makalah syariat islam
DESCRIPTION
semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin...TRANSCRIPT
MAKALAH
SYARIAT ISLAM
Disusun oleh :
NAMA : SONY ANDIK PRATAMA
NIM : 1413010045
Dosen Pembimbing :
Ust. Mintaraga , LC
PROGAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH PURWOKERTO
2015
1
SYARIAT ISLAM
A.KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kami
sehingga makalah ini selesai tanpa ada halangan sesuatu apapun. Makalah ini dibuat
sebagai wujud rasa peduli kami pada dunia pendidikan dan sekaligus melakukan apa yang
menjadi tugas mahasiswa yang mengikuti mata kuliah “Pendidikan Agama Islam” Dalam
proses pendalaman materi Syariat Islam ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan
dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya kami sampaikan kepada :
1. Ayah Ibu tercinta yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada anak anaknya.
Sungguh segala darma baktiku tidak layak disejajarkan dengan ketulusan mereka berdua.
2. Teman-teman di kampus Fakultas kedokteran UMP terimakasih atas saran dan
diskusinya
3. Dan kepada teman-teman yang tak mungkin bisa saya sebutkan satu persatu saya
ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya. Semoga Allah SWT membalas amal perbuatan
kita semua dan mengampuni dosa-dosa yang sudah kita perbuat. Penulis sadar bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik konstruktif dari semua pihak
sangat membantu demi kebaikan kedepanya. Amin
B.pengertian syariat islam
Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa inggris, Syari’at Islam
diterjemahkan dengan Islamic Law, sedang Fikih Islam diterjemahkan dengan Islamic
Jurispudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at Islam, sering, dipergunakan
istilah hukum syari’at atau hukum syara’ untuk fikih Islam dipergunakan istilsh hukum
fikih atau kadang-kadang Hukum Islam
2
Pengertian syariat islam menurut Mahmud Syaltut adalah ;
للشرب اوالدواب الناس تؤمه المورد لغة والنظم الشريعة االحكام والصطالحا
شرعها التي
بمعنى هنا واننانعني ببعض بعضهم بالناس قطهم وعلي التباعها لعباده الله
الكريم القران بها جاء التي االحكام الي ينصرف بالشريعة والتعبير االصطالحى
فى ويدخل فيه اجتهدوا مما بة الصحا عليه اجمع ما ثم ية المحمد والسنة
والدالئل واالمارات والقرائن بالقياس الحكم االجتهاد
Syariat menurut bahasa ialah : tempat yang didatangi atau dituju oleh manusia dan
hewan guna meminum air. Menurut istilah ialah : hukum-hukum dan aturan yang Allah
syariatkan buat hambanya untuk diikuti dan hubungan mereka sesama manusia. Disini kami
maksudkan makna secara yang istilah yaitu syari’at tertuju kepada hukum yang
didatangkan al-qur’an dan rasulnya, kemudian yang disepakati para sahabat dari hukum
hukum yang tidak datang mengenai urusannya sesuatu nash dari al-qur’an atau as-sunnah.
Kemudian hukum yang diistimbatkan dengan jalan ijtihad, dan masuk ke ruang ijtihad
menetapkan hukum dengan perantaraan qiyas, karinah, tanda-tanda dan dalil-dalil.[15]
Sedangkan Syariat menurut Salam Madkur adalah
الشريعة من ماخذ لفظ الطريقة التشريع العرب عند نيها معا من التئ
الله سنها التي االحكام علي المسلمون اطلقهاالفقهاء والتي المستقيمة
با ام بافعال متعلقة كانت سواء عنىايمان بها ليعملوا رسوله لسان وعلي لعباده
انشاء بمعني التشريع اشتق المعني بهذ الشريعة من وهو باالخالق ام لعقائد
نت كا سواء القوانين سن هو هذا علي بناء فالتشريع ها قواعد وسن الشريعة
االديان طريق عن البشر ويسمئ اتية وضع من نت كا ام سماويا تشريعا
وضعيا تشريعا وسمي وتفكيرهم
Tasyri ialah lafadl yang diambil dari kata syari’at yang diantara maknanya dalam
pandangan orang Arab ialah ; jalan yang lurus dan yang dipergunakan oleh ahli fikih islam
untuk nama bagi hukum-hukum yang Allah tetapkan bagi hambanya dan dituangkan
3
dengan perantaraan rasul-Nya agar mereka mengerjakan dengan penuh keimanan baik
hukum-hukum itu berkaitan dengan perbuatan ataupun dengan aqidah maupun dengan
akhlak budi pekerti. dan dinamakan dengan makna ini dipetik kalimat tasyri yang berarti
menciptakan undang-undang dan membuat qaidah-qaidah Nya, maka tasyri menurut
pengertian ini ialah membuat undang-undang baik undang-undang itu datang dari agama
dan dinamakan tasyri samawi atau pun dari perbuatan manusia dan pikiran mereka
dinamakan tasyri wadl’i. [16]
Syari’at seperti telah disinggung dalam uraian terdahulu terdapat di dalam al-Qur’an
Dan kitab kitab Hadits. Kalau kita berbicara tentang syari’at, yang dimaksud adalah wahyu
Allah dan sabda Rasulullah
Apabila diihat dari segi ilmu hukum, maka syari’at merupakan dasar-dasar
hukumyang ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya, yang wajib diikuti oleh orang islam
berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubunganya dengan Allah
maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Dasar-dasar hukum ini
dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad sebagai Rosul-Nya. Karena
itu, syariat terdapat didalam al qur an dan di dalam kitab kitab Hadits.
Menurut Sunnah Nabi Muhammad, ummat islam tiak akan pernah sesat dalam
perjalanan hidupnya di dunia ini selama mereka berpegang teguh atau berpedoman kepada
Qur’an dan Sunnah Rasulullah.[17]
Dengan perkataan lain, ummat islam tidak pernah akan sesat dalam perjalanan
hidupnya di dunia ini selama ia mempergunakan pola hidup, pedoman lhidup, tolok ukur
hidup dan kehidupan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits yang sahih.
Karena norma-norma dasar yang terdapat di dalam AL Quran itu masih bersifat
umum, demikian juga halnya dengan aturan yang ditentukan oleh nabi Muhammad
terutama mengenai muamalah, maka setelah Nabi Muhammad wafat, norma-norma dasar
yang masih bersifat umum itu perlu dirinci lebih lanjut. Perumusan dan penggolongan
4
norma-norma dasar yang bersifat umum itu ke dalam kaidah-kaidah lebih konkrit agar
dapat dilaksanakan dalam praktek, memerlukan disiplin dan cara – cara tertentu.
Muncullah ilmu pengetahuan baru yang khusus menguraikan syariat dimaksud.
Dalam kepustakaan, ilmu tersebut dinamakan ilmu fiqih yang ke dalam bahasa indonesia
diterjemahkan dengan ilmu hukum islam. Ilmu fiqih adalah ilmu yang mempelajari atau
memahami syari’at dengan memusatkan perhatiannya pada perbuatan (hukum) manusia
mukallaf yaitu manusia yang berkewajiban melaksanakan hukum islam karena telah dewasa
dan berakal sehat. Orang yang faham tentang ilmu fikih disebut fakih atau fukaha
(jamaknya). Artinya ahli atau para ahli hukum islam.[18]
Kata yang sangat dekat hubungannya dengan perkataan syari’at seperti telah
disebut di atas adalah syara’ dan syar’i yang diterjemahkan dengan agama. Oleh karena itu,
jika orang berbicara tentang hukum syara’ yang dimaksudnya adalah hukum agama yaitu
hukum yang ditetapkan oleh Allah dan dijelaskan oleh Rosul-Nya, yakni hukum syari’at.
Dari perkataan syari’at ini lahir kemudian perkataan tasyri’, artinya pembuatan peraturan
perundang-undangan yang bersumber dari wahyu dan sunnah yang disebut tasyri’ samawi
dalam kepustakaan (samawi = langit), dan peraturan perundang–undangan yang bersumber
dari pemikiran manusia, yang disebut tasyri’ wadh’i (wadha’a = membuat sesuatu menjadi
lebih jelas dengan karya manusia). Membicarakan soal pemikiran atau penalaran manusia
dalam bidang hukum, kita telah membicarakan soal fiqih.
Makna umum Surat Ali-Imron: 164 tentang syariat islam
NنOم Pوال Qس Rر Nم Oيه Oف RَثRعRب NْذO نOينR ِإ Oم Nؤ QمNى الRلRع QهVالل VنRم Nد RقRل RابRتOكNال Qم Qه QمWلRعQي Rو Nم OيهWك RَزQي Rو OهOاتRيR مN َآ OهNيRلRو عQلNتRي Nم Oه Oس QفNنR َأ
بOين] Qل] م Rال Rي ض OفRل QلNب Rق NنOوا مQانRك NنOِإ Rو Rة RمNك OحNال Rو
Di dalam ayat ini, Allah memberitahukan kepada semua umat Rasulullah saw.
bahwa diutusnya seorang nabi dari kalangan manusia kepada mereka adalah satu karunia
5
yang sangat besar dan tak pernah tertandingi oleh kenikmatan apapun.Rasul yang diutus
kepada manusia itu mempunyai beberapa tugas. Diantaranya adalah:
1) Membacakan ayat-ayat Allah.
2) Mensucikan dari berbagi dosa dengan mengajak mereka untuk selalu bertaubat dan
berhenti melakukan maksiat.
3) Mengajarkan Al-Qur`an dan Hadits.
Dengan adanya Rasul, manusia yang dulunya tersesat, memiliki faham yang salah,
melakukan perbuatan-perbuatan asusila, mereka lantas mendapat pencerahan dan petunjuk
kebenaran. Mereka mendapatkan cahaya hidayah, dimana sebelumnya mereka ada dalam
kegelapan yang nyata. Mereka lantas tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana
yang haq mana yang bathil. Karena ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. telah
mampu mengubah kebiasaan buruk mereka, dan mampumengentaskan mereka dari segala
bentuk kejahiliyyahan.
Dalam ayat ini dapat kita ambil pelajaran tentang tiga prinsip dasar pendidikan. Yaitu:
Tilawah. Hal ini memberikan isyarat bahwa dalam pendidikan perlu diajarkan
sebuah skill atau yang sekarang dikenal dengan kemampuan afektif. Karena tilawah adalah
salah satu bentuk skill membaca yang sungguh sangat penting. Karena denganya terbuka
berbagai cakrawala pengetahuan. Dalam praktekanya, Rasulullah menghasung umatnya
untuk mengembangkan berbagai skill, seperti belajar memanah, menunggang kuda,
berenang, menguasai bahasa asing, dll.
Tazkiyah. Hal ini menunjukkan perlu adanya pendidikan emosional atau yang
dikenal dengan istilah psikomotorik. Maka tidak heran jika Rasulullah selalu membina
umatnya tentang pentingnya akhlak-akhlak yang mulia, seperti jujur, pemaaf, tidak mudah
marah, sabar dan ridho terhadap sebuah musibah dll.
Ta’lim, bisa disebut dengan kemampuan kognitif. Yaitu dengan adanya transfer
ilmu sehingga umat mempunyai kemampuan untuk berpikir dan mengamalkan.
6
perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada
Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara
yang termasuk dalam kategori Asas Syara’ dan perkara yang masuk dalam kategori Furu’
Syara’.
1. Asas Syara’ : Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau
Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari’at Islam di mana Al Quran itu Asas Pertama
Syara’ dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara’. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam
seluruh dunia di manapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir
zaman, kecuali dalam keadaan darurat. Keadaan darurat dalam istilah agama Islam
diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat
Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara
lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan
sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika
keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku.
2. Furu’ Syara’ : Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al-
Qur’an dan Al Hadist. Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada
dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat
menerima sebagai peraturan atau perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.
Perkara atau masalah yang masuk dalam furu’ syara’ ini juga disebut sebagai perkara
ijtihadiyah.
C. Dalil-dalil ulama Ushul secara singkat teruraikan sebagai berikut:
1. Ijma’ menurut istilah ulama Ushul kesepakatan semua ijtahidin atas sesuatu hukum pada
suatu masa sesudah Rasulullah. Firman Allah swt, yang erat hubungannya
“Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kamu. (QS.
An-Nisa: 59). Tidaklah mungkin para ulama berkumpul untuk melakukan sesuatu
7
kebohongan (dusta). Rasul bersabda yang artinya “Tidaklah Allah menghimpun ummatku
untuk melakukan kesesatan. (H.R. Ibnu Majah)”
2. Qiyas menurut ulama ushul menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya
dengan kejadian lain yang sudah diatur oleh nash, karena adanya persamaan antara
keduanya yang disebut “Illah hukumnya”.
3. Istihsan adalah merupakan kebalikan dari Qiyas, karena istihsan memindahkan hukum
suatu peristiwa dengan hukum peristiwa lainnya yang sejenis dan memberikan hukum lain
karena ada alasan kuat bagi pengecualian tersebut.
4. Maslahat Mursalah, terdiri dari dua rangkaian kata yaitu: Mashalat (kebaikan,
kepentingan) yang tidak diatur oleh ketentuan syara yang menggunakan pertimbangan
kebaikan akan sesuatu keputusan di ambil dengan melihat kemaslahatan yang akan timbul
dan Mursalah ialah pembinaan (penetapan) hukum berdasarkan.
5. Sadduz zari’ah yaitu menutup segala jalan yang akan menuju pada perbuatan yang
merusak atau mungkar.
6. Istihsan yaitu melanjutkan atau menggunakan sesuatu kaidah hukum yang ada sampai
dalil atau kaidah hukum lain menggantikannya.
7. Al-‘Urf adalah sesuatu apa yang biasa dijalankan orang, merupakan kebiasaan baik
dalam kata-kata maupun perbuatan keseharian. ‘Urf ialah suatu yang telah sering dikenal
oleh manusia dan telah menjadi tradisinya. Baik berupa perbuatan maupun adat kebiasaan
yang baik dalam masyarakat.
Qaidah-qaidah hukum di luar dari Al-Qur’an dan Sunnah dijadikan dasar bagi para
fuqaha/ulama dalam mengambil keputusan untuk menetapkan suatu hukum. Kalau Al-
Qur’an dan Sunnah merupakan sumber utama Syari’at Islam maka qaidah-qaidah hukum
atau fiqih seperti diuraikan di atas merupakan sumber atau dalil hukum yang dapat
dipengaruhi untuk mengambil keputusan bilamana keputusan yang dimaksud tidak didapati
8
pada Al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah. Syariat Islam mempunyai peranan dan
fungsi untuk mengatur dan menata kehidupan manusia, mengarahkan kepada jalan
kebenaran yang diridhai oleh Allah swt. tujuan Syari’at Islam adalah mengatur dan menata
kehidupan untuk kebahagian dan kemaslahatan manusia baik sewaktu hidup di atas dunia
fana ini, maupun kelak di negeri akhirat harus dijalankan Syari’at Islam sebagai suatu
pedoman hidup yang hakiki dan sebagai aturan perundang-undangan yang maha lengkap,
mengantar manusia ke pintu kebajikan dan menutup pintu kesesatan.
D. Tujuan Syariat Islam
Diturunkannya Syariat Islam kepada manusia tentu memiliki “tujuan” yang sangat
mulia. Paling tida, ada “delapan” tujuan. Pertama, memelihara atau melindungi agama dan
sekaligus memberikan hak kepada setiap orang untuk memilih antara beriman atau tidak,
karena, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam” (QS. Al Baqaarah, 2:256).
Manusia diberi kebebasan mutlak untuk memilih, “…Maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS.
Al Kahfi, 18:29).
Pada hakikatnya, Islam sangat menghormati dan menghargai hak setiap manusia,
bahkan kepada kita sebagai mu’min tidak dibenarkan memaksa orang-orang kafir untuk
masuk Islam. Berdakwah untuk menyampaikan kebenaran-Nya adalah kewajiban. Namun
demikian jika memaksa maka akan terkesan seolah-olah kita butuh dengan keislaman
mereka, padahal bagaimana mungkin kita butuh keislaman orang lain, sedangkan Allah
SWT saja tidak butuh dengan keislaman seseorang. Tetapi bila seseorang dengan
kesadarannya sendiri akhirnya masuk Islam, maka wajib dipaksa oleh Ulul Amri untuk
melaksanakan Syariat Islam. Dengan memilih muslim, maka tidak ada alasan bagi
seseorang untuk tidak melaksanakan kewajibannya. Seandainya ada seorang muslim tidak
shalat, hal ini “bukan hanya” urusan pribadi tapi menjadi urusan semua muslim terutama
Ulul Amri. Jika ada seorang muslim tidak melaksanakan kewajiban shalat karena dia tidak
yakin akan kewajiban shalat, maka Empat Mahzab dan jumhur (mayoritas) ulama sepakat
menyatakan yang bersangkutan kafir. Yang karenanya harus dihukumkan kafir, artinya bila
9
dalam tiga hari dia tidak segera sadar, maka dihukumkan sebagai murtad yang halal
darahnya sehingga Ulul Amri bisa menjatuhkan hukuman mati. Tapi, seandainya tidak
shalatnya yang bersangkutan bukan karena tidak yakin, tapi karena alasan malas misalnya,
maka dalam hal ini “tiga” mazhab (Syafi’i, Hanafi, Maliki) menyatakan yang bersangkutan
berdosa besar, sementra Mazhab Hambali tetap mengkafirkannya. Lalu bagaimana Ulul
Amri menerapkan hukum bagi muslim yang tidak shalat karena malas?
Pertama, Ulul Amri tentu saja berkewajiban mengingatkannya. Andaikata yang
bersangkutan tetap tidak mau shalat padahal sudah diingatkan oleh Ulul Amri, menurut
Mahzab Syafei dan Maliki, yang bersangkutan wajib dihukum mati. Imam Hanafi,
sependapat dengan Mahzab Syafei dan Maliki, bahwasanya yang bersangkutan tidak bisa
dihukumkan kafir, karena memang alasannya malas bukan mengingkari hukum Allah.
Tetapi Imam Hanafi tidak sependapat dengan hukuman mati, karena selama tidak kafir
berarti haram darahnya. Pandangan beliau, Ulul Amri harus memberikan hukuman kepada
yang bersangkutan dengan dipenjara sampai yang bersangkutan sadar dan mau shalat.
Sedangkan Mahzab Hambali, berpendapat dan berkeyakinan, bahwa seorang yang
mengaku muslim lalu tidak shalat apa pun alasannya apakah karena tidak yakin atau malas,
maka yang bersangkutan harus dihukumkan kafir. Beliau berpegang teguh kepada hadits
Rasulullah Saw yang menyatakan, “Perbedaan antara muslim dan kafir adalah
meninggalkan shalat”.
Yang kedua, “melindungi jiwa”. Syariat Islam sangat melindungi keselamatan jiwa
seseorang dengan menetapkan sanksi hukum yang sangat berat, contohnya hukum
“qishash”. Di dalam Islam dikenal ada “tiga” macam pembunuhan, yakni pembunuhan
yang “disengaja”, pembunuhan yang “tidak disengaja”, dan pembunuhan “seperti
disengaja”. Hal ini tentunya dilihat dari sisi kasusnya, masing-masing tuntutan hukumnya
berbeda. Jika terbukti suatu pembunuhan tergolong yang “disengaja”, maka pihak keluarga
yang terbunuh berhak menuntut kepada hakim untuk ditetapkan hukum qishash/mati atau
membayar “Diyat” (denda). Dan, hakim tidak punya pilihan lain kecuali menetapkan apa
yang dituntut oleh pihak keluarga yang terbunuh. Berbeda dengan kasus pembunuhan yang
“tidak disengaja” atau yang “seperti disengaja”, di mana Hakim harus mendahulukan
10
tuntutan hukum membayar “Diyat” (denda) sebelum qishash. Bahwasanya dalam hukum
qishash tersebut terkandung jaminan perlindungan jiwa, kiranya dapat kita simak dari
firman Allah SWT: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah, 2:179). Bagaimana
mungkin di balik hukum qishash dapat disebut, “ada jaminan kelangsungan hidup”, padahal
pada pelaksanaan hukum qishash bagi yang membunuh maka hukumannya dibunuh lagi ?
Memang betul, bila hukum qishash dilaksanakan maka ada “dua” orang yang mati (yang
dibunuh dan yang membunuh), tapi dampak bila hukum ini dilaksanakan, maka banyaklah
jiwa yang terselamatkan. Karena seseorang akan berfikir beribu kali bila mau membunuh
orang lain, sebab risikonya dia akan diancam dibunuh lagi.
Kalau seorang pencuri terbukti benar bahwa dia mencuri, maka hukuman yang
dijatuhkannya adalah potong tangan, maka seumur hidup orang akan mengetahui kalau dia
mantan pencuri. Demikian pula, kalau seorang perampok dijatuhi hukuman potong tangan
kanan dan kaki kiri secara bersilang, maka dia seumur hidupnya tidak akan dapat
membersihkan dirinya bahwa dia mantan perampok. Dampak dari hukuman ini akan dapat
membawa ketenangan dan kenyamanan hidup bermasyarakat dan bernegara.
Yang ketiga, “perlindungan terhadap keturunan”. Islam sangat melindungi
keturunan di antaranya dengan menetapkan hukum “Dera” seratus kali bagi pezina ghoiru
muhshon (perjaka atau gadis) dan rajam (lempar batu) bagi pezina muhshon (suami/istri,
duda/jand) (Al Hadits). Firman Allah SWT : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” (An Nuur, 24:2).
Ditetapkannya hukuman yang berat bagi pezina tidak lain untuk melindungi keturunan.
Bayangkan bila dalam 1 tahun saja semua manusia dibebaskan berzina dengan siapa saja
termasuk dengan orangtua, saudara kandung dan seterusnya, betapa akan semrawutnya
kehidupan ini.
11
Yang keempat, “melindungi akal”. Permasalahan perlindungan akal ini sangat
menjadi perhatian Islam. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw menyatakan,
“Agama adalah akal, siapa yang tiada berakal (menggunakan akal), maka tiadalah agama
baginya”. Oleh karenanya, seseorang harus bisa dengan benar mempergunakan akalnya.
Seseorang yang tidak bisa atau belum bisa menggunakan akalnya atau bahkan tidak
berakal, maka yang bersangkutan bebas dari segala macam kewajiban-kewajiban dalam
Islam. Misalnya dalam kondisi lupa, sedang tidur atau dalam kondisi terpaksa.
Kesimpulannya, bahwa hukum Allah hanya berlaku bagi bagi orang yang berakal atau yang
bisa menggunakan akalnya.
Yang kelima, “melindungi harta”. Yakni dengan membuat aturan yang jelas untuk
bisa menjadi hak setiap orang agar terlindungi hartanya di antaranya dengan menetapkan
hukum potong tangan bagi pencuri. “Laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Qs. Al Maa-
idah, 5:38). Juga peringatan keras sekaligus ancaman dari Allah SWT bagi mereka yang
memakan harta milik orang lain dengan zalim, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka Jahannam) (QS. An Nisaa,
4:10).
Yang keenam, “melindungi kehormatan seseorang”. Termasuk melindungi nama
baik seseorang dan lain sebagainya, sehingga setiap orang berhak dilindungi
kehormatannya di mata orang lain dari upaya pihak-pihak lain melemparkan fitnah,
misalnya. Kecuali kalau mereka sendiri melakukan kejahatan. Karena itu betapa luar biasa
Islam menetapkan hukuman yang keras dalam bentuk cambuk atau “Dera” delapan puluh
kali bagi seorang yang tidak mampu membuktikan kebenaran tuduhan zinanya kepada
orang lain. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
12
mereka (yang menuduh itu) dengan delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”(QS.
An Nuur, 24:4). Juga dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat
di dunia dan akhirat. Dan bagi mereka azab yang besar” (QS. An Nuur,24:23). Dan
larangan keras pula untuk kita berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan dan
menggunjing terhadap sesama mu’min (QS. Al Hujurat, 49:12).
Yang ketujuh, “melindungi rasa aman seseorang”. Dalam kehidupan bermasyarakat,
seseorang harus aman dari rasa lapar dan takut. Sehingga seorang pemimpin dalam Islam
harus bisa menciptakan lingkungan yang kondusif agar masyarakat yang di bawah
kepemimpinannya itu “tidak mengalami kelaparan dan ketakutan”. Allah SWT berfirman:
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Al Quraisy, 106:4).
Yang kedelapan, “melindugi kehidupan bermasyarakat dan bernegara”. Islam
menetapkan hukuman yang keras bagi mereka yang mencoba melakukan “kudeta” terhadap
pemerintahan yang sah yang dipilih oleh ummat Islam “dengan cara yang Islami”. Bagi
mereka yang tergolong Bughot ini, dihukum mati, disalib atau dipotong secara bersilang
supaya keamanan negara terjamin (QS. Al Maa-idah, 5:33). Juga peringatan keras dalam
hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Saw menyatakan, “Apabila datang seorang
yang mengkudeta khalifah yang sah maka penggallah lehernya”.
E. Perbedaan Syariat Dan Fiqh
Sebagian orang menganggap bahwa syariat dan fiqih adalah sama. Padahal,
keduanya berbeda dari segi bahwa syariat berorientasi Ilahiyah sementara fiqih berorientasi
pada pemikiran manusia. Maksudnya, syariat merupakan ketentuan-ketentuan kehidupan
yang telah ditetapkan oleh Allah sementara fiqih (yang secara lughawi bermakna
pemahaman) merupakan interpretasi manusia atas ketentuan-ketentuan tersebut. Mengapa
perlu ada interpretasi? Jawabnya adalah karena manusia dituntut untuk bisa memahami
13
ketentuan-ketentuan Allah tersebut, yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Dengan apa manusia akan memahaminya? Jawabnya, tentu dengan akal. Tanpa akal,
manusia tidak akan dapat memahami Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Karena itu apabila ada
yang mengatakan bahwa akal lebih tinggi daripada wahyu maka jangan terburu-buru
menyalahkannya. Perkataan tersebut benar apabila yang dimaksudkan adalah bahwa wahyu
tidak akan berarti sedikit pun tanpa adanya akal sebagai alat untuk memahami. Namun
apabila perkataan tersebut dimaksudkan dengan makna tingkatan otoritas maka itulah
sebatil-batil perkataan!
Karena fiqih merupakan hasil pemikiran manusia maka kebenarannya bersifat
relatif. Sebaliknya, kebenaran syariat bersifat absolut karena merupakan ketetapan Allah
Yang Maha Benar. Sebetulnya, kebenaran dalam setiap persoalan hanya ada satu yaitu
sebagaimana yang dikehendaki oleh syariat. Akan tetapi karena syariat itu hanya bisa
dipahami melalui fiqih, sementara fiqih merupakan hasil pemikiran manusia yang bisa
berbeda antara satu orang dan orang lain, maka kebenaran itupun muncul sebagai lebih dari
satu. Hal ini telah dijelaskan oleh Nabi yang mengatakan bahwa hasil ijtihad secara hakiki
bisa benar dan bisa salah, namun kedua-keduanya tetaplah “benar” (ditunjukkan dengan
pemberian pahala) sepanjang diperoleh melalui metode ijtihad yang benar.
Oleh karena itu, adanya berbagai perbedaan pendapat dalam fiqih (sepanjang
dihasilkan melalui metode ijtihad yang benar) merupakan suatu kewajaran. Kita harus
menyadari bahwa hasil pemikiran manusia bisa berbeda-beda meskipun mengenai masalah
yang sama, yang secara hakiki hanya mempunyai satu jawaban yang benar.
Hal lain yang juga patut dicatat dalam masalah relativitas kebenaran fiqih adalah
bahwasanya ada ketentuan-ketentuan syariat yang dinyatakan secara qath’iy al-dalalah dan
ada pula yang dinyatakan secara zhanniy al-dalalah. Dalam hal-hal yang qath’iy, setiap
akal sehat (common sense, al-‘aql al-dharuriy) pasti akan memahaminya secara sama.
Namun dalam hal-hal yang zhanniy, manusia mungkin akan memahaminya secara berbeda-
beda, meskipun secara hakiki pemahaman yang diharapkan hanyalah satu.
14
F. Kesimpulan
Syari’at Islam adalah peraturan atau hukum-hukum agama yang diwahyukan
kepada nabi besar Muhammad SAW, yaitu berupa kitab suci Al-Qur’an, sunnah atau hadist
nabi yang diperbuat atau disabdakan dan yang ditakrirkan oleh nabi termasuk juga bagian
dari syari’at Islam. Jadi seyogyanya kita sebagai umat Islam harus menerapkanya didalam
kehidupan sehari-hari.
1. Hukum Islam sebenarnya tidak lain dari pada fiqh islam atau syariat Islam, yaitu
koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan
masyarakat yang bersumber kepada al-Qur’an As-Sunnah dan Ijmak para sahabat dan
tabi’in.
2. Syariat : Bawa syari’at, yang dimaksud adalah wahyu Allah dan sabda Rasulullah,
merupakan dasar-dasar hukum yang ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya, yang wajib
diikuti oleh orang islam dasar-dasar hukum ini dijelaskan lebih lanjut oleh Nabi
Muhammad sebagai Rosul-Nya.
3. Fiqh artinya faham atau pengertian., dapat juga dirumuskan sebagai ilmu yang bertugas
menentukan dan menguraikan norma-norma dasar dan ketentuan- ketentuan umum yang
terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang direkam dalam kitab-kitab
hadits, dan berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan
Sunnah nabi Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa
yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum islam.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Kadir, dkk. ( 2001 ), “Membedah Peradilan Agama”, Mencari Solusi untuk
Reformasi Hukum di Indonesia. LPKBHI Fak Syariah IAIN Walisongo dengan
PPHIM PTA Jawa Tengah semarang.
2. Abd. Wahab Khallaf, ( 1989 ). “Kaidah-Kaidah Hukum Islam “.Ilmu Ushul Fiqh .
Jakarta: Rajawali, h. 20.
3. Amir Syarifuddin, ( 1992 ). “Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Ismail
Muhammad Syah”, dkk. Filsafat Hukum Islam. Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara,
h. 17-18.
4. Departemen Agama RI, ( 2000 ).” Al-Qur’an dan Terjemahnya”. Semarang: Toha Putra,
h. 8.
5. Mohammad Daud Ali, Asas-asas hukum islam,( 1991 ). Rajawali Pers, Jakarta.
6. M. Syuhudi Ismail, ( 1988 ).” Kaedah Kesahihan Sanad Hadis”. Jakarta: Bulan Bintang
h. 3.
7. M. Syuhudi Ismail,( 1991 ). “Sunnah Menurut Para Pengingkarnya dan Upaya
Melestarikan Sunnah oleh Para Pembelanya”. Ujung Pandang: Berkah, h. 1.
8 Mohd. Idris Ramulyo, ( 2004 ) Asas-asas Hukum Islam “Sejarah Timbul dan
Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia”,
Edisi Revisi (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika), h. 2-3.
16
9. MT. Hasbi Ash-Shiddieqy,( 1954 ).” Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis” Jakarta:
Bulan Bintang, h. 39-40.
10. Satria Efendi M. Zein, ( 2005 ),” Ushul Fiqh”, Prenada Media, Jakarta
17