narasi paparan menhut-bkprn2011manado

10
KEBIJAKAN PERCEPATAN PENYELESAIAN PENATAAN KAWASAN HUTAN DALAM PERENCANAAN TATA RUANG Disampaikan Pada : Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional Manado, 30 November 2011

Upload: reins-samudera-merah

Post on 08-Nov-2015

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Narasi Paparan MEnhut

TRANSCRIPT

KEBIJAKAN PERCEPATAN PENYELESAIAN

PENATAAN KAWASAN HUTAN DALAM

PERENCANAAN TATA RUANG

Disampaikan Pada :Rapat Kerja Nasional (Rakernas)

Badan Koordinasi Penataan Ruang NasionalManado, 30 November 2011

PAPARAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA RAKERNAS BKPRN TANGGAL 30 NOVEMBER 2011 DI MANADO

Assalamuaialkum warahmatullahi wabarokatuh, selamat siang serta salam sejahtera bagi kita semua.

Yang terhormat Menko Perekonomian (selaku ketua BKPRN), Yang terhormat para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu ke dua yang tergabung dalam BKPRN,

Hadirin sekalian yang berbahagia.

Pertama-tama marilah kita panjatkan Puji dan Syukur Kehadirat Allah SWT karena atas berkat Rahmat dan HidayahNYA, kita bersama dapat menyelenggarakan Rakernas BKPRN dalam keadaan sehat walafiat.

Selanjutnya, pada kesempatan Rakernas ini sesuai agenda sidang, saya akan menyampaikan hal-hal yang terkait dengan Kebijakan Percepatan Penyelesaian Penataan Kawasan Hutan Dalam Perencanaan Tata Ruang.

Hadirin peserta Rakernas yang saya hormati;Visi Pembangunan Kehutanan adalah memantapkan kepastian status kawasan hutan serta kualitas data dan informasi kehutanan, meningkatkan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) untuk memperkuat kesejahteraan rakyat sekitar hutan dan keadilan berusaha, memantapkan penyelenggaraan perlindungan dan konservasi sumberdaya alam, memelihara dan meningkatkan fungsi dan daya dukung daerah aliran sungai (DAS) sehingga dapat meningkatkan optimalisasi fungsi ekologi, ekonomi dan sosial DAS, serta meningkatkan ketersediaan produk teknologi dasar dan terapan serta kompetensi SDM dalam mendukung penyelenggaraan pengurusan hutan secara optimal.

Untuk menunjang hal tersebut, beberapa program prioritas Kementerian Kehutanan, antara lain: Pemantapan Kawasan Hutan, Rehabilitasi Hutan dan Peningkatan daya dukung DAS, Pengamanan dan Pengendalian Kebakaran Hutan, Konservasi Keanekaragaman Hayati, Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehu-tanan, Pemberdayaan Masyarakat didalam dan disekitar Hutan, Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan, dan Penguatan Kelembagaan Kehutanan.

Hadirin peserta Rakernas yang saya hormati;Sejarah kawasan hutan di Indonesia dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan, sejalan dengan perubahan kebijakan yang mempengaruhi status dan fungsi kawasan hutan. Ada beberapa periode kebijakan kawasan yang berpengaruh terhadap kondisi kawasan hutan Indonesia, yaitu periode berlakunya UU No. 5 tahun 1967 dimana hutan register dan penunjukan parsial kawasan hutan menjadi rujukan serta kawasan hutan yang dirujuk sesuai dengan peta TGHK; periode berlakunya UU No. 24/1992 dimana keberadaan kawasan hutan sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, sehingga kawasan hutan sesuai TGHK perlu dipadukan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; periode berlakunya UU No. 41 tahun 1999, dimana hasil paduserasi antara TGHK dan RTRWP ditetapkan sebagai peta penunjukan kawasan hutan; dan periode terahir adalah periode diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 26 Tahun 2007, dimana status dan fungsi kawasan hutan harus dikaji kembali eksistensinya sesuai usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam rangka review RTRW Provinsi. Selanjutnya saya akan memberikan gambaran tentang kondisi kawasan hutan Indonesia saat ini. Data sampai dengan bulan Juni tahun 2011 menunjukkan bahwa luas kawasan hutan Indonesia adalah 130,68 juta ha, terdiri dari hutan konservasi (26,8 juta ha), hutan lindung (28,8 juta ha), hutan produksi (32,6 juta ha), hutan produksi terbatas (24,4 juta ha), dan hutan produksi konversi (17,9 juta ha). Sedangkan dari data penutupan hutan, terdapat hutan primer seluas 41,3 juta ha, hutan sekunder seluas 45,5 juta ha, hutan tanaman seluas 2,8 juta ha, dan bukan berupa hutan seluas 41,0 juta ha.

Luas kawasan hutan ini cenderung terus berkurang seiring dengan penyelesaian kajian perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam rangka review RTRWP oleh Tim Terpadu. Dalam dinamika pembangunan saat ini, kondisi eksisting kawasan hutan di lapangan sudah banyak yang berubah menjadi permukiman permanen, Fasum dan Fasos yang tidak mungkin lagi dipertahankan sebagai kawasan hutan. Hadirin peserta Rakernas yang saya hormati;Posisi kawasan hutan dalam RTRWP akan mengisi pola ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pada posisi kawasan lindung, kawasan hutan akan memberikan fungsi perlindungan dan fungsi konservasi, dan dalam konteks kehutanan maka pola ruang yang demikian dijadikan sebagai kawasan hutan Lindung, Kawasan Hutan Gambut, dan Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam (KSA/KPA). Sedangkan pada kawasan budidaya, kawasan hutan dikelola untuk mendukung produksi hasil hutan (kayu, non kayu dan jasa lingkungan) seperti yang dilakukan pada setiap kawasan hutan produksi (HPT, HP, dan HPK) yang diarahkan unutk tujuan produksi komoditas kehutanan. Dalam hal pemanfaatan pola ruang kehutanan yang tumpang tindih dengan pola ruang untuk pembangunan diluar kepentingan kehutanan pada kawasan hutan seperti pertambangan, pertanian, perikanan, pemukiman, dan atau wilayah industri, maka peraturan dibidang kehutanan memungkinkan untuk mengakomodir sebagian kawasan hutan untuk pembangunan non kehutanan tersebut melalui pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan. Sedangkan untuk pembangunan non kehutanan yang permanen dan mengubah land use kawasan hutan seperti untuk transmigrasi/pemukiman, perkebunan, dan pertanian, maka dapat ditempuh melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan, atau tukar menukar kawasan hutan. Dalam hal terdapat tumpang tindih ruang untuk kepentingan pembangunan non kehutanan pada kawasan konservasi, maka secara selektif dapat ditempuh malalui kolaborasi pengelolaan dengan pemangku kawasan konservasi.

Hadirin peserta Rakernas yang saya hormati;UU No. 26 Tahun 2007 antara lain mengamanatkan agar Pemerintah Daerah melakukan review RTRW-nya, namun sejak diundangkan tahun 2007 hingga tahun 2011, baru 18 provinsi yang telah mendapat persetujuan substansi kehutanan, yaitu pada tahun 2009 sebanyak 5 provinsi, pada tahun 2010 sebanyak 5 provinsi dan di tahun 2011 sebanyak 8 provinsi.

Sampai saat ini, kemajuan persetujuan substansi kehutanan atas usulan perubahan kawasan hutan tersebut adalah 18 (delapan belas) provinsi telah mendapat persetujuan substansi kehutanan; 6 (enam) provinsi diharapkan selesai pada tahun 2011, yaitu Kalbar, Kaltim, Sulbar, Jambi, Babel, dan Riau. Sedangkan 9 (sembilan) provinsi dalam proses Tim Terpadu dan diharapkan selesai pada tahun 2012.Peserta rakernas, serta hadirin yang saya hormati;Terkait dengan proses kajian Tim Terpadu atas usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam review RTRWP, maka percepatan perlu dilakukan dengan tetap mengedepankan sasaran kajian yaitu agar dapat menjamin kepastian hukum dan berusaha serta mendorong pembangunan wilayah. Mekanisme persetujuan substansi kehutanan dapat dipercepat penyelesaiannya dengan pelaksanaan kegiatan timdu secara efektif dan efisien. Waktu kajian tim terpadu sebenarnya dapat dipangkas atau dipercepat penyelesaiannya apabila seluruh kegiatan tim terpadu yang terdiri dari kunjungan lapangan, pleno timdu serta uji konsistensi dilakukan secara kontinyu dan intensif. Untuk mendukung percepatan penyelesaian substansi kehutanan dalam kajian terpadu, maka diperlukan langkah-langkah kebijakan sebagai berikut: a) perencanaan tahapan kegiatan yang mantap; b) penjadwalan yang ketat; c) penyediaan sarana dan SDM serta kelengkapan data yang valid; dan d) dukungan pendanaan yang memadai. Untuk itu diperlukan sinergitas antara Kementerian kehutanan dengan Pemerintah Provinsi untuk implementasinya. Pembentukan Tim Terpadu oleh Menteri Kehutanan sesungguhnya merupakan alat yang di BKO-kan kepada Pemerintah Provinsi. Oleh karena itu kecepatan penyelesaian usulan perubahan kawasan hutan tersebut tidak terlepas dari upaya pemerintah provinsi dalam mendayagunakan Tim Terpadu.Disamping itu, perlu dilakukan standarisasi metodologi analisis tim terpadu dengan memilah tipologi usulan perubahan kawasan hutan ke dalam 2 (dua) tipologi, yaitu: perubahan peruntukan dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan untuk mengakomodir permukiman, lahan garapan masyarakat, fasum/fasos, fasilitas pemerintahan serta pengembangan wilayah dan perubahan fungsi antar kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi biofisik (reskoring kawasan hutan).Peserta rakernas, serta hadirin yang saya hormati;Secara singkat dapat dijelaskan bahwa proses persetujuan substansi kehutanan bermula dari usulan Gubernur yang merupakan kompilasi dari usulan-usulan Kabupaten/Kota. Jika terdapat usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan maka sesuai UU dibentuk Tim Terpadu oleh Menhut untuk mengkaji usulan perubahan tersebut. Selanjutnya, rekomendasi kajian tim terpadu dilaporkan kepada Menhut. Rekomendasi perubahan kawasan hutan yang tidak bernilai strategis sesuai dengan kewenangan yang ada langsung ditetapkan oleh Menhut, sedangkan yang bernilai strategis penetapannya setelah mendapat persetujuan DPR. Setelah persetujuan DPR diberikan, Menhut menerbitkan keputusan peta kawasan hutan provinsi yang baru. Dalam proses kajian terpadu, apabila dijumpai perubahan peruntukan yang berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis, maka perlu dilakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Peserta rakernas yang saya hormati;Banyak faktor yang mempengaruhi kondisi SDH seperti: pertumbuhan penduduk berdampak pada bertambahnya pemukiman, Pemekaran wilayah memerlukan lahan hutan untuk pembangunan infrastruktur, fasum/fasos. Di samping itu terdapat pula kebutuhan lahan untuk investasi seperti untuk perkebunan, real estate; dan adanya faktor kondisi riil kawasan hutan yang sudah berubah fungsi. Faktor-faktor tersebut mau tidak mau akan menentukan sampai sejauh mana kebutuhan pembangunan tersebut bisa dipenuhi dari kawasan hutan, yang pada ahirnya memunculkan pertanyaan berapa luas sesungguhnya kawasan hutan yang harus dipertahankan ?Jika kita bersepakat untuk memaknai fungsi dan peran hutan sebagai penyangga kehidupan, maka semua pihak tentunya akan bersepakat pula tentang perlunya batas luas kawasan hutan yang rasional untuk mendukung pembangunan sektor non kehutanan, seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, dsb.

Untuk mengakomodir pembangunan sector non kehutanan, Kehutanan telah mengalokasikan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang seiring dengan penyelesaian kajian perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam rangka review RTRWP oleh Tim Terpadu telah banyak mengalami perubahan. Terkait dengan hal itu, terdapat 3 (tiga) skenario penyediaan areal HPK di seluruh Indonesia. Areal HPK pada Provinsi yang tidak mengalami perubahan kawasan hutan seluas 133.842 ha, areal HPK pada provinsi yang mengusulkan perubahan kawasan hutan dan telah direkomendasi oleh timdu seluas 7.576.500 ha, dan areal HPK yang diusulkan oleh pemerintah provinsi dan masih dalam kajian timdu seluas 6.859.241 ha. Sehingga total areal HPK sampai saat ini yang dapat dialokasikan untuk pembangunan non kehutanan seluas 14.569.583 ha.

Mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku, maka luas kawasan hutan minimal adalah 30% dari luas DAS, dan atau pulau dengan penyebaran yang proporsional. Data empiris menunjukan bahwa dalam review RTRWP, kecenderungan pengurangan kawasan hutan diprediksi sekitar 18-20% dari luas kawasan saat ini. Dengan demikian, diskenariokan luas kawasan hutan tetap sekitar 80% dari luas kawasan hutan saat ini. Perkiraan pengurangan tersebut, dialokasikan untuk mendukung kebutuhan pembangunan diluar sektor kehutanan, dan sekaligus sebagai bentuk resolusi konflik.Namun demikian, pengurangan kawasan hutan tidak dilakukan sekaligus tetapi secara bertahap sejalan dengan program pembangunan yang direncanakan. Prosentase pengurangan kawasan hutan tidak sama untuk setiap wilayah disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat, dan dilakukan dalam kerangka mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Demikian penjelasan saya atas topik yang diberikan dalam sesi ini. Untuk percepatan proses persetujuan substansi kehutanan Insya Allah ditargetkan akan selesai seluruhnya pada ahir tahun 2011. Terima kasih atas perhatiannya dan jika ada hal-hal yang kurang berkenan mohon dimaafkan. Ahirulkata, billahitaufik walhidayah wassalamualaikum warrahmatullahi wabarokatuh.Manado, 30 November 2011Menteri Kehutanan

Zulkifli Hasan