Kekeliruan persepsi sangat sering dan umum terjadi dalam konteks penilaian kinerja dan

kontribusi inovasi, yakni menganggap bahwa semakin maju teknologi yang dikuasai maka

semakin baik penguasaan inovasi suatu negara.

Walaupun sudah cukup lama diwacanakan, tetapi membangun masyarakat berbasis

pengetahuan kelihatannya masih akan menempuh perjalanan panjang. Perjalanan panjang

tersebut perlu diawali dengan keberhasilan mengembangkan dan memperkuat inovasi nasional

di Indonesia yang mampu mendorong peradaban dan menyejahterakan rakyat. Inovasi nasional

yang didasarkan atas kebutuhan dan permasalahan nyata perlu didampingkan secara paralel

dengan program pendidikan yang dirancang untuk menghasilkan sumberdaya manusia

berkualitas dan sensitif terhadap permasalahan nyata yang dihadapi bangsa dan kebutuhan

Page 88: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

88

pembangunan nasional. Jika kedua hal ini dilakukan secara serasi dan saling mendukung maka

cita-cita untuk membangun masyarakat berbasis pengetahuan diyakini dapat terwujud. Selain

itu, indikator lainnya dalam pengembangan dan penguatan inovasi nasional adalah terjaminnya

keamanan nasional. Meskipun ukuran kesejahteraan rakyat dan keamanan nasional bersifat

relatif, tetapi upaya kuantifikasi tingkat kesejahteraan rakyat lebih berkembang dan diterima

secara luas; sebaliknya ukuran baku tentang tingkat keamanan nasional masih belum banyak

dibahas.

Keamanan mempunyai dua dimensi yang berbeda, yakni: [1] rasa aman yang lebih bersifat

internal, personal, dan sulit dideteksi; dan [2] kondisi aman yang lebih bersifat eksternal,

kolektif, dan dapat dideteksi berdasarkan persepsi indera penglihatan dan pendengaran (audio-

visual perception). Akan lebih realistis jika indikator keberhasilan implementasi inovasi nasional

hanya didasarkan atas keamanan dimensi kedua, yakni kondisi aman. Indikator keberhasilan

dalam menciptakan kondisi aman antara lain: tidak terjadinya gerakan separatisme di wilayah

NKRI; minimalisasi dampak negatif dari gejolak masyarakat, misalnya dalam bentuk

demonstrasi anarkis, yang dapat mengganggu kegiatan produktif; terkendalinya dinamika

politik; terjaminnya keberlangsungan proses demokratisasi; dan terjaminnya kondisi yang

kondusif untuk berinvestasi.

Hasil akhir yang diharapkan dari segala bentuk upaya dalam pengembangan dan penguatan

inovasi adalah peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam mengevaluasi suatu sistem yang utuh,

semua indikator-antara hanya dapat dilihat sebagai titik-titik yang tercerai berai dan

‘diasumsikan’ terhubung satu sama lain oleh garis-garis imajiner yang diyakini sebagai bagian

dari sistem tersebut. Asumsi-asumsi tersebut umumnya diuji berdasarkan korelasi masing-

masing indikator-antara yang dianggap berhubungan. Ilmu statistik merupakan alat yang

‘handy’ untuk pekerjaan ini.

Beberapa indikator-antara yang sering digunakan dalam mengevaluasi kehandalan penguatan

inovasi antara lain: jumlah publikasi ilmiah per juta penduduk, jumlah patent yang didaftarkan

atau diperoleh (granted), jumlah kerjasama penelitian antara universitas dan industri, jumlah

publikasi yang ditulis bersama oleh akademisi dan pelaku industri (co-authored publication),

mobilitas sumberdaya manusia antara kelembagaan riset atau universitas dengan industri,

besarnya penerimaan universitas atau lembaga riset yang berasal dari royalti, dan persentase

penerimaan univesitas yang berasal dari sumber non-pemerintah yang terkait dengan aktivitas

dan hasil riset. Indikator-antara tersebut sesungguhnya baru melingkupi sisi pengembang

teknologi, dengan ekstensi pada kapabilitas lembaga pengembang teknologi tersebut untuk

merangkul mitra potensialnya. Nilai-nilai positif atau kecenderungan peningkatan yang

ditunjukkan oleh semua indikator-antara belum dapat secara otomatis diekstrapolasikan untuk

sampai pada kesimpulan bahwa upaya pengembangan dan penguatan inovasi telah berjalan

baik, efektif dan produktif.

Indikator-antara lainnya dilihat dari sisi pengguna teknologi, subyek survei atau risetnya adalah

industri-industri yang bergerak dalam berbagai sektor. Indikator di kelompok ini antara lain:

alokasi dana oleh industri untuk kegiatan riset internal perusahaan atau untuk mendukung

Page 89: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

89

kegiatan riset di universitas dan lembaga riset eksternal, identifikasi sumber informasi yang

dianggap penting oleh industri dalam mengembangkan produk komersial, preferensi industri

untuk mengembangkan teknologi sendiri atau membeli teknologi yang sudah mapan

(established). Indikator-antara yang digunakan baik dari sisi pengembang maupun pengguna

teknologi memang telah mengarah pada upaya menakar ‘potensi’ kedua belah pihak untuk

berkomunikasi dan berkolaborasi. Walaupun tentunya, interpretasi atas indikator-antara ini

harus dilakukan dengan hati-hati.

Total Factor Productivity (TFP) telah digunakan beberapa ekonom sebagai proxy untuk

menaksir kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dasarnya adalah pertumbuhan

ekonomi terjadi atas kontribusi dari dua faktor utama, yakni modal dan tenaga kerja, sisanya

(residu) merupakan kontribusi faktor bukan modal maupun tenaga kerja yang disimpulkan

sebagai kontribusi dari faktor teknologi. Namun demikian, perlu diingat kembali bahwa ukuran

kinerja inovasi adalah kesejahteraan rakyat, bukan pertumbuhan ekonomi semata, sehingga

perlu dilengkapi pula dengan pola distribusi pendapatan. Sebagai suatu sistem, indikator

keberhasilan pengembangan inovasi nasional menjadi kurang bermakna jika difragmentasi

menjadi indikator-indikator antara atau indikator yang bersifat parsial, walaupun secara teknis

inovasi nasional dapat dibongkar menjadi empat komponen, yakni: pengembangan teknologi,

difusi teknologi dari pengembang ke pengguna, adopsi teknologi untuk proses produksi barang

dan jasa, dan konsumsi atau penggunaan produk akhir oleh konsumen.

Banyak indikator keberhasilan yang dapat digunakan dalam mengevaluasi kinerja pada masing-

masing komponen atau tahapan penguatan inovasi nasional. Banyak juga kajian mengenai

inovasi yang telah dilakukan menggunakan indikator parsial ini, tetapi hasilnya seringkali tidak

atau kurang memuaskan, karena hanya mampu menjelaskan secara ‘segmented’. Pendekatan

parsial biasanya hanya mengarah untuk menghasilkan justifikasi bahwa suatu negara

sebetulnya sudah melakukan upaya (dan telah ada tanda-tanda perbaikan) walaupun hasilnya

belum memuaskan.

Dengan demikian untuk Indonesia, indikator utama keberhasilan pengembangan dan

implementasi inovasi hanya dua, yakni peningkatan kesejahteraan rakyat dan terciptanya

kondisi keamanan nasional. Indikator lainnya yang dapat ditambahkan adalah tingkat

kemandirian bangsa dalam memenuhi kebutuhan teknologi untuk pembangunan

perekonomian dan pembangunan hankam. Kemampuan dan tumbuhnya budaya masyarakat

untuk mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge-based society) dapat pula

digunakan sebagai indikator tambahan untuk mengevaluasi performa penguatan inovasi di

Indonesia.

4.3. Aspek Filosofis

Page 90: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

90

Secara umum syarat filosofis dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah

apabila peraturan perundang-undangan dapat diterapkan sesuai dengan cita-cita hukum, atau

sesuai dengan nilai-nilai positif yang tertinggi. Nilai-nilai ini menjadi cita-cita hukum dan tujuan

negara bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

4.3.1. Dinamika Lingkungan Global

Negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)

telah lama memposisikan Sistem Inovasi Nasional (SINas) sebagai strategi penting dalam

memajukan perekonomian melalui pemanfaatkan keunggulan teknologi negara masing-masing.

Inisiatif pendirian OECD dilakukan oleh beberapa negara Eropa Barat plus Turki dan Amerika

Serikat. Namun saat ini, keanggotaan OECD telah bertambah dengan beberapa negara Eropa

Timur, Jepang, Korea, Australia, Selandia Baru, dan Meksiko. Pengembangan inovasi nasional

pada negara-negara OECD dan kajian akademik yang dilakukan oleh kelembagaan OECD telah

menjadi referensi penting bagi dunia dalam memperlajari tentang upaya penguatan inovasi

nasional dan kontribusinya bagi pembangunan perekonomian. Sebagaimana yang

dikemukakan sebelumnya, peranan inovasi nasional dalam pembangunan perekonomian

sangat ditentukan oleh intensitas dan kualitas interaksi dan komunikasi antara lembaga

pengembang dengan pengguna teknologi, terutama antara universitas atau lembaga riset

dengan pelaku industri.

Untuk menaksir intensitas interaksi tersebut, dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan,

antara lain dengan mengevaluasi: [1] porsi pendapatan universitas atau lembaga riset yang

berasal dari kerjasama dengan industri dalam melakukan riset; [2] jumlah paten dan publikasi

bersama antara akademisi dan pelaku industri; [3] jumlah paten universitas atau lembaga riset

yang dikomersialisasikan oleh industri; dan [4] timbangan industri terhadap universitas dan

lembaga riset sebagai sumber informasi/pengetahuan untuk pengembangan produk inovatif.

Hasil survei yang dilakukan di Belanda selama periode 1989-1992 menunjukkan bahwa

pendapatan universitas yang berasal dari kerjasama riset dengan pihak industri secara

konsisten meningkat, walaupun persentasenya masih relatif rendah, yakni 12.2 persen pada

tahun 1989 meningkat menjadi 17,4 persen pada tahun 1992 (Hertog, 1995). Di Indonesia data

seperti ini tidak mudah untuk didapatkan, karena banyak kegiatan riset yang dilakukan industri

bersama akademisi secara individual, kelompok, atau lembaga intra-universitas yang tidak

dicatat sebagai penerimaan resmi universitas. Di Inggris, publikasi ilmiah yang ditulis bersama

(co-authored) oleh peneliti universitas atau lembaga riset pemerintah dengan personel yang

mewakili institusi bisnis terlihat secara konsisten meningkat antara tahun 1981 sampai 1994

(Hicks and Katz, 1996). Publikasi yang ditulis bersama ini diasumsikan berakar pada hasil

kolaborasi riset antara kedua pihak tersebut. Hasil kajian Rosenberg dan Nelson (1994) terkait

dengan jumlah paten universitas patut untuk disimak, karena ternyata bukan hanya perguruan

tinggi dan lembaga riset di negara yang belum maju teknologinya saja yang ‘malas’

mendaftarkan paten, tetapi juga terjadi pada universitas di negara yang maju, seperti Amerika

Serikat. Persentase paten universitas di Amerika Serikat secara relatif juga rendah, yakni hanya

Page 91: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

91

berkisar antara 0,7 persen untuk bidang komunikasi sampai 18,1 persen untuk bidang rekayasa

genetika. Porsi paten yang lebih besar berasal dari industri atau pihak non-universitas lainnya.

Walaupun persentasenya rendah, tapi jumlah aktualnya tentu tetap jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan jumlah paten universitas dan lembaga riset di Indonesia.

Hasil survei yang dilakukan oleh The Maastricht Economic Research Institute on Innovation and

Technology (MERIT) memberikan gambaran tentang bagaimana pihak industri di negara-negara

Eropa menilai peran universitas atau kelembagaan riset pemerintah. Kelembagaan riset

pemerintah (termasuk universitas) dianggap penting oleh mayoritas (>50%) pelaku industri

untuk bidang fasilitas layanan publik (utilities) dan pharmaseutikal, tetapi sebaliknya mayoritas

pelaku industri menganggap peranannya kurang penting untuk bidang-bidang lainnya,

termasuk logam olahan (fabricated metals), plastik, telekomunikasi, perminyakan, permesinan,

bahan kimia, komputer, logam dasar, elektronik, instrumen, otomotif, pangan, dan

kedirgantaraan (aerospace). MERIT telah mengembangkan database kesepakatan kerjasama

dan indikator teknologi (Co-operative Agreements and Technology Indicators, disingkat CATI)

yang mencakup hampir 13.000 kesepakatan kerjasama yang melibatkan lebih dari 6.000

perusahaan (OECD, 1997). Data yang terkumpul selama periode 1980-1994 dalam studi ini

menunjukkan bahwa kerjasama teknis untuk bidang-bidang tertentu (bioteknologi, teknologi

informasi dan komunikasi, dan teknologi material baru) meningkat di Amerika Serikat, tetapi di

Jepang dan Eropa kerjasama serupa tidak menunjukkan perubahan yang berarti (Haagedoorn,

1996). Di Jepang ternyata kerjasama informal antar-kelembagaan bisnis berperan penting

dalam keberhasilan pengembangan teknologi. Kolaborasi antar-lembaga bisnis memberikan

sumbangan terhadap kinerja inovatif perusahaan di Norwegia dan Finlandia, dimana produk

baru yang dihasilkan dari kolaborasi mampu meningkatkan penjualan. Kajian yang sama di

Jerman, juga menunjukkan bahwa kolaborasi antar-perusahaan mampu meningkatkan

penjualan untuk hampir semua produk yang dihasil melalui kolaborasi tersebut. Kerjasama

terbukti mampu meningkatkan kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengadopsi teknologi

yang bermanfaat (OECD, 1997).

Malerba (1996) menganalisis 13 sumber informasi yang dianggap relevan untuk upaya

pengembangan dan penguatan inovasi nasional. Sumber informasi tersebut dikelompokkan

menjadi 4 kelompok, yakni: [1] sumber informasi dari dalam kelembagaan bisnis sendiri; [2]

bersumber dari pasar, termasuk konsumen, pemasok bahan baku atau komponen, dan

konsultan; [3] lembaga riset pemerintah dan universitas; dan [4] sumber informasi umum

seperti konferensi, pertemuan bisnis, pameran, informasi paten. Data yang digunakan oleh

Malerba (1996) berasal dari hasil Community Innovation Survey (CIS) antara 1991 sampai 1993

yang dilaksanakan atas inisiatif bersama Komisi Eropa dan Eurostat terhadap 40.000 industri

manufaktur di Eropah. Hasil analisis menunjukkan bahwa sumber informasi yang paling penting

ternyata berasal dari pelanggan/konsumen dan sumber internal perusahaan; sedangkan

informasi yang dianggap tidak penting adalah berasal dari lembaga riset pemerintah dan

perguruan tinggi.

Page 92: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

92

Hasil ini bertentangan dengan anggapan yang umumnya dianut banyak pihak di Indonesia

bahwa perguruan tinggi dan lembaga riset sebagai motor penggerak utama untuk tumbuh dan

berkembangnya inovasi nasional. Fakta ini menjadi tantangan yang sangat serius bagi

komunitas akademik dan peneliti Indonesia untuk melakukan reorientasi prioritas risetnya agar

tidak semakin terkucil dari skenario global pengembangan inovasi. Pergeseran yang wajib

dilakukan adalah menambah porsi goal-oriented atau demand-driven research dalam grand

scenario pengembangan riset dan teknologi. Selain itu, komunitas akademik dan peneliti

Indonesia tidak dapat lagi mengabaikan ancaman penjajahan teknologi asing dalam bentuk

banjir produk barang dan jasa impor yang melanda pasar domestik dan invasi Multi National

Company (MNC), baik secara langsung maupun dalam bentuk produknya. Kehadiran MNC

dapat menjadi ancaman bagi upaya pengembangan teknologi nasional jika tidak dibangun

hubungan yang sinergis mutualistik dengan MNC tersebut; sebaliknya bisa menjadi sumber

spillover teknologi.

Tantangan dan ancaman ini perlu dijawab dan/atau ditangkal dengan mewujudkan inovasi yang

sesuai dengan kebutuhan di Indonesia yang handal, berbasis sumberdaya nasional, digerakkan

dengan motor teknologi domestik, dan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Kemandirian teknologi merupakan kunci utama dalam menghadapi tantangan dan ancaman

tersebut.

4.3.2. Dinamika Lingkungan Regional

Dinamika lingkungan strategis pada tingkat dunia akan berpengaruh bagi perkembangan

inovasi nasional di Indonesia. Kondisi lingkungan strategis perlu mendapat perhatian, paling

tidak untuk referensi. Namun demikian, berdasarkan kedekatan posisi geografis dan intensitas

hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik, maka dinamika lingkungan strategis pada tingkat

regional Asia Tenggara (ASEAN) perlu mendapat perhatian yang lebih intensif.

Dalam konteks kemajuan inovasi saat ini, negara-negara ASEAN dapat dibagi dari tiga lapisan:

Singapura berada pada lapisan atas, Malaysia dan Thailand pada lapisan tengah; sedangkan

Indonesia, Vietnam, Filipina, dan negara-negara ASEAN lainnya berada pada lapisan bawah.

Posisi Indonesia tersebut didasarkan atas beberapa indikator hasil analisis yang dilakukan oleh

berbagai lembaga internasional (Tabel 6).

Tabel 6. Potensi pengembangan inovasi nasional Indonesia berdasarkan beberapa indikator akademik

dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura

Indikator Indonesia Malaysia Thailand Singapura

Peringkat HDI, 2007/08 107 63 78 -

Angka Partisipasi Kasar, 2007 17,3 32,5 42,7 -

Peringkat Daya Saing, 2007 54 21 28 7

Page 93: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

93

Indeks Daya Serap Teknologi, 2003 4,5 5,8 5,3 6,0

Indeks Kerjasama Riset, 2003 2,8 4,9 4,2 -

Paten USPTO, 2001/05 16,6 74,4 41,6 409,4

Publikasi Ilmiah, 2003 178 520 1072 3122

Sumber: Peringkat Human Development Index (HDI) dari Laporan UNDP (Hasta, 2009); Angka Partisipasi Kasar (APK)

pendidikan dari Depdiknas (Lakitan, 2008d); Peringkat Daya Saing dari Laporan World Economic Forum (Suhardi,

2009); Indeks Daya Serap Teknologi, Indeks Kerjasama Riset (Warsono, 2009), Paten USPTO, dan publikasi ilmiah dari

Laporan World Bank (Suhardi, 2009).

Struktur perekonomian negara-negara ASEAN secara umum relatif sama, kecuali Singapura.

Negara ASEAN umumnya masih mengandalkan sektor pertanian komoditas hasil eksploitasi

kekayaan alamnya. Untuk kondisi saat ini, Singapura yang lebih maju di sektor perdagangan,

industri pengolahan, dan industri jasa keuangan, merupakan mitra komplementer untuk

pembangunan perekonomian nasional. Untuk itu diperlukan upaya yang lebih serius agar

ketergantungan pada negara tetangga ini dapat dikurangi agar posisi Indonesia lebih

kompetitif. Negara-negara ASEAN lainnya dapat menjadi kompetitor dan sekaligus mitra

strategis yang potensial. Hal ini tergantung kemampuan Indonesia dalam mewujudkan inovasi

nasional. Jika Indonesia mampu mengembangkan industri barang dan jasa berbasis teknologi

nasional yang kompetitif, maka Indonesia dapat menjadi pemasok barang dan jasa, serta

sekaligus memanfaatkan bahan baku yang dihasilkan negara-negara di kawasan ASEAN.

Kemajuan inovasi suatu negara dapat ditaksir berdasarkan beberapa indikator, antara lain

Indeks Pembangunan Manusia (HDI), Angka Partisipasi Kasar (APK) pada jenjang pendidikan

tinggi, Indeks Daya Saing Global, Indeks Daya Serap Teknologi, Indeks Kerjasama Riset, Paten

Terdaftar, dan Jumlah Publikasi Ilmiah (Tabel 6). Disamping itu, kualitas sumberdaya manusia

yang secara umum masih belum kompetitif, aliran teknologi antara pengembang dan pengguna

yang masih tersendat, serta kendala non-teknologi lainnya juga memerlukan perhatian. Secara

menyeluruh gambaran postur perkembangan inovasi di Indonesia masih jauh dari memuaskan.

Untuk kawasan ASEAN pun masih perlu perjuangan keras agar dapat menjadi yang terdepan.

4.3.3. Dinamika Lingkungan Nasional

Saat ini kontribusi teknologi pada tingkat nasional masih belum optimal, mungkin dapat

dikatakan masih berada pada posisi yang sangat minimal. Hal ini disebabkan belum terjadinya

aliran teknologi yang signifikan dari pihak pengembangan teknologi ke pihak pengguna

teknologi. Pengembangan sistem inovasi nasional (SINas) dapat dikatakan belum berjalan

sebagaimana yang diharapkan. Berbagai alasan dan argumen yang menyertainya telah

dijabarkan sebelumnya. Aspek yang akan ditelaah lebih mendalam adalah interaksinya dengan

dinamika lingkungan strategis yang sedang berkembang saat ini dan kecenderungan perubahan

lingkungan strategis tersebut di masa yang akan datang. Perubahan lingkungan strategis di

Page 94: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

94

masa depan akan direka berdasarkan dua ekstrim skenario, yakni skenario ‘business-as-usual’,

melanjutkan kecederungan yang sedang terjadi saat ini dengan tanpa upaya mendorong

perubahan ke arah yang diinginkan, dan skenario dengan upaya percepatan perubahan ke arah

yang lebih kondusif untuk berkembangnya inovasi nasional.

Bank Indonesia dalam Laporan Perekonomian 2006, menghitung kontribusi iptek terhadap

pertumbuhan ekonomi menggunakan proxy indikator Total Factor Productivity (TFP) dan

mendapatkan bahwa TFP Indonesia hanya sebesar 1,38 persen. Artinya sumber pertumbuhan

ekonomi Indonesia selama ini masih didominasi faktor di luar teknologi, yakni modal dan

tenaga kerja (Firdausy, 2009a; Kadiman, 2009). Selanjutnya Firdausy (2009b) menyebutkan

bahwa kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi terjadi

pada periode 1991-1995, dengan TFP sebesar 4 persen. Jika kecenderungan yang telah

berlangsung sekitar setengah abad ini tidak diimbangi dengan upaya yang sungguh-sungguh

untuk melakukan reorientasi kebijakan pengembangan teknologi dan industri, maka

pertumbuhan perekonomian Indonesia tidak akan pernah membaik, bahkan mungkin semakin

terpuruk.

Salah satu modal utama pembangunan Indonesia sampai saat ini berasal dari kekayaan

sumberdaya alam yang bersifat tak-terbarukan (non-renewable resources), yang suatu saat

akan habis. Tanpa melakukan upaya mendorong agar teknologi domestik lebih sesuai untuk

menjawab permasalahan dan kebutuhan pembangunan ekonomi nasional dan tanpa upaya

mendorong industri untuk lebih memprioritaskan penggunaan teknologi domestik dan

memproduksi barang dan jasa sesuai kebutuhan pasar domestik, maka upaya menumbuhkan

ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy) tidak akan pernah terwujud.

Pengetahuan hanya bisa ditranslasi menjadi pertumbuhan ekonomi jika terlebih dahulu mampu

menghasilkan teknologi yang dibutuhkan pengguna teknologi untuk menghasilkan barang

dan/atau jasa yang dibutuhkan. Agaknya tidak berlebihan atau terkesan pesimistik jika

disimpulkan bahwa inovasi tidak akan tumbuh berkembang jika tidak terjadi perubahan

lingkungan strategis yang mengarah kepada terwujudnya ekosistem yang lebih kondusif untuk

tumbuh-kembang sistem inovasi nasional (SINas).

Skenario business-as-usual jelas tidak akan mampu mendukung pengembangan inovasi

nasional. Hanya dengan melakukan perubahan secara agresif-dan-terarah (agressive and well-

directed) terhadap lingkungan strategis, penguatan inovasi diharapkan akan terjadi dan

kontribusi teknologi terhadap pembangunan perekonomian dapat ditingkatkan. Perubahan

lingkungan strategis ke arah yang lebih kondusif ini perlu dimulai dari setiap komponen bangsa

di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini kemudian dituangkan dalam bentuk

regulasi yang mengikat semua pihak untuk mematuhi dan berperan aktif dalam

implementasinya.

Perubahan lingkungan strategis tersebut, termasuk:

(1) Mengubah orientasi pendidikan nasional yang diterapkan melalui kurikulum pendidikan

untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi

Page 95: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

95

juga memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap permasalahan dan kebutuhan

pembangunan nasional. Relevansi dan mutu pendidikan harus menjadi tujuan utama

penyelenggaraan pendidikan pada semua strata;

(2) Perlu menggeser paradigma ‘eksploitasi’ kekayaan sumberdaya alam sebagai cara cepat-

dan-mudah untuk meningkatkan pendapatan negara (orientasi jangka pendek), menjadi

‘pengelolaan’ sumberdaya alam yang lebih efisien dan akrab lingkungan, sehingga dalam

jangka panjang akan memberikan keuntungan ekonomi dan ekologi yang lebih maksimal

(orientasi jangka panjang);

(3) Mengubah citra produk nasional di mata konsumen dalam negeri, dengan cara

meningkatkan kualitas barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri (Made in

Indonesia) yang dibarengi dengan harga yang lebih kompetitif. Keteladanan tokoh

pemerintahan dan masyarakat dalam mendorong kecintaan dan kebanggaan atas produk

nasional merupakan salah satu cara yang diyakini efektif; dan

(4) Menerbitkan regulasi yang lebih ‘favorable’ untuk pengembangan teknologi nasional dan

untuk mendukung peningkatan market share produk nasional di pasar domestik.

Pada tahun 2011 ini terjadi perkembangan yang positif, dalam upaya penguasaan dan

pemanfaatan iptek. Dengan diluncurkannya Masterplan Percepatan dan Perluasan

Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pembangunan perekonomian tidak lagi dilakukan

dengan pendekatan yang bersifat ‘Business as Not Usual’. Semangat perubahan pendekatan

pembangunan perekonomian tersebut tercermin dari: [1] MP3EI mengedepankan terobosan

kebijakan dan strategi, dimana titik berat pendekatan terletak pada solusi, bukan pada masalah

yang dihadapi; [2] MP3EI menitikberatkan pada percepatan transformasi ekonomi melalui

peningkatan nilai tambah (value added), mendorong investasi, mengintegrasikan sektor dan

regional, serta memfasilitasi percepatan investasi swasta sesuai kebutuhannya; dan [3] MP3EI

mengakomodir masukan dan pendapat dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku

usaha dan pemerintah daerah. Untuk itu, tiga strategi utama dikembangkan dalam pelaksanaan

MP3EI, yaitu: [1] pengembangan potensi ekonomi pada enam koridor pembangunan, dengan

cara mendorong investasi BUMN, swasta nasional, dan Foreign Direct Investment (FDI) pada 22

kegiatan ekonomi utama; [2] memperkuat konektivitas nasional melalui sinkronisasi rencana

aksi untuk revitalisasi kinerja sektor riil; dan [3] pengembangan center of excellence di setiap

koridor ekonomi, yang didorong melalui pengembangan SDM dan iptek yang sesuai untuk

peningkatan daya saing.

Untuk melaksanakan MP3EI yang didasarkan pada Perpres No. 32 Tahun 2011, dibentuk pula

Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI). Dalam struktur

KP3EI ini terdapat tiga Kelompok Kerja, yakni: [1] Pokja Sinkronisasi dan Perbaikan Regulasi, [2]

Pokja Percepatan Pembangunan Infrastruktur, dan [3] Pokja SDM dan Iptek. Keberadaan Pokja

SDM dan Iptek ini membuka peluang bagi Kementerian Riset dan Teknologi, dan unsur

kelembagaan iptek di perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, maupun di

lembaga lainnya di badan usaha, masyarakat, dan lembaga penunjang lainnya untuk secara

Page 96: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

96

lebih signifikan dapat berkontribusi terhadap pembangunan perekonomian Indonesia. Secara

teknis operasional, ini berarti upaya penguatan inovasi nasional di Indonesia mendapat pijakan

yang lebih mantap.

Page 97: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

97

Bab 5 Jangkauan, Arah Pengaturan, dan

Ruang Lingkup Materi Muatan RUU Perubahan UU Nomor 18 Tahun 2002

Sangat mudah untuk menyatakan bahwa pengembangan sistem inovasi nasional (SINas)

merupakan upaya mendorong peningkatan inovasi secara nasional agar secara nyata

memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan perekonomian dan peningkatan

kesejahteraan rakyat. Namun persoalannya adalah bagaimana cara untuk mewujudkannya di

Indonesia. Untuk itu akan diuraikan dalam bab ini mengenai arah dan jangkauan kebijakan

penguatan inovasi nasional, serta ruang lingkup materi muatan rancangan undang-undang

tentang perubahan UU No. 18 Tahun 2002.

5.1. Arah dan Jangkauan Pengaturan Penguatan Inovasi Nasional

Di negara-negara maju yang tergabung dalam OECD, kebijakan inovasi nasional umumnya telah

dipublikasikan secara luas. Strategi keberhasilan negara-negara tertentu, sering menjadi

reference utama dalam pengembangan kebijakan inovasi. Namun demikian upaya untuk

mengadopsi secara langsung konsepsi inovasi nasional di negara yang secara ekonomi lebih

berhasil untuk diterapkan di negara lainnya seringkali mengalami kegagalan. Demikian halnya,

mengabaikan fakta adanya perbedaan yang tajam antara negara yang dicontoh dengan realita

di Indonesia.

Pejabat negara dan kadang juga akademisi yang (dianggap) pakar di bidang penguatan inovasi

juga ikut melakukan upaya adopsi langsung ini tanpa melakukan analisis yang mendalam

mengapa pengembangan konsepsi inovasi tertentu berhasil memajukan perekonomian di

negara asalnya. Kalaupun dilakukan analisis, maka seringkali pengembangan inovasi dianalisis

secara terisolir, tercerabut dari ekosistem dimana sistem inovasi nasional (SINas) mampu unjuk

kinerja dengan sangat baik.

Pengembangan SINas tidak hanya merupakan sekumpulan aktor. Sekumpulan aktor SINas yang

hebat, baik yang berperan sebagai pengembang maupun pengguna teknologi yang dimiliki

suatu negara, belum menjamin bahwa negara yang bersangkutan akan secara otomatis

memiliki SINas yang produktif dan berkelanjutan. Kehandalan SINas sebagai sebuah sistem

lebih ditentukan oleh intensitas dan efektivitas interaksi antara aktor-aktor utamanya,

dukungan dari berbagai aktor pendukungnya, dan kondusivitas ekosistem tempat tumbuh-

kembangnya. Secara praktis, kehandalan SINas sesungguhnya ditentukan oleh kelancaran aliran

Page 98: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

98

informasi kebutuhan (demand) dari para aktor pengguna ke pengembang teknologi, yang

diimbangi dengan kelancaran pasokan teknologi yang relevan dari aktor pengembang ke

pengguna teknologi.

Secara komprehensif, SINas merupakan sistem yang kompleks. Walaupun untuk simplifikasi

dalam analisisnya unsur-unsur SINas dapat diurai lepas satu per satu, namun analisis hanya

akan sahih jika masing-masing unsurnya tersebut selalu dilihat dari perpektif keterkaitannya

dengan unsur SINas lainnya. Alur keterkaitan SINas dengan komponen pembentuk

ekosistemnya dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Peran Pemerintah dalam menyiapkan ‘panggung’ Sistem Inovasi Indonesia

Upaya mewujudkan SINas yang efektif dan produktif dalam mendukung pembangunan

perekonomian membutuhkan peranan pemerintah dalam menciptakan ekosistem yang

kondusif bagi tumbuh kembang SINas tersebut. Tugas utama pemerintah adalah menyiapkan

‘panggung’ untuk pengembangan SINas agar para aktor inovasi secara nyaman dapat

memainkan peranannya masing-masing.

Panggung SINas sebagai konsepsi dapat diaktualisasikan dalam bentuk: [1] fasilitas untuk para

aktor berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif, [2] regulasi yang memungkinkan para

aktor untuk memformulasikan dan mengimplementasikan upaya bersama dalam meningkatkan

produktivitas, dan [3] dukungan dan/atau insentif finansial yang menjadi perangsang bagi para

aktor untuk bersama-sama membangun dan memperkuat inovasi nasional. Panggung SINas

yang ideal tidak mungkin dapat disiapkan oleh pemerintah tanpa didahului dengan formulasi

kebijakan di berbagai sektor pendukung inovasi nasional yang tepat. Kebijakan yang terkait

secara langsung dan diyakini akan sangat berpengaruh terhadap kinerja SINas adalah kebijakan

ekonomi makro, keuangan, dan perpajakan; kebijakan perindustrian dan perdagangan;

kebijakan riset dan pengembangan teknologi; kebijakan ketenagakerjaan; kebijakan pendidikan

nasional; kebijakan penyediaan infrastruktur sosial; dan kebijakan dalam rangka mewujudkan

tata kepemerintahan yang baik (good governance).

Kebijakan tersebut selain harus selaras dengan upaya mewujudkan SINas, juga harus berbasis

pada potensi sumberdaya ekonomi dan potensi sosial budaya yang dimiliki Indonesia.

POTENSI SOSIO-KULTURAL

[Intangible Factors]

Ideologi

Politik

Tata Kepemerintahan

Budaya Kerja

PERAN POKOK PEMERINTAH Memformulasikan kebijakan pendukung SINas berbasis pada Potensi Sumber daya Ekonomi dan Potensi Sosio-Kultural dalam rangka penyiapan “Panggung SINas”, terutama kebijakan:

Perekonomian makro, keuangan, dan perpajakan

Perindustrian dan Perdagangan

Riset dan Pengembangan Teknologi

Ketenagakerjaan

Pendidikan Nasional

Infrastruktur Sosial

Tata Kepemerintahan

PANGGUNG SINAS

Fasiltas Komunikasi & Interaksi

Regulasi yang Kondusif

Dukungan & Insentif Finansial

PENGEMBANG TEKNOLOGI

Perguruan Tinggi

Lembaga R&D Pemerintah

Lembaga R&D Swasta

PENGGUNA TEKNOLOGI

Industri / Bisnis

Masyarakat

Pemerintah

LEMBAGA

INTERMEDIASI

PASAR

Domestik

Global

Barang/Jasa

Permintaan

POTENSI SUMBERDAYA EKONOMI [Tangible Factors]

Sumberdaya Alam

Sumberdaya Manusia

Infrastruktur

Page 99: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

99

Kebijakan yang tidak mengakar pada potensi dan kondisi sendiri akan lebih susah untuk secara

efektif diimplementasikan. Dengan demikian tugas pokok pemerintah yang paling krusial

adalah mensinkronisasikan antara potensi ekonomi dan non-ekonomi yang dimiliki Indonesia

dalam rangka menyiapkan panggung SINas yang ‘nyaman’ bagi para aktor untuk unjuk kinerja

melalui kebijakan dan regulasi yang kondusif.

Kinerja aktor-aktor SINas pada akhirnya akan terindikasi dari kemampuan nasional dalam

memenuhi permintaan pasar (utamanya pasar domestik), baik berupa barang maupun jasa.

Oleh sebab itu, peran pemerintah tidak hanya penting dalam rangka menyiapkan ‘panggung’

SINas, tetapi juga penting perannya dalam mengawal agar pengembangan teknologi dan

aplikasinya oleh industri (sebagai pihak penggunanya) lebih berorientasi pada pemenuhan

permintaan pasar domestik.27

5.1.1. Membangun Inovasi sebagai Sistem

Sebagai sebuah sistem, pengembangan inovasi nasional tidak dapat dipandang hanya sebagai

kumpulan dari lembaga, tetapi yang lebih penting adalah terjadinya aliran informasi dan

produk iptek yang lancar antar-lembaga. Keberadaan aktor atau kelembagaan pengembang

dan pengguna teknologi, serta upaya fasilitasi, intermediasi, dan regulasi pemerintah belum

menjamin bahwa sistem inovasi sudah terbangun atau pasti akan berjalan. Pada saat ini

sesungguhnya para aktor dan lembaga-lembaga tersebut sudah ada, tetapi interaksi dan

komunikasinya belum intensif dan produktif. Ini yang menjadi persoalan pokok saat ini.

Pengembang teknologi (termasuk perguruan tinggi) melakukan kegiatan riset tanpa

mempertimbangkan relevansinya dengan kebutuhan pengguna; sebaliknya pengguna teknologi

belum mau mengadopsi teknologi dalam negeri karena berbagai alasan, antara lain karena

tidak relevan dengan kebutuhan, belum cukup handal secara teknis, tidak sesuai dengan

kapasitas adopsi pengguna, dan/atau belum kompetitif secara ekonomi.

Untuk memperbesar peluang terwujudnya sistem inovasi, maka para pengguna teknologi harus

terbuka untuk berbagi informasi tentang kebutuhan teknologi dan persoalan nyata yang

dihadapi; sebaliknya juga pihak pengembang teknologi harus peka terhadap kebutuhan dan

persoalan nyata yang berkembang dan umumnya bersifat dinamis. Teknologi yang

dikembangkan selain harus relevan dengan kebutuhan pengguna, juga harus sesuai dengan

kapasitas adopsi pengguna potensialnya, baik kapasitas adopsinya secara teknis, ekonomi, dan

sosiokultural (Gambar 7).

27

Sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, pada beberapa kesempatan. Berbagai negara, juga melihat populasi Indonesia yang besar, lebih dari 237 juta jiwa (BPS, 2010) juga merupakan pasar yang sangat potensial.

Page 100: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

100

Gambar 7. Konsepsi Dasar Sistem Inovasi Nasional (Lakitan, 2010)

Dalam konteks pengembangan SINas, maka mutlak perlu terjadi aliran informasi kebutuhan

iptek dan persoalan nyata yang membutuhkan solusi iptek dari pihak pengguna ke pihak

pengembang iptek. Prasyarat agar aliran ini terjadi adalah [1] keterbukaan atau keinginan dari

pihak pengguna untuk berbagi informasi dan [2] sensitivitas pihak pengembang iptek dalam

menangkap sinyal kebutuhan teknologi dan persoalan nyata yang dihadapi pihak pengguna

iptek. Keyakinan pihak pengguna atas kapasitas lembaga pengembang iptek dalam

menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang sesuai kebutuhan, handal secara teknis, dan

kompetitif secara ekonomi akan menjadi pemicu terjadinya aliran informasi dimaksud. Jika

saat ini aliran tersebut masih tersendat, maka adalah bijak jika kedua belah pihak melakukan

swa-evaluasi (self assessment), mencermati tentang apa yang perlu dibenahi di wilayah peran

masing-masing. Lembaga litbang dan lembaga pengguna teknologi perlu melakukan

pembenahan.

Lembaga litbang sebagai pengembang iptek perlu: [1] mengevaluasi kembali tentang kesesuaian

orientasi pengembangan iptek dengan kebutuhan rakyat dan negara (isu relevansi riset); dan [2]

meningkatkan pemaham tentang kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi rakyat dan negara (isu

sensitivitas pelaku pengembang iptek); sebaliknya lembaga pengguna teknologi perlu meningkatkan

kapasitas adopsinya dan kesediaannya dalam berbagi informasi kebutuhan dan persoalan terkait

dengan teknologi. Perlu selalu diyakini bahwa iptek hanya akan berkontribusi terhadap pembangunan

nasional, apabila iptek digunakan dan nyata bermanfaat, baik manfaat ekonomi maupun non-ekonomi.

Prasyarat agar aliran teknologi ini terjadi adalah: [1] teknologi yang dikembangkan dan ditawarkan oleh

lembaga litbang relevan dengan kebutuhan pengguna; [2] teknologi yang ditawarkan sepadan dengan

Page 101: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

101

kapasitas adopsi (calon) pengguna potensialnya; dan [3] penggunaan iptek tersebut mempunyai

prospek keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan iptek serupa yang sudah tersedia.

Pada fase awal (seperti kondisi saat ini), menggerakkan aliran dua-arah ini akan membutuhkan daya

yang besar dan upaya yang intensif. Oleh sebab itu, butuh peran dan komitmen yang sungguh-sungguh

dari Pemerintah. Pemerintah diharapkan dapat memainkan peran sebagai fasilitator, intermediator, dan

regulator agar suasana yang kondusif dapat diwujudkan, agar pengguna dan pengembang iptek

terangsang untuk mengintensifkan komunikasi dan interaksinya.

Secara hakiki, sistem inovasi hanya akan terwujud jika terjadi komunikasi dan interaksi antara

aktor atau lembaga pengembang dengan pengguna teknologi, terbukti dengan adanya aliran

informasi kebutuhan teknologi dan informasi tentang persoalan nyata yang dihadapi oleh pihak

pengguna dalam melakukan proses produksi barang dan/atau jasa sesuai dengan permintaan

konsumen, serta sebaliknya juga terjadi adopsi teknologi yang dihasilkan oleh pihak

pengembang oleh pihak pengguna. Kesinambungan aliran dua arah ini yang menjadi indikator

eksistensi sistem inovasi, pada jenjang nasional, daerah, maupun kawasan ekonomi tertentu.

5.1.2. Revitalisasi Lembaga Pengembang Teknologi

Pada saat ini, ada tiga kapasitas yang sangat mendasar yang perlu dimiliki oleh setiap lembaga

pengembang teknologi, yakni: [1] kapasitas untuk menyerap iptek yang berasal dari luar

(sourcing capacity); [2] kapasitas untuk melakukan riset dan pengembangan iptek (R&D

capacity); dan [3] kapasitas untuk mendiseminasikan pengetahuan dan teknologi yang

dihasilkan (disseminating capacity)(Gambar 8).

Kapasitas ‘outsourcing’ lembaga pengembang teknologi terindikasi antara lain dari aksesibilitas

ke berbagai sumber informasi iptek, tidak terjadi tumpang tindih riset yang dilakukan dengan

riset yang (telah) dilakukan di tempat lain, dan efisiensi penggunaan sumberdaya dalam

menghasilkan iptek yang bermanfaat. Kapasitas riset dan pengembangan tercermin dari

kualitas riset dan iptek yang dihasilkan, relevansi teknologi yang dihasilkan dengan kebutuhan

nyata para pengguna, dan produktivitas lembaga dalam menghasilkan teknologi per satuan

sumberdaya dan/atau biaya yang dikelola.

Sedangkan kapasitas diseminasi terlihat dari intensitas dan jangkauan publikasi kegiatan riset

yang dilakukan dan iptek yang dihasilkan baik melalui media cetak maupun elektronik,

kuantitas dan kualitas iptek yang diadopsi oleh pihak pengguna, dan royalti yang diterima oleh

lembaga atas produk teknologinya yang berhasil dikomersialisasikan. Contoh indikator kinerja

lembaga litbang berbasis pada tiga kapasitas pokoknya, disajikan pada Tabel 7.

Page 102: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

102

Gambar 8. Tiga kapasitas yang harus dimilik lembaga litbang (Lakitan, 2011a)

Tabel 7. Tiga kapasitas lembaga litbang dan contoh indikator kinerjanya

Kapasitas Pokok Contoh Indikator Kinerja

Kapasitas Outsourcing Akses ke sumber informasi iptek

Tidak terjadi tumpang tindih dan replikasi riset

Efisiensi pemanfaatan sumberdaya

Jaringan kemitraan

Kapasitas Litbang Kualitas hasil litbang

Relevansi dengan kebutuhan/persoalan nyata

Produktivitas kelembagaan

Kapasitas Diseminasi Situs dan frekuensi pemutakhiran informasi

Publikasi ilmiah

Hasil riset yang dimanfaatkan pengguna

Royalti yang diterima

Pada era inovasi yang terbuka ini, ketiga jenis kapasitas ini secara paralel dikembangkan dalam

sebuah sistem yang terintegrasi. Strategi revitalisasi lembaga pengembang teknologi dikemas

secara komprehensif dan integratif, tidak secara partial maupun tersegmentasi. Ukuran

keberhasilan dan pilihan indikator yang digunakan dalam melakukan evaluasi kinerja lembaga

Page 103: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

103

pengembang teknologi perlu dikonstruksi secara cermat. Peringatan dari Loikkanen et al.

(2009) perlu mendapat perhatian: “Although useful in benchmarking of country performances,

S&T indicators, if poorly constructed, can convey misleading policy messages”.

Indikator kinerja yang dikembangkan dan telah digunakan oleh lembaga internasional dengan

reputasi baik serta telah diadopsi oleh berbagai negara, dapat dijadikan sebagai referensi.

Namun demikian tetap perlu dicermati, karena tidak secara otomatis menjamin indikator

tersebut merupakan indikator yang paling pas untuk kondisi dan kepentingan Indonesia saat

ini. Dalam penggunaan indikator ini, sangat bijaksana nasehat yang dikemukakan oleh seorang

tokoh inovasi dunia yang berkerja puluhan tahun untuk lembaga internasional ternama dalam

mengembangkan indikator ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (STI) berikut ini: “On the

basis of 40 years of indicators work, we argue that frontiers and characteristics of STI indicators

that were important last century may no longer be so relevant today and indeed may even be

positively misleading” (Freeman and Soete, 2009).

Peringatan dan nasehat seperti ini perlu secara serius diperhatikan oleh para pengelola

lembaga pengembang teknologi di Indonesia, karena kasus ‘abuse’ indikator STI (dan data

statistik lainnya) bukan merupakan kejadian langka di Indonesia. Cara yang bijak adalah pahami

secara komprehensif dan mendalam tentang lembaga pengembang teknologi Indonesia saat ini

dan ekspektasi peran lembaga ini yang ideal di masa yang akan datang, baru kemudian memilih

indikator yang pas untuk mengevaluasi kemajuan yang dicapai secara berkala dengan interval

waktu yang rasional, sepanjang kurun waktu yang dibutuhkan untuk proses transformasi dari

kondisi saat ini menjadi lembaga ideal yang diharapkan.

Revitalisasi lembaga pengembang teknologi diyakini akan menempuh tiga langkah penting,

yakni: [1] merumuskan kembali tujuan dan menetapkan sasaran yang ingin dicapai; [2]

melakukan reformasi struktural agar organisasi lembaga dapat menjadi kendaraan yang efektif

untuk mencapai tujuan; dan [3] mengubah mindset dan budaya kerja komunitas pengembang

teknologi. Lembaga pengembang teknologi di Indonesia juga perlu melakukan reformasi, agar

transfer/difusi iptek dapat berjalan lebih lancar. Langkah pertama dan kedua relatif tidak sulit

untuk dilakukan, maka langkah ketiga, yakni mengubah mindset dan budaya kerja individu

peneliti dan komunitas pengembang litbang, akan menjadi tantangan dan ujian yang paling

sulit tetapi mutlak harus dilakukan. Keberhasilan pada dua langkah pertama akan sia-sia jika

langkah ketiga ini tidak berhasil dilaksanakan. Boardman (2009) mengirimkan sinyal tentang

tantangan yang sulit ini: [There is] a fundamental management task of aligning individual

behaviors with [research] center goals and objectives. Apalagi individu-individu dalam

komunitas pengembang teknologi selama ini terbiasa dan lebih nyaman berkerja secara

individual dibandingkan sebagai bagian dari kelompok atau komunitas yang lebih besar.

Lembaga pengembang teknologi saat ini merupakan bagian integral dari sistem yang lebih

besar, yakni SINas. Oleh sebab itu, visi dan misi, serta tujuan dan sasarannya perlu disesuaikan.

Rencana strategis dan rencana aksi lembaga perlu ditinjau ulang. Kegiatan riset yang cenderung

untuk prestasi akademik semata, atau yang hanya bersifat sebagai academic exercise, perlu

Page 104: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

104

digeser prioritasnya untuk mendahulukan kegiatan riset untuk menghasilkan iptek yang sesuai

dengan kebutuhan nyata. Pembiayaan kegiatan pengembangan teknologi sudah saatnya

diperlakukan sebagai bagian dari investasi. Kegiatan pengembangan teknologi dalam jangka

panjang harus memberikan keuntungan yang sebanding dengan pembiayaannya. Keuntungan

yang dimaksud tidak selalu dalam bentuk keuntungan ekonomi, tetapi dapat dalam bentuk

non-ekonomi, misalnya penyelenggaraan pemerintahan yang lebih bersih, turunnya tingkat

kriminalitas atau tumbuhnya rasa aman, meningkatnya rasa bangga sebagai warga negara,

kerukunan umat beragama, dan bentuk keuntungan sosial dan spiritual lainnya. Namun

demikian, sejak awal kegiatan pengembangan teknologi harus mempunyai orientasi yang jelas,

yakni untuk menghasilkan iptek yang bermanfaat bagi umat maupun negara. Perspektif ini yang

menjadi ruh pengembangan teknologi berbasis realita kebutuhan (demand-driven).

Kecenderungan global saat ini sangat kentara mengarah pada pengembangan teknologi

berbasis kebutuhan, walaupun banyak ragam istilah yang digunakan, misalnya market-driven,

goal-oriented research, mission-driven, issue-driven, need-driven, evidence-based, atau

challenge-driven. Ragam istilah pendekatan pengembangan teknologi ini pada esensinya adalah

kurang-lebih sama.

5.1.3. Peningkatan Kapasitas Adopsi Lembaga Pengguna Teknologi

Konsepsi peningkatan kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna berpeluang untuk

diterapkan jika dibangun berdasarkan realita posisi saat ini. Pemahaman yang tepat tentang

akar persoalan yang menyebabkan lembaga pengguna teknologi Indonesia berada pada posisi

saat ini akan sangat membantu. Untuk itu perlu kejelian dalam mengidentifikasi akar persoalan

(fundamental problems), agar tidak terkecoh oleh gejala simptomatis (symptomatical

problems) yang mungkin tertangkap pada kesan pertama. Jika konsepsi hanya menyentuh

persoalan simptomatis, maka konsepsi tersebut tidak akan mampu menjadi solusi mendasar

bagi upaya meningkatkan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi sebagaimana yang

diniatkan. Jika hanya gejala simptomatis yang mampu dikenali, maka konsepsi yang

dikembangkan mungkin kelihatannya bagus tetapi sangat mungkin akan mengecewakan karena

ternyata tidak mampu memberikan solusi sebagaimana yang diharapkan.

Hipotesis untuk kondisi saat ini adalah: [1] kapasitas adopsi lembaga-lembaga pengguna

teknologi di Indonesia saat ini masih sangat rendah, yang disebabkan oleh mutu potensi

internal yang rendah dan motivasi yang kurang; dan [2] peningkatan kapasitas adopsi teknologi

terkendala oleh ekosistem yang kurang kondusif, terutama dari regulasi dan insentif yang

belum optimal. Upaya penguatan kapasitas adopsi lembaga pengguna perlu memperhatikan:

[1] potensi internal (sumberdaya manusia, kemampuan pembiayaan, sarana dan prasarana

pendukung) lembaga-lembaga pengguna teknologi sangat minimal, selain itu juga kebijakan

internal lembaga masih belum memberikan prioritas untuk peningkatan kapasitas adopsi,

akibatnya motivasi untuk melakukan upaya peningkatan tersebut juga tidak tumbuh; dan [2]

unsur-unsur ekosistem eksternal yang kurang kondusif, terutama karena regulasi yang kurang

Page 105: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

105

mendukung atau sebagian sudah mendukung namun implementasinya masih terkendala, selain

juga fasilitasi dan intermediasi yang masih belum optimal, serta program-program insentif yang

ada masih kurang efektif dan/atau kurang menarik bagi lembaga pengguna (Gambar 9).

Realita saat ini menumbuhkan keyakinan bahwa untuk mengoptimalkan kemampuan lembaga

pengguna dalam mengadopsi teknologi yang paling krusial adalah melakukan pembenahan

internal lembaga. Pembenahan ini mencakup, terutama penguatan sumberdaya (manusia,

sarana, prasarana, dan dana) untuk mendukung aktivitas litbang pada lembaga pengguna, atau

dengan ungkapan yang lebih sederhana adalah dengan melakukan penguatan kapasitas litbang

internal lembaga pengguna.

Gambar 9. Kerangka dasar konsepsi peningkatan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi

Berbeda dengan industri yang mengadopsi teknologi untuk diaplikasikan dalam proses produksi

barang dan/atau jasa yang dibutuhkan konsumen, lembaga pemerintah mengadopsi teknologi

untuk digunakan dalam menjalankan tugas negara/pemerintahan. Posisi ini cenderung sebagai

konsumen akhir dari teknologi atau produk teknologi yang diakuisisi, misalnya dalam konteks

teknologi pertahanan dan keamanan. Sebagaimana industri, lembaga pemerintah yang

berperan sebagai lembaga pengguna teknologi juga harus diperkuat kapasitas litbangnya.

Lembaga ini tidak hanya mampu menggunakan produk teknologi yang dibeli atau diakuisisi,

tetapi juga mampu untuk melakukan asimilasi dan reformulasi teknologi agar lebih sesuai

dengan kebutuhan spesifiknya dan/atau untuk meningkatkan kehandalan produk teknologi

tersebut. Minimal mampu melakukan pemeliharaan (maintenance), sehingga mengurangi

Page 106: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

106

ketergantungan kepada pihak produsennya sebagai langkah antisipatif jika ada kendala purna-

jualnya. Untuk dapat melaksanakan peran ini, maka opsi utamanya adalah meningkatkan

kualitas dan relevansi keahlian sumberdaya manusia yang bekerja pada masing-masing

lembaga pengguna tersebut, diikuti dengan penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan

dan dukungan anggaran yang mencukupi.

Di era informasi terbuka ini, lembaga pengguna juga diharapkan tidak hanya mampu

mengaplikasikan teknologi, tetapi juga mampu secara proaktif mengenali jenis dan

mengidentifikasi sumber teknologi yang maju, handal, dan relevan dengan kebutuhan

lembaganya, serta siap secara seutuhnya untuk mengadopsi teknologi tersebut, baik yang

berasal dari luar maupun dari dalam negeri, termasuk juga melalui spillover investasi asing.

Dalam rangka memaksimalkan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi, maka perlu

upaya sungguh-sungguh untuk: [1] meningkatkan kualitas dan relevansi keahlian dan/atau

ketrampilan sumberdaya manusia, terutama untuk yang secara langsung melaksanakan

tugasnya terkait adopsi dan pengembangan teknologi; [2] memberikan dukungan fasilitas dan

pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan adopsi dan pengembangan teknologi; [3]

menyepakati dan menjalankan secara konsisten kebijakan internal lembaga pengguna untuk

memprioritaskan adopsi dan pengembangan teknologi; dan [4] melakukan upaya institusional

yang dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi karyawan dalam meningkatkan peran aktifnya

dalam proses adopsi dan pengembangan teknologi, misalnya insentif yang pantas untuk

kontribusi atau prestasi yang dicapai.

Upaya penguatan kapasitas adopsi masyarakat sebagai pengguna teknologi perlu pendekatan

yang berbeda. Mungkin saja organisasi atau asosiasi masyarakat yang memayungi individu-

individu pengguna teknologi, namun lembaga masyarakat tersebut tidak bersifat ‘struktural’

sehingga tidak dapat diperlakukan sebagai entitas yang setara dengan lembaga pengguna

sebagaimana pada industri dan pemerintahan. Dengan kata lain, individu-individu masyarakat

lebih pas jika diperlakukan secara independen, misalnya petani, nelayan, peternak, seniman,

dan lain-lain. Namun perlu pula ditegaskan bahwa industri mikro atau kecil tradisional tetap

harus dikategorikan sebagai satu entitas industri, terlepas dari jumlah karyawannya yang

mungkin sangat sedikit. Kapasitas adopsi individu masyarakat dengan demikian akan

tergantung pada kapasitas intelektual, kemampuan manajerial, motivasi, naluri bisnis, dan

kualitas personal lainnya. Namun demikian, agar upaya meningkatkan kapasitas adopsi individu

masyarakat ini dapat dilakukan secara lebih praktis, rasional, dan efisien; pelaksanaannya dapat

saja dilakukan secara kolektif pada komunitas pengguna dengan kebutuhan jenis teknologi,

bidang usaha, dan skala usaha yang setara.

Memahami karateristik masing-masing pengguna teknologi yang berbeda (antara industri,

lembaga pemerintah, dan individu masyarakat), dibutuhkan pendekatan dan strategi yang

berbeda untuk masing-masing kelompok pengguna tersebut, walaupun tujuannya adalah sama,

yakni untuk meningkatkan kapasitas adopsi teknologi. Ada empat faktor eksternal yang secara

langsung mempengaruhi kapasitas adopsi teknologi. Dua faktor bersifat mendorong (pushing

factors) lembaga pengguna untuk meningkatkan kapasitas adopsinya, yakni regulasi dan

Page 107: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

107

adanya kompetisi antara lembaga pengguna; sedangkan dua faktor lagi bersifat menarik

(pulling factors), yakni adanya permintaan pasar dan ketersediaan sumberdaya yang

dibutuhkan (Gambar 10).

Gambar 10. Faktor eksternal yang mempengaruhi kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi

Regulasi yang tepat akan mendorong lembaga pengguna untuk meningkatkan kemampuan

internalnya yang berkaitan langsung dengan kapasitas adopsi teknologi, misalnya peningkatan

kualitas sumberdaya manusia; sedangkan adanya kompetitor tentu akan menjadi faktor

pendorong lainnya bagi lembaga pengguna untuk antara lain meningkatkan aktivitas serta

fasilitas riset in-house. Prinsip dasarnya dalam era informasi terbuka ini, semua pihak bisa

mendapatkan informasi tentang ketersediaan teknologi dan berpeluang untuk mengadopsinya,

tetapi hanya lembaga pengguna yang siap yang mampu melakukan proses adopsi tersebut

secara efektif dan efisien, serta mampu mengadaptasi teknologi tersebut agar lebih sesuai

dengan kebutuhannya dan mampu memaksimalkan keuntungan yang diperoleh dari adopsi

teknologi tersebut.

Adanya permintaan pasar yang nyata dan signifikan, serta ketersediaan sumberdaya (bahan

baku, tenaga kerja, kepakaran, fasilitas dan infrastruktur pendukung) akan menumbuhkan

motivasi dan menjadi pemicu untuk meningkatkan kapasitas adopsi teknologi yang dibutuhkan

lembaga pengguna untuk mengelola sumberdaya tersebut. Secara ringkas, potret kapasitas

Page 108: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

108

adopsi yang ideal untuk lembaga pengguna teknologi adalah jika memiliki kemampuan untuk

mengenali teknologi sesuai dengan kebutuhannya, menyerap dan mengasimilasikan teknologi

tersebut, memformulasikan teknologi yang aplikatif sesuai kemampuan dan kebutuhannya,

serta mengaplikasikannya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang diembannya, atau

sesuai dengan core business-nya.

Ada beberapa catatan penting terkait dengan kapasitas adopsi yang ideal bagi lembaga

pengguna teknologi, yakni:

[1] Kapasitas internal lembaga sangat krusial untuk dibangun, oleh sebab itu perlu melakukan

peningkatan kualitas sumberdaya manusia, terutama – tetapi tidak terbatas pada

sumberdaya manusia yang ditugaskan pada atau terkait langsung dengan unit yang

menangani adopsi, adaptasi, dan pengembangan teknologi;

[2] Perlu dukungan yang optimal untuk aktivitas dan penyediaan fasilitas riset in-house, karena

akan secara nyata berdampak positif pada kapasitas adopsi, adaptasi, dan pengembangan

teknologi;

[3] Regulasi dan kompetisi menjadi faktor pendorong (pushing factors) yang efektif;

sedangkan permintaan pasar dan potensi sumberdaya dapat menjadi faktor penarik

(pulling factors) yang atraktif bagi lembaga pengguna untuk meningkatkan kapasitas

adopsinya;

[4] Perlu regulasi dan kebijakan yang kondusif untuk membuka peluang mobilisasi

sumberdaya manusia antar-lembaga inovasi, sehingga dapat memperbesar peluang untuk

terjadinya aliran atau limpasan (spillover) teknologi yang diserap oleh lembaga pengguna;

[5] Keberadaan lembaga pengguna dalam suatu klaster inovasi tidak menjamin akan efektif

dalam mengadopsi teknologi yang tersedia, namun jika kapasitas adopsinya sudah berada

pada jenjang yang ideal maka keberadaannya dalam klaster inovasi akan memperbesar

peluangnya untuk mengadopsi teknologi tersedia yang sesuai dengan kebutuhannya; dan

[6] Kapasitas adopsi lembaga pengguna perlu secara paralel dibangun bersama dengan

kemampuan lembaga pengembang untuk menghasilkan teknologi yang relevan dalam

rangka mewujudkan sistem inovasi, baik pada tingkat nasional maupun pada jenjang yang

lebih terbatas wilayah cakupannya.

5.1.4. Peningkatan Peran Lembaga Intermediasi

Ketidakpaduan antara teknologi yang dihasilkan lembaga pengembang dengan kebutuhan

pengguna dan rendahnya kebutuhan serta kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna

merupakan kenyataan yang menjadi justifikasi: [1] kebutuhan akan lembaga intermediasi,

tetapi juga sekaligus [2] menjadikan lembaga intermediasi yang sudah ada sulit untuk

menjalankan perannya.

Page 109: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

109

Lembaga intermediasi yang ada saat ini masih terlalu fokus pada upaya ‘memasarkan’ teknologi

yang dihasilkan oleh lembaga pengembang, belum banyak berperan dalam membantu

mengidentifikasi kebutuhan atau persoalan yang dihadapi pengguna dan mengalirkan informasi

tersebut kepada lembaga pengembang teknologi. Oleh sebab itu, peran lembaga intermediasi

perlu didorong agar dapat berperan ganda tersebut, memasarkan teknologi yang dihasilkan

pengembang dan sekaligus menjadi perpanjangan tangan pengembang untuk memahami

kebutuhan dan persoalan teknologi yang dihadapi pengguna (Gambar 11).

Gambar 11. Peran Ganda Lembaga Intermediasi

Peran intermediasi ini dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun lembaga non-

pemerintah. Pada saat ini, lembaga intermediasi yang ada pada dasarnya diinisiasi oleh

pemerintah tetapi kemudian dikelola oleh lembaga pemerintah itu sendiri atau personel yang

bukan pegawai pemerintah. Minat pihak swasta untuk berperan sebagai intermediator masih

rendah dan belum akan tumbuh jika teknologi yang dihasilkan pengembang belum mempunyai

nilai jual yang baik atau jika relevansi antara teknologi yang dikembangkan masih senjang

dengan kebutuhan pengguna.

Sebagai contoh lembaga mediasi adalah Sentra HKI dan Business Innovation Center (BIC).

Menurut UU No. 18 Tahun 2002, Sentra HKI adalah unit kerja yang berfungsi mengelola dan

mendayagunakan kekayaan intelektual, sekaligus sebagai pusat informasi dan pelayanan HKI.

Dengan adanya Sentra HKI diharapkan perguruan tinggi dan lembaga litbang dapat

mengembangkan unit organisasi dan prosedur untuk mengelola semua kekayaan intelektual

dan informasi iptek yang dimilikinya. Jumlah Sentra HKI saat ini mencapai 79 buah, sejak

digagas Kementerian Riset dan Teknologi pada 1999. Namun sebagian besar menghadapi

permasalahan lemahnya kemampuan di bidang manajemen HKI, termasuk kemampuan

menyelenggarakan kegiatan komersialisasi secara profesional yang didukung aspek legal.

Page 110: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

110

Padahal Sentra HKI harus mampu menjadi marketer atau sebagai intermediator antara pemilik

dan pengguna HKI.

Business Innovation Center atau yang disingkat BIC didirikan dengan tujuan mengoptimalkan

pemberdayaan Inovasi di Indonesia dengan tujuan meningkatkan pembangunan nasional. Misi

lembaga ini adalah mendorong inovasi business di Indonesia, melalui kegiatan intermediasi

antara inovator pengembangan teknologi dengan dunia bisnis. BIC diharapkan menjadi

lembaga intermediasi proses inovasi bisnis, untuk menciptakan nilai tambah ekonomi dan

bisnis dan daya saing nasional Indonesia.

BIC memberikan beberapa jenis layanan yaitu layanan umum, swasta, akademisi dan

pemerintah yang sesuai dengan fungsi dan tujuan BIC. Layanan umum mencakup kunjungan ke

perusahaan-perusahaan; menganalisa dan mengoptimalkan rangkaian nilai proses kerja,

perusahaan, pemasok, membantu mencarikan mitra kerjasama yang tepat dari kalangan iptek;

mengadakan gathering dan seminar dalam hal menjembatani ABG; memberikan secara terus-

menerus informasi tentang perkembangan teknologi baru dan proses produksi;

mengidentifikasikan risiko dan mengenali potensinya; memberikan pendampingan pada

perusahaan-perusahaan yang inovatif; membuat database yang menampung informasi

mengenai proses-proses inovasi; mengatur pertukaran para pakar yang dibutuhkan dengan

keahlian tertentu; dan, mengatur pertemuan para pakar untuk dapat menjalin kerjasama.

Layanan untuk swasta/bisnis yang dilakukan BIC mencakup mempermudah proses pencarian

informasi mengenai inovasi; mempermudah pengembangan bisnis dengan penerapan inovasi;

memperluas hubungan dengan pemerintah dan akademisi; menghubungkan para pelaku bisnis

dalm hal mendapatkan insentif yang diberikan oleh pemerintah; memberikan informasi

mengenai kajian-kajian teknologi yang sedang berlangsung; dan, menyusun agenda dan

pengaturan pertemuan dengan pusat-pusat kajian teknologi. Sedangkan layanan untuk

akademisi/teknisi adalah membantu mengembangkan produk inovasi yang sudah ada untuk di

komersialkan; membantu dalam hal finansial yang akan dibantu oleh pihak swasta/pelaku

bisnis; memberikan jaringan/network pelaku bisnis dalam hal kerjasama terhadap pihak

akademisi; memberikan pengetahuan mengenai pasar dan trend yang ada di pasar; membantu

menghubungkan kepada pihak dunia usaha dalam hal kerjasama; dan membantu melakukan

analisi terhadap pihak dunia usaha yang memiliki interest untuk berinvestasi terhadap riset

yang dilakukan. Layanan untuk pemerintah mencakup upaya mempererat hubungan

pemerintah dengan pihak swasta/bisnis dan akademisi/teknisi; memberikan dukungan

terhadap program-program pemerintah dalam hal inovasi; memajukan pengembangan

teknologi inovasi dalam skala nasional; memfasilitasi pemerintah dengan pihak swasta/bisnis

dan akademisi/teknisi; dan memfasilitasi program incentif yang dibuat oleh pemerintah.

5.1.5. Penyiapan Science and Technology Park

Kedekatan fisik atau lokasi antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi masih

dianggap penting dalam upaya menumbuhkan interaksi yang lebih intensif dan produktif,

walaupun saat ini teknologi informasi dan komunikasi sudah sangat berkembang dan juga

Page 111: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

111

menjadi lebih murah untuk sarana berkomunikasi antara personel maupun lembaga. Oleh

sebab itu, banyak negara membangun Science and Technology Park (STP) sebagai wahana

untuk mendekatkan secara fisik antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi.

Indonesia merencanakan untuk membangun Indonesian STP, yang disingkat sebagai I-STP.

Upaya membangun I-STP ini sudah mulai digarap, yakni dengan merevitalisasi kawasan Pusat

Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) di Serpong.

Persoalan utama yang dihadapi Indonesia saat ini adalah rendahnya hasil riset dan teknologi

yang dikembangkan di dalam negeri yang diadopsi oleh industri atau pengguna teknologi

lainnya. Kapasitas lembaga pengembang teknologi Indonesia sesungguhnya cukup baik,

terbukti dengan posisi indeks inovasi Indonesia dalam peringkat World Economic Forum (WEF)

tahun 2010 yang berada pada posisi ke 36. Kemampuan inovasi Indonesia ini sudah setara

dengan negara-negara yang perekonomiannya sudah berbasis inovasi. Berdasarkan survei WEF

tersebut, dilaporkan bahwa kapasitas pengembangan teknologi ini ternyata belum diimbangi

dengan kesiapan pengguna teknologi untuk mengadopsinya, terbukti dengan peringkat

kesiapan teknologi (technological readiness) yang masih relatif rendah, yakni pada peringkat ke

91. Ketidak-siapan lembaga pengguna Indonesia untuk mengadopsi teknologi ini tidak

sepenuhnya merupakan resultan dari rendahnya kapasitas adopsi teknologinya, tetapi juga

merupakan akibat dari teknologi yang dikembangkan tidak relevan dengan kebutuhan lembaga

pengguna tersebut.

Pembangunan I-STP (melalui revitalisasi Puspiptek Serpong) merupakan salah satu upaya untuk

menyediakan wahana untuk meningkatan frekuensi dan intensitas interaksi antara

pengembang dan pengguna teknologi. Upaya ini diharapkan akan meningkatkan relevansi

teknologi yang dikembangkan (karena semakin memahami kebutuhan pengguna) dan sekaligus

meningkatkan kapasitas adopsi pengguna (karena peningkatan kapasitas SDM-nya dalam

mengenali dan mengaplikasikan teknologi). Peran lembaga intermediasi diharapkan dapat

mengakselerasi proses adopsi teknologi tersebut. Secara kolektif, upaya-upaya ini diharapkan

dapat mendongkrak status kesiapan teknologi Indonesia.

Aset pengetahuan (stock of knowledge) yang secara kolektif telah terakumulasi pada komunitas

pengembang teknologi di kawasan Puspiptek Serpong perlu dikelola dan ‘dipasarkan’. Untuk

tujuan ini, Kementerian Riset dan Teknologi perlu merevitalisasi lembaga-lembaga intermedia

yang sudah terbentuk, yakni Business Technology Center (BTC) dan Business Innovation Center

(BIC). Lembaga intermediasi diharapkan menjadi gerbang untuk partisipasi lembaga pengguna

teknologi, terutama industri-industri berbasis teknologi (Gambar 12).

Dinamika interaksi pengembang-intermediator-pengguna teknologi yang intensif dan produktif

akan dengan sendirinya ‘mengundang’ partisipasi lembaga-lembaga penunjang lainnya,

termasuk lembaga keuangan dan lembaga pendidikan, terutama pendidikan tinggi dan

kejuruan. Wahana I-STP diproyeksikan akan menjadi model SINas dalam rangka membangun

ekonomi Indonesia yang berbasis ilmu pengetahuan atau knowledge based economy (KBE).

Dengan demikian, I-STP menjadi saluran efektif bagi teknologi untuk memberikan kontribusi

Page 112: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

112

nyata terhadap peningkatan ekonomi nasional, yang jika dibangun bersama rakyat, maka akan

diyakini mampu menyejahterakan rakyat sebagaimana yang amanahkan oleh konstitusi.

Gambar 12. Metamorfosis Puspiptek Menjadi I-STP

Menurut UU No. 18 Tahun 2002, pemerintah maupun swasta dapat mengembangkan sarana

dan prasarana iptek, seperti kawasan iptek. Kawasan ini diharapkan dapat memfasilitasi sinergi,

pertumbuhan, dan interaksi antara perguruan tinggi, lembaga litbang, maupun badan usaha,

serta pusat peragaan iptek untuk dapat menumbuhkan budaya iptek. Untuk kondisi Indonesia,

kawasan Puspiptek Serpong, sebagai kawasan iptek sangat mungkin untuk ditransformasi

secara fisik dan fungsional menjadi STP, dengan memanfaatkan lembaga dan fasilitas

pengembangan teknologi yang sudah ada sebagai modal dasarnya. Transformasi tersebut

dapat dilakukan dengan menghadirkan lembaga intermediasi ke dalam kawasan dan

menghadirkan industri ke dalam dan/atau membangun kawasan Industrial Park (IP) yang

posisinya berdampingan dengan lahan Puspiptek. Gabungan dua kawasan ini akan membentuk

Innovation Park (STP+IP = InnoPark). Menghadirkan lembaga pendidikan tinggi, politeknik, dan

sekolah menengah kejuruan di kawasan ‘InnoPark’ ini, dilengkapi dengan lembaga dan fasilitas

pendukungnya yang sepadan, akan menjadikan kawasan ini sebagai kawasan inovasi mandiri

yang dapat menjadi model SINas Indonesia yang membanggakan.

5.1.6. Membangun Pusat Unggulan Inovasi

Pusat Unggulan merupakan padanan kata untuk Center of Excellence yang sudah sangat dikenal

dan digunakan tidak hanya dalam bidang iptek, tetapi juga digunakan di dunia bisnis maupun

bidang-bidang lainnya. Definisi umum tentang Pusat Unggulan adalah: ‘an organization which is

Page 113: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

113

recognized as being successful and having an excellent reputation in its field’. Dengan demikian,

Pusat Unggulan harus dikenal oleh komunitasnya, dianggap berhasil dan mempunyai reputasi

yang sangat baik di bidangnya. Tersirat dalam definisi ini adalah: [1] keberhasilan dan reputasi

tersebut bersifat relatif (dibandingkan dengan lembaga-lembaga serupa di bidang tertentu),

dan [2] keunggulan tersebut khusus pada bidangnya, dimana [3] bidang keunggulan tersebut

bersifat terbuka untuk kompetensi atau spesifikasi fungsi tertentu. Dalam konteks pilihan ini,

maka sangat tepat jika Pusat Unggulan yang difasilitasi perkembangannya oleh Kementerian

Riset dan Teknologi adalah keunggulan dalam membangun sistem inovasi. Oleh sebab itu, tepat

jika disebut sebagai Pusat Unggulan Inovasi atau Center of Excellence on Innovation. Pusat

unggulan yang akan didorong untuk tumbuh dan berkembang adalah lembaga atau konsorsium

yang konsisten dengan amanah konstitusi, kebijakan nasional, kebijakan sektoral, dan program

Kementerian Riset dan Teknologi (Gambar 13).

Penciri lain yang digunakan untuk mendeskripsikan pusat unggulan adalah: ‘a place where

there are very high standards of work’. Maknanya, dalam melaksanakan fungsinya, sebuat

pusat unggulan harus menetapkan standar kinerja yang sangat tinggi. Untuk mencapai standar

ini, sesuai dengan kondisi awal dan sasaran yang ingin dicapai, maka ada dua opsi dalam

membangun pusat unggulan inovasi, yakni dengan format pengembangan lembaga tunggal tapi

dengan memperkaya tugas dan fungsinya, sehingga dapat secara nyata mampu mewujudkan

sistem inovasi, atau dengan membentuk konsorsium yang terdiri dari paling tidak lembaga

pengembang dan pengguna teknologi (Gambar 14).

Gambar 13. Pengembangan Pusat Unggulan Inovasi yang Konsisten dengan Amanah Konstitusi

Page 114: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

114

Gambar 14. Pilihan Alternatif Organisasi Pusat Unggulan Inovasi

5.1.7. Mendorong Pembentukan Konsorsium Inovasi

Interaksi dan komunikasi antara pengembang dan pengguna teknologi menjadi lebih baik

apabila ada wahana untuk berinteraksi, antara lain berupa konsorsium. Pemerintah sesuai

dengan fungsi dan kewenangannya diharapkan berperan aktif dalam membentuk konsorsium

ini, terutama pada fase inisiasinya. Peran pemerintah sebagai fasilitator, intermediator, dan

regulator sewajarnya akan semakin berkurang jika komunikasi dan interaksi antara

pengembang dan pengguna teknologi dalam wadah konsorsium ini telah berlangsung secara

intensif dan produktif.

Secara umum terdapat tiga asas penting dalam membangun konsorsium, yakni: [1] mempunyai

kepentingan atau tujuan bersama (shared goal atau core issue) yang jelas dan disepakati oleh

semua anggota; [2] hubungan yang dibangun harus bersifat mutualistik sebagai modal dasar

untuk memotivasi semua anggota untuk memperjuangkan kepentingan bersama; dan [3]

semua anggota sepakat untuk sharing sumberdaya sepadan dengan fungsi dan kapasitasnya

masing-masing. Setiap konsorsium yang dibentuk mempunyai tujuan bersama yang jelas,

karena ini yang menjadi komitmen awal dan mendasar bagi setiap lembaga untuk memutuskan

apakah akan ikut bergabung dalam konsorsium tersebut atau tidak. Tentu dengan

memperhatikan tugas dan fungsi lembaganya masing-masing, kapasitas lembaga sebagai

bentuk share yang dapat dikontribusikan, dan benefits yang diharapkan dapat diperoleh

dengan bergabung dalam konsorsium tersebut. Tujuan bersama dimaksud perlu disepakati dari

awal pembentukan konsorsium, karena ini merupakan dasar komitmen bersama yang penting

Page 115: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

115

untuk kelangsungan eksistensi konsorsium. Kesepakatan ini sangat penting karena tujuan

bersama tersebut mungkin baru akan dicapai dalam jangka menengah atau panjang.

Hubungan antar-anggota konsorsium harus bersifat mutualistik, yakni saling menguntungkan.

Oleh sebab itu, agar sifat mutualistik ini selalu terpelihara, maka konsorsium harus dikelola

secara profesional berlandaskan asas-asas good governance, terutama harus transparan,

akuntabel, efektif, efisien, dan taat hukum. Keterjaminan sifat mutualistik tersebut akan

memotivasi semua anggota untuk memberikan kemampuannya yang terbaik dan ikut berusaha

keras untuk mencapai tujuan bersama.

Salah satu alasan pembentukan konsorsium adalah agar penggunaan sumberdaya (manusia,

sarana dan prasarana, dan pembiayaan) dapat dilakukan secara lebih efisien dan juga untuk

mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Dalam konteks ini, budaya sharing perlu dibangun,

karena ia menjadi jiwa dari sebuah konsorsium. Setiap konsorsium tentu memiliki beberapa

anggota. Namun jumlah anggota yang pas tentu tergantung dengan tujuan bersama yang ingin

dicapai, serta juga dipengaruhi oleh beban kegiatan dan target waktu untuk pencapaian tujuan

dimaksud. Kapasitas dan jenis kompetensi lembaga yang dibutuhkan, juga perlu masuk dalam

formula untuk penetapan jumlah anggota yang ideal. Sedangkan jumlah anggota yang terlalu

sedikit mengandung risiko akan kekurangan kapasitas dan kompetensi untuk mencapai tujuan;

sebaliknya jumlah anggota yang terlalu banyak juga dapat menyebabkan ketidak-efisienan

dalam pelaksanaan pekerjaan, atau malah berpotensi kontra-produktif dan dapat saja ada free

rider yang kontribusinya tidak signifikan terhadap kinerja konsorsium.

Secara formal, anggota konsorsium minimal dua lembaga. Dalam konteks sistem inovasi, maka

paling tidak satu lembaga mewakili pengembang teknologi dan lembaga lainnya mewakili

pengguna teknologi. Lebih bagus jika ditambah satu lembaga lagi yang menjadi representasi

unsur pemerintah. Disamping itu, setiap konsorsium harus ada anggota yang disepakati sebagai

koordinator. Ada dua opsi dalam menghimpun anggota konsorsium, yakni: [1] dilakukan secara

terbuka dan dinamis, semua lembaga yang relevan dapat bergabung dalam konsorsium atas

persetujuan inisiator dan semua anggota yang telah bergabung (existing members); atau [2]

dilakukan secara tertutup dan bersifat statis, dimana anggota disepakati dari awal dan tidak

berubah sampai tujuan bersama dicapai.

Konsorsium merupakan sarana bersama dan bukan tujuan akhir bagi para pihak yang terlibat

sebagai anggotanya. Oleh sebab itu, walaupun mungkin butuh waktu yang relatif lama untuk

mencapai tujuan bersama, namun konsorsium pada hakikinya bersifat tidak-permanen.

Konsorsium lebih berorientasi fungsional dan terfokus pada upaya mencapai tujuan bersama

yang disepakati sejak awal pembentukannya. Sinergi fungsional merupakan asas yang menjiwai

tata kerja organisasi konsorsium. Oleh sebab itu, pola hubungan antar-anggota yang bersifat

horizontal akan lebih dominan, dimana, semua anggota diposisikan secara sejajar, sama

kedudukan, hak, serta kewajibannya (Gambar 15).

Page 116: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

116

Gambar 15. Model Konsorsium Inovasi (Lakitan, 2011b)

Keberhasilan suatu konsorsium ditentukan beberapa faktor, yaitu: [1] mempunyai

tujuan/sasaran bersama yang jelas dan disepakati semua anggota (clear shared goal) serta

sesuai dengan realita kebutuhan atau persoalan publik (demand-driven); [2] sinergi anggota

mampu membangun kapasitas kolektif yang cukup (adequate collective capacity) untuk

mencapai tujuan/sasaran bersama; [3] mempunyai strategi pelaksanaan yang tepat dan

implementatif (implementable strategy); [4] dikoordinir oleh figur kepemimpinan yang kuat

(strong leadership) , terutama pada fase awal; dan [5] secara konsisten dikelola berdasarkan

prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance)(Gambar 16).

Page 117: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

117

Gambar 16. Kunci Sukses Konsorsium (Lakitan, 2011b)

Tujuan dan target/sasaran bersama merupakan perekat utama antar-anggota dari sebuah

konsorsium. Target ini dapat saja terdiri dari beberapa sub-target, tetapi semua sub-target

tersebut harus berada dalam lingkup payung target utamanya atau berada dalam satu klaster.

Konsorsium dengan multi-sasaran, apalagi multi-tujuan, akan mudah terancam bubar. Akan

tetapi anggota suatu konsorsium dapat saja juga menjadi anggota konsorsium lain dengan

tujuan/sasaran yang berbeda. Sebaiknya suatu konsorsium terbangun dari anggota dengan

‘core business’ yang berbeda atau mempunyai jenis kompetensi yang berbeda, tetapi bersifat

komplementatif satu dengan yang lainnya, sehingga dapat membangun sinergi yang secara

kolektif akan menghasilkan konsorsium dengan kapasitas lebih besar dan dengan ragam

kompetensi yang lebih banyak, sehingga mampu menjalankan misinya dengan lebih baik dan

komprehensif.

Sejalan dengan ini, pendekatan konsorsium juga direkomendasikan oleh Malherbe dan

Stanway (2010) sebagai bentuk kolaborasi yang tepat, jika anggotanya mempunyai kompetensi

inti yang beragam. Jika ada dua atau lebih anggota konsorsium dengan jenis kompetensi yang

sama, maka sangat mungkin terjadi ‘sibling rivalry’ antar-anggota tersebut. Konsorsium, seperti

berbagai bentuk kolaborasi yang lainnya, perlu menyusun strategi operasional yang terencana

dengan baik, sistematis, dengan pentahapan yang logis, serta berbasis pada kapasitas kolektif

yang dimiliki, sehingga dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien. Konsorsium

memang bertumpu pada inter-dependensi antar-anggota, tetapi secara kolektif sebuah

konsorsium harus punya kemandirian untuk mencapai tujuan bersama. Keberlanjutan integrasi

dan viabilitas dari sebuah konsorsium selain bertumpu pada tujuan bersama yang jelas, pola

Page 118: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

118

hubungan antar-anggota yang bersifat mutualistik, juga sangat membutuhkan figur pemimpin

yang kuat dan secara de facto mampu mengelola konsorsium secara bijak. Pada fase awal

terbentuknya konsorsium, peran figur yang kuat akan sangat krusial dalam rangka membangun

‘chemistry’ yang harmonis antar-anggota dengan keragaman latar belakang kompetensi dan

budaya kerja.

Namun demikian, setiap pemimpin memiliki style of leadership masing-masing, yang sangat

mungkin akan berbeda satu sama lain. Dalam jangka panjang, tentu akan perlu dilakukan

pergantian pemimpin, atau lebih tepatnya koordinator konsorsium. Pergantian ini seharusnya

tidak mempengaruhi kinerja konsorsium secara drastis. Sebagai langkah antisipasi maka perlu

disiapkan stabilisator yang ampuh, yakni berupa peraturan internal tentang tata kelola yang

disepakati semua anggota. Tata kelola yang baik tentu harus dibangun berbasis pada prinsip-

prinsip good governance. Konsorsium dapat memberikan manfaat antara lain: [1]

meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, serta

biaya dalam upaya mencapai tujuan; [2] membuka peluang untuk mendapatkan capaian yang

lebih besar/signifikan, yang tidak mungkin dicapai masing-masing anggota secara individual; [3]

meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi antara aktor inovasi yang menjadi modal

dasar untuk mewujudkan/memperkuat sistem inovasi.

Efisiensi pemanfaatan sumberdaya akan lebih maksimal jika konsorsium terdiri dari anggota-

anggota dengan kompetensi yang beragam dan bersifat komplementer; sebaliknya akan sedikit

dampaknya jika kompetensi anggota relatif homogen. Apabila kompetensi anggotanya sama,

maka yang terjadi bukan sinergi fungsional yang mutualistik, tetapi hanya akan merupakan

proses scale-up (memperbesar volume output) saja. Selain itu, tidak cukup kuat faktor

pendorong bagi anggota untuk berinteraksi secara lebih intensif, karena tidak ada rasa saling

membutuhkan yang kuat apabila kompetensi anggota konsorsiumnya sama. Kompetensi

lembaga yang beragam sebagai anggota konsorsium juga membuka peluang untuk

membangun kapasitas kolektif yang lebih besar dan komprehensif. Dengan demikian, akan

lebih mampu untuk mengeksekusi aktivitas dengan lingkup yang lebih luas dan/atau tingkat

kompleksitas yang lebih tinggi. Selayaknya, konsorsium memang dirancang untuk menjawab

tantangan yang lebih berat, yang butuh kontribusi dari berbagai kompetensi, dan mungkin

hanya dapat diselesaikan melalui paket solusi multi-dimensi yang komprehensif.

Konsorsium sebagai wadah komunikasi dan interaksi antar-lembaga yang menjadi anggotanya,

pada dasarnya merupakan bentuk ‘miniatur’ dari sistem inovasi, jika terdapat anggotanya yang

mewakili komunitas pengembang teknologi dan juga ada yang mewakili komunitas pengguna

teknologi. Dalam konteks ini, konsorsium dapat dipandang sebagai mikro-ekosistem yang

kondusif untuk mengalirkan informasi kebutuhan dari pengguna ke pengembang teknologi dan

sebaliknya aliran paket teknologi dari pengembang ke pengguna teknologi. Apabila proses

komunikasi dan interaksi antar aktor inovasi yang bernaung dalam suatu konsorsium berfungsi

sebagai ekosistem kondusif ini dapat dipertahankan selama kurun waktu yang lama, maka

secara langsung juga akan penting kontribusinya dalam mengakselerasi upaya membangun

Page 119: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

119

budaya inovasi. Budaya inovasi nasional tidak dapat dibangun secara instan, tetapi akan melalui

proses panjang. Proses panjang ini harus diawali dengan membangun budaya inovasi pada

jenjang yang paling mikro, yakni pada lingkup sebuah konsorsium.

5.1.8. Revitalisasi Dewan Riset Nasional

Dewan Riset Nasional (DRN) merupakan lembaga non-struktural yang berfungsi memberikan

masukan kepada Menteri Negara Riset dan Teknologi terutama dalam menetapkan Agenda

Riset Nasional (ARN). ARN diharapkan menjadi petunjuk pelaksanaan arah dan prioritas

kegiatan riset secara nasional. Namun demikian, ARN pada saat ini belum secara penuh diacu

oleh lembaga-lembaga riset, baik perguruan tinggi maupun lembaga litbang kementerian,

maupun lembaga pemerintah non-kementerian yang melaksanakan kegiatan riset.

Saat ini DRN memiliki kewenangan yang terbatas dan dukungan sumberdaya yang juga belum

memadai, sehingga peran dan kontribusi DRN secara nyata dalam pembangunan iptek masih

belum optimal. Untuk meningkatkan peran dan kontribusi DRN tersebut, maka perlu dilakukan

revitalisasi lembaga DRN. Secara realistis, revitalisasi DRN perlu dilakukan dalam dua fase,

yakni Fase Pertama dilakukan segera selama periode 2009-2011 untuk diimplementasikan pada

periode tugas selanjutnya (2012-2014). Revitalisasi dilakukan berbasis pada peraturan

perundang-undangan yang saat ini berlaku dengan tanpa memerlukan revisi produk legislasi

yang ada, dan difokuskan pada upaya restrukturisasi dan penyesuaian komposisi keanggotaan.

Fase Kedua diawali dengan penyesuaian produk regulasi untuk landasan bagi pembentukan

DRN dengan tugas pokok dan fungsi yang lebih vital (revitalized DRN), difokuskan pada upaya

membentuk DRN dengan peran yang lebih signifikan dan proyeksi kontribusi yang lebih nyata

terhadap pembangunan iptek, yang memerlukan revisi peraturan perundang-undangan,

termasuk kemungkinan reposisi organisasi DRN untuk langsung bertanggung jawab kepada

Presiden. Pada Fase Pertama, restrukturisasi lebih terarah pada upaya penyesuaian pembagian

Komisi Teknis agar dapat mengakomodir perkembangan dan prioritas bidang teknologi yang

sesuai dengan kebutuhan nasional. Sedangkan penyesuaian komposisi anggota selain untuk

menyeimbangkan antara perwakilan dari komunitas pengembang dengan pengguna teknologi,

juga diarahkan agar aktor-aktor utama dari sektor pembangunan (yang sesuai dengan

pembagian komisi teknis DRN) dapat lebih efektif berperan.

Komisi Teknis DRN mengikuti tujuh bidang fokus prioritas pembangunan iptek sesuai dengan

RPJPN 2005-2025, namun demikian pada masing-masing komisi teknis tersebut perlu didukung

oleh anggota-anggota yang akan mendalami tentang lima unsur strategis untuk penguatan

inovasi nasional. Matrik bidang dan kompetensi anggota DRN yang diusulkan disajikan pada

Tabel 8. Selain itu, masing-masing komisi teknis juga perlu memperhatikan cross-cutting issues,

termasuk upaya meningkatkan kapasitas teknologi untuk pengelolaan sumberdaya

kemaritiman, pengembangan industri, teknologi berwawasan ekologis (green technology), dan

mengurangi kemiskinan (pro-poor technology); serta dengan terus mendukung pengembangan

sains dasar dan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, terutama yang terkait langsung dengan tujuh

bidang fokus pembangunan.

Page 120: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

120

Anggota DRN yang diangkat berjumlah 50 orang, dengan formula sebagai berikut:

Jumlah anggota DRN = 1 Ketua + 7 Komtek [ 5 Isu SINas + 2 Unsur Penguat ]

Formula keanggotaan DRN ini dapat dirinci sebagai berikut:

Satu orang ketua yang lebih fokus sebagai pimpinan puncak yang tidak perlu terlibat

langsung dalam kegiatan teknis pada tingkat komisi, sehingga ketua ini dapat dipilih dari

‘prominent figure’ yang dengan ketokohannya dapat meningkatkan kewibawaan

lembaga DRN dan sekaligus dapat memimpin anggota DRN secara efektif agar dapat

berkinerja dengan baik.

Anggota yang mewakili unsur regulator dan pembuat kebijakan publik dapat ditunjuk dari

para Kepala Badan Litbang Kementerian Teknis terkait sesuai dengan bidang fokus

masing-masing, yang sekaligus dapat ditetapkan sebagai Ketua Komisi Teknis.

Anggota yang mewakili pihak yang memahami kebutuhan riset dan teknologi sesuai

skenario penguatan inovasi nasional yang berorientasi demand-driven, sepatutnya dipilih

dari unsur komunitas masyarakat, asosiasi industri, dan lembaga pemerintah pengguna

teknologi. Misalnya dari wakil asosiasi petani untuk komisi teknis pangan, asosiasi industri

untuk komisi teknis transportasi, dan kementerian hankam untuk komisi teknis

pertahanan dan keamanan.

Anggota yang harus mengawal relevansi teknologi sudah sepatutnya berasal dari

komunitas pengembang teknologi, yakni dari lembaga riset pemerintah, lembaga riset

swasta/industri, dan perguruan tinggi.

Anggota yang diyakini akan memahami kapasitas adopsi pengguna teknologi adalah para

pengguna teknologi itu sendiri, yakni para pelaku produksi barang/jasa baik dari unsur

masyarakat, industri kecil dan menengah, industri besar, industri kreatif, dan pengguna

langsung teknologi hankam (TNI dan Polri), serta pengguna teknologi untuk tujuan non-

komersial lainnya.

Tabel 8. Pembagian komisi teknis DRN dan kompetensi anggotanya terkait upaya penguatan SINas.

KOMISI TEKNIS PENGUATAN SINAS

Page 121: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

121

Keb

utu

han

Riset d

an

Tekno

logi

Relevan

si Ilmu

Pe

ngetah

uan

dan

Tekno

logi

Kap

asitas Ad

op

si Pen

ggun

a Tekn

olo

gi

Interm

ediasi &

Pen

un

jang

Sistem In

ovasi

Regu

lasi dan

Keb

ijakan

Pu

blik

Teknologi Pangan

Teknologi Energi

Teknologi Informasi dan Komunikasi

Teknologi Transportasi

Teknologi Pertahanan dan Keamanan

Teknologi Kesehatan

Teknologi Material Maju

Anggota yang mewakili lembaga intermediasi dan lembaga penunjang lainnya juga

diyakini sangat krusial perannya untuk peningkatan kinerja DRN, sehingga sangat penting

keterwakilannya dalam lembaga DRN, termasuk perwakilan dari kementerian terkait,

yakni kementerian keuangan, pendidikan nasional, perindustrian, perencanaan

pembangunan nasional/Bappenas, dan lembaga intermediasi non-pemerintah.

Dua anggota untuk penguat ditentukan sesuai dengan kebutuhan masing-masing komisi

teknis, misalnya komisi teknis pangan dapat menambah satu anggota dari pakar

kemaritiman untuk mendukung isu strategis pembangunan ketahanan pangan dan satu

anggota dari pakar ilmu sosial karena berdasarkan realita, banyak teknologi pangan yang

tidak diadopsi petani, peternak, nelayan, dan pembudidaya ikan karena belum

mengintegrasikan pemahaman dimensi sosial, ekonomi, dan kultural dalam

pengembangan teknologi tersebut; sedangkan

Anggota DRN yang mewakili DRD Provinsi (ex officio) tidak harus dimasukkan secara tetap

dalam komisi teknis, tetapi sangat perlu terlibat secara langsung dalam pembahasan pada

tingkat pleno sebagai penyampai aspirasi daerah yang diwakilinya.

Pada Fase Kedua, revitalisasi diharapkan mampu memposisikan DRN untuk melaksanakan

tugas pokok yang mencakup: [a] membangun basis data iptek yang akurat dan komprehensif,

serta jejaring lembaga iptek yang mantap dalam rangka menjamin pemutakhiran data iptek

yang berkesinambungan; [b] membangun kemampuan/kapasitas dalam mengidentifikasi

kebutuhan dan persoalan teknologi di dalam negeri dan sekaligus juga menyediakan sistem

Page 122: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

122

informasi perkembangan dan ketersediaan teknologi nasional; [c] membangun kapasitas dan

kewenangan untuk menetapkan prioritas riset nasional sesuai dengan kebutuhan (demand-

driven) dan berbasis potensi sumberdaya nasional; dan [d] membantu mengawal investasi

pemerintah untuk pembangunan iptek, agar secara konsisten fokus pada prioritas yang telah

ditetapkan. Untuk dapat melaksanakan tugas-tugas ini, diperlukan penyesuaian kembali

produk-produk regulasi agar ekosistem yang kondisif bisa terbangun dan reposisi organisasi

DRN dalam tata organisasi pemerintah.

5.1.9. Sinkronisasi dan Perbaikan Regulasi

Semua aksi yang akan dilakukan dalam rangka mewujudkan penguatan inovasi nasional

memerlukan dukungan regulasi dan/atau kebijakan yang tepat dan menyeluruh. Oleh sebab

itu, sangat diperlukan upaya untuk menerbitkan regulasi baru atau sinkronisasi produk

perundang-undangan yang telah ada dengan langkah aksi penguatan inovasi nasional yang

akan ditempuh. Secara operasional, sangat mungkin upaya untuk melengkapi undang-undang

terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih sesuai. Peraturan

perundang-undangan yang dilengkapi dengan pedoman teknis pelaksanaannya, agar semua

regulasi yang diharapkan dapat diimplementasikan secara utuh, atau dapat juga dilakukan

amandemen/revisi terhadap produk hukum yang ada agar lebih sesuai dan/atau lengkap.

Produk perundang-undangan yang menjadi basis legal untuk pengembangan SINas di Indonesia

adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 (UU No. 18/2002) tentang Sistem Nasional

Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lampiran 1). UU

No. 18/2002 ini disusun dalam nuansa pengembangan iptek yang masih sangat dominan

bersifat supply-push, oleh sebab itu secara umum UU No. 18/2002 ini masih belum sepenuhnya

selaras dengan orientasi pengembangan teknologi yang bersifat demand-driven. Beberapa

pemahaman dasar terkait upaya penguatan inovasi dirasakan masih perlu disinkronisasikan

ulang. Apabila UU No. 18/2002 akan digunakan sebagai landasan legal utama untuk

membangun inovasi nasional, maka diperlukan upaya revisi atau melakukan amandemen

terhadap undang-undang ini agar lebih selaras dengan upaya penguatan inovasi nasional yang

lebih bersifat demand-driven. Selain itu, kecenderungan global saat ini juga secara kentara

telah menggeser orientasi pengembangan teknologi dari yang bersifat supply-push menjadi

demand-driven. Walaupun banyak ragam terminologi yang digunakan, namun esensinya sama,

yakni pengembangan teknologi harus lebih diarahkan untuk memenuhi realita kebutuhan atau

persoalan nyata yang tengah dihadapi.

Selanjutnya, untuk melaksanakan ketentuan UU No. 18/2002, khususnya Pasal 28 ayat (3),

telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 (PP No. 35/2007) tentang

Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan

Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi (Lampiran 2). Substansi pokok dari PP No. 35/2007

ini adalah memberikan kesempatan bagi badan usaha untuk mengalokasikan dana dalam

rangka mendukung kegiatan inovasi nasional. Sebagai kompensasinya, badan usaha tersebut

Page 123: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

123

mendapatkan insentif untuk mendukung kegiatan bisnisnya. Secara jelas pada Pasal 6 ayat (1)

PP No. 35/2007, dinyatakan bahwa badan usaha yang mengalokasikan sebagian pendapatan

untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan

insentif. Selanjutnya pada ayat (2), dinyatakan bahwa insentif sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) berbentuk insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis penelitian dan

pengembangan. Bantuan teknis ini, sesuai Pasal 7 ayat (1) dapat berupa penempatan tenaga

ahli dan/atau pemanfaatan fasilitas laboratorium di lembaga penelitian dan pengembangan

pemerintah. Sebagai pelaksanaan dari pasal ini, Kementerian Riset dan Teknologi telah

mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Riset dan Teknologi No. 1 Tahun 2012 tentang

Bantuan Teknis Penelitian dan Pengembangan. Dengan dikeluarkannya peraturan ini,

diharapkan akan mendorong kolaborasi riset, sekaligus peningkatan kemampuan

perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi.

Walaupun PP No. 35/2007 ini sangat ‘favorable’ bagi upaya pengembangan dan penguatan

inovasi nasional, namun pelaksanaan peraturan ini sampai sekarang belum optimal. Hal ini

disebabkan adanya ganjalan untuk implementasinya, yakni belum adanya ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan yang mengakomodisasi pemberian

insentif sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 35/2007 tersebut. Pasal 6

ayat (3) PP No. 35/2007 menyatakan bahwa besar dan jenis insentif perpajakan dan

kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan sepanjang diatur dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan. Agar insentif

bagi pelaku bisnis/industri untuk lebih terlibat dalam pembiayaan kegiatan riset dapat

terlaksana, perlu dilakukan sinkronisasi dari sisi legal formal pendukungnya, terutama antara

PP No. 35/2007 dengan peraturan di bidang perpajakan dan kepabeanan. Kekhawatiran yang

berlebihan tentang kemungkinan penurunan penerimaan pendapatan pemerintah dari pajak

dan kepabeanan akibat pemberlakuan kebijakan ini perlu dihilangkan, mengingat jika

penguatan inovasi nasional dapat berlangsung secara produktif, dampaknya kegiatan produksi

barang dan jasa juga akan meningkat dan penerimaan pajak juga akan ikut meningkat.

Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) telah

mengagendakan untuk meninjau ulang peraturan perundang-undangan yang menjadi

bottleneck pembangunan perekonomian Indonesia, termasuk diantaranya implementasi PP No.

35/2007 ini. Arah yang akan ditempuh agar PP No. 35/2007 ini dapat diimplementasikan adalah

dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur pedoman teknis untuk

pemberian insentif tersebut.

Secara garis besar PP No. 35 Tahun 2007 sejalan dengan Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Upaya

percepatan dan perluasan pembangunan dilakukan melalui penguatan sistem inovasi nasional

di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang

berkelanjutan, menuju innovation-driven economy. Oleh karena itu, keberhasilan implementasi

MP3EI antara lain ditentukan adanya penguatan inovasi di sektor usaha.

Page 124: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

124

Namun demikian dalam pelaksanaannya, diperlukan dukungan Peraturan Menteri Keuangan

yang mengatur kriteria teknis dan tata kelola dalam pemberian insentif riset di badan usaha.

Selain itu untuk memperkuat insentif non fiskal, diperlukan dukungan terutama dari lembaga

litbang yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian

untuk implementasi insentif bantuan teknis litbang. Saat ini telah dikeluarkan Peraturan

Menteri Riset dan Teknologi No. 1 Tahun 2012 tentang Bantuan Teknis Penelitian dan

Pengembangan sebagai pelaksanaan Pasal 7 ayat (3) PP No. 35 Tahun 2007.

Upaya pemberian insentif kepada pihak pengguna teknologi (terutama industri) sekarang

mempunyai landasan hukum lain yang baru, yakni Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2010

tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian Dan

Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya

Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (selanjutnya

disingkat PP No. 93/2010; Lampiran 3). Adanya PP No. 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan

Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan

Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur

Sosial Yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, sebagaimana kebijakan pemberian

fasilitas insentif kepada badan usaha tentunya dapat lebih mendorong kegiatan litbang di

badan usaha. Meskipun sumbangan ini ditujukan untuk kegiatan litbang, namun setidaknya

akan mencakup juga upaya untuk peningkatan kapasitas perekayasaan, inovasi dan difusi

teknologi.

PP No. 93/2010 ini mengatur bahwa sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan

sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena

pajak bagi wajib pajak, termasuk sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan,

yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah

Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan (Pasal 1

butir b). Besarnya nilai sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk 1

(satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak

sebelumnya (Pasal 3). Sumbangan dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang (Pasal

5 ayat 1). Secara teknis dan psikologis, PP No. 93/2010 lebih berpeluang untuk

diimplementasikan dibandingkan dengan PP No. 35/2007, karena PP No. 93/2010 merupakan

turunan langsung dari UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; berbeda dengan PP No. 35/2007 yang

merupakan turunan UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,

Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Dukungan regulasi ini diharapkan akan mengintensifkan interaksi dan komunikasi antara

lembaga pengguna, terutama industri, dengan lembaga pengembang teknologi yang

mendukung kebutuhan teknologi untuk industri. Interaksi yang lebih intensif diyakini akan

berpengaruh langsung dan positif terhadap proses adopsi teknologi, baik karena teknologi yang

dihasilkan oleh pengembang menjadi lebih relevan (karena pengembang menjadi lebih

Page 125: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

125

memahami kebutuhan), juga karena peningkatan kapasitas adopsi dari pihak pengguna (karena

meningkatkan pemahaman pengguna atas teknologi yang ditawarkan).

Insentif non-finansial untuk mendorong kegiatan riset dalam negeri juga telah dilakukan, antara

lain melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2006 tentang kebijakan

penetapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan nilai Bobot Manfaat Perusahaan

(BMP). Selain itu, dengan Peraturan Menteri Negara Riset dan Teknologi No. 1 Tahun 2012

tentang Bantuan Teknis Penelitian dan Pengembangan, badan usaha dimungkinkan

mendapatkan akses kapasitas litbang melalui penempatan tenaga ahli atau pemanfaatan

fasilitas laboratorium di lembaga litbang pemerintah.

Regulasi dan kebijakan pemerintah diperlukan untuk mengawal implementasi penguatan

inovasi dapat berjalan konsisten mengarah pada upaya: [1] menyediakan solusi teknologi bagi

permasalahan nyata yang dihadapi rakyat; [2] menyeimbangkan posisi psikologis dan peran

aktif antara pihak pengembang teknologi dengan pihak pengguna teknologi sehingga interaksi

antara keduanya terjadi dalam kerangka kemitraan yang setara harkatnya, proporsional

kontribusinya, dan saling ‘complementary’ ruang kiprahnya; dan [3] memberdayakan

sumberdaya manusia Indonesia sesuai dengan kapasitasnya masing-masing agar dapat secara

langsung berperan aktif dalam pengembangan dan implementasi SINas.

Bentuk kebijakan pemerintah yang lain adalah untuk mendukung kolaborasi riset dengan

pembiayaan bersama (sharing funding) oleh pemerintah dan pihak industri. Porsi pemerintah

disalurkan melalui lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi. Kegiatan riset kolaborasi

dalam format ini sudah mulai dilaksanakan, tetapi belum optimal menunjukkan kemanfaatan

hasilnya. Hal ini terutama karena substansi riset masih dominan ditentukan oleh pihak

pengembang teknologi, bukan atas usulan pihak pengguna. Dalam beberapa kasus, industri

hanya pada posisi memenuhi kelengkapan administratif agar dana pemerintah bisa dialirkan ke

lembaga riset atau perguruan tinggi. Bentuk riset kolaborasi yang lain tidak harus dalam bentuk

pembiayaan bersama, tetapi dalam bentuk riset yang diawaki oleh personel dari pihak

pengembang dan pengguna teknologi serta memanfaatkan fasilitas dan sarana riset yang

dimiliki oleh kedua belah pihak. Akan tetapi yang selalu perlu diperhatikan adalah apapun

bentuk atau format riset kolaborasi tersebut, ia akan memberikan kemanfaatan pada publik

jika substansi masalah yang diteliti memang merupakan masalah aktual yang dihadapi

masyarakat, bukan masalah hipotetik yang diilhami oleh berbagai referensi asing.

Memahami bahwa keberhasilan perkuatan inovasi tidak hanya tergantung pada kinerja masing-

masing aktor inovasi (lembaga pengembang dan pengguna teknologi, serta lembaga

intermediasi), tetapi juga sangat tergantung pada berbagai pihak yang ikut mewujudkan

ekosistem inovasi yang lebih kondusif, maka pengembangan legislasi sebagai bagian penting

dari ekosistem SINas perlu mendapat perhatian serius. Perlu dilakukan telaah secara cermat

terhadap semua produk hukum yang terkait dengan upaya penguatan inovasi, baik langsung

maupun tidak langsung. Identifikasi untuk hal-hal yang perlu disinkronisasi, direvisi, atau

bahkan perlu dicabut, serta untuk hal-hal yang masih perlu pengaturan secara legal formal.

Page 126: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

126

5.1.10. Berbasis Sumberdaya dan Memenuhi Kebutuhan Nasional

Untuk mewujudkan SINas Indonesia yang ‘workable’, harus secara seksama mem-

pertimbangkan potensi sumberdaya nasional, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia,

ketersediaan infrastruktur ekonomi dan sosial, kemampuan permodalan domestik (plus modal

asing secara selektif), dan kapasitas pengembangan teknologi saat ini. Selain itu juga perlu

diselaraskan dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku, kebijakan publik, budaya

kerja, keragaman sosio kultural dan tradisi, serta nilai-nilai luhur bangsa Indonesia lainnya.28

Pilihan landasan sumberdaya dan budaya sendiri dalam membangun inovasi nasional akan

membuka peluang yang lebih luas bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berpartisipasi aktif.

Perlu dipahami bahwa upaya memajukan bangsa tidak dapat dilakukan dengan memilih jalan

pintas, dengan mengabaikan pentingnya fondasi yang kokoh agar pengembangan dan

keberlanjutan inovasi lebih terjamin. Pembangunan nasional tidak hanya dilakukan untuk

rakyat tetapi juga harus dilakukan bersama rakyat.

Indonesia sering dikategorikan sebagai negara yang sangat kaya akan sumberdaya alamnya.

Provokasi ini menyebabkan Indonesia terlalu mengandalkan kekayaan sumberdaya alam

tersebut sebagai modal utama pembangunan nasional, seolah sumberdaya alam tersebut akan

selalu tersedia selamanya. Eksploitasi sumberdaya alam yang tidak terkelola secara bijak

dibarengi dengan pembangunan yang tidak terprogram dengan baik, telah membawa

Indonesia pada kondisi saat ini: tetap menjadi negara berkembang dengan penguasaan dan

penerapan teknologi yang terbatas. Indonesia terkena fenomena ‘resource curse’29 dimana

kemajuan pembangunannya tak sebanding dengan nilai eksploitasi sumberdaya alamnya.

Pengelolaan sumberdaya alam yang bijak bukan hanya terbatas pada penggunaan dana hasil

eksploitasi yang diarahkan untuk peningkatan kualitas layanan publik dan investasi untuk

infrastruktur sosial, tetapi juga perlu diarahkan untuk mendukung pengembangan teknologi

yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan produktivitas industri barang dan/atau jasa,

sehingga memberikan nilai tambah bagi setiap produk nasional. Produk ekspor Indonesia tidak

boleh selamanya dibiarkan hanya dalam bentuk komoditas bahan baku industri atau hanya

sampai produk setengah-jadi (intermediate products). Produk ekspor Indonesia harus secara

maksimal diupayakan sudah dalam bentuk akhir yang dibutuhkan konsumen (consumer goods).

Indonesia adalah negara maritim, tak ada yang bisa memungkiri kenyataan ini. Telah sering

didengungkan bahwa Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas. Berdasarkan Deklarasi

Juanda 1957, wilayah laut NKRI adalah sekitar 3 juta kilometer persegi. Setelah diterimanya

28

Sebagai bandingan, negara maju seperti Jepang juga membangun SINas-nya di atas landasan ‘environment, culture, tradition, and national character’ bangsanya sendiri.

29 Hasil kajian Komarulzaman dan Alisjahbana (2008) untuk kasus Indonesia menunjukkan bahwa “There appears

to be resource curse when we estimate the resource rent in its three components. Forest, oil and gas sector rent have positive effect on regional economic growth. But the resource curse may occur if these resources revenues are not invested properly in public sector, either for the provision of public services or in public investment. Meanwhile, mining sector has persistently negative effect on regional economic growth. The existence of this curse will be lessened if the mining sector rent revenues are reinvested in public sector investment.”

Page 127: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

127

Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982, wilayah laut NKRI bertambah luasnya dua kali lipat,

menjadi sekitar 6 juta kilometer persegi. Hal yang perlu digarisbawahi, berdasarkan UNCLOS

1982, Indonesia mendapatkan hak-hak berdaulat atas kekayaan alam di Zona Ekonomi Ekslusif

(ZEE) sejauh 200 mil dari garis pangkal lurus Nusantara atau sampai ke batas ‘continental

margin’ jika masih ada kelanjutan alamiah pulau-pulau Indonesia di dasar samudera. Masalah

pokoknya, apakah setelah berhasil mengklaim teritori wilayah laut ini kita telah melakukan

langkah-langkah konkret untuk mengelolanya, sebagaimana amanah konstitusi -UUD 1945

pasal 33 ayat (3)- bahwa kekayaan sumberdaya alam harus dikelola untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Kekayaan alam yang terkandung dalam wilayah laut Indonesia juga belum diinventarisasi

secara baik. Banyak potensi sumberdaya kelautan yang kita miliki, tetapi sesungguhnya belum

mampu kita pahami nilai kemanfaatan ekonomi dan ekologinya. Lebih parah lagi, justru

sebagian mungkin belum kita ketahui eksistensi keberadaannya di wilayah laut Nusantara.

Ketidakmampuan tersebut terkait langsung dengan tingkat penguasaan teknologi kelautan

yang belum berkembang di Indonesia. Ironis memang, sebuah negara maritim seperti

Indonesia tidak memprioritaskan pengembangan teknologi kelautan. Ketertinggalan dalam

penguasaan teknologi kelautan tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Indonesia perlu segera

meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi kelautan yang menjadi modal nasional untuk

mampu mengelola sumberdaya dan wilayah laut Nusantara. Pengelolaan kelautan yang

dimaksud adalah memanfaatkan kekayaan sumberdaya yang dimiliki untuk menyejahterakan

rakyat yang diimbangi dengan upaya menjaga keberlanjutannya dengan mematuhi kaidah-

kaidah ekologis. Teknologi yang dikembangkan perlu menjaga keseimbangan antara

kepentingan ekonomi dengan kearifan ekologi. Ragam teknologi berasas keseimbangan

ekonomi-ekologi yang perlu dikuasai mencakup: pertama, teknologi penangkapan ikan,

budidaya ikan dan biota laut, serta teknologi pengolahannya; kedua, (bio)teknologi untuk

memanfaatkan biodiversitas sebagai sumber bahan baku industri dan sumber tetua untuk

program pemuliaan tanaman dan ikan atau biota laut lainnya; ketiga, teknologi eksplorasi dan

eksploitasi migas, bahan tambang lainnya dan sumberdaya energi terbarukan; dan keempat,

teknologi konservasi sumberdaya kelautan, yang dapat juga dilebarkan cakupannya pada

potensi pengelolaannya untuk pariwisata bahari.

Keunikan geografis dan kekayaan biodiversitas ekosistem laut Indonesia merupakan modal

untuk memperkuat posisi tawar (bargaining position) dalam menjalin kolaborasi dengan

berbagai pihak asing. Modal alamiah ini perlu dilengkapi dengan modal kecerdasan intelektual,

yakni penguasaan teknologi. Penguasaan teknologi kelautan oleh pakar dalam negeri sangat

krusial. Tanpa penguasaan teknologi ini, maka kita tidak akan pernah mengetahui secara tepat

dan komprehensif tentang ‘apa’ dan ‘berapa banyak’ sumberdaya yang dimilikinya di wilayah

laut. Ketidakpahaman ini jelas akan menempatkan Indonesia pada posisi yang lemah dalam

setiap ‘dispute’ internasional di wilayah laut. Argumen yang baik tidak akan mampu dibangun

di atas fondasi iptek yang rapuh. Diplomasi untuk memperjuangkan harkat martabat bangsa

juga tak akan dapat dimenangkan jika tanpa amunisi pemahaman tentang potensi sumberdaya

Page 128: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

128

seluruh wilayah Indonesia dan potensi manusianya. Indonesia sebagai negara maritim segera

mulai secara sungguh-sungguh berupaya untuk meningkatkan penguasaan tekno-ekologinomi

laut.

Tentu saja potensi sumberdaya alam Indonesia tidak hanya di laut. Potensi sumberdaya lahan

untuk mendukung produksi pertanian dan beragam bahan tambang (termasuk minyak dan gas

walaupun mulai menipis) yang terkandung di dalamnya juga cukup penting untuk dikelola

sebagai modal pembangunan perekonomian nasional. Teknologi dibutuhkan untuk mengolah

sumberdaya alam menjadi produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi, memacu

pertumbuhan ekonomi, dan secara nyata memperbaiki tingkat kesejahteraan rakyat, diiringi

dengan kebijakan ekonomi yang tepat. Namun demikian, teknologi yang dimaksud adalah

teknologi yang relevan dan sesuai dengan kapasitas adopsi pengguna potensialnya. Oleh sebab

itu, perlu dilakukan pencermatan dua arah, yakni menyediakan dukungan pembiayaan yang

memadai untuk pengembangan teknologi nasional30 dan juga mengawal pengembangan

teknologi agar fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan nyata.

Penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta jiwa (BPS, 2010) merupakan kekuatan besar untuk

membangun bangsa ini, jika semua (atau paling tidak mayoritas) secara aktif ikut berpartisipasi.

Sebaliknya dapat menjadi beban yang maha berat jika harus dipikul oleh sebagian kecil dari

populasi tersebut, misalnya hanya dibebankan pada sekelompok elit (politik, ekonomi,

dan/atau sosial) tertentu saja. Kebijakan pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment31

sudah sangat tepat, selama awalan ‘pro’ tersebut tidak sekedar bermakna keberpihakan dalam

konteks pembangunan untuk rakyat, tetapi lebih dimaknai sebagai keberpihakan yang memberi

peluang bagi seluruh rakyat untuk ikut berperan aktif membangun bangsa dan negara ini.

Pendidikan menjadi faktor yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas dan

relevansi kompetensi sumberdaya manusia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu

meningkatkan intensitas upayanya dalam meningkatkan relevansi pendidikan agar

permasalahan pengangguran terdidik yang mulai meningkat signifikan selama dasawarsa 2000-

an ini tidak menjadi lebih buruk. Beberapa penyesuaian perlu segera dilakukan, terutama pada

jenjang pendidikan tinggi. Penyesuaian yang dirasakan perlu dilakukan adalah: [1] proporsi

antara pendidikan akademik dengan pendidikan profesional, [2] muatan kurikulum dan

program studi yang ditawarkan, dan [3] tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan pendidikan.

Sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja saat ini dan perediksi kebutuhan di masa yang akan

datang, maka proporsi kapasitas tampung jenjang pendidikan tinggi perlu digeser dari dominan

jenis pendidikan akademik (lebih mengutamakan pengkayaan pengetahuan) yang terjadi saat

ini menjadi dominan pendidikan profesional (lebih mengutamakan ketrampilan teknis untuk

menghadapi permasalahan nyata). Perlu digarisbawahi bahwa untuk penguasaan ketrampilan

teknis tetap saja selalu membutuhkan pengetahuan dasar yang relevan. 30

Jika mengacu pada ‘Barcelona Target’, maka idealnya tiga persen dari Produk Domestik Bruto dialokasikan untuk pengembangan teknologi.

31 ‘Four Track Strategy’ yang sering disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, antara lain pada

pidato berjudul ‘Pertumbuhan Harus Berkeadilan’ pada Pembukaan Perdagangan Perdana Bursa Efek Indonesia, Jakarta, 3 Januari 2011.

Page 129: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

129

Penyesuaian muatan kurikulum dan program studi tidak perlu diartikan sebagai perubahan

mendasar dari kurikulum dan program studi yang ada. Penyesuaian tersebut lebih ditekankan

pada upaya meningkatkan relevansi substansi materinya sehingga lebih padu dengan

permasalah aktual. Program-program studi yang sudah kurang diminati perlu dievaluasi faktor

penyebabnya. Faktor penyebabnya bisa dipilah menjadi: [1] penyelenggara pendidikan yang

menawarkan program studi tersebut lebih besar kapasitasnya dibandingkan dengan kebutuhan

dunia kerja; [2] keahlian yang dihasilkan dari program studi tersebut sudah tidak relevan lagi

dengan kebutuhan dunia kerja, atau [3] masih ada kebutuhan aktual dari dunia kerja tetapi

imbalan (finansial) yang didapatkan dari jenis pekerjaan ini tidak kompetitif dibandingkan

dengan jenis pekerjaan lain. Faktor penyebab [1] terkait dengan kemudahan sarana dan

prasarana penyelenggaraan pendidikan (juga berarti biaya operasional penyelenggaraan

pendidikannya lebih mudah) sehingga banyak instutusi pendidikan (terutama swasta) yang ikut

menyelenggarakannya. Faktor penyebab [2] terkait dengan bidang keilmuan yang relatif statis

perkembangannya dan kebutuhan keahliannya juga terbatas, sehingga pasar dunia kerjanya

cepat menjadi jenuh. Faktor penyebab [3] karena bidang pekerjaan tersebut tidak menjanjikan

secara ekonomi, misalnya pekerjaan di sektor pertanian.

Tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan pendidikan yang terlalu berkiblat pada produktivitas

selayaknya ditinjau kembali, karena sering mengakibatkan kelembagaan pendidikan

pengorbankan kualitas untuk mengejar kuantitas. Akibatnya kelembagaan pendidikan lebih

berfungsi sebagai mesin produksi untuk menghasilkan penyandang gelar semata dan tidak

menjadi pengemban amanah konstitusi untuk mencerdaskan bangsa. Pendidikan adalah untuk

mencerdaskan bangsa. Pencerdasan hanya dapat dicapai dengan pendidikan yang bermutu.

Kontribusi nyata tenaga terdidik terhadap pembangunan nasional hanya mungkin terjadi jika

keahlian dan ketrampilan yang diasah adalah relevan dengan kebutuhan dunia kerja.

Pendidikan formal rakyat Indonesia saat ini mayoritas masih relatif rendah. Selanjutnya,

mayoritas rakyat bekerja disektor produksi pangan (tanaman, ternak, dan ikan). Dengan

demikian, jika diniatkan pengembangan inovasi adalah untuk melibatkan mayoritas rakyat

Indonesia sebagai pelaku pembangunan, maka teknologi yang sesuai dengan kebutuhan untuk

meningkatkan produktivitas pangan sudah sepatutnya diprioritaskan. Pangan yang dimaksud

adalah pangan dalam arti luas, mencakup pangan asal tanaman, ternak, ikan, dan hasil hutan.

Dengan demikian, jelas bahwa nelayan juga perlu mendapat perhatian.

Teknologi yang dibutuhkan mungkin saja hanya merupakan teknologi sederhana. Akan tetapi,

adalah jauh lebih baik menyediakan teknologi sederhana yang sesuai, yang dapat

dikembangkan dan digunakan oleh masyarakat dan/atau IKM dalam proses produksi pangan

untuk pemenuhan konsumsi 237 juta penduduk Indonesia. Jika surplus tidak akan menjadi

persoalan karena dengan mudah bisa diekspor karena permintaan pasar global semakin tinggi

dengan pertambahan penduduk dunia. Pengembangan teknologi sederhana tetapi bermanfaat

akan jauh lebih baik dari pada mengembangkan teknologi super-canggih yang hanya berakhir di

ruang pajang. Pembiayaan untuk pengembangan teknologi harus diposisikan sebagai investasi

bukan sebagai belanja rutin. Inovasi adalah tentang mengkonversi ide menjadi uang. Oleh

Page 130: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

130

sebab itu, relevansi menjadi isu pokok. Teknologi yang sesuai dengan potensi sumberdaya alam

lokal/nasional akan lebih terjamin keberlanjutannya dan sekaligus dapat mewujudkan

kemandirian bangsa. Teknologi yang sesuai dengan kapasitas adopsi mayoritas penduduk akan

membuka peluang untuk berdampak lebih massal, memperbesar porsi sumberdaya manusia

yang menjadi penggerak pembangunan dan sekaligus mengurangi porsi yang hanya menjadi

beban pembanguan, serta memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi dan sekaligus

pemerataan kesejahteraan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Perindustrian perlu meningkatkan

intensitas komunikasi dan interaksinya dengan pihak industri. Ide hibridisasi kegiatan

pendidikan dengan aktivitas bisnis/industri memang bukan merupakan sesuatu yang baru.

Kegiatan pemagangan (internship) telah dilakukan sejak lama di Indonesia. Hanya saja kualitas

dan intensitasnya terus perlu ditingkatkan. Idealnya kegiatan ini dilandasi oleh asas saling

membutuhkan dan saling menguntungkan atau bersifat mutualistik. Ukuran keberhasilan

program pemagangan tergantung pada kualitas pembelajaran yang berlangsung selama

peserta didik ditempatkan di lingkungan dunia kerja. Padu silang pendidikan-bisnis ini perlu

dilakukan secara dua arah. Selain pemagangan peserta didik di lingkungan kerja, juga perlu

dibarengi dengan mengundang pelaku bisnis dan industri untuk menularkan pengetahuan

dan/atau ketrampilan di lingkungan akademis. Saat ini, pelaku bisnis/industri umumnya hanya

diundang sesekali ke lingkungan akademis dalam rangka kegiatan spesifik tertentu. Akan lebih

intensif, jika pelaku bisnis/industri tersebut menjadi ‘mitra penuh’ dari tenaga pengajar di

perguruan tinggi, terutama untuk mata kuliah tertentu yang kental kaitannya dengan

kebutuhan implementasinya di dunia kerja.

Upaya mewujudkan inovasi nasional yang lebih produktif dan efektif dalam mendorong

pertumbuhan ekonomi nasional, perlu mempertimbangkan potensi sosial masyarakat, selain

potensi sumberdaya alam dan manusia sebagaimana telah diuraikan di atas. Potensi sosial

budaya dapat dikategorikan sebagai potensi non-ekonomi ini umumnya bersifat ‘intangible’.

Sulit diukur secara kuantitatif dan divisualisasikan, tetapi jelas dampaknya dapat dirasakan.

Penyesuaian terhadap tradisi, budaya, norma, etika, dan nilai-nilai karakter bangsa lainnya

merupakan faktor yang akan ikut mempengaruhi tingkat keberhasilan inovasi nasional,

walaupun unsur-unsur ini bersifat tak-berwujud dan sulit diukur secara objektif. Hal itu berbeda

dengan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang jelas wujudnya dan dapat

dikuantifikasi besaran potensinya.

Kearifan tradisional (tradisional wisdom) dapat menjadi inspirasi dalam pengembangan sistem

inovasi. Karena sifatnya sering sangat spesifik dan lokal, maka mungkin tidak dapat menjadi

acuan dalam pengembangan SINas, tetapi sangat potensial diacu untuk membangun Sistem

Inovasi Daerah (SIDa). Kearifan tradisional merupakan akumulasi pengetahuan selama periode

yang panjang. Walaupun kadang sulit dijelaskan secara ilmiah, namun probabilitas

kebenarannya relatif tinggi dan sudah teruji. Namun demikian dengan kecermatan akademis,

banyak pula kearifan lokal yang dapat dijelaskan secara ilmiah dengan sistematis dan logis,

sehingga dapat dilakukan pengembangan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensinya. Di

Page 131: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

131

era modern ini, kualitas sosial budaya yang selaras dengan prinsip-prinsip good governance

dalam penyelenggaraan atau pengelolaan lembaga pemerintah, bisnis, maupun masyarakat

merupakan modal keberhasilan pengembangan suatu SINas. Beberapa contoh di atas cukup

untuk justifikasi tentang pentingnya dimensi sosial dalam mewujudkan inovasi nasional yang

lebih komprehensif. Oleh sebab itu, perlu juga secara sungguh-sungguh diintegrasikan ke

dalam suatu formula kebijakan sebagai upaya membangun SINas.

5.2. Ruang Lingkup Materi Muatan Rancangan Undang-Undang Perubahan UU

No. 18 Tahun 2002

5.2.1. Urgensi Penguatan Inovasi

UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bertujuan untuk memperkuat daya dukung iptek untuk

mempercepat pencapaian tujuan negara, serta meningkatkan daya saing dan kemandirian

dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan internasional. Tujuan

diundangkannya UU No. 18 Tahun 2002 ini sesuai dengan pemandangan umum fraksi-fraksi

DPR terhadap urgensi sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek menjadi

undang-undang. Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi DPR dalam Rapat Paripurna DPR-RI, tanggal

11 September 2001 terhadap RUU Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan

Iptek adalah:

1. Menjadi landasan hukum yang kokoh dalam memberikan peluang dan kesempatan yang

lebih luas pada masyarakat, lembaga usaha, lembaga riset dan teknologi, lembaga

pendidikan dan pemerintah untuk mengembangkan iptek secara optimal.

2. Menunjukan adanya komitmen yang lebih tegas dari pemerintah untuk menetapkan

kebijakan yang lebih komprehensif dalam membangun dan mengembangkan iptek.

3. Menunjukan perlunya keterkaitan antara pengembangan iptek dengan upaya

meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia secara langsung dalam rangka

memperoleh kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera.

4. Keharusan untuk mengembangkan iptek yang lebih dapat dipertanggungjawabkan

secara profesional dan melibatkan publik (adanya audit iptek).

5. Negara Indonesia perlu segera memiliki suatu peraturan perundang-undangan yang

komprehensif di bidang iptek; maka penting dibuat Undang-Undang tentang iptek guna

Page 132: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

132

memberi landasan hukum bagi unsur-unsur pembentuk kemampuan Iptek serta sebagai

koridor dan frame pengembangan Iptek di Tanah air kita.

Menurut UU No. 18 Tahun 2002 pembangunan sistem inovasi nasional dilakukan melalui

penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). UU No. 18

Tahun 2002 diharapkan menjadi wadah untuk menampung dan menjadi alat pemecah

kesulitan segala hal yang terkait dengan inovasi, yaitu penelitian, pengembangan dan

penerapan iptek. Hal ini tidak mudah karena Indonesia menghadapi berbagai kendala dan

penghambat dari sisi kelembagaan, program, sumber daya, dan sebagainya. Di Indonesia,

kenyataannya upaya penguatan inovasi nasional yang dicirikan dengan interaksi elemen-

elemen atau aktor penghasil teknologi masih kurang baik. Kurangnya komunikasi dan interaksi

antar elemen penghasil dan pengguna teknologi memberikan dampak terhadap penerapan

berbagai hasil penelitian dan pengembangan yang dihasilkan oleh aktor/lembaga penghasil

penghasil teknologi. Hal ini menjadikan hasil penelitian dan pengembangan belum

didayagunakan sepenuhnya menjadi berbagai inovasi. Padahal dalam pengembangan ekonomi

yang berbasis pengetahuan, komunikasi dan interaksi yang intens antara lembaga penelitian,

perguruan tinggi, industri dan pihak terkait lainnya sebagai aktor/lembaga idealnya menjadi

kunci keberhasilan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pengembangan iptek

seharusnya tidak terpisahkan dalam input dan output ekonomi nasional.

Selain itu, beberapa kebijakan pemerintah juga menekankan perlunya penguatan inovasi dalam

menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam Bab IV Buku II RPJM 2010-2014,

menyebutkan untuk mencapainya diperlukan adanya insitusi yg kuat dari sisi legalitas dan

otoritas; adanya tagline negara sebagai dasar penguatan SINas; serta perlunya konsensus

nasional tentang SINas. Selain itu untuk mendukung penguatan inovasi nasional diperlukan

efektifitas dan efisiensi regulasi dan sistem insentif yang mendukung inovasi nasional, serta

adanya sistem aliran pengetahuan dan mobilitas human capital antara perguruan tinggi dan

lembaga riset dengan perguruan tinggi. Untuk itu, RPJM 2010-2014 menekankan adanya skema

pembiayaan venture capital dan iklim investasi yang memperkuat inovasi nasional.

Sebagai upaya mencapai tujuan sebagaimana disebutkan dalam Bab IV Buku II RPJM 2010-

2014, Jakstranas Iptek 2010 – 2014 menekankan perlunya penguatan kelembagaan dari sisi

penghasil iptek dan pengguna iptek; interaksi antara penghasil dan pengguna iptek; dan

meningkatkan kontribusi iptek dalam aktivitas perekonomian dengan meningkatkan Total

Factor Productivity (TFP). Selain itu lembaga litbang dan perguruan tinggi perlu meningkatkan

produktivitas penelitian dan pengembangan melalui pengembangan dan pemanfaatan

kelembagaan iptek, sumberdaya, dan jaringan iptek secara lebih effektif. Sedangkan di sisi

industri, peningkatan pemanfaatan teknologi dalam negeri masih diperlukan, selain

mengurangi ketergantungan teknologi asing. Upaya-upaya tersebut perlu diiringi dengan

peningkatan kuantitas, kualitas, produktivitas, dan kesejahteraan peneliti, perekayasa, teknisi

maupun SDM yang terlibat di dalam kegiatan litbang. Termasuk perlunya mengembangkan

budaya kreatif inovatif di masyarakat.

Page 133: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

133

Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya pada Acara Silaturrahim dengan

AIPI dan Masyarakat Ilmiah, di Serpong pada tanggal 20 Januari 2010 juga menekankan

perlunya upaya-upaya untuk penguatan inovasi nasional. Upaya ini mencakup pengaturan

kelembagaan secara lebih sistemik, dengan memperhatikan capaian jangka panjang untuk

mendorong, mendukung menyebarkan dan menerapkan inovasi-inovasi di berbagai sektor

dalam skala nasional. Presiden menekankan agar penguatan inovasi nasional disesuaikan

dengan corak yang khas dari berbagai daerah di Indonesia, dan sesuai kebutuhan dan kondisi.

Untuk itu, penguatan SINas agar didasarkan pada kemitraan pemerintah, komunitas ilmuwan

dan swasta, dan meningkatkan kolaborasi dengan dunia internasional.

Peraturan perundang-undangan yang ada bahkan secara jelas menyebutkan pengertian dari

SINas. Menurut Perpres No. 32 Tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional, SINas adalah:

“suatu jaringan rantai antara institusi publik, lembaga riset dan teknologi, universitas serta sektor swasta

dalam suatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka panjang dapat mendorong,

mendukung, dan menyinergikan kegiatan untuk menghasilkan, mendayagunakan, merekayasa inovasi-

inovasi di berbagai sektor, dan menerapkan serta mendiseminasikan hasilnya dalam skala nasional agar

manfaat nyata temuan dan produk inovatif dapat dirasakan masyarakat.”

Sejalan dengan pengertian SINas dalam Perpres No. 32 Tahun 2010, Kementerian Riset dan

Teknologi mengeluarkan Keputusan Menristek No. 246/M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan

Sistem Inovasi Nasional untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

terhadap Pembangunan Nasional. Menurut Keputusan Menristek No. 246/M/Kp/IX/2011,

pengertian dasar berkaitan dengan SINas mencakup:

a. kegiatan yang dicakup adalah pengembangan, difusi, dan pemanfaatan teknologi;

b. pelakunya terdiri dari beberapa kelembagaan – baik pemerintah maupun swasta – yang

berinteraksi satu sama lain secara sinergis;

c. produk yang dihasilkan adalah teknologi ‘baru’ yang mempunyai nilai ekonomi; dan

d. ruang lingkup dalam melaksanakan kegiatan inovasi ini adalah negara.

5.2.2. Materi Muatan Rancangan Undang-Undang Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Muatan rancangan undang-undang perubahan UU No. 18 Tahun 2002, setidaknya memuat

materi kebijakan penguatan inovasi yang telah dirumuskan dalam Perpres No. 32 Tahun 2011

dan Kepmenristek No. 246 /M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional

untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan

Nasional. Perpres No. 32 Tahun 2011, menyebut strategi penguatan inovasi nasional dengan

usulan inisiatif inovasi 1-747. Hal yang perlu dicatat dalam usulan ini adalah penguatan inovasi

dapat dilakukan melalui tujuh langkah perbaikan ekosistemnya (Gambar 17). Tujuh langkah

perbaikan ekosistem inovasi ini mencakup:

1) Sistem insentif dan regulasi yang mendukung inovasi dan budaya penggunaan produk

dalam negeri.

Page 134: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

134

2) Peningkatan kualitas dan fleksibilitas perpindahan sumberdaya manusia.

3) Pembangunan pusat-pusat inovasi untuk mendukung IKM.

4) Pembangunan klaster inovasi daerah.

5) Sistem remunerasi peneliti.

6) Revitalisasi infrastruktur R&D.

7) Sistem dan manajemen pendanaan riset yang mendukung inovasi.

Gambar 17. Usulan Inisiatif Inovasi 1-747 (Perpres No. 32/2011 ttg MP3EI)

Kepmenristek No. 246/M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional untuk

Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan Nasional

menyebutkan bahwa dalam upaya mewujudkan SINas yang efektif dan produktif memerlukan

peranan pemerintah dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh kembang

SINas. Untuk itu pemerintah perlu menyiapkan ‘panggung’ untuk pengembangan SINas agar

para aktor inovasi secara nyaman dapat memainkan peranannya masing-masing. Panggung

yang ideal tidak mungkin dapat disiapkan oleh pemerintah tanpa didahului dengan formulasi

kebijakan di berbagai sektor pendukung inovasi nasional yang tepat. Tugas pemerintah yang

paling krusial di sini adalah mensinkronisasikan antara potensi ekonomi dan non-ekonomi yang

dimiliki Indonesia dalam rangka menyiapkan panggung inovasi nasional yang ‘nyaman’ bagi

para aktor untuk unjuk kinerja melalui kebijakan dan regulasi yang kondusif. Kinerja aktor-aktor

Page 135: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

135

pelaku inovasi pada akhirnya akan terindikasi dari kemampuan nasional dalam memenuhi

permintaan pasar (utamanya pasar domestik), baik berupa barang maupun jasa. Peran

pemerintah tidak hanya penting dalam rangka menyiapkan ‘panggung’ inovasi, tetapi juga

penting perannya dalam mengawal agar pengembangan teknologi dan aplikasinya oleh industri

(sebagai pihak penggunanya) lebih berorientasi pada pemenuhan permintaan pasar

domestik.32 Oleh karena itu upaya strategi pengembangan dan penguatan inovasi agar

ditekankan pada:

1) Pengembangan teknologi yang difokuskan untuk pemenuhan realita kebutuhan atau

menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh pengguna teknologi.

2) Revitalisasi kapasitas lembaga pengembang teknologi .

3) Peningkatan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi .

4) Optimalisasi peran lembaga intermediasi, tidak hanya memasarkan teknologi tetapi juga

membantu mengidentifikasi kebutuhan dan permasalah yang dihadapi pengguna

teknologi.

5) Regulasi dan kebijakan yang kondusif, terutama di sektor ristek, keuangan, pendidikan,

ketenagakerjaan, perindustrian, dan perdagangan agar para aktor inovasi dapat

berinteraksi secara intensif dan produktif.

6) Pembangunan Science and Technology Park (STP) untuk mendorong interaksi dan

komunikasi antara lembaga pengembang-intermediasi-pengguna teknologi.

7) Pengembangan pusat unggulan inovasi (center of excellence on innovation) untuk

mendukung implementasi strategi pokok ketiga MP3EI.

8) Pembentukan konsorsium inovasi .

9) Revitalisasi peran Dewan Riset Nasional (DRN).

10) Sinkronisasi dan optimalisasi UU No 18 Tahun 2002 serta peraturan pelaksanaannya.

Implementasi PP No. 35 Tahun 2007 secara efektif dan utuh.

11) Pengembangan SINas harus berbasis sumberdaya nasional dan unt pemenuhan

kebutuhan domestik.

Kedua peraturan tersebut dapat dikatakan merupakan dasar kebijakan bagi upaya-upaya

penguatan inovasi nasional. Kebijakan strategi penguatan inovasi melalui usulan inisiatif inovasi

1-747 maupun penentuan arah penguatan SINas untuk peningkatan kontribusi Iptek terhadap

pembangunan nasional seharusnya telah dapat menjadi acuan untuk mendorong inovasi

nasional. Namun demikian, sebagaimana telah diuraikan dalam kebijakan arah penguatan

SINas, perlu dilakukan perubahan terhadap UU No. 18 Tahun 2002. Nuansa pengembangan

iptek yang masih bersifat supply-push, agar diubah agar selaras dengan orientasi

32

Sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, pada beberapa kesempatan. Berbagai negara, juga melihat populasi Indonesia yang besar, lebih dari 237 juta jiwa (BPS, 2010) juga merupakan pasar yang sangat potensial.

Page 136: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

136

pengembangan teknologi yang bersifat demand-driven. Kecenderungan global saat ini juga

lebih diarahkan untuk memenuhi realita kebutuhan atau persoalan nyata yang relevan dihadapi

masyarakat.

Selain dua kebijakan tersebut di atas, kebijakan-kebijakan lain yang terkait adalah dokumen

RPJM 2010-2014, dan Kebijakan Strategis Nasional Iptek 2010-2014, serta arahan Presiden RI.

Dokumen tersebut menekankan beberapa hal terkait dengan upaya penguatan inovasi nasional

(Tabel 9.).

Tabel 9. Kebijakan Penguatan Inovasi

Fokus Materi Pengaturan

Buku II RPJM 2010-2014, Bab IV

• Penguatan insitusi

• Jakstranas sebagai konsensus nasional dalam upaya penguatan SINas.

• Identifikasi dan penetapan sistem insentif yang mendukung SINas.

• Penguatan aliran pengetahuan dan mobilitas human capital.

• Pembiayaan venture capital dan iklim investasi yang memperkuat SINas.

Jakstranas Iptek 2010 – 2014

• Penguatan interaksi penghasil dan pengguna iptek

• Peningkatan pemanfaatan teknologi dalam sektor industri

• Mendorong investasi industri untuk litbang Iptek masih sangat terbatas

• Mengurangi ketergantungan teknologi asing

• Mendorong produktivitas litbang

• Meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kesejahteraan SDM

• Mengembangkan budaya kreatif inovatif di masyarakat

Sambutan Presiden SBY, dlm Acara Silaturrahim dengan AIPI dan Masy Ilmiah, Serpong, 20 Januari 2010.

• Mendorong inovasi-inovasi di berbagai sektor dalam skala nasional.

• Pengembangan SINas sesuai kebutuhan dan kondisi.

• Pengembangan kemitraan dan kolaborasi dengan dunia internasional.

Komite Inovasi Nasional (KIN)

• Pengembangan pusat inovasi untuk mendorong industri kecil dan menengah

• Pengembangan klaster inovasi daerah

• Revitalisasi infrastruktur R&D

• Sistem dan manajemen pendanaan riset

• Sistem remunerasi peneliti

• Peningkatan kualitas dan fleksibilitas perpindahan sumberdaya manusia

• Sistem insentif dan regulasi yang mendukung.

Kebijakan inisiatif inovasi 1-747, maupun penentuan arah penguatan SINas merupakan upaya

untuk mendorong kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi yang lebih

bersifat demand-driven. Dua kebijakan tersebut, secara garis besar menekankan pada empat

hal, yaitu:

Page 137: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

137

5. penguatan jaringan rantai (interaksi sinergis) institusi publik, lembaga ristek, universitas,

dan swasta;

6. peningkatan hasil, pendayagunaan, rekayasa inovasi - pengembangan, difusi, dan

pemanfaatan teknologi;

7. peningkatan penerapan dan diseminasi hasil penelitian, pengembangan, dan penerapan

iptek (temuan/teknologi baru dan produk inovatif yang mempunyai nilai ekonomi) agar

dapat dirasakan masyarakat; dan

8. penguatan inovasi nasional agar diprioritaskan untuk dilakukan di wilayah NKRI.

Keempat hal tersebut di atas telah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2002. Pengaturan tersebut

mencakup antara lain perlunya adanya keterkaitan unsur iptek dalam pola hubungan tertentu,

penguatan jalinan kemitraan unsur kelembagaan iptek, penguatan daya dukung iptek,

pendayagunaan manfaat keluaran perguruan tinggi dan lembaga litbang, dan penguatan audit

teknologi (Tabel 9.). Perubahan ketentuan UU No. 18 Tahun 2002 di atas, tentunya agar

diarahkan untuk mengakomodir upaya penguatan inovasi. Perubahan ini juga diarahkan untuk

memperkuat usulan inisiatif inovasi 1-747, serta penentuan arah penguatan SINas (Tabel 10.).

Tabel 9. Fokus Perubahan dalam UU No. 18 Tahun 2002.

Fokus UU No. 18 Tahun 2002

Penguatan jaringan rantai (interaksi sinergis) institusi publik, lembaga ristek, universitas, dan swasta.

• Pasal 5 ayat (1) – keterkaitan unsur iptek dalam pola hubungan tertentu

• Pasal 10 ayat (2) – peran lembaga penunjang dalam mendorong sinergi dan pertumbuhan perguruan tinggi, lembaga litbang, dan badan usaha

• Pasal 13 – jaringan informasi iptek

• Pasal 15 ayat (1) – jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur kelembagaan iptek

• Pasal 17 ayat (1) – kerjasama internasional

• Pasal 28 ayat (2) – jalinan kemitraan unsur kelembagaan iptek

Peningkatan hasil, pendaya-gunaan, rekayasa inovasi - pengembangan, difusi, dan pemanfaatan teknologi.

• Pasal 4 – penguatan daya dukung iptek

• Pasal 6 ayat (2) – fungsi kelembagaan dalam penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan iptek

• Pasal 9 ayat (1) – fungsi badan usaha dalam perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi

• Pasal 16 ayat (1) – alih teknologi kekayaan intelektual dan hasil litbang

• Pasal 27 ayat (3) – dukungan dana bagi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek

Peningkatan penerapan dan diseminasi hasil litbangrap (temuan/teknologi baru dan produk inovatif yg mempunyai

• Pasal 8 ayat (2) - invensi di bidang iptek

• Pasal 9 ayat (2) – pendayagunaan manfaat keluaran perguruan tinggi dan lembaga litbang

• Pasal 13 ayat (4) – pengelolaan, pemanfaatan kekayaan intelektual dan

Page 138: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

138

Fokus UU No. 18 Tahun 2002

nilai ekonomi) agar dapat dirasakan masyarakat.

hasil litbang

Ruang lingkup kegiatan inovasi adalah NKRI.

Pasal 19 ayat (3) – penguatan tarikan pasar bagi hasil litbang, dan audit teknologi dan SNI

Tabel 10. Usulan Perubahan dalam UU No. 18 Tahun 2002.

Pasal Usulan Perubahan

Pasal 3 Ditambahkan 2 ayat unt mengakomodir amandemen keempat UUD 1945

Pasal 6 Ditambahkan satu pasal setelah Pasal 6, untuk pemenfaatan hasil litbang, perekayasaan, dan inovasi dalam negeri

Pasal 9 • Ditambahkan satu pasal setelah Pasal 9, pemerintah/pemerintah daerah dimungkinkan memberikan stimulan dan fasilitas untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi.

• Pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

Pasal 12 • Ditambahkan 2 ayat, mengenai perlunya menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode etik.

• Ketentuan ini diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 13 • Ditambahkan ayat baru.

• Penambahan ayat unt penyebaran informasi hasil litbang dan kekayaan intelektual, serta peningkatan pengelolaan kekayaan intelektual dan hasil litbang.

Pasal 15 Penambahan pada ketentuan yang ada dg penekanan pada kemitraan.

Pasal 17 Setelah Pasal 17 ditambahkan mengenai pengaturan MTA

Pasal 18 Setelah Pasal 18 ditambahkan penekanan pada Jakstranas Iptek sebagai acuan pengembangan iptek.

Pasal 19 Setelah Pasal 19 ditambahkan satu pasal, yang menekankan penyusunan Jakstranas Iptek ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Page 139: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

139

Bab 6 Rangkuman dan Rekomendasi

6.1. Rangkuman

Kepentingan nasional dan kecenderungan global membutuhkan perubahan yang mendasar

tentang arah pembangunan iptek. Arah pembangunan iptek perlu diupayakan menuju

peningkatan kontribusi teknologi terhadap pembangunan berbagai sektor, terutama sektor-

sektor perekonomian. Dengan demikian, aktivitas riset di masa yang akan datang perlu lebih

diarahkan untuk memenuhi realita kebutuhan dan/atau menyediakan solusi bagi persoalan

nyata yang dihadapi para pengguna teknologi, baik industri, masyarakat, ataupun pemerintah.

Dari sisi lain, konstitusi Indonesia juga secara jelas dan tegas mengamanahkan bahwa

pembangunan iptek ditujukan untuk meningkatkan peradaban dan kesejahteraan umat

manusia. Dalam konteks ini, tentu dimaksudkan bahwa pengembangan teknologi harus

diarahkan untuk menyejahterakan rakyat dan peningkatan peradaban bangsa Indonesia.

Kecenderungan global saat ini dan kepentingan nasional dalam rangka menunaikan amanah

konstitusi sebetulnya berjalan paralel dan menuju satu muara, yakni mewujudkan inovasi

nasional yang lebih efektif dan produktif. Eksistensi inovasi tidak secara langsung dapat dijamin

oleh keberadaan lembaga pengembang teknologi yang maju dan lembaga pengguna teknologi

dengan kapasitas produksi yang besar, karena yang akan menentukan adalah kualitas interaksi

dan komunikasi antar-aktor inovasi tersebut yang dibuktikan dengan terjadinya: [1] aliran

informasi kebutuhan dan/atau persoalan teknologis yang dihadapi oleh para pengguna yang

sampai ke pengembang teknologi; dan [2] aliran teknologi yang relevan dan sesuai kapasitas

adopsi pengguna, yang dihasilkan oleh pengembang dan diimplementasikan oleh pengguna

dalam proses produksi barang/jasa sesuai kebutuhan konsumen atau permintaan pasar,

terutama pasar domestik.

Page 140: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

140

Dalam rangka mendayagunakan secara optimal kapasitas lembaga pengembang teknologi yang

sudah baik, maka perlu dilakukan refocusing agar kapasitas tersebut dapat diarahkan sesuai

dengan prioritas untuk menghasilkan teknologi yang sesuai kebutuhan pengguna. Revitalisasi

lembaga pengembang teknologi ini diarahkan agar lembaga ini tidak hanya handal dalam

mendukung aktivitas riset dan pengembangan (R&D capacity) semata, tetapi juga dapat

ditingkatkan kapasitasnya untuk mengakses infromasi, mitra kerja potensial, dan sumber

pembiayaan eksternal (sourcing capacity) serta kapasitasnya dalam mendifusikan hasil riset

dan teknologi kepada pengguna potensialnya (disseminating capacity). Revitalisasi lembaga

pengembang teknologi perlu diimbangi dengan upaya peningkatan kapasitas adopsi teknologi

pada lembaga pengguna. Upaya ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan

kompetensi sumberdaya manusia pada lembaga pengguna (industri dan pemerintah) atau

pengguna individual dalam masyarakat. Pembentukan unit kerja dalam struktur organisasi

lembaga pengguna dan/atau peningkatan aktivitas in-house research pada lembaga pengguna

terbukti dapat mendorong peningkatan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi.

Pengembang dan pengguna teknologi sebagai aktor utama dalam penguatan inovasi nasional

sering masih membutuhkan dukungan pemerintah dalam bentuk regulasi dan kebijakan yang

memotivasi dan berkesesuaian, serta juga peran intermediasi dan fasilitasi agar interaksi dan

komunikasi antar-aktor inovasi tersebut dapat lebih diintensifkan. Untuk peran intermediasi

dapat juga dimainkan oleh lembaga non-pemerintah. Interaksi dan komunikasi antara lembaga

pengembang dan pengguna teknologi membutuhkan ‘panggung’ yang yang mantab dan

nyaman. Mantab dalam makna mendapat dukungan dari berbagai regulasi dan kebijakan dari

sektor-sektor yang terkait langsung dan berpengaruh nyata terhadap proses mewujudkan dan

perkuatan inovasi nasional, termasuk regulasi dan kebijakan riset dan teknologi, keuangan,

pendidikan, ketenagakerjaan, perindustrian, dan perdagangan. Nyaman dalam pengertian

kebijakan-kebijakan sektoral tersebut bermuara pada kondisi ekosistem yang kondusif untuk

tumbuh-kembang inovasi.

Fasilitasi pemerintah untuk mendorong interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang-

intermediasi-pengguna teknologi dapat juga dilakukan dengan memberikan kesempatan

kepada aktor-aktor inovasi tersebut untuk berinteraksi dalam satu kawasan. Ide ini

diimplementasikan dengan membangun Science and Technology Park (STP). Untuk kondisi

Indonesia, kawasan Puspiptek Serpong sangat mungkin untuk ditransformasi secara fisik dan

fungsional menjadi STP, dengan memanfaatkan lembaga dan fasilitas pengembangan teknologi

yang sudah ada sebagai modal dasarnya. Transformasi tersebut dapat dilakukan dengan

menghadirkan lembaga intermediasi ke dalam kawasan dan menghadirkan industri ke dalam

dan/atau membangun kawasan Industrial Park (IP) yang posisinya berdampingan dengan lahan

Puspiptek. Gabungan antara STP dan IP ini akan dapat menjadi model SINas Indonesia yang

handal, disarankan dinamakan sebagai ‘Indonesian InnoPark’.

Sejalan dengan pengembangan MP3EI, diperlukan upaya pengembangan pusat unggulan

inovasi (center of excellence on innovation) pada seluruh koridor pembangunan perekonomian

nasional, yang masing-masing fokus pada isu-isu ekonomi strategis sesuai dengan potensi

Page 141: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

141

ekonomi masing-masing wilayah koridor. Memahami bahwa satu koridor ekonomi masih dapat

dijumpai keragaman potensi ekonominya, maka sangat mungkin pada masing-masing koridor

dikembangkan beberapa pusat unggulan sesuai dengan realita kebutuhannya.

Alternatif lain yang dapat didorong adalah membangun konsorsium inovasi berdasarkan isu

spesifik yang menjadi sasaran bersama (common goal) dari anggota konsorsium. Dalam

konteks penguatan inovasi nasional, anggota konsorsium merupakan representasi dari

pengembang teknologi, pengguna teknologi, lembaga intermediasi, dan dapat juga jika

dianggap strategis melibatkan lembaga penunjang tertentu, yang terkait langsung dengan

upaya mencapai sasaran bersama yang telah disepakati.

Dewan Riset Nasional (DRN) sebagai lembaga non-struktural yang terkait langsung dengan

upaya membangun inovasi nasional perlu lebih dioptimalkan perannya, terutama dalam

mengidentifikasi kebutuhan dan persoalan iptek, merekomendasikan arah dan prioritas riset

nasional, serta koordinasi antara lembaga pengembang teknologi. Untuk revitalisasi peran DRN

ini, maka keanggotaan DRN perlu disesuaikan agar secara seimbang mewakili komunitas

pengembang dan pengguna teknologi, serta dari unsur pemerintah. Kemungkinan untuk

reposisi DRN juga perlu mendapat pertimbangan agar peran koordinasi lebih efektif dapat

dilaksanakan.

Regulasi dan kebijakan yang ada saat ini dirasakan masih perlu disinkronisasikan, diperbaiki,

atau bahkan dilengkapi sehingga bisa diimplementasikan secara efektif dan utuh, termasuk

pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002 dan PP No. 35 Tahun 2007. Kemungkinan penerbitan

Undang-Undang Sistem Inovasi Nasional juga merupakan salah satu alternatif yang perlu

diekplorasi lebih lanjut.

Semua langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka mewujudkan atau perkuatan inovasi

nasional yang telah diuraikan di atas tetap secara konsisten berbasis pada potensi sumberdaya

nasional, termasuk sumberdaya alam, manusia, dan konsisi sosio-kultural serta nilai-nilai luhur

bangsa Indonesia. Selanjutnya langkah ini juga harus fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan

nasional, termasuk permintaan pasar domestik, dan untuk menyediakan solusi teknologi bagi

persoalan yang dihadapi masyarakat, industri, dan pemerintah sebagai pengguna teknologi.

Orientasi pengembangan inovasi nasional yang berbasis sumberdaya nasional dan lebih

diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan domestik ini diharapkan akan mampu meningkatkan

kemandirian, harkat, dan martabat bangsa Indonesia.

6.2. Rekomendasi

Berdasarkan telaah yang telah dilakukan secara komprehensif ini, maka beberapa butir

rekomendasi yang dapat disampaikan adalah:

(1) Pengembangan teknologi Indonesia perlu difokuskan untuk memenuhi realita

kebutuhan dan/atau menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh pengguna

Page 142: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

142

teknologi, termasuk masyarakat, industri, dan lembaga pemerintah sesuai dengan

konsepsi penguatan SINas;

(2) Kapasitas lembaga pengembang teknologi perlu direvitalisasi agar mempunyai tiga

kapasitas yang dibutuhkan dalam menopang penguatan inovasi nasional, yakni

kapasitas riset dan pengembangan, kapasitas sourcing, dan kapasitas difusinya;

(3) Kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi perlu ditingkatkan agar proses difusi

teknologi dalam rangka mewujudkan inovasi nasional dapat lebih berpeluang untuk

terlaksana, sehingga teknologi dapat secara nyata berkontribusi terhadap

pembangunan nasional;

(4) Peran lembaga intermediasi perlu lebih dioptimalkan sehingga interaksi dan komunikasi

antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi dapat lebih intensif dan

produktif, dengan demikian maka upaya penguatan inovasi dapat mengalami akselerasi.

Peran lembaga intermediasi perlu diperluas sehingga tidak hanya memasarkan

teknologi tetapi juga membantu mengidentifikasi kebutuhan dan permasalah yang

dihadapi para pengguna teknologi. Partisipasi pihak non-pemerintah perlu dirangsang

untuk berperan dalam intermediasi ini;

(5) Pemerintah menyiapkan ‘panggung’ bagi para aktor inovasi agar dapat berinteraksi

secara intensif dan produktif, melalui pemberlakukan regulasi dan kebijakan yang

kondusif, terutama di sektor riset dan teknologi, keuangan, pendidikan,

ketenagakerjaan, perindustrian, dan perdagangan;

(6) Pembangunan Science and Technology Park (STP) perlu disegerakan agar tersedia

wahana untuk mendorong interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang-

intermediasi-pengguna teknologi, dimana kawasan Puspiptek Serpong dapat

diprioritaskan untuk ditransformasi secara fisik dan fungsional menjadi STP;

(7) Pengembangan pusat unggulan inovasi (center of excellence on innovation) perlu segera

diinisiasi dalam rangka memberikan dukungan terhadap implementasi strategi pokok

ketiga MP3EI, yakni meningkatkan kontribusi teknologi terhadap percepatan dan

perluasan pembangunan ekonomi Indonesia;

(8) Pembentukan konsorsium inovasi berdasarkan isu spesifik yang menjadi sasaran

bersama (common goal) dan memiliki nilai strategis nasional perlu didorong karena

akan menjadi vehicle yang efektif sebagai model implementasi SINas;

(9) Peran Dewan Riset Nasional (DRN) perlu direvitalisasi, antara lain melalui perbaikan

komposisi keanggotaannya agar secara lebih seimbang mewakili komunitas

pengembang dan pengguna teknologi, serta dari unsur pemerintah. Kemungkinan

reposisi DRN juga perlu dipertimbangkan agar peran koordinasi DRN menjadi lebih

efektif;

(10) UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan

Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta turunannya PP No. 35 Tahun 2007

Page 143: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

143

tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan

Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi perlu disinkronisasikan,

diperbaiki, atau bahkan dilengkapi dengan produk turunannya sehingga bisa

diimplementasikan secara efektif dan utuh;

(11) Orientasi pengembangan inovasi nasional harus berbasis sumberdaya nasional dan lebih

diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan domestik sehingga diharapkan akan mampu

meningkatkan kemandirian, harkat, dan martabat bangsa Indonesia.

Page 144: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

144

Referensi

Abramovitz, M. 1994. Catch-up and convergence in the postwar growth boom and after. In: W.J. Baumol, R.R. Nelson, and E.N. Wolf (eds), Convergence of Productivity: Cross-national studies and historical evidence. Oxford University Press, Oxford (UK).

Asheim, B.T. and L. Coenen. 2005. Knowledge bases and regional innovation systems: comparing Nordic clusters. Research Policy 34(8):1173-1190

Bathelt, H. 2003. Geographies of Production: growth regimes in spatial perspective – innovation, institutions, and social systems. Progress in Human geography 27(6):763-778

Boardman, P.C. 2009. Government centrality to university–industry interactions: University research centers and the industry involvement of academic researchers. Research Policy 38:1505–1516

BPS. 2010. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta

Casey, S. 2005. Establishing Standards for Social Infrastructure. University Of Queensland, Ipswich.

Fagerberg, J. and M. Srholec. 2008. National Innovation Systems, Capabilities and Economic Development. Research Policy 37:1417-1435

Firdausy, C.M. 2009a. Jadikan Iptek sebagai HAM. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Firdausy, C.M. 2009b. Iptek sebagai Keharusan untuk Pertumbuhan Ekonomi. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Freeman, C. 1987. Technology and Economic Performance: lessons from Japan. Pinter, London.

Freeman, C. And L. Soete. 2009. Developing science, technology and innovation indicators: What we can learn from the past. Research Policy 38:583–589

Gerschenkron, A. 1962. Economic Backwardness in Historical Perspective. The Belknap Press, Cambridge (USA).

Haagedoorn, J. 1996. Trends and Patterns in Strategic Technology Partnering since the Early Seventies. Review of Industrial Organization 11:601-616

Haryoto, E. 2008. Regulasi/Deregulasi. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.

Hasta, L. 2009. Membangun Iptek yang Memihak Rakyat. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hertog, P. 1995. Assessing the Distributional Power of National Innovation System: pilot study of the Netherland. Center for Technology and Policy Studies, Apeldoorn, Netherland.

Page 145: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

145

Hicks, D. And S. Katz. 1996. Systemic Bibliometric Indicators for the Knowledge-based Economy. Paper presented at the OECD Workshop on New Indicators for the Knowledge-based Economy, Paris, 19-21 June.

Hidayat, D. 2010. Revitalisasi (Reformasi) Lembaga Litbang untuk Mendukung Sistem Inovasi Nasional. Seminar Nasional Revitalisasi Lembaga Litbang, Universitas Sahid Jakarta, 23 November 2010.

Ibrahim, H.D. 2008. Perencanaan Lintas-Sektor. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.

Kadiman, K. 2008. Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.

Kadiman, K. 2009. Membangun Relasi Akademisi-Bisnis-Pemerintah. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Komarulzaman, A. and Armida S. Alisjahbana. 2006. Testing the Natural Resource Curse Hypothesis in Indonesia: Evidence at the Regional Level. Working Paper in Economics and Development Studies No. 200602. Universitas Padjadjaran, Bandung.

Lakitan, B. 2010. Revitalisasi Kelembagaan Riset dan Pengembangan untuk Mendukung Sistem Inovasi Nasional. Keynote speech pada Seminar Revitalisasi Kelembagaan Litbang. Universitas Sahid, Jakarta, 23 November 2010.

Lakitan, B. 2011a. Indikator Kinerja Lembaga Litbang di Era Informasi Terbuka. Makalah pengarahan pada Temu Peneliti Badan Litbang dan Diklat VIII Kementerian Agama, Makassar, 12-15 April 2011.

Lakitan, B. 2011b. Membangun Agroindustri dan Mewujudkan Sistem Inovasi: agar teknologi berkontribusi pada kesejahteraan rakyat. Keynote speech pada Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan Agroindustri Kalimantan Selatan: prospek, peluang, dan potensi, serta kendala. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru, 23 Juni 2011.

Laranja, M., E. Uyarra, and K. Flanagan. 2008. Policies for science, technology and innovation: Translating rationales into regional policies in a multi-level setting. Research Policy 37:823-835

Leydesdorff, L. dan M. Meyer. 2006. Triple Helix indicators of knowledge-based innovation systems: Introduction to the special issue. Research Policy 35:1441–1449

Lipsey, R.G. and K.I. Carlaw. 2004. Total Factor Productivity and the Measurement of Technological Change. Canadian Journal of Economics 37(4):1118-1150

Liu, X. and S. White. 2001. Comparing innovation system: a framework and applications to China’s transitional context. Research Policy 30(7):1091-1114

Loikkanen, T., T. Ahlqvist and, P. Pellinen. 2009. The role of the technology barometer in assessing the performance of the national innovation system. Technological Forecasting & Social Change 76:1177–1186

Lundvall, B.A. 1992. National System Innovation: towards a theory of innovation and interactive learning. Pinter, London.

Page 146: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

146

Malerba, F. 1996. Industry Studies of Innovation Using CIS Data: computer and office machinery. Paper presented at the Eurostat Conference on Innovation Measurement and Policies.

Malherbe G. and G. Stanway. 2010. Corporate Innovation at Work: Defining the innovation consortium, Virtual Consulting International Ltd., New York.

Metcalfe, S. 1995. The Economic Foundations of Technology Policy: equilibrium and evolutionary perspective. In: P. Stoneman (ed), Handbook of the Economic of Innovation and Technological Change. Blackwell Publishers, Oxford.

MEXT. 2002. Annual Report on the Promotion of Science and Technology. Ministry of Education, Culture, Sport, Science and Technology, Tokyo.

Mingers, J. And L. White. 2010. A review of the recent contribution of systems thinking to operational research and management science. European Journal of Operational Research 207:1147–1161

Mulatsih, Sri,. dan Prakoso Bhairawa Putera. 2009. Analisis Undang-undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Bingkai Ekonomi Berlandaskan Iptek (Knowledge Based Economy). LIPI Press: Jakarta

Nelson, R. 1993. National Innovation System: a comparative analysis. Oxford University Press, Oxford.

OECD. 1996. The Knowledge-Based Economy. Organisation for Economic Cooperation and Development, Paris, France.

OECD. 1997. National Innovation Systems. Organisation for Economic Cooperation and Development, Paris, France.

OECD. 2002. Frascati Manual: The Proposed Standard Practice for Surveys of Research and Experimental Development. Sixth edition. Organisation for Economic Co-Operation and Development, Paris

OECD. 2005. Oslo Manual: guidelines for collecting and interpreting innovation data. Third edition. Organisation for Economic Co-Operation and Development, Paris

OECD. 2008a. Strategic Priorities for Science, Technology, and Innovation Policy. Organisation for Economic Cooperation and Development, Paris, France.

OECD. 2008b. Innovation Strategies: scoping document. Organisation for Economic Cooperation and Development, Paris, France.

Oey-Gardiner, M. 2008. Teknologi dan Tanggung Jawab Sosial. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.

Panigoro, H. 2008. Konsistensi Regulasi. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.

Patel, P. and K. Pavitt. 1994. The Nature and Economic Importance of National Innovation Systems. Science Technology and Innovation Review No.14. OECD, Paris.

Prihandana, R. 2008. Industri, bukan Pabrik. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.

Page 147: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

147

Rosenberg, N. and R.R. Nelson. 1994. American Universities and Technical Advance in Industry. Research Policy 23(3):323-348

Santoso, B. 2008. Embargo sebagai Pemicu. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.

Schumpeter, J. 1934. The Theory of Economic Development. Harvard University Press, Cambridge.

Setiawan, B. 2008. Peran Badan Intermediasi. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.

Setiawan, S. 2008. Kesinambungan Milestone. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.

Sharif. 2010. Governance of Innovation Systems in the Current Global Setting. Bahan Ceramah di LIPI, Jakarta

Suhardi, I. 2009. Inovasi untuk Pemberdayaan Industri. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Thee Kian Wie. 2008. Nalar Ekonomi versus Nalar Teknologi. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.

UNCTAD. 2009. World Investment Prospects Survey 2008-2011. United Nations Conference on Trade and Development, New York

Wang, T.Y. dan S.C. Chien. 2007. The influences of technology development on economic performance—The example of ASEAN countries. Technovation 27:471–488

Warsono, S.Y. 2009. Peran Intermediasi dalam Membangun Kolaborasi Lembaga Litbang dan Industri. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

WEF. 2010. The Global Competitiveness Report 2010-2011. World Economic Forum, Geneva

World Bank. 2010. Innovation Policy: a guide for developing countries. The World Bank, Washington DC

Page 148: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

148

Lampiran

Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan Nasional

1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahun dan Teknologi.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

4. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional (KIN).

5. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

6. Keputusan Menteri Riset dan Teknologi Nomor 03/M/Kp/I/2010 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010-2014

7. Keputusan Menteri Riset dan Teknologi Nomor 193/M/Kp/IV/2010 tentang Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Iptek 2010- 2014.

8. Keputusan Menteri Riset dan Teknologi Nomor 246/M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional Untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terhadap Pembangunan Nasional

9. Sambutan Presiden Dr. Soesilo Bambang Yudhoyono, dalam Acara Silaturrahim dengan AIPI dan Masyarakat Ilmiah, Serpong, 20 Januari 2010.

Page 149: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

149

Lampiran 1.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2002

TENTANG SISTEM NASIONAL PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN

TEKNOLOGI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan Tuhan Yang Maha Esa untuk kepentingan umat manusia yang dalam pengelolaan dan pendayagunaannya diperlukan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab;

b. bahwa penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pencapaian tujuan negara sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menyerasikan tata kehidupan manusia beserta kelestarian fungsi lingkungan hidupnya berdasarkan Pancasila;

c. bahwa untuk menumbuhkembangkan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengandung dan membentuk keterkaitan yang tidak terpisahkan dan saling memperkuat antara unsur-unsur kelembagaan, sumber daya, serta jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam satu keseluruhan yang utuh di lingkungan Negara Republik Indonesia;

d. bahwa penumbuhkembangan sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah tugas dan tanggung jawab negara;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada butir a, b, c, dan d perlu dibentuk Undang-Undang tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (4), Undang- Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan persetujuan :

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM NASIONAL PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI.

Page 150: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

150

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu yang dilandasi oleh metodologi ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif, kualitatif, maupun eksploratif untuk menerangkan pembuktian gejala alam dan/atau gejala kemasyarakatan tertentu.

2. Teknologi adalah cara atau metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia.

3. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang strategis adalah berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki keterkaitan yang luas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara menyeluruh, atau berpotensi memberikan dukungan yang besar bagi kesejahteraan masyarakat, kemajuan bangsa, keamanan dan ketahanan bagi perlindungan negara, pelestarian fungsi lingkungan hidup, pelestarian nilai luhur budaya bangsa, serta peningkatan kehidupan kemanusiaan.

4. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

5. Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru.

6. Invensi adalah suatu ciptaan atau perancangan baru yang belum ada sebelumnya yang memperkaya khazanah serta dapat dipergunakan untuk menyempurnakan atau memperbarui ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada.

7. Penerapan adalah pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan, dan/atau ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam kegiatan perekayasaan, inovasi, serta difusi teknologi.

8. Perekayasaan adalah kegiatan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk desain dan rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkan keterpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya, dan estetika.

9. Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi.

10. Difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih ekstensif oleh penemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya.

11. Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan, atau orang, baik yang berada di lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri dan sebaliknya.

Page 151: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

151

12. Lembaga penelitian dan pengembangan yang selanjutnya disebut lembaga litbang adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan penelitian dan/atau pengembangan.

13. Badan usaha adalah badan atau lembaga berbadan hukum yang melakukan kegiatan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

14. Organisasi profesi adalah wadah masyarakat ilmiah dalam suatu cabang atau lintas disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi, atau suatu bidang kegiatan profesi, yang dijamin oleh negara untuk mengembangkan profesionalisme dan etika profesi dalam masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

15. Hak kekayaan intelektual yang selanjutnya disebut HKI adalah hak memperoleh perlindungan secara hukum atas kekayaan intelektual sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

16. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.

17. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah.

18. Menteri adalah menteri yang membidangi penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 2

Pengertian peristilahan dalam Pasal 1 yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berpikir, kebebasan akademis, dan tanggung jawab akademis.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 3

Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dikembangkan berdasarkan asas iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, asas tanggung jawab negara, asas kesisteman dan percepatan, asas kebenaran ilmiah, asas kebebasan berpikir, asas kebebasan akademis, serta asas tanggung jawab akademis.

Pasal 4

Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bertujuan memperkuat daya dukung ilmu pengetahuan dan teknologi bagi keperluan mempercepat pencapaian tujuan negara, serta meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan internasional.

BAB III

FUNGSI, KELEMBAGAAN, SUMBER DAYA, DAN JARINGAN Bagian Pertama

Fungsi

Pasal 5

(1) Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi membentuk pola hubungan yang saling memperkuat antara unsur penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam satu keseluruhan yang utuh untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Page 152: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

152

(2) Unsur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur kelembagaan, unsur sumber daya, dan unsur jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bagian Kedua Kelembagaan

Pasal 6

(1) Kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas unsur perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang.

(2) Kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi :

a. mengorganisasikan pembentukan sumber daya manusia, penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi;

b. membentuk iklim dan memberikan dukungan yang diperlukan bagi penyelenggaraan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 7

(1) Perguruan tinggi sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi membentuk sumber daya manusia ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perguruan tinggi bertanggung jawab meningkatkan kemampuan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian pada masyarakat sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 8

(1) Lembaga litbang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi menumbuhkan kemampuan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), lembaga litbang bertanggung jawab mencari berbagai invensi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menggali potensi pendayagunaannya.

(3) Lembaga litbang dapat berupa organisasi yang berdiri sendiri, atau bagian dari organisasi pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, badan usaha, lembaga penunjang, dan organisasi masyarakat.

Pasal 9

(1) Badan usaha sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi menumbuhkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi untuk menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai ekonomis.

(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), badan usaha bertanggung jawab mengusahakan pendayagunaan manfaat keluaran yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang.

Pasal 10

(1) Lembaga penunjang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi memberikan dukungan dan membentuk iklim yang kondusif bagi penyelenggaraan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Page 153: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

153

(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), lembaga penunjang bertanggung jawab mengatasi permasalahan atau kesenjangan yang menghambat sinergi dan pertumbuhan perguruan tinggi, lembaga litbang, dan badan usaha.

Bagian Ketiga Sumber Daya

Pasal 11

(1) Sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas keahlian, kepakaran, kompetensi manusia dan pengorganisasiannya, kekayaan intelektual dan informasi, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2) Setiap unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab meningkatkan secara terus menerus daya guna dan nilai guna sumber daya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 12

(1) Dalam meningkatkan keahlian, kepakaran, serta kompetensi manusia dan pengorganisasiannya, setiap unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab mengembangkan struktur dan strata keahlian, jenjang karier sumber daya manusia, serta menerapkan sistem penghargaan dan sanksi yang adil di lingkungannya sesuai dengan kebutuhan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2) Untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi profesi wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode etik profesi.

Pasal 13

(1) Pemerintah mendorong kerja sama antara semua unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengembangan jaringan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2) Perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan penyebaran informasi hasil-hasil kegiatan penelitian dan pengembangan serta kekayaan yang dimiliki selama tidak mengurangi kepentingan perlindungan kekayaan intelektual.

(3) Dalam meningkatkan pengelolaan kekayaan intelektual, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan pembentukan sentra HKI sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.

(4) Setiap kekayaan intelektual dan hasil kegiatan penelitian, pengembangan, perekayasaan, dan inovasi yang dibiayai pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib dikelola dan dimanfaatkan dengan baik oleh perguruan tinggi, lembaga litbang, dan badan usaha yang melaksanakannya.

Pasal 14

Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha dapat membangun kawasan, pusat peragaan, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi lain untuk memfasilitasi sinergi dan pertumbuhan unsur-unsur kelembagaan dan menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan masyarakat.

Bagian Keempat

Jaringan

Pasal 15

(1) Jaringan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi membentuk jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur-unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghasilkan kinerja dan manfaat yang lebih

Page 154: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

154

besar dari keseluruhan yang dapat dihasilkan oleh masing-masing unsur kelembagaan secara sendiri-sendiri.

(2) Untuk mengembangkan jaringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang, wajib mengusahakan kemitraan dalam hubungan yang saling mengisi, melengkapi, memperkuat, dan menghindarkan terjadinya tumpang tindih yang merupakan pemborosan.

Pasal 16

(1) Perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan, yang dibiayai sepenuhnya atau sebagian oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah kepada badan usaha, pemerintah, atau masyarakat, sejauh tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan.

(2) Apabila sebagian biaya kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibiayai oleh pihak lain, selain pemerintah dan/atau pemerintah daerah, pengalihan teknologi dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang telah diatur sebelumnya dengan pihak lain tersebut.

(3) Perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan diri.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

(1) Kerja sama internasional dapat diusahakan oleh semua unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan alih teknologi dari negara-negara lain serta meningkatkan partisipasi dalam kehidupan masyarakat ilmiah internasional.

(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilaksanakan atas dasar persamaan kedudukan yang saling menguntungkan dengan tidak merugikan kepentingan nasional, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Pemerintah bertanggung jawab memberikan dukungan bagi perguruan tinggi dan lembaga litbang dalam rangka kerja sama internasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

(4) Perguruan tinggi asing, lembaga litbang asing, badan usaha asing, dan orang asing yang tidak berdomisili di Indonesia yang akan melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia harus mendapatkan izin tertulis dari instansi pemerintah yang berwenang.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. BAB IV

FUNGSI DAN PERAN PEMERINTAH Bagian Pertama

Fungsi Pemerintah

Pasal 18

(1) Pemerintah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia.

(2) Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah wajib merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi.

Page 155: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

155

Pasal 19

(1) Menteri wajib mengoordinasikan perumusan kebijakan strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dengan mempertimbangkan segala masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2) Untuk mendukung Menteri dalam merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah membentuk Dewan Riset Nasional yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(3) Dalam menetapkan prioritas utama dan mengembangkan berbagai aspek kebijakan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, Menteri wajib memperhatikan pentingnya upaya :

a. penguatan penguasaan ilmu-ilmu dasar, ilmu pengetahuan dan teknologi yang strategis, dan peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan yang merupakan tulang punggung perkembangan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta penguatan penguasaan ilmu-ilmu sosial dan budaya yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. penguatan pertumbuhan industri berbasis teknologi untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi serta memperkuat tarikan pasar bagi hasil kegiatan penelitian dan pengembangan;

c. penguatan kemampuan audit teknologi impor yang dikaitkan dengan penguatan Standar Nasional Indonesia untuk melindungi konsumen dan memfasilitasi pertumbuhan industri dalam negeri.

Pasal 20

(1) Pemerintah daerah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan serta sinergi unsur kelembagaan, sumber daya, dan jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi di wilayah pemerintahannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

(2) Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah daerah wajib merumuskan prioritas serta kerangka kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya.

(3) Dalam merumuskan kebijakan strategis yang dimaksud dalam ayat (2), pemerintah daerah harus mempertimbangkan masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(4) Untuk mendukung perumusan prioritas dan berbagai aspek kebijakan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah daerah membentuk Dewan Riset Daerah yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya.

Bagian Kedua Peran Pemerintah

Pasal 21

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah berperan mengembangkan instrumen kebijakan untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1).

Page 156: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

156

(2) Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan sebagai bentuk kemudahan dan dukungan yang dapat mendorong pertumbuhan dan sinergi semua unsur Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

(3) Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat berbentuk dukungan sumber daya, dukungan dana, pemberian insentif, penyelenggaraan program ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pembentukan lembaga.

(4) Lembaga yang dimaksud dalam ayat (3) dapat meliputi lembaga litbang dan lembaga penunjang, baik yang berdiri sendiri sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen maupun sebagai unit kerja departemen atau pemerintah daerah tertentu.

(5) Pelaksanaan instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diselenggarakan secara adil, demokratis, transparan, dan akuntabel.

Pasal 22

(1) Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara serta keseimbangan tata kehidupan manusia dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah mengatur perizinan bagi pelaksanaan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berisiko tinggi dan berbahaya dengan memperhatikan standar nasional dan ketentuan yang berlaku secara internasional.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 23

(1) Pemerintah menjamin perlindungan bagi HKI yang dimiliki oleh perseorangan atau lembaga sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pemerintah menjamin perlindungan bagi pengetahuan dan kearifan lokal, nilai budaya asli masyarakat, serta kekayaan hayati dan non hayati di Indonesia.

(3) Pemerintah menjamin perlindungan bagi masyarakat sebagai konsumen, terhadap penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB V

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 24

(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk berperan serta dalam melaksanakan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap warga negara yang melakukan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai hak memperoleh penghargaan yang layak dari pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat sesuai dengan kinerja yang dihasilkan.

(3) Setiap orang mempunyai hak untuk menggunakan dan mengendalikan kekayaan intelektual yang dimiliki sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Setiap warga negara mempunyai hak untuk memperoleh informasi secara mudah dengan biaya murah tentang HKI yang sedang didaftarkan dan telah dipublikasikan secara resmi oleh pihak yang berwenang atau yang telah memperoleh perlindungan hukum di Indonesia.

Pasal 25

Page 157: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

157

(1) Masyarakat wajib memberikan dukungan serta turut membentuk iklim yang dapat mendorong perkembangan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

(2) Masyarakat ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab untuk berperan serta mengembangkan profesionalisme dan etika profesi melalui organisasi profesi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Setiap organisasi profesi wajib membentuk dewan kehormatan kode etik sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (2).

BAB VI

PEMBIAYAAN

Pasal 26

Pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah.

Pasal 27

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran sebesar jumlah tertentu yang cukup memadai untuk memacu akselerasi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2) Anggaran yang dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk membiayai pelaksanaan fungsi dan peran pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (1).

(3) Perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, lembaga penunjang, organisasi masyarakat dan inventor mandiri berhak atas dukungan dana dari anggaran pemerintah dan pemerintah daerah untuk meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 28

(1) Badan usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam meningkatkan kinerja produksi dan daya saing barang dan jasa yang dihasilkan.

(2) Anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat digunakan dalam lingkungan sendiri dan dapat pula digunakan untuk membentuk jalinan kemitraan dengan unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi lain.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VII KETENTUAN SANKSI

Bagian Pertama Sanksi Administratif

Pasal 29

Pelanggaran ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dijatuhi sanksi administratif mulai dari teguran, peringatan, pemberhentian sementara kegiatan, sampai dengan pembatalan atau pencabutan izin oleh instansi pemberi izin.

Page 158: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

158

Bagian Kedua Sanksi Pidana

Pasal 30

(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin diancam pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan/atau penjara paling lama 6 (enam) bulan.

(2) Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) yang mengakibatkan bahaya bagi keselamatan manusia, kesehatan masyarakat, kelestarian fungsi lingkungan hidup, kerukunan bermasyarakat, keselamatan bangsa, dan merugikan negara, dijatuhi sanksi pidana penjara dan/atau denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 31

Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan dengan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak sesuai dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.

BAB IX KETENTUAN PENUTUP

Pasal 32

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 29 Juli 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 84

Page 159: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

159

Lampiran 2.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2007

TENTANG PENGALOKASIAN SEBAGIAN PENDAPATAN BADAN USAHA

UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN PEREKAYASAAN, INOVASI, DAN DIFUSI TEKNOLOGI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha Untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219);

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGALOKASIAN SEBAGIAN PENDAPATAN

BADAN USAHA UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN PEREKAYASAAN, INOVASI, DAN DIFUSI TEKNOLOGI.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksudkan dengan :

1. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru.

3. Perekayasaan adalah kegiatan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk disain dan rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkan keterpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya, dan estetika.

4. Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru

Page 160: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

160

untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi.

5. Difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih ekstensif oleh penemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya.

6. Badan Usaha adalah badan atau lembaga berbadan hukum yang melakukan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

7. Insentif adalah pemberian kemudahan/keringanan yang diberikan kepada Badan Usaha dalam rangka upaya peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi.

8. Pendapatan adalah penghasilan yang diperoleh dari penjualan barang dan jasa yang berhubungan dengan kegiatan utama badan usaha.

9. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

BAB II ALOKASI SEBAGIAN PENDAPATAN BADAN USAHA

Pasal 2

(1) Badan Usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam meningkatkan kinerja produksi dan/atau daya saing barang dan/atau jasa yang dihasilkan.

(2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan usaha swasta berbentuk perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Koperasi.

Pasal 3

Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mengalokasikan sebagian pendapatan sesuai dengan kemampuannya.

BAB III

PELAKSANAAN KEGIATAN PENINGKATAN KEMAMPUAN PEREKAYASAAN, INOVASI, DAN DIFUSI TEKNOLOGI

Pasal 4

Peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dilakukan melalui kegiatan:

a. penelitian, pengembangan dan/atau penerapan teknologi; dan/atau

b. pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan perguruan tinggi dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan.

Pasal 5

(1) Dalam melakukan kegiatan peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi, Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat melakukan kemitraan dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, dan badan usaha lain.

(2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk lisensi, kerjasama, dan pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi.

BAB IV

Page 161: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

161

INSENTIF

Bagian Kesatu Umum

Pasal 6

(1) Badan Usaha yang mengalokasikan sebagian pendapatan untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan insentif.

(2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis penelitian dan pengembangan.

(3) Besar dan jenis insentif perpajakan dan kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan sepanjang diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan.

Pasal 7

(1) Bantuan teknis penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dapat berupa penempatan tenaga ahli dan/atau pemanfaatan fasilitas laboratorium di lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah.

(2) Bantuan teknis penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan untuk kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. kegiatan yang dilakukan di luar negeri;

b. kegiatan pengawasan dan/atau pengujian rutin terhadap kualitas produk, bahan, peralatan, produk dan/atau proses;

c. pengumpulan data;

d. survei efisiensi atau studi manajemen;

e. riset pasar dan/atau promosi penjualan; dan

f. pembelian dan/atau pembayaran royalti teknologi dari entitas lain di luar negeri.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan teknis penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Tata Cara Permohonan, Penghentian, dan Perpanjangan Insentif

Pasal 8

(1) Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengajukan permohonan untuk mendapatkan rekomendasi insentif secara tertulis kepada Menteri.

(2) Pengajuan permohonan rekomendasi insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan proposal kegiatan dan bentuk insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan rekomendasi insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 9

(1) Menteri membentuk Tim Pengkajian dan Penilaian, guna melakukan pengkajian dan penilaian terhadap permohonan insentif.

(2) Hasil pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri dalam bentuk saran dan pertimbangan.

Page 162: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

162

(3) Pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut:

a. kegiatan peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;

b. potensi peningkatan kinerja produksi dan/atau daya saing barang dan/atau jasa;

c. pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan di dalam negeri; dan

d. penggunaan sumber daya dalam negeri.

(4) Pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh.

(5) Pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan insentif diterima secara lengkap.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan dan tata kerja Tim Pengkajian dan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 10

(1) Menteri dapat memberikan atau tidak memberikan rekomendasi insentif dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Tim Pengkajian dan Penilaian.

(2) Menteri menyampaikan pemberitahuan persetujuan atau penolakan pemberian rekomendasi insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak penerimaan saran dan pertimbangan Tim Pengkajian dan Penilaian.

Pasal 11

(1) Dalam hal Menteri memberikan rekomendasi insentif, rekomendasi disampaikan kepada Badan Usaha dengan tembusan kepada instansi pemerintah yang berwenang dalam pemberian insentif.

(2) Badan Usaha mengajukan permohonan insentif kepada instansi pemerintah yang berwenang disertai dengan rekomendasi insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Tata cara pengajuan permohonan insentif perpajakan dan kepabeanan dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan.

Pasal 12

Dalam hal Menteri tidak memberikan rekomendasi insentif, pemberitahuan disampaikan kepada Badan Usaha disertai dengan alasannya.

Pasal 13

(1) Dalam hal pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) berupa bantuan teknis penelitian dan pengembangan, instansi pemerintah yang berwenang dapat menghentikan atau memperpanjang pemberian insentif.

(2) Penetapan penghentian atau perpanjangan pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi pemerintah yang berwenang setelah meminta saran dan pertimbangan Menteri.

(3) Menteri menyampaikan saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada instansi pemerintah yang berwenang dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Tim Pengkajian dan Penilaian.

(4) Penghentian atau perpanjangan pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan pimpinan instansi pemerintah yang berwenang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Page 163: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

163

Bagian Ketiga

Pelaporan

Pasal 14

(1) Pada setiap akhir tahun dan akhir kegiatan, Badan Usaha yang mendapat insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) wajib menyerahkan laporan kegiatan peningkatan kemampuan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi kepada Menteri.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat pencapaian kegiatan yang telah dilakukan dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3).

(3) Menteri dapat melakukan verifikasi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) guna memberikan saran dan pertimbangan penghentian atau perpanjangan insentif kepada instansi pemerintah yang berwenang.

(4) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh.

BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 15

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 22 Juni 2007

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 22 Juni 2007 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 78

Page 164: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

164

Lampiran 3.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 93 TAHUN 2010 TENTANG

SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA,

DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.

Pasal 1

Sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak terdiri atas:

a. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana;

Page 165: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

165

b. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan;

c. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan;

d. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga; dan

e. Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.

Pasal 2

Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat:

a. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya;

b. pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan;

c. didukung oleh bukti yang sah; dan

d. lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 3

Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.

Pasal 4

Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 5

(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat diberikan dalambentuk uang dan/atau barang.

(2) Biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e diberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.

Pasal 6

(1) Nilai sumbangan dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditentukan berdasarkan:

a. nilai perolehan, apabila barang yang disumbangkan belum disusutkan;

b. nilai buku fiskal, apabila barang yang disumbangkan sudah disusutkan; atau

c. harga pokok penjualan, apabila barang yang disumbangkan merupakan barang produksi sendiri.

Page 166: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

166

(2) Nilai biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditentukan berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana dan/atau prasarana.

Pasal 7

Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib dicatat sesuai dengan peruntukannya oleh pemberi sumbangan.

Pasal 8

(1) Badan penanggulangan bencana dan lembaga atau pihak yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a harus menyampaikan laporan penerimaan dan penyaluran sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk setiap triwulan.

(2) Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat pada akhir Tahun Pajak diterimanya sumbangan dan/atau biaya.

(3) Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya yang mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak melaporkan sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai lampiran laporan keuangan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak diterimanya sumbangan.

Pasal 9

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencatatan dan pelaporan sumbangan dan/atau biaya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 10

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2010.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 30 Desember 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 30 Desember 2010

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 160

Page 167: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

167

Lampiran 4.

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2010

TENTANG KOMITE INOVASI NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa kebijakan inovasi nasional di Indonesia perlu dilaksanakan secara terencana, terpadu, terintegrasi, dan terkoordinasi dalam satu kesatuan sistem inovasi nasional guna meningkatkan produktifitas nasional dan mempercepat pertumbuhan ekonomi bangsa;

b. bahwa dalam rangka implementasi pelaksanaan sitem inovasi nasional secara efektif dan efisien, perlu dilakukan melalui institusi yang efektif dan berhasil-guna baik dari sisi legalitas dan otoritas;

c. bahwa sehubungan dengan hal sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b serta dalam rangka pelaksanaan dan pengendalian sistem inovasi nasional, perlu membentuk Komite Inovasi Nasional dengan Peraturan Presiden;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sitem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG KOMITE INOVASI NASIONAL

Pasal 1

Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan Sistem Inovasi Nasional adalah suatu jaringan rantai antara institusi publik, lembaga riset dan teknologi, universitas serta sektor swasta dalam suatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka panjang dapat mendorong, mendukung, dan menyinergikan kegiatan untuk menghasilkan, mendayagunakan, merekayasa inovasi-inovasi di berbagai sektor, dan menerapkan serta mendiseminasikan hasilnya dalam skala nasional agar manfaat nyata temuan dan produk inovatif dapat dirasakan masyarakat.

Pasal 2

Dalam rangka penguatan sistem Inovasi Nasional, dibentuk Komite Inovasi Nasional yang selanjutnya disebut KIN.

Pasal 3

(1) KIN bertugas untuk:

a. membantu Presiden dalam rangka memperkuat sistem inovasi nasional dan mengembangkan budaya inovasi nasional;

Page 168: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

168

b. memberi masukan dan pertimbangan mengenai prioritas program dan rencana aksi, termasuk alokasi pembiayaan dan fasilitas untuk penguatan sistem inovasi nasional yang menghsilkan produkproduk inovatif;

c. melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan dan program pengutan sistem inovasi nasional.

(2) Penguatan sistem inovasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan meliputi inovasi-inovasi di bidang ketahanan pangan, ketahanan energi, bioteknologi, industri manufaktur, Industri infrastruktur, transportasi dan industri pertahanan, teknologi pemrosesan pertanian dan pemrosesan ikan laut dalam, manajemen bencana alam, serta inovasi lainnya yang berbasis ilmu pengetahuan (knowledge).

(3) Dalam rangka melaksanakan tugasnya, KIN melakukan konsultasi, koordinasi, dan kerja sama dengan lembaga pemerintahan dan non pemerintahan, wakil-wakil kelompok masyarakat, serta komunitas ilmiah dan universitas, periset, pakar teknologi dan inovator dalam rangka keterpaduan penguatan sistem inovasi nasional.

Pasal 4

Keanggotaan KIN terdiri dari:

Ketua : Prof. Dr. Ir., Zuhal, M.Sc.E,E;

Wakil Ketua : Rektor Institut Pertanian Bogor

Sekretaris : Prof. Drs. Freddy Permana Zen, M.S., M.Sc. D.Sc

Anggota : 1. Prof. Dr. Sangkot Marzuki, D. Sc;

2. Prof. Dr. Sahari Besari;

3. Dr. Ninok Leksono, MA;

4. Prof. Drs. Umar A. Jenie, M.Sc., Apt. Ph.D;

5. Dr. Ir. Marzan A. Iskandar, M.Sc;

6. Dr. Ir. Idwan Suhardi

7. Dr. Lukman Hakim, M.Sc., Ph.D;

8. Prof. Bustanul Arifin, MS., Ph.D;

9. Ir. Amir Sambodo, MBA;

10. Rachmat Gobel;

11. Dr. Ing. Ilham A. Habibie;

12. Prof. Dr. IR. Tien Muchtadi, M.S.;

13. Dr. Ir. Anton Apriantono, M.S.;

14. Prof. Dr. Arief Rahman, M.Pd;

15. Ir. Jusman Syafii Djamal;

16. Dr. Bambang Kesowo, S.H.,LL.M;

17. Betti Setiastuti Alisjahbana;

18. Tri Mumpuni Wiyanto;

19. Rektor Universitas Indonesia;

20. Rektor Institut Teknologi Bandung;

Page 169: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

169

21. Rektor Universitas Gajah Mada;

22. Rektor Institut Teknologi Surabaya;

23. Rektor Universitas Hasanudin;

24. Rektor Universitas Syiah Kuala;

25. Rektor Universitas Cenderawasih;

26. Rektor Universitas Pattimura;

27. Rektor Universitas Udayana.

Pasal 5

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, KIN memeperhatikan arahan dari pengarah.

(2) Pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

Ketua : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian

Anggota : 1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;

2. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;

3. Menteri Sekretaris Negara;

4. Menteri Keuangan;

5. Menteri Riset dan Teknologi;

6. Sekretaris Kabinet

Pasal 6

KIN melaksanakan tugasnya sejak ditetapkan Peraturan Presiden ini sampai berakhirnya masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu II.

Pasal 7

(1) KIN melaksanakan tugasnya sejak berkoordinasi dengan Menteri Riset dan Teknologi.

(2) KIN melakukan rapat koordinasi secara berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.

(3) KIN dapat mengundang pimpinan instansi terkait dan pihak lain yang dipandang perlu pada rapat koordinasi KIN.

Pasal 8

Hasil rapat koordinasi KIN oleh masing-masing anggota KIN dilaksanakan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 9

Mekanisme dan tata kerja Komite Inovasi Nasional diatur lebih lanjut oleh Ketua Komite Inovasi Nasional.

Pasal 10

Ketua KIN melaporkan kepada presiden setiap perkembangan dan permasalahan yang ada dalam penyelenggaraan sistem inovasi nasional agar segera dapat diambil keputusan untuk penyelesaian masalahnya.

Page 170: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

170

Pasal 11

KIN dalam pelaksanaan tugasnya dibantu sebuah Sekretariat yang secara fungsional dilakukan oleh salah satu unit kerja di lingkungan Kementerian Riset dan Teknologi.

Pasal 12

Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi KIN dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara c.q. anggaran Kementerian Riset dan Teknologi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Mei 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Politik, Keamanan, Pertanahan, Ratifikasi, dan Permasalahan Hukum Bistok Simbolon.

Page 171: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

171

Lampiran 5.

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011

TENTANG MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN

PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA 201 1-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 dan untuk melengkapi dokumen perencanaan guna meningkatkan daya saing perekonomian nasional yang lebih solid, diperlukan adanya suatu masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia yang memiliki arah yang jelas, strategi yang tepat, fokus dan terukur;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pr es iden tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA 201 1-2025.

Pasal 1

(1) Menetapkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 -2025, yang selanjutnya disebut MP3EI.

(2) MP3EI merupakan arahan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode 15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2025 dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 dan melengkapi dokumen perencanaan.

(3) MP3EI terdiri atas 4 (empat) bagian, meliputi:

a. Pendahuluan;

b. Prasyarat dan Strategi MP3EI;

c. Koridor Ekonomi Indonesia; dan

d. Pelaksanaan, Pemantauan dan Evaluasi MP3EI.

(4) MP3EI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.

Page 172: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

172

Pasal 2

MP3EI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, berfungsi sebagai:

a. acuan bagi menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian untuk menetapkan kebijakan sektoral dalam rangka pelaksanaan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia di bidang tugas masing-masing, yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis masing-masing kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sebagai bagian dari dokumen perencanaan pembangunan; dan

b. acuan untuk penyusunan kebijakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota terkait.

Pasal 3

MP3EI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dapat menjadi acuan bagi badan usaha dalam menanamkan modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4

(1) Koordinasi pelaksanaan MP3EI dilakukan oleh Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, yang selanjutnya disebut KP3EI.

(2) KP3EI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas:

a. melakukan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan MP3EI;

b. melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan MP3EI; dan

c. menetapkan langkah-langkah dan kebijakan dalam rangka penyelesaian permasalahan dan hambatan pelaksanaan MP3EI.

Pasal 5

(1) KP3EI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 terdiri dari:

Ketua : Presiden Republik Indonesia;

Wakil Ketua : Wakil Presiden Republik Indonesia;

Ketua Harian : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;

Wakil Ketua Harian I : Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;

Wakil Ketua Harian II : Ketua Komite Ekonomi Nasional;

Anggota : 1. Menteri Dalam Negeri;

2. Menteri Keuangan;

3. Menteri Perindustrian;

4. Menteri Perdagangan;

5. Menteri Sekretaris Negara;

6. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;

7. Menteri Pertahanan;

8. Menteri Pertanian;

9. Menteri Pekerjaan Umum;

10. Menteri Perhubungan;

Page 173: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

173

11. Menteri Kehutanan;

12. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral;

13. Menteri Kelautan dan Perikanan;

14. Menteri Komunikasi dan Informatika;

15. Menteri Riset dan Teknologi;

16. Menteri Lingkungan Hidup;

17. Menteri Badan Usaha Milik Negara;

18. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;

19. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;

20. Menteri Pendidikan Nasional;

21. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal;

22. Sekretaris Kabinet;

23. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;

24. Kepala Badan Pertanahan Nasional;

25. Ketua Komite Inovasi Nasional;

26. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia.

(2) Pelaksanaan tugas KP3EI sehari-hari dipimpin oleh Ketua Harian.

Pasal 6

Untuk membantu pelaksanaan tugas KP3EI, dibentuk Tim Kerja.

Pasal 7

Mekanisme dan tata kerja KP3EI, susunan organisasi, keanggotaan serta tata kerja Tim Kerja, ditetapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Harian KP3EI.

Pasal 8

(1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya, KP3EI didukung oleh Sekretariat KP3EI, yang secara administrasi berkedudukan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

(2) Sekretariat KP3EI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipimpin oleh Sekretaris KP3EI.

(3) Susunan organisasi dan tata kerja Sekretariat KP3EI ditetapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Harian KP3EI.

Pasal 9

Sekretaris KP3EI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), diangkat dan diberhent ikan oleh Menter i Koordinator Bidang Perekonomian.

Pasal 10

(1) Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas Sekretariat KP3EI, Sekretaris KP3EI mengangkat tenaga profesional pada Sekretariat KP3EI.

(2) Tenaga profesional pada Sekretar iat KP3EI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berasal dari unsur Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan non-PNS.

Pasal 11

(1) PNS yang ditempatkan pada Sekretariat KP3EI berstatus dipekerjakan.

Page 174: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

174

(2) PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan pangkatnya setiap kali setingkat lebih tinggi tanpa terikat jenjang pangkat, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan dari jabatan organik di instansi induk yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berhenti atau telah berakhir masa baktinya, kembali kepada instansi induknya apabila belum mencapai usia pensiun.

(5) PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan dengan hormat sebagai PNS apabila telah mencapai batas usia pensiun dan diberi hak-hak kepegawaian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12

Hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi Sekretaris KP3EI dan tenaga profesional pada Sekretariat KP3EI, ditetapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian setelah mendapat pertimbangan dar i menteri yang menangani urusan pemerintah di bidang keuangan dan menteri yang menangani urusan pemerintah di bidang aparatur negara.

Pasal 13

Segala biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas KP3EI, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 14

Peraturan Presiden ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 20 Mei 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Page 175: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

175

Lampiran 6.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 243b /M/Kp/IX/2011 TENTANG

PERUBAHAN RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI TAHUN 2010-2014

MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI

REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka revitalisasi serta penajaman program dan kegiatan Kementerian Riset dan Teknologi yang mendukung penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas), perlu dilakukan perubahan Rencana Strategis Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010-2014;

Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4219);

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4402);

4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014;

5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Tahun 2011-2025;

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Bersatu II;

7. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP);

8. Peraturan Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 03/M/PER/VI/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Riset dan Teknologi;

9. Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 03/M/Kp/I/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010-2014;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI TAHUN 2010-2014.

Page 176: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

176

PERTAMA : Menetapkan Perubahan Rencana Strategis Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010-2014, yang selanjutnya disebut Renstra Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010-2014 sebagaimana terdapat dalam Lampiran Keputusan ini dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KEDUA : Renstra Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010-2014 merupakan panduan dalam melaksanakan penyusunan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan Kementerian Riset dan Teknologi.

KETIGA : Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi Nomor 03/M/Kp/I/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010-2014, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

KEEMPAT : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 7 September 2011

MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA,

TTD. SUHARNA SURAPRANATA

Page 177: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

177

Lampiran 8.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 246 /M/Kp/IX/2011 TENTANG

ARAH PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL UNTUK MENINGKATKAN KONTRIBUSI ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI TERHADAP PEMBANGUNAN NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa strategi pembangunan iptek dilaksanakan melalui dua prioritas pembangunan, yaitu penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas), peningkatan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek;

b. bahwa penguatan SINas diarahkan untuk penciptaan ruang bagi interaksi dan kolaborasi pelaku inovasi, percepatan koordinasi dan intermediasi antara penyedia dan pengguna teknologi, serta mendorong pemanfaatan hasil-hasil penelitian dan pengembangan;

c. bahwa arah penguatan SINas diperlukan sebagai pedoman untuk refocusing dan sinergi dalam merencanakan dan melaksanakan berbagai kegiatan riset dan teknologi secara efektif dan efisien, dalam upaya meningkatkan kontribusi iptek terhadap pembangunan nasional;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, maka perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan Nasional;

Mengingat : 1. Pasal 31 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219);

3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010-2014;

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;

5. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pengkoordinasian Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI TENTANG ARAH PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL UNTUK MENINGKATKAN KONTRIBUSI ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI TERHADAP PEMBANGUNAN NASIONAL.

PERTAMA : Menetapkan Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan Nasional, yang selanjutnya

Page 178: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

178

disebut Arah Penguatan SINas sebagaimana terdapat dalam Lampiran Keputusan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KEDUA : Arah Penguatan SINas sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA adalah dokumen kebijakan untuk refocusing dan sinergi dalam upaya meningkatkan kontribusi iptek terhadap pembangunan nasional.

KETIGA : Arah Penguatan SINas sebagaimana dimaksud pada diktum KEDUA merupakan acuan dalam merencanakan dan melaksanakan berbagai kegiatan riset dan teknologi secara lebih efektif dan efisien dalam upaya meningkatkan kontribusi iptek terhadap pembangunan nasional.

KEEMPAT : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 30 September 2011 MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI

REPUBLIK INDONESIA, TTD.

SUHARNA SURAPRANATA

Page 179: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

179

Lampiran 9.

SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PADA ACARA SILATURRAHIM DENGAN AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (AIPI)

DAN MASYARAKAT ILMIAH

Serpong, 20 Januari 2010 Bismillah Hirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum Wr Wb Salam sejahtera untuk kita semua, Yang saya hormati, Presiden Republik Indonesia ketiga, Bapak Prof. Dr. Baharudin Jusuf Habibie, Yang saya hormati Menteri Riset dan Teknologi dan para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, Yang Mulia Ambassador Cameron Hume, Yang saya hormati Gubernur Banten, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Para Ilmuwan yang tergabung dalam AIPI, LIPI,

dan asosiasi-asosiasi ilmu pengetahuan di Indonesia,

Hadirin sekalian yang saya muliakan,

Marilah kita bersama-sama, memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita tetap diberi kekuatan, dan insya Allah kesehatan, sehingga kita dapat bertatap muka dalam kesempatan yang membahagiakan ini.

Melalui kesempatan ini pula, saya ingin menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada para ilmuwan terkemuka Indonesia yang tergabung dalam Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), atas pemikiran, kajian, dan penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Kemajuan yang kita capai hingga hari ini, tentu tidak terlepas dari kontribusi saudara semua.

Saya juga menyampaikan penghargaan yang tinggi atas pernyataan Presiden Barack Obama, yang baru saja dibacakan oleh Duta Besar Cameron Hume. Pandangan yang konstruktif dan ajakan positif Presiden Obama untuk meningkatkan kerjasama bilateral di bidang Iptek, pendidikan, energi dan perubahan iklim patut kita sambut dengan baik. Namun kita semua juga merasa prihatin bahwa US Science and Technology Special Envoy, Mr. Bruce Alberts, yang semula akan hadir di sini mengalami musibah kecelakaan. Mari kita doakan, agar Mr. Bruce Alberts dapat lekas pulih kembali seperti sediakala.

Saudara-saudara, Kita sungguh berharap, pertemuan ini dapat merintis jalan ke arah peningkatan kerja sama antara Indonesia-Amerika Serikat, di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Indonesia dan Amerika Serikat kini sedang aktif menggarap suatu Kemitraan Strategis baru: yaitu suatu kemitraan komprehensif, yang mencakup kerja sama dalam berbagai sektor penting bagi kedua negara. Dalam kaitan ini, kerja sama di bidang pendidikan dan teknologi menjadi bagian penting dari kemitraan strategis kedua negara. Insya Allah, Kemitraan Komprehensif ini dapat diresmikan dalam kunjungan Presiden Barack Obama ke Indonesia yang direncanakan tahun ini.

Saya juga menyambut baik pernyataan Presiden Obama di Kairo bulan Juni tahun lalu, bahwa Amerika Serikat kini berkomitmen untuk membangun kemitraan baru—“a new beginning”—dengan dunia Islam, yang di antaranya mencakup kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Page 180: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

180

Hal ini penting karena beberapa hal :

PERTAMA, memang, kalau kita ingin membangun suatu peradaban dunia (global civilization), kita perlu terus membangun jembatan antar-peradaban, terutama di antara dunia Barat dan dunia Islam. Semua pihak harus berperan aktif menyebarkan soft power, yang akan memperkokoh landasan bagi perdamaian dunia.

KEDUA, Islam tidak pernah bertolak belakang atau memusuhi ilmu pengetahuan–bahkan Islam selalu selaras dengan ilmu pengetahuan. Bahkan, puncak kejayaan Islam sebagai peradaban dunia yang paling maju di Abad ke-13 justru terjadi, karena umat Islam membuka diri dan mengejar ilmu pengetahuan di manapun. Dengan pusat peradaban di Baghdad, umat Islam mencatat berbagai kemajuan dan penemuan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sampai sekarang kita rasakan manfaatnya: kompas, anestesi, aljabar, optik, astrologi, irigasi, navigasi, kimia, teknik sipil, rumah sakit pertama, dan kapal-kapal perdagangan. Pesan dan pelajaran sejarah ini masih tetap relevan–bahkan semakin relevan–sekarang: “siapa yang mau maju, harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dan KETIGA, tidak akan pernah ada the second Islamic renaissance di Abad ke-21, tanpa penguasaan umat Islam di bidang iptek. Meskipun terdapat kemajuan di beberapa komunitas Islam, sebagian besar umat Islam saat ini masih tertinggal dalam pencapaian Millenium Development Goals, dan Human Development Index, masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, serta masih termarginalisasi dalam era globalisasi. Masih banyak umat Islam yang terlalu bernostalgia terhadap kejayaan di masa lalu, tanpa memahami bahwa peluang untuk maju dan berkarya di depan mata justru jauh lebih besar.

Sewaktu saya berpidato di Harvard University akhir tahun lalu, dan juga dalam artikel The Economists yang saya tulis, saya menekankan bahwa Abad ke-21 tidak harus mengikuti skenario “clash of civilizations”. Abad ke-21 justru dapat kita wujudkan menjadi suatu “confluence of civilizations”, di mana seluruh peradaban dunia–apakah Barat, Islam, Timur–dapat hidup berdampingan secara damai, dan dapat saling memperkaya dan melengkapi.

Kita yakini bahwa hal ini bukan sebuah utopia, tetapi suatu visi yang realistis–an achieveable vision.

Hadirin yang saya hormati,

Mari kita memulai dengan suatu preposisi: “Abad ke-21 akan menjadi abad paling inovatif dalam sejarah umat manusia”. Disadari atau tidak, kita sedang berada dalam arus perubahan sejarah yang sangat dahsyat. Ada yang menyatakan bahwa arus perubahan dalam 10 tahun mendatang, akan lebih deras daripada perubahan dalam 100 tahun terakhir.

Kita lihat saja komputer, internet dan telepon selular. Di awal tahun 1990an, email, komputer dan handphone hanya dinikmati oleh segelintir orang. Kini, 20 tahun kemudian, di seluruh dunia, 1,4 milyar orang telah mempunyai e-mail, ada 1 miliar komputer, dan 3,3 miliar pengguna handphone–sekitar separuh dari jumlah penduduk dunia. Proses ini akan terus berkembang. Kita meyakini bahwa di paruh kedua Abad-21, sebagian besar umat manusia akan terjamah oleh komputer, internet dan handphone.

Peradaban manusia juga sering berubah karena ide-ide dan penemuan-penemuan baru. Penemuan bubuk mesiu menimbulkan transformasi militer dengan segala implikasi politiknya. Penemuan mesin uap memulai revolusi industri dan mengubah sejarah Eropa. Penemuan vaksin di abad ke-18 mengubah ilmu kodokteran dan menyelamatkan jutaan umat manusia. Penemuan reaksi fisi nuklir menghasilkan bom atom dan senjata nuklir yang dapat memusnahkan umat manusia. Berbeda dari abad-abad sebelumnya, perubahan yang kita alami di Abad ke-21 akan bergerak sangat pesat. Misalnya: dalam kurun waktu hanya sekitar 100 tahun, manusia dapat bergerak dari kecepatan kuda, ke kecepatan mobil, ke kecepatan jet, ke kecepatan suara, dan bahkan sudah mendarat di bulan.

Page 181: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

181

Sejumlah negara–baik besar maupun kecil—yang dulu dikenal sebagai “negara miskin” kini telah melejit menjadi ekonomi yang unggul. Indonesia sendiri, yang dulu pernah menjadi salah satu bangsa paling miskin di Asia, kini telah menjadi ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G-20.

Kita juga melihat perubahan pesat ini di bidang lingkungan, khususnya perubahan iklim. Semenjak revolusi industri di Eropa 200 tahun lalu, karena ulah manusia, terutama di negara-negara industri maju, suhu dunia telah naik sekitar 0,6 derajat celcius. Konsentrasi karbondioksida meningkat 36%, dan lapisan ozon semakin menipis. Kalau kita tidak cepat meng-atasinya, suhu dunia bisa naik 4 derajat Celsius dan membawa malapetaka bagi umat manusia dan bagi planet bumi—rumah kita satu-satunya.

Dalam menghadapi arus sejarah yang dahsyat ini, saya yakin sekali bahwa dalam Abad ke-21 yang akan menjadi the most powerful driver of change adalah teknologi. Apakah itu bangsa, perusahaan, komunitas, atau individu, the biggest driver for change adalah teknologi.

Dewasa ini, kita semua telah melihat dan merasakan: porsi teknologi dalam PDB kita semakin besar. Porsi Teknologi dan know-how semakin menonjol, apakah itu untuk pertanian, industri, perdagangan, keuangan, pendidikan, kesehatan, pertahanan, jasa, dan lain-lain. Makin nyata, pertumbuhan ekonomi dan daya saing sebuah bangsa sangat disumbang oleh penguasaan teknologi. Inilah yang sering disebut sebagai “intangible intellectual resources”, atau “knowledge capital”.

Kecenderungan ini akan terus menguat, karena proses pengembangan teknologi tidak akan pernah berhenti. Dalam abad yang sangat progresif ini, kita tidak bisa lagi hanya mengutuk masa lalu atau menyalahkan orang lain. Kalau kita gagal, itu adalah kesalahan kita sendiri, karena kita tidak mampu membaca tanda-tanda zaman. Kalau kita kelak tampil unggul di depan yang lain, itu terjadi karena kerja keras dan kemampuan kita dalam beradaptasi.

Saudara-saudara, Karena itulah, kunci dari keunggulan Indonesia di Abad ke-21 adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu penyebab bangsa kita terbelakang selama ratusan tahun adalah, karena nenek moyang kita tidak mendapatkan akses terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari belahan dunia lain. Sebelum kebangkitan nasional tahun 1908, pada saat Eropa mendominasi dunia, Jepang mengalami Restorasi Meiji, Amerika Latin menikmati masa kemakmuran, Amerika Utara tumbuh pesat, dan Kerajaan Islam Otoman berjaya, bangsa Indonesia masih terisolasi dalam penindasan kolonialisme, dan rakyat kita tenggelam dalam kebodohan dan kemiskinan.

Abad ke-20 adalah abad kebangkitan nasional, abad kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Kunci sukses kita untuk mencapai itu tiada lain adalah persatuan. Kita mutlak membutuhkan persatuan untuk melawan penjajah, untuk mempertahankan kemerdekaan, untuk menangkal separatisme, untuk menjaga keutuhan wilayah, untuk membangun perekonomian, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan untuk mengembangkan jati diri bangsa. Itulah perjuangan kita di Abad ke-20.

Di Abad ke-21, situasinya telah berbeda: Hakikatnya, Indonesia tidak punya musuh, dan tidak ada negara lain yang memusuhi Indonesia. Politik bebas aktif Indonesia kini diabdikan untuk mewujudkan “a million friends, zero enemy”. Abad ke-21 adalah abad keunggulan, dan kunci sukses untuk mencapai itu adalah inovasi. Kita memerlukan inovasi untuk memerangi kebodohan, untuk mengentaskan kemiskinan, untuk memacu pertumbuhan dan produktivitas, dan untuk menjadi bangsa yang terhormat, maju dan kompetitif.

Saudara-saudara, Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa adalah hasil dari suatu kerja besar yang terencana dan berkesinam-bungan. Sesungguhnya pula merupakan bagian integral yang dinamis dari sebuah peradaban (civilization). Teknologi tidak bisa dimimpikan dan didatangkan begitu saja—bukan

Page 182: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

182

seperti membeli barang di supermarket. Mungkin satu dua teknologi bisa dibeli seperti itu—namun tidak untuk mencapai technological society, dan juga knowledge society.

Untuk menjadi bangsa yang menguasai iptek, kita harus bisa menempatkan inovasi sebagai urat nadi kehidupan bangsa Indonesia. Kita harus bisa menjadi Innovation Nation —bangsa inovasi! Rumah bagi manusia-manusia yang kreatif dan inovatif.

Untuk mencapai kondisi seperti itu ada sejumlah hal penting yang harus kita bangun dan lakukan. Pertama, adalah mengubah mindset. Ingatlah, innovation is a state of mind. Inovasi itu adalah suatu semangat, suatu energi, dan suatu etos. Semua fenomena sejarah—apakah itu peradaban Islam, Renaissance di Eropa, Restorasi Meiji di Jepang, tampilnya Amerika sebagai superpower, “the rise of” Cina dan India—semuanya dimulai dengan suatu semangat, dan terbangunnya mindset baru, yang kemudian menghasilkan berbagai inovasi baru, dan yang akhirnya mengakibatkan transformasi besar-besaran.

Karena itulah, kita di Indonesia harus bisa mengembangkan budaya unggul—a culture of excellence—baik di birokrasi, di universitas, maupun di sektor swasta. Sistem dan lingkungan nasional kita harus bisa melahirkan inovator-inovator yang kreatif. Ini semua akan terwujud jika masyarakat kita, kita semua, benar-benar menghargai kerja keras kaum peneliti, ilmuwan, dan inventor. Mereka harus bisa menjadi ikon masyarakat, dan bukan menjadi catatan pinggir, apalagi hidup tanpa penghormatan, tanpa apresiasi, dan tidak sejahtera. Ilmuwan, peneliti dan inovator harus berada di garis terdepan perubahan nasib bangsa, dan menjadi pendekar keunggulan.

Inovasi juga menuntut sikap open-mind dan risk-taking, bukan sikap yang kaku dan dogmatis. Komunitas iptek Indonesia harus berwawasan jauh lebih terbuka dan lebih progresif dari masanya, dan dari masyarakat, untuk mengembangkan ilmu dan teknologi. Dalam era globalisasi dewasa ini, Nasionalisme kita dicerminkan bukan dalam tindakan melawan atau menutup diri dari dunia, namun dalam kemampuan untuk menyerap ilmu dan teknologi dari manapun untuk kepentingan rakyat Indonesia.

Karena itulah, kita bercita-cita agar Indonesia menjadi bagian integral dari komunitas ilmuwan dunia. Kita berharap sebanyak mungkin ilmuwan Indonesia mengadakan riset, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Saya ingin ilmuwan Indonesia bahu membahu dengan ilmuwan internasional, dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan umat manusia. Kita harus aktif bukan saja menyerap ilmu dari dunia, namun juga menyumbang ilmu untuk dunia. Itulah mindset yang akan mengantarkan kita menjadi Innovation Nation.

Saudara-saudara faktor kedua adalah, selain didukung mindset yang tepat, inovasi juga memerlukan Investasi dan Insentif. Inovasi tidak datang dari langit, namun memerlukan inkubator-inkubator—di lingkungan pemerintah, universitas, perusahaan, dan lain-lain. Mau tidak mau, harus ada sumberdaya dan dana yang cukup, serta program yang berkesinambungan.

Pada awal saya mengemban amanah rakyat, saya menyadari bahwa alokasi dana untuk penelitian dan pengembangan (R&D-research and development) di Indonesia pada tahun 2005 masih rendah – yaitu sekitar Rp 1 trilyun. Karena itulah, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan porsi itu menjadi lebih memadai, dan syukur alhamdullilah pada tahun 2010 dapat kita tingkatkan menjadi Rp 1,9 triliun. Tentu saja jumlah inipun masih harus terus kita tingkatkan. Namun, perlu diingat, sumberdaya dan dana penelitian dan pengembangan tidak hanya berasal dari APBN, tetapi juga mesti dianggarkan oleh dunia usaha yang juga memerlukan inovasi di perusahaannya masing-masing. Pendanaan dari kerjasama internasional juga merupakan alternatif yang makin terbuka.

Sementara itu saya berpandangan, bahwa cara penting untuk membangun inovasi adalah melalui pengembangan enterpreneurship. Kita semua tahu bahwa enterpreneurship identik dengan inovasi, risk-taking, peluang, dan dinamisme. Di Amerika, Cina, India, Jepang, Korea, dan Singapura, kita melihat bahwa inovasi tumbuh pesat sejalan dengan merebaknya enterpreneurship.

Page 183: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

183

Yang juga penting diingat: kita tidak harus selalu menjadi inventor teknologi baru. Namun kita harus cerdik mencari, menyerap dan mengembangkan teknologi baru untuk pembangunan Indonesia. Bahkan, sering terjadi, pihak yang lebih cerdik mendayagunakan teknologi bisa lebih maju dari pihak yang menemukan teknologi itu sendiri.

Faktor ketiga adalah, kebijakan pemerintah dan kolaborasi. Kalau kita lihat dari bukti-bukti empiris, hampir semua inovasi teknologi merupakan hasil dari suatu kolaborasi, apakah itu kolaborasi antar-pemerintah, antar-universitas, antar-perusahaan, antar-ilmuwan, atau kombinasi dari semuanya. Karena itulah, networking antara inkubator menjadi sangat penting. Saya mendorong ilmuwan Indonesia untuk menjalin networking dan kolaborasi yang seluas-luasnya dengan lembaga penelitian, lembaga kajian dan universitas manapun di dunia, karena ini adalah kunci sukses bagi masa depan kita. Salah satu ciri Era Globalisasi dewasa ini adalah keniscayaan untuk sebuah knowledge-sharing antar bangsa.

Hadirin sekalian yang saya hormati,

Dunia kini boleh dikatakan sedang panen teknologi. Namun perlu diingat, teknologi yang kita cari dan pilih haruslah tetap relevan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang dan ke depan. Tantangan itu antara lain adalah : pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan dan energi, pemeliharaan lingkungan hidup, peningkatan industri, ketangguhan pertahanan dan keamanan negara, serta penguasaan teknologi yang menjemput masa depan.

Karena itulah, ke depan, bangsa Indonesia harus makin menguasai teknologi, yang dapat menjawab tantangan-tantangan pokok itu.

Pertama, teknologi untuk mengentaskan kemiskinan–pro-poor technology. Teknologi sering disalah-persepsikan seolah hanya untuk kepentingan industri besar yang canggih saja. Padahal untuk negeri kita juga diperlukan teknologi yang dapat memberdayakan rakyat miskin. Misalnya: telekomunikasi murah untuk desa terpencil, bibit unggul, teknologi air bersih, hidroenergi dan Rumah Sederhana Tahan Gempa.

Kedua, teknologi hijau – green technology. Kita sudah menetapkan target penurunan emisi 26% untuk tahun 2020 dari “business as usual”, dan target ini bisa ditingkatkan menjadi 41% apabila ada bantuan internasional yang memadai. Untuk itu, kita harus menerapkan pembangunan yang hemat energi (low carbon footprint), meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan seperti geothermal, angin, dan surya, serta meningkatkan teknologi pengawasan hutan, misalnya melalui satelit, untuk mendeteksi hotspot kebakaran hutan. Saya juga bangga bahwa seorang inovator energi kita, Saudari Tri Mumpuni, telah merintis pembangunan energi mikro-hidro di desa-desa, dan telah mendapatkan pengakuan internasional. Inovasi segar seperti ini harus terus dikembangkan dan disebarkan.

Ketiga, teknologi pangan, yang sangat penting bagi kesejahteraan rakyat kita (food security). Kita memerlukan teknologi pertanian baru untuk mencari bibit unggul, meningkatkan hasil panen, dan melipat-gandakan produktifitas pangan guna mencapai kondisi swasembada, bahkan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Saya ingin, pada saatnya nanti Indonesia menjadi “major food producer” di dunia internasional.

Keempat, teknologi industri. Produk-produk industri Indonesia harus bisa menunjang pencapaian 2 aspek penting, yaitu padat teknologi dan padat karya. Kita harus bisa membuat industri kita lebih efisien, lebih produktif dan lebih mempunyai nilai tambah. Kita juga harus mulai mencapai high-end products, menciptakan branding yang dikenal dunia internasional, dan bahkan bisa bersaing dalam aspek desain yang selama ini cenderung didominasi industri negara-negara maju. Hal ini penting karena pada saat ini dan ke depan, industri akan tetap menjadi tulang panggung ekonomi Indonesia.

Kelima, teknologi kesehatan. Kita harus mencari teknologi terkini untuk memerangi penyakit-penyakit menular : apakah itu H5N1, H1N1 dan virus-virus berbahaya lainnya, yang pasti akan terus bermutasi

Page 184: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

184

mengancam keluarga kita dan bahkan umat manusia. Virus berbahaya, sama seperti bencana alam, akan menjadi salah satu ancaman paling riil bagi bangsa kita di abad ke-21. Seperti yang kita alami dalam kasus epidemi H1N1 (Swine Flu), Indonesia tidak bisa menangani ancaman ini sendiri, apalagi kalau menyangkut virus yang datang dari luar yang kita tidak mempunyai vaksinnya. Karena itulah, kita harus bekerja-sama dua arah : kita berbagi ilmu dan penemuan dengan dunia kesehatan internasional, sebagaimana kita terus mengharapkan dunia luar berbagi dengan kita.

Keenam, teknologi maritim. Sebagai negara Nusantara, kita harus membangun teknologi kelautan, misalnya untuk konversi air minum atau teknologi perkapalan. Kita juga harus mendapatkan teknologi canggih untuk bisa mengeksplorasi kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, baik perikanan, hydrocarbon dan mineral. Saat ini, misalnya, kita belum mempunyai kemampuan yang memadai untuk melakukan offshore drilling apalagi deep sea drilling. Indonesia secara fisik adalah negara Kepulauan terbesar di dunia, tapi kita belum menjadi negara maritim yang kuat.

Ketujuh, teknologi pertahanan. Disini, TNI harus terus meningkatkan postur dan kapabilitasnya, termasuk penguasaan “revolution in military affairs” (RMA). Kita harus bisa meningkatkan kualitas dan tingkat teknologi industri pertahanan kita– termasuk melalui joint production dengan industri militer negara-negara lain, serta bentuk kerjasama yang lain. TNI harus meningkatkan kapasitas untuk melakukan military operations other than war (MOOTW), serta kemampuan peace-keeping operation di wilayah-wilayah konflik di dunia. TNI juga harus mempunyai kemampuan untuk melakukan surveillance dan menjaga pulau-pulau terpencil, wilayah perbatasan dan lautan Nusantara yang terbentang luas. Sementara itu, Polri dan aparat intelijen juga harus terus meningkatkan kemampuan operasionalnya untuk melawan kejahatan trans-nasional, termasuk kelompok teroris yang juga memanfaatkan teknologi yang canggih.

Dan, kedelapan adalah, teknologi masa depan: yaitu nano technology, bio-engineering, genomics, robotics, dan lain-lain. Teknologi-teknologi revolusioner ini tentu tidak sepatutnya hanya didominasi dan dimonopoli negara-negara maju saja. Banyak emerging economies --seperti Cina, India, dan Brazil - yang kini mulai merintis teknologi-teknologi baru ini. Indonesia tidak boleh tertinggal. Saya senang sekali bahwa Universitas Pelita Harapan (UPH) sudah mulai membangun pusat riset untuk nano-technology. Hadirin sekalian yang saya hormati,

Untuk mengembangkan semua ini, dibutuhkan suatu Sistim Inovasi Nasional, yaitu suatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka-panjang dapat mendorong, mendukung, menyebarkan dan menerapkan inovasi-inovasi di berbagai sektor, dan dalam skala nasional.

Konsep seperti ini relatif baru, meskipun sudah mulai diterapkan di beberapa negara yang mengalami transformasi. Setiap negara mempunyai Sistim Inovasi Nasional dengan corak yang berbeda dan khas, yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya masing-masing.

Saya berpendapat, di Indonesia, kita juga harus mengembangkan Sistem Inovasi Nasional, yang didasarkan pada suatu kemitraan antara pemerintah, komunitas ilmuwan dan swasta, dan dengan berkolaborasi dengan dunia internasional. Oleh karena itu, berkaitan dengan pandangan ini, dalam waktu dekat saya akan membentuk Komite Inovasi Nasional, yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden, untuk ikut memastikan bahwa Sistem Inovasi Nasional dapat berkembang dan berjalan dengan baik. Semua ini penting kalau kita sungguh ingin Indonesia menjadi knowledge society. Kita dikaruniai wilayah yang sangat luas, yang terbentang dari Sabang ke Marauke, dari Miangas ke Pulau Rote. Kita mempunyai sumber daya alam yang berlimpah. Kita memiliki sumberdaya manusia yang tangguh, yang terus dapat ditingkatkan keunggulan dan daya saingnya. Dan kita mempunyai hubungan yang baik dengan semua pihak—baik dunia Barat, dunia Islam, negara-negara berkembang, emerging economies, dan lain-lain—yang semuanya dapat menjadi mitra pembangunan Indonesia.

Page 185: NASKAH AKADEMIK - jdih.ristekdikti.go.idjdih.ristekdikti.go.id/v0/image/Naskah Akademik SINas.pdf · utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Na

ska

h A

kad

emik

Per

ub

ah

an

UU

No

. 18

Ta

hu

n 2

00

2

185

Karenanya, dengan semua ini, ke depan, Indonesia mempunyai peluang emas untuk memajukan kehidupan bangsa kita. Strategi yang kita tempuh untuk menjadi negara maju, developed country, adalah dengan memadukan pendekatan sumberdaya alam, iptek dan budaya, atau knowledge-based, resource-based and culture-based development.

Kalau visi ini kelak tercapai, bangsa kita akan mengalami transformasi yang fundamental, menjadi bangsa yang maju dan jaya di Abad ke-21. Mari kita songsong era itu dengan kepercayaan sebagai sebuah bangsa yang penuh inovasi. Insya Allah, dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, serta dengan persatuan, kebersamaan dan kerja keras kita, masa gemilang itu akan datang.

Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,