laporan kasus ra

59
BAB I PENDAHULUAN Seorang pasien bernama Tn. Salim dengan usia 79 tahun masuk ke RSUD Raden Mattaher Jambi di rawat di Bangsal Bedah dengan keluhan utama benjolan di lipat paha kanan sejak ± 4 bulan yang lalu. Dari hasil pemeriksaan di Poli Bedah ditegakkan diagnosis Hernia inguinalis lateralis dekstra irreponible. Pada saat pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan pada saat pra anastesi didapatkan pasien termasuk ASA II. Setelah pemeriksaan, direncanakan akan dilakukan anastesi spinal. Operasi dilakukan pada tanggal 19 November 2013 dan akan dilakukan oleh ahli bedah dr. Riswan Joni, Sp.B dan ahli anastesi dr. Isrun Masari, SpAn. 1

Upload: dewi-ranti

Post on 22-Oct-2015

35 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus Ra

BAB I

PENDAHULUAN

Seorang pasien bernama Tn. Salim dengan usia 79 tahun masuk ke RSUD

Raden Mattaher Jambi di rawat di Bangsal Bedah dengan keluhan utama benjolan di

lipat paha kanan sejak ± 4 bulan yang lalu. Dari hasil pemeriksaan di Poli Bedah

ditegakkan diagnosis Hernia inguinalis lateralis dekstra irreponible.

Pada saat pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan pada saat pra

anastesi didapatkan pasien termasuk ASA II. Setelah pemeriksaan, direncanakan akan

dilakukan anastesi spinal. Operasi dilakukan pada tanggal 19 November 2013 dan

akan dilakukan oleh ahli bedah dr. Riswan Joni, Sp.B dan ahli anastesi dr. Isrun

Masari, SpAn.

1

Page 2: Laporan Kasus Ra

BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Tanggal : 19 November 2013

Nama : Tn. Salim

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 79 tahun

BB : 48 kg

Ruang : Bedah

No. MR : 741983

Diagnosis : Hernia Ingunalis Lateral Dextra Irreponible

Tindakan : Hernioraphy

B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI

Anamnesis

Keluhan Utama :

Benjolan di lipat paha kanan sejak ± 4 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang :

± 3 tahun yang lalu, timbul benjolan di lipat paha sebelah kanan

sebesar kelereng, benjolan sering hilang trimbul. Benjolan timbul saat pasien,

batuk, bersin, mengangkat beban berat atau mengedan, benjolan menghilang

pada saat pasien berbaring atau beristirahat.

± 2 tahun yang lalu, pasien meraskan benjolan semakin membesar,

sebesar telur puyuh. Benjolan tersebut tampak jika pasien batuk, mengedan,

saat sedang bekerja berat atau mengangkat barang berat. Namun apabila

pasien baring atau istirahat mau tidur benjolan tersebut hilang. Benjolan dapat

masuk apabila didorong dengan tangan. Benjolan tidak terasa nyeri, sakit,

2

Page 3: Laporan Kasus Ra

tidak merah dan tidak terasa tegang. Pasien juga tidak mengeluhkan adanya

mual dan muntah. Demam disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Pasien belum pernah berobat kemanapun untuk penyakit ini.

± 4 bulan ini pasien mengaku benjolan semakin membesar sebesar

telur ayam dilipat paha kanan dan tidak dapat dimasukan lagi. Pasien merasa

resah dan akhirnya pasien berobat ke Poli RSUD Raden Mattaher, Kemudian

pasien disarankan untuk dilakukan operasi.

Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat Hipertensi (+) sejak 2 tahun yang lalu.

Riwayat Asma (-)

Riwayat DM (-)

Riwayat batuk lama/ TB (-)

Riwayat operasi sebelumnya (-)

Riwayat Alergi Obat (-)

Riwayat Pekerjaan : Pasien bekerja sebagai petani. Pekerjaaan

sering mengangkat beban berat (+).

Riwayat penyakit keluarga : Keluarga pasien tidak ada yang mengalami

keluhan serupa seperti yang dialami oleh

pasien.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)

Vital sign

TD : 150/90 mmhg

Respirasi : 22 x/ menit, regular, isi dan tegangan cukup

Nadi : 90 x/ menit

3

Page 4: Laporan Kasus Ra

Suhu : 36,5 °C

Kepala

Mata : Pupil isokor kanan dan kiri, Refleks cahaya

(+/+), Konjungtiva anemis (-/-), Sclera ikhterik (-/-)

Hidung : Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-)

Mulut : Mukosa tidak anemis, lidah kotor (-),

Mallampati I

Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5 - 2 cm H2O,

Gerakan bebas.

Thorax

Paru

Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)

Palpasi : Vocal Fremitus normal, kanan kiri sama

Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-), Wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V mid clavikula

Perkusi : Batas jantung kanan ICS V, Batas Jantung Kiri

ICS V midcalvicula lateral.

Auskultasi : BJ I-II regular, gallop (-), murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar

Auskultasi : BU (+) Normal

4

Page 5: Laporan Kasus Ra

Palpasi : Supel, Nyeri Tekan (-), nyeri lepas (-), massa

(-), bising usus (+) normal

Pekusi : Timpani

Genitalia

Inspeksi : Tampak benjolan sebesar telur ayam dan tidak

ada tanda radang di regio iliaka dextra.

Palpasi : Teraba massa di regio iliaka dextra ukuran 5 x

3 cm, konsistensi kenyal, permukaan rata dan licin, batas atas

jelas, tidak ada nyeri tekan, tidak dapat dimasukkan.

Ekstremitas

Superior : Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-)

Inferior : Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-)

Pemeriksaan Penunjang

EKG : Irama Sinus Normal

Foto Thorak : Cor : Kardiomegali, Paru dalam batas Normal

USG : Hepar, Lien, Pankreas, Kantong empedu, Ginjal,

Vesica urinaria dalam batas normal

Laboratorium

DARAH RUTIN

WBC : 7,4 103/mm3

RBC : 5,63 103/mm3

HGB : 12,3 g/dl

HCT : 39,1 %

PLT : 212 103/mm3

Clotting Time : 4 menit

5

Page 6: Laporan Kasus Ra

Bleeding Time: 2 menit

KIMIA DARAH

Faal Hati

Protein Total : 7,7 g/dl

Albumin : 4,3 g/dl

Globulin : 3,4 g/dl

SGOT : 23 U/L

SGPT : 17 U/L

Faal Ginjal

Ureum : 41,5 mg/dl

Kreatinin : 1,6 mg/dl

Asam Urat : 5,6 mg/dl

Faal Lemak

Cholesterol : 185 mg/dl

Trigliserida : 134 mg/dl

HDL : 80 mg/dl

LDL : 158 mg/dl

GDS : 108 mg/dl

STATUS FISIK : ASA II

RENCANA TINDAKAN ANESTESI

Diagnosis Pra Bedah : Hernia Inguinalis lateralis dekstra irreponible

Tindakan Bedah : Hernioraphy

Status ASA : II

Jenis/tind. anestesi : Regional Anestesi

6

Page 7: Laporan Kasus Ra

Premedikasi : Ranitidin 50 mg

Ondancetron 4 mg

Induksi : Bupivacain 0,5 % 15 mg

Adjuvant : Morfin 0,1 mg

7

Page 8: Laporan Kasus Ra

BAB III

LAPORAN ANASTESI

Tanggal : 19 November 2013

Nama : Salim

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 79 tahun

BB : 48 kg

Ruang : Bangsal Bedah

No. MR : 741983

Diagnosis : Hernia Inguinal lateralis dekstra irreponible

Tindakan : Hernioraphy

Operator : dr. Riswan Joni, Sp.B

Ahli Anastesi : dr. Isrun Masari, Sp.An

I. KETERANGAN PRA BEDAH

1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

TD : 130/80 mmHg

Respirasi : 22 x/ menit

Nadi : 86 x/ menit

Suhu : 36,5 °C

2. Pemeriksaan Penunjang

EKG : Irama Sinus Normal

Foto Thorak : Cor dan Paru dalam batas Normal

USG :Hepar, Lien, Pankreas, Kantong

empedu, Ginjal, Vesica urinaria dalam

batas normal

8

Page 9: Laporan Kasus Ra

Laboratorium

DARAH RUTIN

WBC : 7,4 103/mm3

RBC : 5,63 103/mm3

HGB : 12,3 g/dl

HCT : 39,1 %

PLT : 212 103/mm3

Clotting Time : 4 menit

Bleeding Time: 2 menit

KIMIA DARAH

Faal Hati

Protein Total : 7,7 g/dl

Albumin : 4,3 g/dl

Globulin : 3,4 g/dl

SGOT : 23 U/L

SGPT : 17 U/L

Faal Ginjal

Ureum : 41,5 mg/dl

Kreatinin : 1,6 mg/dl

Asam Urat : 5,6 mg/dl

Faal Lemak

Cholesterol : 185 mg/dl

Trigliserida : 134mg/dl

HDL : 80 mg/dl

LDL : 158 mg/dl

9

Page 10: Laporan Kasus Ra

GDS : 108 mg/dl

3. Penyakit penyerta : Hipertensi Grade I

4. Status Fisik : ASA II

II. TINDAKAN ANASTESI

1. Metode : Anestesi Regional

Tekhnik anestesi : Spinal

Lokasi penusukan : L3-L4

Analgesi setinggi : Segmen (dermatom) T4-T5

Obat anestesi local : Bupivacaine HCL 0,5% (hiperbarik) 15

mg

Adjuvant : Morpin 0,1 mg

2. Premedikasi

Injeksi Ranitidine 50 mg

Injeksi Ondancetron 4 mg

3. Medikasi

Bupivacaine HCL 0,5 % (hiperbarik) 15 mg

Morpin 0,1 mg

Keterolac 30 mg

Tramadol 100 mg

Ondansentron 4 mg

4. Jumlah Cairan

10

Page 11: Laporan Kasus Ra

Input : RL Kolf 3 1500 ml

FimaHES 1 500 ml

Output : ± 300 cc

Perdarahan : ± 85 cc

Kebutuhan Cairan Pasien ini:

BB = 48 Kg

Defisit Cairan Karena Puasa (P)

P = 6 x BB x 2 cc

P = 6 x 48 x 2 cc 576 cc

Maimtenance (M)

M = BB x 2 cc

M = 48 x 2 cc 96 cc

Stress Operasi (O)

O = BB x 6 cc

O = 48 x 6 cc 288 cc

Perdarahan

Total = Suction + Kassa

Total = 50 cc + 35 cc = 85 cc

Kebutuhan cairan selama operasi :

Jam I : ½ (P) + M + O

½ (576) + 96 + 288 672 cc

Jam II : ¼ (P) + M + O

11

Page 12: Laporan Kasus Ra

¼ (576) + 96 + 288 528 cc

Total cairan : 672 cc + 528 cc + 85 cc = 1.285 cc

IV. KEADAAN SELAMA OPERASI

1. letak penderita : Supine

2. Intubasi : -

3. Penyulit Intubasi : -

4. Penyulit Waktu Anastesi : -

6. Jumlah Perdarahan : ± 85 cc

Jam Tekanan Darah Nadi RR

12.45 160/90 mmhg 90 23

13.00 143/69 mmhg 75 21

13.15 130/70mmhg 68 21

13.30 123/64 mmhg 68 20

13.45 122/65 mmHg 72 23

14.00 120/61 mmHg 71 23

14.15 119/65 mmHg 68 20

V. RUANG PEMULIHAN

1. Masuk Jam : 14.15

2. Keadaan Umum

Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15

TD : 120/68 mmHg

Nadi : 76 x/ menit

Pernafasan : 21/menit

Suhu : 36,2°C

12

Page 13: Laporan Kasus Ra

3. Pernafasan : Baik

Skor Bromage :

Tidak mampu fleksi pergelangan kaki : 3

Skor aldrette

1. Aktifitas : 1

2. Pernapasan : 2

3. Warna kulit : 2

4. Sirkulasi : 2

5. Kesadaran : 2

Jumlah : 9

Pindah Ruangan : Bangsal Bedah jam 14.30

INSTRUKSI ANASTESI

Awasi KU dan tanda-tanda vital tiap 15 menit

Tidur terlentang menggunakan bantal selama 1X24 jam post

operasi

Boleh minum bertahap ½ gelas selama 1 jam

Lanjutkan terapi sesuai instruksi dr. Riswan Joni, Sp.B

BAB IV

13

Page 14: Laporan Kasus Ra

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Hernia

4.1.1 Definisi Hernia

Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek

atau bagian lemah atau dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi perut

menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo-aporneurotik dinding

perut. Hernia terdiri dari cincin, kantong, dan isi hernia. Hernia merupakan suatu

kasus bagian bedah yang pada umumnya sering menyebabkan masalah kesehatan dan

memerlukan tindakan operasi.1

Gambar 1. Hernia inguinalis

4.1.2 Epidemiologi Hernia

Hernia inguinalis indirek merupakan hernia yang paling sering ditemukan

yaitu sekitar 50% sedangkan hernia inguinal direk 25% dan hernia femoralis sekitar

15%. Di Amerika Serikat dilaporka bahwa 25% penduduk pria dan 2% penduduk

wanita menderita hernia inguinal di dalam hidupnya, dengan hernia inguinalis indirek

yang sering terjadi. Insidensi hernia inguinalis pada bayi dan anak antara 1-2 %.

Kemungkinan terjadi hernia pada sisi kanan 60%, pada sisi kiri 20-25% dan bilateral

15%. Kejadian hernia bilateral pada nak perempuan dibandingkan anak laki-laki sama

14

Page 15: Laporan Kasus Ra

(10%) walaupun frekuensi prosessus vaginalis yang tetap terbuka lebih tinggi pada

perempuan. Perbandingan antara hernia inguinalis lateralis kanan, kiri dan bilateral

adalah 60% : 25% : 15%. Prosentase kejadian hernia inguinalis lateralis kanan lebih

sering dibandingkan hernia lateralis kiri disebabkan karena adanya keterlambatan

descensus testicularis kanan dari pada yang kiri, sesuai dengan obliterasi yang lambat

dari proscessus peritonei yang kanan.1

4.1.3 Etiologi dan Patofisiologi Hernia Inguinalis

Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab

yang didapat. Hernia dapat dijumpai pada setiap usia. Berbagai faktor penyebab

berperan pada pembentukan pintu masuk pada annulus internus yang cukup lebar

sehingga dapat dilalui oleh kantong dan isi hernia. Disamping itu diperlukan pula

faktor yang dapat mendorong isi hernia untuk melewati pintu yang cukup lebar

tersebut.1

Pada orang yang sehat, ada tiga mekanisme yang dapat mencegah terjadinya

hernia inguinalis, yaitu:1

Kanalis inguinalis yang berjalan miring,

Adanya struktur muskulus oblikus internus abdominis yang menutup anulus

inguinalis internus ketika berkontraksi,

Adanya fasia transversa yang kuat yang menutupi trigonum Hasselbach yang

umumnya hampir tidak berotot.

Gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya hernia

inguinalis lateralis.1

Banyak kontroversi mengenai penyebab dari timbulnya suatu hernia. Secara

garis besar, sedikitnya 3 faktor yang dipandang berperan dalam hernia yaitu:1

1. Prosesus vaginalis yang terbuka

15

Page 16: Laporan Kasus Ra

Kurang dari 90% prosessus vaginalis tetap terbuka, sedangkan pada bayi

umur 1 tahun sekitar 30% prosessus vaginalis belum tertutup. Tidak

sampai 10% dari anak dengan prosessus vaginalis paten menderita hernia.

Pada lebih dari separuh populasi anak dapat dijumpai prosessus vaginalis

paten kontralateral, tetapi insiden hernia tidak melebihi 20%. Umumnya

disimpulkan adanya prosessus vaginalis yang paten bukan merupakan

penyebab tunggal terjadinya hernia, tetapi diperlukan vaktor lain, seperti

anulus inguinalis yang cukup lebar.

2. Peninggian tekanan di rongga abdomen yang kronis, seperti batuk kronik,

hipertropi prostat, konstipasi dan acites sering disertai inguinalis.

Dalam keadaan relaksasi otot dinding perut, bagian yang membatasi

anulus internus turut kendur. Pada keadaan itu tekanan intraabdomen tidak

tinggi dan kanalis inguinalis berjalan lebih vertikal. Sebaliknya bila otot

dinding perut berkontraksi, kanalis inguinalis berjalan lebih transversal

dan anulus inguinalis tertutup sehingga dapat mencegah masuknya usus ke

dalam kanalis inguinalis. Kelemahan otot dinding perut antara lain terjadi

akibat kerusakan n.ilioinguinalis dan n. iliofemoralis setelah apendektomi.

3. Kelemahan otot dinding perut karena faktor usia.

Insidens hernia meningkat dengan bertambahnya umur mungkin karena

meningkatnya penyakit yang meninggikan tekanan intraabdomen dan

jaringan penunjang berkurang kekuatannya.

4.1.4 Klasifikasi Hernia

Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas:1

1. hernia bawaan atau kongenital

16

Page 17: Laporan Kasus Ra

2. hernia dapatan atau akuisita.

Hernia diberi nama menurut letaknya misalnya:1

1. Hernia diafragma

2. Hernia inguinal

3. Hernia umbilikal

4. Hernia femoral.

Gambar 2. Hernia Menurut Letaknya

Menurut sifatnya, hernia dibagi menjadi:1

1. Hernia reponibel

Bila isi hernia dapat keluar masuk. Usus keluar jika berdiri atau

mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk ke perut,

tidak ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus.

2. Hernia ireponibel

Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali ke dalam rongga perut. Ini

biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada peritoneum kantong

hernia. Tidak ada keluhan rasa nyeri ataupun tanda sumbatan usus.

3. Hernia inkarserata dan hernia strangulata

Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata bila isinya

terjepit oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak

17

Page 18: Laporan Kasus Ra

dapat kembali ke dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase

atau vaskularisasi. Secara klinis, hernia inkarserata lebih dimaksudkan

untuk hernia ireponibel dengan gangguan pasase, sedangkan gangguan

vaskularisasi disebut sebagai hernia strangulata. Pada keadaan

sebenarnya, gangguan vaskularisasi telah terjadi pada saat jepitan

dimulai, dengan berbagai tingkat gangguan mulai dari bendungan sampai

nekrosis.

4.1.5 Klasifikasi Hernia inguinalis3

1. Hernia Inguinalis Direk (Medialis)

Hernia inguinalis direk terjadi sekitar 15% dari semua hernia

inguinalis. Kantong hernia inguinalis direk menonjol langsung ke anterior

melalui dinding posterior kanalis inguinais, medial terhadap arteria dan

vena epigastrika inferior, karena adanya cojoint tendon (tendo gabungan

insersio musculus obliquus internus abdominis dan musculus transversus

abdominis) yang kuat, hernia ini biasanya hanya merupakan penonjolan

biasa, oleh karena itu leher kantong hernia lebar.3

Hernia inguinalis medialis atau hernia direk hampir selalu

disebabkan oleh peninggian tekanan intraabdomen kronik dan kelemahan

otot di dinding trigonum hasselbach. Oleh sebab itu, hernia ini umumnya

terjadi bilateral khususnya pada lelaki tua. Hernia ini jarang bahkan

hampir tidak pernah mengalami inkarserasi atau strangulasi. Mungkin

terjadi hernia gelincir yang mengandung sebagian dinding kandung kemih

atau kolon. Kadang ditemukan defek kecil di otot oblikus internus

abdominis pada segala usia dengan cincin yang kaku dan tajam sering

menyebabkan strangulasi.1

Hernia inguinalis direk jarang pada perempuan, dan sebagian besar

bersifat bilateral. Hernia ini merupakan penyakit pada laki-laki tua

dengan kelemahan otot dinding abdomen.3

18

Page 19: Laporan Kasus Ra

2. Hernia Inguinalis Indirek (Lateralis)

Hernia inguinalis indirek (lateralis) merupakan bentuk hernia yang

paling sering ditemukan dan diduga mempunyai penyebab kongenital.3

Hernia disebut lateralis karena menonjol dari perut di lateral

pembuluh epigastrika inferior dan disebut indirek karena keluar melalui

dua pintu dan saluran yaitu annulus dan kanalis inguinalis, berbeda

dengan hernia medialis yang langsung menonjol melalui segitiga

hasselbach dan disebut sebagai hernia direk. Pada pemeriksaan hernia

lateralis akan tampak tonjolan berbentuk lonjong sedangkan hernia

medialis berbentuk tonjolan bulat.1

Pada bayi dan anak, hernia lateralis disebabkan oleh kelainan

bawaan berupa tidak menutupnya prosesus vaginalis peritoneum sebagai

akibat proses turunnya testis ke skrotum. Hernia gelincir dapat terjadi di

sebelah kanan atau kiri. Hernia yang dikanan biasanya berisi sekum dan

sebagian kolon ascendens, sedangkan yang kiri berisi sebgian kolon

descendens.1

Gambar 3. Hernia Inguinalis Indirect

4.1.6 Manifestasi Klinis Hernia Inguinalis

Sebagian besar hernia adalah asimtomatik dan paling banyak di temukan pada

pemeriksaan fisik rutin dengan palpasi benjolan pada annulus inguinalis superfisialis.

19

Page 20: Laporan Kasus Ra

Pada umumnya keluhan pada orang dewasa benjolan di lipat paha yang timbul pada

waktu mengejan, batuk, atau mengangkat beban berat dan menghilang waktu istirahat

baring.1

4.1.6.1 Diagnosis

1. Gejala dan keluhan

Hampir seluruh hernia biasanya tidak menimbulkan gejala, sampai pasien

menyadari bahwa terdapat massa atau benjolan pada daerah inguinalnya.

Pada hernia reponible keluhan satu-satunya adalah adanya benjolan di

lipat paha yang muncul pada waktu berdiri, batuk, menangis, bersin, atau

mengedan, dan menghilang setelah berbaring. Keluhan nyeri jarang

dijumpai kalau ada biasanya dirasakan di daerah epigastrium atau

periumbilikal berupa nyeri visceral karena regangan pada mesenterium

sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam kantong hernia. Nyeri

yang disertai mual muntah baru timbul kalau terjadi inkaserata karena

ileus atau strangulasi karena nekrosis atau ganggren.1,4

2. Pemeriksaan Fisik

Pertama dilakukan inspeksi pada lipat paha. Kemudian, jari

telunjuk ditempatkan pada sisi lateral kulit skrotum dan dimasukan

sepanjang funikulus spermatikus sampai ujung jari mencapai annulus

inguinalis profundus. Jika jari tangan pemeriksa didalam kanalis

inguinalis maka hernia inguinalis lateralis maju menuruni kanalis pada

samping jari tangan.1

Tanda klinis pada pemeriksaan fisik bergantung pada isi hernia.

Pada inspeksi saat pasien mengedan, dapat dilihat hernia inguinalis

lateralis muncul sebagai penonjolan di regio inguinalis yang berjalan dari

lateral atas ke medial bawah. Jika kantong hernia kosong kadang dapat di

raba pada fenikulus spermatikus sebagai gesekan dari dua lapis kantong.

20

Page 21: Laporan Kasus Ra

Jika kantong hernia berisi organ, tergantung isinya, pada palpasi mungkin

teraba usus, omentum (seperti karet), atau ovarium.1

Diagnosa ditegakkan atas dasar benjolan yang dapat di reposisi,

atau, jika tidak dapat di reposisi, atas dasar tidak adanya pembatasan jelas

di sebelah kranial dan adanya hubungan ke kranial melalui anulus

eksternus.1

Bedasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau

kogenital dan hernia akuisita. Hernia diberi nama menurut letaknya,

umpamanya diafragma, inguinal, umbilical dan femoral. Menurut

sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponible bila isi hernia dapat keluar

masuk. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi apabila

berbaring atau didorong masuk, tidak ada keluhan nyeri atau gejala

obstruksi usus. Bila isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam

rongga disebut hernia irreponibel, hal ini biasanya didisebabkan oleh

pelekatan kantong hernia. Hernia ini disebut hernia akreta (perlekatan

karena fibrosis). Tidak ada keluhan nyeri ataupun tanda sumbatan usus.1

Pemeriksaan fisik pada hernia inguinalis lateralis:1

Finger Test

Jari telunjuk dimasukkan melalui annulus eksternus pada kanalis

inguinalis, kearah annulus internus lalu pasien disuruh mengejan, jika

ada pendesakan yg dirasakan pada ujung jari maka pasien tersebut

mengidap penyakit hernia inguinalis lateralis.

21

Page 22: Laporan Kasus Ra

Gambar 4. Finger Test

Thumb Test

Ibu jari ditutupkan pd annulus internus (pertengahan antara spina iliaca

anterior superior dan tuberkulum pubicum, + 2 cm diatasnya). Jika

benjolan tidak keluar saat penderita mengejan maka pasien tersebut

mengidap penyakit hernia inuinalis lateralis.

Gambar 5. Thumb Test

22

Page 23: Laporan Kasus Ra

Ziemen Test

Posisi berbaring, bila ada benjolan masukkan dulu (biasanya oleh

penderita). Hernia kanan diperiksa dengan tangan kanan. Penderita

disuruh batuk bila rangsangan pada :

jari ke 2 : Hernia Inguinalis Lateralis.

jari ke 3 : hernia Ingunalis Medialis.

jari ke 4 : Hernia Femoralis

Gambar 6. Ziemen Test

4.1.6.2 Pemeriksaan Penunjang

Hernia yang tidak dapat di deteksi dengan pemeriksaan fisik, dapat

terlihat dengan ultrasonografi atau tomografi komputer.4

4.1.7 Penatalaksanaan Hernia Inguinalis

Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan

pemakaian penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang telah

direposisi. Reposisi tidak dilakukan pada hernia strangulata kecuali pada anak-anak.

Reposisi dilakukan secara bimanual dimana tangan kiri memegang isi hernia dengan

23

Page 24: Laporan Kasus Ra

membentuk corong dan tangan kanan mendorong isi hernia ke arah cincin hernia

dengan sedikit tekanan perlahan yang tetap sampai terjadi reposisi. Jika reposisi tidak

berhasil dalam waktu enam jam maka harus dilakukan operasi sesegera mungkin.1

Pemakaian bantalan atau penyangga hanya bertujuan agar menahan hernia

yang sudah direposisi dan tidak pernah menyembuh dan harus dipakai seumur hidup.

Cara ini mempunyai komplikasi antara lain merusak kulit dan tonus otot dinding

perut di daerah yang ditekan sedangkan strangulasi tetap mengacam. Pada anak-anak

cara ini dapat menimbulkan atrofi testis karena tekanan pada tali sperma yang

mengandung pembuluh darah testis.1

Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis

yang rasional. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis ditegakkan. Prinsip

pengobatan hernia adalah herniotomi dan hernioplasti.1

Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya,

kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlengketan, kemudian

direposisi. Kantong hernia dijahit-ikat setinggi mungkin lalu dipotong.1

Pada hernioplastik dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis internus

dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Hernioplastik dalam mencegah

residif dibandingkan dengan herniotomi. Dikenalnya berbagai metode hernioplastik

seperti memperkecil anulus inguinalis internus dengan jahitan terputus, menutup dan

memperkuat fasia tranversa dan menjahitkan pertemuan m. tranversus abdominis

internus dan m. internus abdominis yang dikenal dengan cojoint tendon ke

ligamentum inguinal poupart menurut metode basinni atau menjahit fasia tranversa,

m.tranversa abdominis, m.oblikus internus ke ligamentum cooper pada Mc Vay.1,5

4.1.8 Komplikasi Hernia Inguinalis

Komplikasi hernia inguinalis lateralis bergantung pada keadaan yang dialami

oleh isi hernia. Isi hernia dapat tertahan dalam kantong hernia inguinalis lateralis,

pada hernia ireponibel: ini dapat terjadi kalau isi hernia terlalu besar, misalnya terdiri

atas omentum, organ ekstraperitoneal atau merupakan hernia akreta. Di sini tidak

24

Page 25: Laporan Kasus Ra

timbul gejala klinis kecuali benjolan. Dapat pula terjadi isi hernia tercekik oleh cincin

hernia sehingga terjadi hernia strangulata/ inkarserasi yang menimbulkan gejala

obstruksi usus yang sederhana. Bila cincin hernia sempit, kurang elastis atau lebih

kaku seperti pada hernia femoralis dan hernia obturatoria, lebih sering terjadi jepitan

parsial.1

Jepitan cincin hernia inguinalis lateralis akan menyebabkan gangguan perfusi

jaringan isi hernia. Pada permulaan terjadi bendungan vena sehingga terjadi udem

organ atau struktur di dalam hernia dan transudasi ke dalam kantong hernia.

Timbulnya udem menyebabkan jepitan pada cincin hernia makin bertambah sehingga

akhirnya peredaran darah jaringan terganggu. Isi hernia menjadi nekrosis dan kantong

hernia akan berisi transudant berupa cairan serosanguinus. Kalau isi hernia terdiri

usus, dapat terjadi perforasi yang akhirnya dapat menimbulkan abses lokal, fistel,

atau peritonitis jika terjadi hubungan dengan rongga perut.1

4.1.9 Prognosis

Prognosis hernia inguinalis lateralis pada bayi dan anak sangat baik. Insiden

terjadinya komplikasi pada anak hanya sekitar 2%. Insiden infeksi pasca bedah

mendekati 1%, dan recurent kurang dari 1%. Meningkatnya insiden recurrent

ditemukan bila ada riwayat inkarserata atau strangulasi.6

4.2 Anestesi spinal

4.2.1 Anatomi Medula Spinalis

25

Page 26: Laporan Kasus Ra

Gambar 8. Medula Spinalis

Columna vertebralis terbagi atas 7 vertebra servikal, 12 vertebra thorakal, 5

vertebra lumbal, 5 vertebra sacral menyatu pasa dewasa dan 4-5 vertebrae koksigeal

menyatu pada dewasa. Prosesus spinosus C2 teraba langsung di bawah oksipital.

Prosesus spinosus C7 menonjol dan disebut sebagai vertebra prominens. Garis lurus

yang menghungkan kedua Krista iliaka setinggi akan memotong prosesus spinosus

vertebra L4 atau antara L4-L5.7,8

Peredaran darah untuk medulla spinalis di perdarahi oleh a.spinalis anterior

dan a. spinalis posterior. Untuk mencapai cairan serebrospinal maka jarum suntik

akan menembus kulit ke subkutis kemudian ligamentum supraspinosum ke

ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, duramater dan

ruang subarachnoid.7

Medulla spinalis berada dalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan

serebrospinal, dibungkus meningens ( duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada

dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3 dan sakus duralis

berakhir setinggi S2.7

Cairan serebrospinalis merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang berasal dari

pleksus aryeria koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan lateral. Caitran ini

26

Page 27: Laporan Kasus Ra

jernih tak berwarna mengisi ruang subaracnoid dengan jumlah total 100-150 ml,

sedangkan yang ada di punggung sekitar 25-45 ml.7

4.2.2 Fisiologi Anestesi Spinal

Ada 3 kelas saraf: motorik, sensorik dan otonom. Stimulasi saraf motorik

menyebabkan otot berkontraksi ketika terjadi blok saraf, otot mengalami

kelumpuhan. Saraf sensorik mengirimkan sensasi seperti sentuhan dan nyeri dari

sumsum tulang belakang ke otak, sedangkan saraf otonom mengontrol caliber

pembuluh darah, denyut jantung, kontraksi usus dan fungsi lainnya yang tidak

berhubungan dengan kendali kesadaran. Umumnya saraf otonom dan sensorik

terblok sebelum saraf motorik. Vasodilatasi dan penurunan tekanan darah pun dapat

terjadi ketika saraf otonom di blok.8,9

4.2.3 Defenisi

Spinal anestesi adalah pemberian obat anestetik lokal dengan cara

menyuntikkan ke dalam ruang subarakhnoid. Teknik tersebut dinilai cukup efektif

dan mudah dikerjakan. Spinal anestesi/ Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan

oleh August Bier pada tahun 1898, teknik ini telah digunakan untuk anestesi,

terutama untuk operasi pada daerah bawah umbilicus. Kelebihan utama teknik ini

adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, memiliki efek minimal

pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar

selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif

dan analgesia yang minimal. Spinal anestesi dilakukan di bawah lumbal 1 pada orang

dewasa dan lumbal 3 pada anak-anak dengan menghindari trauma pada medulla

spinalis.7,8,9

27

Page 28: Laporan Kasus Ra

Gambar 7. Spinal anestesi

4.2.4 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesia7,8,10

Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anesthesia sebelumnya

sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu

mendapat perhatian khususs, misalnya alergi, mual, muntah, nyeri otot,

gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah sehingga kita dapat

merencanakan anesthesia berikutnya dengan lebih baik.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak

boleh dilewakan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

Klasifikasi status fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik

seseorang ialah yang berasal dari The American Society of

Anesthesiologist (ASA)

Kelas I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik dan biokimia

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang

28

Page 29: Laporan Kasus Ra

KelasIII : Pasien dengan penyakit sistemik berrat, sehingga aktivitas

rutin terbatas

Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan

aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap

saat

Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa

pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam

Masukan oral

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan

bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi

anesthesia.

Premedikasi

Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan

tujuan untuk memperlancar induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia.

Obat peredam kecemasan biasanya diazepam oral 10-15 mg beberapa jam

sebelum indksi. Jika disertai nyeri dapat diberikan petidin 50 mg

intramuscular.

Induksi anestesi

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tida sadar,

sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan. Induksi

anesthesia dapat dikerjakan dengan intravena, inhalasi, intramuscular atau

rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anesthesia langsung dilanjutkan

dengan pemeliharaan anesthesia sampai tindakan pembedahan selesai.

29

Page 30: Laporan Kasus Ra

4.2.5 Indikasi dan kontraindikasi

Indikasi:7

Bedah ekstremitas bawah

Bedah panggul

Tindakan sekitar rectum-perineum

Bedah obsetri-genekologi

Bedah urologi

Bedah abdomen bawah

Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatric biasanya dikombinasi

dengan anesthesia umum ringan

Kontraindikasi Absolut7

Pasien menolak

Infeksi pada tempat suntikan

Hipovolemia berat, syok

Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan

Tekanan intracranial meninggi

Fasilitas resusitasi minim

Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsultan anesthesia

Kontraindikasi relative 7

Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)

Infeksi sekitar tempat suntikan

Kelainan neurologis

Kelainan psikis

Bedah lama

Penyakit jantung

Hipovolemia ringan

Nyeri pinggang kronis

4.2.6 Komplikasi anestesi spinal 7

30

Page 31: Laporan Kasus Ra

Komplikasi tindakan anastesi spinal meliputi:

Hipotensi berat

Bradikardia

Hipoventilasi

Trauma pembuluh darah

Trauma saraf

Mual-muntah

Gangguang pendengaran

Blok spinal tinggi atau spinal total.

Komplikasi pasca tindakan:

Nyeri tempat suntikan

Nyeri punggung

Nyeri kepala karena kebocoran likuor

Retensio urin

Meningitis

4.2.7 Persiapan Analgisia Spinal7

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada

analgesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan

menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung

atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.

Selain itu perlu diperhatikan hal-hal berikut

1. Informed Consent (izin dari pasien)

Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi spinal

2. Pemeriksaan fisik

Tidak ada kelainan spesifik seperti tulang punggung dan lain-lain.

31

Page 32: Laporan Kasus Ra

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

Hemoglobin, hematokrit, PT (protrombin time) dan PTT (partial

tromboplastine time)

4.2.8 Peralatan Analgesia Spinal7

1. Peralatan monitor

Tekanan darah, nadi, oksimetri, denyut (pulse oksimeter) dan EKG

2. Peralatan anetesia/resusitasi umum

3. Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, quincke bobcock)

atau jarum spinal denga ujung pensil (pensil poit whitecare)

Gambar 8. Jarum Spinal

4. Anastetik lokal untuk analgesia spinal

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-

1.008.  Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut

isobarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari css disebut

hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut

hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik

32

Page 33: Laporan Kasus Ra

diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis

hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur

dengan air injeksi.

Anestetik lokal yang paling sering digunakan:

1. Lidokaine (xylobain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik,

dosis 20-100mg (2-5ml)

2. Lidokaine (xylobain, lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis

1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)

3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,

dosis 5-20mg (1-4ml)

4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat

hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)

4.2.9 Teknik analgesia spinal 7,8,10,11

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada

garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di

atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan

posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan

menyebabkan menyebarnya obat.

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral

dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya

tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar

processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista

iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau

diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

Teknik:

33

Page 34: Laporan Kasus Ra

Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista

iliaka kanan-kiri akan memotong garis tengah punggung

setinggi L4 atau L4-L5.

Palpasi : untuk mengenal ruang antara dua vetebra lumbalis

Pungsi lumbal hanya antara : L2-3, L3-4, L4-5 atau L5-S1

Duduk atau berbaring lateral dengan punggung fleksi

maksimal.

Gambar 9. Posisi penyuntikan

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-

2% 2-3ml

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,

23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G

atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik

biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak

sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut

mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam

(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat

duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau

kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat

34

Page 35: Laporan Kasus Ra

timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,

mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi

obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi

aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.

Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor

tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk

analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.

Gambar 10. Cara Tusukan

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah

hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum

flavum dewasa ± 6cm.

7. Penyebaran anastetik lokal tergantung:7,11

Faktor utama:

Berat jenis anestetik lokal (barisitas)

Posisi pasien

Dosis dan volume anestetik local

Kecepatan suntikan/barbotase

Ukuran jarum

35

Page 36: Laporan Kasus Ra

Keadaan fisik pasien

Tekanan intra abdominal

Lama kerja anestetik lokal tergantung:

Jenis anestetia lokal

Besarnya dosis

Ada tidaknya vasokonstriktor

Besarnya penyebaran anestetik lokal

BAB V

PEMBAHASAN

36

Page 37: Laporan Kasus Ra

Pasien Tn. S, 79 tahun, dirawat di Bangsal Bedah dengan diagnosa Hernia

Inguinalis Lateralis Irreponible. Awalnya pasien datang ke Poli Bedah dengan

keluhan benjolan di lipat paha sebelah kanan sejak ± 4 bulan yang lalu. Setelah

dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien

didiagnosa Hernia Inguinalis Lateralis Irreponible.

Pada saat kunjungan pra anestesi ( anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang), didapatkan kesadaran compos mentis, GCS E4M6V5.

Status fisik pada pasien ini adalah ASA II, yaitu dengan penyakit sistemik sedang

sehingga aktivitas rutin tidak terbatas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 150/90

mmHg, untuk pasien ini TD sangat penting untuk menentukan penundaan anestesia

dan operasi. Sampai saat ini belum ada protocol untuk penentuan TD berapa

sebaiknya yang paling tinggi yang tidak bias ditoleransi untuk penundaan anestesi

dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah

cuff-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesi dan operasi kecuali

operasi emergensi. Pada pemeriksaan didaerah genitalia tampak benjolan sebesar

telur ayam dan tidak ada tanda radang di regio iliaka dextra dan pada perabaan

didapatkan massa di regio iliaka dextra ukuran 5 x 3 cm, konsistensi kenyal,

permukaan rata dan licin, batas atas jelas, tidak ada nyeri tekan, tidak dapat

dimasukkan. Pada pemeriksaan thorak pada jantung dan paru didapatkan normal.

Untuk hasil laboratorium dalam batas normal.

Tindakan premedikasi pada pasien ini, yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum

induksi bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan diantaranya untuk

meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia, mengurangi

sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi

mual-muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung,

mengurangi refleks yang membahayakan. Sebagai obat premedikasi, yaitu:

ondansentron 4mg, ranitidine 50 mg.

37

Page 38: Laporan Kasus Ra

Premedikasi jarang diberikan terutama pada penderita dengan keadaan umum

yang buruk, atau karena keterbatasan waktu. Namun pada beberapa kasus dapat

diberikan premedikasi secara intravena atau intramuscular. Pada pasien ini,

digunakan ranitidine 50 mg dan ondancetron 4 mg sebagai premedikasi. Ranitidine

merupakan golongan antagonis reseptor H-2 yang dapat mengurangi sekresi asam

lambung dengan menghalangi kerja histamine.Sedang ondansetron yang bersifat

antiemetic, merupakan usaha untuk mencegah adanya aspirasi dari asam lambung.

Pengelolaan anestesia pada kasus ini adalah menggunakan Regional Anestesi.

Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala menunduk

hingga prosesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang

menghubungkan krista iliaka dengan tulang punggung yaitu antara vertebra L3-L4

lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian sterilkan tempat tusukan

dengan alcohol 70 % dan betadine, jarum spinal no.27, identifikasi cairan yang

keluar, apabila LCS (+) dan tidak di jumpai darah maka lokasi penusukan sudah

tepat. Kedalam LCS masukkan obat anastesi local yang digunakan yaitu bupivacaine

0,5 % 15 mg dan Morfin 0,1 mg. inhalasi menggunakan O2 sebanyak 2 L.

Induksi menggunakan Bupivacaine HCL dan dikombinasikan dengan Morfin.

Bupivacaine HCL merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional

bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh.

Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat

reversibel.

Morfin merupakan agonis reseptor opioid dengan efek utama mengikat dan

mengaktivasi reseptor µ-opioid pada sistem saraf pusat. Aktifasi ini akan

menyebabkan efek analgesik, sedasi, euphoria, psikal dependent dan depresi nafas.

Morfin juga bertindak sebagai reseptor k-opioid yang terkait analgesic spinal dan

miosis.

Monitor tekanan darah setiap 15 menit sekali untuk mengetahui penurunan

tekanan darah yang bermakna. Pada pasien hipertensi penurunan TD harus ditoleransi

dengan baik untuk mencegah terjadinya hipoperfusi target organ. Efek dari pemberian

38

Page 39: Laporan Kasus Ra

obat anestesi spinal adalah hipotensi, karena penurunan kerja syaraf spinal. Hipotensi

terjadi bila penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau sistole 100 mmHg.

Setelah itu pasang kateter folley untuk melihat output cairan yaitu sebanyak

100 cc. Operasi dilakukan pukul 12.45 dengan TD 160/90 mmHg, N: 90x/ menit,

pernafasan 22 x/ menit. Pukul 14.15 operasi selesai, diberikan ketorolac 30 mg,

tramadol 100 mg, ondansentron 4 mg di drip bersamaan cairan RL.

Selama operasi jumlah cairan yang telah diberikan adalah RL 1500 ml dan

WidaHES 500 ml, total cairan yang masuk adalah 2000 ml, dan jumlah pengeluaran

dari urin sebanyak 300 ml dan perdarahan ± 85 ml.

Pukul 14.45 pasien di bawa ke Bangsal Bedah, Saran dari bagian anastesi

yaitu pantau vital sign tiap 15 menit, tidur terlentang dengan memakai bantal 1X24

jam post operasi, boleh minum bertahap ½ gelas selama 1 jam, serta lanjutkan terapi

sesuai instruksi dari dr. Riswan Joni, SpB.

BAB IV

KESIMPULAN

39

Page 40: Laporan Kasus Ra

Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek

atau bagian lemah atau dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi perut

menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo-aporneurotik dinding

perut. Hernia terdiri dari cincin, kantong, dan isi hernia. Hernia merupakan suatu

kasus bagian bedah yang pada umumnya sering menyebabkan masalah kesehatan dan

memerlukan tindakan operasi.

Spinal anestesi adalah pemberian obat anestetik lokal dengan cara

menyuntikkan ke dalam ruang subarakhnoid.

Pada pasien ini dilakukan spinal anestesi/Sub-arachnoid block (SAB) karena

teknik ini digunakan untuk anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah

umbilicus.

DAFTAR PUSTAKA

40

Page 41: Laporan Kasus Ra

1. Jong WD dan Sjamsuhidayat R. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC,

2011.

2. Pangayoman R. Hernia Inguinalis. Bandung: Unpad, 2002.

3. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC,

2006.

4. Malindra P. Perbandingan Nyeri Antara Teknik Bassini dan Teknik Mesk Hernia

pada Pasien Pasca Operasi Hernia Inguinal. Jambi: FKIK UNJA, 2013.

5. Hernia. Diunduh dari; http://repository.usu.ac.id/bitstream/

123456789/21384/4/Chapter%20II.pdf Pada tanggal 24 Novemberl 2013.

6. Hernia Inguinalis. Diunduh dari:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21381/4/Chapter%20II.pdf Pada

tanggal 24 November 2013.

7. Latief S.A dkk. Petunjuk praktis Anestesiologi Edisi 2. Jakarta; FKUI;2001

8. Sukmono RB. Anestesia Regional. Dalam:Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta:

FKUI, 2012.

9. Casey WF. Spinal anesthesia–A Practical Guide. United Kingdom: Consultant

Anaesthetist. 2000; Diunduh dari URL:

http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/ul208-02.htm

10. Dachlan R. Persiapan Pra Anestesia. Dalam: Anestesiologi. Jakarta: FKUI,2004.

11. Kristanto S. Analgesia Regional. Dalam: Anestesiologi. Jakarta: FKUI,2004.

41