systemiclupuserythematous (sle)

26
i RESPONSI KASUS SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOUS ( SLE) Oleh : Vikneshwaran Muthusamy (0802005174) Pembimbing : Prof.Dr.dr.Tjokorda Raka Putra,SpPD-KR DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2017

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

i

RESPONSI KASUS

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOUS

( SLE)

Oleh :

Vikneshwaran Muthusamy (0802005174)

Pembimbing :

Prof.Dr.dr.Tjokorda Raka Putra,SpPD-KR

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

2017

Page 2: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan responsi kasus yang berjudul

“Systemic Lupus Erythematous (SLE)” tepat pada waktunya. Penulisan tugas ini

merupakan salah satu prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah.

Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal

hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini,

kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof.Dr.dr.Tjokorda Raka putra,SpPD-KR, selaku pembimbing laporan ini

atas bimbingan, saran, dan masukan selama penyusunannya.

2. Dokter-dokter residen yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas

bimbingan dan saran-sarannya.

3. Rekan-rekan dokter muda yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas

bantuannya dalam penyusunan laporan kasus ini.

Kami menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, untuk

itu saran dan kritik yang membangun, sangat kami harapkan demi perbaikan tugas

serupa di waktu berikutnya. Semoga tugas ini juga dapat memberi manfaat bagi

pihak yang berkepentingan.

Denpasar, September 2017

Penulis

Page 3: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

KATA PENGANTAR...................................................................................... ii

DAFTAR ISI..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1

BAB II LAPORAN KASUS............................................................................. 2

2.1 Identitas Pasien................................................................................ 2

2.2 Anamnesis........................................................................................ 2

2.3 Pemeriksaan Fisis............................................................................ 4

2.4 Pemeriksaan Penunjang................................................................... 6

2.5 Diagnosis Kerja................................................................................ 10

2.6 Terapi............................................................................................... 11

BAB III PEMBAHASAN................................................................................. 12

3.1 Definisi............................................................................................. 12

3.2 Faktor Resiko................................................................................... 1.3

3.3 Patofisiologi..................................................................................... 15

3.4 Manifestasi Klinis............................................................................ 16

3.5 Diagnosis......................................................................................... 25

3.6 Terapi............................................................................................... 28

3.8 Prognosis.......................................................................................... .30

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Sistemik Lupus Eritematous (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun

yang menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat

sistem kekebalan tubuh salah menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga

merupakan penyakit multi-sistem dimana banyak manifestasi klinis yang didapat

penderita, sehingga setiap penderita akan mengalami gejala yang berbeda dengan

penderita lainnya tergantung dari organ apa yang diserang oleh antibody tubuhnya

sendiri. Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah skin rash, arthritis,

dan lemah. Pada kasus yang lebih berat, SLE bisa menyebabkan nefritis, masalah

neurologi, anemia, dan trombositopenia.

SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja

penyakit ini angka kejadiannya didominasi oleh perempuan dimana perbandingan

antara perempuan dan laki-laki adalah 10 : 1. SLE menyerang perempuan pada

usia produktif, puncak insidennya usia antara 15-40. Di Indonesia sendiri jumlah

penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan

jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus

Indonesia).

Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan

induksi remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada

perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka

pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing

individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita

SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria,

kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat obat-

obat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi,

monoklonal antibodi, dan transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi

penelitian para ilmuwan.

Page 5: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

2

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Definisi

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun multisystem di

mana organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan yang dimediasi oleh

autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks imun. Gambaran klinis SLE dapat

berubah, baik dalam hal aktivitas penyakit maupun keterlibatan organ.

Imunopatogenesis SLE kompleks dan sejalan dengan gejala klinis yang beragam.

Tidak ada mekanisme aksi tunggal yang dapat menjelaskan seluruh kasus, dan kejadian

awalyangmemicunyamasihbelumdiketahui.1,2

Sesuai dengan teori, pada kasus ini juga terdapat penglibatan multisystem yaitu

system mukokutan (malar rash), muskoloskeletan (arthritis), hematology (anemia),

neurology (serebri) dan ginjal (nefritis).

3.2 Epidemiologi

Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia. Di

AS,angka yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 – 0,1% dari populasi, namun

didapatkan angka yang berbeda pada berbagai laporan. Beberapa ras, seperti kaum

kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan Hispanik, berisiko lebihtinggi

terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang lebih parah. Prevalensi SLE di

seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS; penyakit ini kelihatannya

lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan di antara keturunan kulit

hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada keturunan kulit hitam di Afrika.

SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun sering dimulai pada usia dekade

kedua hingga keempat; beberapa studi menunjukkan puncak kedua kasus baru

pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi jenis kelamin cukup jelas; SLE berkembang

pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali lipat daripada pria dengan usia

yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai empat kali lebih sering

daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan pria adalah 8:1.1,2,3,4

Page 6: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

3

Sesuai dengan teori yang mengatakan SLE lebih sering pada jenis kelamin

perempuan, kasus ini juga adalah perempuan. Sesuai dengan studi yang

mengatakan puncak kedua SLE pada usia sekitar 50, kasus ini berumur 48 tahun.

3.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi

SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLA-

DRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan faktor

lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon

imunyang abnormal.1,2.3

3.3.1 Faktor Genetik

SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel HLA-

DRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara kerentanan gen,

pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan, menghasilkan respons imun abnormal.

Respons imun mencakup hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit T dan B dan

regulasi antigen dan respons antibodi yang tidak efektif. Hiperreaktivitas sel T dan

B ditandai dengan peningkatan ekspresi molekul permukaan seperti HLA-D

danCD40L, menunjukkan bahwa sel mudah teraktivasi oleh antigen yang

menginduksi sinyal aktivasi pertama dan oleh molekul yang mengarahkan sel ke

aktivasi penuh melalui sinyal kedua. Hasil akhir anomali ini adalah produksi

autoantibodi patogen dan pembentukan kompleks imun yang mengikat jaringan

target, menghasilkan (1)sekuestrasi dan destruksi Ig-coated circulating cells; (2)

fiksasi dan cleaving protein komplemen, dan (3) pelepasan kemotaksin, peptida

vasoaktif, dan enzim destruktif ke jaringan. Banyak autoantibodi pada orang dengan SLE

yang ditujukan pada kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosom,

beberapa jenis RNA nukleus, dan RNA spliceosomal. Selama apoptosis antigen

bermigrasi ke permukaandan fosfolipid membran berubah orientasi sehingga

bagian antigen menjadi dekat dengan permukaan. Molekul intrasel yang

meningkat selama aktivasi atau kerusakan sel bermigrasi ke permukaan sel.

Antigen yang dekat dengan atau terdapat di permukaan sel ini dapat mengaktivasi

sistem imun untuk menghasilkan autoantibodi. Pada individu dengan SLE,

fagositosis dan penghancuran sel apoptotik dan kompleks imun tidak mumpuni.

Page 7: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

4

Jadi, pada SLE, antigen tetap tersedia; dipresentasikan dilokasi yang dikenali oleh

sistem imun; dan antigen, autoantibodi, dan kompleks imun bertahan dalam jangka

waktuyanglebih lama,memungkinkankerusakanjaringanterakumulasi pada titik kritis.2,3

Sejak hampir 50 tahun yang lalu telah dikenali suatu antibodi yang melawan

konstituen sel normal. Antibodi ini dapat ditemukan dalam serum pasien dengan

lupus. Serum pasien dengan lupus dapat dikenali dari keberadaan antibodi di

serum terhadap antigen nukleus (antinuclearantibodies, atau ANA).

Selain ANA, masih terdapat autoantibodi lain yang dapat dapat ditemukan pada

pasien dengan SLE, misalnya anti-dsDNA, anti-Sm, anti-Ro, dan lain-lain. Daftar

berbagai autoantibodi yang dapat ditemukan pada pasien dengan SLE, prevalensi,

antigen target, dan kegunaan klinisnya dapat dilihat pada table berikut.1,3

Pada kasus ini ditemukan tes antinuclearantibodies, atau ANA yang positif.

3.3.2FaktorLingkungan

Di antara pencetus aktivitas penyakit lupus, sinar ultraviolet merupakan faktor

yang paling dikenal. Mekanisme aksinya dapat mencakup induksi epitop antigen didermis

atau epidermis, pelepasan materi inti oleh sel kulit yang dirusak oleh cahaya, atau

disregulasi sel imun kulit. Berbagai faktor lingkungan lain juga terlibat dalam

lupus. Pengobatan seperti prokainamid, hidralazin, dan minosiklin dapat

menyebabkan lupus eritematosus yang diinduksi obat, penyakit yang mirip

dengan SLE. Mungkin yang paling menarik adalah beberapa obat antirematik

dapat menginduksi penyakit yang tampilan klinis dan serologisnya mirip SLE.

Bahan kimia, khususnya senyawa amino aromatik, dikenal sebagai penyebab

lupus-like syndromes. Sindrom ini lebih mirip dengan lupus yang diinduksi

obatdaripada SLE dan menghilang setelah pajanan berakhir. Laporan mengenai

pengaruh geografis pada lupus masih belum mengkonfirmasi faktor lingkungan

ini.3

Asam amino esensial L-canavanine dicurigai sebagai penyebab lupus. Pajanan

terhadap asam amino ini menyebabkan manifestasi singkat autoimun pada

manusia,seperti juga telah terbukti pada kera. Keberadaan fitoestrogen diajukan

sebagai penjelasan untuk peningkatan kejadian SLE selama 30 tahun terakhir.

Page 8: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

5

Agen infeksius dapat berperan dalam aktivasi penyakit. Jika pasien mengidap

SLE, infeksi yang umum terjadi pada saluran napas atau saluran kemih seringkali

diikuti dengan cetusan aktivitas penyakit. Studi pada hewan menunjukkan bahwa

retrovirus dapat menginduksi fenomena autoimun mirip SLE. Kasus SLE

meningkat sejalan dengan pajanan kimiawi, kecelakaan, atau trauma fisik dan

psikologis. Belum ada pola yang jelas dalam kemunculan SLE, dan kausalitas

hubungan ini masih spekulatif.2,3

Pada kasus ini, sinar ultraviolet merupakan faktor pencetus yang jelas karena

menurut anamnesis, pasien mengeluh ruam atau kemerahan pada mukanya

menjadi berat dengan paparan pada sinar matahari. Pada pasien ini juga terjadi

infeksi yaitu pneumonia. Sesuai dengan teori, antara infeksi yang sering terjadi

adalah infeksi yang melibatkan salur pernafasan, yaitu pneumonia.

3.3.3 Pengaruh Hormonal

Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai penyebab SLE.

Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia produktif,

peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan risiko yang sedikit lebih tinggi

pada wanita pascamenopause yang menggunakan suplementasi estrogen.

Walaupun hormon seks steroid dipercaya sebagai penyebab SLE, namun studi

yang dilakukan oleh Petri dkk menunjukkan bahwa pemberian kontrasepsi

hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya peningkatan aktivitas penyakit

pada wanita penderita SLE yang penyakitnya stabil.3

3.4 Patofisiologi

Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase

puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel

secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai

agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada

manusia, namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki

oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam

menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan

Page 9: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

6

cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dan generasi kompleks imun, (2)

berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi fungsi

efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara langsung menginduksi

kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel hidup. Fase

puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk melawan

sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi

selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit,

termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.2,3,4

3.5. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu

waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai tambahan,

perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke

sedang hingga parah atau bahkanmembahayakan hidup. Karena perbedaan multisistem dari

manifestasi klinisnya, lupus telah menggantikan sifilis sebagai great imitator .1,2,3,4,5

Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan sampai sedang dengan

gejala kronis, diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara bertahap atau

tiba-tiba. Pada sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan

aktivitas penyakit dan remisi klinis sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang,

pasien mengalami episode aktif SLE singkat diikuti dengan remisi lambat.

Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama, walaupun SLE

dapat menyebabkan berbagai gejala dan tanda, tidak semua gejala dan tanda pada

pasien dengan SLE disebabkan oleh penyakit tersebut. Banyak penyakit,

khususnya penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek samping

pengobatan, khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus

dibedakan dengan gejala dan tanda SLE. 1,2,3,4,5

3.5.1 Manifestasi Konstitusional

Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif, namun penyebab

infeksius tetap harus dipikirkan, terutama pada pasien dengan terapi imunosupresi.

Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit, di mana peningkatan berat

badan, khususnya pada pasien yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi

Page 10: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

7

lebih jelas pada tahap selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala

yang paling umum dan seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit.

Penyebab pasti gejala-gejala ini masih belum jelas. Aktivitas penyakit, efek

samping pengobatan, gangguan neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik

terlibat dalam timbulnya gejala konstitusional. 1,4

Pada kasus ini dijumpakan gejala demam namun gejala ini mungkin juga

disebabkan oleh infeksi pneumonia. Penurunan badan juga ditemukan pada pasien

ini. Sesuai dengan teori yang mengatakan kelelahan dan malaise merupakan salah

satu gejala yang paling umum yang memperberat penyakit, gejala ini turut

ditemukan pada kasus ini.

3.5.2 Manifestasi Mukokutan

Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam yang

telah ada sebelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan

(exagerrated sunburn), atau gejala seperti gatal atau parestesis setelah terpajan sinar

matahari atausumber cahaya buatan. Fotosensitivitas sering ditemukan dan dapat

terjadi pada semua kelompok ras dan etnis, walaupun belum ada studi mengenai

prevalensinya dipopulasi umum. Ruam berbentuk kupu-kupu yang khas, yaitu

ruam kemerahan di area malar pipi dan persambungan hidung yang membagi

lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai malar rash atau butterfly rash. Ruam ini

dapat ditemukan pada 20-25% pasien. Gejala ini dapat meningkat dan sangat

meradang, bertahan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Gejala ini

hilang tanpa jaringan parut. Plak eritematosa dengan adherent scale dan

telangiektasis umumnya terdapat di wajah, leher, dan kulit kepala. Lupus kutis

akut dalam bentuk eritema inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pajanan sinar

ultraviolet. Lesi lupus subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit yang

terpajan sinar matahari dalam waktu lama (lengan depan, daerah V di leher) tanpa

pajanan sinar matahari dalam waktu dekat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo

reticularis, eritema periungual, eritema palmaris, nodulpalmaris, vesikel atau bula,

urtikaria akut atau kronik, panniculitis, purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis. 1,2,3

Alopesia dapat timbul akibat lesi pada kulit kepala, namun biasanya muncul pada

puncak SLE. Alopesia bersifat reversibel, kecuali jika terdapat lesi diskoid

Page 11: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

8

dikepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus dibedakan dari

infeksi virus maupun jamur. Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat

disebabkan oleh inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan saliva, yang

mungkin tumpang tindih dengan sindrom Sjögren. Umumnya mata dan mulut

kering merupakan efek samping pengobatan.4,5

Pada kasus ini ditemukan manifestasi mukokutan. Sesuai dengan teori, pada

pasien ini ditemukan fotosensitivitas, yaitu eksaserbasi ruam dengan pajanan pada

sinar matahari. Pada kasus ini juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu (malar

rash atau butterfly rash) pada bahagian pipi dan hidung pasien. Alopesia juga

ditemukan pada pasien ini yang mengeluh rambutnya yang sering rontok waktu

menyikat rambut.

3.5.3 Manifestasi Muskuloskeletal

Artritis SLE biasanya meradang dan muncul bersamaan dengan sinovitis dan

nyeri, bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah

deformitas Jaccoud yang menyerupai artritis reumatoid namun berkurang dan

tidak terbukti secara radiologis menyebabkan destruksi kartilago dan tulang.

Kelemahan otot biasanya merupakan akibat terapi glukokortikoid atau antimalaria,

namun myositis dengan peningkatan enzim otot jarang ditemukan dan biasanya

merupakan gejala yang tumpang tindih. Tenosinovitis dan bursitis jarang

ditemukan. Ruptur tendon dapat merupakan komplikasi terapi glukokortikoid.

Osteonekrosis (nekrosisavaskular) dapat disebabkan oleh penyakit maupun efek

pengobatan gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput femoris, kaput humoral,

lempeng tibia, dan talus. Artralgia dan mialgia merupakan gejala lain yang sering

ditemukan, dapat disebabkan oleh penyakit, efek samping pengobatan,

glucocorticoidwithdrawalsyndrome, endokrinopati, dan faktor psikogenik. 1,2,3

Pada kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri pada sendi jari pada kedua

tangan yang tidak disertai dengan gangguan pergerakkan. Ini sesuai dengan

manifestasi muskuloskletal yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non erosive

dan non deforming arthritis.

Page 12: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

9

3.5.4 Manifestasi Kardiovaskular

Perikarditis merupakan gejala khas, dengan nyeri substernal posisional dan

terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi, atau

dalam kasus kronik penebalan dan fibrosis perikardium. Tamponade atau

hemodinamik konstriktif jarang ditemukan, namun dapat diinduksi oleh

karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun harus dicurigai pada pasien

dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan EKG minimal, aritmia,

atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat mengakibatkan kardiomiopati

dilatasi, dengan tanda gagal jantung kiri.5

Endokarditis trombotik nonifeksi (Libman-Sacks) jarang dan seringkali

tidak menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan disfungsi katup mitral atau

katup aorta atau embolisasi. Arteriosklerosis prematur dengan angina pektoris dan

infark miokardium merupakan sumber mortalitas dan morbiditas jangka panjang

yang paling serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid kronik,

menopause prematur, serta faktor diet dan gaya hidup dapat menyebabkan

arteriosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang diinduksi dingin pada jari, sering

ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel di tangan dan kaki sering

tumpang tindih dengan skleroderma. Gambaran patologis yang sama pada

sirkulasi paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang

namun seringkali fatal. Sebagian besar cedera vaskular trombotik pada pasien

SLE dimediasi oleh antibodi antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30%

pasien SLE. aPL dapat menyebabkan trombosis arteri dan vena spontan pada

semua ukuran pembuluh darah. Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi

protein C dan protein S, faktor V Leiden, dan antitrombin III dapat menyebabkan

terjadinya trombosis, namun defisiensi faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan

terjadinyatrombosis vena dibanding trombosis arteri.

3.5.5 Manifestasi Paru

Pleurisy sering ditemukan pada SLE. Nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi

dengan bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian

lain mungkin hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru,

Page 13: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

10

pneumonitis atau alveolitis, dan dibuktikan dengan batuk, hemoptisis, serta

infiltrate paru jarang terjadi namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan

alveolus difus dapat timbul dengan atau tanpa pneumonitis akut dan memiliki

angka mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitis lupus kronik dengan perubahan

fibrotik pada paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan perjalanan yang

progresif dan prognosis yang buruk. Penyakit paru restriktif juga dapat

diakibatkan oleh perubahan pleuritik jangka panjang, miopati, atau fibrosis otot

pernapasan, termasuk diafragma, dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli

paru rekuren disebabkan oleh antibody antifosfolipid harus disingkirkan pada

pasien dengan gejala paru yang tidak dapat dijelaskan.2,4

3.5.6 Manifestasi Ginjal

Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan

patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali

tidak menimbulkan gejala sampai glomerulonefritis membranoproliferatif difus

agresif yang menuju gagal ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan temuan

minimal, termasuk proteinuria ringan dan hematuria mikroskopik; sindrom

nefrotik, dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia, edema perifer,

hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi; atau sindrom nefritik, dengan hipertensi,

sedimen eritrosit atau kristal eritrosit pada sediaan sedimen urin, dan penurunan

laju filtrasi glomerulus progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan uremia.5

Pada kasus ini ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan

proteinuria 25,00 mg/dL dan leucocyte pada urin 25,00 Leu/µL.

3.5.7 Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik

Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan terkadang

merujuk pada SLE neuropsikiatrik atau serebritis lupus. Pasien dapat memiliki

manifestasi obyektif seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang,

khorea, ataksia, stroke, dan mielitis transversa. Pada pasien seperti ini diagnosis

dapat didukung oleh temuan abnormal pada analisis cairan serebrospinal, seperti

peningkatan kadar protein, pleiositosis, dan/atau autoantibodi karakteristik; pada

Page 14: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

11

CT scan atau MRI, dapat ditemukan lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea;

atau bahkan pada biopsi leptomeningeal, dengan bukti inflamasi. Gambaran

alternatif lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor, yaitu psikosis. Pada kasus

ini, cairan serebrospinal dan pencitraan menunjukkan hasil normal, dan diagnosis

banding dari penyakit psikogenik primer dan/atau reaksi obat sangat sulit untuk

ditentukan. Masalah lain adalah gangguan kognitif dan kepribadian ringan. Sakit

kepala sering ditemukan dengan intensitas yang beragam. Sakit kepala lupus yang

berat dan menyerupai migren yang hanya responsif terhadap glukokortikoid

merupakan kasus yang jarang. Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi dan

dapat menggambarkan vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark.1 ,5

Pada pasien ini disuspek lupus serebri karena penurunan kesadaran.

3.5.8 Manifestasi Gastrointestinal

Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, khas

untuk pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan

komplikasi abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan dengan

terapi,yaitu NSAID dan/atau gastropati terkait glukokortikoid. Duodenitis dapat

menimbulkan gejala. Pada kasus jarang, vaskulitis usus dapat menimbulkan

kegawatan bedah akut. Terkadang, pankreatitis dapat merupakan gejala penyakit

atau merupakan efek pengobatan. Peningkatan enzim hati terkadang dihubungkan

dengan hepatitis noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat dibedakan dengan

hepatitis autoimun melalui gambaran histologis. Peningkatan enzim hati juga

dapat disebabkan oleh penggunaan NSAID, azatrioprin, atau metotreksat, dan

penggunaan jangka panjang glukokortikoid yang dapat menyebabkan perlemakan

hati dengan peningkatan transaminase ringan.4

3.5.9 Manifestasi Hematologi

Splenomegali dan limfadenopati difus sering merupakan temuan yang sering

namun nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat

disebabkan oleh hemolisis, dengan hasil tes Coombs positif, kadar haptoglobin

rendah, dan kadar laktat dehidrogenase tinggi, atau dengan mielosupresi.

Mekanisme tidak langsung mencakup penurunan sintesis eritropoietin dan

Page 15: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

12

mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus. Hal ini dapat diperberat dengan

perdarahan ringan kronik dan ketidakcukupan asupan makanan. Leukopenia dan

limfopenia sangat sering terjadi namun jarang mencapai kadar kritis. Studi oleh Ng

dkk menghubungkan limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi pada

pasien SLE. Leukositosis dapat disebabkan oleh glukokortikoid. Trombositopenia

ringan (100000 sampai 150 000/ μl) dapat disebabkan oleh antibodi antifosfolipid.

Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50 000/ μl), disebabkan oleh

antibodiantiplatelet, dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya mungkin

didiagnosis sebagai purpura trombositopenik idiopatik. 1,4,5

Pada kasus ini deitemukan kelainan atau manifestasi hematologic sesuai dengan

gambaran yang sering ditemukan pada pasien SLE. Pada kasus ini, ditemukan

gejala anemia dengan nilai haemoglobin yang rendah.

3.5.10 Manifestasi Mata

Eksudat dan infarks retina (badan sitoid) relatif jarang dan merupakan temuan

nonspesifik. Konjungtivitis dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada

penyakit aktif. Mata kering dapat menunjukkan tumpang tindih dengan sindrom

Sjögren. Kebutaan singkat atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optik

atau oklusi arteri atau vena retina. 3,4,5

3.5.11 LateLupusSyndrome

Sindrom ini disebabkan oleh kerusakan organ tahap akhir akibat SLE dan

efek samping pengobatan, khususnya akibat penggunaan glukokortikoid jangka

panjang. Sindrom ini dikenali dengan penyakit arteriosklerotik luas, atrofi kulit,

osteoporosis,osteonekrosis, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik, insufisiensi

adrenal, gangguan kognitif, depresi, dan deconditioning. Keadaan ini dapat

membatasi long-termsurvival dan kualitas hidup pasien. 1

3.5.12 Tampilan Khusus Lupus Eritematosus Sistemik

3.5.12.1 Lupus Eritematosus Kutis Subakut

Page 16: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

13

Gambaran klinis lupus eritematosus kutis subakut adalah lesi papuloskuamosa,

psoriasiform, ruam anular. Lesi ini umumnya ditemukan pada bagian tubuh yang

terpajan matahari. Artritis dan serositis dapat ditemukan dan umumnya terjadi

secara episodik. Anti-Ro (SSA) dan anti-La (SSB) sering ditemukan pada

kelompok pasien dengan lupus eritematosus kutis subakut. 4

3.5.12.2 Lupus Neonatus

Segera setelah lahir, bayi dari ibu dengan anti-Ro (SSA) dapat mengalami

sindrom artritis, erupsi kulit fotosensitif, alopesia, serositis, sitopenia, dan pada

kasus yang jarang dapat ditemukan gangguan konduksi jantung, termasuk blokade

jantung. Sejalan dengan waktu, antibodi dari ibu akan hilang dan digantikan oleh

antibody bayi, penyakit akan menghilang, namun gangguan konduksi mungkin akan

menetap.3

3.5.12.3 Lupus Eritematosus Diinduksi Obat

Hidralazin dan prokainamid merupakan senyawa tersering yang menyebabkan

lupuseritematosus yang diinduksi obat. Senyawa ini tidak menyebabkan

peningkatan aktivitas penyakit bila diminum oleh pasien dengan SLE.3

3.5.12.4 Sindrom Antibodi Antifosfolipid

Sindrom ini ditandai dengan tromboemboli vena dan/atau arteri rekuren dan

komplikasi obstetrik, umumnya retardasi pertumbuhan intrauterus dan

kematian janin. Biasanya dapat ditemukan gejala lain seperti trombositopenia

sedang, livedoreticularis, migren, dan endokarditis Libman-Sacks. Keberadaan

antibodiantifosfolipid dapat dibuktikan dengan tes ELISA untuk antibodi

antikardiolipin(ACL). 1,2,3,4,5

3.5.12.5 OverlapSyndromes

Sindrom tumpang tindih atau overlap syndromes tersering adalah penyakit jaringan

ikat campuran (Mixed connective tissue disease, atau MCTD), SLE dengan sindrom

Sjögren, SLE dengan skleroderma, SLE dengan tiroiditis, dan SLE dengan anemia

hemolitik mikroangiopati.1,3,4

Page 17: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

14

3.5.13 Temuan Laboratorium

Uji laboratorium bertujuan untuk (1) menegakkan atau menyingkirkan diagnosis;

(2)mengikuti perkembangan penyakit; dan (3) mengidentifikasi efek samping

terapi.

Pemeriksaan darah rutin akan menunjukkan bukti inflamasi sistemik, seperti

anemia normositik normokrom (anemia pada penyakit kronik) dan trombositosis.

Pada SLE lebih sering ditemukan leukopenia dan limfopenia. Pemeriksaan fungsi

ginjal biasanya normal pada awal penyakit, walaupun nefritis lupus telah terjadi,

namun urinalisis dapat menunjukkan proteinuria dan hematuria mikroskopik.

Sedimen eritrosit merupakan tanda glomerulonefritis berat. Pemeriksaan fungsi

hati biasanya normal. Petanda inflamasi yang sering dipakai adalah laju endap

darah(LED) dan protein reaktif C (C-reactive protein, atau CRP). LED dapat

meningkat pada penyakit berat. Peningkatan CRP biasanya lebih ringan pada SLE

dibandingpada penyakit infeksi. 1,2,3,4,5

Untuk kepentingan diagnostik, autoantibodi terpenting adalah ANA karena tes ini

positif pada > 95% pasien, biasanya pada awitan gejala. Kadar antibodi IgG

terhadap DNA untai ganda yang tinggi merupakan pemeriksaan yang spesifik

untuk SLE. Antibodi terhadap Sm juga spesifik untuk SLE dan mengarahkan

diagnosis; antibodi anti-Sm biasanya tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit

atau manifestasi klinis. aPL tidak spesifik untuk SLE, namun keberadaannya

memenuhi salah satu kriteria dan dapat mengidentifikasi pasien dengan risiko

penggumpalan vena atau arteri, trombositopenia, dan kematian janin.

Uji autoantibodi tambahan dengan nilai prediktif (tidak digunakan

untuk diagnosis) dapat mendeteksi anti-Ro. Wanita usia produktif dengan SLE

harus menjalani pemeriksaan aPL dan anti-Ro.

Kadar komplemen rendah, khususnya C3, C4, dan CH50 (komplemen

hemolitik total), penting untuk diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit.

Kadar C4 yang rendah dapat menggambarkan aktivitas penyakit, namun juga

Page 18: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

15

dapat menggambarkan defisiensi produksi parsial, sedangkan C3 rendah

menggambarkan aktivasi komplemen.

Cairan serebrospinal dapat menunjukkan pleiositosis dan peningkatan kadar

protein, dan antobodi antiribosom P dan antineutron dapat ditemukan walaupun

kadar dalam serum negatif.3,4

Biopsi tidak bermakna untuk evaluasi kulit dan ginjal. Biopsi kulit menunjukkan

gambaran deposisi kompleks imun dan produk komplemen pada perhubungan

dermis-epidermis dengan pola granular. Biopsi ginjal menunjukkan derajat

keparahan penyakit dan dapat digunakan untuk panduan pengobatan. Pemeriksaan

mikroskop imunofluoresens dan elektron penting untuk interpretasi gambaran

histopatologis ginjal yang benar. 1,2,3,4,5

Pada tes darah rutin pasien ini ditemukan kelainan hematologi, seperti anemia

normositik normokrom (anemia pada penyakit kronik). Petanda inflamasi yang

sering dipakai yaitu laju endap darah(LED) yang biasanya meningkat pada

penyakit berat juga ditemukan meningkat pada pasien ini. Autoantibodi yang

terpenting untuk diagnosis SLE yaitu antinuclear antibody juga adalah positif

pada pasien ini.

3.6 Diagnosis

Lupus eritematosus sistemik biasanya dimulai dengan gejala dan tanda

nonspesifik atau spesifik, namun dapat juga bermanifestasi pertama dengan

memar, splenomegali, neuritis perifer, mioendokarditis dan endokarditis,

pneumonitis interstisial, meningitis aseptik, atau tes Coombs positif. Keberadaan

anemia (71%), leukopenia (56%), trombositopenia (11%), proteinuria, hematuria,

piuria, azotemia, hipergammaglobulinemia, kompleks imun, krioglobulin,

antibodi antifosfolipid, dan Biologic False-Positive Serologic Test for Syphilis juga

membuat seseorang dicurigai SLE. Anak-anak cenderung lebih banyak mengidap

penyakit ginjal; pasien yang berusia lebih tua saat awitan lebih jarang mengalami

ruam, artritis, dan penyakit ginjal namun lebih sering mengalami

keratokonjungtivitis Sicca (sindrom Sjörgen); serta lelaki lebih sering mengalami

serositis dan lebih jarang mengalami artritis. 1,2,3,4,5

Page 19: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

16

Kriteria yang umum digunakan untuk klasifikasi dan diagnosis adalah kriteria

American Rheumatism Association (ARA). Sensitivitas dan spesifisitas kriteria ini

sekitar 96% ketika dihubungkan dengan sindrom rematik lain. Bagaimanapun,

nilai prediktif kriteria ini lebih rendah. Pasien dapat dinyatakan sebagai bukan

SLE (tidak memenuhi kriteria atau hanya memenuhi satu kriteria), possible SLE

(hanya memenuhi dua kriteria), probableSLE (hanya memenuhi 3 kriteria), atau

definite SLE (memenuhi setidaknya empat kriteria). 1,2,3,4,5

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (Sumber: Harrison’s

PrinciplesofInternalMedicine,17 th edition)

Malar rash

Fixed erythema, flat or raised, over the malar eminences

Discoid rash

Erythematous circular raised patches with adherentkeratotic scaling and follicular

plugging; atrophic scarringmayoccur

Photosensitivity

Exposure to ultraviolet light causes rash

Oral ulcers

Includes oral and nasopharyngeal ulcers, observed byphysician

Arthritis

Nonerosive arthritis of two or more peripheral joints, withtenderness, swelling, or

effusion

Serositis

Pleuritis or pericarditis documented by ECG or rub orevidence of effusion

Renal disorder

Proteinuria >0.5 g/d or ≥3+, or cellular casts

Neurologic disorder

Seizures or psychosis without other causes

Hematologic disorder

Hemolytic anemia or leukopenia (<4000/µL) or lymphopenia (<1500/µL) or

thrombocytopenia(<100,000/µL) in the absence of offending drugs

Immunologic disorder

Page 20: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

17

Anti-dsDNA, anti-Sm, and/or anti-phospholipid

Antinuclear antibodies

An abnormal titer of ANA by immunofluorescence or anequivalent assay at any

point in time in the absence of drugsknown to induce ANAs

If ≥4 of these criteria, well documented, are present at any time in a patient's

history, the diagnosis is likely to be SLE. Specificity is ~95%: sensitivity is ~75%.

Gambar 1. Alur Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (Sumber: Harrison’s

PrinciplesofInternalMedicine,17 th edition)

Page 21: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

18

Pada pasien ini didiagnosa sebagai SLE karena memenuhi kriteria diagnosis SLE

yaiti lebih daripada 4 kriteria daripada 11 kriteria yang dinyatakan diatas. Kriteria-

Page 22: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

19

kriteria yang telah dipenuhi oleh pasien ini adalah malar rash pada bagian wajah,

fotosensitivitas (kemerahan yang memberat dengan eksposur pada cahaya

matahari), non-erosive arthritis pada sendi lutut, renal disorder (protein di uria

sebanyak 25,00 mg/dl), hematologic disorder (anemia), neuropsychiatry disorder

(lupus serebri) dan penemuan anti-nuclear test, ANA yang positif. Pasien ini

memenuhi 7 daripada 11 kriteria diagnosis sehingga boleh digolongkan dalam

kategori definite SLE.

3.7 Penatalaksanaan

Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah

mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan

atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan

tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang

intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ

dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan

obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas. 6

Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif.

Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang

signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini

memperkuat pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas tidur.

Selama periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan luas

gerakan dari persendian.

3.7.1 Terapi Farmakologi.

Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila

diperlukan, NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu

mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh

NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Pada beberapa keadaan

tidak disarankan pemberian agen selektif COX-2 karena dapat meningkatkan

resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap pasien bervariasi, penting

untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang paling efektif

dengan efek samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah tidak

Page 23: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

20

enak perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya

diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping. Kadang-

kadang, obat yang mencegah ulser bisa diberikan bersamaan, seperti misoprostol

Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi peradangan dan

mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid lebih berguna

terutama bila organ dalam juga terkena. Kortikosteroid bisa diberikan peroral,

injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau diberikan intra vena.

Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek samping yang serius bila diberikan

dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari

penyakitnya untuk menurunkan dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari

kortikosteroid adalah penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah

membengkak, katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian yang besar. 1,3,4

Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang ditemukan efektif untuk

pasien SLE dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi. Efek samping termasuk

diare, tidak enak perut, dan perubahan pigmen mata. Perubahan pigmen mata

jarang, tetapi diperlukan, monitor oleh ahli mata selama pemberian obat ini.

Ditemukan bahwa obat ini mengurangi frekwensi bekuan darah yang abnormal

pada pasien dengan SLE. Jadi, obat ini tidak hanya mengurangi kemungkinan

serangan dari SLE, tetapi juga berguna untuk mencegah pembekuan darah

abnormal yang luas. 1,2,6

Untuk penyakit kulit yang resisten, obat anti malaria lainnya, seperti

chloroquine atau quinacrine bisa diberikan, dan bisa dikombinasikan dengan

hydroxychloroquine.

Pengobatan alternatif untuk penyakit di kulit adalah dapsone dan asam retinoat

(Retin-A)2,3,5.

Pengobatan immunosupresan digunakan pada pasien dengan manifestasi SLE

berat dan kerusakan organ dalam. Contohnya adalah methotrexate, azathioprine,

cyclophosphamide, chlorambucil dan cyclosporine. Semua immunosupresan

menyebabkan jumlah sel darah menurun dan meningkatkan resiko terjadinya

infeksi dan perdarahan. Efek samping lainnya berbeda pada tiap obat.

Methotrexate menyebabkan keracunan hati, cyclosporine bisa mengganggu fungsi

ginjal. 6

Page 24: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

21

Tahun-tahun belakangan, mycophenolate mofetil digunakan sebagai obat yang

efektif terhadap SLE, khusunya bila dikaitkan dengan penyakit ginjal. Obat ini

menolong dalam mengembalikan dari keadaan lupus renal disease dan untuk

mempertahankan remisi setelah stabil. Efek samping yang lebih sedikit

membuatnya lebih bermanfaat dibandingkan pengobatan imunosupresan yang

tradisional.6

Pada pasien SLE dengan penyakit otak dan ginjal yang serius, plasmapharesis

(mengeluarkan plasma dan menggantikannya dengan plasma beku yang spesifik)

kadang-kadang dibutuhkan untuk menghilangkan antibodi dan bahan-bahan

imunitas lainnya dari darah untuk menekan imunitas. Pada beberapa pasien SLE,

hal ini bisa menyebabkan tingkat platelet yang sangat rendah yang meningkatkan

resiko perdarahan spontan dan luas. Karena spleen dipercaya sebagai tempat

penghancuran platelet yang utama, operasi pengangkatan spleen kadang kala

dilakukan untuk meningkatkan jumlah platelet

Kerusakan ginjal stadium akhir akibat SLE membutuhkan dialisis atau

transplantasi ginjal. Sebagian besar penelitian menunjukkan keuntungan rituximab

dalam mengobati lupus. Rituximab intra vena, yaitu memasukkan antibodi yang

menekan sejumlah sel darah putih, sel B, dan menurunkan jumlahnya dalam

sirkulasi. Sel B ditemukan memainkan peranan penting dalam aktifitas lupus, dan

bila ditekan, penyakitnya memasuki masa remisi. 3,4,5

3.7.2 Terapi Non Farmakologi.

Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang melindungi

dari sinar matahari bisa efektif mencegah masalah yang disebabkan fotosensitif.

Penurunan berat badan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan kelebihan

berat badan untuk mengurangi beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketika

ada masalah dengan persendian.1,6

Pada pasien ini diberikan terapi dengan kortikosteroid sesuai teori. Kortikosteroid

yang diguna dalam kasus ini adalah methylprednisolone. Selain itu pasien juga

dinasehatkan agar melindungi dirinya daripada cahaya matahari.

3.8 Prognosis

Page 25: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

22

Angka 5-year survival dan 10-year survival SLE telah membaik selama beberapa

dekade terakhir. Penyakit ginjal telah dapat diterapi dengan lebih efektif, namun

SLE yang melibatkan sistem saraf pusat, paru, jantung, dan saluran cerna masih

merupakan masalah besar hingga saat ini. Prognosis untuk masing-masing

individu bergantung pada berbagai faktor, termasuk gejala klinis, sistem organ

yang terlibat, dan kondisi komorbid. Konsekuensi jangka panjang SLE, termasuk

pada late lupus syndrome, merupakan salah satu perhatian.

Angka bertahan hidup pada pasien SLE adalah 90 sampai 95% setelah 2 tahun, 82

sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun, dan 63 sampai

75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10 tahun)

dikaitkan dengan ditemukannya kadar kreatinin serum tinggi [>124 µmol/l (>1,4

mgdl)], hipertensi, sindrom nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g), anemia

[hemoglobin <124 g/l (12,4 g/dl)], hipoalbuminemia, hipokomplemenemia, dan

aPL pada saat diagnosis. Pasien yang menjalani terapi transplantasi ginjal

memiliki angka kejadian penolakan graft yang relatif tinggi (sekitar dua kali

pasien dengan penyebab lain gagal ginjal tahap akhir), namun secara umum angka

bertahan hidup pasien masih dapat diperbandingkan (85% setelah 2 tahun).

Nefritis lupus terjadi pada 10% ginjal yang ditransplantasi. Hendaya pada pasien

dengan SLE sering ditemukan terutama disebabkan oleh penyakit ginjal kronik,

kelelahan, artritis, dan nyeri. Sebanyak 25% pasien dapat mengalami remisi,

terkadang untuk beberapa tahun, namun jarang sekali bersifat permanen.

Penyebab mortalitas utama pada dekade pertama penyakit adalah aktivitas

penyakit sistemik, gagal ginjal, dan infeksi; selain itu, kejadian tromboemboli

semakin sering menjadi penyebab mortalitas.4,6

Prognosis pada kasus ini bisa digolongkan dalam kategori dubius ad malam

karena penglibatan system saraf pusat.

Page 26: SYSTEMICLUPUSERYTHEMATOUS (SLE)

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauseer SL, Jameson JL.

Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill;

2005.

2. Maidhof W, Hilas O. Lupus: An Overview of the Disease And

Management Options. P&T. Vol.37. No.4. April 2012.

3. Rahman A, Isenberg DA. Mechanisms of Disease Systemic Lupus

Erythematosus. N Engl J Med 2008;358:929-39

4. Ginzler E, and Tayar J. American College of Rheumatology. © 2012

American College of Rheumatology. (Updated January 2012)

5. Cervera R, Espinosa G, D’Cruz D. Systemic Lupus Erythematous:

Pathogenesis, Clinical Manifestation and Diagnosis. Eular On-line Course

on Rheumatic Diseases – module n°17. 2007-2009.

6. Beer MH, Fletcher AJ, Jones TV. The Merck Manual of Medical

Information. 2nd ed.