naskah akademik pengemis.doc

40
NASKAH AKADEMIK RAPERDA TENTANG PENGATURAN PENGEMIS DI KAWASAN PENDIDIKAN KOTA MALANG Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur I Mata Kuliah Legislatif Drafting KELOMPOK II LEGISLATIF DRAFTING TAHUN AKADEMIK 2006-2007 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA Disusun Oleh : KELOMPOK II 1. DIMAS SATRIO (0410110072) 2. LIDYAWATI (0410110139) 3. BRAMANTA (0410113050) 4. LUCKY F. J. (0410113117) 5. MINARSIH (0410113133) 6. M. SURYA A (0410113139) 7. NURUL SHINTIYA (0410113149) 8. RaFIDA ONTAR (0410113158)

Upload: zahki

Post on 20-Dec-2015

222 views

Category:

Documents


67 download

TRANSCRIPT

NASKAH AKADEMIK

RAPERDA TENTANG PENGATURAN PENGEMIS DI KAWASAN PENDIDIKAN KOTA MALANG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur I Mata Kuliah Legislatif Drafting

KELOMPOK IILEGISLATIF DRAFTING

TAHUN AKADEMIK 2006-2007FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Disusun Oleh :

KELOMPOK II

1. DIMAS SATRIO (0410110072)

2. LIDYAWATI (0410110139)

3. BRAMANTA (0410113050)

4. LUCKY F. J. (0410113117)

5. MINARSIH (0410113133)

6. M. SURYA A (0410113139)

7. NURUL SHINTIYA (0410113149)

8. RaFIDA ONTAR (0410113158)

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUMMALANG

2007DAFTAR ISI

KATA PENGANTARBAB I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

I.1.1. RekonseptualisasiI.1.2. Konsep IdealI.1.3. Dasar Pertimbangan I.1.4. Bentuk Hukum Pengaturan

I.2. Tujuan dan Sasaran

I.2.1. Tujuan I.2.2. Sasaran

I.3. Metode Penyusunan Naskah Akademik

BAB II. RUANG LINGKUP NASKAH AKADEMIK TENTANG PENGATURAN PENGEMIS DI KAWASAN PENDIDIKAN KOTA MALANG

II.1. Ketentuan Umum

II.2. Materi Muatan

II.2.1. Ladasan Filosofis, Jangkauan, dan Arah PengaturanII.2.2. Asas-asas Materi MuatanII.2.3. Pokok-pokok Materi Muatan

II.3. Ketentuan Peralihan dan Penutup

II.3.1. Ketentuan Peralihan II.3.2. Ketentuan Penutup

II.4. Bunyi Pasal yang Diusulkan Berdasarkan Materi Muatan

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN

III.1. Kesimpulan

III.1.1. Luas Lingkup Materi yang Diatur III.1.2. Bentuk Pengaturan Tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan

Pendidikan Kota Malang III.2. Saran

III.2.1. Peraturan Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis yang DibutuhkanIII.2.2. Saran Tindak Lanjut

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

I.1.1. Rekonseptualisasi

Bangsa kita memang menderita penyakit yang cukup kronis dalam hal moral dan

malu. Dan ini tak hanya melanda mereka yang berada di level atas, yang

berpendidikan tinggi, yang tak malu-malu korupsi dan menggadaikan moralitasnya

hanya untuk kepentingan materi belaka, demi jabatan dan kekayaan. Namun melanda

juga mereka-mereka yang berada di bawah dasar garis kemiskinan. Mereka tak malu

untuk menipu, mengemis, menggadaikan moral mereka, mengabaikan nurani mereka

hanya untuk kesenangan dunia semata, dengan dalih himpitan hidup dan sebagainya.

Kita patut bersyukur karena insya Allah kita tidak termasuk di antara mereka. Allah

telah memberikan kemudahan dalam diri kita di dunia ini, dan insya Allah hidayah-

Nya pun masih ada di dada kita. Di sisi yang lain negara juga menjadi pihak yang

bertanggungjawab akan terjadinya hal ini. Sebab mereka barangkali juga tidak seperti

ini kalau negara telah menunaikan kewajibannya dan mereka telah diberikan apa yang

menjadi haknya.

Dapat kita lihat di dalam kehidupan nyata bahwa hidup sekarang tidaklah

mudah. Perlu banyak materi untuk mencapai hidup yang sebagaimana mestinya. Di

samping itu banyak pula orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Rata-

rata mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap, yang juga tidak berpenghasilan tetap.

Apapun mereka lakukan untuk mendapat uang yang hanya cukup untuk makan baik

dirinya sendiri dan keluarganya.

Dalam hal ini diantaranya yang mereka lakukan adalah dengan mengemis di

jalanan. Mereka mengemis adalah karena terpaksa, mereka sudah benar-benar tidak

bisa lagi melakukan perkerjaan apapun, dan tidak ada sanak keluarga yang

menolongnya. Namun dalam perkembangannya ternyata mengemis adalah dijadikan

sebuah pekerjaan tetap untuk mendapat penghasilan, dapat dikatakan mengemis

adalah sebagai sebuah profesi. Banyak sekali pengemis di jalanan bahkan sekarang

sampai masuk ruang pendidikan, di lingkungan kampus pada khususnya.

Hal ini sangat mengganggu pemandangan di dalam kampus. Bahkan kegiatan

perkuliahan menjadi terganggu. Para pengemis yang semakin banyak kita lihat di

lingkungan kampus ini beranekragam, mulai dari yang sangat muda sampai yang

sudah tua sekali. Dan ternyata para pengemis ini adalah satu kelompok atau jaringan.

Jadi ada yang diantara mereka datang setiap hari ke kampus di antar (di drop) dengan

mobil box, sore harinya mereka di jemput lagi. Mereka datang dengan pakaian biasa

yang kemudian diganti dengan pakaian layaknya pengemis. Setelah itu barulah

mereka beroperasi keliling kampus. Kadang ada yang membuat kita tidak tega, tapi

ada juga yang membuat jengkel, bahkan ada yang marah jika tidak kita beri.

Dengan keberadaan pengemis di lingkungan kampus membuat resah kita sebagai

warga kampus. Karena selain itu juga timbul kekhawatiran bahwa para pengemis itu

tidak hanya mengemis, tetapi juga melakukan tindak kejahatan, misalnya mencuri

fasilitas milik kampus.

Tentunya yang kita inginkan adalah kampus yang tenang, nyaman, indah serta

aman. Oleh karena itu dengan banyaknya pengemis yang masuk di dalam kampus ini,

kami ingin membuat suatu peraturan yang melarang keras para pengemis untuk

beroperasi di dalam kampus. Ini pilihan sulit saat nasib tergantung jalan buntu.

Lapangan kerja makin menyusut, pengangguran bertambah tiap hari. Bicara kerja tak

bisa dielak dari mentalitas. Sebuah pertanyaan mencuat. Seperti apa mentalitas

angkatan kerja orang Indonesia?

I.1.2. Konsep Ideal

Konsep Naskah Akademik mengenai Pengemis ini idealnya difungsikan sebagai

salah satu sarana dan prasarana dalam rangka penertiban dalam lingkungan kampus

yang notabene merupakan kawasan pendidikan. Konsep ini pula yang diharapkan

menjadi stabilitator yang akan menciptakan ruang lingkup pendidikan yang kondusif.

I.1.3. Dasar Pertimbangan

Pada dasarnya pengemis dan gelandangan yang beroperasi di kawasan kampus

atau pendidikan adalah tidaklah murni karena alasan ekonomi justru tidak sedikit dari

mereka merupakan sindikat yang sudah lama terorganisasi untuk mengeruk

keuntungan pribadi, tetapi hal ini didukung pula dengan minimnya bantuan

pemerintah menjadi bukti mandulnya kepekaan sosial mereka.

Oleh karenanya perlu adanya peraturan serta sanksi yang tegas dan efektif pada

pengaplikasiannya dalam memberantas atau setidak-tidaknya meminimalisir penyakit

sosial tersebut.

Apabila peraturan ini tidak segera diterbitkan maka jumlah pengemis akan

bertambah dan bukan hal yang tidak mungkin adanya peralihan fungsi pendidikan

menjadi sarana lahan penghasilan.

Kebijakan ini tidak pula untuk menghalangi orang yang ingin bersedekah

ataupun berpartisipasi sosial akan tetapi alangkah lebih baik disalurkan kepada

lembaga sosial atau panti asuhan yang resmi. Akan tetapi peraturan ini akan terasa

kurang efektif jika akar persoalannya tidak diatasi karena hal ini dipicu oleh semakin

meluasnya kemiskinan.

I.1.4. Bentuk Hukum Pengaturan

Bentuk hukum yang dapat ditawarkan serta yang ideal untuk pokok masalah ini

adalah peraturan yang sifatnya represif dan preventif/persuasif. Kedua bentuk hukum

ini perlu juga didukung dengan sosialisasi serta penyuluhan kepada para pihak

terkait.

Untuk masalah sanksi apakah yang tepat untuk hal ini adalah dapat berupa

teguran hingga hukuman kurungan. Perangkat ini secara tidak langsung bertujuan

untuk menegakkan hukum sesuai Pasal 504 dan 505 KUHP.

Pelarangan ini berlaku untuk semua jenis kawasan pendidikan, baik sekolah dasar,

menengah, atas maupun universitas. Mengenai sanksi akan diberikan bervariasi.

I.2. Tujuan dan Sasaran

I.2.1. Tujuan

Tujuan penyusunan Naskah Akademik ini adalah untuk mengkaji dan meneliti

secara akademik pokok-pokok materi yang ada dan harus ada dalam rancangan

Peraturan Daerah Kota Malang tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan

Pendidikan, yang pada kesempatan kali ini dikhususkan pada lingkungan kampus.

Keterkaitan pokok-pokok materi tersebut dengan peraturan perundang-undangan

lainnya, sehingga jelas kedudukan dan ketentuan yang diaturnya.

I.2.2. Sasaran

Sasaran yang hendak dicapai adalah tersusunnya Rancangan Peraturan Daerah

tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan Pendidikan yang sesuai dengan

kesadaran hukum dan nilai-nilai yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat,

sehingga penataan dan penegakannya menjadi efektif, efisien, mudah dan murah.

I.3. Metode Penyusunan Naskah Akademik

Metode1 yang digunakan dalam penyusunan usulan naskah akademik ini adalah

metode sosio-legal. Dengan metode ini maka kaidah-kaidah hukum yang hidup dan

tumbuh dalam masyarakat dicari dan digali, untuk kemudian dirumuskan menjadi

rumusan pasal-pasal yang dituangkan ke dalam rancangan peraturan perundang-

undangan. Jadi metode penyusunan ini bersifat partisipatoris. Metode ini dilandasi

oleh sebuah teori yang mengatakan bahwa “hukum yang baik adalah hukum yang

hidup dan tumbuh dalam masyarakat yang didasarkan pada falsafah “Sociological

Jurisprudence”. Dalam prakteknya Tim Penyusun Naskah Akademik ini

mengimplementasikan metode ini dengan cara membandingkan antara ketentuan-

ketentuan hukum yang dirumuskan oleh Tim Ahli dengan budaya hukum dan cita-

cita masyarakat mengenai pengaturan pengemis pada kawasan pendidikan

khususnya lingkungan kampus di Malang yang ideal.1 Secara garis besar proses penyusunan peraturan daerah ini meliputi tiga tahapan

yaitu: 1) tahap koseptualisasi, 2) tahap sosialisasi dan konsultasi publik, dan 3)

tahap proses politik dan pemilihan.

1. Tahap Konseptualisasi.

Tahap ini merupakan tahap awal dari kegiatan technical Assistance yang

dilakukan oleh tim penyusun. Pada tahap ini tim penyusun melakukan

konseptualisasi Naskah Akademik dan Perumusan Rancangan Peraturan Daerah

tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan Pendidikan Kota Malang dilakukan

melalui diskusi intern bersama Tim Ahli dan Tokoh Masyarakat. Target output

dari tahap ini adalah Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah

tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan Pendidikan Kota Malang.

2. Tahap Sosialisasi dan Konsultasi Publik

Pada tahap ini, tim penyusun melakukan Sosialisasi dan Konsultasi Publik tentang

Pembentukan Lembaga regulasi pengemis Kota Malang melalui:

Seminar Launching

FGD dengan Masyarakat, Pers, Pengusaha, LSM/CSO, Pemda dan DPRD

Talk Show Radio

Talk show Televisi

Penulisan Artikel

Seminar dan Lokakarya

Pemasanan Banner

Iklan Layanan Masyarakat di Surat Kabar dan Radio.

Target output dari sosialisasi ini adalah :

1 Metode ini sangat berbeda dengan merumuskan kaidah-kaidah hukum ideal menurut pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu, untuk kemudian diuji kesesuaiannya pada masyarakat yang bersangkutan. Metode ini dilandasi oleh teori yang mengatakan bahwa “hukum adalah kehendak dari pembuatnya” yang didasarkan pada falsafah Positivisme Hukum. Pembuat yang dimaksud adalah penguasa yang berdaulat atau lembaga legislatif.

Tersosialisasikannya rencana pembentukan serta Rancangan Peraturan

Daerah tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan Pendidikan Kota

Malang.

Diperolehnya feedback dari masyarakat tentang rencana pembentukan

Peraturan Daerah tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan Pendidikan

Kota Malang.

Meningkatnya Partisipasi warga dalam pembuatan Usulan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan Pendidikan

Kota Malang.

3. Tahap Proses Politik dan Pemilihan

Tahap proses politik dan pemilihan merupakan tahap akhir dari kegiatan technical

assitance ini. Proses politik adalah proses pembahasan usulan Raperda tentang

tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan Pendidikan oleh DPRD Kota Malang.

Tahap Pemilihan adalah tahap ketika Raperda sudah disyahkan dan akan

dilakukan pemilihan serta pengangkatan anggota Lembaga regulasi Kota Malang.

Pada tahap proses politik dan pemilihan, tim penyusun tidak terlibat langsung,

melainkan hanya memberikan jasa konsultansi jika diperlukan oleh pihak-pihak

yang terlibat dalam proses tersebut. Selain itu, dalam rangka mendorong

pengembangan wacana serta publikasi hasil-hasil perumusan, tim penyusun akan

menyelenggarakan satu seminar untuk mensosialisasikan hasil rumusan akhir

usulan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan

Pendidikan Kota Malang.

BAB II

RUANG LINGKUP NASKAH AKADEMIKTENTANG

PENGATURAN PENGEMIS DI KAWASAN PENDIDIKAN

II.1. Ketentuan Umum

Dalam ketentuan umum akan dirumuskan beberapa istilah yang akan digunakan

dalam Usulan Naskah Akademik mengenai Pengaturan Pengemis di Kawasan

Pendidikan Kota Malang.

1. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan

norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai

tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara

di tempat umum;

2. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-

minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas

kasihan dari orang lain;

3. Menteri adalah Menteri Sosial;

4. Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan,

bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta

pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan

pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya:

a. pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga terutama

yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;

b. meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di

dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada

umumnya;

c. pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis

yang telah direhabilitir dan telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru

ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.

5. Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga

maupun bukan dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan,

serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat.

6. Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha

penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan

penyaluran kembali baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi

maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut,

sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki

kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai

warga negara Republik Indonesia.

7. Razia adalah salah satu instrumen penegak dalam melaksanakan usaha represif.

8. Panti sosial adalah salah satu instrumen berupa lembaga yang berfungsi dalam

menampung subyek yang diatur dalam regulasi ini.

II.2. Materi Muatan

II.2.1. Landasan Filosofis, Jangkauan, dan Arah Pengaturan

1.Landasan Filosofis

Materi muatan pengaturan mengenai Pengaturan Pengemis di Kawasan

Pendidikan Kota Malang berfungsi untuk menodorong terciptanya sistem regulasi

yang baik, efektif, dan efisien.

2. Jangkauan Pengaturan

Pengaturan mengenai Pengemis di Kawasan Pendidikan Kota Malang diarahkan

untuk mengatur subyek serta para pihak terkait.

3. Arah Pengaturan

Pengaturan mengenai Pengemis di Kawasan Pendidikan Kota Malang melalui

lembaga yang ditunjuk dan berkompeten diarahkan untuk menjadikan lembaga ini

dapat terbentuk sesuai dengan asas-asas universal yang berlaku bagi regulasi ini.

Asas-asas ini juga diharapkan dapat diterima oleh seluruh elemen sosial dan

kemasyarakatan Kota Malang.

II.2.2. Asas-asas Materi Muatan

Materi muatan mengenai lembaga Pengaturan Pengemis di Kawasan

Pendidikan Kota Malang merupakan cerminan dari asas-asas yang ingin ditegakkan,

yaitu:

1.Asas Non-Diskriminasi

Kebijakan mengenai regulasi pengemis di kawasan pendidikan kota Malang yang

dituangkan dalam berbagai instrumen hukum dan peraturan perundang-undangan

hendaknya menghargai keberagaman yang muncul tanpa mengklasifikasikannya

secara radikal.

2.Asas Transparansi

a. Kebijakan dasar mengenai regulasi ini harus menjamin subyek yang diatur

mendapatkan informasi yang benar mengenai program dan alokasi keuangan

dari pemerintah pusat dan daerah yang dialokasikan untuk subyek yang

bersangkutan.

b.Kebijakan dasar mengenai pengaturan pengemis di kawasan pendidikan kota

Malang harus menjamin keterbukaan informasi antar subyek yang diatur dan

antara subyek yang diatur dengan pemerintah.

3.Asas Akuntabilitasi

Kebijakan dasar mengenai regulasi pengemis di kawasan pendidikan kota Malang

harus menjamin :

a. Pelayanan administrasi yang memenuhi syarat akuntabilitas bagi kepentingan

subyek yang bersangkutan serta para pihak.

b.Fungsi pelayanan administrasi yang diselenggarakan untuk kepentingan

pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah harus sesuai dengan tujuan yang

telah disepakati dan tidak merugikan kepentingan subyek yang diatur.

c. Lembaga yang ada harus mengembangkan mekanisme dan prosedur yang

disepakati untuk menjamin akuntabilitasnya.

4.Asas Kemandirian

Kebijakan dalam pemberian pekerjaan sesuai dengan kemampuan untuk

memperoleh penghidupan yang layak dengan kemandirian yang dimiliki.

5.Asas Partisipatif

Kebijakan dasar mengenai regulasi ini harus menjamin :

a. Hak masyarakat untuk turut serta dalam mekanisme pengambilan keputusan.

b.Hak setiap anggota masyarakat untuk mengontrol pelaksanaan keputusan

setempat yang berkaitan dengan kepentingan mereka.

c. Pengutamaan sistem demokrasi langsung dalam mekanisme pengambilan

keputusan.

d.Terjadinya proses musyawarah dalam mekanisme perwakilan.

6.Asas Pemberdayaan

Kebijakan untuk memberdayakan kehidupan yang lebih layak, dalam arti

mengurangi komunitas masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan

sebagaimana subyek yang ada pada regulasi ini menuju masyarakat yang lebih

sejahtera.

7.Asas Demokratis

Kebijakan dasar mengenai regulasi ini harus menghormati prinsip-prinsip

demokrasi.

8.Asas Kesopanan

Kebijakan dasar mengenai regulasi ini harus berpotensikan dalam upaya

meningkatkan nilai kesopanan dalam masyarakat.

9.Asas Ketertiban dan Keamanan

Kebijakan dasar mengenai peningkatan ketertiban dan keamanan dalam

kehidupan masyarakat untuk menciptakan kehidupan yang aman dan tenteram.

Asas-asas tersebut berusaha untuk dimuat baik secara eksplisit maupun implisit

dalam berbagai ketentuan mengenai dasar pembentukan, sifat, fungsi,

kewenangan, tugas, proses kerja, susunan, dan proses pemilihan, penggantian,

serta pertanggungjawaban Regulasi/Pengaturan Pengemis di Kawasan Pendidikan

Kota Malang.

II.2.3. Pokok-pokok Materi Muatan

Pokok materi muatan yang akan diatur oleh Peraturan Daerah Tentang Pengaturan

Pengemis di Kawasan Pendidikan Kota Malang adalah sebagai berikut:

a) Nama Lembaga:

Alternatif 1

Nama lembaga yang akan dibentuk adalah Lembaga Regulasi Sosial

Alternatif 2

Nama lembaga yang akan dibentuk adalah …… (nama lokal), yang berfungsi

sebagai Pengaturan Pengemis di Kawasan Pendidikan Kota Malang.

Nama lokal yang diusulkan adalah:

1. Lembaga Pelayanan Masyarakat

2. Wahana Sosial

b) Asas Lembaga

Regulasi ini didirikan dan bekerja dengan bersandar pada asas-asas:

b.1. Non-diskriminasi

b.2. Transparansi

b.3. Akuntabilitas

b.4. Kemandirian

b.5. Partisipatif

b.6. Pemberdayaan

b.7. Demokratis

b.10. Kesopanan

b.11. Ketertiban dan Keamanan

c) Sifat Lembaga:

Lembaga pengaturan pengemis di kawasan pendidikan Kota Malang bersifat

mandiri, indipenden, tidak memiliki hubungan hierarkis, dan bertanggung jawab

terhadap lembaga terkait.

d) Tujuan

Pengaturan Pengemis di Kawasan Pendidikan Kota Malang bertujuan:

a. Meningkatkan mutu pelayanan di bidang sosial agar setiap anggota masyarakat

yang berhubungan dengan lembaga regulasi memperoleh keadilan, rasa aman,

serta kesejahteraan yang semakin baik.

b. Meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat agar memperoleh

pelayanan umum, keadilan, dan kesejahteraan secara lebih baik.

c. Membantu menciptakan dan mengembangkan kondisi yang kondusif di daerah

d. Meningkatkan budaya hukum, kesadaran hukum, dan supremasi hukum yang

berintikan kebenaran serta keadilan.

e) Fungsi Lembaga Regulasi Sosial Kota Malang

Lembaga Regulasi Sosial Kota Malang berfungsi membantu menyelesaikan

keluhan masyarakat terhadap penyelenggaraan tugas pelayanan pemerintah

daerah dan perangkatnya. (Dalam penjelasan perlu ditegaskan yang dimaksud

dengan menyelesaikan masalah yaitu: menerima keluhan, mengklarifikasi

keluhan, mengkonfirmasi keluhan, melakukan mediasi, dan mengeluarkan

rekomendasi).

f) Tugas Lembaga Regulasi Sosial Kota Malang

Lembaga regulasi Kota Malang ini bertugas:

a. Melayani keluhan dan atau laporan subyek yang diatur atas keputusan, tindakan

dan atau perilaku aparat yang dirasakan tidak adil, tidak patut, memperlambat,

merugikan, atau bertentangan dengan kewajiban hukum.

b. Menindaklanjuti keluhan, laporan, atau informasi mengenai penyimpangan

pelaksanaan penyelenggaraan peraturan dalam regulasi ini atau pelayanan

umum daerah sebagaimana dimaksud dalam sub a.

c. Melakukan langkah-langkah untuk memecahkan masalah yang dihadapi baik

oleh masyarakat maupun pemerintah atau aparat pemerintah daerah

penyelenggara pelayanan umum melalui lembaga yang ditunjuk.

d. Melakukan langkah-langkah prefentif

e. Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga-lembaga atau

pemerintahan lainnya baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.

f. Menyebarluaskan pemahaman mengenai kedudukan, fungsi, tugas, dan

wewenang Lembaga Regulasi Kota Malang.

g) Kewenangan Lembaga Regulasi Sosial Kota Malang

Lembaga Regulasi Kota Malang ini berwenang:

a. Menerima laporan dari masyarakat yang berisi keluhan atas keputusan,

tindakan, dan atau perilaku aparat dirasakan tidak adil, tidak patut,

memperlambat, merugikan, atau bertentangan dengan kewajiban hukum yang

berlaku bagi aparat yang bersangkutan.

b. Meminta keterangan secara lisan dan atau tertulis dari pelapor, terlapor, atau

pihak lain yang terkait mengenai suatu keluhan yang disampaikan kepada

Lembaga Regulasi yang bersangkutan.

c. Memeriksa keputusan, surat menyurat, atau dokumen-dokumen lain yang ada

pada pelapor atau terlapor untuk mendapatkan kebenaran keluhan terhadap

pelapor.

d. Meminta klarifikasi dan atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan

untuk pemeriksaan laporan dari perangkat daerah terlapor.

e. Membuat rekomendasi atau usul-usul mengenai penyelesaian keluhan pelapor,

termasuk rekomendasi untuk pelayanan pendidikan

f. Demi kepentingan umum, mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan

rekomendasi untuk diketahui umum.

g. Wewenang lain yang dianggap perlu untuk melaksanakan fungsi dan tugas

Lembaga Regulasi Kota Malang.

II.4. Ketentuan Peralihan dan Penutup

II.4.1. Ketentuan Peralihan

Dalam ketentuan peralihan dan ketentuan penutup, akan diatur kedudukan lebih

lanjut dari peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku dan yang akan

berlaku, yang menyangkut pengaturan pengemis di kawasan pendidikan Kota

Malang yakni, PP No. 31 Tahun 1980, LN. 1980-51 dan Perda No. 11 Tahun

2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah No. 03 Tahun 2005 Tentang

Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan.

Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam terselenggaranya usulan

naskah akademik :

A. Selambat-lambatnya satu bulan sejak terpilih, Lembaga Pengaturan Pengemis

di Kawasan Pendidikan Kota Malang yang pertama kali dibentuk harus sudah

mulai bekerja sesuai dengan fungsi dan tugasnya.

B. DPRD dapat mengevaluasi Pengaturan Pengemis di Kawasan Pendidikan

Kota Malang yang pertama dibentuk dalam tahun pertama. Evaluasi meliputi

aspek kelembagaan dan pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh

lembaga yang berkompeten.

C. Dalam jangka waktu satu tahun, jika dipandang perlu DPRD dapat

memperbaiki atau menyusun peraturan daerah mengenai Pengaturan

Pengemis di Kawasan Pendidikan Kota Malang.

II.4.2. Ketentuan Penutup

Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang

mengetahuinya, memerintahkan peraturan daerah ini ditempatkan dalam

Lembaran Daerah. Untuk memberi kesempatan pada daerah menyesuaikan

peraturan daerah yang berkaitan dengan pengaturan pengemis di kawasan

pendidikan Kota Malang agar sesuai dengan peraturan ini, maka waktu 1 tahun

dianggap waktu yang cukup untuk penyesuaian tersebut. Selama jangka waktu

tersebut pemerintah daerah seharusnya melakukan sosialisasi pengaturan

pengemis di kawasan pendidikan Kota Malang.serta menyerap aspirasi

masyarakat mengenai regulasi ini.

II.5. Bunyi Pasal yang Diusulkan Berdasarkan Materi Muatan

Berdasarkan cakupan materi muatan, maka Tim Penyusun mengusulkan alternatif

bunyi pasal yang dapat mewakili gagasan yang dituangkan dalam cakupan materi

muatan. Agar pembaca dapat membandingkan cakupan materi muatan dengan

alternatif bunyi pasal yang diusulkan, maka bunyi pasal yang diusulkan dengan

materi muatan disandingkan dalam bentuk tabel sebagaimana dapat dibaca pada

lampiran 1.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

III.1 Kesimpulan

III. 1. 1 Luas lingkup materi diatur, dan kaitannya secara sistematik dengan

peraturan perundang-undangan lainnya

Dalam naskah akademik ini telah diuraikan pengkajian mengenai berbagai

hal yang diperkirakan dapat menjadi bahan materi muatan pengaturan pengemis

di kawasan pendidikan Kota Malang. Berdasarkan kajian tersebut dirumuskan

pokok-pokok pikiran yang akan dituangkan sebagai kaidah hukum dalam materi

muatan Rancangan Undang-Undang tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan

Pendidikan Kota Malang.

Luas lingkup materi muatan tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan

Pendidikan Kota Malang yang diatur dalam naskah akademik ini, diusahakan

sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada.

Dalam proses pengundangan dan pelaksanaannya maka materi muatan

yang dikemukakan dalam naskah akademik ini harus senantiasa merujuk pada

undang-undang tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan Pendidikan secara

Nasional serta Peraturan Pemerintah yang menyertainya. Meskipun demikian,

yang harus dicatat adalah bahwa pengaturan pengemis di kawasan pendidikan

daerah pada dasarnya adalah cerminan dari inisiatif daerah. Dengan demikian

perbedaan materi muatan mengenai Pengaturan Pengemis di Kawasan

Pendidikan dengan UU tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan Pendidikan

Nasional dan Peraturan Pemerintah, sepanjang tidak menyalahi prinsip-prinsip

umum yang selayaknya dapat diterima. Perbedaan materi muatan ini selayaknya

disikapi sebagai proses pengayaan khasanah kelembagaan pengaturan pengemis

di kawasan pendidikan.

III. 1. 2 Bentuk Pengaturan tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan Pendidikan

Kota Malang

Berdasarkan pada sifat, asas, tujuan, lingkup kewenangan, dan tugas yang

dikemukakan dalam materi muatan, maka pengaturan mengenai Pengaturan

Pengemis di Kawasan Pendidikan Kota Malang sebaiknya dituangkan dalam

“Peraturan Daerah Kota Malang”.

III. 2 Saran

III. 2. 1 Peraturan Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis yang Dibutuhkan

Berdasarkan pada materi muatan yang dikemukakan dalam bagian 2 maka, untuk

dapat terlaksananya peraturan daerah tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan

Pendidikan Kota Malang perlu ditindaklanjuti dengan:

1. Penetapan prosedur teknis lembaga regulasi Kota Malang yang dapat

dijadikan pedoman oleh Sekretariat DPRD untuk memperlancar proses

lembaga regulasi Kota Malang.

2. Penetapan mengenai lingkup materi untuk uji kelayakan dan kepantasan

lembaga regulasi Kota Malang .

3. Penetapan mengenai proses rekrutmen, standard upah, dan fasilitas

pendukung lembaga regulasi Kota Malang.

III.2.2 Saran Tindak Lanjut

Untuk mendapatkan materi muatan yang dapat mencerminkan aspirasi masyarakat,

sesuai dengan metode yang akan ditempuh maka langkah yang segera harus

dilakukan adalah:

1. Sosialisasi gagasan melalui media cetak dan atau elektronik.

2. Konsultasi publik dengan berbagai elemen masyarakat Kota Malang.

3. Diseminasi usulan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengaturan

Pengemis di Kawasan Pendidikan Kota Malang kepada masyarakat luas.

4. Menjaring masukan dari masyarakat terhadap Usulan Rancangan Peraturan

Daerah tentang Pengaturan Pengemis di Kawasan Pendidikan Kota Malang

guna penyempurnaan materi muatan.

LAMPIRAN

USULAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGATURAN PENGEMIS DI KAWASAN PENDIDIKAN KOTA MALANG

Lampiran ini menyajikan alternatif bunyi pasal yang diusulkan oleh Tim

Penyusun mengenai pengaturan pengemis di kawasan pendidikan Kota Malang.

BAB I. KETENTUAN UMUM

Pasal 1. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai

dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak

mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan

hidup mengembara di tempat umum;

2. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan

meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk

mengharapkan belas kasihan dari orang lain;

3. Menteri adalah Menteri Sosial;

4. Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan,

bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta

pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan

pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya:

a. pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga

terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;

b. meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan

di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan

kesejahteraan pada umumnya;

c. pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan

pengemis yang telah direhabilitir dan telah

ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke

tengah masyarakat.

5. Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga

maupun bukan dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan

pengemisan, serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat.

6. Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha

penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan

penyaluran kembali baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui

transmigrasi maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta

pembinaan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis,

kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan

martabat manusia sebagai Warganegara Republik Indonesia.

BAB II. TUJUAN, WEWENANG DAN TANGGUNGJAWAB

Pasal 2.

Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-usaha preventif,

represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan,

serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di

dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis

menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan

pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali

kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak

sesuai dengan harkat martabat manusia.

Pasal 3.

(1) Kebijaksanaan di bidang

penanggulangan gelandangan dan pengemis ditetapkan oleh Menteri

berdasarkan kebijaksanaan yang digariskan oleh Pemerintah.

(2) Dalam menetapkan kebijaksanaan, Menteri dibantu oleh sebuah badan

koordinasi, yang susunan, tugas dan wewenangnya diatur dengan Keputusan

Presiden.

Pasal 4.

(1) Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kebijaksanaan khusus berdasarkan

kondisi daerah sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan

petunjuk teknis dari Menteri Sosial dan petunjuk-petunjuk Menteri Dalam

Negeri.

BAB III. USAHA PREVENTIF

Pasal 5.

Usaha preventif dimaksudkan untuk mencegah timbulnya gelandangan dan

pengemis di dalam masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan maupun

kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan

dan pengemis.

Pasal 6.

Usaha sebagaimana dimaksud Pasal 5, dilakukan antara lain dengan:

a. Penyuluhan dan bimbingan sosial;

b. Pembinaan sosial;

c. Bantuan sosial;

d. Perluasan kesempatan kerja;

e. Pemukiman lokal;

f. Peningkatan derajat kesehatan.

Pasal 7.

Pelaksanaan usaha-usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur lebih lanjut

oleh Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang

tugas masing-masing.

BAB IV. USAHA REPRESIF

Pasal 8.

Usaha represif dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau meniadakan gelandangan

dan pengemis yang ditujukan baik kepada seseorang maupun kelompok orang yang

disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan.

Pasal 9.

Usaha represif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi:

a. razia;

b. penampungan sementara untuk diseleksi;

c. pelimpahan.

Pasal 10.

(1) Razia dapat dilakukan sewaktu-waktu baik oleh pejabat yang berwenang untuk

itu maupun oleh pejabat yang atas perintah Menteri diberi wewenang untuk itu

secara terbatas.

(2) Razia yang dilakukan oleh pejabat yang diberi wewenang kepolisian terbatas

dilaksanakan bersama-sama dengan Kepolisian.

Pasal 11.

Gelandangan dan pengemis yang terkena razia ditampung dalam penampungan

sementara untuk diseleksi.

Pasal 12.

Seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dimaksudkan untuk menetapkan

kwalifikasi para gelandangan dan pengemis dan sebagai dasar untuk menetapkan

tindakan selanjutnya yang terdiri dari:

a. dilepaskan dengan syarat;

b. dimasukkan dalam Panti Sosial;

c. dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya;

d. diserahkan ke Pengadilan;

e. diberikan pelayanan kesehatan.

Pasal 13.

Dalam hal seseorang gelandangan dan/atau pengemis dikembalikan kepada orang

tua/wali/keluarga/kampung halamannya baik karena hasil seleksi

maupun karena putusan pengadilan dapat diberikan bantuan sosial yang jenis dan

jumlahnya ditetapkan oleh Menteri.

BAB V. USAHA REHABILITATIF

Pasal 14.

Usaha rehabilitatif terhadap gelandangan dan pengemis meliputi usahausaha

penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, bertujuan agar

fungsi sosial mereka dapat berperan kembali sebagai warga masyarakat.

Pasal 15.

(1) Usaha rehabilitatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilaksanakan

melalui Panti Sosial.

(2) Tatacara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur lebih

lanjut oleh Menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pasal 16.

Usaha penampungan ditujukan untuk meneliti/menseleksi gelandangan dan

pengemis yang dimasukkan dalam Panti Sosial.

Pasal 17.

Seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 bertujuan untuk menen-tukan

kualifikasi pelayanan sosial yang akan diberikan.

Pasal 18.

Usaha penyantunan ditujukan untuk mengubah sikap mental gelandang-an dan

pengemis dari keadaan yang nonproduktif menjadi keadaan yang produktif.

Pasal 19.

Dalam melaksanakan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 para

gelandangan dan pengemis diberikan bimbingan, pendidikan dan latihan baik fisik,

mental maupun sosial serta ketrampilan kerja sesuai dengan bakat dan

kemampuannya.

Pasal 20.

Tatacara pelaksanaan penyantunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan

Pasal 19 diatur lebih lanjut oleh menteri.

Pasal 21.

(1) Usaha penyaluran ditujukan kepada gelandangan dan pengemis telah

mendapatkan bimbingan, pendidikan, latihan dan ketrampilan kerja dalam

rangka pendayagunaan mereka terutama ke sektor produksi dan jasa, melalui

jalur-jalur transmigrasi, swakarya, dan pemukiman lokal.

(2) Tatacara pelaksanaan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur

oleh Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan

bidang tugas masing-masing.

Pasal 22.

Usaha tindak lanjut ditujukan kepada gelandangan dan pengemis yang telah

disalurkan, agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan-dan pengemis.

Pasal 23.

Usaha tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 antara lain dilakukan

dengan;

a. meningkatkan kesadaran berswadaya;

b. memelihara, memantapkan dan mertingkatkan kemampuan sosial ekonomi;

c. menumbuhkan kesadaran hidup bermasyarakat.

Pasal 24.

Pelaksanaan usaha tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal

23 diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VI. PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 25.

Organisasi Sosial masyarakat dapat menyelenggarakan usaha rehabilitasi

gelandangan dan pengemis dengan mendirikan Panti Sosial.

Pasal 26.

Organisasi Sosial yang menyelenggarakan usaha rehabilitasi sebagai mana

dimaksud dalam Pasal 25, wajib mendaftarkan dan memberikan laporan berkala

kepada

Menteri melalui Instansi dalam lingkungan Departemen Sosial setempat.

Pasal 27.

Menteri dapat memberikan bantuan/subsidi kepada Organisasi Sosial Masyarakat

yang menyelenggarakan usaha rehabilitasi gelandangan dan pengemis.

Pasal 28.

Menteri atau pejabat yang diberi wewenang oleh Menteri memberikan bimbingan

dan pengarahan terhadap organisasi sosial masyarakat yang menyelenggarakan

usaha rehabilitasi gelandangan dan pengemis.

Pasal 29.

Pelaksanaan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam bab ini diatur oleh Menteri.

BAB VII. KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP

Pasal 30.

Segala peraturan perundang-undangan tentang gelandangan dan pengemis yang

sudah ada tetap berlaku, selama tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah

ini.

Pasal 31.

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ketetapan Madjelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978;

tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.

2. Pasal 5 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945.

3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 53,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039).

4. Usulan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang

Prakarsa/Rancangan Undang-Undang Inisiatif tentang Perubahan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 1 Huruf o dan p,

Bab XI Pasal 93-111, dan Pasal 126 yang Berkaitan dengan Desa.

5.