makalah ra

43
DAFTAR ISI Daftar isi .......................................................... .............................................................. ............ 1 BAB I : Pendahuluan .................................................. .................................................. 2 BAB II : Laporan kasus ........................................................ ........................................ 3 BAB III : Pembahasan ................................................... .................................................. 4 BAB III : Tinjauan Pustaka ...................................................... ..................................... 11 BAB IV : Kesimpulan ................................................... ................................................ 28 Daftar Pustaka ...................................................... .............................................................. ..... 29 1

Upload: denata-prabhasiwi

Post on 02-Aug-2015

205 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Ra

DAFTAR ISI

Daftar isi .................................................................................................................................... 1

BAB I : Pendahuluan .................................................................................................... 2

BAB II : Laporan kasus ................................................................................................ 3

BAB III : Pembahasan ..................................................................................................... 4

BAB III : Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 11

BAB IV : Kesimpulan ................................................................................................... 28

Daftar Pustaka ......................................................................................................................... 29

1

Page 2: Makalah Ra

BAB I

PENDAHULUAN

Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi

sestemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik

klasik AR adalah poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan

dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ diluar persendian

seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi

kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan, dan adanya komorbiditas. Menegakkan

diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin, dapat menurunkan progresifitas penyakit.

Metode terapi yang dianut saat ini adalah pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid),

yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat pemburukan penyakit. Bila

tidak mendapatkan terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi, deformitas, dan

disabilitas. Morbiditas dan mortalitas AR berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi.

Kemajuan yang cukup pesat dalam pengembangan DMARD biologik, memberi harapan baru

dalam penatalaksanaan penderita AR.1

2

Page 3: Makalah Ra

BAB II

LAPORAN KASUS

Wanita 40 tahun, perokok, datang berobat kepada anda, seorang GP dengan keluhan

nyeri pangkal jari-jari tangan. Pada anamnesis dan pemeriksaan selanjutnya, sendi yang nyeri

dan bengkak, serta kemerahan, teraba hangat, pada kedua tangan di metacarpophalangeal.

Pasien sedang minum obat-obat tbc dalam 6 bulan ini. Pemeriksaan darah hematologi rutin:

Hb : 12 g% Hitung jenis : 0/2/2/70/20/6

Leukosit : 7500 /mm3 LED : 25 mm/jam

Pada pemeriksaan lebih lanjut, ternayata pagi hari sendi-sendi pangkal jari-jari tangan kiri dan

kanan kaku lebih dari 1 jam. Rupanya keluhan tersebut telah berlangsung sekitar 2 bulan,

Pasien sudah minum obat-obat rematik sendiri. Pemeriksaan laboratorium memperlihatkan

asam urat 9 mg/dL dan RF (-).

3

Page 4: Makalah Ra

BAB III

PEMBAHASAN

Masalah

No Masalah Dasar Masalah Hipotesis

1. Wanita, 40 tahun,

perokok.

Adanya hormon estrogen pada wanita

yang dapat mempengaruhi insiden

penyakit.

Faktor resiko dan

faktor predisposisi

2. Nyeri pangkal jari-

jari tangan

Terdapat sendi yang nyeri dan bengkak,

serta kemerahan, teraba hangat, pada

kedua tangan di metacarpophalangeal.

Osteoathritis, Atritis

Reumatoid, Gout

3. Kekakuan Sendi-sendi pangkal jari-jari tangan kiri

dan kanan kaku lebih dari 1 jam sejak 2

bulan lalu.

Atritis Reumatoid

Hipotesis

1. Osteoathritis

Suatu gangguan sendi yang dapat digerakkan dan bersifat kronis, berjalan

progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai dengan abrasi rawan sendi serta

pembentukan tulang baru pada permukaan sendi. Osteoatritis lebih lazim terjadi pada

wanita daripada pria, terutama pada wanita yang berusia lebih dari 45 tahun.

Gambaran osteoatritis yang paling sering adalah nyeri sendi, terutama saat

bergerak atau menyangga tubuh. Nyeri tumpul ini akan berkurang bila pasien

beristirahat. Dapat terjadi kekakuan sendi setelah sendi tidak digerakkan, tetapi

kekakuan ini akan menghilang setelah sendi digerakkan. Kekakuan biasanya hanya

bertahan selama beberapa menit. Perubahan khas terjadi pada tangan, terbentuknya

Nodus Heberden (pembesaran tulang pada sendi interfalang distal). Selain itu, terjadi

juga perubahan khas pada tulang vertebra.

2. Atritis Reumatoid

Gangguan kronik yang mengenai banyak sistem organ. Gangguan ini

diperantarai oleh sistem imun. Atritis reumatoid menyerang perempuan sekitar dua

4

Page 5: Makalah Ra

setengah kali lebih sering daripada laki-laki, dengan insiden puncak antara usia 40

sampai 60 tahun.2

Beberapa gambaran klinis yang lazim mencakup, antara lain adanya gejala-

gejala konstitusional (lelah, anoreksia, demam, berat badan menurun), poliatritis

simetris, kekakuan sendi di pagi hari lebih dari 1 jam, nodul rematoid, dan manifestasi

ekstra-artikular. Terdapat kriteria diagnostik untuk mendiagnosis atritis reumatoid,

dmana diagnosis akan dikatakan positif apabila memenuhi empat dari tujuh kriteia

yang ada.

3. Gout

Gangguan metabolik yang ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam urat

(hiperurisemia). Gout dapat bersifat primer maupun sekunder. Gout primer merupakan

akibat langsung dari pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat

penurunan ekskresi asam urat. Gout sekunder disebabkan karena pembentukan asam

urat yang berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat akibat proses penyakit

lain atau pemakaian obat-obat tertentu. Adapun terdapat empat stadium gout, yaitu

yang pertama adalah hiperurisemia asimptomatik, stadium kedua adalah atritis gout

akut, ketiga adalah serangan gout akut, dan keempat adalah stadium gout kronik.

Metode Kerja

A. Anamnesis

- Identitas : Ny. X

- Umur : 40 tahun

- Jenis Kelamin : Wanita

- Pekerjaan : -

- Status : -

- Alamat : -

- Keluhan utama : nyeri pangkal jari-jari tangan

Adapun anamnesis tambahan yang dapat ditanyakan pada pasien, yaitu:

Riwayat penyakit sekarang

- Apakah terdapat kekakuan pada pagi hari?

5

Page 6: Makalah Ra

- Apakah kekakuan hilang jika sendi tersebut digerakkan?

- Apakah ada nyeri lain yang dirasakan selain di pergelangan tangan?

Riwayat keluarga

- Apakah ada anggota keluarga lain yang mengalami gejala serupa?

Riwayat kebiasaan

- Apakah pasien suka makanan yang berlemak?

- Apakah pasien sedang atau pernah mengkonsumsi obat-obatan tertentu?

B. Pemeriksaan Fisik

Berdasarkan pemeriksaan fisik pasien didapatkan hasil yaitu:

- Sendi yang nyeri dan bengkak, serta kemerahan, teraba hangat, pada kedua tangan

di metacarpophalangeal.

- Sendi-sendi pangkal jari-jari tangan kiri dan kanan kaku lebih dari 1 jam.

Masalah yang didapatkan dari pemeriksaan fisik pasien, yaitu adanya proses inflamasi, atritis

yang simetris serta kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam.

Adapun beberapa gambaran atau manifestasi klinik yang lazim ditemukan pada Atritis

Reumatoid, antara lain:

a. Gejala-gejala konstitusional

misalnya lelah, kurang nafsu makan, berat badan menurun dan demam. Terkadang

kelelahan dapat demikian hebatnya.

b. Poliartritis simetris

(peradangan sendi pada sisi kiri dan kanan) terutama pada sendi perifer, termasuk

sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi  antara jari-jari

tangan dan kaki. Hampir semua sendi diartrodial (sendi yang dapat digerakan dengan

bebas) dapat terserang.

c. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam

dapat bersifat umum tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda

dengan kekakuan sendi pada osteoartritis (peradangan tulang dan sendi), yang

biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selama kurang dari 1 jam.

6

Page 7: Makalah Ra

d. Artritis erosif

merupakan  merupakan ciri khas penyakit ini  pada gambaran radiologik. Peradangan

sendi yang kronik mengakibatkan pengikisan ditepi tulang .

e. Deformitas

kerusakan dari struktur  penunjang  sendi  dengan perjalanan penyakit. Pergeseran

ulna atau deviasi  jari, pergeseran  sendi pada tulang telapak  tangan dan jari,

deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang

sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat tonjolan kaput metatarsal yang

timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat

terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam

melakukan gerakan ekstensi.

f. Nodula-nodula reumatoid

massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang dewasa penderita 

rematik. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi

siku) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan, walaupun demikian

tonjolan) ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini

biasanya merupakan  petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.

g. Manifestasi ekstra-artikular 

Atritis rheumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain diluar sendi. Seperti mata,

menyebabkan keratokonjungtivitis, sistem cardiovaskuler dapat menyerupai

perikarditis konstriktif yang berat, lesi inflamatif yang menyerupai nodul rheumatoid

dapat dijumpai pada myocardium dan katup jantung, lesi ini dapat menyebabkan

disfungsi katup, fenomena embolissasi, gangguan konduksi dan kardiomiopati.2,3

C. Pemeriksaan laboratorium

Adapun pemeriksaan laboratorium pada pasien ini, yaitu:

Pemeriksaan darah hematologi rutin:

- Hb : 12 g% (12-16 g%)

- Leukosit : 7500 /mm3 (5000-10.000/mm3)

- Hitung jenis : 0/2/2/70/20/6

Basofil : 0 (0 – 1%)

Eosinofil : 2 (1 – 3%)

7

Page 8: Makalah Ra

Neutrofil batang : 2 (2 – 6%)

Neutrofil segmen : 70 (50 – 70%)

Limfosit : 20 (20 – 40%)

Monosit : 6 (2 – 8%)

- LED : 25 mm/jam (< 20 mm/jam)

- Asam urat : 9 mg/dL (2,4-5,7 mg/dL)5

- Faktor reumatoid (-)

Masalah yang didapatkan dari pemeriksaan laboratorium pasien ini adalah:

- LED yang tinggi, menggambarkan adanya suatu inflamasi kronis.

- Hiperurisemia, terjadi pada pasien ini dikarenakan pasien sedang mengkonsumsi obat-

obatan TBC. Kemungkinan peningkatan ini disebabkan karena pasien mengkonsumsi

pirazinamid, dimana obat tersebut mempunyai efek samping pada peningkatan asam

urat dalam tubuh.

D. Diagnosis

Adapun kriteria diagnosis pada Atritis Reumatoid antara lain:

1. Kriteria diagnostik menurut American Collage of Rheumatology 1987

Gejala dan Tanda Definisi

Kaku pagi hari

(morning stiffness)

Kekakuan pada sendi dan sekitarnya yang berlangsung paling sedikit selama 1 jam

sebelum perbaikan maksimal

Artritis pada 3

persendian atau

lebih

Paling sedikit 3 sendi secara bersamaan menunjukkan pembengkakan jaringan lunak

atau efusi

Artritis pada

persendian tangan

Paling sedikit ada satu pembengkakan (seperti yang disebutkan diatas) pada sendi :

pergelangan tangan, MCP atau PIP

Artritis yang

simetrik

Keterlibatan sendi yang sama pada kedua sisi tubuh secara bersamaan

Nodul reumatoid Adanya nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang, permukaan ekstensor, atau daerah

juxtaartikular

Faktor reumatoid

serum positif

Adanya titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan metode apapun,

yang memberikan hasil positif < 5% pada kontrol subyek normal

Perubahan gambar

radiologis

Terdapat gambaran radiologis yang khas untuk artritis reumatoid pada foto

posteroanterior tangan dan pergelangan tangan

8

Page 9: Makalah Ra

Kriteria diagnostik menurut American Collage of Rheumatology, biasanya digunakan pada

diagnosis dini dari Atritis Reumatoid. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan lainnya,

pasien ini hanya memenuhi 3 kriteria diagnostik di atas, antara lain kekakuan di pagi hari,

atritis pada sendi jari-jari tangan, dan atritis yang simetris.

2. Kriteria diagnostik menurut ACR & European League Againts Rheumatism (EULAR) 2011

Kriteria Skor

Keterlibatan sendi

1 sendi besar

2-10 sendi besar

1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)

4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)

> 10 sendi

0

1

2

3

5

Serologi

RF negatif dan ACPA negatif

RF positif-rendah atau ACPA positif-rendah

RF positif-tinggi atau ACPA positif-tinggi

0

2

3

Reaktan fase akut

CRP normal dan LED normal

CRP abnormal atau LED abnormal

0

1

Durasi dari gejala

< 6 minggu

> 6 minggu

0

1

Hasil pemeriksaan pasien:

- Joint involvement : 5

- Serology : 0

- Acute phase reactans : 1

- Duration of symptoms : 1

TOTAL : 7

Berdasarkan kriteria tersebut, pasien dapat dinyatakan menderita Atritis Reumatoid karena

skor yang dimiliki pasien diatas 6.

E. Penatalaksanaan

9

Page 10: Makalah Ra

Tujuan utama dari penatalaksanan pada Atritis Reumatoid adalah:

- Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan

- Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari penderita

- Untuk mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi

- Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang lain.

Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien ini adalah:

Asimptomatik:

- Memberikan pendidikan yang cukup tentang penyakit kepada penderita, keluarganya

dan siapa saja yang berhubungan dengan penderita.

- Istirahat merupakan hal penting karena reumatik biasanya disertai rasa lelah yang

hebat.

- Latihan Fisik dan Termoterapi Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam

mempertahankan fungsi sendi.

Simptomatik.

Pemberian  obat adalah bagian yang penting dari seluruh program penatalaksanaan

penyakit reumatik. Pemberian OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri

dan pembengkakan. Prednison (glukokortikosteroid) kurang dari 10 mg per hari cukup efektif

untuk meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Atau pemakaian obat-

obatan golongan DMARD, seperti leflunomide, infliximab, dan etanercept. Sulfasalazin atau

hidrosiklorokuin atau klorokuin fosfat sering digunakan sebagai terapi awal, tetapi pada kasus

yang lebih berat, MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan sebagai terapi lini pertama.

F. Prognosis

Ad Vitam : ad bonam

Ad Functionam : dubia ad malam

Ad Sanationam : dubia ad malam

BAB IV

10

Page 11: Makalah Ra

TINJAUAN PUSTAKA

EPIDEMIOLOGI

Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu berkisar antara

0,5-1%. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-

masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Prevalensi AR di India dan di negara barat kurang lebih sama

yaitu sekitar 0,75%. Sedangkan di China, Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari

0,4% baik di daerah urban maupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah

mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah urban.

Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun

mendapatkan prevalensi sebesar 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah kabupaten.

Di klinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus baru AR merupakan

4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan pada periode Januari sampai dengan Juni 2007

didapatkan sebanyak 203 kasus AR dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 2.346 orang

(15,1%). Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-

laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian

tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima.6

ETIOLOGI

Faktor Genetik

Etiologi AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat interaksi uang kompleks antara

faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian AR, dengan

angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan dengan gen HLA-DRB1

dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga

berhubungan dengan AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode

aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-κB). Gen ini berperan penting dalam resorpsi

tulang pada AR. Faktor genetik juga berperan penting dalam terapi AR karena aktivitas enzim

seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurin methyltransferase untuk

metabolisme methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik. Pada kembar

monozigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih dari 30% dan pada

11

Page 12: Makalah Ra

orang kulit putih dengan AR mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 mempunyai angka

kesesuaian sebesar 80%.

Hormon Sex

Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga

diduga hormon sex berperan dalam perkembangan penyakit ini. Pada observasi didapatkan

bahwa terjadi perbaikan gejala AR selama kehamilan. Perbaikan ini diduga karena: 1. Adanya

aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan

fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. 2. Adanya perubahan profil

hormon. Placental cortocotropin-releasing hormon secara langsung menstimulasi sekresi

dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada perempuan yang

dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresif terhadap respon imun

selular dan humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta.

Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon

imun selular (Th1). Oleh karena pada AR respon Th1 lebih dominan sehingga estrogen dan

progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan AR. Pemberian

kontrasepsi oral dilaporkan mencegah perkembangan AR atau berhubungan dengan

penurunan insiden AR yang lebih berat.

Faktor Infeksi

Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit AR. Organisme ini

diduga menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T

sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan antigen infeksi yang

secara nyata terbukti sebagai penyebab penyakit.

Protein Heat Shock (HSP)

HSP adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada semua spesies sebagai

respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. HSP

tertentu manusia dan HSP mikrobakterium tuberkulosis mempunyai 65% untaian yang

homolog. Hipotesisnya adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan

sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan

reaksi imunologis. Dan mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan molekul (molecular

mimicry).

12

Page 13: Makalah Ra

FAKTOR RESIKO

Faktor resiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis

kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua, paparan

salisilat dan merokok. Konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khususnya kopi

decaffeinated mungkin juga beresiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh dan

penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan penurunan resiko. Tiga dari perempat

perempuan dengan AR mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan dan

biasanya kambuh kembali setelah melahirkan.

PATOGENESIS

Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi dan fibroblas sinovial setelah

adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah

perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi.

Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau

sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang ireguler pada jaringan sinovial yang mengalami

inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan sendi

dan tulang. Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan

dilepaskan, sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik.

Peran Sel T

Induksi respon sel T pada AR diawali oleh interaksi antara reseptor sel T dengan share

epitope dari major histocompability complex class II (MHCII-SE) dan peptida pada antigen-

presenting cell (APC) sinovium atau sistemik. Molekul tambahan (accessory) yang

diekspresikan oleh APC antara lain ICAM-1 (intracellural adhesion molucle-1) (CD54),

OX40L (CD252), inducible costimulator (ICOS) ligand (CD275), B7-1 (CD80) dan B7-2

(CD86), berpartisipasi dan aktivasi sel T melalui ikatan dengan lymphocyte function-

associated antigen (LFA)-1 (CD11a/CD18), OX40 (CD134).

ICOS (CD278), dan CD28. Fibroblast-like synoviocytes (FLS) yang aktif juga mungkin

berpartisipasi dalam presentasi antigen dan mempunyai molekul tambahan seperti FLA-3

(CD58) dan ALCAM (activated leukocyte cell adhesion molecule) (CD166) ang berinteraksi

dengan sel T yang mengekspresikan CD2 dan CD6. Interleukin (IL)-6 dan transforming

13

Page 14: Makalah Ra

growth factor-beta (TGF-β) kebanyakan berasal dari APC aktif, signal pada sel Th17

menginduksi pengeluaran IL-17.

IL-17 mempunyai efek independen dan sinergistik dengan sitokin proinflamasi lainnya (TNF-

α dan IL-1β) pada sinovium, yang menginduksi pelepasan sitokin, produksi metaloproteinase,

ekspresi ligan RANK/RANK (CD265/CD245), dan osteoklastogenesis. Interaksi CD40L

(CD154) dengan CD40 juga mengakibatkan aktivasi monosit/makrofag (Mo/Mac) sinovial,

FLS, dan sel B. Walaupun kebanyakan pada penderita AR didapatkan adanya sel T regulator

CD4+CD25hi pada sinovium, tetapi tidak efektif dalam mengontrol inflamasi dan mungkin di

non-aktifkan oleh TNF-α sinovial. IL-10 banyak didapatkan pada cairan sinovial tetapi

efeknya pada regulasi Th17 belum diketahui.

Peran Sel B

Peran sel B dalam imunopatogenesis AR belum diketahui secara pasti, meskipun

sejumlah oeneliti menduga ada beberapa mekanisme yang mendasari keterlibatan sel B.

keterlibatan sel B dalam patogenesis AR diduga melalui mekanisme sebagai berikut:

1. Sel B berfungsi sebagai APC dan menghasilkan signal kostimulator yang penting untuk

clonal expansion dan fungsi efektor dari sel T CD4+.

2. Sel B dalam membran sinovial AR juga memproduksi sitokin proinflamsi seperti TNF-α

dan kemokin.

3. Membran sinovial AR mengandung banyak sel B yang memproduksi faktor reumatoid

(RF). AR dengan RF positif (seropositif) berhubungan dengan penyakit artikular yang lebih

agresif, mempunyai prevalensi manifestasi ekstraartikular yang lebih tinggi dan angka

morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. RF juga bisa mencetuskan stimulus diri sendiri

untuk sel B yang mengakibatkan aktivasi dan presentasi antigen kepada sel Th, yang pada

akhirnya proses ini juga akan memproduksi RF. Selain itu kompleks imun RF juga

memperantai aktivasi komplemen, kemudian secara bersama-sama bergabung dengan reseptor

Fcg, sehingga mencetuskan kaskade inflamasi.

4. Aktivasi sel T dianggap sebagai komponen kunci dalam patogenesis AR. Bukti terbatu

menunjukan bahwa aktivasi ini sangan tergantung kepada adanya sel B. berdasarkan

mekanisme diatas, mengindikasikan bahwa sel B berperan penting dalam penyakit AR,

sehingga layak dijadikan target dalam terapi AR.

14

Page 15: Makalah Ra

Peranan potensial sel B dalam regulasi respon imun pada AR.

Sel B matur yang terpapar oleh antigen dan stimulasi TLR (Toll-like receptor ligand) akan

berdiferensiasi menjadi short-lived plasma cells atau masuk kedalam reaksi GC (germinal

center) sehingga berubah menjadi sel B memori dan long-lived plasma cells yang dapat

memproduksi autoantibodi. Autoantibodi membentuk kompleks imun yang selanjutnya akan

mengaktivasi sistem imun melalui reseptor Fc dan reseptor komplemen yang terdapat pada sel

target. Antigen yang diproses oleh sel B mature selanjutnya disajikan kepada sel T sehingga

menginduksi diferensiasi sel T efektor untuk memproduksi sitokin proinflamasi, dimana

sitokin ini diketahui secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam destruksi tulang

dan tulang rawan. Sel B mature juga dapat berdiferensiasi menjadi sel B ang memproduksi

IL-10 yang dapat menginduksi respon autorektif sel T.

MANIFESTASI KLINIS

Onset

Kurang lebih 2/3 penderita AR, awitan terjadi secara perlahan, artritis simetris terjadi dalam

beberapa minggu sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit. Kurang lebih 15% dari

penderita mengalami gejala awal yang lebih cepat yaitu antara beberapa hari sampai beberapa

minggu. Sebanyak 10-15% penderita mempunyai onset fulminant berupa artritis

polioartikular, sehingga diagnosis AR lebih mudah ditegakkan. Pada 8-15% penderita, gejala

muncul beberapa hari setelah kejadian tertentu (infeksi). Artritis sering kali diikuti oleh

kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama satu jam atau lebih. Beberapa

penderita juga mempunyai gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia dan

demam ringan.

Manifestasi Artikular

Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi,

walaupun ada sepertiga penderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa sendi saja.

Walaupun tanda kardinal inflamasi (nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat) mungkin

ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan (flare), namun kemerahan dan

perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada AR yang kronik.

15

Page 16: Makalah Ra

Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran sinovial

yang membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena adalah persendia tangan, kaki

dan vertebra servikal, tetapi persendian besar seperti bahu dan lulut juga bisa terkena.

Sendi yang terlibat pada umumnya simetris, meskipun pada presentasi awal bisa tidak ada

simetris. Sinotivitis adkan menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas

dan kehilangan fungsi. Ankilosis tulang (destruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan

tulang yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi khususnya pada pergelangan tangan

dan kaki. Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga sendi interfalang

proksimal dan metakarpofalangeal. Sendi interfalang distal dan sakroiliaka tidak pernah

terlibat.

Tabel 2: Sendi yang terlibat pada artritis reumatoid

Sendi yang terlibat Frekuensi keterlibatan (%)

Metacarpophalangeal (MCP) 85

Pergelangan tangan 80

Proximal interphalangeal (PIP) 75

Lutut 75

Metatarsophalangeal (MTP) 75

Pergelangan kaki (tibiotalar + subtalar) 75

Bahu 60

Midfoot (tarsus) 60

Pinggul (Hip) 50

Siku 50

Acromioclavicular 50

Vertebra servikal 40

Temporomandibular 30

Sternoclavicular 30

Manifestasi Ekstraartikular

Walaupun artritis merupakan manifestasi klinis utama, tetapi AR merupakan penyakit

sistemik sehingga banyak penderita juga mempunyai manifestasi ekstraartikular. Manifestasi

ekstraartikular pada umumnya didapatkan pada penderita yang mempunyai titer faktor

reumatoid (RF) serum tinggi. Nodul reumatoid merupakan manifestasi kulit yang paling

sering dijumpai, tetapi biasanya tidak ditemukan di daerah ulna, olekranon, jari tangan,

tendon achilles atau bursa olekranon. Nodul reumatoid hanya ditemukan pada penderita AR

dengan faktor reumatoid positif (sering titernya tinggi) dan mungkin dikelirukan dengan tofus

16

Page 17: Makalah Ra

gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau nodul yang berhubungan dengan demam

reumatik, lepra, MCTD, atau multicentricreticulohistiocytosis. Manifestasi paru juga bisa

didapatkan, tetapi beberapa perubahan patologik hanya ditemukan saat otopsi. Beberapa

manifestasi ekstraartikuler seperti vaskulitis dan Felly syndrome jarang dijumpai, tetapi sering

memerlukan terapi spesifik.

Tabel 3: Manifestasi ekstraartikuler dari artritis reumatoid

Sistem Organ Manifestasi

Konstitusional Demam, anoreksia, kelelahan (fatigue), kelemahan, limfadenopati

Kulit Nodul reumatoid, accelerated rheumatoid nudulosis, pyoderma gangrenosum, interstisial

granulomatosus dermatitis with arthritis, palisaded neutrophilic dan granulomatosis

dermatitis, rheumatoid neutrophilic dermatitis, dan adult-onset Still disease

Mata Sjögren syndrome (keratokonjungtivitis sicca), scleritis, episcleritis, scleromalacia

Kardiovaskular Perikarditis, efusi perikardial, endokarditis, valvulitis

Paru-paru Pleuritis, efusi pleura, interstisial fibrosis, nodul reumatoid pada paru, Caplan’s syndrome

(infiltrat nodular pada paru dengan peneumoconiosis)

Hematologi Anemia penyakit kronik, trombositosis, eosinofilia, Felty syndrome (AR dengan

neutropenia dan splenomegali)

Gastrointestinal Sjögren syndrome (xerostomia), amyloidosis, vaskulitis

Neurologi Entrapment neuropathy, myelopathy/myositis

Ginjal Amyloidosis, renal tubular asidosis, interstisial nephritis

Metabolik Osteoporosis

Deformitas

Kerusakan struktur artikular dan periartikular (tendon dan ligamentum) menyebabkan

terjadinya deformitas.

Tabel 4: Bentuk-bentuk deformitas pada AR

Bentuk deformitas Keterangan

Deformitas leher angsa (swan-neck) Hiperekstensi PIP dan fleksi DIP

Deformitas boutonniѐre Fleksi PIP dan hiperektensi DIP

Deviasi ulna Deviasi MCP dan jari-jari tangan kearah ulna

Deformitas kunci piano (piano-key) Dengan penekanan manual akan terjadi pergerakan naik dan

turun dari ulnar styloid, yang disebabkan oleh rusaknya

sendi radioulnar

Deformitas Z-thumb Fleksi dan subluksasi sendi MCP I dan hiperekstensi dari

sendi interfalang

Arthritis mutilans Sendi MCP, PIP, tulang carpal dan kapsul sendi mengalami

17

Page 18: Makalah Ra

kerusakan sehingga menjadi instabilitas sendi dan tangan

tampak mengecil (operetta glass hand)

Hallux valgus MTP I terdesak kearah medial dan jempol kaki mengalami

deviasi kearah luar yang terjadi secara bilateral

KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita AR dirangkum dalam Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 5. Komplikasi yang Bisa Terjadi pada Penderita Artritis Reumatoid

Komplikasi Keterangan

AnemiaBerkorelasi dengan LED dari aktivitas penyakit; 75 % penderita AR mengalami anemia karena

penyakit kronik dan 25 % penderita tersebut memberikan respon terhadap terapi besi.

Kanker

Mungkin akibat sekunder dari terapi yang diberikan; kejadian limfoma dan leukemia 2-3 kali

lebih sering terjadi pada penderita AR; peningkatan resiko terjadinya berbagai tumor solid;

penurunan resiko terjadinya kanker genitourinaria, diperkirakan karena penggunaan OAINS.

Komplikasi Kardiak1/3 penderita AR mungkin mengalami efusi perikardial asimptomatik saat diagnosis ditegakkan;

miokarditis bisa terjadi, baik dengan atau tanpa gejala; blok atrioventrikular jarang ditemukan

Penyakit tulang belakang

leher (cervical spine

disease)

Tenosinovitis pada ligamentum transversum bisa menyebabkan instabilitas sumbu atlas, hati-

hati bila melakukan intubasi endotrakeal; mungkin ditemukan hilangnya lordosis servikal dan

berkurangnya lingkup gerak leher, sublukasi C4-C5 dan C5-C6, penyempitan celah sendi pada

foto servikal lateral. Myelopati bisa terjadi yang ditandai oleh kelemahan bertahap pada

ekstremitas atas dan parestesia.

Gangguan mata Episkleritis jarang terjadi

Pembentukan fistula Terbentuknya sinus kutaneus dekat sendi yang terkena, terhubungnya bursa dengan kulit.

Peningkatan infeksi Umumnya merupakan defek dari terapi AR.

Deformitas sendi tangan

Deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal; deformitas boutonniere (fleksi PIP dan

hiperekstensi DIP); deformitas swan neck (kebalikan dari deformitas boutonniere); hiperekstensi

dari ibu jari; peningkatan risiko ruptur tendon.

Deformitas sendi lainnyaBeberapa kelainan yang bisa ditemukan antara lain : frozen shoulder, kista popliteal, sindrom

terowongan karpal dan tarsal.

Komplikasi pernafasan

Nodul paru bisa bersama-sama dengan kanker dan pembentukan lesi kavitas; Bisa ditemukan

inflamasi pada sendi cricoarytenoid dengan gejala suara serak dan nyeri pada laring; pleuritis

ditemukan pada 20% penderita; fibrosis interstisial bisa ditandai dengan adanya ronkhi pada

pemeriksaan fisik (selengkapnya lihat Tabel 6)

Nodul reumatoid

Ditemukan pada 20-35% penderita AR, biasanya ditemukan pada permukaan ekstensor

ekstremitas atau daerah penekanan lainnya, tetapi bisa juga ditemukan pada daerah sklera, pita

suara, sakrum atau vertebra.

Vaskulitis

Bentuk kelainannya antara lain : arteritis distal, perikarditis, neuropati perifer, lesi kutaneus,

arteritis organ viscera dan arteritis koroner; terjadi peningkatan risiko pada : penderita

perempuan, titer RF yang tinggi, mendapat terapi steroid dan mendapat beberapa macam

DMARD; berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya infark miokard.

18

Page 19: Makalah Ra

Tabel 6. Komplikasi pleuroparenkimal primer dan sekunder dari artritis reumatoid

Pleural disease

Pleural effusions, Pleural fibrosi

Interstitial lung disease

Usual interstitial pneumonia, Nonspesific interstitial pneumonia, Organizing pneumonia, Lymphocytic interstitial

pneumonia, Diffuse alveolar damage, Acute eosinophilic pneumonia, Apical fibrobullous disease, Amyloid,

Rheumatoid nodules.

Pulmonary vascular disease

Pulmonary hypertension, Vasculitis, Diffuse alveolar hemorrhage with capiliaritis

Secondary Pulmonary complications

Opportunistic infections

Pulmonary tuberculosis, Atypical mycobacterial infections, Nocardiosis, Aspergillosis, Pneumocystis jeroveci

pneumonia, Cytomegalovirus pneumonitis.

Drug toxicity

Methotrexate, Gold, D-penicillamin, Sulfasalazin.

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK

Tidak ada tes diagnostik tunggal yang definitif untuk konfirmasi diagnosis AR. The

American College of Rheumatology Subcomittee on Rheumatoid Arthritis (ACRSRA)

merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dasar untuk evaluasi antara lain : darah perifer

lengkap (complete blood cell count), faktor reumatoid ( RF), laju endap darah atau C-reactive

protein (CRP). Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal juga direkomendasikan karena akan

membantu dalam pemilihan terapi. Bila hasil pemeriksaan RF dan CRP negatif bisa

dilanjutkan dengan pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderita AR yang

mempunyai risiko tinggi mengalami prognosis yang buruk.

Pemeriksaan pencitraan (imaging) yang biasa digunakan untuk menilai penderita AR

antara lain foto polos (plain radiograph) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada awal

perjalanan penyakit mungkin hanya akan ditemukan pembengkakan jaringan lunak atau efusi

sendi pada pemeriksaan foto polos, tetapi dengan berlanjutnya penyakit, mungkin akan lebih

banyak ditemukan kelainan. Osteopenia juxtaarticular adalah karakteristik untuk AR dan

chronic inflammatory arthritides lainnya. Hilangnya tulang rawan artikular dan erosi tulang

mungkin timbul setelah beberapa bulan dari aktivitas penyakit. Kurang lebih 70% penderita

AR akan mengalami erosi tulang dalam 2 tahun pertama penyakit, dimana hal ini menandakan

penyakit berjalan secara progresif. Erosi tulang bisa tampak pada semua sendi, tetapi paling

sering ditemukan pada sendi metacarpophalangeal, metatarsophalangeal dan pergelangan

19

Page 20: Makalah Ra

tangan. Foto polos bermanfaat dalam membantu menentukan prognosis, menilai kerusakan

sendi secara longitudinal, dan bila diperlukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI mampu

mendeteksi adanya erosi lebih awal bila dibandingkan dengan pemeriksaan radiografi

konvesional dan mampu menampilkan struktur sendi secara rinci, tetapi membutuhkan biaya

yang lebih tinggi. Pemeriksaan penunjang diagnostik untuk AR dirangkum pada Tabel 7 dan

perbandingan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan autoantibodi pada AR tampak pada

Tabel 8.

Tabel 7. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik untuk Artritis Reumatoid

Pemeriksaan Penunjang Penemuan yang Berhubungan

C-reactive protein (CRP)* Umumnya meningkat sampai > 0,7 picogram/mL, bisa digunakan untuk monitor

perjalanan penyakit.

Laju Endap Darah (LED)* Sering meningkat > 30 mm/jam, bisa digunakan untuk monitor perjalanan penyakit

Hemoglobin/hematokrit* Sedikit menurun, Hb rata-rata sekitar 10 g/dL, anemia normokromik, mungkin juga

normositik atau mikrositik

Jumlah leukosit* Mungkin meningkat

Jumlah trombosit* Biasanya meningkat

Fungsi hati* Normal atau fosfatase alkali sedikit meningkat

Faktor reumatoid (RF)* Hasilnya negatif pada 30% penderita AR stadium dini. Jika pemeriksaan awal negatif

dapat diulang setelah 6-12 bulan dari onset penyakit. Bisa memberikan hasil positif

pada beberapa penyakit seperti SLE, skleroderma, sindrom Sjogren’s, penyakit

keganasan, sarkoidosis, infeksi (virus, parasit, atau bakteri). Tidak akurat untuk

penilaian perburukan penyakit.

Foto polos sendi* Mungkin normal atau tampak adanya osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada

stadium dini penyakit. Foto pergelangan kaki penting untuk data dasar, sebagai

pembanding dalam penelitian selanjutnya.

MRI Mampu mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan dengan foto polos,

tampilan struktur sendi lebih rinci.

Anticyclic citrullinated peptide

anibody (anti-CCP)

Berkorelasi dengan perburukan penyakit, sensitivitasnya meningkat bila dikombinasi

dengan pemeriksaan RF. Lebih spesifik dibandingkan dengan RF. Tidak semua

laboratorium mempunyai fasilitas pemeriksaan anti-CCP

Anti-RA33 Merupakan pemeriksaan lanjutan bila RF dan anti-CCP negatif.

Antinuclear antibody (ANA) Tidak terlalu bermakna untuk penilaian AR

Konsentrasi komplemen Normal atau meningkat

Imunoglobulin (Ig) Ig -1 dan -2 mungkin meningkat

Pemeriksaan cairan sendi Diperlukan bila diagnosis meragukan. Pada AR tidak ditemukan kristal, kultur negatif

dan kadar glukosa rendah.

Fungsi ginjal Tidak ada hubungan langsung dengan AR, diperlukan untuk memonitor efek samping

terapi

Urinalisis Hematuria mikroskopik atau proteinuria bisa ditemukan pada kebanyakan penyakit

jaringan ikat

20

Page 21: Makalah Ra

Tabel 8. Sensivisitas dan Spesifisitas Pemeriksaan Autoantibodi pada Artritis

Reumatoid

AutoantibodiSensitivitas

(%)

Spesifisitas

(%)

PPV*

(%)

RF titer > 20 U/ml 55 89 84

RF titer tinggi (> 50 U/ml) 45 96 92

Anti-CCP 41 98 96

Anti-RA33 28 90 74

KRITERIA DIAGNOSTIK

Pada penelitian klinisd, AR didiagnosis secara resmi dengan menggunakan tujuh

kriteria dari American College of Rheumatology seperti tampak pada Tabel 9. Pada penderita

AR stadium awal (early) mungkin sulit menegakkan diagnosis definitif dengan menggunakan

kriteria ini. Pada kunjungan awal, penderita harus ditanyakan tentang derajat nyeri, durasi dari

kekakuan dan kelemahan serta keterbatasan fungsional. Pemeriksaan sendi dilakukan secara

teliti untuk mengamati adanya ciri-ciri seperti yang disebutkan diatas. Liao dkk melakukan

modifikasi terhadapap kriteria ACR dengan memasukkan pemeriksaan anti-CCP dan

membuang kriteria nodul reumatoid dan perubahan radiologis, sehingga jumlah kriteria

menjadi enam. Diagnosis AR ditegakkan bila terpenuhi 3 dari 6 kriteria. Kriteria diagnosis ini

ternyata memperbaiki sensitivitas dari kriteria ACR (74% : 51%), tetapi spesifisitasnya lebih

rendah dari kriteria ACR (81% : 91%).

Tabel 9. Kriteria Diagnosis Artritis Reumatoid Menurut ACR (Tahun 1987)

Gejala dan Tanda Definisi

Persentase penderita AR jika gejala

atau tanda* :

Ada Tidak ada

Kaku pagi hari (morning

stiffness)

Kekakuan pada sendi dan sekitarnya yang

berlangsung paling sedikit selama 1 jam sebelum

perbaikan maksimal

39 14

Artritis pada 3 persendian

atau lebih

Paling sedikit 3 sendi secara bersamaan

menunjukkan pembengkakan jaringan lunak atau

efusi

32 13

Artritis pada persendian Paling sedikit ada satu pembengkakan (seperti 33 12

21

Page 22: Makalah Ra

tangan yang disebutkan diatas) pada sendi : pergelangan

tangan, MCP atau PIP

Artritis yang simetrik Keterlibatan sendi yang sama pada kedua sisi

tubuh secara bersamaan

29 17

Nodul reumatoid Adanya nodul subkutan pada daerah tonjolan

tulang, permukaan ekstensor, atau daerah

juxtaartikular

50 25

Faktor reumatoid serum

positif

Adanya titer abnormal faktor reumatoid serum

yang diperiksa dengan metode apapun, yang

memberikan hasil positif < 5% pada kontrol

subyek normal

74 13

Perubahan gambar

radiologis

Terdapat gambaran radiologis yang khas untuk

artritis reumatoid pada foto posteroanterior tangan

dan pergelangan tangan

79 21

Kemudian, terdapat klasifikasi yang direvisi pada tahun 2010 oleh ACR dan European

League Against Rheumatism (EULAR), yaitu

Kriteria Skor

Keterlibatan sendi

1 sendi besar

2-10 sendi besar

1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)

4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)

> 10 sendi

0

1

2

3

5

Serologi

RF negatif dan ACPA negatif

RF positif-rendah atau ACPA positif-rendah

RF positif-tinggi atau ACPA positif-tinggi

0

2

3

Reaktan fase akut

CRP normal dan LED normal

CRP abnormal atau LED abnormal

0

1

Durasi dari gejala

< 6 minggu

> 6 minggu

0

1

Keterangan : RF=Faktor reumatoid, ACPA= Anti-Citrullinated Protein Antibody; LED= Laju

Endap Darah, CRP= C-Reactive Protein

Kriteria klasifikasi untuk AR berdasarkan kriteria ACR dan EULAR tahun 2010 dapat

dikatakan seorang pasien yang menderita RA apabila penjumlahan skor didapatkan > 6-10.

22

Page 23: Makalah Ra

DIAGNOSIS BANDING

AR harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti artropati reaktif yang

berhubungan dengan infeksi, spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan ikat lainnya

seperti lupus eritematosus sistemik (LES), yang mungkin mempunyai gejala menyerupai AR.

Adanya kelainan endokrin juga harus disingkirkan. Artritis gout jarang bersama-sama dengan

AR, bila dicurigai ada artritis gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan.

PROGNOSIS

Prediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara lain : skor fungsional yang

rendah, status sosialekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga

menderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat permulaan penyakit,

RF atau anti-CCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit, ada nodul

reumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya. Sebanyak 30% penderita AR dengan

manifestasi penyakit berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20 walaupun sudah

mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan penderita dengan penyakit yang lebih ringan

memberikan respon yang baik dengan terapi. Penelitian yang dilakukan oleh Lindqvist dkk

pada penderita AR yang mulai tahun 1980-an, memperlihatkan tidak adanya peningkatan

angka mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah diagnosis. Rasio keseluruhan

penyebab kematian pada penderita AR dibandingkan dengan populasi umum adalah 1,6.

Tetapi hasil ini mungkin akan menurun setelah penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.

KRITERIA PERBAIKAN

American College of Rheumatology (ACR) membuat kriteria perbaikan untuk AR,

tetapi kriteria ini lebih banyak dipakai untuk menilai outcome dalam uji klinik sehari-hari.

Kriteria perbaikan ACR 20% (ACR20) didefinisikan sebagai perbaikan 20% jumlah nyeri

tekan dan bengkak sendi disertai perbaikan 20% terhadap 3 dari 5 parameter yaitu : patient’s

global assessment, physician’s global assessment, penilaian nyeri oleh pasien, penilaian

disabilitas oleh pasien dan nilai reaktan fase akut. Kriteria ini juga diperluas menjadi kriteria

perbaikan 50% dan 70% (ACR50 dan ACR70)

23

Page 24: Makalah Ra

Kriteria remisi

Menurut kriteria ACR, AR dikatakan mengalami remisi bila memenuhi 5 atau lebih dari

kriteria dibawah ini dan berlangsung paling sedikit selama 2 bulan berturut-turut :

1. Kaku pagi hari berlangsung tidak lebih dari 15 menit

2. Tidak ada kelelahan

3. Tidak ada nyeri sendi (melalui anamnesis)

4. Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak pada sendi

5. Tidak ada pembengkakan jaringan lunak atau sarung tendon

6. LED < 30 mm/jam untuk perempuan atau < 20 mm/jam untuk laki-laki (dengan

metode Westergren)

TERAPI

Destruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak timbulnya gejala,

terapi sedini mungkin akan menurunkan angka perburukan penyakit. Oleh karena itu sangat

penting untuk melakukan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin. ACRSRA

merekomendasikan bahwa penderita dengan kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3 bulan sejak

timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis dan inisiasi terapi DMARDs (Disease-modifying

antirheumatic drugs). Modalitas terapi untuk AR meliputi terapi non farmakologik dan

farmakologik.

Tujuan terapi pada penderita AR adalah :

1. Mengurangi nyeri

2. Mempertahankan status fungsional

3. Mengurangi inflamasi

4. Mengendalikan keterlibatan sistemik

5. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular

6. Mengendalikan progresivitas penyakit

7. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi

24

Page 25: Makalah Ra

TERAPI NON FARMAKOLOGIK

Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada penderita AR. Terapi puasa,

suplementasi asam lemak esensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan hasil yang baik.

Pemberian suplemen minyak ikan (cod liver oil) bisa digunakan sebagai NSAID-sparing

agents pada penderita AR. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam

perawatan penderita, bisa memberikan manfaat jangka panjang. Penggunaan terapi herbal,

acupuncture dan splinting belum didapatkan bukti yang meyakinkan.

Pembedahan harus dipertimbangkan bila : 1. Terdapat nyeri berat yang berhubungan

dengan kerusakan sendi yang ekstensif, 2. Keterbatasan gerak yang bermakna atau

keterbatasan fungsi yang berat, 3. Ada ruptur tendon.

TERAPI FARMAKOLOGIK

Farmakoterapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi obat anti-inflamasi non

steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau intraartikular

dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin digunakan seperti acetaminophen, opiat,

diproqualone dan lidokain topikal. Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik untuk AR

menggunakan pendekatan piramid yaitu : pemberian terapi untuk mengurangi gejala dimulai

saat diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau penambahan terapi hanya diberikan bila

terjadi perburukan gejala. Tetapi saat ini pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid) lebih

disukai, yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit.

Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang didapat dari beberapa penelitian yaitu : 1.

Kerusakan sendi sudah terjadi dari awal; 2. DMARD memberikan manfaat yang bermakna

bila diberikan sedini mungkin; 3. Manfaat DMARD bertambah bila diberikan secara

kombinasi; 4. Sejumlah DMARD yang baru sudah tersedia dan terbukti memberikan efek

menguntungkan.

Penderita dengan penyakit ringan dan hasil pemeriksaan radiologis normal, bisa

dimulai dengan terapi hidrosiklorokuin/klorokuin fosfat, sulfasalazin atau minosiklin,

meskipun methotrexate (MTX) juga menjadi pilihan. Penderita dengan penyakit yang lebih

berat atau ada perubahan radiologis harus dimulai dengan terapi MTX. Jika gejala tidak bisa

dikendalikan secara adekuat, maka pemberian leflunomide, azathiporine atau terapi kombinasi

25

Page 26: Makalah Ra

(MTX ditambah satu DMARD yang terbaru) bisa dipertimbangkan. Kategopri obat secara

individual akan dibahas dibawah ini.

OAINS

OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan.

Oleh karena obat-obat ini tidak merubah perjalanan penyakit maka tidak boleh diberikan

secara tunggal. Penderita AR mempunyai resiko dua kali lebih sering mengalami komplikasi

serius akibat penggunaan OAINS dibandingkan dengan penderita osteoartritis, oleh karena itu

perlu pemantauan secara ketat terhadap gejala efek samping gastrointestinal.

GLUKOKORTIKOID

Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednison kurang dari 10 mg per hari cukup

efektif untuk meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Dosis steroid harus

diberikan dalam dosis minimal karena resiko tinggi mengalami efek samping seperti

osteoporosis, katarak, gejala Cushingoid, dan gangguan akadar gula darah. ACR

merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat terapi glukokortikoid harus diertai

dengan pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D400 – boo IU per hari. Bila artritis hanya

mengenai satu sendi dan mengakibatkan disabilitasyang bermakna, maka injeksi steroid

cukup aman dan efektif, walaupun efeknya bersifat sementara. Adanya artritis infeksi harus

disingkirkan sebelum melakukan injeksi. Gejala mungkin akan kambuh kembali bila steroid

dihentikan, terutama bila menggunakan steroid dosis tinggi, sehingga kebanyakan

Rheumatologist menghentikan steroid secra perlahan dalam satu bulan atau lebih, untuk

menghindari rebound effect. Steroid sistemik sering digunakan sebagai bridging therapy

selama periode inisiasi DMARD sampai timbulnya efek terapi dari DMARD tersebut, tetapi

DMARD terbaru saat ini mempunyai mula kerja relatif cepat.

DMARD

Pemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua penderita AR. Pemilihan

jenis DMARD harus mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit, pengalaman dokter

dan adanya penyakit penyerta. DMARD yang paling umum digunakan adalah MTX,

hidrosiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide, infliximab, dan etanercept.

Sulfasalazin atau hidrosiklorokuin atau klorokuin fosfat sering digunakan sebagai terapi awal,

tetapi pada kasus yang lebih berat, MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan sebagai

terapi lini pertama. Banyak bukti menunjukkan bahwa kombinasi DMARD lebih efektif

26

Page 27: Makalah Ra

dibandingkan dengan terapi tunggal. Perempuan pasangan usia subur (childbearing) harus

menggunakan alat kontrasepsi yang adekuat bila sedang dalam terapi DMARD, oleh karena

DMARD membahayakan fetus.

Leflunomide bekerhja secara kompetitif inhibitor terhadap enzim intraselular yang

diperlukan untuk sintesis pirimidin dalam limfosit yang teraktivasi. Leflunomide

memperlambat perburukan kerusakan sendi yang diukur secara radiologis dan juga mencegah

erosi sendi yang baru pada 80% penderita dalam periode 2 tahun. Antagonis TNF

menurunkan konsentrasi TNF-, yang konsentrasinya ditemukan meningkat pada cairan sendi

penderita AR. Etanercept adalah suatu soluble TNF-receptor fusion protein, dimana efek

jangka panjangnya sebanding dengan MTX, tetapi lebih cepat dalam memperbaiki gejala,

sering dalam 2 minggu terapi. Antagonis TNF yang lain adalah infliximab yang merupakan

chimeric IgG1 anti-TNF- antibody. Penderita AR dengan respons buruk terhadap MTX,

mempunyai respons yang lebih baik dengan pemberian infliximab dibandingkan plasebo.

Adalimumabuga merupakan rekombinan human IgG1 antibody, yang mempunyai efek aditif

bila dikombinasi dengan MTX. Pemberian antagonis TNF berhubungan dengan peningkatan

risiko terjadinya infeksi, khususnya reaktivasi tuberkulosis.

Anakinra adalah rekombinan antagonis reseptor interleukin-1. Beberapa uji klinis

tersamar ganda mendapatkan bahwa anakinra lebih efektif bila dibandingkan dengan plasebo,

baik diberikan secara tunggal maupun dikombinasi dengan MTX. Efek sampingnya antara

lain iritasi kulit pada tempat suntikan, peningkatan risiko infeksi dan leukopenia. Rituximab

merupakan antibodi terhadap reseptor permukaan sel B (anti-CD20) menunjukkan efek cukup

baik. Antibodi terhadap reseptor interleukin-6 juga sedang dalam evaluasi.6

27

Page 28: Makalah Ra

BAB V

KESIMPULAN

Pada diskusi kali ini, berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

laboratorium, pasien didiagnosis menderita Atritis Reumatoid, dimana diagnosis ditegakkan

berdasarkan kriteria diagnostik dan keluhan serta gejala yang di alami pasien memenuhi

kriteria tersebut. Penatalaksanaan asimptomatik dan simptomatik dilakukan pada pasien ini.

Adapun tujuan utama dari penatalaksanaan yang dilakukan yaitu untuk menghilangkan nyeri

dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan mencegah atau memperbaiki deformitas

yang terjadi pada sendi dari pasien ini.

28

Page 29: Makalah Ra

DAFTAR PUSTAKA

1. Medscape. Rheumatoid Athritis. (Updated December 25, 2011). Available at

http://emedicine.medscape.com/article/211353-overview. Accesed on: 23 Maret

2012.

2. Price SA, Wilson LM. Atritis Reumatoid. In: Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006; p. 1385-7.

3. Natadijaja Hendarto. Penuntun Kuliah Anamnesis dan Pemeriksaan Jasmani.

Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USAKTI; 2003. p. 7-9.

4. Mansjoer A, Wardhani WI. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2, Jakarta:

Penerbit Media Aesculapius FK UI; 2000. p. 144-6.

5. Sacher RA, Richard A. McPherson. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Jasmani

dan Laboratorium. Jakarta: EGC; 2004. p.36-7.

6. Suarjana I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Artritis Reumatoid. Jilid 3. Ed 5.

Jakarta: Interna Publishing. 2009. 2495-510.

29