lp sle
DESCRIPTION
medikal caseTRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN
SYSTEMIC LUPUS ERYTEMATOSUS
1. PENGERTIAN
Lupus yang dalam bahasa latin berarti anjing hutan, diperkenalkan lebih kurang
seabad lalu. Saat itu dikira penyakit dengan kelainan kulit kemerah-merahan di wajah
(erythematosus) itu di sebabkan oleh gigitan anjing hutan. Secara medis, SLE merupakan
penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem tubuh. Pada penderita
Lupus, antibodi diproduksi berlebihan. Antibodi yang diibaratkan sebagai tentara di
suatu negara yang seharusnya melindungi rakyatnya (organ tubuh) dari musuh (penyakit)
malah bekerja salah arah, menyerang rakyatnya sendiri karena tidak dapat mengenali
jaringan tubuhnya sendiri. Sistem kekebalan tubuh penderita lupus biasanya menjadi liar
dan merusak organ tubuh sendiri, di antaranya kulit, syaraf, otot dan persendiaan, mata,
jantung, darah, hati, ginjal, dan paru.
SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan penyambung difus yang
etiologinya tidak diketahuinya. SLE ini merupakan penyakit multisistem autoimun,
ditunjukkan dengan sirkulasi autoantibodi yang terus-menerus sehingga terbentuk suatu
komplek imun. Autoantibodi ini berasal dari berbagai jenis autoantigen. Ahli medis
mengemukakan pendapat berdasarkan diagnosis dan berbagai bentuk dan gejala yang
ringan sampai parah dan mengakibatkan kematian.
2. ETIOLOGIFaktor utama masih tidak dapat di kenal pasti. Berkemungkinan besar terjadi
daripada faktor genetik, jangkitan kuman atau virus, Obat-Obatan dan juga sinaran
Ultraviolet. Wanita mempunyai peratus yang tinggi berbanding lelaki menghidap
penyakit ini. Ia bukanlah penyakit keturunan tetapi risiko untuk mendapat adalah tinggi
sekiranya mempunyai gabungan gen tertentu. Bagi wanita yang berusia dalam
lingkungan 15 hingga 50 tahun iaitu di peringkat usia yang boleh melahirkan anak
mempunyai risiko yang paling tinggi.
3. FAKTOR RESIKO Faktor Genetik
Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya
tidak diketahui. Faktor keturunan ini frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga
dimana terdapat anggota keluarga dengan penyakit tersebut. Penemuan terakhir
menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki
kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus.
Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan
menderita penyakit ini. Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga
bisa diderita oleh pria.Dimana frekuensi kejadian pada wanita dewasa 8 kali lebih sering
dari pada pria dewasa. Lupus bisa menyerang usia berapa saja, akan tetapi lebih sering
terjadi pada usia 20 – 40 tahun.
Faktor Hormon
Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering
menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi atau
selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin
berperan dalam timbulnya penyakit ini sedangkan hormon androgen mengurangi risiko
terjadinya SLE.
Sinar Ultra violet
Sinar ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang
efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
maupun secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
Sistem Imunitas
Pada pasien SLE terdapat hiperaktifitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.
Obat – obatan
Obat tertentu dalam persentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum
dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat ( drug indused lupus
erythematosus atau DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan lupus obat adalah:
- Obat yang pasti menyebabkan lupus obat: klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.
- Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus obat: dilantin, penisilinamin, dan
kuinidin.
- Hubungannya belum jelas: garam emas, antibiotik, dan griseofulvin.
Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang – kadang penyakit ini
kambuh setelah infeksi.
Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada paisen yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini.
4. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari SLE biasanya dapat membingungkan, terutama pada awalnya.
Gejala yang paling sering adalah atritis simetris atau atralgia, gangguan ini dapat
ditemukan pada sekitar 90% dari seluruh kasus, seringkali sebagai manifestasi awal.
Sendi-sendi yang paling tersering adalah sendi-sendi prosikmal tangan, pergelangan
tangan, siku, bahu, lutut, dan pergelangan kaki. Hal ini akan berlangsung secara kronik
dan akan berkembang menjadi hiperekstensi pada bagian proximal dan fleksi di bagian
distal persendian. Poliartritis SLE berbeda dari artritis reumatoid karena jarang bersifat
erosif atau menimbulkan deformitas. Nodula subkutan juga jarang ditemukan pada
penyakit lupus eritematosus sistemik. Gejala -gejala konstitusional adalah demam, rasa
lelah, lemah, dan berkurangnya berat badan. Gejala ini terutama pada masa aktif,
sedangkan pada masa remisi (non-aktif) menghilang. Pada kulit, yang khas terjadi adalah
ruam merah membentang antara kedua pipi dan dan bentuknya seperti kupu-kupu
(butterfly rash). Bercak merah bentuknya menyerupai cakram, dapat muncul di kulit
mana saja. Bercak tersebut menonjol, kadang-kadang bersisik. Pleuritis dapat timbul
akibat proses peradangan kronik dari SLE. Selain itu juga dapat menyebabkan karditis
yang menyerang miokardium,endokardium,atau perikardium. Kira-kira 65% dari
penderita SLE akan mengalami gangguan pada ginjal, tetapi hanya 25% yang menjadi
berat. Nefritis lupus diketahui dengan melakukan pemeriksaan adanya protein dan sel
darah merah atau silinder di dalam air kemih. Untuk mendapatkan suatu diagnosis pasti
mungkin perlu dilakukan biopsi ginjal.
SLE juga dapat menyerang sistem saraf pusat atau perifer. Gejala -gajala yang
dditimbulkan meliputi perubahan tingkah laku (depresi, psikosis), kejang-kejang,
gangguan saraf otak, dan neuropati perifer. Perubahan -perubahan pada sistem saraf pusat
sering berkaitan dengan bentuk penyakit yang ganas dan sering kali bersifat fatal.
5. PATOFISIOLOGITerlampir
6. MANIFESTASI KLINIS
Pada awal mulanya, SLE mungkin hanya meliputi satu sistem organ, (manifestasi
tambahan terjadi pada tahap selanjutnya, mungkin akan terjadi pada berbagai sistem).
Autoantibodi ditemukan pada awal mula perkembangan penyakit dan tingkat keparahan
dimulai dari ringan, berulang-ulang, menetap dan mencapai keparahan. Gejala sistemik
yang menonjol meliputi: fatigue,malaise, demam, anoreksia, dan turunnya berat badan.
1. Manifestasi Muskuloskeletal.
Sebagian besar pasien mengalami Arthralgias dan Myalgias. Lalu akhirnya
berkembang menjadi inerrnitteniarthritis. Nyeri fisik juga seringkali ditemukan
terutama persendian pada interphalang proximal (PIP) dan metacarpophagal (MCP)
pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Bengkak pada tangan dan kaki dan terlihat
tenosinovitis. Kelainan bentuk pada persendian jarang ditemukan, hanya terdapat pada
10% dari pasien seperti kelainan bentuk seperti leher angsa pacUi jari-jari dan
penyimpangan ulnair pada persendian metacarpophngeal. Jarang terjadi erosi pada
penderita SLE, akan tetapi sering terjadi nodul subkutan. Proses peradangan pada
Myopati (selama penyakit masih aktif), hipokalemia, glukokortikoid pada penderita.
2. Manifestasi Cutaneus
“Butterflay Rush” bersama erythematosus rush adalah fotosensitisasi dari
manifestasi cutaneus SLE meliputi daerah pipi, hidung, kadang juga terdapat pada
dagu dan telinga yang mungkin berkembang menjadi telangiektasis. Hal ini
predominan pada daerah yang terpapar sinar matahari dan menandakan atau
mengindentifikasi proses penyebaran penyakit. Kehilangan/kerontokan rambut,
pertumbuhan kulit kepala yang tidak sehat terjadi secara bertahap hingga akhirnya
meluas. Rambut biasanya akan tumbuh kembali pada lesi akibat SLE tetapi hal ini
tidak terjadi pada lesi yang diakibatkan oleh Discoid Lupus Erythematosus.DLE
terjadi pada 20% penderita SLE dan dapat mengakibatkan kecacatan. Ketika lesi
mengenai pusat pertumbuhan dengan permanent dari anggota badan. Lesi pada DLE,
berbentuk sirkular atau melingkar dengan kemerahan berskala,follikular plugging dan
telangiektasis. Hal ini terjadi pada daerah kulit kepala, telinga, wajah, daerah yang
terpapar sinar matahari, ketiak, punggung dan leher. Hanya 5% dari pasien dengan
DLE dapat berkembang menjadi SLE. Sedangkan lesi di kulit pada SLE meliputi
Urtikaria, bullae, eritema multiforme, lichen planus dan panniculitis (Lupus
profundus). Pasien dengan Subakut Cutaneus Lupus Erythematosus (SCLE) jelas
terkena dermatitis yang meluas yang seringkali disertai arthritis dan fatigue. Tetapi
tidak di sertai gangguan sistem saraf pusat dan ginjal. Beberapa pasien denagn
Antinuclear Antibodi Negatif (ANA-) sebagian memiliki antibodi untuk Ro (SS-A)
atau stranded tunggal (SS) DNA. Lesi pada kulit yang fotosensitisasi dan
papulosquamos psoriaform terjadi di daerah ketiak, batang tubuh dan wajah tetapi
tidak ada bekas lukanya. Pasien dengan SLE dan DLE dapat berkembang menjadi lesi
di kulit yang meliputi purpura, nodul subkutan, nailfold infares, ulser, vaskulitis
urticaria, paniculitis dan gangren yang dangkal, ulser kecil yang menyakitkan di mulut
dan hidung tapi terutama terjadi pada pasien SLE.
3. Manifestasi Ginjal
Umumnya pasien dengan SLE mempunyai kelebihan globulin di glomelurus tetapi
hanya satu setengahnya yang berhubungan dengan klinis dari nefritis yang disebut
proteinuria. Pada awalnya penyakit ini merupakan asimtomatis bahkan beberapa
menyebabkan sindrom edema nefrotik. Pada pemeriksaan urin menujukan adanya
hematuria, cylinduria, dan proteinuria. Umumnya pasien dengan nefritis yang
proliferatif yang memelihara fungsi ginjal. Pasien dengan nefritis yang proliferstif
menyebabkan gagal ginjal jika tidak mendapatkan pengobatan sebab nefritif yang
lama menyebabkan imunosupresi yang agresif dengan meningkatkan obat
glukokortikoid dan sitotoksik. Pasien dengan fungsi renal yang memburuk dan adanya
endapan urin membutuhkan terapi yang cepat. Terapi bioksi (pengambilan caiaran
dalam tubuh) dalam ini tidak dibutukan kecuali jika gagal dalam merespon. Namun
pasien denagn peningkatan kreatin diserum harus dibioksi. Peningkatan sekresi
glumelurus dalam biopsi menunjukkan bahwa pasien tidak mungkin untuk merespon
terhadap adanya imonosupresi dan memungkinkan untuk dialisis atau transplantasi.
4. Manifestasi Sistem Saraf
Sistem saraf beberapa daerah di otak juga terpengaruh adanya SLE seperti di
mengies, spinalcord, serta kranial maupun perifer. Sistem saraf pusat, sedikit banyak
akan mengalami perubahan ketika SLE aktif di dalam sistem organ. Gangguan
kognitif sering menjadi manifestasinya, pusing, lemah, kejang dan kadang-kadang
migren. Masalah yang jarang terjadi biasanya adalah psikosis disorientasi gangguan
selaput mielin, penyakit cerebrovaskuler, disfungsi otonom pendarahan subarakoid.
Depresi dan kecemasan juga sering terjadi.
Diagnosa laboratorium dari CNS lupus. Abnormal pada elektroencepalogram
terjadi kira-kira 70% pada pasien dengan gangguan neorologis dan biasanya
menunjukan masalah fokal. Caiarn cerebrospinal menunjukkan peningkatan protein
hingga 50% dan peningkatan mononuklear sel pada 30% pada pasien serta terjadi
sintesis imonoglubulin. Pemeriksaan resonansi magnetik atau MRI (magnetic
resonance imaging ) bisa digunakan sebagai tehnik untuk mendeteksi adanya lesi akut
atau kronik dari SLE namun perubahan yang terjadi sering tidak spesifik. Pasien
dengan lesi neurologis menghasilkan nilai positif terhadap nilai ini. Komputed
tomografi (CT)scar, sangat berguna untuk mendeteksi adanya perdarahan dan lesi.
Angeogram dapat mendeteksi adanya fosolitis hambatan vaskuler dan emboli mereka
tidak dapat divisualisasikan pada pembuluh darah lebih kecil dari 50um vaskulitis
pada lupus biasanya terdiri dari pembuluh darah yang lebih sehingga tidak dapat
divisulisasikan oleh Ctscan. Terkadang memeriksaan laboratorium terhadap aktifitas
penyakit jarang berhubungan dengan manifestasi nerologis. Masalah nerologis
biasanya meningkat dengan terapi imonosupresif, serta adanya kekambuhan juga
sering terjadi pada sepertiga yang mengalami SLE.
5. Manifestasi Sistem Vaskuler
Trombosis yang terjadi di berbagai ukuran pembuluh darah dapat menjadi masalah
utama. Vaskulitis juga dapat menimbulkan terjadinya trombosis, di mana terdapat
peningkatan antibodi yang melawan phospolipid Lupus Antikoagulan (LA),
Antikardiolipin (aCL) tanpa menimbulkan inflamasi. Emboli pada serebral sepertinya
juga ditimbulkan oleh lesi pada Endokarditis Libmann Sack. Sebagai tambahan sistem
vaskuler yang mengalami degenerasi dapat menyebabkan terganggunya pembentukan
sistem imun kompleks oleh darah itu sendiri dan juga timbul hiperlipidemia dari terapi
glukokortikoid, di mana hal tersebut bisa menimbulkan degenerasi pada serebral dan
penyakit aerteri koroner pada pasien lupus.
6. Manifestasi Hematologik
Anemia yang parah dapat terjadi pada pasien lupus yang aktif. Hemolisis
(pelepasan Hb) jarang terjadi (hanya terjadi bila pasien memiliki hasil positif terhadap
Test Combs). Test Combs nerupakan test yang dilakukan untuk mendeteksi antibodi
terhadap sel-sel darah merag dengan bantuan antiglobulin. Hal ini bisa terjadi akibat
tingginya dosis glukokortikoid yang diberikan. Kasus-kasus lain juga bisa disebabkan
oleh spienectomy (perlubangan pada limpa). Leukopenia sering terjadi tapi tidak
berhubungan dengan terjadinya infeksi berulang dan tidak membutuhkan pengobatan.
ituTrombositopeni ringan juga sering terjadi, tapi untuk trombositopeni berat dengan
pendarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien dan harus segera diobati dengan
glukokortikoid dosis tinggi. Hasil jangka pendek dapat dicapai dengan pemberian
obat-obat cytotoxic, cyclosporine, danuzole, dan atau splenectomi perlu
diperhitungkan.
Manifestasi klinis dari aCL dan LA adalah trombositopenia, aliran balik vena
terhambat atau tersumbatnya arteri, dan penyakit katup jantung. LA dengan
hipoprotrombinemia atau trombositopenia, sering terjadi pendarahan. Pendarahan juga
diakibatkan karena menurunnya faktor pembentuk antibodi (VIII, IX). Sindrom
pendarahan ini terjadi akibat respon berlebihan terhadap glukokortikoid.
7. Manifestasi Kardiopulmonari
Gejala yang biasa timbul dari sistem kardiovaskuler adalah jantung berdebar, pada
kelainan jantung yang lanjut, kaki menjadi bengkak. Pengumpulan cairan di selaput
kantung jantung kadang-kadang bisa hebat, sampai membahayakan penderita.
Penyempitan atau pengerutan pembuluh darah yang mendarahi anggota gerak dapat
terlihat sebagai jari tangan atau kaki yang kadang-kadang menjadi pucat atau kebiru-
biruan. Perikarditis merupakan manifestasi yang paling sering muncul oleh karena
SLE ini, kadang-kadang disertai efusi. Myokarditis umumnya menyebabkan aritmia,
kematian mendadak, atau gagal jantung. Kerusakan katup disertai atau tanpa
Endukarditis Libmann Sack. Lesi pada katup tersebut bisa dideteksi dengan
pemeriksaan ekokardiografi transesofageal. Infrak myokard biasanya timbul karena
penyakit degeneratif atau karena adanya peradangan pada pembuluh darah atau
jantung itu sendiri.
Efusi pleura juga merupakan manifestasi dari SLE. Lupus Pneumonitis
menyebabkan demam, dysnea dan batuk. Sinar X mampu menunjukkan bagian yang
mengalami kerusakan/atelektasis. Sindrom ini merupakan respon terhadap
glukokortikoid, namun pada sebagian besar kasus disebabkan oleh infeksi. Hal ini
menyebabkan fibrosis pada interstitil pada hipertensi pulmonal jarang ditemukan pada
kasus SLE. Manifestasi pada paru dapat menimbulkan angka kematian tinggi bila
disertai dengan ARDS (Acute Distress Syndrom) dan pendarahan masif intraalveolar
8. Manifestasi Gastointestinal
Gejala yang biasa timbul dari sistem gastrointestinal adalah sakit perut,mual,
muntah, diare, atau sukar buang air besar. Peradangan pada usus merupakan
manifestasi yang sangat berbahaya, ditunjukkan denagn adanya nyeri abdomen,
muntah dan diare. Perforasi usus dapat terjadi karena adanya suatu tindakan
pembedahan. Sinar X mampu menunjukkan adanya edema. Pembedahan juga dapat
menunjukkan adanya obstruksi. Glukokortikoid merupakan salah satu terapi untuk
sistem GI ini. Beberapa pasien mengalami motilitas yang kacau karena tidak
berfungsinya steroid. Pankreatitis akut dapat terjadi karena pemakaian terapi
Glukokortikoid dan Azathioprine yang berlebihan. Selain pankreatitis, amilase juga
dapat menyebabkan peradangan pada kelenjar saliva, sedangkan transaminase serum
pada pasien SLE aktif tanpa kerusakan hati yang berat dapat mengembalikan pasien
itu ke keadaan normal.
9. Manifestasi Okular (mata)
Gangguan pada penglihatan dapat disebabkan oleh lupus atau Kortikosteorid dan
anti malaria yang digunakan pada pengobatan Lupus. Gangguan ini meliputi radang
pada mata, glukoma, katarak, gangguan penglihatan , dan air mata yang terhambat.
Peradangan pada retina adalah manifestasi klinis yang serius dan dapat menyebabkan
kebutaan. Pemeriksaan dapat dilakukan pada selaput, arteriol retina, dan hadan cytoid
sampai pada otot mata. Abnomarlitas pada mata lainnya adalah konjungtivitas,
episkleritis, optik neuritis dan sindrom sicca.
Tanda –tanda dari gangguan penglihatan adalah gangguan pada kelopak mata,
keluar lendir dari mata, pandangan kabur, sensitif pada cahaya, sakit kepala, mata
merah, air mata kuning dan kering.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan yang tampak pada pemeriksaan laboratorium adalah anemia hemolitik dan
normositer, leukopenia, trombositopenia, peninggian laju endap darah,
hiperglobulinemia dan bila terdapat sindrom nefrotik, albumin akan rendah.
Proteinuria yang biasanya bersifat gross proteinemia merupakan gejala penting.
Tes sel LE
Sel LE merupakan sel fagosit yang mengandung homogenous cosinophills inclusion.
Sel ini terbentuk apabila sel leukosit diinkubasikan dengan serum penderita LE. Sel
LE terdiri atas granulosit neutrofilik yang mengandung bahan nuklear basofilik yang
telah difagositosis dan segmen nuklearnya berpindah ke perifer.
Antibody Antinuclear (ANA)
Pemeriksaan antibodi antinuklear termasuk pemeriksaan pembantu dalam
menevaluasi hasil laboratorium. Antibodi antinuklear positif pada lebih dari 95%
penderita SLE. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibody yang
mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya
ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibody spesifik. Pola
ANA dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa di bawah lampu
ultraviolet. Walaupun pada gangguan neumatologik lain dapat juga menyebabkan
hasil ANA positif, tetapi antibodi anti-DNA jarang ditemukan kecuali pada SLE.
Lupus Band Test
Pada pemeriksaan imunofloresens langsung dapat dilihat pita terdiri atas deposit
granuler immunoglobulin G,M,atau A dan komplemen C3 pada taut epidermal-
dermal yang disebut lupus band. Caranya disebut Lupus Band Test, spesimen
diambil dari kulit yang normal. Tes tersebut positif pada 90-100% kasusu SLE dan
90-95% kasus LED.
Antibodi-anti DNA
Antibody yang bereaksi dengan native DNA dapat dideteksi dengan aktivasi
komplemen, difusi gen dan tehnik lain. DNA komersial mengandung double strand
dan single strand. Antibody terhadap DNA double strand spesifik terhadap SLE.
Sedang antibodi terhadap DNA single strand positif tehadap SLE juga positif
terhadap skleroderma, arthritis rhematoid, dermatomiositis dan hepatitis kronik aktif.
8. PENATALAKSANAAN
Ada dua kategori obat yang dapat digunakan dalam pengobatan lupus, yaitu
golongan kortikosteroid dan golongan selain kortikosteroid. Golongan kortikosteroid
merupakan obat utama penyakit lupus. Untuk kelainan kulit diberikan dalam bentuk
topikal (salep, krem, atau cairan). Untuk lupus ringan digunakan kortikosteroid dalam
bentuk tablet dosis rendah. Bila lupus sudah dalam kondisi berat, digunakan
kortikosteroid dalam bentuk tablet atau suntikan dosis tinggi.
Obat golongan selain kortikosteroid biasanya merupakan pelengkap obat
kortikosteroid. Di antara obat golongan ini adalah antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
untuk mengatasi keluhan nyeri dan bengkak sendi; obat antimalaria (kloroquin/resochin,
dihidroksi kloroquin/plaquenil) untuk mengatasi gejala penyakit pada kulit, rambut, nyeri
otot dan sendi, bahkan untuk odapus dengan gejala ringan; dan obat imunosupresif
macam siklofostamid untuk kondisi yang disertai gangguan ginjal, azatioprin yang
merupakan obat pendamping kortikosteroid agar kebutuhan kortikosteroid dapat
dikurangi, dan klorambusil.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri,
kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra
diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi
hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.
B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa 1 : Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas
/dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai;
teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik
penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri
sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk
memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
Diagnosa 2 : Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa
nyeri, depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang
diperlukan untuk mengubah.
Intervensi :
a. Beri penjelasan tentang keletihan :
hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara
melaksanakannya
mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air
hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)
menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan
emosional
menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga
kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
d. Rujuk dan dorong program kondisioning.
e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.
Diagnosa 3 : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang
gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan
fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
Meningkatkan pemakaian alat bantu
Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.
Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi
Diagnosa 4 : Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan
ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik
yang ditimbulkan enyakit.
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan
penanganannya.
b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.
Diagnosa 5 : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi
barier kulit, penumpukan kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
b. Hilangkan kelembaban dari kulit
c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan
kompres hangat yang terlalu panas.
d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilyn E.1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Smeltzer. Suzanne C.2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda Juall.1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 6 Alih Bahasa
Yasmin Asih. Jakarta : EGC.