buku narasi final

of 617 /617

Author: cool182

Post on 21-Jan-2016

1.075 views

Category:

Documents


52 download

Embed Size (px)

TRANSCRIPT

  • C

    M

    Y

    K

    K

    H

    C

    M

    Y

    K

    K

    H

  • Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

    Departemen Kelautan dan Perikanan

    Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

    Bekerja sama dengan

    Mitra Pesisir/ Coastal Resources Management Project II

    Jakarta 2005

    Menuju Harmonisasi

    Sistem Hukum Sebagai

    Pilar Pengelolaan

    Wilayah Pesisir Indonesia

  • Judul:

    Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar

    Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

    Kutipan:

    Patlis, Jason M., T. H. Purwaka, A. Wiyana, G. H.

    Perdanahardja (eds.). 2005. Menuju Harmonisasi

    Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah

    Pesisir Indonesia. Seri Inisiatif Harmonisasi Sistem

    Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia.

    Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional,

    Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen

    Hukum dan HAM bekerja sama dengan Coastal

    Resources Management Project II (USAID), Jakarta.

    614 halaman.

    Dana:

    Penerbitan buku ini didukung oleh US Agency for

    International Development Coastal Resources

    Management Project II (Program Kemitraan Pesisir

    /Mitra Pesisir), sebagai bagian dari Program

    Pengelolaan Sumber Daya Alam USAID-Bappenas.

    Dicetak di:

    Jakarta, September 2005

    Desain Sampul:

    Irene Ratna Kartikasapti

    Tata letak:

    Myria Fatriza

    Penyunting teknis:

    Sonya Sondakh

    ISBN 979-99939-7-0

  • Menuju Harmonisasi

    Sistem Hukum Sebagai

    Pilar Pengelolaan

    Wilayah Pesisir Indonesia

    Penyunting

    Jason M. Patlis Tommy H. Purwaka

    Adi Wiyana Glaudy H. Perdanahardja

    Penulis (berdasarkan urutan bab)

    Shidarta Dietriech G. Bengen

    Jacub Rais Tommy H. Purwaka

    M. Daud Silalahi Sulaiman N. Sembiring

    Rikardo Simarmata Denny Karwur

    Ronald Z. Titahelu Aris Kabul Pranoto

    Jason M. Patlis Etty R. Agoes Hasjim Djalal

    Kontributor

    Wahyuningsih Darajati Irwandi Idris Wicipto Setiadi

    Hanung Cahyono Sapta Putra Ginting

    Eko Rudiyanto Tommy Hermawan

  • ii

    Pengantar

    Bangsa Indonesia patut bersyukur dengan anugerah kekayaansumber daya alam yang dimiliki, baik yang terdapat di daratanmaupun di lautan. Kekayaan tersebut tercermin dalam banyaknyapulau dan luas wilayah yang dimilikinya. Dari luasan yang ada,sebagian besar berupa wilayah laut dan pesisir yang menyediakansumber pangan, tambang, mineral dan energi, maupun sebagaikawasan rekreasi atau pariwisata. Oleh karena itu, ekosistempesisir dapat dikatakan sebagai sumber kehidupan bagi rakyat,dan pedukung pembangunan sosial dan ekonomi nasional.

    Namun, tata kelola wilayah pesisir masih rancu karena belummenyatu dan sinergisnya peraturan perundang-undangan dansebagian besar bersifat sektoral. Keterbatasan kapasitas parapemangku kepentingan, termasuk para penegak hukum, dalammemahami dan menginterpretasikan peraturan yang ada,berakibat pada terjadinya penerapan hukum yang tidak efektif.Demikian pula, koordinasi antarsektor, antardaerah, antara sektor dan daerah, serta antara pemerintah pusat dan pemerintahdaerah masih lemah.

    Berangkat dari dasar pemikiran tersebut Kementerian PPN/Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan, danDepartemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) bekerjasama dengan Mitra Pesisir (Coastal Resources Management Project)mengambil inisiatif untuk melakukan langkah-langkah awal harmonisasi sistem hukum dan peraturan perundang-undangantentang pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia. Untuk itudibentuk Tim Harmonisasi yang bertugas melakukan identifikasidan analisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir.

    Tim ini telah menghasilkan 4 (empat) produk berbentuk buku dan software berjudul :

    a. Basis Data, memuat seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir, dan merupakan basis data yang mudah diakses, dan mudah dioperasikan oleh seluruh pemangku kepentingan.

    b. Buku Narasi, berjudul Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia yang mengidentifikasi arah dan langkah-langkah konkrit yang perlu diambil dalam rangka harmonisasi peraturan

  • iii

    perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir.

    c. Buku Materi Acuan, berjudul Penyusunan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, memuat materi acuan untuk dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan di daerah dalam menyusun peraturan daerah yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir.

    d. Buku Saku, yang memuat pasal-pasal ketentuan hukum dan sanksi dari berbagai macam peraturan perundang-undangan terkait dengan penegakan hukum di bidang sumber daya alam dan pesisir.

    Keempat produk tersebut diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua pihak terutama para pengambil kebijakan, perencana, pengelola,pelaksana, penegak hukum dan pemerhati wilayah pesisir di Indonesia.Selanjutnya dengan berbekal empat produk tersebut, diharapkan adalangkah-langkah nyata yang dapat diambil untuk menuju harmonisasisistem hukum dan peraturan perundang-undangan yang terkait denganpengelolaan wilayah pesisir. Dengan demikian, ke depan sumber dayaalam dan wilayah pesisir di negeri ini dapat dikelola secara adil danberkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

    Akhir kata, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh TimHarmonisasi atas kerja kerasnya, hingga tersusunnya keempat produkini. Kami ucapkan juga terima kasih kepada semua pihak yang telahmemberikan bantuan dalam penyusunannya. Masukan dan saran perbaikan sangat kami harapkan untuk penyempurnaan lebih lanjut.

    Jakarta, Juli 2005

    Dedi M. Masykur Riyadi Andin H. Taryoto A. A. Oka Mahendra

    Deputi Menteri Negara PPN/ Sekretaris Jenderal Direktur Jenderal PeraturanBidang Sumber Daya Alam Departemen Kelautan Perundang-undangan

    dan Lingkungan Hidup dan Perikanan Departemen Hukum dan HAMBappenas

  • iv

    Sekapur SirihUcapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada semua pihakyang telah menyumbangkan pikiran dan tenaganya hingga tersusunnyaBuku Narasi yang berjudul Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagaiPilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Buku narasi ini dapat diselesaikan berkat kerja keras dan ketekunan Tim Penyunting yang terdiriatas Jason M. Patlis, Tommy H. Purwaka, Adi Wiyana, dan Glaudy H.Perdanahardja; dan Tim Penulis yang terdiri atas: Shidarta, Dietriech G.Bengen, Jacub Rais, Tommy H. Purwaka, Daud Silalahi, Sulaiman N.Sembiring, Rikardo Simarmata, Denny Karwur, Ronald Z. Titahelu, JasonM. Patlis, Hasjim Djalal, Etty R. Agoes, dan Aris Kabul Pranoto.

    Tim Penyunting dan Tim Penulis dapat menyelesaikan tugasnya tentunya tidak terlepas dari dukungan dan masukan-masukan yang telahdiberikan oleh Tim Harmonisasi yang struktur dan keanggotaannya ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Menteri Bappenas, Dr. Ir. H.Koensatwanto Inpasihardjo, DIPL, HE, MSc. Selaku Tim Pengarah adalahDr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi (Deputi Menteri Bidang Sumber DayaAlam dan Lingkungan, Bappenas), Dr. Ir. Andin H. Taryoto (SekretarisJenderal, DKP) dan Prof. Dr. Widi A. Pratikto (Direktur Jenderal Pesisirdan Pulau-Pulau Kecil, DKP). Sedangkan Tim Pelaksananya diketuai olehIr. Wahyuningsih Darajati, MSc. (Direktur Kelautan dan Perikanan,Bappenas); dan Ir. Ali Supardan (Sesditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,DKP) selaku sekretaris.

    Dalam pelaksanaannya, Tim Harmonisasi dibagi dalam dua kelompokkerja. Pertama, Kelompok Kerja Hukum yang diketuai oleh NarmokoPrasmaji, SH, MA (Kepala Biro Hukum dan Organisasi, DKP); dengananggota: Diani Sadia Wati, SH, LLM (Direktur Hukum dan HAM,Bappenas); Dr.Wicipto Setiadi, SH, MH (Direktur Harmonisasi PeraturanPerundang-Undangan, Departemen Hukum dan HAM); Barlin, SH, MSi(Asisten Deputi Urusan Peraturan Perundang-undangan, KementerianNegara Lingkungan Hidup); Dr. Sudirman Saad (Direktur PemberdayaanMasyarakat Pesisir, DKP); Bambang Iriana, SH (BPHN); M. Fachruddien,SH (Kasubdit Harmonisasi Bidang Polkam, Departemen Hukum danHAM); Badia Sibuea, SH (Kabag Hukum dan Organisasi, Ditjen PerikananBudidaya DKP); Ir. Aris Kabul, MSi (Kabag Hukum, Humas danOrganisasi, Ditjen P3K, DKP); Hanung Cahyono, SH, LLM (KabagHukum Laut, Biro Hukum dan Organisasi, DKP); Tini Martini, SH, Msoc,SCi (Kabag Organisasi dan Tata Laksana, Biro Hukum dan Organisasi,

  • vDKP); Prof. Dr. M. Daud Silalahi, SH (Universitas Padjadjaran); Sidharta,SH, MHum (Universitas Tarumanagara); Indro Sugianto, SH, MH(Direktur, Indonesian Center for Environmental Law/ICEL); RikardoSimarmata (Perkumpulan untuk Pembaharuan Berbasis Masyarakat danEkologis/HUMA); Sulaiman Sembiring, SH (Direktur Eksekutif, InstitutHukum Sumber Daya Alam/IHSA); Arimbi Heroepoetri, SH (AliansiPengacara Lingkungan Dunia); Jason M. Patlis, JD (Mitra Pesisir); RonaldZ. Titahelu, SH, MS (Universitas Pattimura).

    Kedua, Kelompok Kerja Teknis yang diketuai oleh Dr. Irwandi Idris, MSi(Direktur Bina Pesisir, DKP), dengan anggota: Ir. Yaya Mulyana (DirekturKonservasi dan Taman Nasional Laut, DKP); Dr. Ir. Edi EffendiTedjakusuma, MA (Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air,Bappenas); Ir. Bemby Uripto, MCP (Direktur Sumber Daya Mineral danPertambangan, Bappenas); Dr. Agus Prabowo (Direktur PengendalianSumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappenas); Ir. DeddyKoespramudyo, MSc (Direktur Pengembangan Otonomi Daerah,Bappenas); Dr. Sapta Putra Ginting (Kasubdit Pengelolaan Pesisir Terpadu,DKP); Ir. Agus Dermawan, MSi (Kasubdit Suaka dan Kawasan KonservasiLaut, DKP); Riyanto Basuki (Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat Pesisir,DKP); Drs. Berty Mendur (Ditjen Bangda, Departemen Dalam Negeri);Ir. Tommy Hermawan, MA (Kasubdit Pesisir dan Laut, Bappenas); NinaDwisasanti (Jaring Pela); M. Imran Amin (Telapak); Silvyanita (YayasanTerangi); Ivan Valentina A (Raca Institute); Farah Sofa (WALHI); ChristineIsmuranty (Kehati); Adi Wiyana (Mitra Pesisir); dan Maurice Knight (Mitra Pesisir).

    Di samping itu, tim pelaksana tersebut didukung oleh Sekretariat yang terdiri atas Glaudy H. Perdanahardja (Mitra Pesisir), Andi M. Ibrahim(Mitra Pesisir); Yohaness Tony Wijaya (Mitra Pesisir); Tammy Carolina(Mitra Pesisir); Ine Fauzia, SH (Universitas Padjadjaran); dan Ria Siombo(Kasubag Kerja Sama Hukum Laut Internasional, DKP).

    Penghargaan dan ucapan terima kasih juga diberikan kepada pihak-pihaklain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu hingga terselesaikannyabuku ini. Secara khusus, ucapan terima kasih disampaikan kepada MauriceKnight (Chief of Party CRMP II) dan Jason Patlis (Senior Legal AdvisorCRMP II) yang telah memberikan dukungan penuh dalam merealisasikan inisiatif ini.

  • Daftar Isi

    Pengantar ii

    Sekapur Sirih iv

    Daftar Isi vi

    Daftar Singkatan dan Akronim viii

    Ringkasan Eksekutif xvi

    Pendahuluan 2

    Bagian PertamaKonsep Harmonisasi Hukum dan Peraturan Perundang-undangan

    BAB 1 Kerangka Berpikir Harmonisasi Peraturan 8Perundang-undangan dalam Pengelolaan PesisirBagian KeduaPrinsip-prinsip Harmonisasi dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

    BAB 2 Urgensi Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu 90

    BAB 3 Harmonisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Melalui 112Penataan Ruang Laut-Darat TerpaduBagian KetigaTinjauan Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Wilayah Pesisir Nasional

    BAB 4 Karakteristik Hukum Peraturan Perundang-undangan 134yang Mengatur Pengelolaan Wilayah Pesisir

    BAB 5 Tinjauan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan 146Pertambangan

    BAB 6 Tinjauan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan 162Industri Minyak dan Gas Bumi

    BAB 7 Tinjauan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan 186Penambangan dan Pengusahaan Pasir Laut

    BAB 8 Tinjauan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan 268Kehutanan

    I

    II

    III

  • BAB 9 Tinjauan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan 310Perikanan Tangkap

    BAB 10 Tinjauan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan 334Perikanan BudidayaBagian KeempatTinjauan Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Wilayah Pesisir Daerah

    BAB 11 Tinjauan dan Contoh Peraturan Perundang-undangan 350dalam Pengelolaan Pesisir di DaerahBagian KelimaTinjauan Hukum Adat tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

    BAB 12 Tinjauan dan Contoh Hukum Adat di dalam 426Pengelolaan Pesisir dan Laut di DaerahBagian KeenamTinjauan Hukum Internasional Pengelolaan Wilayah Pesisir

    BAB 13 Hukum dan Kesepakatan Internasional, dan Contoh 466Peraturan di Negara-Negara Lain

    BAB 14 Hubungan antara Pengaturan UNCLOS 1982 dan 484Agenda 21 yang Berkaitan dengan Wilayah Pesisir Laut

    BAB 15 Lingkungan Strategik yang Berpengaruh terhadap 508Kelembagaan Kelautan dan PerikananBagian KetujuhMenuju Harmonisasi

    BAB 16 Tinjauan Disharmoni Ketentuan dalam Kerangka 522Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir

    BAB 17 Fakta Perlunya Harmonisasi 554

    BAB 18 Arah Menuju Harmonisasi 564

    Penutup 582

    IV

    V

    VI

    VII

  • viii

    Daftar Singkatan dan Akronim

    ABK Anak Buah Kapal

    ADR Alternative Dispute Resolution

    AFTA Asean Free Trade Area

    AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

    APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

    APEC Asia Pacific Economic Cooperation

    APIPM Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal

    ASEAN Association of South-East Asian Nations

    AVL Automatic Vessel Locater

    BAPEDAL Badan Pengendali Dampak Lingkungan

    Bapedalda Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah

    Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

    BAKORKAMLA Badan Koordinasi Keamanan di Laut

    BAKORSURTANAL Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional

    BKSDA Balai Konservasi Sumber daya Alam

    BPD Badan Perwakilan Desa

    BPHN Badan Pembinaan Hukum Nasional

    BPPK Badan Pengelola Pesisir Kabupaten

    BPPKP Badan Pengelola dan Pengendalian Kelautan dan Perikanan

    BPPLT Badan Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu

    BUMN Badan Usaha Milik Negara

    B3 Bahan Beracun dan Berbahaya

    CB-CRM Community-Based Coastal Resources Management

    CCDR Court-connected Dispute Resolution

    CCSBT Convention on Conservation of Blue Fin Tuna

  • ix

    C & F Cost and Freight

    CIF Cost, Insurance and Freight

    CITES Convention of International Trade on Endangered Species

    CLC Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage

    COREMAP Coral Reef Management Project

    COLREGS Convention on the International Regulations for thePreventing Collissions at Sea

    CRC Coastal Resources Center

    CRMP Coastal Resources Management Project

    CRISTAL Contract Regarding an Interim Supplement for Tanker Liability for Oil Pollution

    CSCAP Council for Security Cooperation in Asia Pacific

    DAS Daerah Aliran Sungai

    Dahsuskim Kemudahan Khusus Keimigrasian

    DepHub Departemen Perhubungan

    Dephut Departemen Kehutanan

    DEPLU Departemen Luar Negeri

    DKI Jakarta Daerah Khusus Ibukota Jakarta

    DKP Departemen Kelautan dan Perikanan

    DMI Dewan Maritim Indonesia

    DPD Dewan Pertimbangan Daerah

    DPL Daerah Perlindungan Laut

    DPM Daerah Perlindungan Mangrove

    DPR Dewan Perwakilan Rakyat

    DPRD Dewan Pertimbangan Rakyat Daerah

    DPSIR Driver-Pressure-State-Impact-Response

    EPL Surat Penetapan Sebagai Eksportir Pasir Laut

    ESDM Energi dan Sumber Daya Mineral

    FAO Food Agricultural Organization

    FKPPS Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan

    FOB Free on Board

  • xFUND Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage

    GATT General Agreement on Tarifs and Trade

    GBHN Garis-garis Besar Haluan Negara

    GT Gross Tonnage

    HAM Hak Asasi Manusia

    HANKAM Pertahanan dan Keamanan

    HGU Hak Guna Usaha

    HPE Harga Patokan Ekspor

    HPH Hak Pengusahaan Hutan

    HPHH Hak Pemungutan Hasil Hutan

    HTUN Hukum Tata Usaha Negara

    HUKLA Konvensi Hukum Laut PBB

    HYDROS-AL Hydrography TNI-AL

    ICCPR International Convention on Civil and Political Rights

    ICOM Integrated Coastal and Ocean Management

    ICJ International Court of Justice

    ICRW International Convention for the Regulation of Whaling

    IHO International Hydrographic Organization

    IKTA Surat Izin Tenaga Kerja Asing

    IMO International Maritime Organization

    IMP Introduced Marine Pest

    INBUDKAN Intensifikasi Pembudidayaan Ikan

    Inpres Instruksi Presiden

    INTERVENTION Convention Relating to Intervention on the High Seas in Cases of Oil Pollution

    IPAL Instalasi Pengolahan Air Limbah

    IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change

    IOMAC Indian Ocean Marine Affairs Cooperation

    IOI International Ocean Institute

    IOTC Indian Ocean Tuna Commission

    IOR-ARC Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation

    Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

  • xi

    IORG Indian Ocean Rim Academic Group

    IOTO Indian Ocean Tourism Organization

    IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

    ITLOS International Tribunal for the Law of the Sea

    IUCN International Union for the Conservation of Nature and

    Natural Resources

    IUP Izin Usaha Perikanan

    IUU Illegal, unreported and unidentified fishing

    IWC International Whaling Commission

    JTB Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan

    Juklak Petunjuk Pelaksanaan

    Juknis Petunjuk Teknis

    Kep KeputusanKepmen Keputusan Menteri

    Keppres Keputusan Presiden

    KHL Konvensi Hukum Laut

    KLH Kementerian Lingkungan Hidup

    KKL Kawasan Konservasi Laut

    KKP-KKL Kelompok Kerja Terpadu Kawasan Konservasi Laut

    KP Kuasa Pertambangan

    KPA Kawasan Pelestarian Alam

    KPLP Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai Departemen Perhubungan

    KPPL Komite Pengelola Perikanan Laut

    KSA Kawasan Suaka Alam

    KSM Kelompok Swadaya Masyarakat

    KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    KUH Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    L/C Letter of Credit

    LDC London Dumping Convention

    LIPI Lemabaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

    LLMC Convention on Limitation of Liability for Maritime Claims

    Daftar Singkatan dan Akronim

  • xii

    LME Large Marine Ecosystem

    LOICZ Land-Ocean Interaction in the Coastal Zone

    LSI Law of the Sea Institutes

    LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

    MA Mahkamah Agung

    MARPOL International Convention for the Prevention of Pollutionfrom Ships

    MCRMP Marine and Coastal Resource Management Project

    MCS Monitoring, Control dan Surveillance

    Menelp Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan

    MENKO Menteri Koordinator

    MIGAS Minyak dan Gas

    Menkp Menteri Kelautan dan Perikanan

    Mentan Menteri Pertanian

    MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat

    MPRS Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

    MREP Marine Resources Evaluation Program

    NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia

    NUCLEAR Convention Relating to Civil Liability in the Field of Maritime Carriage of Nuclear Material

    OILPOL Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil

    ORNOP Organisasi Non-Pemerintah

    P & K Perikanan dan Kelautan

    PAD Pendapatan Asli Daerah

    PANKORWILNAS Panitia Koordinasi Masalah Wilayah Nasional dan Dasar Laut

    PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

    P3LE Pemantauan, Pengendalian, Pengamatan Lapangan,dan Evaluasi

    PECC Pacific Economic Cooperation Committee

    Perda Peraturan Daerah

    Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

  • xii i

    Permen Peraturan Menteri

    Perpu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

    Perpres Peraturan Presiden

    PETI Pertambangan Tanpa Izin

    PIP Pusat Informasi Pesisir

    PKKA Pemberitahuan Keagenan Kapal Asing

    Pokja Kelompok Kerja

    POLAIRUD Polisi Air dan Udara

    POLHUT Polisi Hutan

    Polri Kepolisian Republik Indonesia

    PP Peraturan Pemerintah

    PPKA Pemberitahuan Pengoperasian Kapal Asing

    PPKI Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

    PROTAP Prosedur Tetap

    PSDKP Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

    PSI Proliferation Security Initiative

    RDTR Rencana Detail Tata Ruang

    RPP Rancangan Peraturan Pemerintah

    RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah

    RTTR Rencana Teknik Tata Ruang

    RUU Rancangan Undang-Undang

    RUTR Rencana Umum Tata Ruang

    SC Security Clearance

    SCSW South China Sea Workshop Process

    SDA Sumber Daya Alam

    SEAFDC Southeast Asian Fisheries Development Cooperation

    SEAPOL Southeast Asian Policy on Ocean Law

    SEB Surat Izin Pemberitaan Ekspor Barang

    SIB Surat Izin Berlayar

    SIKK Surat Izin Kerja Keruk

    SIKPPII Surat Izin Kapal Penangkapan dan Pengangkutan Ikan Indonesia

    SIKPII Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan Indonesia

    Daftar Singkatan dan Akronim

  • xiv

    SIKPIA Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan Indonesia

    SIPD Surat Izin Pertambangan Daerah

    SIPI Surat Izin Penangkapan Ikan

    Siswasmas Sistem Pengawasan Masyarakat

    SK Surat Keputusan

    SKB Surat Keputusan Bersama

    SP-EPL Surat Persetujuan Ekspor Pasir Laut

    SPI Surat Penangkapan Ikan

    SPKPIA Surat Persetujuan Kapal Pengangkut Ikan Asing

    SPO Standar Prosedur Operasional

    STP Submarine Tailing Placement

    STPK Surat Tanda Pendaftaran Kapal

    TGHK Tata Guna Hutan Kesepakatan

    TNC-ECA The Nature Conservancy Ecoregional Conservation Assessments

    TNI-AL Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut

    TOVALOP Tanker Owners Voluntary Agreement Concerning Liability for Oil Pollution

    TP4L Tim Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut

    UKL Upaya Pengelolaan Lingkungan

    UNCLOS 1982 United Nasions Convention on the Law of the Sea

    UNCED United Nations Conference on Environment and Development

    UNEP United Nations Environmental Programme

    UNESCO United Nations Educational. Scientific and Cultural Organization

    UNICPRO United Nations Informal Consultative Process

    UNSRAT Universitas Sam Ratulangi

    UPL Upaya Pemantauan Lingkungan

    UPT Unit Pengelola Teknis

    USAID United States Aid for International Development

    USPACOMILOPS US Pacific Command Military Operation Conference

    Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

  • xv

    UU Undang-Undang

    UUDS Undang-Undang Dasar Sementara

    UUD 1945 Undang-Undang Dasar 1945

    UUK UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

    UU KSDHE UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

    UULH 1997 UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang PengelolaanLingkungan Hidup

    UUPA UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria

    UUPK UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan

    UUPLH UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan hidup

    UUPMA UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing

    UUPMDN UU Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri

    UUPR UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang

    VOC Verenigde Oost-Indische Compagnie

    WCPFC West and Central Pacific Fisheries Commission

    WHO World Health Organization

    WMD Weapon of Mass Destruction

    WTO World Trade Organization

    WWF Worldwide Fund for Nature

    ZEE Zona Ekonomi EkslusifZEEI Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia

    Daftar Singkatan dan Akronim

  • xvi

    Pendahuluan

    Kegiatan harmonisasi sistem hukum dan peraturan perundang-undangan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan laut merupakankegiatan kerja sama antara Bappenas, DKP, USAID, dan Mitra Pesisirdalam menghasilkan output berupa: (a) buku narasi yang berisi analisisharmoni dan disharmoni sistem hukum dan peraturan perundang-undangan pengelolaan wilayah pesisir dan laut dan pola serta langkah-langkah harmonisasi; (b) basis data (database) peraturan perundang-undangan yang mengatur dan/atau yang berkaitan dengan pengelolaanwilayah pesisir dan laut; (c) materi acuan penyusunan peraturan daerahtentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut; dan (d) buku saku kumpulan ketentuan dan sanksi hukum yang terkait dengan pengelolaansumber daya alam dan wilayah pesisir dan laut.

    Database peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan wilayahpesisir dan laut berisi sekitar tiga ribuan peraturan perundang-undangan, baik tingkat pusat maupun tingkat daerah, serta contoh-contoh hukum adat yang berhasil dikumpulkan dalam waktu kuranglebih satu tahun, yaitu dari November 2004 sampai dengan November2005. Di luar database masih terdapat banyak peraturan perundang-undangan dan hukum adat yang belum berhasil dikumpulkan.Penerapan peraturan perundang-undangan dalam jumlah banyak secarabersamaan dalam waktu yang sama dan dalam ruang yang sama pulasudah barang tentu telah membawa konsekuensi terjadinya disharmonihukum yang ditunjukkan misalnya dengan adanya tumpang-tindihkewenangan dan benturan kepentingan. Contoh konkret dari disharmoni tersebut adalah ketidakselarasan dan ketidakserasian antarapenerapan UU Kehutanan dan UU Perikanan dalam masalah konservasi, antara penerapan UU Kehutanan dan UU Pertambangandalam masalah penambangan di kawasan hutan lindung, dan antara UULingkungan Hidup dan UU Perindustrian, UU Pertambangan,UU Pelayaran, UU Kehutanan, dan UU Pertanian dalam masalah pencemaran. Disharmoni hukum yang telah terjadi tersebut perlu

    Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai

    Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

    Ringkasan Eksekutif

  • xvii

    ditanggulangi dan disharmoni hukum yang belum terjadi harus dicegahmelalui kegiatan harmonisasi hukum.

    Sanksi hukum di bidang pengelolaan wilayah pesisir telah berhasildihimpun dari 22 Undang-Undang dan 43 peraturan pelaksanaan dalamsatu buku. Sanksi hukum tersebut dihimpun dalam satu buku denganmaksud dan tujuan untuk memudahkan para aparat penegak hukumuntuk menegakkan hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam danwilayah pesisir. Di samping itu, himpunan sanksi hukum tersebut jugadimaksudkan untuk memudahkan sosialisasi tentang pelanggaran-pelanggaran hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam danwilayah pesisir yang diancam dengan sanksi hukum. Inkonsistensi dalampenjatuhan sanksi terhadap pelanggaran hukum menimbulkan terjadinya disharmoni hukum yang harus diharmonisasikan melaluikegiatan penyerasian dan penyelarasan hukum.

    Kegiatan harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam rangkapengelolaan wilayah pesisir dan laut juga telah merumuskan beberapaprinsip dasar yang diusulkan untuk dijadikan acuan bagi penyusunanperaturan daerah. Penggunaan prinsip-prinsip dasar sebagai acuanpenyusunan peraturan daerah diharapkan dapat mencegah terjadinyadisharmoni hukum dan sebaliknya diharapkan mampu meningkatkanharmonisasi hukum antarperaturan daerah, dan antara peraturan daerahdan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat. Dalam kaitan ini,pola harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dirumuskan di dalam bukunarasi dengan judul Harmonisasi Sistem Hukum dan PeraturanPerundang-undangan Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.

    Keempat hasil kegiatan harmonisasi tersebut, yaitu Buku NarasiHarmonisasi Sistem Hukum, Buku Saku Kumpulan Ketentuan danSanksi, Materi Acuan Penyusunan Peraturan Daerah, dan Basis DataHukum, haruslah dipandang sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.Arti satu kesatuan dalam kaitan ini dapat dijelaskan secara singkatsebagai berikut: isi Basis Data hukum memberi gambaran bahwa penerapan peraturan perundang-undangan dalam jumlah besar memerlukan upaya-upaya penyelarasan, penyerasian, dan penyesuaian(harmonisasi) untuk mencegah terjadinya disharmoni hukum. BukuNarasi yang berjudul Harmonisasi Sistem Hukum dan PeraturanPerundang-undangan Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah PesisirTerpadu memberikan gambaran tentang kerangka hukum yang adapada saat ini serta analisis harmoni disharmoni antarhukum dan peraturan perundang-undangan terkait dengan pengelolaan wilayah

  • xviii Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

    pesisir dan laut. Selain itu, Buku Narasi juga menyajikan keadaan nyatadi lapangan tentang terjadinya disharmoni hukum dalam penerapanperaturan perundang-undangan, serta upaya-upaya pencegahan danpenanggulangannya melalui harmonisasi hukum digambarkan secarakasuistis dan kontekstual. Buku ini juga menjelaskan tentang konsep-konsep harmonisasi hukum dan harmonisasi pengelolaanwilayah pesisir, serta merumuskan pola harmonisasi hukum yang dapatdijadikan acuan dalam upaya penyelarasan, penyerasian, dan penyesuaian peraturan perundang-undangan dalam rangka pengelolaanwilayah pesisir. Pembuatan Materi Acuan yang berisi prinsip-prinsipdasar, proses penyusunan, dan materi muatan peraturan daerah tentangpengelolaan wilayah pesisir terpadu juga merupakan upaya untukmewujudkan harmonisasi hukum antarperaturan daerah dan antaraperaturan daerah dan peraturan perundang-undangan tingkat pusat.Terakhir, Buku Saku merupakan alat sederhana dan praktis yang dapatmembantu upaya penegakan hukum dan harmonisasi tentang ketentuansanksi dan penegakannya di masyarakat. Disharmoni hukum yang terjadi dalam penerapan peraturan perundang-undangan di wilayahpesisir diindikasikan dengan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukumyang diharmonisasikan melalui penerapan sanksi-sanksi hukum secarakonsisten. Sanksi-sanksi hukum tersebut kemudian dihimpun sebagaipegangan bagi para aparat penegak hukum serta sebagai bahan sosialisasi kepada masayarakat.

    Pengertian dan Ruang Lingkup Harmonisasi Hukum

    Penerapan berbagai macam peraturan perundang-undangan secarabersama-sama tanpa upaya-upaya harmonisasi atau penyelarasan danpenyerasian sudah barang tentu akan menimbulkan masalah seperti benturan kepentingan antarlembaga stakeholders wilayah pesisir. Masing-masing peraturan perundang-undangan memiliki tujuan, strategi untukmencapai tujuan, dan pedoman-pedoman untuk melaksanakan strategi,di mana ketiganya sering dirumuskan dalam bentuk kebijakan-kebijakan. Kebijakan terdiri atas dua macam, yaitu kebijakan yang bersifat tetap atau regulatory policies yang diterapkan dalam berbagai bentuk peraturan pelaksanaan dari peraturan yang lebih tinggi tingkatannya dan kebijakan yang bersifat tidak tetap, yaitu yang mudahdiubah dalam rangka mengikuti perkembangan. Dalam kaitan ini,harmonisasi dapat diawali dengan melakukan penyelarasan dan penyerasian tujuan, strategi dan pedoman dari masing-masing peraturanperundang-undangan melalui upaya penafsiran hukum, konstruksihukum, penalaran hukum, dan pemberian argumentasi yang rasional

  • xixRingkasan Eksekutif

    dengan tetap memperhatikan sistem hukum dan asas-asas hukum yang berlaku.

    Untuk mempermudah harmonisasi peraturan perundang-undangantersebut di atas, penyelarasan dan penyerasian tujuan, strategi dan pedoman dapat dilakukan dengan mengacu kepada hukum dasar yaituUUD 1945 dan peraturan perundang-undangan payung seperti UUNomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di samping itu,amandemen UUD 1945 dan pengundangan UU Nomor 32 Tahun 2004membawa konsekuensi logis bahwa peraturan perundang-undanganyang sudah ada harus diselaraskan dan diserasikan dengan perubahanhukum dasar dan hukum payung yang telah terjadi.

    Uraian di atas merupakan penjelasan tentang harmonisasi dari sisipencegahan, yaitu upaya harmonisasi yang dilakukan dalam rangkamenghindarkan terjadinya disharmoni hukum. Selain itu, harmonisasidilakukan untuk menanggulangi keadaan disharmoni hukum yang telahterjadi. Keadaan disharmoni hukum dicerminkan oleh, misalnya,tumpang-tindih kewenangan, benturan kepentingan, persaingan tidaksehat, sengketa, pelanggaran, dan tindak pidana. Disharmoni hukum dibidang hukum privat dapat diharmoniskan melalui perangkatAlternative Dispute Resolution (ADR),1 Court-Connected DisputeResolution (CCDR),2 dan pemeriksaan di pengadilan. Disharmonihukum di bidang hukum publik, sepanjang tidak menyangkut pelanggaran ketentuan pidana, dapat diharmoniskan melalui upayanegosiasi atau musyawarah, dengan atau tanpa mempergunakan penengah atau juru runding. Disharmoni hukum di bidang hukum publik yang menyangkut pelanggaran pidana hanya dapat diharmoniskan melalui pengadilan.

    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Disharmoni Hukum

    Potensi terjadinya disharmoni hukum dicerminkan oleh adanya faktor-faktor sebagai berikut:

    1.Jumlah peraturan perundang-undangan yang begitu banyak yang berlaku dalam pengelolaan wilayah pesisir.

    2.Keberadaan hukum adat yang semakin termarjinalkan dalam pengelolaan wilayah pesisir.

    3.Pluralisme dalam penerapan dan penegakan hukum di bidang pengelolaan wilayah pesisir.

    4.Perbedaan kepentingan dan perbedaan penafsiran dari para stakeholders sumber daya alam wilayah pesisir.

  • xx Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

    5.Kesenjangan antara pemahaman teknis dan pemahaman hukum tentang pengelolaan pesisir.

    6.Kendala hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yang terdiri atas mekanisme pengaturan,administrasi pengaturan, antisipasi terhadap perubahan, dan penegakan hukum.

    7.Hambatan hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu yang berupa tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan.

    8.Penerapan peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan empat kemungkinan dampak terhadap stakeholders, yaitu: diffusedcost - diffused benefit, diffused cost - concentrated benefit,concentrated cost - diffused benefit, dan concentrated cost - concentrated benefit.

    Contoh-contoh Disharmoni Hukum dalam PenerapanPeraturan Perundang-undangan

    UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dalam Masalah Konservasi.

    UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan dalam Masalah Penambangan di Kawasan Lindung.

    UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Masalah Pelimpahan Wewenang Pemerintah Pusat kepada Daerah.

    UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU Pelayaran dalam Masalah Pengoperasian Pelabuhan dan Pelayaran Kapal-kapal Ikan.

    UU POLRI dan UU Pertahanan dalam Masalah Penegakan Hukum di Laut.

    UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup dengan UU Kehutanan, UU Pelayaran, UU Pertambangan, UU Perindustrian,dan UU Pertanian dalam Masalah Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Pesisir.

    Fungsi Harmonisasi

    Harmonisasi memiliki fungsi pencegahan dan fungsi penanggulanganterjadinya disharmoni hukum. Harmonisasi hukum untuk mencegahterjadinya disharmoni hukum dilakukan melalui penemuan hukum(penafsiran dan konstruksi hukum), penalaran hukum, dan pemberianargumentasi yang rasional. Upaya ini dilakukan dengan arahan untuk

  • xxiRingkasan Eksekutif

    menegaskan kehendak hukum, kehendak masyarakat, dan kehendakmoral. Upaya harmonisasi yang bersifat pencegahan dilakukan dalamrangka mengantisipasi kenyataan tentang adanya faktor-faktor potensialyang dapat menyebabkan terjadinya disharmoni hukum.

    Harmonisasi hukum untuk menanggulangi disharmoni hukum yangtelah terjadi dilakukan melalui:

    Proses non-litigasi dengan mempergunakan perangkat alternative dispute resolution (ADR) untuk menyelesaikan sengketa perdata di luar pengadilan.

    Proses litigasi dengan mempergunakan perangkat court-connected dispute resolution (CCDR) untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa di bidang perdata sebelum dimulai pemeriksaan di pengadilan.

    Proses litigasi sebagai pemeriksaan perkara perdata di pengadilan.

    Proses negosiasi atau musyawarah, baik dengan maupun tanpa juru penengah, untuk menyelesaikan disharmoni hukum publik yang tidak bersifat pidana, seperti tumpang-tindih kewenangan dan benturan kepentingan antarinstansi pemerintah.

    Proses pemeriksaan perkara pidana untuk mengadili pelanggaran atau tindak-kejahatan.

    Substansi Harmonisasi

    Harmonisasi yang dilakukan untuk menanggulangi dan mencegah terjadinya disharmoni hukum memerlukan teknik-teknik penemuanhukum dalam rangka mempertegas kehendak hukum, kehendakmasyarakat, dan kehendak moral. Dengan demikian dapat disimpulkanbahwa harmonisasi hukum merupakan kegiatan penemuan kehendakhukum, kehendak masyarakat dan kehendak moral melalui kegiatanpenafsiran hukum dan penalaran hukum, serta pemberian argumentasiyang rasional kepada hasil penafsiran dan penalaran hukum. Dalam pengelolaan pesisir terpadu, harmonisasi harus dapat mencerminkanadanya keterpaduan dalam pengelolaan wilayah pesisir, dan sebaliknya di dalam keterpaduan pengelolaan tersebut juga tercermin harmonisasi hukum.

    Langkah-langkah Harmonisasi Hukum

    1. Identifikasi letak atau posisi disharmoni hukum di dalam penerapan peraturan perundang-undangan.

    2. Identifikasi penyebab terjadinya disharmoni hukum.

    3. Upaya penemuan hukum dengan menggunakan metode penafsiran

  • xxii Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

    dan metode konstruksi hukum untuk mengubah keadaan hukum yang disharmoni menjadi harmoni.

    4. Upaya penalaran hukum agar supaya hasil penafsiran dan konstruksi hukum tersebut masuk akal atau memenuhi unsur logika.

    5. Penyusunan argumentasi yang rasional dengan mempergunakan pemahaman teknik pengelolaan wilayah pesisir terpadu untuk mendukung dan menjelaskan hasil penafsiran hukum, konstruksi hukum, dan penalaran hukum.

    Arah dari Langkah-langkah Harmonisasi Hukum

    Penafsiran hukum, konstruksi hukum, penalaran hukum, dan argumentasi yang rasional dilakukan untuk menemukan:

    a. Kehendak hukum atau cita hukum (recht idee), yaitu kepastian hukum.

    b. Kehendak masyarakat, yaitu keadilan.

    c. Kehendak moral, yaitu kebenaran.

    Pendekatan dalam Melakukan Harmonisasi Hukum

    1. Harmonisasi Hukum dengan Mengacu kepada Peraturan Perundang-undangan

    UU Nomor 11 Tahun 1967 dan peraturan pelaksanaannya menegaskan bahwa pemerintah dapat memberi surat keputusan pemberian kuasa pertambangan, yaitu kuasa pertambangan yangdiberikan kepada perusahaan negara, perusahaan daerah, badanhukum, atau perorangan untuk melakukan usaha pertambangan(Pasal 1 jo. Pasal 2 PP 32/69).3 Bila Pasal 14 UU Nomor 11 Tahun 1967dikaitkan dengan Pasal 7 PP Nomor 32 Tahun 1969, maka kuasa pertambangan tersebut terdiri atas kuasa pertambangan penyelidikanumum, kuasa pertambangan eksplorasi, kuasa pertambanganeksploitasi, kuasa pertambangan pengolahan dan pemurnian, kuasapertambangan pengangkutan, dan kuasa pertambangan penjualan.Pengawasan terhadap berbagai kegiatan usaha pertambangan perludilakukan dalam rangka menjamin bahwa kegiatan usaha pertambangan tersebut senantiasa memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 29 dan Pasal 30 UU Nomor 11 Tahun1967 jo. Pasal 64 dan Pasal 65 PP Nomor 32 Tahun 1969).

    Untuk kepentingan harmonisasi hukum dalam pengelolaan wilayahpesisir dan laut, pelaksanaan kuasa pertambangan penyelidikan umumdan kuasa pertambangan eksplorasi seyogyanya dipandang sebagai

  • xxiiiRingkasan Eksekutif

    kegiatan perencanaan dan penataan (planning and organizing).Kegiatan perencanaan dan penataan tersebut merupakan landasan bagidilaksanakannya kuasa pertambangan eksploitasi, pengolahan,pemurnian, pengangkutan, dan penjualan (actuating). Dalam kaitanini, pengawasan (controlling) dilakukan terhadap kegiatan pelaksanaansemua kuasa pertambangan. Pengelolaan terhadap sumber daya pertambangan dengan asas konservasi dilakukan untuk menjaminbahwa pemanfaatan sumber daya melalui pelaksanaan berbagaimacam kuasa pertambangan dilaksanakan secara bijaksana [Pasal 1butir (15) UU Nomor 23 Tahun 1997].

    Pasal 1 butir (2) jo. butir (15) UU Nomor 23 Tahun 1997 menegaskanbahwa pengelolaan lingkungan hidup dilakukan melalui kegiatanpenataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,pengawasan, dan pengendalian dengan tujuan untuk melestarikanfungsi-fungsi lingkungan hidup, dalam rangka menjamin pemanfaatansumber daya alam non-hayati secara bijaksana serta ketersediaan sumber daya alam hayati secara berkelanjutan bagi usaha-usahapemanfaatan. Dalam kaitan ini, pengelolaan pertambangan secarayuridis-normatif telah selaras dan serasi dengan pengelolaan lingkungan hidup.

    Pemanfaatan sumber daya alam hayati secara bijaksana menurut Pasal1 butir (2) UU Nomor 5 Tahun 1990 adalah pemanfaatan yangdilakukan dengan mempertimbangkan potential capacity dan carryingcapacity dari sumber daya alam hayati dan absorptive capacity darilingkungan sumber daya alam hayati tersebut. Pemanfaatan sumberdaya alam hayati secara bijaksana tersebut di dalam UU Nomor 31Tahun 2004 dikendalikan melalui pengelolaan perikanan berasaskankonservasi sumber daya ikan. Pasal 1 butir (7) UU Nomor 31 Tahun2004 mendefinisikan pengelolaan perikanan sebagai:

    [S]emua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulaninformasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan,alokasi sumber daya ikan [planning and organizing], dan implementasi[dari perencanaan atau actuating] serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan [controlling], yangdilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untukmencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dantujuan yang telah disepakati. Konservasi sumber daya ikan adalah upayaperlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasukekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan,dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkankualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.

  • xxiv Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

    Pengelolaan kehutanan sebagai pengelolaan sumber daya alam hayatidiatur oleh UU Nomor 41 Tahun 1999 jo. UU Nomor 5 Tahun 1990.Dengan demikian, substansi yuridis normatif dari pengelolaankehutanan tidak jauh berbeda dari pengelolaan perikanan, pengelolaansumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pengelolaan lingkunganhidup, dan pengelolaan pertambangan. Keseluruhan kegiatan pengelolaan tersebut senantiasa bersentuhan dengan ruang, di manapenataan ruang akan sangat menentukan pelaksanaan masing-masingkegiatan pengelolaan. Penataan ruang menurut Pasal 1 butir (3) UUNomor 24 Tahun 1992 adalah proses perencanaan tata ruang,pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dari definisi ini terlihat bahwa penataan ruang adalah kegiatan pengelolaanruang. Sementara itu, ruang merupakan wadah dari berbagai macamkegiatan pengelolaan sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati. Berdasarkan uraian singkat ini dapat dipahami bahwa penyelarasan dan penyerasian peraturan perundang-undangan yangsatu dengan lainnya dapat dilakukan melalui penataan ruang.

    2. Harmonisasi Hukum dengan Mengacu kepada Pengertian dan Ruang Lingkup

    Uraian tentang pengertian dan ruang lingkup pengelolaan konservasipesisir dan laut telah menunjukkan adanya kesamaan pemahaman tentang unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian dan ruanglingkup dengan unsur-unsur pengelolaan berasaskan konservasi yangdiatur di dalam UU Nomor 11 Tahun 1967, UU Nomor 5 Tahun 1990,UU Nomor 24 Tahun 1992, UU 23 Tahun 1997, UU Nomor 41 Tahun1999, dan UU Nomor 31 Tahun 2004.

    Pemahaman tentang pengelolaan berasaskan konservasi sebagaimanadiuraikan di dalam bab tentang Pengertian dan Ruang Lingkup adalahpemahaman berdasarkan common sense. Di dalam situasi dan kondisiyang penuh dengan berbagai macam peraturan perundang-undangan,common sense tidak boleh mati. Common sense tersebut merupakanperekat yang ampuh yang dapat digunakan oleh upaya harmonisasihukum untuk merekatkan berbagai peraturan perundang-undanganyang mengatur masalah pengelolaan kawasan konservasi pesisir dan laut.

    Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa penggunaan common sense dalam penataan ruang akan sangat membantu upayaharmonisasi tujuan, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedomanuntuk melaksanakan strategi agar tujuan dari masing-masing

  • xxvRingkasan Eksekutif

    peraturan perundang-undangan tercapai. Masing-masing peraturanperundang-undangan dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan lautmemiliki tujuan, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi agar tujuan tercapai. Oleh karena itu, interaksihukum yang terjadi antara beberapa peraturan perundang-undanganseyogyanya diarahkan untuk menghasilkan harmonisasi tujuan,harmonisasi strategi untuk mencapai tujuan, dan harmonisasi pedoman untuk melaksanakan strategi. Harmonisasi atau keterpaduanhukum tersebut akan memudahkan terwujudnya keterpaduan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut.Adalah sulit untuk memadukan lembaga-lembaga stakeholders apabilahukum yang menjadi landasan kegiatan mereka sulit untuk dipadukan.

    3. Harmonisasi Hukum dengan Mengacu kepada Keterpaduan Kelembagaan

    Aspek hukum dan kelembagaan (legal and institutional aspects) dalampelaksanaan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut diwujudkandalam bentuk interaksi hukum dan kelembagaan.4 Masing-masing stakeholders yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan, baik lembagapemerintah, lembaga swasta maupun lembaga masyarakat,memperoleh mandat hukum dari peraturan perundang-undanganyang berlaku untuk melakukan satu, dua, atau beberapa komponenkegiatan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut. Oleh karena itudapat dipahami bahwa masing-masing komponen kegiatan pengelolaan merupakan interaksi hukum dan kelembagaan.

    Oleh karena interaksi hukum dan kelembagaan terjadi di setiap komponen kegiatan pengelolaan dan juga antarkomponen kegiatan didalam pengelolaan, maka keterpaduan tersebut hendaknya dapat diupayakan untuk terwujud di setiap lini dan tingkatan interaksihukum dan kelembagaan. Upaya untuk memadukan peraturan perundang-undangan pengelolaan, atau paling tidak untuk menyelaraskan dan menyerasikannya, dapat dilakukan melalui penafsiran hukum, penalaran hukum, dan argumentasi rasional dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masing-masinglembaga dengan arahan utama untuk mengembangkan fungsi lindungdari kawasan konservasi pesisir dan laut. Apabila keterpaduan hukumdapat diwujudkan, maka masalah keterpaduan dalam aplikasinya jugaharus selalu diupayakan oleh lembaga pengelola kawasan konservasipesisir dan laut. Keterpaduan kelembagaan senantiasa akan menjadijaminan bagi terselenggaranya harmonisasi hukum dalam pengelolaanwilayah pesisir dan laut.

  • xxvi Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

    4. Harmonisasi Hukum dengan Mengacu kepada UUD 1945 dan UU Nomor 32 Tahun 2004

    Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan sumber hukum sekaligus landasan hukum bagi setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alampesisir dan laut. Sehubungan dengan itu, Pasal 18A UUD menetapkanbahwa hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerahdalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya harusdiatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Undang-Undang yang dimaksudkan di sini adalah peraturanperundang-undangan yang berkaitan dengan upaya pengelolaanwilayah pesisir dan laut.

    Pasal 237 jo. Pasal 238 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 20045

    menyatakan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang telahada dan berkaitan dengan pemerintahan daerah tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, sertayang berkaitan dengan daerah otonom wajib mendasarkan danmenyesuaikan pengaturannya pada UU Nomor 32 Tahun 2004.Dengan demikian, banyak peraturan perundang-undangan yang harusdisesuaikan dan diselaraskan dengan bunyi UU Nomor 32 Tahun2004, sepanjang yang berkaitan dengan daerah otonom dan pemerintahan daerah.

    Daerah kabupaten/kota yang memiliki wilayah laut diberi kewenanganuntuk mengelola sumber daya di wilayah laut [Pasal 18 ayat (1) UUNomor 32 Tahun 2004), di mana pengelolaan tersebut meliputikegiatan-kegiatan [Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004]:

    a. Eksplorasi

    b. Eksploitasi

    c. Konservasi

    d. Manajemen kekayaan laut

    e. Pengaturan administratif

    f. Pengaturan tata ruang

    g. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah

    h. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan

    i. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara

    Pasal 18 ayat (3) butir (a) dan (c) UU Nomor 32 Tahun 2004 memberi kewenangan kepada daerah untuk melakukan pengelolaan

  • xxviiRingkasan Eksekutif

    sumber daya alam pesisir dan laut melalui penataan ruang dengan fokus konservasi.

    5. Harmonisasi Pengelolaan dengan Mengacu kepada Upaya Kodifikasi dan Unifikasi

    Upaya kodifikasi dan unifikasi hukum merupakan upaya untuk mengunci hasil harmonisasi hukum agar tidak berubah lagi, atauandaikata harus berubah, maka perubahan tersebut harus mengacukepada unifikasi hukum yang telah dikodifikasikan. Upaya kodifikasiadalah upaya untuk menghimpun peraturan perundang-undanganyang mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan laut ke dalam satubuku. Proses kodifikasi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan sebagaiberikut:

    a. Merumuskan pengertian dan ruang lingkup dari masing-masing unsur yang terkandung di dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Pengertian dan ruang lingkup ini akan menjadi dasar untuk membentuk buku-buku dari suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Sebagai contoh dari buku-buku tersebut adalah sebagai berikut: Buku I Sumber Daya Pesisir dan Laut; Buku II Pengelolaan; Buku III Konservasi; Buku IV Kawasan; dan Buku V Kelembagaan.

    b. Melakukan harmonisasi hukum dengan menggunakan metode penemuan hukum, dengan memperhatikan sistem hukum yang berlaku, dengan memperhitungkan dampak hukum yang timbul,serta dengan mempertimbangkan kendala dan hambatan hukum,ius constitutum dan ius constituendum.

    c. Memasukkan hukum hasil harmonisasi ke dalam kelima buku dari Kitab Undang-Undang Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Semua ketentuan hukum yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sumber daya pesisir dan laut dimasukkan ke dalam Buku I, yang mengatur tentang pengelolaan dimasukkan ke dalam Buku II, yang mengatur tentang konservasi dimasukkan ke dalam Buku III, yang mengatur tentang kawasan dimasukkan ke dalam Buku IV, dan yang mengatur tentang kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi pesisir dan laut dimasukkan ke dalam Buku V.

    d. Mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pengelolaan tersebut sebagai Undang-Undang.

    Kodifikasi hukum tersebut akan memudahkan terjadinya, tidakhanya harmonisasi hukum, melainkan juga unifikasi hukum.

  • xxviii Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

    Unifikasi hukum ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:

    a. Adanya satu kitab Undang-Undang.

    b. Adanya satu persepsi atau satu pemahaman tentang hukum yang berlaku.

    c. Adanya satu sikap dan perilaku terhadap hukum yang berlaku.

    d. Adanya prinsip-prinsip non-diskriminasi.

    e. Adanya konsistensi dalam penerapan dan penegakan hukum.

    Terwujudnya kodifikasi dan unifikasi hukum akan menjamin terwujudnya kepastian hukum dan keadilan. Di samping itu,kodifikasi dan unifikasi hukum akan menjadi landasan bagi pengembangan dinamika harmonisasi hukum.

    CATATAN AKHIR1 Perangkat ADR terdiri atas musyawarah, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, dan

    arbitrase yang dilakukan di luar pengadilan atau disebut juga non-litigasi.

    2 CCDR adalah ADR di dalam kerangka pemeriksaan di pengadilan, di mana hakimmempunyai kewajiban untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa sebelumpemeriksaan di pengadilan dimulai.

    3 PP Nomor 32 Tahun 1969 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.

    4 Tommy H. Purwaka. Coastal and Marine Resources Management, Legal andInstitutional Aspects. Bogor: IPB, 1998.

    5 Pasal 237 UU Nomor 32 Tahun 2004: Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkandan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini. Pasal 238 ayat (1) UUNomor 32 Tahun 2004: Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan denganpemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku.

  • 1

  • 2PendahuluanWilayah pesisir Indonesia yang membentang sepanjang 81.000 km merupakan wilayah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan yang kaya dengan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. Berbagai macam energi dan sumberdaya mineral, sumber daya perikanan, dan ekosistemnya terdapat di wilayah pesisir. Konsentrasi penyebaran pendudukbeserta kegiatan ekonomi dan pertumbuhan kota-kota juga terletak di wilayah pesisir. Semua provinsi di Indonesia memiliki wilayah pesisir. Dengan demikian, wilayah pesisir tersebut merupakan wilayah dari banyak kabupaten dan kota.

    Wilayah pesisir juga dapat dipahami sebagai wilayah tempatbertemunya berbagai kepentingan, baik pemerintah, pengusahamaupun masyarakat dalam rangka memanfaatakan wilayahpesisir dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.Dalam kaitan ini, pengaturan pengelolaan wilayah pesisir,pemanfaatan sumber daya pesisir dan ekosistemnya melalui peraturan perundang-undangan memiliki kedudukan pentingdalam upaya memperkecil, mencegah, atau bahkan menghindarkan terjadinya tumpang-tindih kewenangan danbenturan kepentingan.

    Lingkup pengaturan pengelolaan wilayah pesisir tersebut mencakup berbagai peraturan perundang-undangan yangdikeluarkan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi,pemerintah kabupaten/kota, hukum adat, serta ketentuan-

  • 3ketentuan hukum internasional yang berkaitan dengan masalahpengelolaan pesisir, baik yang belum maupun telah diratifikasi.Perbedaan persepsi dan kepentingan telah memicu terjadinyatumpang-tindih kewenangan dan benturan kepentingan dalampenerapan peraturan perundang-undangan pengelolaan wilayahpesisir. Upaya untuk mencegah atau bahkan untuk meniadakanterjadinya tumpang-tindih dan benturan kepentingan tersebutdapat dilakukan, antara lain, melalui harmonisasi peraturanperundang-undangan pengelolaan wilayah pesisir.

    Buku tentang Menuju Harmonisasi Sistem Hukum SebagaiPilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia ini terdiri atas 7 (tujuh) bagian.

    Bagian Pertama yang berjudul Konsep Harmonisasi Hukumdan Peraturan Perundang-undangan berupaya untuk meletakkan pemahaman harmonisasi peraturan perundang-undangan sebagai landasan bagi pembahasan-pembahasan yangakan diuraikan dalam keenam bagian lainnya. Bagian pertamaterdiri atas satu tulisan, yaitu tulisan dari Shidarta. Shidartadalam tulisannya yang berjudul Kerangka Berpikir HarmonisasiPeraturan Perundang-undangan dalam Pengelolaan Pesisirmengemukakan bahwa harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan menerapkan asas-asas hukum yangberlaku, menggunakan metode-metode interpretasi, dan mengacu pada hierarki peraturan perundang-undangan didalam kerangka sistem hukum nasional Indonesia.

  • 4Bagian Kedua dari buku ini berjudul Prinsip-prinsip Harmonisasidalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, yang mengetengahkan pandangan Dietriech G. Bengen tentang Urgensi Pengelolaan WilayahPesisir Secara Terpadu. Bengen berpendapat bahwa kompleksitaswilayah pesisir memerlukan pengelolaan secara terpadu. Pengelolaanwilayah pesisir secara terpadu mutlak harus memperhatikan keterkaitan kapasitas fungsional ekosistem pesisir dan laut dan lahanatas, serta keterpaduan sektor dan berbagai pemangku kepentingan(stakeholders). Bagian ini juga menyajikan tulisan Jacub Rais yangberjudul Harmonisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Melalui PenataanRuang Laut-Darat Terpadu.

    Bagian Ketiga yang berjudul Tinjauan Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Wilayah Pesisir Nasional akan membahas kondisi saat ini dari pengaturan pengelolaan wilayah pesisir olehsejumlah sektor terkait, seperti pertambangan, minyak, dan gas bumi,pasir laut, kehutanan, perikanan tangkap dan, perikanan budidaya.Bagian ini didahului oleh pembahasan mengenai karakteristik hukumpengelolaan terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan sumber daya alam. Bagian inilah yang akan menjadi pengantar bagibab-bab selanjutnya yang membicarakan tentang pengaturan pengelolaan wilayah pesisir terkait sektor. Daud Silalahi menulis tentang pertambangan, minyak, dan gas bumi. Tommy H. Purwakamenulis tentang penambangan pasir laut, perikanan tangkap danperikanan budidaya. Sulaiman N. Sembiring menulis tentangkehutanan.

    Bagian Keempat yang berjudul Tinjauan Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Wilayah Pesisir Daerah. Bagian ini ditulis olehRikardo Simarmata dan Denny Karwur. Bagian ini membahas kondisipengaturan pengelolaan wilayah pesisir oleh daerah saat ini, dan membandingkan status hukum di beberapa pemerintah daerah di Indonesia.

    Bagian Kelima berjudul Tinjauan Hukum Adat dalam tentangPengelolaan Wilayah Pesisir. Bagian ini ditulis oleh Ronny Z. Titaheludan mengungkapkan bagaimana seharusnya posisi hukum adat diletakkan sejajar dengan hukum negara. Bagian ini juga mencakupsatu boks tentang Revitalisasi Hak Tradisional dalam PengelolaanSumber Daya Pesisir di Kabupaten Lombok Timur oleh Aris Kabul Pranoto.

    Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

  • 5Bagian Keenam berjudul Tinjauan Hukum Internasional PengelolaanWilayah Pesisir. Bagian ini mencakup tiga bab. Bab pertama oleh JasonM. Patlis merupakan tinjauan atas konvensi dan hukum internasionaltentang sumber daya laut dan pesisir, dan merupakan contoh-contohhukum pesisir di negara asing. Bab kedua oleh Etty R. Agoes membahas analisis mengenai Konvensi Hukum Laut dan Agenda 21,dengan penafsiran keduanya sehingga saling konsisten. Bab ketiga olehHasjim Djalal memandang posisi Indonesia di dalam konteks hukuminternasional tentang pengelolaan pesisir dan laut.

    Bagian Ketujuh, yang berjudul Menuju Harmonisasi, adalah bagianterakhir. Uraian dalam bagian ini mengetengahkan situasi dan kondisinyata dari harmonisasi peraturan perundang-undangan pengelolaanwilayah pesisir sebagai kesimpulan dari bagian ketiga sampai denganbagian keenam, serta antisipasi dan solusi terhadap situasi dan kondisi tersebut sebagai saran-saran dalam upaya mewujudkan harmonisasiperaturan perundang-undangan pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia.

    Pendahuluan

  • Bagian Pertama

    IKonsep Harmonisasi Hukum danPeraturan Perundang-undangan

    Bagian Pertama melihat konsep hukum dan hukum perundang-undangan secara umum. Bagian ini akanmengekpslorasi karakteristik sistem hukum Indonesia,sumber prinsip hukum dan konstruksi hukum. Sebelummelihat secara kritis hukum terkait pengelolaan wilayahpesisir dan bagaimana hukum tersebut dapat diharmonisasikan, perlu dipahami isu sistemik yang mengatur sistem hukum Indonesia. Apakah alasan sistemikakan disharmoni dalam kerangka hukum? Mengapa alasanini muncul dan bagaimana pemecahannya? Hanya denganmengetahui sistem hukum secara umum, dapat dikenaliketika hukum tertentu terkait sumber daya pesisir dapat diharmonisasikan. Di samping tentunya, perlu dimulaisuatu identifikasi permasalahan yang muncul dalamkerangka hukum, termasuk secara spesifik terkait denganhukum pengelolaan wilayah pesisir dan sumber daya alam,sebagai upaya untuk melakukan intervensi yang sesuaidalam memulai suatu harmonisasi hukum. Hal inilah yang menjadi tujuan dalam bagian pertama.

  • 11. Pendahuluan2. Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

    2.1 Pengertian Sistem Hukum2.2 Latar Belakang Sejarah Sistem Hukum2.3 Sumber Material Hukum2.4 Sumber Formal Hukum2.5 Komentar

    3. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan3.1 Menurut Hukum Positif3.2 Menurut Doktrin (pendapat para ahli hukum)3.3 Komentar

    4. Hak Uji Peraturan Perundang-undangan4.1 Mahkamah Konstitusi4.2 Mahkamah Agung4.3 Komentar

    5. Prinsip-prinsip Penemuan Hukum5.1 Aliran-aliran Penemuan Hukum5.2 Asas-asas Penemuan Hukum5.3 Metode Penafsiran5.4 Metode Konstruksi5.5 Komentar

    6. Masalah-masalah Lain Yang Harus Dicermati6.1 Keabsahan suatu Undang-Undang6.2 Rumusan dalam Ketentuan Penutup

    7. RekomendasiCatatan Akhir

    Kerangka Berpikir Harmonisasi

    Peraturan Perundang-undangan

    dalam Pengelolaan PesisirShidarta

    8

  • 91. Pendahuluan

    Kerangka berpikir yang disajikan dalam tulisan ini adalah untuk keperluan pembahasan tentang harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan pesisir. Istilah harmonisasi sebenarnyamerupakan terminologi dalam ilmu musik untuk menunjukkanadanya keselarasan dan keindahan nada-nada. Istilah ini menjadi relevan untuk digunakan dalam bidang hukum, mengingat hukumpun membutuhkan keselarasan agar dapat dirasakan manfaatnya olehsegenap lapisan masyarakat.

    Pertemuan para ahli hukum yang diadakan oleh Badan PembinaanHukum Nasional (BPHN) Januari 1995, menegaskan pula pentingnyaharmonisasi hukum ini, dengan menyatakan bahwa suatu sistemhukum terus mengalami perubahan (in the making). Butir keempatkesimpulan dari pertemuan BPHN tersebut selanjutnya berbunyi:Sistem hukum nasional Indonesia juga merupakan hasil proses harmonisasi antara sejumlah unsur dan faktor yang diolah berdasarkandan memegang teguh paradigma, asas-asas, norma, dan metodehukum yang pasti, sebagaimana disepakati sebelumnya.

    Kemajemukan sistem hukum di Indonesia memang sangat potensialmenimbulkan disharmoni. Potensi itu, misalnya, terjadi karena adademikian banyak jenis peraturan perundang-undangan. Peraturan itudikeluarkan oleh berbagai instansi, yang satu sama lain sering kali tidakberkoordinasi secara baik. Tata urutan peraturan perundang-undanganmemang sudah dibuat. Namun demikian, tata urutan ini tidak selamanya dapat dijadikan pegangan karena dalam kenyataannya adaberbagai peraturan yang berlaku efektif kendati tidak ada dalam tataurutan yang diakui oleh hukum positif tersebut. Semua persoalan diatas tentu saja memberi kontribusi bagi disharmonisasi sistem hukum Indonesia.1

  • 10 Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

    Menurut pengamatan L.M. Lapian Gandhi terhadap praktik hukum diIndonesia, ada sejumlah penyebab timbulnya disharmoni itu.Ia menyinggung 8 (delapan) faktor, yakni:2

    1. Perbedaan antara berbagai Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan. Selain itu, jumlah peraturan yang makin besar menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenal semua peraturan tersebut. Dengan demikian pula, ketentuan yang mengatakan bahwa semua orang dianggap mengetahui semua Undang-Undang yang berlaku niscaya tidak efektif;

    2. Pertentangan antara Undang-Undang dengan peraturan pelaksanaan;

    3. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan instansi pemerintah. Kita kenal berbagai juklak, yaitu petunjuk pelaksanaan yang malahan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang akan dilaksanakan;

    4. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi dan Surat Edaran Mahkamah Agung;

    5. Kebijakan-kebijakan instansi Pemerintah Pusat yang saling bertentangan;

    6. Perbedaan antara kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah;

    7. Perbedaan antara ketentuan hukum dengan perumusan pengertian tertentu;

    8. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas.

    Kesan disharmoni tadi dapat dijumpai di berbagai area pengaturanhukum. Salah satunya adalah di bidang pengelolaan sumber dayapesisir (coastal resource management). Disharmoni dalam bidang pengelolaan pesisir tersebut tidak dapat dipisahkan dari problematikadasar sistem hukum Indonesia. Artinya, pemahaman terhadap persoalan dasar itu harus terlebih dulu diletakkan, sebelum analisis ke arah harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan pesisir itu tadi dapat dilakukan. Pemahaman terhadapproblema dasar inilah yang dijadikan kerangka berpikir dalam penelitian ini.

    Setiap rumusan harus diartikan menurut konteksnya sendiri-sendiri,yang satu sama lain berada dalam ruang lingkup satu sistem hukumnasional, yaitu sistem hukum Indonesia. Untuk itu, paparan berikutdimulai dengan memberikan gambaran tentang karakteristik sistemhukum Indonesia. Guna memasuki pemahaman lebih utuh tentang

  • 11Bab 1 Kerangka Berpikir Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam Pengelolaan Pesisir

    sistem hukum Indonesia tadi, perlu diketahui pengertian sistemhukum itu, latar belakang sejarah yang menyertai perjalanannya, sertasumber material dan formal hukum yang digunakan.

    Sebagai bagian dari keluarga civil law system, kedudukan dan fungsiperaturan perundang-undangan sebagai sumber hukum di Indonesia,sangatlah penting. Analisis peraturan perundang-undangan hanyamungkin dilakukan apabila tata urutan peraturan perundang-undangan itu dipahami dengan baik. Saat ini masalah tata urutan inimasih menjadi perdebatan, sehingga suasana perdebatan ini patutjuga dikemukakan, yakni melalui uraian sejumlah pendapat, baik ditinjau dari hukum positif, doktrin (pendapat para ahli), dan rancangan Undang-Undang yang rencananya akan segera diberlakukan.

    Upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan juga membukakemungkinan anggota masyarakat atau pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk melakukan pengujian dengan cara mengajukanpermohonan atau gugatan. Dewasa ini sudah tersedia dua lembaganegara yang menjalankan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan, yaitu Mahkamah Konstitusi dan MahkamahAgung. Gambaran tentang proses beracara di 2 (dua) lembaga inidibentangkan pula.

    Akhirnya pekerjaan harmonisasi tersebut akan dapat dilakukan denganbaik jika para penstudinya memahami prinsip-prinsip penemuanhukum (recthsvinding). Ada beberapa aliran yang akan dikemukakan disini, diikuti dengan penjelasan tentang asas-asas hukum yang dikenalluas dalam penemuan hukum. Sebelum ditutup dengan rekomendasiyang mengarahkan secara lebih konkret langkah-langkah para penstudidalam pekerjaan harmonisasi peraturan perundang-undangan dibidang pengelolaan pesisir ini, terdapat sejumlah catatan tambahanberkenaan dengan masalah-masalah yang harus dicermati seputar peraturan perundang-undangan di Indonesia. Rekomendasi padabagian terakhir ini diharapkan dapat mengaitkan kebutuhan teknispara penstudi dalam menganalisis peraturan perundang-undangantersebut dengan landasan berpikir (theoretical framework) dari pekerjaan ini.

    2. Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

    2.1 Pengertian Sistem Hukum

    Secara sederhana, sistem berarti sekelompok bagian-bagian (alat dansebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu

  • 12 Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

    maksud,3 atau Group of things or part working together in a regular relation.4 Definisi yang kurang lebih sama diberikan oleh Blacks LawDictionary, yang mengartikan sistem sebagai Orderly combination orarrangement, as of particulars, parts, or elements into a whole; especiallysuch combination according to some rational principle.5

    Banyak unsur-unsur yang terjalin dalam suatu sistem. Hal ini terlihatpada hukum sebagai suatu sistem. Sudikno Mertokusumo mengibaratkan sistem hukum sebagai gambar mozaik, yaitu gambaryang dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil untuk kemudiandihubungkan kembali, sehingga tampak utuh seperti gambar semula.Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas hubungannya dengan yang lain, tetapi kait-mengait dengan bagian-bagian lainnya.Tiap bagian tidak mempunyai arti di luar kesatuan itu. Di dalam kesatuan itu tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi.Kalau sampai terjadi konflik, maka akan segera diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri.6

    Berbicara tentang sistem hukum berarti berbicara tentang sesuatuyang berdimensi sangat luas. Secara mudah sistem hukum dapatdibedakan menjadi tiga komponen, yakni: (1) struktur hukum,(2) substansi hukum, dan (3) budaya hukum.

    Komponen pertama adalah struktur hukum. Menurut Lawrence M.Friedman, yang dimaksud dengan suatu struktur sistem hukum adalah:7

    ... its skeleton or framework, the durable part, which gives a kind of shapeand definition to the whole.... The structure of a legal system consists ofelements of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction (that is, what kind of cases they hear, and how and why); and modes of appeal from one court to another. Structure also means how the legislature is organized, how many members..., what a president can (legally) do or not do, what procedures the police department follows,and so on. Structure, in a way, is a kind of cross section of the legal system? a kind of still photograph, which freezes the action.

    Dalam pengelolaan pesisir, misalnya, struktur hukum di sini berupalembaga-lembaga negara dan pemerintahan yang lingkup tugasnyaterkait dengan pengelolaan pesisir. Di dalam lembaga itu bekerja paraaparatur negara dan pemerintahan yang menjadi tulang punggung bekerjanya sistem pengelolaan pesisir di Indonesia. Keberadaan lembaga-lembaga seperti Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP),Kementerian Lingkungan Hidup, Bappenas, Polri, pengadilan, adalahcontoh konkret dari struktur hukum bidang pengelolaan pesisir ini.Bahkan, perkembangan dewasa ini dapat pula memasukkan lembaga-

  • 13Bab 1 Kerangka Berpikir Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam Pengelolaan Pesisir

    lembaga yang didirikan oleh masyarakat (lembaga swadaya masyarakat;ornop) yang telah mendapat pengakuan sebagai pemangku kepentingan(stakeholders) dari sistem pengelolaan pesisir di Indonesia. Setiap lembaga di atas memiliki peran sesuai dengan kewenangan masing-masing.

    Komponen kedua dari sistem hukum adalah substansi, yaitu... the actual rules, norms, and behavior patterns of people inside the system.8 Definisi ini menunjukkan pemaknaan substansi hukum yanglebih luas daripada sekadar stelsel norma formal (formele normenstelsel).Friedman memasukkan pula pola-pola perilaku sosial dan norma-norma sosial selain hukum, sehingga termasuk juga etika sosial sepertiasas-asas kebenaran dan keadilan. Jadi, yang disebut komponen substansi hukum di sini adalah semua asas dan norma yang dijadikanacuan oleh masyarakat dan pemerintah. Dalam pengelolaan pesisir,misalnya, substansi hukum ini meliputi peraturan perundang-undanganyang dibuat oleh lembaga-lembaga yang berwenang. Namun bukan itusaja, asas-asas hukum yang tertulis maupun tidak tertulis juga termasukkriteria ini. Apa yang disebut dengan nilai-nilai adat atau tradisi yangdipraktikkan secara turun-temurun oleh komunitas nelayan diLampung, Sulawesi Utara, atau Papua, adalah cerminan dari substansihukum juga.

    Sekalipun substansi hukum itu ada yang tertulis dan tidak tertulis, tetapharus berakar pada pandangan hidup (falsafah) tertinggi yang diakui dinegara Republik Indonesia. Pandangan hidup inilah yang menjadi esensidari semua substansi hukum itu. Untuk konteks Indonesia, falsafah inidisebut Pancasila. Fungsinya adalah sebagai bintang pemandu(Leitstern) bagi penciptaan dan penerapan sistem hukum Indonesia.

    Komponen ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum, yang diartikan oleh Friedman sebagai:9

    ... peoples attitudes toward law and legal system?their beliefs, values, ideas,and expectations. . . The legal culture, in other words, is the climate ofsocial thought and social force which determines how law is used, avoided,or abused. Without legal culture, the legal system is inert? a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea.

    Budaya hukum juga dapat diberikan batasan yang sama dengankesadaran hukum.10 Konsep kesadaran hukum ini dibedakan oleh J.J. von Schmid dengan konsep perasaan hukum. Menurutnya,perasaan hukum merupakan produk penilaian masyarakat secara spontan yang tentu saja bersifat subjektif, sedangkan kesadaran hukumlebih merupakan hasil pemikiran, penalaran, dan argumentasi yang

  • 14

    dibuat oleh para ahli, khususnya ahli hukum. Kesadaran hukum adalahabstraksi (para ahli) mengenai perasaan hukum dari para subjekhukum. Dalam konteks pembicaraan tentang sistem hukum ini, tentusaja yang dimaksud dengan budaya hukum ini adalah kesadaran hukumdari subjek-subjek hukum suatu komunitas secara keseluruhan.11

    Jadi, sekalipun struktur hukum (misalnya DKP) dan substansi hukum(misalnya Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir) bekerja danberlaku untuk semua Indonesia, tetap saja terbuka kemungkinan adanyaperbedaan di sana-sini tentang pola kerja aparat DKP dan penerapan perundang-undangan tadi di daerah-daerah tertentu. Hal initerjadi karena ada interaksi antara aparatur DKP, Undang-Undang yangberlaku, dan budaya masyarakat setempat.

    Tiga komponen sistem hukum yang dikemukakan Friedman di atasmemiliki kemiripan dengan pandangan Kees Schuit. Menurutnya,sebuah sistem hukum terdiri atas tiga unsur yang memiliki kemandiriantertentu (identitas dengan batas-batas yang relatif jelas) yang salingberkaitan, dan masing-masing dapat dijabarkan lebih lanjut.Unsur-unsur yang mewujudkan sistem hukum itu adalah:12

    Unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yangterdiri atas atuan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilahyang oleh para yuris disebut sistem hukum. Bagi para sosiologhukum, masih ada unsur lainnya;

    1. Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga, yang didirikan dalam suatu sistemhukum. Yang termasuk ke dalamnya adalah juga para pengembanjabatan (ambtsdrager), yang berfungsi dalam kerangka suatu organisasiatau lembaga;

    2. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan danperbuatan-perbuatan konkret yang berkaitan dengan sistem maknadari hukum, baik dari para pengemban jabatan maupun dari parawarga masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem hukum itu.

    Demikianlah, berarti sistem hukum Indonesia juga dapat dilihat sebagaikumpulan dari tiga komponen tersebut. Kita tidak mungkin berbicaratentang sistem hukum Indonesia tanpa mengaitkan ketiganya sekaligus.Memang benar bahwa penelitian tentang harmonisasi peraturan perundang-undangan lebih menekankan pada penelitian substansihukumnya, namun pemaknaan terhadap isi suatu peraturan perundang-undangan akhirnya tidak mungkin terlepas dari kontekssiapa yang menafsirkan isi peraturan itu dan lingkungan tempat sipenafsir itu berada. Ini semua menentukan sudut pandang yangbersangkutan dalam memaknai suatu substansi hukum.

    Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

  • Untuk mempermudah pemahaman, ketiga komponen sistem hukumitu dapat digambarkan dalam Gambar sebagai berikut.

    Gambar 1. Bangunan Suatu Sistem Hukum

    Ada contoh sederhana untuk menjelaskan hal di atas. Misalnya, Pasal 3Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan berbunyi:

    Pengelolaan sumber daya ikan dalam wilayah perikanan RepublikIndonesia ditujukan kepada tercapainya manfaat sebesar-besarnya bagibangsa Indonesia.

    Sekilas substansi ketentuan itu cukup jelas. Namun, batasan tentang

    15Bab 1 Kerangka Berpikir Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam Pengelolaan Pesisir

    Tiang kerangkanyaStruktur Hukum

    Bintang pemandu (leitstern)Cita Hukum

    Lapisan-lapisan materinyaSubstansi Hukum

    Lingkungan kehidupannyaBudaya Hukum

  • 16

    manfaat yang sebesar-besarnya itu mungkin sekali akan dilihat secaraberbeda antara Pemerintah dan LSM, atau antara Pemerintah Pusat danPemerintah Daerah. Lalu, kata bagi bangsa Indonesia juga dapatdimaknai secara berlainan antara nelayan tradisional (yang padat karya)dan industri perikanan berskala besar (yang padat modal). Jika terjadisengketa pengelolaan sumber daya ikan di suatu wilayah antara keduapihak tadi, mana di antara mereka yang lebih layak disebut mewakilikepentingan bangsa Indonesia?

    Ini berarti, untuk melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan tidak cukup hanya menyoroti dari sisi substansi hukumsemata. Peraturan perundang-undangan itu tidak berbicara sendiri,melainkan harus disuarakan oleh orang yang memaknainya. Oleh sebabitu, faktor siapa yang mengartikan (si penafsir; interpreter), terutamapola pikir atau sikap yang bersangkutan, memegang peranan sangatpenting dalam upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan tersebut.

    2.2 Latar Belakang Sejarah Sistem Hukum

    Secara yuridis formal, sistem hukum nasional Indonesia dinyatakanmulai ada sejak tanggal 17 Agustus 1945. Namun, substansi, struktur,dan budaya hukum yang telah ada sebelum Proklamasi Kemerdekaantidak dapat diabaikan begitu saja dalam menentukan wujud sistemhukum Indonesia itu di kemudian hari. Demi mencegah kekosongan(kevakuman) hukum, warisan peraturan perundang-undangan erasebelum kemerdekaan dinyatakan tetap berlaku. Hal ini dipertegas dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang notabene konstitusitersebut mulai berlaku per tanggal 18 Agustus 1945.

    Tidak dapat dipungkiri, pengaruh sistem hukum kolonial Belanda sangat kuat berakar dalam sistem hukum nasional Indonesia yang barudibangun itu. Penjajahan selama tiga setengah abad telah menanamkankarakter yang sangat kuat dalam sistem hukum Indonesia denganbercirikan keluarga civil law system, yaitu keluarga sistem hukum yangdianut terutama oleh negara-negara Eropa Kontinental. Di dunia saatini dikenal ada dua kelompok keluarga sistem hukum yang dominan,yaitu civil law system dan common law system.13

    Pemerintahan kolonial Belanda (Hindia Belanda) mulai secara seriusmembangun sistem hukum yang berkiblat ke Negeri Belanda pada periode tahun 18401890. Pada masa ini pemerintah mengeluarkankebijakan memberi kesempatan kepada pengusaha swasta Eropa untukberinvestasi di bidang perkebunan di Indonesia. Agar menarik minat

    Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

  • 17Bab 1 Kerangka Berpikir Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam Pengelolaan Pesisir

    investasi, semua peraturan di Negeri Belanda diberlakukan juga di tanahjajahannya melalui asas konkordansi (concordantie).14 Peradilan ditatamengikuti pola Eropa. Rakyat pribumi diperolehkan menundukkandiri yakni menyatakan secara sukarela tunduk pada hukum Belanda.Namun untuk hal-hal tertentu, pemerintah bahkan mengharuskansemua golongan penduduk tunduk pada hukum Belanda itu. Padatahun 1870 berlaku pula Undang-Undang Agraria (Agrarisch Wet) yangmemberi hak atas tanah (disebut hak erfpacht) bagi para investor asing.Sekalipun demikian, hak-hak tanah adat tetap diakui.

    Periode tahun 18901942 terjadi krisis ekonomi dan politik yang cukupmengubah wajah sistem hukum di Indonesia. Harga produk pertanianmerosot membuat usaha perkebunan tidak lagi menguntungkan.Sementara itu kaum liberal memegang tampuk kekuasaan di NegeriBelanda. Penguasa baru ini ingin mengembangkan sikap politik yanglebih manusiawi terhadap rakyat di tanah jajahan (dikenal dengan kebijakan pengasuhan atau voogdij). Salah satu perwujudan kebijakanvoogdij itu adalah berupa pendirian sekolah-sekolah untuk rakyat pribumi, termasuk Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta.Untuk lebih memahami kondisi masyarakat pribumi, sampai tahun1910 berkembang studi-studi etnografi sebagaimana antara lain dirintisoleh C. van Vollenhoven. Hasil studi akademis ini sampai sekarangmasih menjadi acuan akademik yang mendukung eksistensi hukumadat di Indonesia.

    Setelah tahun 1910 sampai dengan masuknya Tentara PendudukanJepang (1942), studi-studi yang dirintis oleh ahli-ahli Belanda tersebutditeruskan oleh generasi kedua yang berada di Indonesia. Sebagian darimereka ada yang berkebangsaan Belanda (seperti B. ter Haar Bzn., tetapisebagian lagi adalah orang-orang Indonesia sendiri). Mereka membuatpembelaan-pembelaan bagi keberadaan hukum adat agar sejajar denganhukum Barat. Di sisi lain mereka juga menolak anggapan yang menyamakan antara hukum adat dan hukum Islam, baik hukum Islamsebagai subordinat dari hukum adat, maupun sebaliknya. Dapatdikatakan bahwa fenomena pluralisme dalam sistem hukum Indonesiadi kemudian hari memperoleh akar penguatannya pada periode ini.

    Melalui Lembaran Negara (Staatblad) Tahun 1854 No. 129 dan Tahun1855 No. 2 diberlakukan suatu peraturan yang menegaskan bahwauntuk golongan penduduk asli (pribumi Indonesia) berlaku hukumagama, lembaga-lembaga, dan kebiasaan-kebiasaan mereka, sejauh tidakbertentangan dengan asas-asas yang diakui umum tentang kepatutandan keadilan.15 Ketentuan ini menuai kritik pedas dari para pengemukahukum adat karena terkesan menempatkan hukum adat di bawah asas-

  • 18

    asas kepatutan dan keadilan yang dikenal dalam hukum Barat (Eropa).Artinya hukum Barat tetap lebih tinggi daripada hukum adat.

    Pengakuan setengah hati terhadap eksistensi hukum adat ini dikritikoleh banyak pembela hukum adat. Di sisi lain, Pemerintah KolonialBelanda sendiri tetap memiliki keinginan kuat untuk tetap mengupayakan adanya unifikasi hukum dan kodifikasi hukum. Upayaini tentu mendapat tentangan dari pembela hukum adat dan kalanganIslam, namun tidak sedikit pula yang menganggapnya wajar dalamrangka memodernisasi sistem hukum Indonesia. Kitab Undang-UndangHukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-UndangHukum Dagang (Wetboek van Koophandel), misalnya, sudah dinyatakanberlaku sejak tahun 1847 untuk golongan Eropa, namun ternyata tidakbisa sepenuhnya berlaku untuk golongan penduduk lainnya. Satu-satunya kodifikasi yang berhasil diberlakukan untuk semua golonganpenduduk adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek vanStrafrecht) pada tahun 1918.16

    Karena tidak mungkin memaksakan unifikasi secara utuh di segalabidang hukum, sementara kritikan terhadap politik hukum kolonialmakin keras, maka akhirnya sejak tahun 1925 diberlakukan kebijakanbaru yang lebih kondusif bagi perkembangan hukum adat diIndonesia.17 Melalui peraturan baru yang disebut Indische Staatsregeling(IS) ini dinyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi golongan penduduk asli Indonesia (pribumi) adalah hukum adat, sepanjangkepentingan umum dan kepentingan sosial yang nyata dari merekatidak menghendaki lain. Dengan peraturan baru ini ingin ditunjukkanbahwa yang dapat menyimpangi keberlakuan hukum adat itu bukanlagi karena pertentangannya dengan hukum Barat, melainkan kepentingan umum dan sosial dari masyarakat pribumi itu sendiri.Demikianlah, maka sejak keberlakuan IS itulah, karakter kemajemukansistem hukum Indonesia dalam lapangan hukum perdata mendapat landasan formal-yuridisnya sampai sekarang.

    Di antara penjajahan Belanda dan era kemerdekaan, pada tahun19421945 terdapat masa pendudukan tentara Jepang. Mengingatdemikian singkat masa kekuasaan Jepang di Indonesia, tidak banyakwarisan peraturan yang diberikan. Peraturan yang disebut Osamu SeireNo. 1 Tahun 1942 bahkan memberi penegasan bahwa semua badan/peraturan lama (maksudnya era Hindia Belanda) masih berlaku sejauhsesuai dengan aturan Pemerintahan Militer Jepang. Golongan-golonganpenduduk yang dikenal dalam zaman Hindia Belanda, yaitu Eropa,Timur Asing, dan Pribumi, masih tetap dianut oleh PemerintahanMiliter Jepang. Sekalipun demikian, Jepang membuat perubahan dalam

    Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia

  • 19

    sistem peradilan. Hanya ada satu sistem peradilan untuk semua golongan penduduk (kecuali untuk warga negara Jepang).

    Setelah Indonesia merdeka (1945), ada keinginan kuat untuk menghapuskan perbedaan golongan-golongan penduduk tersebut.Namun, konsentrasi untuk perbaikan sistem hukum ini belum dapatdijalankan sepenuhnya mengingat fokus perhatian pemerintah yangbaru itu lebih kepada usaha mempertahankan kemerdekaan. Masa-masaini ditandai oleh pergantian konstitusi beberapa kali.

    Keinginan untuk menghilangkan pluralisme hukum dirumuskan secarategas (eksplisit) dalam Pasal 102 Undang-Undang Dasar Sementara(UUDS) yang berlaku efektif per tanggal 17 Agustus 1950. Oleh karenakemelut politik yang berkepanjangan, maka tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945. Sejak DekritPresiden ini Indonesia memasuki era demokrasi terpimpin di bawahkendali satu tangan Presiden Soekarno yang cenderung anti-Barat.

    Dapat diduga bahwa dalam era Orde Lama (Soekarno pasca-Dekrit) inikeinginan untuk membangun sistem hukum yang beridentitas keindonesiaan kembali mencuat. Hal itu ditandai antara lain denganpergantian simbol kehakiman dari semula berupa timbangan menjadipohon beringin pengayoman. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentangPokok Agraria pun dikeluarkan dengan mengadopsi cukup banyakunsur-unsur hukum adat. UU Nomor 5 Tahun 1960 juga mencabutsebagian ketentuan Burgerlijk Wetboek. Menteri Kehakiman ketika itu(Sahardjo) sampai mengeluarkan inisiatif untuk menyatakan BurgerlijkWetboek tidak lagi sebagai kitab Undang-Undang, melainkan sekadarhimpunan hukum tidak tertulis. Atas inisiatif ini lalu Mahkamah Agungmengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 yang menegaskan tidakberlaku lagi sejumlah peraturan Burgerlijk Wetboek.

    Setelah tumbangnya pemerintahan Orde Lama, prioritas pembangunanhukum di Indonesia menjadi lebih pragmatis. Pembangunan ekonomidijadikan sebagai target dengan indikator keberhasilan berupa pertumbuhan setinggi-tingginya. Era ini juga ditandai dengan kontrolkekuasaan yang tidak berimbang karena sangat besar berada di tanganeksekutif. Inisiatif pembuatan peraturan perundang-undangan hampirseluruhnya dilakukan oleh pemerintah, sementara parlemen cukupmemberikan persetujuan. Pada masa ini pula diintroduksi suatu pendekatan baru dalam pembangunan hukum di Indonesia melaluiGaris-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1973.

    Pendekatan era Orde Baru yang sangat sentralistis membuat hukumadat tidak terlalu berkembang. Peraturan perundang-undangan yang

    Bab 1 Kerangka Berpikir Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam Pengelolaan Pesisir

  • 20

    mengatur tentang pemerintahan daerah, kota, dan desa, diseragamkanmengikuti pola yang ada di pulau Jawa. Unifikasi hukum memang tidakdijalankan melalui penciptaan kodifikasi (kecuali UU Nomor 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana), melainkan dengan modifikasihukum. Artinya, Undang-Undang baru diciptakan secara parsial disana-sini yang dapat mencabut, mengubah, atau melengkapi Undang-Undang yang sudah ada. Sementara itu, naskah-naskah kodifikasi versibaru yang telah dipersiapkan, seperti Kitab Undang-Undang HukumPerdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab Undang-UndangHukum Acara Perdata, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,sama sekali tidak dianggap sebagai prioritas.18

    Setelah reformasi hukum disuarakan pasca-kejatuhan Orde Baru,kebutuhan terhadap kodifikasi hukum kembali mengemuka.UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan NasionalTahun 20002004 (Propenas), misalnya, memberi amanat agar segera ditetapkan beberapa aturan yang termasuk kategori kodifikasi, jugasemua peraturan penting yang menjadi fundamen sistem hukumIndonesia (seperti tentang ketentuan pokok peraturan perundang-undangan yang menggantikan Algemene Bepalingen van Wetgeving [AB]zaman Belanda). Inisiatif pembuatan Undang-Undang pun dialihkan,tidak lagi di tangan Pemerintah melainkan ke tangan Dewan PerwakilanRakyat. Sayangnya, sampai tahun 2004, banyak sekali sasaran yang diamanatkan oleh Propenas tersebut tidak tercapai.19

    Di sisi lain, ada perkembangan baru yang cukup signifikan dalam kaitannya dengan wajah sistem hukum Indonesia sekarang ini. Tuntutandaerah-daerah untuk lebih diberi otonomi menjadikan pluralismehukum kembali mencuat. Saat ini, tiga pilar hukum yang menopang sistem hukum Indonesia, yaitu hukum nasional (sebagian bercirikanhukum Barat), hukum adat, dan hukum Islam, makin terlihat ke permukaan. Melalui semangat otonomi daerah, Provinsi Nanggroe AcehDarussalam dimungkinkan menjalankan syariat Islam bagi pendudukberagama Islam di daerah tersebut. Sementara itu peraturan perundang-undangan pun mulai memperluas cakupannya sampai ke peraturandaerah yang antara lain dapat berupa peraturan desa.

    Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang PembentukanPeraturan Perundang-undangan, peraturan desa ini dibuat oleh badanperwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa ataunama lainnya. Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 mendeskripsikansedik