laporan kasus ra
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Seorang pasien bernama Tn. Salim dengan usia 79 tahun masuk ke RSUD
Raden Mattaher Jambi di rawat di Bangsal Bedah dengan keluhan utama benjolan di
lipat paha kanan sejak ± 4 bulan yang lalu. Dari hasil pemeriksaan di Poli Bedah
ditegakkan diagnosis Hernia inguinalis lateralis dekstra irreponible.
Pada saat pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan pada saat pra
anastesi didapatkan pasien termasuk ASA II. Setelah pemeriksaan, direncanakan akan
dilakukan anastesi spinal. Operasi dilakukan pada tanggal 19 November 2013 dan
akan dilakukan oleh ahli bedah dr. Riswan Joni, Sp.B dan ahli anastesi dr. Isrun
Masari, SpAn.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 19 November 2013
Nama : Tn. Salim
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 79 tahun
BB : 48 kg
Ruang : Bedah
No. MR : 741983
Diagnosis : Hernia Ingunalis Lateral Dextra Irreponible
Tindakan : Hernioraphy
B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI
Anamnesis
Keluhan Utama :
Benjolan di lipat paha kanan sejak ± 4 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
± 3 tahun yang lalu, timbul benjolan di lipat paha sebelah kanan
sebesar kelereng, benjolan sering hilang trimbul. Benjolan timbul saat pasien,
batuk, bersin, mengangkat beban berat atau mengedan, benjolan menghilang
pada saat pasien berbaring atau beristirahat.
± 2 tahun yang lalu, pasien meraskan benjolan semakin membesar,
sebesar telur puyuh. Benjolan tersebut tampak jika pasien batuk, mengedan,
saat sedang bekerja berat atau mengangkat barang berat. Namun apabila
pasien baring atau istirahat mau tidur benjolan tersebut hilang. Benjolan dapat
masuk apabila didorong dengan tangan. Benjolan tidak terasa nyeri, sakit,
2
tidak merah dan tidak terasa tegang. Pasien juga tidak mengeluhkan adanya
mual dan muntah. Demam disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pasien belum pernah berobat kemanapun untuk penyakit ini.
± 4 bulan ini pasien mengaku benjolan semakin membesar sebesar
telur ayam dilipat paha kanan dan tidak dapat dimasukan lagi. Pasien merasa
resah dan akhirnya pasien berobat ke Poli RSUD Raden Mattaher, Kemudian
pasien disarankan untuk dilakukan operasi.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat Hipertensi (+) sejak 2 tahun yang lalu.
Riwayat Asma (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat batuk lama/ TB (-)
Riwayat operasi sebelumnya (-)
Riwayat Alergi Obat (-)
Riwayat Pekerjaan : Pasien bekerja sebagai petani. Pekerjaaan
sering mengangkat beban berat (+).
Riwayat penyakit keluarga : Keluarga pasien tidak ada yang mengalami
keluhan serupa seperti yang dialami oleh
pasien.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)
Vital sign
TD : 150/90 mmhg
Respirasi : 22 x/ menit, regular, isi dan tegangan cukup
Nadi : 90 x/ menit
3
Suhu : 36,5 °C
Kepala
Mata : Pupil isokor kanan dan kiri, Refleks cahaya
(+/+), Konjungtiva anemis (-/-), Sclera ikhterik (-/-)
Hidung : Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-)
Mulut : Mukosa tidak anemis, lidah kotor (-),
Mallampati I
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5 - 2 cm H2O,
Gerakan bebas.
Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)
Palpasi : Vocal Fremitus normal, kanan kiri sama
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-), Wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V mid clavikula
Perkusi : Batas jantung kanan ICS V, Batas Jantung Kiri
ICS V midcalvicula lateral.
Auskultasi : BJ I-II regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+) Normal
4
Palpasi : Supel, Nyeri Tekan (-), nyeri lepas (-), massa
(-), bising usus (+) normal
Pekusi : Timpani
Genitalia
Inspeksi : Tampak benjolan sebesar telur ayam dan tidak
ada tanda radang di regio iliaka dextra.
Palpasi : Teraba massa di regio iliaka dextra ukuran 5 x
3 cm, konsistensi kenyal, permukaan rata dan licin, batas atas
jelas, tidak ada nyeri tekan, tidak dapat dimasukkan.
Ekstremitas
Superior : Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-)
Inferior : Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-)
Pemeriksaan Penunjang
EKG : Irama Sinus Normal
Foto Thorak : Cor : Kardiomegali, Paru dalam batas Normal
USG : Hepar, Lien, Pankreas, Kantong empedu, Ginjal,
Vesica urinaria dalam batas normal
Laboratorium
DARAH RUTIN
WBC : 7,4 103/mm3
RBC : 5,63 103/mm3
HGB : 12,3 g/dl
HCT : 39,1 %
PLT : 212 103/mm3
Clotting Time : 4 menit
5
Bleeding Time: 2 menit
KIMIA DARAH
Faal Hati
Protein Total : 7,7 g/dl
Albumin : 4,3 g/dl
Globulin : 3,4 g/dl
SGOT : 23 U/L
SGPT : 17 U/L
Faal Ginjal
Ureum : 41,5 mg/dl
Kreatinin : 1,6 mg/dl
Asam Urat : 5,6 mg/dl
Faal Lemak
Cholesterol : 185 mg/dl
Trigliserida : 134 mg/dl
HDL : 80 mg/dl
LDL : 158 mg/dl
GDS : 108 mg/dl
STATUS FISIK : ASA II
RENCANA TINDAKAN ANESTESI
Diagnosis Pra Bedah : Hernia Inguinalis lateralis dekstra irreponible
Tindakan Bedah : Hernioraphy
Status ASA : II
Jenis/tind. anestesi : Regional Anestesi
6
Premedikasi : Ranitidin 50 mg
Ondancetron 4 mg
Induksi : Bupivacain 0,5 % 15 mg
Adjuvant : Morfin 0,1 mg
7
BAB III
LAPORAN ANASTESI
Tanggal : 19 November 2013
Nama : Salim
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 79 tahun
BB : 48 kg
Ruang : Bangsal Bedah
No. MR : 741983
Diagnosis : Hernia Inguinal lateralis dekstra irreponible
Tindakan : Hernioraphy
Operator : dr. Riswan Joni, Sp.B
Ahli Anastesi : dr. Isrun Masari, Sp.An
I. KETERANGAN PRA BEDAH
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 130/80 mmHg
Respirasi : 22 x/ menit
Nadi : 86 x/ menit
Suhu : 36,5 °C
2. Pemeriksaan Penunjang
EKG : Irama Sinus Normal
Foto Thorak : Cor dan Paru dalam batas Normal
USG :Hepar, Lien, Pankreas, Kantong
empedu, Ginjal, Vesica urinaria dalam
batas normal
8
Laboratorium
DARAH RUTIN
WBC : 7,4 103/mm3
RBC : 5,63 103/mm3
HGB : 12,3 g/dl
HCT : 39,1 %
PLT : 212 103/mm3
Clotting Time : 4 menit
Bleeding Time: 2 menit
KIMIA DARAH
Faal Hati
Protein Total : 7,7 g/dl
Albumin : 4,3 g/dl
Globulin : 3,4 g/dl
SGOT : 23 U/L
SGPT : 17 U/L
Faal Ginjal
Ureum : 41,5 mg/dl
Kreatinin : 1,6 mg/dl
Asam Urat : 5,6 mg/dl
Faal Lemak
Cholesterol : 185 mg/dl
Trigliserida : 134mg/dl
HDL : 80 mg/dl
LDL : 158 mg/dl
9
GDS : 108 mg/dl
3. Penyakit penyerta : Hipertensi Grade I
4. Status Fisik : ASA II
II. TINDAKAN ANASTESI
1. Metode : Anestesi Regional
Tekhnik anestesi : Spinal
Lokasi penusukan : L3-L4
Analgesi setinggi : Segmen (dermatom) T4-T5
Obat anestesi local : Bupivacaine HCL 0,5% (hiperbarik) 15
mg
Adjuvant : Morpin 0,1 mg
2. Premedikasi
Injeksi Ranitidine 50 mg
Injeksi Ondancetron 4 mg
3. Medikasi
Bupivacaine HCL 0,5 % (hiperbarik) 15 mg
Morpin 0,1 mg
Keterolac 30 mg
Tramadol 100 mg
Ondansentron 4 mg
4. Jumlah Cairan
10
Input : RL Kolf 3 1500 ml
FimaHES 1 500 ml
Output : ± 300 cc
Perdarahan : ± 85 cc
Kebutuhan Cairan Pasien ini:
BB = 48 Kg
Defisit Cairan Karena Puasa (P)
P = 6 x BB x 2 cc
P = 6 x 48 x 2 cc 576 cc
Maimtenance (M)
M = BB x 2 cc
M = 48 x 2 cc 96 cc
Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc
O = 48 x 6 cc 288 cc
Perdarahan
Total = Suction + Kassa
Total = 50 cc + 35 cc = 85 cc
Kebutuhan cairan selama operasi :
Jam I : ½ (P) + M + O
½ (576) + 96 + 288 672 cc
Jam II : ¼ (P) + M + O
11
¼ (576) + 96 + 288 528 cc
Total cairan : 672 cc + 528 cc + 85 cc = 1.285 cc
IV. KEADAAN SELAMA OPERASI
1. letak penderita : Supine
2. Intubasi : -
3. Penyulit Intubasi : -
4. Penyulit Waktu Anastesi : -
6. Jumlah Perdarahan : ± 85 cc
Jam Tekanan Darah Nadi RR
12.45 160/90 mmhg 90 23
13.00 143/69 mmhg 75 21
13.15 130/70mmhg 68 21
13.30 123/64 mmhg 68 20
13.45 122/65 mmHg 72 23
14.00 120/61 mmHg 71 23
14.15 119/65 mmHg 68 20
V. RUANG PEMULIHAN
1. Masuk Jam : 14.15
2. Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15
TD : 120/68 mmHg
Nadi : 76 x/ menit
Pernafasan : 21/menit
Suhu : 36,2°C
12
3. Pernafasan : Baik
Skor Bromage :
Tidak mampu fleksi pergelangan kaki : 3
Skor aldrette
1. Aktifitas : 1
2. Pernapasan : 2
3. Warna kulit : 2
4. Sirkulasi : 2
5. Kesadaran : 2
Jumlah : 9
Pindah Ruangan : Bangsal Bedah jam 14.30
INSTRUKSI ANASTESI
Awasi KU dan tanda-tanda vital tiap 15 menit
Tidur terlentang menggunakan bantal selama 1X24 jam post
operasi
Boleh minum bertahap ½ gelas selama 1 jam
Lanjutkan terapi sesuai instruksi dr. Riswan Joni, Sp.B
BAB IV
13
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Hernia
4.1.1 Definisi Hernia
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek
atau bagian lemah atau dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi perut
menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo-aporneurotik dinding
perut. Hernia terdiri dari cincin, kantong, dan isi hernia. Hernia merupakan suatu
kasus bagian bedah yang pada umumnya sering menyebabkan masalah kesehatan dan
memerlukan tindakan operasi.1
Gambar 1. Hernia inguinalis
4.1.2 Epidemiologi Hernia
Hernia inguinalis indirek merupakan hernia yang paling sering ditemukan
yaitu sekitar 50% sedangkan hernia inguinal direk 25% dan hernia femoralis sekitar
15%. Di Amerika Serikat dilaporka bahwa 25% penduduk pria dan 2% penduduk
wanita menderita hernia inguinal di dalam hidupnya, dengan hernia inguinalis indirek
yang sering terjadi. Insidensi hernia inguinalis pada bayi dan anak antara 1-2 %.
Kemungkinan terjadi hernia pada sisi kanan 60%, pada sisi kiri 20-25% dan bilateral
15%. Kejadian hernia bilateral pada nak perempuan dibandingkan anak laki-laki sama
14
(10%) walaupun frekuensi prosessus vaginalis yang tetap terbuka lebih tinggi pada
perempuan. Perbandingan antara hernia inguinalis lateralis kanan, kiri dan bilateral
adalah 60% : 25% : 15%. Prosentase kejadian hernia inguinalis lateralis kanan lebih
sering dibandingkan hernia lateralis kiri disebabkan karena adanya keterlambatan
descensus testicularis kanan dari pada yang kiri, sesuai dengan obliterasi yang lambat
dari proscessus peritonei yang kanan.1
4.1.3 Etiologi dan Patofisiologi Hernia Inguinalis
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab
yang didapat. Hernia dapat dijumpai pada setiap usia. Berbagai faktor penyebab
berperan pada pembentukan pintu masuk pada annulus internus yang cukup lebar
sehingga dapat dilalui oleh kantong dan isi hernia. Disamping itu diperlukan pula
faktor yang dapat mendorong isi hernia untuk melewati pintu yang cukup lebar
tersebut.1
Pada orang yang sehat, ada tiga mekanisme yang dapat mencegah terjadinya
hernia inguinalis, yaitu:1
Kanalis inguinalis yang berjalan miring,
Adanya struktur muskulus oblikus internus abdominis yang menutup anulus
inguinalis internus ketika berkontraksi,
Adanya fasia transversa yang kuat yang menutupi trigonum Hasselbach yang
umumnya hampir tidak berotot.
Gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya hernia
inguinalis lateralis.1
Banyak kontroversi mengenai penyebab dari timbulnya suatu hernia. Secara
garis besar, sedikitnya 3 faktor yang dipandang berperan dalam hernia yaitu:1
1. Prosesus vaginalis yang terbuka
15
Kurang dari 90% prosessus vaginalis tetap terbuka, sedangkan pada bayi
umur 1 tahun sekitar 30% prosessus vaginalis belum tertutup. Tidak
sampai 10% dari anak dengan prosessus vaginalis paten menderita hernia.
Pada lebih dari separuh populasi anak dapat dijumpai prosessus vaginalis
paten kontralateral, tetapi insiden hernia tidak melebihi 20%. Umumnya
disimpulkan adanya prosessus vaginalis yang paten bukan merupakan
penyebab tunggal terjadinya hernia, tetapi diperlukan vaktor lain, seperti
anulus inguinalis yang cukup lebar.
2. Peninggian tekanan di rongga abdomen yang kronis, seperti batuk kronik,
hipertropi prostat, konstipasi dan acites sering disertai inguinalis.
Dalam keadaan relaksasi otot dinding perut, bagian yang membatasi
anulus internus turut kendur. Pada keadaan itu tekanan intraabdomen tidak
tinggi dan kanalis inguinalis berjalan lebih vertikal. Sebaliknya bila otot
dinding perut berkontraksi, kanalis inguinalis berjalan lebih transversal
dan anulus inguinalis tertutup sehingga dapat mencegah masuknya usus ke
dalam kanalis inguinalis. Kelemahan otot dinding perut antara lain terjadi
akibat kerusakan n.ilioinguinalis dan n. iliofemoralis setelah apendektomi.
3. Kelemahan otot dinding perut karena faktor usia.
Insidens hernia meningkat dengan bertambahnya umur mungkin karena
meningkatnya penyakit yang meninggikan tekanan intraabdomen dan
jaringan penunjang berkurang kekuatannya.
4.1.4 Klasifikasi Hernia
Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas:1
1. hernia bawaan atau kongenital
16
2. hernia dapatan atau akuisita.
Hernia diberi nama menurut letaknya misalnya:1
1. Hernia diafragma
2. Hernia inguinal
3. Hernia umbilikal
4. Hernia femoral.
Gambar 2. Hernia Menurut Letaknya
Menurut sifatnya, hernia dibagi menjadi:1
1. Hernia reponibel
Bila isi hernia dapat keluar masuk. Usus keluar jika berdiri atau
mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk ke perut,
tidak ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus.
2. Hernia ireponibel
Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali ke dalam rongga perut. Ini
biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada peritoneum kantong
hernia. Tidak ada keluhan rasa nyeri ataupun tanda sumbatan usus.
3. Hernia inkarserata dan hernia strangulata
Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata bila isinya
terjepit oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak
17
dapat kembali ke dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase
atau vaskularisasi. Secara klinis, hernia inkarserata lebih dimaksudkan
untuk hernia ireponibel dengan gangguan pasase, sedangkan gangguan
vaskularisasi disebut sebagai hernia strangulata. Pada keadaan
sebenarnya, gangguan vaskularisasi telah terjadi pada saat jepitan
dimulai, dengan berbagai tingkat gangguan mulai dari bendungan sampai
nekrosis.
4.1.5 Klasifikasi Hernia inguinalis3
1. Hernia Inguinalis Direk (Medialis)
Hernia inguinalis direk terjadi sekitar 15% dari semua hernia
inguinalis. Kantong hernia inguinalis direk menonjol langsung ke anterior
melalui dinding posterior kanalis inguinais, medial terhadap arteria dan
vena epigastrika inferior, karena adanya cojoint tendon (tendo gabungan
insersio musculus obliquus internus abdominis dan musculus transversus
abdominis) yang kuat, hernia ini biasanya hanya merupakan penonjolan
biasa, oleh karena itu leher kantong hernia lebar.3
Hernia inguinalis medialis atau hernia direk hampir selalu
disebabkan oleh peninggian tekanan intraabdomen kronik dan kelemahan
otot di dinding trigonum hasselbach. Oleh sebab itu, hernia ini umumnya
terjadi bilateral khususnya pada lelaki tua. Hernia ini jarang bahkan
hampir tidak pernah mengalami inkarserasi atau strangulasi. Mungkin
terjadi hernia gelincir yang mengandung sebagian dinding kandung kemih
atau kolon. Kadang ditemukan defek kecil di otot oblikus internus
abdominis pada segala usia dengan cincin yang kaku dan tajam sering
menyebabkan strangulasi.1
Hernia inguinalis direk jarang pada perempuan, dan sebagian besar
bersifat bilateral. Hernia ini merupakan penyakit pada laki-laki tua
dengan kelemahan otot dinding abdomen.3
18
2. Hernia Inguinalis Indirek (Lateralis)
Hernia inguinalis indirek (lateralis) merupakan bentuk hernia yang
paling sering ditemukan dan diduga mempunyai penyebab kongenital.3
Hernia disebut lateralis karena menonjol dari perut di lateral
pembuluh epigastrika inferior dan disebut indirek karena keluar melalui
dua pintu dan saluran yaitu annulus dan kanalis inguinalis, berbeda
dengan hernia medialis yang langsung menonjol melalui segitiga
hasselbach dan disebut sebagai hernia direk. Pada pemeriksaan hernia
lateralis akan tampak tonjolan berbentuk lonjong sedangkan hernia
medialis berbentuk tonjolan bulat.1
Pada bayi dan anak, hernia lateralis disebabkan oleh kelainan
bawaan berupa tidak menutupnya prosesus vaginalis peritoneum sebagai
akibat proses turunnya testis ke skrotum. Hernia gelincir dapat terjadi di
sebelah kanan atau kiri. Hernia yang dikanan biasanya berisi sekum dan
sebagian kolon ascendens, sedangkan yang kiri berisi sebgian kolon
descendens.1
Gambar 3. Hernia Inguinalis Indirect
4.1.6 Manifestasi Klinis Hernia Inguinalis
Sebagian besar hernia adalah asimtomatik dan paling banyak di temukan pada
pemeriksaan fisik rutin dengan palpasi benjolan pada annulus inguinalis superfisialis.
19
Pada umumnya keluhan pada orang dewasa benjolan di lipat paha yang timbul pada
waktu mengejan, batuk, atau mengangkat beban berat dan menghilang waktu istirahat
baring.1
4.1.6.1 Diagnosis
1. Gejala dan keluhan
Hampir seluruh hernia biasanya tidak menimbulkan gejala, sampai pasien
menyadari bahwa terdapat massa atau benjolan pada daerah inguinalnya.
Pada hernia reponible keluhan satu-satunya adalah adanya benjolan di
lipat paha yang muncul pada waktu berdiri, batuk, menangis, bersin, atau
mengedan, dan menghilang setelah berbaring. Keluhan nyeri jarang
dijumpai kalau ada biasanya dirasakan di daerah epigastrium atau
periumbilikal berupa nyeri visceral karena regangan pada mesenterium
sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam kantong hernia. Nyeri
yang disertai mual muntah baru timbul kalau terjadi inkaserata karena
ileus atau strangulasi karena nekrosis atau ganggren.1,4
2. Pemeriksaan Fisik
Pertama dilakukan inspeksi pada lipat paha. Kemudian, jari
telunjuk ditempatkan pada sisi lateral kulit skrotum dan dimasukan
sepanjang funikulus spermatikus sampai ujung jari mencapai annulus
inguinalis profundus. Jika jari tangan pemeriksa didalam kanalis
inguinalis maka hernia inguinalis lateralis maju menuruni kanalis pada
samping jari tangan.1
Tanda klinis pada pemeriksaan fisik bergantung pada isi hernia.
Pada inspeksi saat pasien mengedan, dapat dilihat hernia inguinalis
lateralis muncul sebagai penonjolan di regio inguinalis yang berjalan dari
lateral atas ke medial bawah. Jika kantong hernia kosong kadang dapat di
raba pada fenikulus spermatikus sebagai gesekan dari dua lapis kantong.
20
Jika kantong hernia berisi organ, tergantung isinya, pada palpasi mungkin
teraba usus, omentum (seperti karet), atau ovarium.1
Diagnosa ditegakkan atas dasar benjolan yang dapat di reposisi,
atau, jika tidak dapat di reposisi, atas dasar tidak adanya pembatasan jelas
di sebelah kranial dan adanya hubungan ke kranial melalui anulus
eksternus.1
Bedasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau
kogenital dan hernia akuisita. Hernia diberi nama menurut letaknya,
umpamanya diafragma, inguinal, umbilical dan femoral. Menurut
sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponible bila isi hernia dapat keluar
masuk. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi apabila
berbaring atau didorong masuk, tidak ada keluhan nyeri atau gejala
obstruksi usus. Bila isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam
rongga disebut hernia irreponibel, hal ini biasanya didisebabkan oleh
pelekatan kantong hernia. Hernia ini disebut hernia akreta (perlekatan
karena fibrosis). Tidak ada keluhan nyeri ataupun tanda sumbatan usus.1
Pemeriksaan fisik pada hernia inguinalis lateralis:1
Finger Test
Jari telunjuk dimasukkan melalui annulus eksternus pada kanalis
inguinalis, kearah annulus internus lalu pasien disuruh mengejan, jika
ada pendesakan yg dirasakan pada ujung jari maka pasien tersebut
mengidap penyakit hernia inguinalis lateralis.
21
Gambar 4. Finger Test
Thumb Test
Ibu jari ditutupkan pd annulus internus (pertengahan antara spina iliaca
anterior superior dan tuberkulum pubicum, + 2 cm diatasnya). Jika
benjolan tidak keluar saat penderita mengejan maka pasien tersebut
mengidap penyakit hernia inuinalis lateralis.
Gambar 5. Thumb Test
22
Ziemen Test
Posisi berbaring, bila ada benjolan masukkan dulu (biasanya oleh
penderita). Hernia kanan diperiksa dengan tangan kanan. Penderita
disuruh batuk bila rangsangan pada :
jari ke 2 : Hernia Inguinalis Lateralis.
jari ke 3 : hernia Ingunalis Medialis.
jari ke 4 : Hernia Femoralis
Gambar 6. Ziemen Test
4.1.6.2 Pemeriksaan Penunjang
Hernia yang tidak dapat di deteksi dengan pemeriksaan fisik, dapat
terlihat dengan ultrasonografi atau tomografi komputer.4
4.1.7 Penatalaksanaan Hernia Inguinalis
Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan
pemakaian penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang telah
direposisi. Reposisi tidak dilakukan pada hernia strangulata kecuali pada anak-anak.
Reposisi dilakukan secara bimanual dimana tangan kiri memegang isi hernia dengan
23
membentuk corong dan tangan kanan mendorong isi hernia ke arah cincin hernia
dengan sedikit tekanan perlahan yang tetap sampai terjadi reposisi. Jika reposisi tidak
berhasil dalam waktu enam jam maka harus dilakukan operasi sesegera mungkin.1
Pemakaian bantalan atau penyangga hanya bertujuan agar menahan hernia
yang sudah direposisi dan tidak pernah menyembuh dan harus dipakai seumur hidup.
Cara ini mempunyai komplikasi antara lain merusak kulit dan tonus otot dinding
perut di daerah yang ditekan sedangkan strangulasi tetap mengacam. Pada anak-anak
cara ini dapat menimbulkan atrofi testis karena tekanan pada tali sperma yang
mengandung pembuluh darah testis.1
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis
yang rasional. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis ditegakkan. Prinsip
pengobatan hernia adalah herniotomi dan hernioplasti.1
Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya,
kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlengketan, kemudian
direposisi. Kantong hernia dijahit-ikat setinggi mungkin lalu dipotong.1
Pada hernioplastik dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis internus
dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Hernioplastik dalam mencegah
residif dibandingkan dengan herniotomi. Dikenalnya berbagai metode hernioplastik
seperti memperkecil anulus inguinalis internus dengan jahitan terputus, menutup dan
memperkuat fasia tranversa dan menjahitkan pertemuan m. tranversus abdominis
internus dan m. internus abdominis yang dikenal dengan cojoint tendon ke
ligamentum inguinal poupart menurut metode basinni atau menjahit fasia tranversa,
m.tranversa abdominis, m.oblikus internus ke ligamentum cooper pada Mc Vay.1,5
4.1.8 Komplikasi Hernia Inguinalis
Komplikasi hernia inguinalis lateralis bergantung pada keadaan yang dialami
oleh isi hernia. Isi hernia dapat tertahan dalam kantong hernia inguinalis lateralis,
pada hernia ireponibel: ini dapat terjadi kalau isi hernia terlalu besar, misalnya terdiri
atas omentum, organ ekstraperitoneal atau merupakan hernia akreta. Di sini tidak
24
timbul gejala klinis kecuali benjolan. Dapat pula terjadi isi hernia tercekik oleh cincin
hernia sehingga terjadi hernia strangulata/ inkarserasi yang menimbulkan gejala
obstruksi usus yang sederhana. Bila cincin hernia sempit, kurang elastis atau lebih
kaku seperti pada hernia femoralis dan hernia obturatoria, lebih sering terjadi jepitan
parsial.1
Jepitan cincin hernia inguinalis lateralis akan menyebabkan gangguan perfusi
jaringan isi hernia. Pada permulaan terjadi bendungan vena sehingga terjadi udem
organ atau struktur di dalam hernia dan transudasi ke dalam kantong hernia.
Timbulnya udem menyebabkan jepitan pada cincin hernia makin bertambah sehingga
akhirnya peredaran darah jaringan terganggu. Isi hernia menjadi nekrosis dan kantong
hernia akan berisi transudant berupa cairan serosanguinus. Kalau isi hernia terdiri
usus, dapat terjadi perforasi yang akhirnya dapat menimbulkan abses lokal, fistel,
atau peritonitis jika terjadi hubungan dengan rongga perut.1
4.1.9 Prognosis
Prognosis hernia inguinalis lateralis pada bayi dan anak sangat baik. Insiden
terjadinya komplikasi pada anak hanya sekitar 2%. Insiden infeksi pasca bedah
mendekati 1%, dan recurent kurang dari 1%. Meningkatnya insiden recurrent
ditemukan bila ada riwayat inkarserata atau strangulasi.6
4.2 Anestesi spinal
4.2.1 Anatomi Medula Spinalis
25
Gambar 8. Medula Spinalis
Columna vertebralis terbagi atas 7 vertebra servikal, 12 vertebra thorakal, 5
vertebra lumbal, 5 vertebra sacral menyatu pasa dewasa dan 4-5 vertebrae koksigeal
menyatu pada dewasa. Prosesus spinosus C2 teraba langsung di bawah oksipital.
Prosesus spinosus C7 menonjol dan disebut sebagai vertebra prominens. Garis lurus
yang menghungkan kedua Krista iliaka setinggi akan memotong prosesus spinosus
vertebra L4 atau antara L4-L5.7,8
Peredaran darah untuk medulla spinalis di perdarahi oleh a.spinalis anterior
dan a. spinalis posterior. Untuk mencapai cairan serebrospinal maka jarum suntik
akan menembus kulit ke subkutis kemudian ligamentum supraspinosum ke
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, duramater dan
ruang subarachnoid.7
Medulla spinalis berada dalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinal, dibungkus meningens ( duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada
dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3 dan sakus duralis
berakhir setinggi S2.7
Cairan serebrospinalis merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang berasal dari
pleksus aryeria koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan lateral. Caitran ini
26
jernih tak berwarna mengisi ruang subaracnoid dengan jumlah total 100-150 ml,
sedangkan yang ada di punggung sekitar 25-45 ml.7
4.2.2 Fisiologi Anestesi Spinal
Ada 3 kelas saraf: motorik, sensorik dan otonom. Stimulasi saraf motorik
menyebabkan otot berkontraksi ketika terjadi blok saraf, otot mengalami
kelumpuhan. Saraf sensorik mengirimkan sensasi seperti sentuhan dan nyeri dari
sumsum tulang belakang ke otak, sedangkan saraf otonom mengontrol caliber
pembuluh darah, denyut jantung, kontraksi usus dan fungsi lainnya yang tidak
berhubungan dengan kendali kesadaran. Umumnya saraf otonom dan sensorik
terblok sebelum saraf motorik. Vasodilatasi dan penurunan tekanan darah pun dapat
terjadi ketika saraf otonom di blok.8,9
4.2.3 Defenisi
Spinal anestesi adalah pemberian obat anestetik lokal dengan cara
menyuntikkan ke dalam ruang subarakhnoid. Teknik tersebut dinilai cukup efektif
dan mudah dikerjakan. Spinal anestesi/ Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan
oleh August Bier pada tahun 1898, teknik ini telah digunakan untuk anestesi,
terutama untuk operasi pada daerah bawah umbilicus. Kelebihan utama teknik ini
adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, memiliki efek minimal
pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar
selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif
dan analgesia yang minimal. Spinal anestesi dilakukan di bawah lumbal 1 pada orang
dewasa dan lumbal 3 pada anak-anak dengan menghindari trauma pada medulla
spinalis.7,8,9
27
Gambar 7. Spinal anestesi
4.2.4 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesia7,8,10
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anesthesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khususs, misalnya alergi, mual, muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah sehingga kita dapat
merencanakan anesthesia berikutnya dengan lebih baik.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewakan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang ialah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologist (ASA)
Kelas I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik dan biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang
28
KelasIII : Pasien dengan penyakit sistemik berrat, sehingga aktivitas
rutin terbatas
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
Masukan oral
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anesthesia.
Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk memperlancar induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia.
Obat peredam kecemasan biasanya diazepam oral 10-15 mg beberapa jam
sebelum indksi. Jika disertai nyeri dapat diberikan petidin 50 mg
intramuscular.
Induksi anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tida sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan. Induksi
anesthesia dapat dikerjakan dengan intravena, inhalasi, intramuscular atau
rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anesthesia langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anesthesia sampai tindakan pembedahan selesai.
29
4.2.5 Indikasi dan kontraindikasi
Indikasi:7
Bedah ekstremitas bawah
Bedah panggul
Tindakan sekitar rectum-perineum
Bedah obsetri-genekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatric biasanya dikombinasi
dengan anesthesia umum ringan
Kontraindikasi Absolut7
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
Tekanan intracranial meninggi
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsultan anesthesia
Kontraindikasi relative 7
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri pinggang kronis
4.2.6 Komplikasi anestesi spinal 7
30
Komplikasi tindakan anastesi spinal meliputi:
Hipotensi berat
Bradikardia
Hipoventilasi
Trauma pembuluh darah
Trauma saraf
Mual-muntah
Gangguang pendengaran
Blok spinal tinggi atau spinal total.
Komplikasi pasca tindakan:
Nyeri tempat suntikan
Nyeri punggung
Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urin
Meningitis
4.2.7 Persiapan Analgisia Spinal7
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
analgesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal-hal berikut
1. Informed Consent (izin dari pasien)
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi spinal
2. Pemeriksaan fisik
Tidak ada kelainan spesifik seperti tulang punggung dan lain-lain.
31
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, hematokrit, PT (protrombin time) dan PTT (partial
tromboplastine time)
4.2.8 Peralatan Analgesia Spinal7
1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri, denyut (pulse oksimeter) dan EKG
2. Peralatan anetesia/resusitasi umum
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, quincke bobcock)
atau jarum spinal denga ujung pensil (pensil poit whitecare)
Gambar 8. Jarum Spinal
4. Anastetik lokal untuk analgesia spinal
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-
1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut
isobarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari css disebut
hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut
hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik
32
diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur
dengan air injeksi.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine (xylobain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik,
dosis 20-100mg (2-5ml)
2. Lidokaine (xylobain, lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,
dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)
4.2.9 Teknik analgesia spinal 7,8,10,11
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di
atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan
posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista
iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau
diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
Teknik:
33
Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista
iliaka kanan-kiri akan memotong garis tengah punggung
setinggi L4 atau L4-L5.
Palpasi : untuk mengenal ruang antara dua vetebra lumbalis
Pungsi lumbal hanya antara : L2-3, L3-4, L4-5 atau L5-S1
Duduk atau berbaring lateral dengan punggung fleksi
maksimal.
Gambar 9. Posisi penyuntikan
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-
2% 2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau
kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
34
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor
tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk
analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
Gambar 10. Cara Tusukan
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa ± 6cm.
7. Penyebaran anastetik lokal tergantung:7,11
Faktor utama:
Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
Posisi pasien
Dosis dan volume anestetik local
Kecepatan suntikan/barbotase
Ukuran jarum
35
Keadaan fisik pasien
Tekanan intra abdominal
Lama kerja anestetik lokal tergantung:
Jenis anestetia lokal
Besarnya dosis
Ada tidaknya vasokonstriktor
Besarnya penyebaran anestetik lokal
BAB V
PEMBAHASAN
36
Pasien Tn. S, 79 tahun, dirawat di Bangsal Bedah dengan diagnosa Hernia
Inguinalis Lateralis Irreponible. Awalnya pasien datang ke Poli Bedah dengan
keluhan benjolan di lipat paha sebelah kanan sejak ± 4 bulan yang lalu. Setelah
dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosa Hernia Inguinalis Lateralis Irreponible.
Pada saat kunjungan pra anestesi ( anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang), didapatkan kesadaran compos mentis, GCS E4M6V5.
Status fisik pada pasien ini adalah ASA II, yaitu dengan penyakit sistemik sedang
sehingga aktivitas rutin tidak terbatas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 150/90
mmHg, untuk pasien ini TD sangat penting untuk menentukan penundaan anestesia
dan operasi. Sampai saat ini belum ada protocol untuk penentuan TD berapa
sebaiknya yang paling tinggi yang tidak bias ditoleransi untuk penundaan anestesi
dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah
cuff-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesi dan operasi kecuali
operasi emergensi. Pada pemeriksaan didaerah genitalia tampak benjolan sebesar
telur ayam dan tidak ada tanda radang di regio iliaka dextra dan pada perabaan
didapatkan massa di regio iliaka dextra ukuran 5 x 3 cm, konsistensi kenyal,
permukaan rata dan licin, batas atas jelas, tidak ada nyeri tekan, tidak dapat
dimasukkan. Pada pemeriksaan thorak pada jantung dan paru didapatkan normal.
Untuk hasil laboratorium dalam batas normal.
Tindakan premedikasi pada pasien ini, yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum
induksi bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan diantaranya untuk
meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia, mengurangi
sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi
mual-muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung,
mengurangi refleks yang membahayakan. Sebagai obat premedikasi, yaitu:
ondansentron 4mg, ranitidine 50 mg.
37
Premedikasi jarang diberikan terutama pada penderita dengan keadaan umum
yang buruk, atau karena keterbatasan waktu. Namun pada beberapa kasus dapat
diberikan premedikasi secara intravena atau intramuscular. Pada pasien ini,
digunakan ranitidine 50 mg dan ondancetron 4 mg sebagai premedikasi. Ranitidine
merupakan golongan antagonis reseptor H-2 yang dapat mengurangi sekresi asam
lambung dengan menghalangi kerja histamine.Sedang ondansetron yang bersifat
antiemetic, merupakan usaha untuk mencegah adanya aspirasi dari asam lambung.
Pengelolaan anestesia pada kasus ini adalah menggunakan Regional Anestesi.
Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala menunduk
hingga prosesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang
menghubungkan krista iliaka dengan tulang punggung yaitu antara vertebra L3-L4
lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian sterilkan tempat tusukan
dengan alcohol 70 % dan betadine, jarum spinal no.27, identifikasi cairan yang
keluar, apabila LCS (+) dan tidak di jumpai darah maka lokasi penusukan sudah
tepat. Kedalam LCS masukkan obat anastesi local yang digunakan yaitu bupivacaine
0,5 % 15 mg dan Morfin 0,1 mg. inhalasi menggunakan O2 sebanyak 2 L.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL dan dikombinasikan dengan Morfin.
Bupivacaine HCL merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional
bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh.
Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat
reversibel.
Morfin merupakan agonis reseptor opioid dengan efek utama mengikat dan
mengaktivasi reseptor µ-opioid pada sistem saraf pusat. Aktifasi ini akan
menyebabkan efek analgesik, sedasi, euphoria, psikal dependent dan depresi nafas.
Morfin juga bertindak sebagai reseptor k-opioid yang terkait analgesic spinal dan
miosis.
Monitor tekanan darah setiap 15 menit sekali untuk mengetahui penurunan
tekanan darah yang bermakna. Pada pasien hipertensi penurunan TD harus ditoleransi
dengan baik untuk mencegah terjadinya hipoperfusi target organ. Efek dari pemberian
38
obat anestesi spinal adalah hipotensi, karena penurunan kerja syaraf spinal. Hipotensi
terjadi bila penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau sistole 100 mmHg.
Setelah itu pasang kateter folley untuk melihat output cairan yaitu sebanyak
100 cc. Operasi dilakukan pukul 12.45 dengan TD 160/90 mmHg, N: 90x/ menit,
pernafasan 22 x/ menit. Pukul 14.15 operasi selesai, diberikan ketorolac 30 mg,
tramadol 100 mg, ondansentron 4 mg di drip bersamaan cairan RL.
Selama operasi jumlah cairan yang telah diberikan adalah RL 1500 ml dan
WidaHES 500 ml, total cairan yang masuk adalah 2000 ml, dan jumlah pengeluaran
dari urin sebanyak 300 ml dan perdarahan ± 85 ml.
Pukul 14.45 pasien di bawa ke Bangsal Bedah, Saran dari bagian anastesi
yaitu pantau vital sign tiap 15 menit, tidur terlentang dengan memakai bantal 1X24
jam post operasi, boleh minum bertahap ½ gelas selama 1 jam, serta lanjutkan terapi
sesuai instruksi dari dr. Riswan Joni, SpB.
BAB IV
KESIMPULAN
39
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek
atau bagian lemah atau dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi perut
menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo-aporneurotik dinding
perut. Hernia terdiri dari cincin, kantong, dan isi hernia. Hernia merupakan suatu
kasus bagian bedah yang pada umumnya sering menyebabkan masalah kesehatan dan
memerlukan tindakan operasi.
Spinal anestesi adalah pemberian obat anestetik lokal dengan cara
menyuntikkan ke dalam ruang subarakhnoid.
Pada pasien ini dilakukan spinal anestesi/Sub-arachnoid block (SAB) karena
teknik ini digunakan untuk anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah
umbilicus.
DAFTAR PUSTAKA
40
1. Jong WD dan Sjamsuhidayat R. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC,
2011.
2. Pangayoman R. Hernia Inguinalis. Bandung: Unpad, 2002.
3. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC,
2006.
4. Malindra P. Perbandingan Nyeri Antara Teknik Bassini dan Teknik Mesk Hernia
pada Pasien Pasca Operasi Hernia Inguinal. Jambi: FKIK UNJA, 2013.
5. Hernia. Diunduh dari; http://repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/21384/4/Chapter%20II.pdf Pada tanggal 24 Novemberl 2013.
6. Hernia Inguinalis. Diunduh dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21381/4/Chapter%20II.pdf Pada
tanggal 24 November 2013.
7. Latief S.A dkk. Petunjuk praktis Anestesiologi Edisi 2. Jakarta; FKUI;2001
8. Sukmono RB. Anestesia Regional. Dalam:Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta:
FKUI, 2012.
9. Casey WF. Spinal anesthesia–A Practical Guide. United Kingdom: Consultant
Anaesthetist. 2000; Diunduh dari URL:
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/ul208-02.htm
10. Dachlan R. Persiapan Pra Anestesia. Dalam: Anestesiologi. Jakarta: FKUI,2004.
11. Kristanto S. Analgesia Regional. Dalam: Anestesiologi. Jakarta: FKUI,2004.
41