naskah akademik - repositori.unud.ac.id · penyusunan naskah akademik ini yang pada dasarnya...

91
TIM PENELITI PUSAT PERANCANGAN HUKUM FH UNUD DENPASAR 2013 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA KERJA SAMA PEMERINTAH KOTA DENPASAR PUSAT PERANCANGAN HUKUM | CENTER FOR LEGAL DRAFTING | KAMPUS SANGLAH JALAN BALI NOMOR 1 DENPASAR 80114 TELP (0361) 222666 DENPASAR 2011

Upload: dinhnhan

Post on 14-Apr-2019

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

TIM PENELITI PUSAT PERANCANGAN HUKUM FH UNUD

DENPASAR 2013

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH

KOTA DENPASAR

TENTANG

PENGELOLAAN AIR TANAH

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA KERJA SAMA

PEMERINTAH KOTA DENPASAR

PUSAT PERANCANGAN HUKUM | CENTER FOR LEGAL DRAFTING |

KAMPUS SANGLAH JALAN BALI NOMOR 1 DENPASAR 80114 TELP (0361) 222666

DENPASAR 2011

ii

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA

DENPASAR TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

iii

NARASI PENGANTAR

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-

daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap

daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan

pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

Air Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, sehingga sumber daya

air tanah dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran

masyarakat. Pengelolaan air tanah secara nasional dilaksanakan atas dasar Cekungan Air

Tanah. Kebijakan strategis pengelolaan sumber daya air tanah akan menjadi landasan

koordinasi, kerja sama serta penyusunan program pembangunan dalam pengelolaan

sumber daya air tanah yang berbasis cekungan air tanah dan berwawasan lingkungan.

Negara pun mengakui begitu penting dan vitalnya air sehingga secara negara

mengaturnya dalam ketentuan pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang menentukan Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besar untuk

kemakmuran rakyat.

iv

DAFTAR ISI

Narasi Pengantar >> > iii Daftar Isi >>> iv Daftar Tabel >>> vi BAB I. PENDAHULUAN >>> 1 A. Latar Belakang >>> 1 B. Identifikasi Masalah >>> 2 C. Tujuan dan Kegunaan >>> 2 D. Metode

>>> 3

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS >>> 5 A. Kajian Teoretis >>> 5 B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan

Penyusunan Norma

>>> 6 C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi

Yang Ada, Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat

>>> 10 D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru

Yang Akan Diatur Dalam Peraturan Daerah Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Daerah

>>> 11

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

>>> 13

A. Peraturan Perundang-undangan yang Menjadi Dasar Hukum Pembentukan Peraturan Daerah

>>> 13

B. Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengamanatkan Materi Muatan Tertentu Diatur Dalam Peraturan Daerah

>>>17 C. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru (Yang Akan

Dibentuk) dengan Peraturan Perundang-Undangan Lain

>>>18 D. Status Peraturan Perundang-undangan Lama

>>>19

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS >>> 28 A. Pandang Ahli dan Hukum Positif tentang Landasan

Filosofis, Landasan Sosiologis, dan Landasan Yuridis

>>> 28 B. Relevansinya dengan Pembentukan Peraturan Daerah

>>> 34

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

>>> 36

A. Sasaran, Arah dan Jangkauan Pengaturan >>> 36 B. Ruang Lingkup Pengaturan

>>> 36

BAB VI PENUTUP A. Simpulan >>> 57

v

B. Saran

>>> 57

DAFTAR PUSTAKA >>> 58 DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN >>> 59 LAMPIRAN 1. Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah 2. Rancangan Penjelasan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang

Pengelolaan Air Tanah

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Persentase Rumah Tangga Menurut Jarak Sumber Air

Minum ke Tempat Penampungan Limbah Kota Denpasar 2012

>>> 11

Tabel 2: Analisis Dasar Kewenangan Peraturan Daerah Pengelolaan Air Tanah

>>> 14

Tabel 3: Dasar Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Tanah dan Keterkaitan Dengan Peraturan Perundang-undangan

>>> 18

Tabel 4: Analisis Peraturan Walikota Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pengaturan Perizinan Peruntukan Penggunaan dan Pengusahaan Air Tanah

>>> 19

Tabel 5: Analisis Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Tanah Usulan SKPD

>>> 21

Tabel 6: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Menurut Para Sarjana

>>> 30

Tabel 7: Pandangan Teoretik tentang Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan

>>> 32

Tabel 8: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan Teoretik dan UU No. 12/2011

>>> 32

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Air Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, sehingga sumber daya air

tanah dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat.

Pengelolaan air tanah secara nasional dilaksanakan atas dasar Cekungan Air Tanah.

Kebijakan strategis pengelolaan sumber daya air tanah akan menjadi landasan koordinasi, kerja

sama serta penyusunan program pembangunan dalam pengelolaan sumber daya air tanah

yang berbasis cekungan air tanah dan berwawasan lingkungan. Negara pun mengakui begitu

penting dan vitalnya air sehingga secara negara mengaturnya dalam ketentuan pasal 33 ayat 3

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan Bumi dan air

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan

sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.

Pengelolaan air bawah tanah telah diatur dalam Peraturan Walikota Denpasar Nomor 22

Tahu 2011 tentang Pengaturan, Perizinan, Perutukan, Penggunaan dan Pengusahaan Air

Tanah. Dengan diundang-undangkannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air yang mengantikan Undang-Undang No 11 tahun 1974 Tentang Pengairan

telah menetapkan bahwa sejalan dengan pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 sumber daya air dikuasai oleh negara dan dikuasai sebesar-

besarnya untuk kemakmuran rakyat secara adil. Atas penguasaan sumber daya air tersebut,

negara menjamin setiap orang untuk mendapatkan pemenuhan air bagi kebutuhan pokok

masyarakat sehari-hari dan melakukan pengaturan hak atas air.

Selain itu, penguasaan negara atas sumber daya air diselenggarakan oleh pemerintah

dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat adat beserta hak-hak ulayat sepenjang keberadaannya masih diakui, hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hal ini seiring pula dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah, oleh karena itu perlu disusun sebuah produk peraturan perundang-

undangan berupa peraturan daerah di wilayah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah.

Dalam upaya membentuk pengaturan bagi pengelolaan air tanah yang didasarkan pada

cekungan air tanah yang diselenggarakan berlandaskan pada kebijakan pengelolaan air tanah

2

dan strategi pengelolaan air tanah pemerintah Kota Denpasar membentuk Peraturan Daerah

Tentang Pengelolaan Air Tanah.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dilakukan identifikasi masalah, yakni

bahwa Kota Denpasar pusat pengelolaan air tanah untuk wilayah Bali oleh karena itu perlu

Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah.

Berdasarkan pada identifikasi masalah tersebut dapat dirumuskan 3 (tiga) pokok masalah,

yaitu sebagai berikut:

1. Permasalahan hukum apakah yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan

Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah?.

2. Apakah yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis

pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air

Tanah ?

3. Apakah sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan

arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang

Pengelolaan Air Tanah ?.

C. Tujuan dan Kegunaan

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan

penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:

1. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan

Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah.

2. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan

Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah.

3. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan

arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang

Pengelolaan Air Tanah.

Adapun kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan penyusunan

dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air

Tanah.

3

D. Metode

Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya merupakan suatu kegiatan

penelitian penyusunan Naskah Akademik ­ digunakan metode yang berbasiskan metode

penelitian hukum.1

Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian penyusunan Naskah Akademik

ini melalui cara-cara sebagai berikut:

1. Melakukan studi tekstual, yakni menganalisis teks hukum yaitu pasal-pasal dalam

peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik (kebijakan negara) secara kritikal

dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subjek hukum (terutama dalam hal ini

adalah Pelaku dan Pengusaha pengelolaan air tanah).2

2. Melakukan studi kontekstual, yakni mengaitkan dengan konteks saat peraturan

perundang-undangan itu dibuat ataupun ditafsirkan dalam rangka pembentukan

Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah.

Intinya, metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian penyusunan Naskah

Akademik ini berada dalam paradigma interpretivisme terkait dengan hermeneutika hukum.3

Hermeneutika hukum pada intinya adalah metode interpretasi atas teks hukum, yang

menampilkan segi tersurat yakni bunyi teks hukum dan segi tersirat yang merupakan gagasan

yang ada di belakang teks hukum itu. Oleh karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang

1 Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan (selanjutnya disebut UU 12/2012), prihal Teknik Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undan-Undang, Rancangan Peratuan Daerah Provinsi, dan Rancangan Peratuan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam Lampiran I itu selanjunya dikemukakan, bahwa penelitian hukum dapat d0ilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan yang diteliti. Jadi, pembentuk UU 12/2012 menyamakan metode yuridis empiris dengan sosiolegal. Bersebrangan dengan itu, Soelistyowati Irianto mengemukakan, ―Dalam rangka luasnya ruang metodologi yang dapat dimasuki oleh studi sosiolegal, tidak tepat untuk mereduksi penelitian sosiolegal sebagai penelitian hukum empiris‖. Penelitian hukum empiris adalah suatu ranah penelitian hukum yang biasanya diasosiasikan dengan studi lapangan untuk mengetahui bagaimana hukum bekerja dan beroperasi dalam masyarakat. Soelistyowati Irianto, ―Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya‖, dalam Soelistyowati Irianto dan Shidarta, eds., Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, hlm. 173-190 (177). 2 Diadaptasi dari Soelistyowati Irianto, ―Memperkenalkan Studi Sosiolegal …‖, Ibid., hlm. 177-178

3 Lihat Soelistyowati Irianto, ―Memperkenalkan Studi Sosiolegal …‖, Ibid., hlm. 181

4

utuh tentang makna teks hukum itu perlu memahami gagasan yang melatarbelakangi

pembentukan teks hukum dan wawasan konteks kekinian saat teks hukum itu diterapkan atau

ditafsirkan. Kebenaran dalam ilmu hukum merupakan kebenaran intersubjektivitas, oleh karena

itu penting melakukan konfirmasi dan konfrontasi dengan teori, konsep, dan pemikiran para

sarjana yang mempunyai otoritas di bidang keilmuannya berkenaan dengan tematik penelitian

penyusunan Naskah Akademik ini.4

4 Diadaptasi dari Gede Marhaendra Wija Atmaja, ―Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah‖, Disertasi Doktor, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2012, hlm. 17-18

5

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian teoretis.

Dalam Program Pembangunan Nasional, pemerintah telah menetapkan sasaran

penyediaan air bersih bagi penduduk Indonesia, yaitu jumlah penduduk yang terlayani air bersih

ditargetkan sebesar 80% untuk daerah perkotaan,dan 60% untuk daerah pedesaan. Sebagai

dasar dalam perencanaan tersebut, pemerintah telah membagi kota berdasarkan jumlah

penduduknya menjadi 5 (lima) kategori, antara lain :

a. Kategori I : Kategori Mertopolitan, jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 jiwa.

b. Kategori II : Kota Besar, jumlah penduduk antara 500.000 – 1.000.000 jiwa.

c. Kategori III : Kota Sedang, jumlah penduduk antara 100.000 – 500.000 jiwa.

d.Kategori IV : Kota Kecil, jumlah penduduk antara 20.000 – 100.000 jiwa.

e. Kategori V : Ibu Kota Kecamatan , jumlah penduduk antara 3.000 – 10.000 jiwa.

Sedangkan patokan kebutuhan air bersih untuk keperluan rumah tangga untuk masing-

masing kategori kota tersebut adalah sebagai berikut :

a. Kategori I : rata-rata 125/liter/orang/hari

b. Kategori II : rata-rata 110/liter/orang/hari

c. Kategori III : rata-rata 100/liter/orang/hari

d. Kategori IV : rata-rata 90/liter/orang/hari

e. Kategori V : rata-rata 45/liter/orang/hari

Perkembangan Provinsi Bali sebagai daerah pariwisata, industri, dan pendidikan serta

pesatnya laju pertumbuhan jumlah penduduk mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan air

bersih untuk berbagai keperluan. Berdasarkan hasil penelitian dari Departemen Energi dan

Sumber Daya Mineral Direktorat Jendral Geologi dan Sumber Daya Mineral Direktorat Tata

Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, terhadap konservasi air tanah di Bali,

6

terungkap produksi air bersih di kesembilan PDAM yang ada di Bali berjumlah 92.974.955 m3

/tahun atau ± 254.725,9 m3 /hari, dimana sumber air bakunya sebagian besar ( 68,59%) masih

mengandalkan dari air tanah, sehingga dapat dikatakan peranan air tanah masih dominan

dalam pemenuhan air bersih bagi penduduk di daerah Bali ini5, sedangkan untuk menghitung

kebutuhan air bersih penduduk seluruh daerah Bali, oleh pihak PDAM setempat telah

ditargetkan, bahwa untuk penduduk daerah kabupaten/kota rata-rata membutuhkan air bersih

80 liter/orang/hari. Dengan demikian perkiraan kebutuhan akan air bersih penduduk di daerah

Bali guna memenuhi tata kehidupannya saat ini ± 279.957 m3 /hari.

Dari perhitungan tersebut, kebutuhan akan air bersih untuk penduduk di daerah Bali

ternyata sangat besar, sehingga untuk mengantisipasi perkembangan di masa mendatang

masih sangat diperlukan usaha peningkatan produksi air bersih.

Mengingat sumber air baku untuk pengadaan air bersih dan air permukaan (air sungai)

sangat terbatas di daerah Bali, karena debitnya kecil, maka ditinjau dari segi kualitas dan

kuantitas, maupun biaya, maka pilihan jatuh cendrung pada pemanfaatan sumber air tanah,

dengan melakukan penyadapan terhadap cadangan air tanah yang ada di daerah Bali ini.

Berdasarkan pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451

K/10/M.EM/2000 bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan air tanah adalah pengelolaan

dalam arti luas, yang mencakup segala usaha inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perijinan,

pembinaan, pengendalian dan pengawasan dalam rangka konservasi air tanah. Dengan

demikian konservasi air tanah merupakan tindakan atau langkah/upaya yang harus

dilaksanakan dalam mengelola air tanah, agar pemanfaatannya optimal dan berkelanjutan serta

tidak menimbulkan dampak terhadap air tanah itu sendiri, maupun lingkungan sekitar.

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma.

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (AP3YB), yang

berkarakter formal dan berkarakter materiil, telah dipositifkan dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU

12/2011). AP3YB formal dituangkan dalam Pasal 5 UU 12/2011 dan AP3YB materiil dituangkan

dalam Pasal 6 UU 12/2011.

5 Sihwanto, Konservasi Air Tanah Daerah Bali, Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral Direktorat Jendral Geologi

Dan Sumber Daya Mineral Direktorat Tata Lingkungan Geologi Dan Kawasan Pertambangan, Bandung, 2004, halm. 12.

7

Sebelumnya, dipositifkan dalam UU 10/2004, dan sebelum itu telah dikenal secara

teoretik dan praktik. Pembedaan asas formal dan asas materiil tersebut berasal dari ranah

teoretik tentang AP3YB (A. Hamid S. Attamimi 1990). Sebagai asas hukum, AP3YB berfungsi

membimbing para legislator dalam penyusunan produknya, yang berlangsung dengan cara

menjadikan dirinya sebagai titik tolak bagi permusan norma hukum ke dalam aturan hukum

(Gede Marhaendra Wija Atmaja 2012).

Pasal 5 UU 12/2011 menentukan, dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan

harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

baik. Salah satu asas tertuang dalam huruf b, yakni asas ―kelembagaan atau pejabat

pembentuk yang tepat‖. Penjelasan Pasal 5 huruf b UU 12/2011 menjelaskan:

Yang dimaksud dengan ―asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat‖ adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. Asas tersebut menyangkut dasar kewenangan lembaga negara atau pejabat Pembentuk

Peraturan Perundang-undangan. Suatu lembaga negara atau pejabat harus memiliki

kewenangan untuk membentuk Peraturan Perundang-undangan. Tanpa adanya kewenangan

itu, maka Peraturan Perundang-undangan yang dibentuknya dapat dibatalkan atau batal demi

hukum.

Pentingnya dasar kewenangan ditegaskan kembali dalam Teknik Penyusunan Peraturan

Perundang-Undangan, yang juga telah dipositifkan dalam UU 12/2011, ayat (1) dan ayat (2)

Pasal 64 menentukan:

(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan (TP3), sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 64 ayat (2) UU 12/2011, yang tercantum dalam Lampiran II, menentukan pada

angka 28 (TP3-28):

Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. Dasar hukum memuat: a. Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan b. Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.

8

Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bagi pembentukan

Peraturan Daerah ditentukan dalam TP3-39:

Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.

Berikut diuraikan masing peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum

pembentukan Peraturan Daerah. Pertama, Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang menentukan pemerintahan daerah berhak

menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan

tugas pembantuan. Ketentuan ini merupakan landasan hukum konstitusional bagi pembentukan

Peraturan Daerah. Mengenai otonomi dan tugas pembantuan ditentukan dalam Pasal 18 ayat

(2) UUD 1945, bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang

oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5) UUD

1945).

Kedua, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1992 tentang

Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3465) ­

selanjutnya disebut UU 1/1992.

Pasal 2 UU 1/1992 menentukan ―Dengan Undang-undang ini dibentuk Kotamadya

Daerah Tingkat II Denpasar dalam wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Bali‖, dengan urusan

rumah tangga daerah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10:

(1) Pada saat terbentuknya Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar, diserahkan sebagian urusan-urusan pemerintahan sebagai kewenangan pangkal yang meliputi: a. Pengaturan dan penyelenggaraan kewenangan untuk mewujudkan ketenteraman

dan ketertiban kehidupan masyarakat di daerah yang bersangkutan; b. Pengelolaan air tanah; c. Pekerjaan Umum; d. Tata Kota dan Pertamanan; e. Kebersihan; f. Kesehatan;

g. Pendidikan Dasar; h. Pertanian Tanaman Pangan; i. Pemadam Kebakaran; j. Pendapatan;

k. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Penambahan atau pengurangan urusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Pasal ini diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

9

Pasal 1 angka 1 UU 1/1992 mengartikan Daerah adalah Daerah Otonom sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 huruf e Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok

Pemerintahan Di Daerah. Sebagai Daerah Otonom, maka Kotamadya Daerah Tingkat II

Denpasar, yang sekarang adalah Kota Denpasar, mempunyai hak sebagaimana dijamin Pasal

18 ayat (6) UUD 1945 untuk menetapkan Peraturan Daerah.

Ketiga, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) ­ selanjutnya disebut

UU 32/2004.

UU 32/2004 merupakan dasar hukum pembentukan peraturan daerah. Pasal 136

menentukan:

(1) Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.

(2) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.

(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.6

(4) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.

(5) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah.

Pasal 136 ayat (2) dan ayat (3) UU 32/2004 adalah menyangkut materi muatan peraturan

daerah. Berkenaan dengan materi muatan peraturan daerah, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 14

UU 32/2004 memberikan arahan dalam pembentukan peraturan daerah di bidang pengelolaan

air.

Dilanjutkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut PP 38/2007), yang memasukan urusan pemerintahan

6 Bandingkan ketentuan dalam Pasal 136 ayat (2) dan ayat (3) tersebut dengan Pasal 14 UU

12/2011, yang menentukan materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

10

bidang pengelolaan air tanah sebagai urusan pilihan, pada bagian H. Pembagian Urusan

Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup, dengan Sub Bidang Pengendalian Dampak

Lingkungan, sub-sub bidang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air

Kabupaten mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan air tanah.

Ketentuan tersebut diimplementasikan dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4

Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah Kota Denpasar (Lembaran Daerah Kota Denpasar

Tahun 2008 Nomor 4 Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar Nomor 4) ­ selanjutnya

disebut Perda Denpasar 4/2008, sebagaimana dapat disimak dalam Lampiran B.Urusan

pemerintahan bidang pemerintahan, sub bidang Upaya Kesehatan, sub-sub bidang

Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Urusan Pemerintah Kota :

1. Pengelolaan kualitas air skala kota 2. Penatapan kelas air pada sumber air skala kota 3. Pemantauan kualitas air pada sumber air skala kota 4. Pengendalian dampak pencemaran air pada sumber air skata kota 5. Pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin

pembuangan air limbah ke air atau sumber air 6. Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap

pelaksanaan penangguhangan pencemaran air skala kota pada keadaan dan / atau keadaan yang tidak terduga lainnya

7. Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala kota

8. Perizinan pembuangan air limbah ke air dan sumber air 9. Perizinan pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah 10. Pengendalian LC domisili skala kota

.

Berdasarkan UU 32/2004 beserta turunannya tersebut, menunjukan Pemerintahan

Daerah Kota Denpasar memiliki kewenangan mengatur Pengelolaan air tanah.

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada, Serta Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat.

Limbah cair dapat berasal dari rumah penduduk (limbah domestik) dan limbah dari

kegiatan lain seperti pasar, pariwisata, dan lain-lain (limbah non domestik). Volume

limbah cair sangat berhubungan dengan kepadatan dan jenis kegiatan penduduk. Selama ini

limbah domestik tidak dianggap sebagai penyebab tercemarnya lingkungan.

Ini juga diindikasikan oleh tercemarnya sungai-sungai dan sumur oleh minyak-lemak.

Masih banyaknya penduduk yang menggunakan sumur gali sebagai sumber air minum, maka

syarat kesehatan seperti jarak sumur dengan jamban minimal 10 meter, harus dipenuhi, namun

hal ini semakin sulit dipenuhi karena kepadatan penduduk semakin tinggi dan apalagi bila

11

terjadi di daerah pesisir yang tanahnya bersifat porous. Kota Denpasar belum memiliki instalasi

pengolahan limbah cair, sehingga ini menjadi masalah yang serius. Kota Denpasar sangat

mendesak mempunyai instalasi

pengolahan air limbah (IPAL).

Tabel 1. Persentase Rumah Tangga Menurut Jarak Sumber Air Minum Ke Tempat Penampungan Limbah Kota Denpasar Tahun 2002

Jumlah KK Jarak Penampungan Tinja dalam Jarak Terdekat

<10 >10 Tidak Tahu

73.180 29.21 51.28 19.51

Sumber: Susenas 2002 Jumlah KK menggunakan air minum dari sumber air tanah

Panjang total saluran drainase di Kota Denpasar adalah 138,2 km, terdiri dari saluran

primer sepanjang 58,15 km dan saluran sekunder 80,05 km. Kondisi saluran, 65% baik dan

35% buruk. Daerah genangan dan banjir di Kota Denpasar dibagi dalam lima wilayah utama

yaitu:

1. Sistem I Drainase Tukad Badung dan Sekitarnya

2. Sistem II Drainase Tukad Ayung dan Sekitarnya

3. Sistem III Drainase Tukad Mati dan Sekitarnya

4. Sistem IV Drainase Niti Mandala Renon dan Sekitarnya

5. Sistem V Drainase Pemogan dan Sekitarnya

Genangan terparah terjadi pada wilayah Sistem III Drainase Tukad Mati dan Sekitarnya,

tepatnya di daerah perumahan Monang Maning, yang mencapai kedalaman genangan 1,00 m.

D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur Dalam Peraturan Daerah Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat Dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Daerah.

Pembentukan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah di

membawa implikasi pada aspek kehidupan masyarakat, yakni:

1. Adanya pembatasan terhadap perilaku masyarakat, terutama pengusaha pengelolaan air

tanah, berupa kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya.

2. Adanya tuntutan kesadaran hukum pada pengusaha usaha wisata, untuk memahami

jalur hukum yang disediakan untuk menyelesaikan masalah hukum berkenaan

pelanggaran kewajiban-kewajiban berkaitan dengan Pengelolaan Air Tanah.

12

3. Adanya tuntutan sikap profesional kepada pemerintah dan pegusaha pengelolaan air

tanah yang mengemban tugas pengawasan pendaftaran usaha wisata, dan sikap tidak

diskriminatif kepada pengusaha.

4. Adanya tuntutan bagi Pemerintah yang mengemban tugas dan ngawasan

Penyelenggaraan Izin di Bidang Pengelolaan Air Tanahuntuk mengadakan sosialisasi

dan konsultasi publik untuk meningkatkan kesadaran hukum pengusaha akan

kewajibannya berkenaan dengan Pengelolaan Air Tanah.

Pembentukan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah

membawa implikasi pada aspek keuangan daerah, yakni memberikan beban pada APBD dalam

rangka melakukan Pengelolaan Air Tanah.

13

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A. Peraturan Perundang-Undangan Yang Menjadi Dasar Hukum Pembentukan Peraturan Daerah.

Kewenangan pengaturan tentang Pengelolaan Air Tanah diatur dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yaitu dalam Pasal 16 :

Wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota meliputi :

a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;

b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;

c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;

d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;

e. ...

Selain dasar kewenangan pengaturan dalam Undang-Undang, juga pengaturannya

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Sumber Daya air dalam

Pasal 3 ayat (3) mengatur bahwa Kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat

kabupaten/kota disusun dan dirumuskan oleh wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air

kabupaten/kota dan ditetapkan oleh bupati/walikota.Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43

Tahun 2008 Tentang Air Tanah dalam Pasal 6 yang mengatur :

(1) Kebijakan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dijabarkan lebih lanjut dalam kebijakan teknis pengelolaan air tanah.

(2) Kebijakan teknis pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. kebijakan teknis pengelolaan air tanah nasional;

b. kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi; dan

c. kebijakan teknis pengelolaan air tanah kabupaten/ kota.

(3) Menteri menyusun dan menetapkan kebijakan teknis pengelolaan air tanah nasional dengan mengacu pada kebijakan nasional sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a.

(4) Gubernur menyusun dan menetapkan kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi dengan mengacu pada kebijakan teknis pengelolaan air tanah nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berpedoman pada kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b.

(5) Bupati/walikota menyusun dan menetapkan kebijakan teknis pengelolaan air tanah kabupaten/kota dengan mengacu pada kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan berpedoman pada kebijakan pengelolaan

14

sumber daya air pada tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c.

(6) Penyusunan kebijakan teknis pengelolaan air tanah oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilakukan sesuai dengan kewenangannya melalui konsultasi publik dengan mengikutsertakan instansi teknis dan unsur masyarakat terkait

Pengaturan tentang kebijakan pengelolaan air tanah juga diatur dalam

PeraturanPemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah

Dalam Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1451

K/10/Mem/2000 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Di Bidang

Pengelolaan Air Bawah Tanah, dalam Bab III Tentang Pengelolaan Pasal 3 :

1. Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang berada di dalam satu wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

2. Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang melintasi wilayah Propinsi atau Kabupaten/Kota ditetapkan oleh masing-masing Gubernur atau Bupati/Walikota berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dukungan koordinasi dan fasilitasi dari Gubernur

3. Teknis pengelolaan air bawah tanah dilakukan melalui tahapan kegiatan :

a. inventarisasi; b. perencanaan pendayagunaan; c. konservasi; d. peruntukan pemanfaatan; e. perizinan; f. pembinaan dan pengembangan

Adapun cakupan kewenangan pengaturan tentang Pengelolaan Air Tanah ) dapat

disimak dalam matrik berikut:

Tabel 2 : Analisis Dasar Kewenangan Pembentukan Perda Pengelolaan Air Tanah

UU 32/2004

BESERTA

TURUNANNY

A

CAKUPAN KEWENANGAN PENERBITAN SIUP

ANALISA UU PP PERMEN

Berdasarka

n UU

32/2004,

PP

38/2007,

Kewenangan pengaturan tentang Pengelolaan Air Tanah diatur dalam Undang-

Pasal 6 yang

mengatur :

a. Kebijakan pengelolaan sumber daya air

Pasal 3

1. Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang berada di dalam satu

menetapkan

kebijakan

pengelolaan

sumber daya

air di

15

dan Perda

Denpasar

4/2008,

UndangRepublik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yaitu dalam Pasal 16 :

Wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota meliputi :

a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;

b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;

c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;

d. menetapkan

sebagaimana dimaksu dalam Pasal 5 ayat (2) dijabarkan lebih lanjut dalam kebijakan teknis pengelolaan air tanah.

(2) Kebijakan teknis pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

(3) kebijakan teknis pengelolaan air tanah nasional;

a. kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi; dan

b. kebijakan teknis pengelolaan air tanah kabupaten/ kota.

c. Menteri menyusun dan menetapkan kebijakan teknis pengelolaan air tanah nasional dengan mengacu pada kebijakan nasional sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a.

(4) Gubernur menyusun dan menetapkan kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi dengan mengacu pada kebijakan teknis pengelolaan air

wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

2. Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang melintasi wilayah Propinsi atau Kabupaten/Kota ditetapkan oleh masing-masing Gubernur atau Bupati/Walikota berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dukungan koordinasi dan fasilitasi dari Gubernur

3.Teknis pengelolaan air bawah tanah dilakukan melalui tahapan kegiatan : a.inventarisasi; b.perencanaan

pendayagunaan;

c. konservasi; d. peruntukan

pemanfaatan;

e. perizinan; f.pembinaan dan pengembangan

wilayahnya

berdasarkan

kebijakan

nasional

sumber daya

air dan

kebijakan

pengelolaan

sumber daya

air provinsi

dengan

memperhatika

n kepentingan

kabupaten/kot

16

dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;

e. ...

tanah nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berpedoman pada kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b.

(5) Bupati/walikota menyusun dan menetapkan kebijakan teknis pengelolaan air tanah kabupaten/kota dengan mengacu pada kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan berpedoman pada kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c.

(6) Penyusunan kebijakan teknis pengelolaan air tanah oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilakukan sesuai dengan kewenangannya melalui konsultasi publik

17

dengan mengikutsertakan instansi teknis dan unsur masyarakat terkait

B. Peraturan Perundang-undangan yang Mengamanatkan Materi Muatan tertentu Diatur dalam Peraturan Daerah

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber

Daya Air Pasal 16 mengamanatkan wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota

meliputi :

a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya

berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan

sumber daya air provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota

sekitarnya;

b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam

satu kabupaten/kota;

c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai

dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan

kabupaten/kota sekitarnya;

d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai

dalam satu kabupaten/kota;

e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;

f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah di wilayahnya serta sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;

g. membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat kabupaten/kota dan/atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;

h. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi masyarakat di wilayahnya; dan

i. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten

Dalam rangka memberikan dasar hukum bagi pengelolaan air tanah yang lebih

berkualitas, ketersediaan data dan informasi yang akurat yang berhubungan dengan

pengelolaan air tanah, tertib izin usaha-usaha lainnya perlu selalu diupayakan dan semakin

ditingkatkan.

18

C. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru (Yang Akan Dibentuk) Dengan Peraturan Perundang-Undangan Lain.

Dalam penyusunan Perda ini didasarkan pada adanya kewenangan untuk membentuk

Perda. Pembentukan Perda ini mempunyai beberapa keterkaitan dengan peraturan perundang-

undangan. Ketertakitan tersebut sebagaimana dipaparkan dalam table berikut ini :

Tabel 3 .Dasar Kewenangan Pembentukan Perda tentang Pengelolaan Air Tanah dan

keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan.

UU 7/2004 PP 38/2007 ANALISA

1 2 4

Kewenangan pengaturan tentang Pengelolaan Air Tanah diatur dalam Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yaitu dalam Pasal 16 :

Wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota meliputi :

a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;

b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;

c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;

d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;

e. ...

SUB BIDANG : Pengendalian dampak lingkingan

sub-sub bidang : 3. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian

Pencemaran Air

Kewenangan kabupaten/kota :

1. Pengelolaan kualitas air skala kabupaten/kota.

2. Penetapan kelas air pada sumber air skala kabupaten/kota.

3. Pemantauan kualitas air pada sumber air skala kabupaten/kota.

4. Pengendalian pencemaran air pada sumber air skala kabupaten/kota.

5. Pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air

6. Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala kabupaten/kota pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya.

7. Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala kabupaten/kota

8. Perizinan pembuangan air

Pemerintah Kota Denpasar berwenang membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Tanah

19

limbah ke air atau sumber air.

9. Perizinan pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah.

10. —

Sumber : Diolah dari UU 7/2004 dan PP 38/ 2007

D. Status Peraturan Perundang-undangan Lama

Pemerintah Kota Denpasar selama ini mengatur tentang Pengelolaan Air Tanah

berdasarkan Peraturan Walikota Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pengaturan

Perizinan,Peruntukan, Penggunaan dan Pengusahaan Air Tanah yang apabila dianalisis dapat

dipaparkan dalam tabel :

Tabel. 4 Analisa Peraturan Walikota Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pengaturan Perizinan, Peruntukan, Penggunaan dan Pengusahaan Air Tanah

No. PERATURAN WALIKOTA NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG PENGATURAN

PERIZINAN,PERUNTUKAN, PENGGUNAAN DAN PENGUSAHAAN

AIR TANAH

ANALISIS

1. Judul: PENGATURAN PERIZINAN,PERUNTUKAN, PENGGUNAAN DAN PENGUSAHAAN AIR TANAH

Penulisan judul berdasarkan Lampiran II angka 3 UUP3 Nama Peraturan Perundang–undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi Peraturan Perundang– undangan -judul perwali terlalu luas tidak menunjukkan sesensi pengaturan

2. Menimbang : j. Bahwa untuk menyikapi

menghadapi... k. Bahwa pengelolaan air tanah... l. ... m. ...

Dalam pendelegasian kewenangan mengatur seharusnya berdasarkan lampiran II angka 198-201 UUP3, dalam konsiderans menimbang seharusnya menunjukkan dasar hukum pembentukan Perwali dalam arti bahwa harus disebutkan dasar hukum pendelegasiannya.

3 Mengingat : 1. Undang-undang nomor 11 Tahun

1967 tentang ketentuan Pokok-pokok Pertambangan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831)

2. ... 3. ... 4. ...

Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam Ranperda ini relevan dirujuk dijadikan ketentuan dasar mengingat.

20

5. ... 6. ... 7. ... 8. ... 9. ... 10... 11....

4. M E M U T U S K A N:

Menetapkan :

PENGATURAN

PERIZINAN,PERUNTUKAN,

PENGGUNAAN DAN PENGUSAHAAN

AIR TANAH

Tidak sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air

5. BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

1. Pemerintah Provinsi adalah

Pemerintah provinsi Bali.

2. ....

3. ...

4. ...

5. ...

6. ...

7. ...

8. ...

9. ...

10. ...

11. ...

12. ...

13. ...

14. ...

15. ...

16. ...

17. ...

Tidak relevan dengan : 1. Tidak sesuai dengan Pasal 16 Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun

2004 Tentang Sumber Daya Air.

2. PenulisanKetentuan Umum berdasarkan

Lampiran II angka 96-109 UUP3 sesuai

dengan lingkup pengaturan perwali

6. BAB II KEWENANGAN PEMERINNTAH KOTA

DENPASAR

Teknik penulisan ―DENPASAR‖ tidak tepat mengingat dalam pengaturan tentang Perwali berlaku di Kota Denpasar.

7. BAB III PERIZINAN

Relevan dengan Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

8. BAB IV PERUNTUKAN

Relevan dengan Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

21

9. BAB V TATA CARA PEMBERIAN IZIN DAN

PERSYARATAN PERIZINAN

Sebaiknya materi muatan ini dikelompokkan dengan Bab III sehingga pengelompokan materi muatan dalam satu Bab lebih tepat

10. BAB VI PEMAKAIAN AIR TANAH

Relevan dengan Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

11. BAB VII PELAPORAN

Relevan dengan Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

12. BAB VIII BERAKHIRNYA IZIN

Sebaiknya materi muatan ini dikelompokkan dengan Bab III sehingga pengelompokan materi muatan dalam satu Bab lebih tepat

13. BAB IX KETENTUAN PENUTUP

Sesuai dengan Lampiran II UUP3

Berdasarkan analisis tersebut terlihat ada beberapa yang tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan terkait. Dalam hal bentuk hukum yang dibentuknya yaitu dalam bentuk

Peraturan Walikota adalah kurang tepat mengingat dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air pendelegasian kewenangan dalam bentuk

Kebijakan hukum yang dituangkan dalam Peraturan Daerah.

Usulan Ranperda Pemkot Denpasar Tentang Pengelolaan Air Tanah Dan Air

Permukaan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang tugas dan wewenangnya telah

membuat usulan Raperda Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah. Naskah usulan ini

perlu juga dianalisis berkenaan dengan kerangka dan materi muatan, untuk mengetahui derajat

kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan.

Tabel 5 : Analisis Raperda Usulan SKPD tentang Pengelolaan Air Tanah

RAPERDA USULAN SKPD TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DAN AIR

PERMUKAAN

Analisis

Nama dalam judul: PENGELOLAAN AIR

TANAH

Terhadap judul dapat dikemukan sebagai berikut : 1. Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011

Nama Peraturan Perundang–undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan.

2. UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah, Pasal 2 na menentukan: (1) Jenis Pajak provinsi terdiri atas:

a. ... d. Pajak Air Permukaan

(2) Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: a. ... b. Pajak Air Tanah

22

Dari ketentuan ini dapat diketahui bahwa pemerintah daerah provinsi mempunyai kewenangan pengenaan pajak air permukaan. Dengan demikian logika hukumnya, maka Air Permukaan menjadi kewenangan dari Pemerintah Daerah Provinsi. Pasal 1 angka 18 Undang-Undang ini menentukan Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah,tidak termasuk air laut, baik yang berada dilaut maupun di darat. Dengan demikian judul draft Ranperda ini sebaiknya dibatasi cukup tentang Pengelolaan Air Tanah.

Menimbang :

a. bahwa air tanah merupakan kekayaan alam sebagai karunia Tuhan yang dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka untuk memenuhi kebutuhan dan sebagai aktivitas masyarakat perlu dilakukan pengaturan;

b. bahwa pemanfaatan air tanah untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat maupun komersial yang tidak disertai dengan upaya pengelolaan secara baik dan benar, dikhawatirkan akan merusak kelestarian sumber daya air;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Tanah ;

Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. Unsur filosofis menggambarkan bahwa

peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.

Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Usulan draft yang diajukan, sudah mengandung unsur filosofis, sosiologis dan yuridis, namun perlu dirumuskan ulang, supaya kelihatan jelas unsur filosofis,sosiologis dan unsur yuridisnya yang berkaitan dengan pengelolaan air tanah.

Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967

tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831);

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor

Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam Ranperda ini relevan dirujuk dijadikan ketentuan dasar mengingat.

23

22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478);

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3465);

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terkahir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pengelolaan Lingkungan Hidup tentang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor );

8. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3644);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);

10.Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor

24

82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 473)

11.Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859);

11.Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451/K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah;

12.Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kota Denpasar (Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar Nomor 4);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

KOTA DENPASAR

Dan

WALIKOTA DENPASAR

M E M U T U S K A N:

Menetapkan :

PERATURAN DAERAH TENTANG

PENGELOLAAN AIR TANAH

Pengaturan Pengeloaan Air Tanah sesuai dengan

UU Sumber Daya Air

BABI KETETUA UMUM

Pasal 1

1. Kota adalah Kota Denpasar. 2. Pemerintahan Kota adalah Pemerintahan

Kota Denpasar. 3. Walikota adalah Walikota Denpasar. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Denpasar.

5. Pejabat yang ditunjuk adalah Pejabat di Lingkungan Pemerintahan Daerah dibidang pengelolaan air tanah yang mendapat pendelegasian wewenang dari Walikota.

6. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Lingkungan Pemerintah Kota Denpasar

7. Air tanah adalah air yang terdapat dalam

Ada beberapa istilah atau difinisi dalam Pasal 1 ini

yang relevan untuk dipergunakan dalam draft

Rancangan Perda Pengelolaan Air Tanah.

25

lapisan tanah atau batuan dibawah permukaan tanah.

8. Akuifer atau Lapisan Pembawa Air adalah lapisan batuan jenuh air tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air tanah dalam jumlah cukup dan ekonomis.

9. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran dan pelepasan air tanah berlangsung.

10. Wilayah Cekungan Air Tanah adalah Kesatuan Wilayah pengelolaan air tanah secara alamiah pada cekungan air tanah.

11. Daerah imbuhan air tanah adalah resapan air yang mampu menambah air tanah secara alamiah pada cekungan air tanah.

12. Daerah lepasan air tanah adalah daerah keluaran air yang mampu menambah air tanah secara alamian pada cekungan air tanah.

13. Rekomendasi teknis adalah persyaratan teknis yang bersifat mengikat dalam pemberian izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah.

14. Pengelolaan air tanah adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi penyelenggaraan konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah, dan pengendalian daya rusak air tanah.

15. Pengambilan air tanah adalah setiap kegiatan pengambilan air tanah yang dilakukan dengan cara penggalian, pengeboran atau dengan cara membuat bangunan penurap lainnya untuk dimanfaatkan airnya dan / atau tujuan lainnya.

16. Inventarisasi air tanah adalah kegiatan untuk memperoleh data dan informasi air tanah.

17. Konservasi air tanah adalah upaya memelihara keberadaan serta berkelanjutan keadaan, sifat, dan fungsi air tanah agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan mahluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang.

18. Pelestarian Air Tanah adalah upaya mempertahankan kelestarian kondisi dan lingkungan air tanah agar tidak mengalami perubahan.

19. Perlindungan Air Tanah adalah upaya

26

menjaga keberadaan dan mencegah terjadinya kerusakan kondisi lingkungan air tanah.

20. Pemeliharaan Air Tanah adalah upaya memelihara keberadaan air tanah sesuai fungsinya.

21. Pendayagunaan air tanah adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan dan pengusahaan air tanah secara optimal agar berhasil guna dan berdayaguna.

22. Pengendalian daya rusak air tanah adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air tanah.

23. Pengeboran air tanah adalah kegiatan membuat sumur bor air tanah yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis sebagai sarana eksplorasi, pengambilan, pemakaian dan pengusahaan, pemantauan, atau imbuhan air tanah.

24. Penggalian air tanah adalah kegiatan membuat sumur gali, saluran air, dan terowongan air untuk mendapatlan air tanah yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis sebagai sarana eksplorasi, pengambilan, pemakaian dan pengusahaan, pemantauan, atau imbuhan air tanah.

25. Hak guna air dari pemanfaatan air tanah adalah hak guna air untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air tanah untuk berbagai keperluan.

26. Hak guna air dari pemanfaatan air tanah

adalah hak untuk memperoleh dan memakai air tanah.

27. Hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air tanah.

28. Izin pemakaian air tanah adalah izin untuk memperoleh hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah.

29. Izin pengusahaan air tanah adalah izin untuk memperoleh hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah.

30. Badan usaha adalah badan usaha, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.

31. Sumur Bor adalah sumur yang pembuatannya dilakukan dengan cara pengeboran dan konstruksi dengan pipa bergaris tengah lebih dari 2 inchi (+ 5 cm).

27

32. Sumur Gali adalah sumur yang pembuatannya dilakukan dengan cara penggalian oleh tenaga manusia.

33. Sumur Pantau adalah sumur yang dibuat untuk memantau muka dan mutu air tanah dari lapisan pembawa air (aquifer) tertentu.

34. Sumur Resapan adalah sumur yang dibuat dengan tujuan untuk meresapkan air kedalam tanah yang bentuknya berupa sumur gali atau sumur bor dangkal.

35. Dampak Lingkungan adalah perubahan lingkungan diakibatkan oleh sesuatu kegiatan.

36. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan serta penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.

37. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) adalah dokumen yang mengandung upaya penanganan dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari kegiatan.

38. Upaya Pemantauan Lingkungan adalah dokumen yang mengandung upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak akibat dari kegiatan.

39. Eksplorasi Air Tanah adalah penyidikan air tanah secara detail untuk menetapkan lebih teliti / seksama tentang sebaran dan karakteristik sumber air tersebut.

40. Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan pada suatu wilayah kerja tertentu yang meliputi pengeboran sumur pengembangan dan sumur injeksi, pembangunan fasilitas lapangan dan operasi produksi air tanah.

41. Pembinaan adalah kegiatan yang mencakup pemberian pengarahan, petunjuk, bimbingan, pelatihan dan penyuluhan dalam melaksanakan pengelolaan air tanah.

42. Pengendalian adalah kegiatan yang mencakup pengaturan, penelitian dan pemantauan pengambilan air tanah untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana demi menjaga kesinambungan ketersediaan dan mutunya.

43. Pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menjamin tegaknya

28

peraturan perundang-undangan pengelolaan air tanah.

44. Persyaratan Teknik adalah ketentuan teknis yang harus dipenuhi untuk melakukan kegiatan bidang air tanah.

BAB II ASAS,MAKSUD DAN TUJUAN SERTA

RUANG LINGKUP

Asas, Maksud dan Tujuan sepanjang berkaitan dengan Air Tanah relevan untuk diatur.

BAB III LANDASA PEGELOLAAN AIR TANAH

Wewenang dan Tanggung jawab sepanjang

berkaitan dengan Pengelolaan Air Tanah, relevan

untuk diatur.

BAB IV PENGELOLAAN AIR TANAH

Perlu diperhatikan Pasal 16 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air Dengan demikian Ruang lingkup

CAT lintas Kabupaten/Kota sebaiknya tidak diatur

dalam draft Rancangan Perda tentang Pengellaan

Air Tanah.

BAB V PERIZINAN

.

Relevan untuk diatur dalam draft rancangan Perda,

sepanjang menyangkut tentang air tanah.

BAB VI SISTEM INFORMASI AIR TANAH

Relevan diatur, sepanjang berkaitan dengan air

tanah.

BAB VII PEMBIAYAAN

Relevan diatur dalam Ranperda berkaitan dengan

Perizinan dan Rekomendasi, sepanjang mengatur

tentang Air Tanah.

BAB VIII PEMBIAYAAN,PENGENDALIAN DAN

PENGAWASAN

Bab Pembinaan,Pengendalian dan Pengawasan relevan diatur dalam draft Rancangan Perda Pengelolaan Air Tanah.

BAB IX

PENYIDIKAN

Relevan untuk diatur

BAB X

KETENTUAN PIDANA

Relevan untuk diatur

BABXI

KETENTUAN PERALIHAN

Relevan untuk diatur terutama terkait dengan izin

yang masih berlaku.

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

Relevan untuk diatur

29

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Pandang Ahli dan Hukum Positif tentang Landasan Filosofis, Landasan Sosiologis, dan Landasan Yuridis.

Validitas, sebagaimana dimaksudkan oleh Hans Kelsen, adalah eksistensi spesifik dari

norma-norma. Mengatakan suatu norma adalah valid, sama halnya mengakui eksistensinya

atau menganggap norma itu mengandung ―kekuatan mengikat‖ bagi mereka yang

perbuatannya diatur oleh peraturan tersebut7.

Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum, yang menyatakan norma-norma hukum

itu mengikat dan mengharuskan orang berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-

norma hukum. Suatu norma hanya dianggap valid berdasarkan kondisi bahwa norma tersebut

termasuk ke dalam suatu sistem norma.

Berkenaan dengan validitas, Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan

Gustav Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku hukum serta

kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi

berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan,

kegunaan, dan kepastian hukum8.

Uraian tersebut menunjukkan keterhubungan antara validitas hukum dengan nilai-nilai

dasar hukum, bahwasanya hukum didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum

mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan sosiologis supaya hukum

mencerminkan nilai kegunaan, dan didasarkan pada keberlakuan yuridis supaya hukum

mencerminkan nilai kepastian hukum

Uraian tentang validitas hukum atau landasan keabsahan hukum dalam kaitannya dengan

peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat ditemukan dalam sejumlah buku yang ditulis

oleh sarjana Indonesia, antara lain Jimly Assiddiqie, 9 Bagir Manan10, dan Solly Lubis11.

Pandangan ketiga sarjana itu dapat disajikan dalam tabel berikut.

7 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien dari judul asli:

General Theory of Law and State, (Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, 2006), hlm. 40 8 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 19

9 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 169-174, 240-244

10 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ind-Hill.Co, 1992), hlm.

14-17. 11

M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 1989), hlm. 6-9.

30

Tabel 6: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan menurut Para Sarjana

Indonesia12

LANDASAN JIMLY ASSHIDDIQIE

BAGIR MANAN M. SOLLY LUBIS

Filosofis

Bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu Negara. Contoh, nilai-nilai filosofis Negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila sebagai ―staatsfunda-mentalnorm‖.

Mencerminkan nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee), baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.

Dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan Negara.

Sosiologis Mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum. [Juga dikatakan, keberlakuan sosiologis berkenaan dengan (1) kriteria pengakuan terhadap daya ikat norma hukum; (2) kriteria penerimaan terhadap daya ikat norma hukum; dan (3) kriteria faktisitas menyangkut norma hukum secara faktual memang berlaku efektif dalam masyarakat].

Mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi yang memerlukan penyelesaian.

-

Yuridis Norma hukum itu sendiri memang ditetapkan (1) sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih tinggi; (2) menunjukkan

Keharusan (1) adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan; (2) adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur;

Ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi pembuatan suatu peraturan, yaitu: (1) segi formal, yakni landasan yuridis yang memberi kewenangan untuk membuat peraturan tertentu; dan (2) segi

12 Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”, Op. Cit., hlm. 38.

31

hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya; (3) menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku; dan (4) oleh lembaga yang memang berwenang untuk itu.

(3) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (4) mengikuti tata cara tertentu dalam pembentukannya.

materiil, yaitu landasan yuridis untuk mengatur hal-hal tertentu.

Politis Harus tergambar adanya cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD NRI 1945 sebagai politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang [juga dikatakan, pemberlakuannya itu memang didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dan yang mencukupi di parlemen].

Garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan. Misalnya, garis politik otonomi dalam GBHN (Tap MPR No. IV Tahun 1973) memberi pengarahan dalam pembuatan UU Nomor 5 Tahun 1974.

Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan tersebut

menunjukan:

1. Pemahaman keabsahan peraturan perundang-undangan pada ranah (1) normatif; dan

(2) sosiologis. Pemahaman dalam ranah sosiologis tampak pada pandangan Jimly

Asshiddiqie tentang landasan sosiologis dan politis yang terdapat dalam tanda kurung

([…]). Dalam konteks landasan keabsahan peraturan perundang-undangan, yang

menyangkut pembentukan peraturan perundang-undangan, lebih tepat memahami

landasan keabsahan peraturan perundang-undangan dalam ranah normatif.

2. Landasan keabsahan politis pada ranah normatif dari Jimly Asshiddiqie,

mengambarkan politik hukum, yakni adanya cita-cita dan norma dasar yang terkandung

dalam UUD NRI 1945 (Pembukaan dan pasal-pasalnya), yang dapat diakomodasi

dalam landasan filosofis dan yuridis.

32

3. Landasan keabsahan politis dari M. Solly Lubis yang menggambarkan garis politik

hukum dalam Ketetapan MPR, yang dapat diakomodasi dalam landasan yuridis

Berdasarkan pandangan para sarjana tersebut tentang landasan keabsahan atau dasar

keberlakuan peraturan perundang-undangan, maka landasan keabsahan filosofis, sosiologis,

dan yuridis dapat dirangkum sebagai berikut:

Tabel 7: Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan 13

LANDASAN URAIAN

Filosofis Mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee). Diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan.

Sosiologis Mencerminkan tuntutan atau kebutuhan masyarakat yang memerlukan penyelesaian. Diperlukan sebagai sarana menjamin kemanfaatan.

Yuridis Konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, maupun jenis dan materi muatan, serta tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi. Diperlukan sebagai sarana menjamin kepastian hukum.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan (UU 12/2011) mengadopsi validitas tersebut sebagai (1) muatan menimbang, yang

memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan

pembentukan Peraturan Perundang–undangan, ditempatkan secara berurutan dari filosofis,

sosiologis, dan yuridis; dan (2) harus juga ada dalam naskah akademis rancangan peraturan

perundang-undangan.

Merujuk pada pandangan teoritik dari para sarjana yang telah dikemukakan di atas,

dikaitkan dengan ketentuan tentang teknik penyusunan peraturan perundang-undangan14 dan

teknik penyusunan naskah akademik15 yang diadopsi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

(UU No 12/2011), ketiga aspek dari validitas tersebut dapat disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 8. Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan

Teoritik dan UU No. 12/2011

LANDASAN URAIAN

Filosofis Menggambarkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum itu, pada dasarnya berkenaan dengan keadilan yang mesti dijamin dengan adanya peraturan perundang-undangan.

13

Gede Marhaendra Wija Atmaja, ―Politik Pluralisme Hukum ….‖, Ibid., hlm. 29. 14

Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011). 15

Pasal 57 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

33

Sosiologis Menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek yang memerlukan penyelesaian, yang sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

Kebutuhan masyarakat pada dasarnya berkenaan dengan kemanfaatan adanya peraturan perundang-undangan.

Yuridis Menggambarkan permasalahan hukum yang akan diatasi, yang sesungghunya menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur.

Permasalahan hukum yang akan diatasi itu pada dasarnya berkenaan dengan kepastian hukum yang mesti dijamin dengan adanya peraturan perundang-unda

ngan, oleh karena itu harus ada konsistensi ketentuan hukum, menyangkut dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, jenis dan materi muatan, dan tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Tanggung jawab Negara diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alenia; ke -4

anatara lain adalah ; 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia ;

dan 2) memajukan kesejahteraan umum

Perlindungan yang menjadi tanggung jawab Negara itu tidak saja terhadap setiap orang

baik dari arti individual dan kelompok berikut identitas budaya yang melekat padanya, tetapi

juga perlindungan terhadap tanah air, yang tercakup di dalamnya sumber daya alam dan

lingkungan hidupPerlindungan tersebut diarahkan dalam rangka memajukan kesejahteraan

umum, yang juga merupakan tanggung jawab Negara.

Dalam rangka menjamin kepastian hukum dalam pengelolaan air tanah diadakan

perizinan. Untuk itu perlu diberikan arahan dan landasan hukum bagi semua pihak yang yang

terlibat dalam pendaftaran pengelolaan air tanah, baik bagi Pemerintah Kota beserta

aparaturnya.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka landasan filosofis, sosiologis dan yuridis

pembentukan Perda tentang pendaftaran pengelolaan air tanah adalah:

a. bahwa pengelolaan air tanah merupakan bagian dari kePengelolaan air tanahan untuk

mendorong peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;

b. bahwa terhadap pengelolaan air tanah perlu dilakukan pendaftaran ke dalam Daftar

pengelolaan air tanah sehingga dapat menyediakan sumber informasi bagi semua

pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pengelolaan air tanah;

c. bahwa pendaftaran pengelolaan air tanah dilakukan untuk menjamin kepastian hukum

dalam menyelenggarakan pengelolaan air tanah, oleh karena itu perlu diberikan arahan

34

dan landasan hukum bagi semua pihak yang terlibat, baik bagi Pemerintah Kota

beserta aparaturnya, maupun pengusaha Pengelolaan air tanah, yang terlibat dalam

pendaftaran pengelolaan air tanah;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan

huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang pengelolaan air tanah;

B. Relevansinya dengan Pembentukan Peraturan Daerah.

Pengaturan Pengelolaan Air Tanah mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni

filofofis, yuridis, dan sosiologis, sebagaimana diamanatkan UU P3. Pertama, Landasan

Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk

memberikan pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam rangka

mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan. Ketentuan

konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berlakunya Undang-Undang ini, maka

penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang

seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi

daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Kedua, Landasan Yuridis. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, yakni Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), penyelenggaraan

pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut

mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk

meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada

masyarakat. Penyelenggaran Pemerintahan Daerah selanjutnya diatur dalam Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali,

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1451

K/10/Mem/2000 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Di Bidang

Pengelolaan Air Bawah Tanah BAB III PENGELOLAAN Pasal 3,

35

1. Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang berada di dalam satu wilayah

Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

2. Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang melintasi wilayah Propinsi atau Kabupaten/Kota ditetapkan oleh masing-masing Gubernur atau Bupati/Walikota berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dukungan koordinasi dan fasilitasi dari Gubernur.

3. Teknis pengelolaan air bawah tanah dilakukan melalui tahapan kegiatan : a. inventarisasi; b. perencanaan pendayagunaan; c. konservasi; d. peruntukan pemanfaatan; e. perizinan; f. pembinaan dan pengembangan

Uraian tersebut menegaskan landasan yuridis pengaturan Pengelolaan Air Tanah

adalah Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1451 K/10/Mem/2000

Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Di Bidang Pengelolaan Air

Bawah Tanah

Ketiga, Landasan Sosiologis Peraturan Walikota Nomor 22 Tahun 2011 tentang

Pengaturan Perizinan,Peruntukan, Penggunaan dan Pengusahaan Air Tanah. Perwali tersebut

pada saat ini tidak dapat menampung kebutuhan masyarakat dalam kaitannyA pengaturan

tentang Pengelolaan air tanah.

36

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN

RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

A. Sasaran, Arah dan Jangkauan Pengaturan.

Sasaran yang hendak dicapai dengan diundangkannya Peraturan Daerah tentang

Pengelolaan Air Tanah adalah:

a. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam pemanfaatan

sumber daya air;

b. terwujudnya masyarakat yang memiliki sikap dan tindak melindungi serta

membina sumber daya air;

c. tercapainya kepentingan akan kebutuhan air bagi generasi sekarang dan

generasi yang akan datang;

d. tercapainya kesinambungan fungsi sumber daya air; dan

e. terkendalinya pemanfaatan sumber daya air secara bijaksana.

Selanjutnya, arah yang hendak dituju adalah tercapainya pengelolaan air tanah

berdasarkan azas pemanfaatan, keseimbangan, dan berkesinambungan, serta pengelolaan

berdasarkan prinsip keterpaduan dengan air permukaan.

B. Ruang Lingkup Pengaturan.

1. Judul

Pedoman angka 2, 3, dan 4 TP3 mengatur bahwa Judul Peraturan Perundang-

undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan,

dan nama Peraturan Perundang-undangan.

Selanjutnya, Nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dan

mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan, dan Judul ditulis seluruhnya dengan huruf

kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca. Peraturan daerah ini berjudul

: Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah.

37

2. Pembukaan

Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang-undangan sebelum nama jabatan

pembentuk Peraturan Perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN

YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah

marjin.

a. Konsiderans

Ketentuan angka 17, 18, dan 19 TP3 disebutkan bahwa Konsiderans diawali dengan

kata Menimbang. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang

menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Pokok-pokok

pikiran pada konsiderans Undang-Undang atau peraturan daerah memuat unsur filosofis,

yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.

Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah memuat Konsiderans:

a. bahwa air tanah merupakan unsur yang sangat penting bagi kehidupan

masyarakat dalam menunjang kegiatan pembangunan, oleh karena itu harus

dikelola secara adil dan bijaksana dengan melakukan pengaturan yang

menyeluruh dan berwawasan lingkungan;

b. bahwa air tanah merupakan sumber daya alam yang harus dikelola secara

terpadu, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang bertujuan untuk

mewujudkan keseimbangan ketersediaan dan pemanfaatannya serta

berdampak terhadap kehidupan dan kelestarian lingkungan;

c. bahwa hak atas air tanah merupakan hak guna air yang pengelolaannya

diselenggarakan untuk mewujudkan keseimbangan antara upaya konservasi dan

pendayagunaan air tanah;

d. bahwa pengelolaan air tanah di wilayah Kota Denpasar merupakan sebagian

urusan Pemerintah Kota Denpasar;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf

b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan

Air Tanah;

b. Dasar Hukum

Ketentuan angka 28, dan 39 disebutkan bahwa dasar hukum diawali dengan kata

Mengingat. Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-

undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan

Perundang-undangan tersebut. Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar

hukum hanya Peraturan Perundangundangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.

38

Dasar hukum Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah:

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah

Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor

9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3465);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya

Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 37) sebagaimana telah diubah

beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun

2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

5. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor

140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor

82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan

Pemerintahan Daerah Kota/Kota(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya

Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4859);

39

3. Batang Tubuh

3.1. Ketentuan Umum

Pedoman angka 98 Ketentuan umum berisi:

a. batasan pengertian atau definisi;

b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau

definisi; dan/atau

c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa

pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud,

dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

Pedoman angka 103 Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-

undangan dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk,

rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan definisi dalam Peraturan

Perundang-undangan yang telah berlaku tersebut.

Mengacu pada pedoman tersebut, ketentuan umum dalam konsep awal Raperda tentang

Pengelolaan Air Tanah berisi antara lain:

1. Kota adalah Kota Denpasar.

2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Denpasar.

3. Walikota adalah Walikota Denpasar.

4. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan

tanah.

5. Akuifer adalah lapisan batuan jenuh air tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air

tanah dalam jumlah cukup dan ekonomis.

6. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat

semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air

tanah berlangsung.

7. Daerah imbuhan air tanah adalah daerah resapan air yang mampu menambah air tanah

secara alamiah pada cekungan air tanah.

8. Daerah lepasan air tanah adalah daerah keluaran air tanah yang berlangsung secara

alamiah pada cekungan air tanah.

9. Rekomendasi teknis adalah persyaratan teknis yang bersifat mengikat dalam pemberian

izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah.

10. Pengelolaan air tanah adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau,

mengevaluasi penyelenggaraan konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah, dan

pengendalian daya rusak air tanah.

40

11. Inventarisasi air tanah adalah kegiatan untuk memperoleh data dan informasi air tanah.

12. Konservasi air tanah adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan,

sifat, dan fungsi air tanah agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang

memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun

yang akan datang.

13. Pendayagunaan air tanah adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan,

pengembangan, dan pengusahaan air tanah secara optimal agar berhasil guna dan

berdayaguna.

14. Pengendalian daya rusak air tanah adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan

memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air tanah.

15. Pengeboran air tanah adalah kegiatan membuat sumur bor air tanah yang dilaksanakan

sesuai dengan pedoman teknis sebagai sarana eksplorasi, pengambilan, pemakaian dan

pengusahaan, pemantauan, atau imbuhan air tanah.

16. Penggalian air tanah adalah kegiatan membuat sumur gali, saluran air, dan terowongan

air untuk mendapatkan air tanah yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis

sebagai sarana eksplorasi, pengambilan, pemakaian dan pengusahaan, pemantauan,

atau imbuhan air tanah.

17. Hak guna air dari pemanfaatan air tanah adalah hak guna air untuk memperoleh dan

memakai atau mengusahakan air tanah untuk berbagai keperluan.

18. Hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah adalah hak untuk memperoleh dan

memakai air tanah.

19. Hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah adalah hak untuk memperoleh dan

mengusahakan air tanah.

20. Izin pemakaian air tanah adalah izin untuk memperoleh hak guna pakai air dari

pemanfaatan air tanah.

21. Izin pengusahaan air tanah adalah izin untuk memperoleh hak guna usaha air dari

pemanfaatan air tanah.

22. Badan usaha adalah badan usaha, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.

23. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang air tanah.

3.2. Materi Pokok Yang Diatur

a. Azas, Maksud Dan Tujuan Pengelolaan Air Tanah

Pengelolaan air tanah berdasarkan azas pemanfaatan, keseimbangan, dan

berkesinambungan. Air tanah dikelola dengan prinsip keterpaduan dengan air permukaan

41

Maksud pengelolaan air tanah adalah:

a. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam pemanfaatan

sumber daya air;

b. terwujudnya masyarakat yang memiliki sikap dan tindak melindungi serta

membina sumber daya air;

c. tercapainya kepentingan akan kebutuhan air bagi generasi sekarang dan

generasi yang akan datang;

d. tercapainya kesinambungan fungsi sumber daya air; dan

e. terkendalinya pemanfaatan sumber daya air secara bijaksana.

Sumber daya air termasuk di dalamnya air tanah dikelola secara menyeluruh, terpadu

dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan untuk mewujudkan kemanfaatan air yang

berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

b. Landasan Pengelolaan Air Tanah

Pengelolaan air tanah didasarkan pada cekungan air tanah yang diselenggarakan

berlandaskan pada kebijakan pengelolaan air tanah dan strategi pengelolaan air tanah.

Hak atas air tanah adalah hak guna air yang berupa hak guna pakai air dan hak guna

usaha air. Hak guna air tanah tersebut tidak dapat dipindahtangankan sebagian atau

seluruhnya kepada pihak lain. Hak guna pakai air tanah diperoleh tanpa izin untuk memenuhi

kebutuhan air minum dan rumah tangga dengan debit pemakaian tidak melebihi 100 meter

kubik per bulan dan tidak dikomersilkan.

Hak guna pakai air tanah memerlukan izin apabila :

a. cara pengambilannya dapat menimbulkan kerusakan akuifer; dan/atau

b. ditujukan untuk memenuhi kebutuhan

c. Wewenang dan Tanggung Jawab

Wewenang dan tanggung jawab Walikota meliputi:

a. menyusun dan menetapkan kebijakan pengelolaan air tanah Kota dengan

mengacu pada kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi dan berpedoman

pada kebijakan pengelolaan sumber daya air tanah pada tingkat Kota16;

b. menetapkan kerangka dasar pengelolaan air tanah pada cekungan air tanah

Kota;

c. menetapkan rencana pengelolaan air tanah Kota;

d. mengatur dan menetapkan penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan,

air tanah pada cekungan air tanah Kota;

16

Kebijakan tersebut adalah kebijakan teknis pengelolaan air tanah Kota dan ditujukan dalam penyelenggaraan konservasi tanah, pendayagunaan air tanah, pengendalian daya rusak air tanah, dan informasi air tanah. Wewenang dan tanggung jawab tersebut dapat didelegasikan kepada Kepala Dinas

42

e. menyediakan dukungan dalam pengembangan dan pemanfaatan air tanah;

f. menentukan cekungan air tanah skala lebih besar dari 1 : 50.000;

g. mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan air tanah dalam rangka inventarisasi,

konservasi, dan pendayagunaan air tanah pada cekungan air tanah Kota;

h. memberikan rekomendasi teknis penerbitan izin penggalian, pengeboran,

penurapan, dan pengambilan air tanah termasuk mata air pada cekungan air

tanah sekitar Kota;

i. mengelola dan memberikan pelayanan data dan informasi air tanah di Kota;

j. menetapkan daerah imbuhan dan lepasan air tanah pada cekungan air tanah

Kota;

k. menetapkan dan mengatur jaringan sumur pantau pada cekungan air tanah

Kota;

l. melaksanakan pengelolaan air tanah sesuai ketentuan teknis yang ditetapkan

oleh Menteri; dan

m. melakukan pemantauan, pengendalian, dan pengawasan pengelolaan air tanah

pada cekungan air tanah Kota.

d. Pengelolaan Air Tanah

Inventarisasi

Inventarisasi air tanah dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi air

tanah, yang dilakukan pada setiap cekungan air tanah. Inventarisasi air tanah

dilakukan melalui kegiatan pemetaan, penyelidikan, dan penelitian, eksplorasi,

serta evaluasi data air tanah untuk menentukan :

o kuantitas dan kualitas air tanah;

o kondisi lingkungan hidup dan potensi yang terkait dengan air tanah;

o sebaran cekungan air tanah;

o daerah imbuhan dan lepasan air tanah;

o geometri dan karakteristik akuifer;

o neraca dan potensi air tanah;

o perencanaan pengelolaan air tanah;

o pengambilan dan pemanfaatan air tanah; dan

o upaya konservasi air tanah.

Kegiatan inventarisasi air tanah dilaksanakan untuk penyusunan pengembangan

terpadu air tanah yang disajikan pada peta skala lebih besar dari 1 : 50.000.

43

Hasil inventarisasi air tanah digunakan sebagai dasar perencanaan konservasi

dan pendayagunaan air tanah.

Penetapan zona konservasi

Data dan informasi hasil kegiatan inventarisasi digunakan sebagai bahan

penyusunan zona konservasi air tanah. Zona konservasi air tanah ditetapkan

oleh Walikota sesuai dengan kewenangannya setelah melalui konsultasi publik

dengan mengikutsertakan instansi teknis dan unsur masyarakat terkait.

Zona konservasi air tanah memuat ketentuan mengenai konservasi dan

pendayagunaan air tanah pada cekungan air tanah.

Zona konservasi air tanah disajikan dalam bentuk peta yang diklasifikasikan

menjadi:

a. zona perlindungan air tanah yang meliputi daerah imbuhan air tanah; dan

b. zona pemanfaatan air tanah yang meliputi zona aman, rawan, kritis, dan

rusak.

Zona konservasi air tanah yang telah ditetapkan dapat ditinjau kembali apabila

terjadi perubahan kuantitas, kualitas, dan/atau lingkungan air tanah pada

cekungan air tanah yang bersangkutan.

Konservasi

Konservasi air tanah ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan, daya

dukung, dan fungsi air tanah. Konservasi air tanah bertumpu pada asas

kelestarian, kesinambungan ketersediaan, dan kemanfaatan air tanah serta

lingkungan keberadaannya.

Pelaksanaan konservasi air tanah didasarkan pada:

a. hasil inventarisasi, identifikasi dan evaluasi cekungan air tanah;

b. hasil kajian daerah imbuhan dan lepasan air tanah;

c. rencana pengelolaan air tanah pada cekungan air tanah; dan

44

d. hasil pemantauan perubahan kondisi dan lingkungan air tanah.

Konservasi air tanah dilakukan secara menyeluruh pada cekungan air tanah

mencakup daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah melalui:

a. penentuan zona konservasi air tanah;

b. perlindungan dan pelestarian air tanah;

c. pengawetan air tanah;

d. pemulihan air tanah;

e. pengendalian pencemaran air tanah; dan

f. pengendalian kerusakan air tanah.

Konservasi air tanah harus menjadi salah satu pertimbangan dalam perencanaan

pendayagunaan air tanah dan perencanaan tata ruang wilayah.

Semua pihak yang berkaitan dengan kegiatan pendayagunaan air tanah wajib

melaksanakan konservasi air tanah.

Untuk menjamin keberhasilan konservasi air tanah dilakukan pemantauan air

tanah yang dilakukan untuk mengetahui perubahan kualitas, kuantitas, dampak

lingkungan akibat pengambilan dan pemanfaatan air tanah, dan/atau perubahan

lingkungan. Pemantauan dilakukan pada sumur pantau dan/atau sumur produksi

dengan cara :

a. mengukur dan mencatat kedudukan muka air tanah;

b. mengukur dan mencatat debit mata air;

c. memeriksa sifat fisika, kandungan unsur kimia, kandungan biologi atau

radioaktif dalam air tanah;

d. memetakan perubahan kualitas dan/atau kuantitas air tanah;

e. mencatat jumlah pengambilan dan pemanfaatan air tanah; dan

f. mengamati dan mengukur perubahan lingkungan fisik akibat pengambilan

air tanah.

Pemantauan air tanah dilakukan secara berkala sesuai dengan jenis kegiatan

pemantauan. Hasil pemantauan air tanah berupa rekaman data yang merupakan

bagian dari sistem informasi air tanah Kota yang selanjutnya digunakan oleh

Walikota sesuai dengan kewenangannya sebagai bahan evaluasi pelaksanaan

45

konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air tanah.

Sumur pantau digunakan sebagai alat pengendalian penggunaan air tanah yang

wajib disediakan dan dipelihara oleh Walikota dan atau pemegang izin sesuai

dengan kewenangannya.

Walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan jaringan sumur pantau

pada setiap cekungan air tanah berdasarkan:

a. kondisi geologis dan hidrogeologis cekungan air tanah;

b. sebaran sumur produksi dan intensitas pengambilan air tanah; dan

c. kebutuhan pengendalian penggunaan air tanah.

Perlindungan dan pelestarian air tanah ditujukan untuk melindungi dan

melestarikan kondisi dan lingkungan serta fungsi air tanah.

Untuk melindungi dan melestarikan air tanah Walikota sesuai kewenangannya

menetapkan kawasan lindung air tanah. Pelaksanaan perlindungan dan

pelestarian air tanah dilakukan dengan: a. menjaga daya dukung dan fungsi

daerah imbuhan air tanah; b. menjaga daya dukung akuifer; dan/atau c.

memulihkan kondisi dan lingkungan air tanah pada zona kritis dan zona rusak.

Pendayagunaan

Perencanaan pendayagunaan air tanah dilaksanakan sebagai dasar

pendayagunaan air tanah pada cekungan air tanah. Kegiatan ini dilakukan

dalam rangka pengaturan pengambilan dan pemanfaatan serta pengendalian air

tanah.

Perencanaan pendayagunaan air tanah didasarkan pada hasil inventarisasi dan

konservasi air tanah. Dalam melaksanakan perencanaan pendayagunaan air

tanah wajib melibatkan peran serta masyarakat .Hasil perencanaan

pendayagunaan air tanah merupakan salah satu dasar dalam penyusunan

rencana tata ruang wilayah.

Pendayagunaan air tanah ditujukan untuk memanfaatkan air tanah dengan

mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat secara adil

dan berkelanjutan.

46

Pendayagunaan air tanah dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan air

tanah.

Pendayagunaan air tanah dilakukan melalui:

a. penatagunaan;

b. penyediaan;

c. penggunaan;

d. pengembangan; dan

e. pengusahaan.

Walikota sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan pendayagunaan air

tanah dengan mengikutsertakan masyarakat.

Penggunaan air tanah ditujukan untuk pemanfaatan air tanah dan prasarana

pada cekungan air tanah.

Penggunaan air tanah terdiri atas pemakaian air tanah dan pengusahaan air

tanah.

Penggunaan air tanah dilakukan sesuai dengan penatagunaan dan penyediaan

air tanah yang telah ditetapkan pada cekungan air tanah.

Penggunaan air tanah dilakukan dengan mengutamakan pemanfaatan air tanah

pada akuifer dalam yang pengambilannya tidak melebihi daya dukung akuifer

terhadap pengambilan air tanah.

Debit pengambilan air tanah ditentukan berdasar atas:

a. daya dukung akuifer terhadap pengambilan air tanah;

b. kondisi dan lingkungan air tanah;

c. alokasi penggunaan air tanah bagi kebutuhan mendatang; dan

d. penggunaan air tanah yang telah ada.

Urutan prioritas peruntukan pemanfaatan air tanah ditetapkan sebagai berikut :

a. air minum;

b. air untuk rumah tangga;

c. air untuk peternakan dan pertanian rakyat;

47

d. air untuk irigasi;

e. air untuk industri;

f. air untuk pertambangan;

g. air untuk usaha perdagangan; dan

h. air untuk kepentingan lainnya.

Urutan prioritas peruntukan pemanfaatan air tanah tersebut di atas dapat

berubah dengan memperhatikan kepentingan umum dan kondisi setempat.

Peruntukan pemanfaatan air tanah untuk keperluan selain air minum dapat

ditentukan apabila tidak dapat dipenuhi dari sumber air lainnya.

e. Pengelolaan Data Air Tanah

Data dan informasi air tanah pada Instansi/Lembaga Pemerintah dan Swasta dilaporkan

kepada Walikota melalui Dinas.

Data dan informasi hasil kegiatan inventarisasi, konservasi, dan pendayagunaan air

tanah wajib disampaikan kepada Walikota melalui Dinas. Walikota mengirim data kepada

Menteri dan Gubernur dengan tembusan ke DPRD.

Data dan informasi air tanah dikelola oleh Walikota sebagai dasar pengelolaan air tanah.

f. Perizinan

Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi meliputi pengeboran, penggalian, penurapan, dan

pengambilan air tanah hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh izin dari Walikota.

Kegiatan eksploitasi yang tidak memerlukan izin adalah:

a. pengambilan dan pemanfaatan air untuk keperluan peribadatan,

penanggulangan bahaya kebakaran, penelitian ilmiah, dan keperluan air minum

dan/atau rumah tangga dengan jumlah pengambilan kurang dari 100 meter kubik

per bulan dan sampai kedalaman 60 meter; dan

b. keperluan pembuatan sumur imbuhan.

Jenis izin pengelolaan air tanah meliputi:

a. izin pengeboran eksplorasi air tanah;

b. izin pengeboran eksploitasi air tanah;

c. izin juru bor;

48

d. izin penurapan mata air;

e. izin pengambilan air tanah;

f. izin pengambilan air dari mata air;

g. izin sumur pantek;

h. izin pembuatan sumur pantau;

i. izin pengambilan dan pemanfaatan air sumur pantek; dan

j. izin perusahaan pengeboran air tanah.

Izin diberikan atas nama pemohon untuk setiap titik pengambilan air. Untuk

mendapatkan izin diajukan kepada Walikota melalui Dinas. Izin ditetapkan oleh Walikota

berdasarkan kelengkapan persyaratan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Izin tidak dapat dipindahtangankan kecuali dengan persetujuan Walikota.

Tata Cara Memperoleh Izin

Untuk memperoleh izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah,

pemohon wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Walikota melalui

Dinas dengan tembusan kepada Gubernur.

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri informasi

a. peruntukan dan kebutuhan air tanah;

b. rencana pelaksanaan pengeboran atau penggalian air tanah; dan

c. UKL atau UPL atau Amdal sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah diterbitkan oleh

Walikota yang tembusannya disampaikan kepada Gubernur.

Setiap izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah yang telah

diterbitkan Walikota, disertai dengan kewajiban untuk membuat sumur resapan.

Setiap pemohon izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah yang

mengambil air tanah di zona kritis wajib melakukan eksplorasi air tanah. Hasil

eksplorasi air tanah digunakan sebagai dasar perencanaan:

a. kedalaman pengeboran atau penggalian air tanah;

b. penempatan saringan pada pekerjaan konstruksi; dan

c. debit dan kualitas air tanah yang akan dimanfaatkan.

Pemegang izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah hanya

dapat melakukan pengeboran atau penggalian air tanah di lokasi yang telah

ditetapkan. Pengeboran dan penggalian air hanya dapat dilakukan oleh instansi

49

pemerintah, perseorangan atau perusahaan yang memenuhi kualifikasi dan

klasifikasi untuk melakukan pengeboran atau penggalian air tanah.

Perusahaan pengeboran harus merupakan badan usaha yang telah memiliki Izin

Perusahaan Pengeboran Air Tanah dan Sertifikat Badan Usaha Jasa

Pengeboran Air Tanah.

Kualifikasi dan klasifikasi untuk melakukan pengeboran dan penggalian air tanah

dapat diperoleh melalui:

a. sertifikasi instalasi bor air tanah; dan

b. sertifikasi keterangan juru pengeboran air tanah.

Jangka waktu izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah dapat

diberikan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang. Perpanjangan izin

diberikan oleh Walikota. Dalam proses perpanjangan izin harus memperhatikan:

a. ketersediaan air tanah; dan

b. kondisi dan lingkungan air tanah.

Walikota melakukan evaluasi terhadap izin pemakaian air tanah atau izin

pengusahaan air tanah yang diterbitkan yang dilakukan mulai dari kegiatan

pengeboran atau penggalian.

Evaluasi dilakukan terhadap debit dan kualitas air tanah yang dihasilkan guna

menetapkan kembali debit yang akan dipakai atau diusahakan sebagaimana

tercantum dalam izin.

Evaluasi dilakukan berdasarkan laporan hasil pelaksanaan pengeboran atau

penggalian air tanah.

Laporan hasil pelaksanaan pengeboran atau penggalian air tanah paling sedikit

memuat:

a. gambar penampang litologi dan penampang sumur;

b. hasil analisis fisika dan kimia air tanah;

c. hasil analisis uji pemompaan terhadap akuifer yang disadap; dan

d. gambar konstruksi sumur berikut bangunan di atasnya.

Izin pemakaian air tanah atau izin penggunaan air tanah dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku apabila:

a. pemegang izin tidak mengajukan perpanjangan izin;

b. izin dikembalikan oleh pemegang izin;

c. pemegang izin tidak mematuhi ketentuan yang tercantum dalam surat izin

50

atau ketentuan lainnya; dan

d. berdasarkan pertimbangan teknis menimbulkan dampak negatif yang

tidak dapat diperkirakan sebelumnya.

g. Hak dan Kewajiban Pemegang Izin

Setiap pemegang izin pemakaian air tanah atau izin penggunaan air tanah berhak untuk

memperoleh dan menggunakan air tanah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin.

Pemegang izin berkewajiban:

a. memasang meter air atau alat pengukur debit pada setiap titik pengambilan air

tanah sesuai ketentuan yang berlaku;

b. melaporkan pelaksanaan UKL, UPL, atau Amdal;

c. memberikan sebagian air kepada masyarakat sekitar kecuali ketersediaan air

tersebut tidak terganggu;

d. pemegang izin berkewajiban membayar pajak air tanah dari air tanah yang

diambil; dan

e. mengikutsertakan karyawannya dalam program perlindungan tenaga kerja.

Pemegang izin pengambilan air tanah dan pengambilan air dari mata air wajib :

a. melaporkan hasil kegiatan secara tertulis kepada Walikota melalui Dinas; dan

b. melaporkan hasil kegiatan pengambilan air tanah dan hasil rekaman sumur

pantau secara tertulis setiap bulan kepada Walikota melalui Dinas.

Setiap titik atau lokasi pengambilan air tanah dan air dari mata air yang telah mendapat

izin harus dilengkapi dengan meter air atau alat pengukur debit air yang sudah ditera atau

dikalibrasi oleh Instansi Teknis yang berwenang.

Pengawasan dan pengendalian pemasangan meter air atau alat pengukur debit air

dilakukan oleh Dinas dan instansi teknis yang berwenang. Pemegang izin wajib memelihara

dan bertanggung jawab atas kerusakan meter air.

Pemohon izin baik secara sendiri-sendiri maupun bersama- sama wajib menyediakan

sumur pantau berikut kelengkapannya untuk memantau kedudukan muka air tanah di

sekitarnya.

Kewajiban dilakukan di:

a. setiap keberadaan 1 (satu) sumur produksi dengan debit pengambilan 50 (lima

51

puluh) liter/detik atau lebih;

b. setiap keberadaan lebih dari 1 (satu) sumur produksi pada 1 (satu) sistem akuifer

dengan total debit pengambilan 50 (lima puluh) liter/detik atau lebih dalam areal

pengambilan air tanah seluas kurang dari 10 (sepuluh) hektar;

c. setiap keberadaan 5 (lima) sumur produksi dari 1 (satu) sistem dalam areal

pengambilan air tanah seluas kurang dari 10 (sepuluh) hektar; dan

d. di tempat-tempat tertentu yang kondisi air tanahnya dinyatakan rawan dan kritis.

Pengelolaan sumur pantau berikut alat pantaunya yang kepemilikannya lebih dari 1

(satu) orang atau lebih dari 1 (satu) badan usaha, biaya pengadaannya ditanggung bersama.

Besarnya biaya pengadaan sumur pantau ditanggung bersama yang jumlah

penyertaannya disesuaikan dengan jumlah kepemilikan sumur produksi atau jumlah

pengambilan air tanah.

Pemilik sumur pantau wajib memelihara sumur pantau dan melakukan pemantauan

kedudukan muka air tanah dan melaporkan hasilnya setiap 1 (satu) bulan kepada Walikota

melalui Dinas.

Penetapan lokasi titik, jaringan, dan konstruksi sumur pantau dan sumur resapan pada

cekungan air tanah ditentukan oleh Dinas.

Untuk rencana pengambilan air tanah yang dilakukan oleh pemohon dengan debit

kurang dari 50 (lima puluh) liter/detik pada satu sumur produksi wajib dilengkapi dokumen UKL

dan UPL. Untuk rencana pengambilan air tanah yang dilakukan oleh pemohon dengan debit 50

(lima puluh) liter/detik atau lebih, baik dari satu sumur maupun lebih produksi, wajib dilengkapi

dengan dokumen AMDAL. Hasil pelaksanaan UKL dan UPL sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) atau AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada Walikota

melalui Dinas.

h. Pengawasan dan Pengendalian

Pengawasan dan pengendalian kegiatan pengelolaan air tanah dilaksanakan oleh

Dinas. Pengawasan dan pengendalian meliputi:

a. lokasi titik pengambilan air tanah;

b. teknis konstruksi sumur bor, sumur gali, sumur pantek dan uji pemompaan;

c. pembatasan debit pengambilan air tanah;

d. penataan teknis dan pemasangan alat ukur debit pemompaan;

e. pendataan volume pengambilan air tanah;

f. teknis penurapan mata air; g. kajian hidrogeologi; dan

52

g. pelaksanaan UKL dan UPL atau Amdal.

Masyarakat dapat melaporkan kepada Dinas, apabila menemukan pelanggaran

pengambilan air tanah serta merasakan dampak negatif sebagai akibat pengambilan air tanah.

i. Pembiayaan

Biaya operasional pengawasan dan pengendalian air tanah dibebankan pada Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah.

j. Larangan

Setiap pemegang izin dilarang:

a. merusak, melepas, menghilangkan dan memindahkan meter air atau alat ukur

debit air dan atau merusak segel tera pada meter air atau alat ukur debit air;

b. mengambil air tanah dari pipa sebelum meter air atau alat ukur debit air;

c. mengambil air tanah melebihi debit yang ditentukan dalam izin;

d. menyembunyikan titik pengambilan atau lokasi pengambilan air tanah;

e. memindahkan letak titik pengambilan atau lokasi pengambilan air tanah;

f. memindahkan rencana letak titik pengeboran dan/atau letak titik penurapan atau

lokasi pengambilan air tanah;

g. mengubah konstruksi sumur bor atau penurapan mata air;

h. menyampaikan laporan pengambilan dan pemanfaatan air tanah atau

melaporkan tidak sesuai dengan kenyataan;

i. tidak melaporkan hasil rekaman sumur pantau;

j. tidak melaporkan pelaksanaan UKL dan UPL atau AMDAL; dan

k. tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam izin.

Pelanggaran akan dikenakan sanksi adminitratif berupa peringatan tertulis sebanyak 3

(tiga) kali secara berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 1 (satu) bulan.

Pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka

waktu peringatan dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara seluruh

kegiatan selama jangka waktu 3 (tiga) bulan.

Pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban setelah berakhirnya jangka waktu

penghentian sementara seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenakan

sanksi administratif berupa pencabutan izin.

53

k. Sanksi Administrasi

Setiap pemegang izin yang melanggar Peraturan Daerah ini dapat dikenakan sanksi

administrasi berupa :

a. pencabutan izin usaha perusahaan pemboran air tanah;

b. penyegelan alat pengeboran dan titik pengambilan air tanah;

c. pencabutan izin pengambilan dan pemanfaatan air tanah;

d. penutupan sumur bor atau bangunan penurapan mata air.

3.3. Ketentuan Penyidikan

(1) PPNS tertentu di lingkungan pemerintah daerah diberi wewenang khusus

sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang

pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah :

a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan

berkenaan dengan tindak pidana di bidang pengelolaan air tanah agar

keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;

b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau

badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak

pidana pengelolaan air tanah tersebut;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan

dengan tindak pidana dibidang pengelolaan air tanah;

d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen- dokumen lain berkenaan

dengan tindak pidana di bidang pengelolaan air tanah;

e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,

pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti

tersebut;

f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak

pidana di bidang pengelolaan air tanah;

g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau

tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas

orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;

h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang pengelolaan

air tanah;

i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi;

j. menghentikan penyidikan; dan/atau

k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana

54

dibidang pengelolaan air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan

dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

3.4. Ketentuan Pidana

Pemegang Izin yang melakukan pelanggaran ketentuan diancam dengan pidana

kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh

juta rupiah). Denda disetorkan ke Kas Daerah.

Selain tindak pidana yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup dan/atau

kerusakan kondisi dan lingkungan air tanah diancam pidana sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang- undangan.

Pasal 14 UU P3 dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, angka 112,

angka 117 dan angka 118menentukan:

1. Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-undang

dan Peraturan Daerah.

2. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas

pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah.

3. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau

perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal (-pasal) yang memuat norma tersebut.

Dengan demikian, perlu dihindari pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan

Perundang-undangan lain.

Ketentuan tersebut memberikan pemahaman, bahwa ketentuan pidana dapat dimuat

dalam Peraturan Daerah manakala dalam Peraturan Daerah telah dirumuskan norma primer

berupa norma larangan atau perintah. Ketentuan pidana diperlukan norma primer tatkala

dilanggar.

Isu hukumnya adalah mengenai ketentuan pidana yang dapat dimuat dalam Peraturan

Daerah atau materi muatan ketentuan pidana dalam Peraturan Daerah, bukan tentang

ketentuan pidana yang menjadi dasar hukum penegakan Peraturan Daerah. Ketika materi

muatan ketentuan pidana telah dirumuskan dalam Peraturan Daerah, maka isu hukumnya

adalah ketentuan pidana sebagai hukum penegakan Peraturan Daerah.

Naskah ini membedakan dua kategori ketentuan pidana, yakni: [1] ketentuan pidana

sebagai materi muatan Undang-Undang dan Peraturan Daerah, dan [2] ketentuan pidana

55

sebagai dasar hukum penegakan Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Ketentuan pidana

sebagai materi muatan Undang-Undang merupakan kewenangan badan legislatif, dalam hal ini

Dewan Perwakilan Rakyat, yang menurut Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 memegang kekuasaan

membentuk Undang-Undang. Berbeda dengan Undang-Undang, untuk Peraturan Daerah,

ketentuan pidana yang dapat dimuat di dalamnya, pembentuk Peraturan Daerah tidak

mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan ketentuan pidana yang dapat dimuat dalam

Peratruran Daerah. Melainkan harus mendasarkan pada UU Pemda.

Pasal 143 ayat (2) UU Pemda menentukan, Perda dapat memuat ancaman pidana

kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh

juta rupiah). Selanjutnya dalam ayat (3) ditentukan, Perda dapat memuat ancaman pidana

kurungan atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur tentang ancaman pidana yang dapat dimuat

dalam Perda (bukan ancaman pidana sebagai dasar penegakan hukum Undang-Undang), yang

memuat unsur-unsur:

1. Ancaman pidana yang dapat dimuat dalam Perda berupa pidana kurungan paling lama

6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Kewenangan pembentuk Peraturan Daerah menetapkan meteri muatan ketentuan

pidana berkisar pada angka-angka tersebut. Frase paling lama, membolehkan

pembentuk Peraturan Daerah menetapkan materi muatan ketentuan pidana berupa

pidana kurungan paling 3 (tiga) bulan, misalnya. Frase paling banyak, membolehkan

pembentuk Peraturan Daerah menetapkan materi muatan ketentuan pidana berupa

denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah), misalnya.

2. Ancaman pidana yang dapat dimuat dalam Perda sesuai dengan yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan lainnya.

Apabila terdapat Undang-Undang sektoral atau Peraturan Pemerintah yang mengatur,

bahwa Peraturan Daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan atau denda lebih

dari yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) tersebut, maka pembentuk Peraturan

Daerah dapat mencantumkannya dalam Peraturan Daerah.

3.5. Ketentuan Peralihan

Ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan Perundang-undangan

yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku, agar Peraturan

56

Perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan

hukum. Sehingga Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah akan

mempunyai narasi sebagai berikut : Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka izin yang

telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan Daerah ini, masih tetap berlaku sampai

dengan berakhirnya izin yang bersangkutan.

3.6. Ketentuan Penutup

Jika materi dalam Peraturan Perundang-undangan baru menyebabkan perlunya

penggantian seluruh atau sebagian materi dalam Peraturan Perundang-undangan lama, di

dalam Peraturan Perundangundangan baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan

seluruh atau sebagian Peraturan Perundang-undangan lama.

Rumusan pencabutan diawali dengan frase Pada saat Undang-Undang ini mulai

berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan

pencabutan tersendiri. Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan

hendaknya dirumuskan dengan tegas Peraturan Perundang-undangan mana yang dicabut,

dengan menggunakan frase dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, sehingga ketentuan

peralihan akan memiliki narasi sebagai berikut : Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku,

Peraturan Daerah Nomor…..Tahun ……. tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah, dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku. Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua perizinan

yang berkaitan dengan pengelolaan air tanah yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya

Peraturan Daerah ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir.

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Denpasar.

57

BAB VI PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di BAB terdahulu, dapat ditarik konklusi

sebagai berikut :

1. Peraturan Walikota Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pengaturan Perizinan,Peruntukan,

Penggunaan dan Pengusahaan Air Tanah. Perwali tersebut pada saat ini tidak dapat

menampung kebutuhan masyarakat dalam kaitannya pengaturan tentang Pengelolaan

air tanah). Peraturan Walikota tersebut pada saat ini tidak dapat menampung

kebutuhan masyarakat dalam kaitannya pengaturan tentang Pengelolaan Air Tanah.

2. Kewenangan pengaturan tentang Pengelolaan Air Tanah dapat disimak dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, Peraturan

Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah dan Menteri Energi Dan Sumber

Daya MineralNomor : 1451 K/10/Mem/2000 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan

Tugas Pemerintahan Di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah.

Berdasarkan pada dasar kewenenangan pembentukan Perda tentang Pengelolaan Air

Tanah tersebut pemerintah Kota Denpasar mempeunyai kewenangan untuk membentuk

Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Tanah.

B. Saran

Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat dapat memberikan

masukan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang

Pengelolaan Air Tanah, sesuai dengan asas keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi

masyarakat dalam Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 139 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah

2004.

58

DAFTAR PUSTAKA

A. Hamid S. Attamimi, ―Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV‖, Disertasi Doktor, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990.

Abdul Hamid Saleh Attamimi, ―UUD 1945­TAP MPR­Undang-undang: Kaitan Norma Hukum Ketiganya‖, dalam Padmo Wahjono, ed., Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, 1984.

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta, 1994.

Gede Marhaendra Wija Atmaja, ―Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar)‖, Tesis Magister, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995.

Gede Marhaendra Wija Atmaja, ―Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah‖, Disertasi Doktor, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2012.

59

DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANG

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3465).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858);

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859);

Peraturan Menteri Pengelolaan Air Tanah Republik Indonesia Nomor: 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Pengelolaan air tanah, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Pengelolaan Air Tanah Republik Indonesia Nomor: 39/M-DAG/PER/12/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pengelolaan Air Tanah Republik Indonesia Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Pengelolaan air tanah.

Peraturan Menteri Pengelolaan Air Tanah Republik Indonesia Nomor: 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Pengelolaan Air Tanah Republik Indonesia Nomor : 54/M-DAG/PER/18/2012 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Pengelolaan Air Tanah Nomor 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Ketentuan Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, Dan Pengendalian Minuman Beralkohol.

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah Kota Denpasar (Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2008 Nomor 4 Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar Nomor 4).

60

Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451/K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah

Peraturan Walikota Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pengaturan Perizinan,Peruntukan, Penggunaan dan Pengusahaan Air Tanah

1

Lampiran 1. Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pengelolaan Air Tanah

PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR

NOMOR........TAHUN........

TENTANG

PENGELOLAAN AIR TANAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA DENPASAR,

Menimbang: a. bahwa air tanah merupakan unsur yang sangat penting bagi kehidupan

masyarakat dalam menunjang kegiatan pembangunan, oleh karena itu

harus dikelola secara adil dan bijaksana dengan melakukan pengaturan

yang menyeluruh dan berwawasan lingkungan;

b. bahwa air tanah merupakan sumber daya alam yang harus dikelola

secara terpadu, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang

bertujuan untuk mewujudkan keseimbangan ketersediaan dan

pemanfaatannya serta berdampak terhadap kehidupan dan kelestarian

lingkungan;

c. bahwa hak atas air tanah merupakan hak guna air yang pengelolaannya

diselenggarakan untuk mewujudkan keseimbangan antara upaya

konservasi dan pendayagunaan air tanah;

d. bahwa pengelolaan air tanah di wilayah Kota Denpasar merupakan

sebagian urusan Pemerintah Kota Denpasar;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Peraturan Daerah

tentang Pengelolaan Air Tanah;

Mengingat: 1.

Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan

Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3465);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

2

Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4377);

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 37)

sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

5. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5059);

6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5234);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah

Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kota/Kota(Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan

Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4858);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA DENPASAR

dan

WALIKOTA DENPASAR

M E M U T U S K A N:

Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

BAB I

KETENTUAN UMUM

3

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

24. Kota adalah Kota Denpasar.

25. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Denpasar.

26. Walikota adalah Walikota Denpasar.

27. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan

tanah.

28. Akuifer adalah lapisan batuan jenuh air tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air

tanah dalam jumlah cukup dan ekonomis.

29. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat

semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air

tanah berlangsung.

30. Daerah imbuhan air tanah adalah daerah resapan air yang mampu menambah air tanah

secara alamiah pada cekungan air tanah.

31. Daerah lepasan air tanah adalah daerah keluaran air tanah yang berlangsung secara

alamiah pada cekungan air tanah.

32. Rekomendasi teknis adalah persyaratan teknis yang bersifat mengikat dalam pemberian

izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah.

33. Pengelolaan air tanah adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau,

mengevaluasi penyelenggaraan konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah, dan

pengendalian daya rusak air tanah.

34. Inventarisasi air tanah adalah kegiatan untuk memperoleh data dan informasi air tanah.

35. Konservasi air tanah adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan,

sifat, dan fungsi air tanah agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang

memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun

yang akan datang.

36. Pendayagunaan air tanah adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan,

pengembangan, dan pengusahaan air tanah secara optimal agar berhasil guna dan

berdayaguna.

37. Pengendalian daya rusak air tanah adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan

memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air tanah.

38. Pengeboran air tanah adalah kegiatan membuat sumur bor air tanah yang dilaksanakan

sesuai dengan pedoman teknis sebagai sarana eksplorasi, pengambilan, pemakaian dan

pengusahaan, pemantauan, atau imbuhan air tanah.

39. Penggalian air tanah adalah kegiatan membuat sumur gali, saluran air, dan terowongan

air untuk mendapatkan air tanah yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis

sebagai sarana eksplorasi, pengambilan, pemakaian dan pengusahaan, pemantauan,

atau imbuhan air tanah.

40. Hak guna air dari pemanfaatan air tanah adalah hak guna air untuk memperoleh dan

4

memakai atau mengusahakan air tanah untuk berbagai keperluan.

41. Hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah adalah hak untuk memperoleh dan

memakai air tanah.

42. Hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah adalah hak untuk memperoleh dan

mengusahakan air tanah.

43. Izin pemakaian air tanah adalah izin untuk memperoleh hak guna pakai air dari

pemanfaatan air tanah.

44. Izin pengusahaan air tanah adalah izin untuk memperoleh hak guna usaha air dari

pemanfaatan air tanah.

45. Badan usaha adalah badan usaha, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.

46. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang air tanah.

BAB II

AZAS, MAKSUD DAN TUJUAN PENGELOLAAN AIR TANAH

Pasal 2

Pengelolaan air tanah berdasarkan azas pemanfaatan, keseimbangan, dan

berkesinambungan.

Pasal 3 Air tanah dikelola dengan prinsip keterpaduan dengan air permukaan.

Pasal 4 Maksud pengelolaan air tanah adalah:

f. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam pemanfaatan

sumber daya air;

g. terwujudnya masyarakat yang memiliki sikap dan tindak melindungi serta

membina sumber daya air;

h. tercapainya kepentingan akan kebutuhan air bagi generasi sekarang dan

generasi yang akan datang;

i. tercapainya kesinambungan fungsi sumber daya air; dan

j. terkendalinya pemanfaatan sumber daya air secara bijaksana.

Pasal 5

Sumber daya air termasuk di dalamnya air tanah dikelola secara menyeluruh, terpadu

dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan untuk mewujudkan kemanfaatan air

yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

5

BAB III

LANDASAN PENGELOLAAN AIR TANAH

Pasal 6

Pengelolaan air tanah didasarkan pada cekungan air tanah yang diselenggarakan

berlandaskan pada kebijakan pengelolaan air tanah dan strategi pengelolaan air tanah.

Pasal 7

(1) Hak atas air tanah adalah hak guna air.

(2) Hak guna air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa hak guna pakai air dan

hak guna usaha air.

(3) Hak guna air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat

dipindahtangankan sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain.

Pasal 8

(2) Hak guna pakai air tanah diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan air minum

dan rumah tangga dengan debit pemakaian tidak melebihi 100 meter kubik per

bulan dan tidak dikomersilkan.

(3) Hak guna pakai air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan izin

apabila :

a. cara pengambilannya dapat menimbulkan kerusakan akuifer; dan/atau

b. ditujukan untuk memenuhi kebutuhan selain sebagaimana dimaksud pada ayat

(1).

BAB IV

WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB

Pasal 9

(2) Wewenang dan tanggung jawab Walikota meliputi:

a. menyusun dan menetapkan kebijakan pengelolaan air tanah Kota dengan

mengacu pada kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi dan berpedoman

pada kebijakan pengelolaan sumber daya air tanah pada tingkat Kota;

b. menetapkan kerangka dasar pengelolaan air tanah pada cekungan air tanah

Kota;

c. menetapkan rencana pengelolaan air tanah Kota;

d. mengatur dan menetapkan penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan,

air tanah pada cekungan air tanah Kota;

e. menyediakan dukungan dalam pengembangan dan pemanfaatan air tanah;

f. menentukan cekungan air tanah skala lebih besar dari 1 : 50.000;

g. mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan air tanah dalam rangka inventarisasi,

6

konservasi, dan pendayagunaan air tanah pada cekungan air tanah Kota;

h. memberikan rekomendasi teknis penerbitan izin penggalian, pengeboran,

penurapan, dan pengambilan air tanah termasuk mata air pada cekungan air

tanah sekitar Kota;

i. mengelola dan memberikan pelayanan data dan informasi air tanah di Kota;

j. menetapkan daerah imbuhan dan lepasan air tanah pada cekungan air tanah

Kota;

k. menetapkan dan mengatur jaringan sumur pantau pada cekungan air tanah

Kota;

l. melaksanakan pengelolaan air tanah sesuai ketentuan teknis yang ditetapkan

oleh Menteri; dan

m. melakukan pemantauan, pengendalian, dan pengawasan pengelolaan air tanah

pada cekungan air tanah Kota.

(3) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kebijakan teknis

pengelolaan air tanah Kota dan ditujukan dalam penyelenggaraan konservasi tanah,

pendayagunaan air tanah, pengendalian daya rusak air tanah, dan informasi air

tanah.

(4) Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

didelegasikan kepada Kepala Dinas.

(5) Dalam melaksanakan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada

ayat (3), Kepala Dinas berkoordinasi dengan instansi terkait.

BAB V

PENGELOLAAN AIR TANAH

Bagian Kesatu Inventarisasi

Pasal 10

(1) Inventarisasi air tanah dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi air

tanah.

(2) Inventarisasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada setiap

cekungan air tanah.

(3) Inventarisasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui

kegiatan pemetaan, penyelidikan, dan penelitian, eksplorasi, serta evaluasi data air

tanah untuk menentukan :

a. kuantitas dan kualitas air tanah;

b. kondisi lingkungan hidup dan potensi yang terkait dengan air tanah;

c. sebaran cekungan air tanah;

d. daerah imbuhan dan lepasan air tanah;

e. geometri dan karakteristik akuifer;

7

f. neraca dan potensi air tanah;

g. perencanaan pengelolaan air tanah;

h. pengambilan dan pemanfaatan air tanah; dan

i. upaya konservasi air tanah.

(4) Kegiatan inventarisasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

untuk penyusunan pengembangan terpadu air tanah yang disajikan pada peta skala

lebih besar dari 1 : 50.000.

(5) Hasil inventarisasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan

sebagai dasar perencanaan konservasi dan pendayagunaan air tanah.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara inventarisasi air tanah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.

Bagian Kedua Penetapan Zona Konservasi

Pasal 11

(1) Data dan informasi hasil kegiatan inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

10 digunakan sebagai bahan penyusunan zona konservasi air tanah.

(2) Zona konservasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh

Walikota sesuai dengan kewenangannya setelah melalui konsultasi publik dengan

mengikutsertakan instansi teknis dan unsur masyarakat terkait.

(3) Zona konservasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat ketentuan

mengenai konservasi dan pendayagunaan air tanah pada cekungan air tanah.

(4) Zona konservasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disajikan dalam

bentuk peta yang diklasifikasikan menjadi:

a. zona perlindungan air tanah yang meliputi daerah imbuhan air tanah; dan

b. zona pemanfaatan air tanah yang meliputi zona aman, rawan, kritis, dan rusak.

(5) Zona konservasi air tanah yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dapat ditinjau kembali apabila terjadi perubahan kuantitas, kualitas, dan/atau

lingkungan air tanah pada cekungan air tanah yang bersangkutan.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan zona konservasi air tanah

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.

Bagian Ketiga Konservasi

Paragraf 1

Umum

Pasal 12

(1) Konservasi air tanah ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan, daya

8

dukung, dan fungsi air tanah.

(2) Konservasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertumpu pada asas

kelestarian, kesinambungan ketersediaan, dan kemanfaatan air tanah serta

lingkungan keberadaannya.

(3) Pelaksanaan konservasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan

pada:

a. hasil inventarisasi, identifikasi dan evaluasi cekungan air tanah;

b. hasil kajian daerah imbuhan dan lepasan air tanah;

c. rencana pengelolaan air tanah pada cekungan air tanah; dan

d. hasil pemantauan perubahan kondisi dan lingkungan air tanah.

Pasal 13

(1) Konservasi air tanah dilakukan secara menyeluruh pada cekungan air tanah

mencakup daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah melalui:

a. penentuan zona konservasi air tanah;

b. perlindungan dan pelestarian air tanah;

c. pengawetan air tanah;

d. pemulihan air tanah;

e. pengendalian pencemaran air tanah; dan

f. pengendalian kerusakan air tanah.

(2) Konservasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menjadi salah

satu pertimbangan dalam perencanaan pendayagunaan air tanah dan perencanaan

tata ruang wilayah.

Pasal 14

(1) Semua pihak yang berkaitan dengan kegiatan pendayagunaan air tanah wajib

melaksanakan konservasi air tanah.

(2) Kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berpotensi mengubah

atau merusak kondisi dan lingkungan air tanah wajib disertai dengan upaya

konservasi air tanah.

Pasal 15

(1) Untuk menjamin keberhasilan konservasi air tanah dilakukan pemantauan air tanah.

(2) Pemantauan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk

mengetahui perubahan kualitas, kuantitas, dampak lingkungan akibat pengambilan

dan pemanfaatan air tanah, dan/atau perubahan lingkungan.

(3) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada sumur pantau

9

dan/atau sumur produksi dengan cara :

a. mengukur dan mencatat kedudukan muka air tanah;

b. mengukur dan mencatat debit mata air;

c. memeriksa sifat fisika, kandungan unsur kimia, kandungan biologi atau radioaktif

dalam air tanah;

d. memetakan perubahan kualitas dan/atau kuantitas air tanah;

e. mencatat jumlah pengambilan dan pemanfaatan air tanah; dan

f. mengamati dan mengukur perubahan lingkungan fisik akibat pengambilan air

tanah.

(4) Pemantauan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara

berkala sesuai dengan jenis kegiatan pemantauan.

(5) Hasil pemantauan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa rekaman

data yang merupakan bagian dari sistem informasi air tanah Kota.

(6) Hasil pemantauan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan oleh

Walikota sesuai dengan kewenangannya sebagai bahan evaluasi pelaksanaan

konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air tanah.

Pasal 16

(1) Sumur pantau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) digunakan sebagai

alat pengendalian penggunaan air tanah.

(2) Sumur pantau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disediakan dan

dipelihara oleh Walikota dan atau pemegang izin sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 17

(1) Walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan jaringan sumur pantau pada

setiap cekungan air tanah berdasarkan:

a. kondisi geologis dan hidrogeologis cekungan air tanah;

b. sebaran sumur produksi dan intensitas pengambilan air tanah; dan

c. kebutuhan pengendalian penggunaan air tanah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jaringan sumur pantau sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.

Paragraf 2 Perlindungan dan Pelestarian

Pasal 18

(1) Perlindungan dan pelestarian air tanah ditujukan untuk melindungi dan melestarikan

kondisi dan lingkungan serta fungsi air tanah.

10

(2) Untuk melindungi dan melestarikan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Walikota sesuai kewenangannya menetapkan kawasan lindung air tanah.

(3) Pelaksanaan perlindungan dan pelestarian air tanah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan dengan: a. menjaga daya dukung dan fungsi daerah imbuhan air

tanah; b. menjaga daya dukung akuifer; dan/atau c. memulihkan kondisi dan

lingkungan air tanah pada zona kritis dan zona rusak.

Bagian Keempat Pendayagunaan

Paragraf 1

Umum

Pasal 19

(1) Perencanaan pendayagunaan air tanah dilaksanakan sebagai dasar

pendayagunaan air tanah pada cekungan air tanah.

(2) Kegiatan perencanaan pendayagunaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilakukan dalam rangka pengaturan pengambilan dan pemanfaatan serta

pengendalian air tanah.

(3) Perencanaan pendayagunaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

didasarkan pada hasil inventarisasi dan konservasi air tanah.

(4) Dalam melaksanakan perencanaan pendayagunaan air tanah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) wajib melibatkan peran serta masyarakat .

(5) Hasil perencanaan pendayagunaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

merupakan salah satu dasar dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah.

Pasal 20

(1) Pendayagunaan air tanah ditujukan untuk memanfaatkan air tanah dengan

mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat secara adil

dan berkelanjutan.

(2) Pendayagunaan air tanah dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan air

tanah.

(3) Pendayagunaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

a. penatagunaan;

b. penyediaan;

c. penggunaan;

d. pengembangan; dan

e. pengusahaan.

(4) Walikota sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan pendayagunaan air

tanah dengan mengikutsertakan masyarakat.

11

Paragraf 2

Penggunaan

Pasal 21

(1) Penggunaan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf c

ditujukan untuk pemanfaatan air tanah dan prasarana pada cekungan air tanah.

(2) Penggunaan air tanah terdiri atas pemakaian air tanah dan pengusahaan air tanah.

(3) Penggunaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai

dengan penatagunaan dan penyediaan air tanah yang telah ditetapkan pada

cekungan air tanah.

(4) Penggunaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

mengutamakan pemanfaatan air tanah pada akuifer dalam yang pengambilannya

tidak melebihi daya dukung akuifer terhadap pengambilan air tanah.

(5) Debit pengambilan air tanah ditentukan berdasar atas:

a. daya dukung akuifer terhadap pengambilan air tanah;

b. kondisi dan lingkungan air tanah;

c. alokasi penggunaan air tanah bagi kebutuhan mendatang; dan

d. penggunaan air tanah yang telah ada.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan air tanah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.

Pasal 22

(1) Urutan prioritas peruntukan pemanfaatan air tanah ditetapkan sebagai berikut :

a. air minum;

b. air untuk rumah tangga;

c. air untuk peternakan dan pertanian rakyat;

d. air untuk irigasi;

e. air untuk industri;

f. air untuk pertambangan;

g. air untuk usaha perdagangan; dan

h. air untuk kepentingan lainnya.

(2) Urutan prioritas peruntukan pemanfaatan air tanah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat berubah dengan memperhatikan kepentingan umum dan kondisi

setempat.

(3) Peruntukan pemanfaatan air tanah untuk keperluan selain air minum dapat

ditentukan apabila tidak dapat dipenuhi dari sumber air lainnya.

12

BAB VI PENGELOLAAN DATA AIR TANAH

Pasal 23

(1) Data dan informasi air tanah pada Instansi/Lembaga Pemerintah dan Swasta

dilaporkan kepada Walikota melalui Dinas.

(2) Data dan informasi hasil kegiatan inventarisasi, konservasi, dan pendayagunaan air

tanah wajib disampaikan kepada Walikota melalui Dinas.

(3) Walikota mengirim data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Menteri dan

Gubernur dengan tembusan ke DPRD.

(4) Data dan informasi air tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)

dikelola oleh Walikota sebagai dasar pengelolaan air tanah.

BAB VII PERIZINAN

Bagian Kesatu

Izin dan Jenis Izin

Pasal 24

(2) Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi meliputi pengeboran, penggalian, penurapan,

dan pengambilan air tanah hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh izin dari

Walikota.

(3) Kegiatan eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak memerlukan

izin adalah:

a. pengambilan dan pemanfaatan air untuk keperluan peribadatan,

penanggulangan bahaya kebakaran, penelitian ilmiah, dan keperluan air minum

dan/atau rumah tangga dengan jumlah pengambilan kurang dari 100 meter kubik

per bulan dan sampai kedalaman 60 meter; dan

b. keperluan pembuatan sumur imbuhan.

Pasal 25

(2) Jenis izin pengelolaan air tanah meliputi:

a. izin pengeboran eksplorasi air tanah;

b. izin pengeboran eksploitasi air tanah;

c. izin juru bor;

d. izin penurapan mata air;

e. izin pengambilan air tanah;

f. izin pengambilan air dari mata air;

g. izin sumur pantek;

h. izin pembuatan sumur pantau;

13

i. izin pengambilan dan pemanfaatan air sumur pantek; dan

j. izin perusahaan pengeboran air tanah.

(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas nama pemohon untuk

setiap titik pengambilan air.

(4) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada

Walikota melalui Dinas.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan izin

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Walikota.

Pasal 26

(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) ditetapkan oleh Walikota

berdasarkan kelengkapan persyaratan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindahtangankan kecuali

dengan persetujuan Walikota.

Bagian Kedua

Tata Cara Memperoleh Izin

Pasal 27

(1) Untuk memperoleh izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah,

pemohon wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Walikota melalui

Dinas dengan tembusan kepada Gubernur.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri informas;

a. peruntukan dan kebutuhan air tanah;

b. rencana pelaksanaan pengeboran atau penggalian air tanah; dan

c. UKL atau UPL atau Amdal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 28

(1) Izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah diterbitkan oleh Walikota.

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya disampaikan kepada

Gubernur.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dengan Peraturan Walikota.

14

Pasal 29

(1) Setiap izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah yang telah

diterbitkan Walikota, disertai dengan kewajiban untuk membuat sumur resapan.

(2) Tata cara pelaksanaan kewajiban pembuatan sumur resapan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.

Pasal 30

(1) Setiap pemohon izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah yang

mengambil air tanah di zona kritis wajib melakukan eksplorasi air tanah.

(2) Hasil eksplorasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai

dasar perencanaan:

a. kedalaman pengeboran atau penggalian air tanah;

b. penempatan saringan pada pekerjaan konstruksi; dan

c. debit dan kualitas air tanah yang akan dimanfaatkan.

Pasal 31

(1) Pemegang izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah hanya dapat

melakukan pengeboran atau penggalian air tanah di lokasi yang telah ditetapkan.

(2) Pengeboran dan penggalian air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya

dapat dilakukan oleh instansi pemerintah, perseorangan atau perusahaan yang

memenuhi kualifikasi dan klasifikasi untuk melakukan pengeboran atau penggalian

air tanah.

(3) Perusahaan pengeboran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus merupakan

badan usaha yang telah memiliki Izin Perusahaan Pengeboran Air Tanah dan

Sertifikat Badan Usaha Jasa Pengeboran Air Tanah.

(4) Kualifikasi dan klasifikasi untuk melakukan pengeboran dan penggalian air tanah

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperoleh melalui:

a. sertifikasi instalasi bor air tanah; dan

b. sertifikasi keterangan juru pengeboran air tanah.

(5) Pelaksanaan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diselenggarakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi dan klasifikasi untuk melakukan

pengeboran atau penggalian air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur

dengan Peraturan Walikota.

15

Bagian Ketiga Jangka Waktu Izin

Pasal 32

(1) Jangka waktu izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah dapat

diberikan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang.

(2) Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Walikota.

(3) Dalam proses perpanjangan izin harus memperhatikan:

a. ketersediaan air tanah; dan

b. kondisi dan lingkungan air tanah.

Bagian Keempat Evaluasi

Pasal 33

(1) Walikota melakukan evaluasi terhadap izin pemakaian air tanah atau izin

pengusahaan air tanah yang diterbitkan.

(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan mulai dari kegiatan

pengeboran atau penggalian.

(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap debit dan

kualitas air tanah yang dihasilkan guna menetapkan kembali debit yang akan

dipakai atau diusahakan sebagaimana tercantum dalam izin.

(4) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan laporan hasil

pelaksanaan pengeboran atau penggalian air tanah.

(5) Laporan hasil pelaksanaan pengeboran atau penggalian air tanah sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) paling sedikit memuat:

a. gambar penampang litologi dan penampang sumur;

b. hasil analisis fisika dan kimia air tanah;

c. hasil analisis uji pemompaan terhadap akuifer yang disadap; dan

d. gambar konstruksi sumur berikut bangunan di atasnya.

Bagian Kelima Pencabutan Izin

Pasal 34

Izin pemakaian air tanah atau izin penggunaan air tanah dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku apabila:

a. pemegang izin tidak mengajukan perpanjangan izin;

b. izin dikembalikan oleh pemegang izin;

c. pemegang izin tidak mematuhi ketentuan yang tercantum dalam surat izin atau

ketentuan lainnya; dan

16

d. berdasarkan pertimbangan teknis menimbulkan dampak negatif yang tidak dapat

diperkirakan sebelumnya.

BAB VIII

HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN

Pasal 35 Setiap pemegang izin pemakaian air tanah atau izin penggunaan air tanah berhak untuk

memperoleh dan menggunakan air tanah sesuai dengan ketentuan yang tercantum

dalam izin.

Pasal 36

Pemegang izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berkewajiban:

f. memasang meter air atau alat pengukur debit pada setiap titik pengambilan air

tanah sesuai ketentuan yang berlaku;

g. melaporkan pelaksanaan UKL, UPL, atau Amdal;

h. memberikan sebagian air kepada masyarakat sekitar kecuali ketersediaan air

tersebut tidak terganggu;

i. pemegang izin berkewajiban membayar pajak air tanah dari air tanah yang

diambil; dan

j. mengikutsertakan karyawannya dalam program perlindungan tenaga kerja.

Pasal 37

Pemegang izin pengambilan air tanah dan pengambilan air dari mata air wajib :

c. melaporkan hasil kegiatan secara tertulis kepada Walikota melalui Dinas; dan

d. melaporkan hasil kegiatan pengambilan air tanah dan hasil rekaman sumur

pantau secara tertulis setiap bulan kepada Walikota melalui Dinas.

Pasal 38

(1) Setiap titik atau lokasi pengambilan air tanah dan air dari mata air yang telah

mendapat izin harus dilengkapi dengan meter air atau alat pengukur debit air yang

sudah ditera atau dikalibrasi oleh Instansi Teknis yang berwenang.

(2) Pengawasan dan pengendalian pemasangan meter air atau alat pengukur debit air

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dinas dan instansi teknis yang

berwenang.

(3) Pemegang izin wajib memelihara dan bertanggung jawab atas kerusakan meter air.

17

Pasal 39

(2) Pemohon izin baik secara sendiri-sendiri maupun bersama- sama wajib

menyediakan sumur pantau berikut kelengkapannya untuk memantau kedudukan

muka air tanah di sekitarnya.

(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di:

a. setiap keberadaan 1 (satu) sumur produksi dengan debit pengambilan 50 (lima

puluh) liter/detik atau lebih;

b. setiap keberadaan lebih dari 1 (satu) sumur produksi pada 1 (satu) sistem akuifer

dengan total debit pengambilan 50 (lima puluh) liter/detik atau lebih dalam areal

pengambilan air tanah seluas kurang dari 10 (sepuluh) hektar;

c. setiap keberadaan 5 (lima) sumur produksi dari 1 (satu) sistem dalam areal

pengambilan air tanah seluas kurang dari 10 (sepuluh) hektar; dan

d. di tempat-tempat tertentu yang kondisi air tanahnya dinyatakan rawan dan kritis.

(4) Pengelolaan sumur pantau berikut alat pantaunya sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) huruf b dan huruf c yang kepemilikannya lebih dari 1 (satu) orang atau lebih

dari 1 (satu) badan usaha, biaya pengadaannya ditanggung bersama.

(5) Besarnya biaya pengadaan sumur pantau sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

ditanggung bersama yang jumlah penyertaannya disesuaikan dengan jumlah

kepemilikan sumur produksi atau jumlah pengambilan air tanah.

(6) Pemilik sumur pantau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memelihara

sumur pantau dan melakukan pemantauan kedudukan muka air tanah dan

melaporkan hasilnya setiap 1 (satu) bulan kepada Walikota melalui Dinas.

(7) Penetapan lokasi titik, jaringan, dan konstruksi sumur pantau dan sumur resapan

pada cekungan air tanah ditentukan oleh Dinas.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewajiban sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) ditetapkan dengan Keputusan

Walikota.

Pasal 40

(1) Untuk rencana pengambilan air tanah yang dilakukan oleh pemohon dengan debit

kurang dari 50 (lima puluh) liter/detik pada satu sumur produksi wajib dilengkapi

dokumen UKL dan UPL.

(2) Untuk rencana pengambilan air tanah yang dilakukan oleh pemohon dengan debit

50 (lima puluh) liter/detik atau lebih, baik dari satu sumur maupun lebih produksi,

wajib dilengkapi dengan dokumen AMDAL.

(3) Hasil pelaksanaan UKL dan UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau

AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada Walikota

melalui Dinas.

18

BAB IX PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 41

(2) Pengawasan dan pengendalian kegiatan pengelolaan air tanah dilaksanakan oleh

Dinas.

(3) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:

a. lokasi titik pengambilan air tanah;

b. teknis konstruksi sumur bor, sumur gali, sumur pantek dan uji pemompaan;

c. pembatasan debit pengambilan air tanah;

d. penataan teknis dan pemasangan alat ukur debit pemompaan;

e. pendataan volume pengambilan air tanah;

f. teknis penurapan mata air; g. kajian hidrogeologi; dan

g. pelaksanaan UKL dan UPL atau Amdal.

Pasal 42

Masyarakat dapat melaporkan kepada Dinas, apabila menemukan pelanggaran

pengambilan air tanah serta merasakan dampak negatif sebagai akibat pengambilan air

tanah.

BAB X PEMBIAYAAN

Pasal 43

Biaya operasional pengawasan dan pengendalian air tanah dibebankan pada Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah.

BAB XI LARANGAN

Pasal 44

(2) Setiap pemegang izin dilarang:

a. merusak, melepas, menghilangkan dan memindahkan meter air atau alat ukur

debit air dan atau merusak segel tera pada meter air atau alat ukur debit air;

b. mengambil air tanah dari pipa sebelum meter air atau alat ukur debit air;

c. mengambil air tanah melebihi debit yang ditentukan dalam izin;

d. menyembunyikan titik pengambilan atau lokasi pengambilan air tanah;

e. memindahkan letak titik pengambilan atau lokasi pengambilan air tanah;

f. memindahkan rencana letak titik pengeboran dan/atau letak titik penurapan atau

lokasi pengambilan air tanah;

19

g. mengubah konstruksi sumur bor atau penurapan mata air;

h. menyampaikan laporan pengambilan dan pemanfaatan air tanah atau

melaporkan tidak sesuai dengan kenyataan;

i. tidak melaporkan hasil rekaman sumur pantau;

j. tidak melaporkan pelaksanaan UKL dan UPL atau AMDAL; dan

k. tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam izin.

(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan

dikenakan sanksi adminitratif berupa peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali

secara berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 1 (satu) bulan.

(4) Pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka

waktu peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi

administratif berupa penghentian sementara seluruh kegiatan selama jangka waktu

3 (tiga) bulan.

(5) Pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban setelah berakhirnya jangka

waktu penghentian sementara seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(3), dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin.

BAB XII PENYIDIKAN

Pasal 45

(3) PPNS tertentu di lingkungan pemerintah daerah diberi wewenang khusus sebagai

penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pengelolaan air tanah

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana.

(4) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah :

a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan

berkenaan dengan tindak pidana di bidang pengelolaan air tanah agar

keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;

b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau

badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak

pidana pengelolaan air tanah tersebut;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan

dengan tindak pidana dibidang pengelolaan air tanah;

d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen- dokumen lain berkenaan

dengan tindak pidana di bidang pengelolaan air tanah;

e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,

pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti

tersebut;

f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak

20

pidana di bidang pengelolaan air tanah;

g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau

tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas

orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;

h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang pengelolaan

air tanah;

i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi;

j. menghentikan penyidikan; dan/atau

k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana

dibidang pengelolaan air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(5) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya

penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana.

BAB XIII SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 46

Setiap pemegang izin yang melanggar Peraturan Daerah ini dapat dikenakan sanksi

administrasi berupa :

a. pencabutan izin usaha perusahaan pemboran air tanah;

b. penyegelan alat pengeboran dan titik pengambilan air tanah;

c. pencabutan izin pengambilan dan pemanfaatan air tanah;

d. penutupan sumur bor atau bangunan penurapan mata air.

BAB XIV SANKSI PIDANA

Pasal 47

(1) Pemegang Izin yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 30, Pasal 36,

Pasal 37, Pasal 38 ayat (3), Pasal 39, Pasal 40 dan Pasal 44 diancam dengan

pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke Kas Daerah.

(3) Selain tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menyebabkan

21

terjadinya kerusakan lingkungan hidup dan/atau kerusakan kondisi dan lingkungan

air tanah diancam pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

BAB XV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 48 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka izin yang telah diterbitkan sebelum

ditetapkannya Peraturan Daerah ini, masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya

izin yang bersangkutan.

BAB XVI KETENTUAN PENUTUP

Pasal 49

(1) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor…..Tahun

……. tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

(2) Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua perizinan yang berkaitan

dengan pengelolaan air tanah yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya

Peraturan Daerah ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya

berakhir.

Pasal 50

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Denpasar.

Ditetapkan di Denpasar pada tanggal............................. WALIKOTA DENPASAR RAI DHARMA WIJAYA MANTRA Diundangkan di Denpasar Pada tanggal SEKRETARIS DAERAH KOTA DENPASAR A.A. NGR RAI ISWARA

22

LEMBARAN DAERAH KOTA DENPASAR TAHUN.................NOMOR.......................

23

Lampiran 2. Rancangan Penjelasan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang

Pengelolaan Air Tanah

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR

NOMOR TAHUN

TENTANG

PENGELOLAAN AIR TANAH

I. UMUM Air tanah adalah salah satu elemen terpenting dalam kehidupan manusia, demikian juga

merupakan unsur yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat dalam menunjang kegiatan pembangunan. Oleh karena sudah selayaknyalah air tanah dikelola secara adil dan bijaksana dan menyeluruh serta berwawasan lingkungan.

Selanjutnya, air tanah merupakan sumber daya alam yang harus dikelola secara terpadu, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang bertujuan untuk mewujudkan keseimbangan ketersediaan dan pemanfaatannya serta berdampak terhadap kehidupan dan kelestarian lingkungan.

Hak atas air tanah dalam peraturan daerah ini merupakan hak guna air yang pengelolaannya diselenggarakan untuk mewujudkan keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan air tanah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas

Pasal 3

Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5

Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8

Cukup jelas Pasal 9

Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11

Cukup jelas. Pasal 12

24

Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16

Cukup jelas Pasal 17

Cukup jelas. Pasal 18

Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21

Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36 Cukup jelas.

Pasal 37

25

Cukup jelas

Pasal 38 Cukup jelas.

Pasal 39 Cukup jelas.

Pasal 40 Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Cukup jelas

Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA DENPASAR…..NOMOR…….