makalah kelarutan dan permeabilitas kelompok 1

Upload: gigih-aditya-pamungkas

Post on 08-Oct-2015

114 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

ini adalah makalah biofarmasetika

TRANSCRIPT

MAKALAH KELARUTAN DAN PERMEABILITAS

Disusun oleh :Ika Apriliani Putri260112130504Etika Wahyuning K.260112130505Risky Mailalhaq260112130510Megawati260112130513Anis Khoirunnisa260112130531Agustina Nur Fitriani260112130532Denny Hendra S.260112130539

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKERFAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS PADJADJARAN2014

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena bimbingan dan penyertaan-Nya, sehingga kelompok ini dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas Biofarmasetika Terapan dan Farmakokinetika Klinik yang berjudul Kelarutan dan Permeabilitas.Tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih atas bimbingan Dosen Mata Kuliah Biofarmasetika Terapan dan Farmakokinetika Klinik, orang tua kami atas dukungannya, beserta pihak-pihak lain yang namanya tak bisa disebutkan satu-persatu yang telah banyak membantu atas terselesainya makalah ini. Makalah ini masih memiliki banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca tetap kami tunggu untuk penyempurnaan pembuatan selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandung, Februari 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

Kata PengantariiDaftar isiiiiBab I Pendahuluan1A. Latar Belakang1B. Tujuan1Bab II Pembahasan2A. Kelarutan2B. Permeabilitas3C. BCS3D. Contoh kasus pada jurnal 16E. Contoh kasus pada jurnal 217Bab III Penutup20A. Kesimpulan20B. Saran20Daftar Pustaka...21

1

iii

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangBiofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Bioavailabilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Biofarmasetik bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu. Ada dua faktor yang mempengaruhi bioavaibilitas obat yaitu1. Faktor-faktor fisiologik yang berkaitan dengan absorbsi obat yang meliputi perjalanan obat melewati membran sel (difusi pasif, transpor aktif, difusi yang dipermudah (Fasilitated Diffusion), pinositosis (transpor vesikular), transpor melalui pori (konvektif)), waktu transit obat dalam saluran cerna dan aliran (perfusi) darah dari saluran cerna.2. Faktor-faktor farmasetik yaitu disintegrasi, pelarutan (disolusi), sifat fisikokimia obat dan formulasi sediaan obat. Hampir sekitar 40% dari obat yang baru ditemukan adalah lipofilik dan gagal mencapai target penjualan karena obat tersebut sukar larut dalam air. Peningkatan bioavailabilitas obat merupakan aspek penting dari pengembangan obat. Peningkatan bioavailabilitas dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan luas permukaan obat yang meliputimicronization, penggunaan dalam bentuk garam, penggunaan polimorf metastabil, deposisi pelarut (solvent deposition), adsorpsi selektif pada pembawa tidak larut, dispersi padat, kompleksasi zat terlarut pada pelarut (solute solvent complexation), kompleksasi dengansiklodekstrin.Masalah kelarutan yang rendah merupakan topik yang banyak diamati dalam penelitian-penelitian saat ini. Selain itu, permeabilitas dari suatu obat juga merupakan objek penelitian yang cukup menarik untuk diamati. Kelarutan dan permeabilitas suatu obat berkaitan erat dengan sistem klasifikasi biofarmasetika atau yang biasa disingkat BCS (Biopharmaceutics Classification System) obat tersebut. Didalam makalah ini akan dibahas beberapa hasil penelitian yang dapat meningkatkan kelarutan dengan beberapa metode.

B. Tujuan1. Mengetahui sistem klasifikasi biofarmasetika.2. Mengetahui metode terbaru untuk meningkatkan kelarutan dari obat.BAB IIPEMBAHASAN

A. KelarutanBioavaibilitas obat oral tergantung pada kelarutan atau laju disolusinya. Laju disolusi dapat menentukan tahap penampilan efek obat. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan disolusi obat dengan kelarutan terhadap air yang terbatas sangat dibutuhkan. Banyak metode untuk meningkatkan karakteristik tersebut antara lain dengan pembentukan garam, mikronisasi, dan penambahan pelarut atau permukaan zat aktif.Kelarutanatausolubilitasadalah kemampuan suatuzat kimia (solute) untuk larut dalam suatupelarut (solvent). Secara kualitatif, kelarutan adalah interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekuler yang homogen. Secara kuantitatif, kelarutan adalah konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu. Larutan dinyatakan dalam mililiter pelarut yang dapat melarutkan satu gram zat (Martin et.al, 1990).

Tabel 1. Klasifikasi Kelarutan Berdasarkan Farmakope Indonesia IVIstilah KelarutanJumlah Bagian Pelarut yang Diperlukanuntuk Melarutkan 1 Bagian Zat

Sangat mudah larutKurang dari 1

Mudah larut1 sampai 10

Larut10 sampai 30

Agak sukar larut30 sampai 100

Sukar larut100 sampai 1.000

Sangat sukar larut1.000 sampai 10.000

Praktis tidak larutLebih dari 10.000

Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan :a. Suhu Pada suhu tinggi partikel-partikel akan bergerak lebih cepat dibandingkan pada suhu rendah. Akibatnya kontak antara zat terlarut dengan pelarut menjadi lebih sering dan efektif. Hal ini menyebabkan zat terlarut menjadi lebih mudah larut pada suhu tinggi.b. Jenis pelarutPelarut polar dapat melarutkan zat yang besifat polar dan pelarut nonpolar dapat melarutkan zat yang bersifat nonpolar c. Bentuk dan ukuran partikel zat terlarutSemakin kecil ukuran partikel suatu zat, maka semakin besar luas permukaannya sehingga interaksi antara solut dan solven pun semakin besar.d. pHAsam lemah mudah larut dalam basa dan basa lemah mudah larut dalam asam

B. PermeabilitasPermeabilitas adalah kemampuan sebuah cairan mengalir melewati suatu bahan berpori. Dalam ilmu biofarmasetika, permeabilitas membahas tentang kemampuan zat obat yang telah terlarut melewati suatu membran. Terdapat beberapa metode dalam penentuan permeabilitas, antara lain in vivo intestinal perfusion pada manusia, in vivo or in situ intestinal perfusion pada hewan, in vitro permeation experiments dengan jaringan usus hewan atau manusia, dan in vitro permeation experiments melewati epithelial cell monolayers. C. Biopharmaceutics Classification System BCS atau Biopharmaceutical Classification System merupakan hasil dari usaha berkelanjutan dalam analisis matematika berkaitan dengan proses kinetika dan dinamika obat dalam saluran pencernaan untuk memenuhi NDA dan ANDA. Sistem ini mengurangi tahapan dalam proses pengembangan obat baru baik secara langsung maupun tidak langsung, mengurangi uji klinik yang sebenarnya tidak diperlukan, dan mendukung penggantian uji bioekuivalen dengan uji disolusi secara in vitro.BCS merupakan panduan umum untuk memprediksi absorpsi obat dalam usus yang dibuat oleh FDA US. Ide untuk membuat BCS diungkapkan oleh Gordon Amidon, yang mendapat hadiah Distinguished Science Award pada Agustus 2006 pada Kongres International Pharmaceutical Federation di Salvador Brazil. Batasan untuk prediksi dengan BCS adalah kelarutan dan permeabilitas intestinal. Klasifikasi kelarutan didasarkan pada USP, sedangkan permeabilitas intestinal didasarkan pada perbandingan terhadap injeksi intravena. Semua fator-faktor tersebut sangatlah penting karena 85% jumlah obat yang terjual di US dan Eropa terdaftar sebagai obat yang digunakan secara oral.Suatu obat diklasifikasikan berdasarkan BCS dengan parameter kelarutan, permeabilitas, dan disolusi. Kelarutan produk berkaitan dengan dosis maksimum. Suatu zat aktif dikatakan sangat mudah larut bila dengan dosis maksimum obat dapat larut dalam + 250 ml air dengan rentang pH 1 - 7,5. Volume sebanyak 250 ml ditentukan dari protokol studi bioekuivalen pada umumnya yang mengatur bahwa penggunaan produk obat hanya dengan segelas air pada sukarelawan dengan kondisi puasa.Permeabilitas secara tidak langsung didasarkan pada banyaknya obat yang diabsorpsi dalam tubuh manusia dan secara langsung pada pengukuran kecepatan transfer massa yang melewati membrane usus manusia. Sistem lain yang tidak menggunakan manusia dapat memprediksi absorpsi obat dalam tubuh manusia boleh digunakan ( seperti metode kultur in vitro) . Suatu zat aktif dikatakan sangat permeable bila jumlah obat yang terabsorbsi di dalam tubuh yang diketahui > 90% atau lebih dari dosis yang digunakan berdasarkan keseimbangan massa atau dalam perbandingan dengan dosis intravena.Suatu produk obat yang lepas segera dianggap cepat terdisolusi bila > 85 % jumlah obat yang tertera dapat terdisolusi dalam waktu 15 menit menggunakan aparatus I disolusi USP pada 100 RPM atau aparatus II pada 50 RPM dalam larutan media sebanyak + 900 ml. Larutan media terdiri dari 0,1N HCl yang dianggap sebagai cairan lambung buatan atau larutan dapar pH 4,5 dan dapar pH 6,8 yang dianggap sebagai cairan usus buatan.Dalam BCS, zat aktif obat diklasifikasikan menjadi 4 kelas : Tabel 2. Klasifikasi Zat Aktif Obat dalam BCSKelasKelarutanPermeabilitasKorelasi Pada In Vivo dan In VitroContoh

1TinggiTinggiKorelasi pada in vivo dan in vitro jika laju disolusi adalah rendah dari pada laju pengendapan pada lambung, jika tidak maka hal tersebut terbatas/tidak ada korelasi. Metoprolol. Sangat mudah diabsorbsi dan kecepatan absorbs nya lebih besar dari keceparan ekskresinya.

2RendahTinggiKorelasi pada in vivo dan in vitro diharapkan apabila secara in vitro laju disolusi serupa dengan laju disolusi pada in vivo, kecuali jika pada dosis yang sangat tinggi. GlibenclamidaBioavailibilitasnya dibatasi oleh kecepatan solvasinya. Ada hubungan antara bioavailibilitas secara in vivo dan in vitro.

3TinggiRendahPenyerapan (permeabilitas) merupakan laju yang menetukan dan terbatas atau tidaknya korelasi pada in vivo dan in vitro dengan laju disolusi. Simetidin. Absorbsinya dibatasi oleh kecepatan permeasinya tetapi obat tersebut dapat tersolvasi dengan cepat. Jika formulasi tidak mengubah permeabilitas atau durasi di dalam gastrointestinal, maka kriteria kelasi I bisa digunakan.

4RendahRendahTerbatas atau tidak adanya korelasi pada in vivo dan in vitro yang diharapkan. HCT. Senyawa ini mempunyai bioavailibilitas yang rendah sekali. Biasanya tidak diabsorbsi dengan baik di sepanjang mucosa intestinal dan variabilitasnya tinggi.

D. Studi Kasus Jurnal 1Judul Jurnal: Peningkatan Kelarutan dan Laju Disolusi Obat Carvediol yang Sukar Larut dengan Teknik Dispersi Padat menggunakan Combined CarriersPenulis :

1. Pendahuluan Hampir sekitar 40% dari obat yang baru ditemukan adalah lipofilik dan gagal mencapai target penjualan karena obat tersebut sukar larut dalam air. Kelarutan dan laju disolusi adalah langkah penentu bioavailabilitas obat dalam BCS kelas II.Masalah bioavailabilitas obat BCS kelas II dapat diatasi dengan meningkatkan kelarutan dan laju disolusi obat dalam cairan pencernaan. Peningkatan bioavailabilitas obat oral yang sukar larut (poorly soluble) merupakan aspek penting dari pengembangan obat.Suatu senyawa poorly soluble didefinisikan sebagai satu proses pelarutan dalam waktu kurang dari 1 bagian per 10.000 air. Dibutuhkan lebih banyak waktu untuk larut dalam cairan pencernaan dibandingkan absorbsi pada saluran pencernaan.Ada beberapa cara dimana bioavailabilitas obat dapat ditingkatkan yang bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan obat yang meliputimicronization, penggunaan dalam bentuk garam, penggunaan polimorf metastabil, deposisi pelarut (solvent deposition), adsorpsi selektif pada pembawa tidak larut, dispersi padat, kompleksasi zat terlarut pada pelarut (solute solvent complexation), kompleksasi dengansiklodekstrin.Metode yang paling menjanjikan untuk meningkatkan disolusi adalah pembentukan dispersi padat dalam pembawa yang tepat. Dispersi padat merujuk pada dispersi dari satu atau lebih bahan aktif dalam pembawa inert atau matriks dalam keadaan padat disiapkan dengan peleburan (fusion), pelarut, atau metode melting solvent.Dispersi padat secara tradisional telah digunakan sebagai metode efektifuntuk meningkatkan sifat disolusi dan bioavailabilitas obat-obat yang sukar larut dalam air.Dalam sistem dispersi padat, obat mungkin ada sebagai bentuk amorf pada carrier polimer, dan ini dapat menyebabkan peningkatan kelarutan dan tingkat pelarutan dibandingkan denganbahan kristal.Obat molekuler tersebar di carrier polimer dapat mencapaitingkat tertinggi pengurangan ukuran partikel dan peningkatan luas permukaan, yang mengakibatkanmeningkatnya tingkat pelarutan.Selain itu, tidak ada energi yang diperlukan untuk memecah kisi kristal obat selama disolusi.Proses dan kelarutan obat dan keterbasahan dapat ditingkatkan dengan carrier hidrofilik disekitarnya.Carvedilol (CAR) yang merupakan agen antihipertensi digunakan dalam pengobatan hipertensi, gagal jantung kongestif, aritmia jantung dan angina pectoris.Obat ini adalah -nonselektifadrenergik blocker selektif dengan -adrenergik blocking.Carvedilol mempunyai sifat sukar mengalir dan merupakan obat yang kompresibel. carvedioldikategorikan sebagai senyawa kelas II sesuai klasifikasi BCS, mempunyai bioavailabilitas yang sangat rendah dan menunjukkan first pass metabolism yang signifikan. Carvedilol (CRL), secara kimiawi ()-1-(carbazol-4-yloxy)-3-[2-(o methoxyphenoxy)etil]amino]-2-propanol.Obat ini memiliki warna bubuk yang putih hingga putih bersih dengan berat molekul 406,5.Saat ini carvedilol mudah larut dalam dimetilsulfoksida, larut dalam metilen klorida dan metanol, sedikit larut dalam 95% etanol dan isopropanol, sedikit larut dalam etil eter dan praktis tidak larut dalam air.

2. Bahan dan Metodea. Bahan Carvedilol dipasok oleh Laboratorium Alkem Ltd, Mumbai; Poloxamer 188 diperoleh sebagai sampel hadiah dari sempel perusahaan kimia Pvt Ltd Worli Mumbai, dan PVP K90 diperoleh sebagai sampel hadiah dari Laboratorium Alkem Ltd. Semua bahan kimia lainnya termasuk reagen dan pelarut yang digunakan adalah bahan-bahan kimia dengan analytical grade.

b. Metode1) Persiapan dispersi padatObat (carvedilol) dan polimer hidrofilik (poloxamer 188 dan PVP K90) ditimbang dengan rasio yang berbeda 1:1, 1:2 dan 1:4 dan diuleni dalam mortar dengan volume kecil pelarut campuran air:metanol (1:1).Bubur tebal yang terbentuk diuleni selama 45 menit kemudian dikeringkan pada 55 C sampai kering.Massa kering yang terbentuk adalah bubuk dan diayak melalui ayakan No 120.

2) Scanning dari carvedilol dalam 0,1 N HClLarutan yang mengandung 10 ug / ml carvedilol disiapkan kemudian diukur pada kisaran 200 - 400 nm terhadap 0,1 N HCl sebagai blanko dengan menggunakan spektrofotometer UV.3) Kurva Kalibrasi Carvedilol dalam 0,1 N HClLarutan stok dibuat dengan melarutkan 100 mg carvedilol yang ditimbang akurat dalam 100 ml metanol untuk mendapatkan 1 mg / ml larutan.Larutan diencerkan hingga didapatkan larutan dengan konsentrasi 10 mg/ml. Kemudian dibuat deret ukur larutan Carvediol dengan konsentrasi larutan 2, 4, 6, 8, 10, 12, dan 14 g / ml. Absorbansi yang dihasilkan oleh larutan diukur pada 241 nm terhadap blanko.Sebuah grafik diplot dengan mengambil konsentrasi pada sumbu X dan absorbansi pada sumbu Y.4) Studi kelarutanPengukuran kelarutan carvedilol diukur dengan cara membuat dispersi padat yang setara dengan 100 mg carvedilol, lalu dikocok dengan 10 ml air suling dalam stopper labu berbentuk kerucut dalam orbital shaker selama 24 jam pada suhu kamar.Selanjutnya,larutan disaring melalui filter kertas Whatman no 1.Larutan yang telah disaring diencerkan dengan 0,1 N HCl.Larutan yang telah diencerkan dianalisis dengan UV pada 241nm.Kelarutan masing-masing sampel ditentukan dengan 3 kali replikasi. 5) Kandungan obatDispersi padat setara dengan 10 mg carvedilol ditimbang secara akurat dan dilarutkan dalam 10 ml metanol.Larutan disaring, diencerkan dan dianalisis pada 241 nm dengan spektrofotometer UV ((UV-Visible spektrofotometer)-Shimadzu-UV 1800). Konten obat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:Kandungan obat % = (Mact/Mt) X 100Mact = jumlah aktual dari obat dalam dispersi padatMt = jumlah teoritis obat dalam dispersi padat

6) Studi DisolusiStudi disolusi in vitro dilakukan dalam alat disolusi jenis dayung (USP aparatus II).Dispersi padat yang mengandung 25 mg carvedilol ditimbang akurat dari masing-masing batch yang digunakan untuk studi disolusi.HCl 0,1 N digunakan sebagai medium disolusi pada suhu 37 0,5C dengan 50 rpm. Studi disolusi dilakukan selama 60 menit dan 5 ml sampel ditarik pada interval yang telah ditentukan dari 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50 & 60 min.Sink condition dipertahankan dengan menambahkan 5 ml media segar setiap waktu.Sampel yang terdisolusi disaring dengan filter 0,45 m dan dianalisis dengan UV-VIS spektrofotometer (Shimadzu UV 1800) pada panjang gelombang 241 nm.

7) Transformasi Fourier spektroskopi inframerah (FTIR)Untuk mempelajari interaksi antara obat dan polimer yang digunakan dalam penyusunan dispersi padat.Spektrum FTIR dari carvedilol murni, polimer, dan campuran fisik dicatat. Obat dan polimer secara terpisah dan dalam kombinasi dengan satu sama lain dicampur dengan KBr untuk penentuan spektrum.Kisaran yang dipilih adalah dari 600 cm-1 sampai 3800 cm-1 (Gambar 1)

3. Hasil dan Diskusia. Sifat alirDispersi padat yang dibuat dengan metode kneading dievaluasi sifat alirnya seperti kerapatan curah (bulk density), kerapatan ketukan (tapped density), indeks kompresibilitas, rasio Hausner, dan sudut istirahat. Bulk density ditemukan pada kisaran 0.782 gm/ml sampai 0.087 gm/ml. Tapped density ditemukan pada kisaran 0.9390.052 gm/ml sampai 1.0730.06 gm/ml. Indeks kompresibilitas ditemukan 17.616.51% sampai 24.985.95% menunjukkan sifat alir yang cukup baik. Rasio Hausner ditemukan pada 1.190.04. Sudut istirahat ditemukan pada kisaran 37.31 dan 39.11.

b. Studi kelarutanKelarutan carvedilol dalam air sekitar 18 mg/ml, secara signifikan peningkatan kelarutan diperoleh semua dispersi Carvedilol dengan polimer hidrofil. Kelarutan semua dispersi padat dapat ditingkatkan jika dibandingkan dengan obat tunggal. Kelarutan PVP K90 dan poloxamer 188 pada perbandingan 1:1, 1:2, 1:4 adalah 24.50, 30.14, 50,14, 41.50, 51.26, 61.12 mg/ml. Kelarutan maksimum diamati dalam dispersi padat carvedilol dan poloxamer 188 dengan perbandingan 1:4 (B4), dianggap dispersi padat yang optimal. Peningkatan kelarutan dimungkinkan karena sifat polimer hidrofilik, penurunan aglomerasi dan agregasi partikel obat, pengurangan ukuran partikel hinnga ukuran molekul. Peningkatan kelarutan dengan meningkatnya konsentrasi poloxamer menunjukkan sifat pelarut dari poloxamer 188 untuk obat. Poloxamer 188 penyebab penurunan tegangan antarmuka obat dan medium disolusi. Hasil penelitian ini dapat menjelaskan bahwa penurunan kristalinitas (crystallinity) obat mengurangi energi yang dibutuhkan untuk proses pelarutan dan meningkatnya dispersi obat tersebut.

c. Kandungan obatDispersi padat dengan metode kneading dievaluasi untuk memeroleh kandungan obat. Kandungan obat ditemukan antara 91-99%. Kandungan obat pada tiap batch yang berbeda masing-masing seperti A1 92,44%, A2 91.19%, A4 93.03%, B1 93.60%, B2 94,71% dan B4 99,34. Batch yang optimal adalah B4 yang menunjukkan kandungan obat yang tinggi dibandingkan dengan batch lain. Hasil ditunjukkan pada tabel No.4

d. Studi disolusiProfil pelepasan obat untuk semua formulasi ditunjukkan dalam tabel. Laju disolusi Carvedilol dari berbagai dispersi padat dalam 0,1N HCl. Laju disolusi Carvedilol dari semua dispersi secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan carvedilol. Pelepasan obat dari PVP K90 dan poloxamer 188 pada rasio 1:1, 1:2, dan 1:4 masing-masing memberikan 80.177, 86.760, 91.932, 89.58, 94.753, dan 99.935%. Batch yang optimal adalah B4 mengandung poloxamer 188 dan carvedilol (1:4) yang memberikan pelepasan obat 99,925% pada 60 menit dibandingkan dengan PVP K90 yang hanya memberikan pelepasan obat 91,932% dalam 60 menit sehingga dapat diketahui bahwa meningkatkan konsentrasi polimer meningkatkan laju disolusi obat.

Peningkatan laju disolusi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: Karakter hidrofilik kuat poloxamer 188 yang meningkatkan penetrasi air dan keterbasahan (wettability) dari carvedilol Tidak adanya kristal yang bertanggungjawab menurunkan energi yang dibutuhkan untuk disolusi.

e. Transformasi Fourier spektroskopi inframerah (FTIR)Hasil FTIR dari carvedilol tunggal menunjukkan pita karakteristik karbazol pada 1100, 1500, 2900 cm-1 sesuai dengan getaran C-N aromatic sekunder, beberapa ikatan stretching C=C dan stretching C-H masing-masing merupakan cincin aromatik. Spektrum FTIR obat dan campuran fisik dengan polimer adalah sama dan tidak ada pergeseran puncak atau hilangnya puncak atau modifikasi dari puncak yang menunjukkan bahwa tidak ada ada interaksi antara obat dan eksipien.

4. KesimpulanProfil kelarutan dan disolusi carvedilol secara signifikan ditingkatkan melaui dispersi padat metode kneading dengan pembawa yang larut dalam air seperti PVP K90 dan poloxamer 188. Dispersi padat dievaluasi untuk studi kelarutan, kandungan obat dan studi disolusi . Teknik-teknik dieksplorasi relatif mudah, sederhana, cepat, dan murah. Studi IR menunjukkan tidak ada tanda-tanda interaksi obat dengan pembawa. Selanjutnya, dapat diasumsikan bahwa kelarutan dan laju disolusi dapat ditingkatkan karena konversi kristal menjadi bubuk amorf. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dispersi padat Carvedilol dengan menggunakan pembawa larut air poloxamer 188 (1:4) dengan metode kneading menghasilkan pelepasan obat yang paling baik (pelepasan obat 99,925% dalam 60 menit) di antara semua formulasi dan perbandingan ini dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan dan laju disolusi carvedilol.

E. Studi Kasus Jurnal 2

Judul : Strategi Baru untuk Meningkatkan Bioavailabilitas Obat Oral yang mempunyai Sifat Sukar Larut dalam Air dan Liposolubility Rendah Berdasarkan Fosfolipid Kompleks dan Supersaturated SEDDS.Penulis: Zhou H, dkk.

1. PendahuluanSelf-emulsifying drug delivery systems (SEDDS) adalahsistem atau jalur pemberian obatyang menggunakanmikroemulsiyang telah diperoleh secara kimia bukan secara mekanis.Artinya, dengan properti intrinsik dari formulasi obat, bukan oleh pencampuran khusus dan atau perlakuan khusus.Self-emulsifying drug delivery systems (SEDDS) merupakan campuran minyak isotropik, surfaktan dan co-surfaktan yang telah terbukti berhasil meningkatkan bioavailabilitas oral beberapa senyawa dengan kelarutan rendah tetapi permeabilitas tinggi (BCS II).Dalam penggunaannya, BCS II dapat tercapai jika dua syarat dipenuhi, yaitu obat harus bersifat sangat lipofil dan mempunyai loading rate yang rendah. Obat yang bersifat sangat lipofil dapat berikatan dan terlarut dalam SEDDS pre-konsentrat meskipun dalam dosis tinggi. Obat yang mempunyai loading rate yang rendah dapat mencegah pengendapan obat setelah SEDDS teremulsi di sistem gastrointestinal.Untuk mengatasi keterbatasan di atas, terdapat dua cara yang umum digunakan yaitu:1. Metode fospolipid kompleksMetode ini digunakan untuk memodifikasi senyawa dengan liposolubility yang rendah dari berbagai senyawa agar sesuai dengan sistem kerja SEDDS.2. Super-SEDDSMetode ini telah banyak dipertimbangkan untuk administrasi obat dosis tinggi yang tidak bisa digunakan pada metode SEDDS konvensional. Super-SEDDS dirancang untuk mencegah pengendapan obat dengan menambahkan inhibitor pengendap, seperti PVP (Polivinil Pirolidon) dan HPMC (Hidroksi Propil Metil Selulosa).

Dalam studi ini, kompleks fosfolipid dan Super-SEDDS yang dikombinasikan untuk pertama kalinya untuk memperluas penggunaan SEDDS.SPC dipersiapkan secara optimal dengan desain respon permukaan dan sifat fisikokimianya termasuk keadaan fisik dan distribusi oktanol-air yang telah diteliti.Berdasarkan kelarutan dan diagram fasa terner, disiapkan Super-SEDDS mengandung SPC (Scutellarin Phospolipid Complex) hingga 200% dari S(eq), kemudian dilanjutkan dengan studi invitro lipolisis dan penelitian tentang absorbsi intestinal secara exvivo. Setelah itu, penelitian terakhir yang harus dilakukan adalah uji invivo pada tikus untuk mendeteksi penyerapan dosis oral Scutellarin dalam Super-SEDDS.Scutellarin merupakan komponen utama ekstrak Breviscapine dari herbal China Erigerin Breviscapus (Vant.) Hand-Mazz. Mempunyai kelarutan dalam air yang rendah (14,4 + 0,7 g/mL), permeabilitas membran yang buruk (Log P = -2,56 + 0,04), tetapi mempunyai dosis oral yang tinggi.

2. Hasil dan PembahasanKelarutan obat dalam SEDDS biasanya berdasarkan kelarutan dalam berbagai komposisi termasuk minyak, surfaktan, dan ko-surfaktan. Kelarutan Scutellarin dalam berbagai pembawa menjadi tinggi dalam bentuk SPC. Dari berbagai minyak yang diuji, etil oleat paling baik untuk digunakan karena memiliki kelarutan yang sangat baik terhadap SPC. Untuk alasan yang sama, Transcutol HP dipilih sebagai satu-satunya ko-surfaktan. Dibandingkan dengan minyak yang lain, surfaktan mempunyai kelarutan yang lebih tinggi terhadap SPC. Tiga surfaktan terbaik yang bisa digunakan adalah Tween 80, Capryol 90, dan Cremophor RH 40. Tween 80 biasanya digunakan sebagai surfaktan dalam formulasi emulsi atau mikro emulsi dengan nilai HLB 15. Cremophor RH 40 merupakan surfaktan yang baik untuk emulsi O/W tergantung pada nilai HLB yang sesuai dengan kekuatan kapasitas emulsi. Capryol 90 merupakan surfaktan yang tidak larut air, maka tidak dapat digunakan sebagai pengemulsi tipe o/w dan tidak dapat tercampur dengan Etil Oleat dan Transcutol HP. Jadi hanya Tween 80 dan Cremophor RH 40 yang dapat digunakan sebagai surfaktan.Surfaktan yang terdapat dalam SEDDS bersifat sitotoksik. Oleh karena itu, jumlah pemakaiannya diatur. Untuk Cremophor RH 40, 20-50%, untuk Etil Oleat 40-60%, sedangkan Trancutol HP 5-30%. Skriningnya didasarkan pada ukuran dan kemampuan loading obat. Maka dibuatlah SEDDS dengan komposisi 60% Etil Oleat, 25% Cremophor RH 40 dan 15% Transcutol HP 40 dengan S(eq) 39,7 + 1,2 mg/g (ekuivalen dari Scutellarin).Profil invitro dari bubuk Scutellarin, SPC, SEDDS konvensional, dan Super-SEDDS dapat dilihat dari gambar di bawah ini.

Pada mulanya, pelepasan obat dari SPC adalah yang paling lambat dan mempunyai dispersi yang buruk. Begitu pula dengan Super-SEDDS jika dibandingkan dengan SEDSS-konvensional. Tetapi persentasi kumulatif dari pelepasan SPC adalah 80,2 + 2,8 %, yang secara signifikan lebih tinggi daripada bubuk Scutellarin, yaitu sebesar 70,1 + 3,2%. Ini diperkirakan terjadi karena efek kelarutan pada fospolipid. Lipid yang dapat dicerna dalam SEDDS akan menghasilkan asam lemak selama lipolisis yang akan memudahkan dalam pembentukan dan penggabungan obat dalam empedu-garam-lemak (misel) yang akan meningkatkan kelarutan. Sebaliknya, tidak terdapat lipid dalam bubuk Scutellarin akan menyebabkan pengendapan.Dalam studi ini, ditemukan strategi baru untuk mengatasi kekurangan SEDDS-konvensional melalui kombinasi dari fospolipid kompleks dan super-SEDDS. SPC harus disiapkan terlebih dahulu untuk meningkatkan liposolubility dari Scutellarin.

3. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian, SEDDS yang mengandung SPC mempunyai sifat yang lebih baik daripada yang mengandung Scutellarin bubuk, sehingga dirancang untuk mencapai dispersi obat yang baik meskipun dalam dosis efektif. Super-SEDDS (200% S(eq)) dan SEDDS-konvensional (50%S(eq)) menunjukkan peningkatan disolusi pada uji invitro dan absorbsi intestinal exvivo dari Scutellarin. Selain itu, hasil dari uji invivo menegaskan bahwa hasil dari Super-SEDDS menunjukkan hasil terbaik dari semua formulasi. Jadi, Super-SEDDS yang mengandung SPC tidak hanya kombinasi sederhana dari SPC dan SEDDS, tetapi juga menyediakan suatu sistem penghantaran yang canggih untuk senyawa seperti Scutellarin dengan sifat sukar larut dalam air, liposolubility rendah, dan dosis yang tinggi. Sebagai alternatif potensial, tipe SEDDS ini diharapkan dapat memperbaiki kekurangan dari SEDDS-konvensional, khususnya untuk obat yang bersifat lipofilik dengan loading rate obat yang sempit.

BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanMasalah kelarutan yang rendah atau banyaknya obat yang sukar larut dalam air, saat ini sudah dapat diatasi. Dari kedua jurnal diatas dapat diketahui bahwa banyak metode yang digunakan untuk meningkatkan karakteristik tersebut. Upaya untuk meningkatkan disolusi obat dengan kelarutan terhadap air erat kaitannya dengan bioavaibilitas obat. Sehingga dengan meningkatnya bioavaibilitas obat maka tujuan dari biofarmasetika untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal dapat tercapai.

B. SaranPenelitian-penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengembangkan aspek biofarmasetika obat-obat tertentu sehingga memiliki klasifikasi BCS yang baik dan sesuai yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Biopharmaceutical Classification System (BCS). http://en.wikipedia.org/wiki/Biopharmaceutics_Classification_System. Diakses pada tanggal 22 Februari 2014

Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan

Kurniawan, Ricky. 2013. BIOPHARMACEUTICAL CLASSIFICATION SYSTEM (BCS). Universitas Pancasila : Jakarta

Martin, et all. 1990. Farmasi Fisik. Universitas Indonesia Press :Jakarta

Siti Sjamsiah, 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan Edisi kedua terjemahan dari Shargel, L.,Wu-Pong, S., and Yu, A.B.C., 1985., Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics, McGraw Hill, Boston., Airlangga University Press: Surabaya

Vaishali S. Kadam, 2013. Improvement Of Solubility And Dissolution Rate Of Pooorly Soluble Drug Carvedilol By Solid Dispersion Technique Using Combined Carriers. Department of Pharmaceutics, Indira College of Pharmacy, Vishnupuri, Nanded, Maharashtra : India

Zhou H, et all. 2013. A New Strategy for Enhancing the Oral Bioavailability of Drugs with Poor Water-Solubility and Low Liposolubility Based on Phospholipid Complex and Supersaturated SEDD. Huazhong University of Science and Technology, Wuhan : China