sle jadiii

25
A. Anatomi Fisiologi B. Pengertian Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibodi yang sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di tubuh, tetapi dalam keadaan autoimun, antibodi tersebut ternyata merusak organ tubuh sendiri. Organ tubuh yang sering dirusak adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, paru, otak, dan sistem pembuluh darah. Semakin lama proses perusakan terjadi, semakin berat kerusakan tubuh. Jika penyakit lupus melibatkan ginjal, dalam waktu lama fungsi ginjal akan menurun dan pada keadaan tertentu memang diperlukan cuci darah. (Dr. Samsuridjal Djauzi, 2009) Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002). C. Insidensi

Upload: enggar-susanti

Post on 14-Dec-2014

94 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

MAKALAH lUPUS

TRANSCRIPT

Page 1: SLE Jadiii

A. Anatomi Fisiologi

B. Pengertian

Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan

antibodi yang sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di

tubuh, tetapi dalam keadaan autoimun, antibodi tersebut ternyata merusak organ

tubuh sendiri. Organ tubuh yang sering dirusak adalah ginjal, sendi, kulit, jantung,

paru, otak, dan sistem pembuluh darah. Semakin lama proses perusakan terjadi,

semakin berat kerusakan tubuh. Jika penyakit lupus melibatkan ginjal, dalam waktu

lama fungsi ginjal akan menurun dan pada keadaan tertentu memang diperlukan cuci

darah. (Dr. Samsuridjal Djauzi, 2009)

Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES)

adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena

adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003).

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan

oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya

gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi

autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).

SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang

melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai

banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi

dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun

terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).

C. Insidensi

SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan

10:1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi        oleh

obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 – 64 tahun.

Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan

usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda – beda untuk tiap

etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000

populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di

Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand,

terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000

populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi

(Bartels, 2006).

SLE terutama terjadi pada wanita, dengan ratio pria:wanita adalah 9:1.

Awitan penyakit biasanya terjadi setelah masa pubertas, terutama pada dekade ke-2

Page 2: SLE Jadiii

dan ke-3. SLE lebih sering terjadi pada ras Afrika-Amerika dibandingkan pada ras

Kaukasian. Angka insidensi SLE yang pernah dilaporkan dari penelitian-penelitian

sebelumnya berkisar antara 1-10/100.000/tahun dan angka prevalensi antara 16-

70/100.000/tahun. Perbedaan ras mempengaruhi angka prevalensi dan manifestasi

klinis. Ras Hispanik, Afrika-Amerika dan Asia lebih cenderung memiliki manifestasi

klinik yang melibatkan system hematologis, serosa, neurologis dan ginjal. Angka

insidensi dan prevalensi SLE pada anak-anak cenderung lebih rendah dari pada

orang dewasa. Dari sebuah penelitian di Eropa dan Amerika Utara ditemukan bahwa

angka insidensi SLE pada anak-anak usia di bawah 16 tahun adalah kurang dari

1/100.000/tahun. Sedangkan angka prevalensi SLE pada anak-anak di Taiwan pada

tahun 1999 diperkirakan 6.3/100.000/tahun.

D. Klasifikasi

1. Penyakit Lupus Diskoid

Cutaneus Lupus atau sering disebut dengan discoid, adalah penyakit lupus

yang terbatas pada kulit. Klien dengan lupus diskoid memiliki versi penyakit yang

terbatas pada kulit, ditandai dengan ruam yang muncul pada wajah, leher, dan

kulit kepala, tetapi tidak memengaruhi organ internal. Penyakit ini biasanya lebih

ringan biasanya sekitar 10%-15% yang berkembang menjadi lupus sistemik.

2. Penyakit Lupus Sistemik

Pada sekitar 10% pasien lupus diskoid, penyakitnya berevolusi dan

berkembang menjadi lupus sistemik yang memengaruhi organ internal tubuh

seperti sendi, paru-paru, ginjal, darah, dan jantung. Lupus jenis ini sering

ditandai dengan periode suar (ketika penyakit ini aktif) dan periode remisi (ketika

penyakit ini tidak aktif). Tidak ada cara untuk memperkirakan berapa lama suar

akan berlangsung. Setelah suar awal, beberapa pasien lupus sembuh dan tidak

pernah mengalami suar lain, tetapi pada beberapa pasien lain suar datang dan

pergi berulang kali selama bertahun-tahun.

3. Drug Induced Lupus (DIL)

DIL atau dikenal dengan nama Lupus karena pengaruh obat. Jenis lupus ini

disebabkan oleh reaksi terhadap obat resep tertentu dan menyebabkan gejala

sangat mirip lupus sistemik. Obat yang paling sering menimbulkan reaksi lupus

adalah obat hipertensi hydralazine dan obat aritmia jantung procainamide, obat

TBC Isoniazid, obat jerawat Minocycline dan sekitar 400-an obat lain. Gejala

penyakit lupus mereda setelah pasien berhenti mengkonsumsi obat pemicunya.

4. Ada juga “Lupus neonatal” yang jarang terjadi. Kondisi ini terjadi pada bayi yang

belum lahir dan bayi baru lahir dapat memiliki ruam kulit dan komplikasi lain

Page 3: SLE Jadiii

pada hati dan darahnya karena serangan antibodi dari ibunya. Ruam yang

muncul akan memudar dalam enam bulan pertama kehidupan anak.

E. Etiologi

Sampai saat ini faktor yang merangsang sistem pertahanan diri untuk

menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman virus,

sinar ultraviolet dan obat-obatan tertentu memainkan peranan.

Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di

kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita

mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus

Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.

Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit

keturunan. Walau bagaimanapun, mewarisi gabungan gen tertentu meningkatkan

lagi risiko seseorang itu mengidap penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE).

Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan

dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat

dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara

kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%).

Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain

haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang

berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4,

dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin

(Albar, 2003).

Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang

mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan

sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE

juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang

mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak

terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan

dengan protein tubuh.  Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga

tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda

asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang

mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T

dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus

dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme

menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit

nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE   (Herfindal et al., 2000).

Page 4: SLE Jadiii

Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang

penyakit SLE dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T,

atau pada interaksi antara kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan

aktivasi sel-sel B poliklonal, akibatnya terjadi pembentukan autoantibodi secara

berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi patologik yang terbentuk akibat sistem imun

tubuh tidak dapat membedakan antara “self ” dan “nonself ”. Selain itu banyak faktor

lain yang berperan terhadap timbulnya penyakit LES, antara lain faktor genetik,

defisiensi komplemen, hormon, lingkungan, stress, obat-obatan dan faktor-faktor lain.

1. Genetik

Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan

gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major

Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan

DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar

daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain

menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen

HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita

yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi

anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop

HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.

2. Defisiensi komplemen

Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan

atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi

komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES

dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu yang

mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr,

Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus.

Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi

meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit

kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi

C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang

terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel

imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem

pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan

eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan

diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat

pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen,

Page 5: SLE Jadiii

eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi

berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.

3. Hormon

Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns

sedangkan estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita

dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam

patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron

mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat

penyakit.

4. Lingkungan

Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-

obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun.

Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan

ekspresi MHC kelas I atau II.

5. Obat-obatan

Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala klinik yang

menyerupai penyakit LES ini.  Obat-obatan yang telah disepakati berhubungan

erat dengan kejadian lupus ini diantaranya : Carbamazepine, Chlorpromazine,

Diphenylhydantoin, Ethosuximide, Hydralazine, Isoniazid, Methyldopa,

Penicillamine, Procainamide, Quinidine, dan Sulfasalazine. Obat-obat tersebut

diduga dapat bereaksi dengan antigen DNA atau histon dan menyebabkan

antigen-antigen tersebut menjadi lebih imunogenik.

6. Stres

Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti

halnya sistem yang mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi

dalam proses-proses fisiologis lain dan dimodifikasi oleh otak.  Faktor-faktor lain

seperti usia, neoplasia, gizi dapat berpengaruh terhadap penyakit autoimun.

Diduga faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan aktivasi poliklonal sel B.

F. Patofisiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang

menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi

ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana

terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan

lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti

hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat

antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam

Page 6: SLE Jadiii

penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan

produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal

sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan

menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus

tersebut berulang kembali.

G. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah

rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan

(Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia  umumnya

timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi

interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal,

siku, dan pergelangan kaki  (Delafuente, 2002).

Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak

menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu

(butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi.

Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada

bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena

hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% – 20% pasien

SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis  eritema periungual, livido retikularis,

alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).

Gejala SLE pada jantung  sering ditandai adanya perikarditis,  miokarditis,

gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis

Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak

faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan

kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko penyakit

jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002).

Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi

pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas,

dan batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas

yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan

(gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu

dapat pula terjadi  vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali

(Delafuente, 2002).

Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa

gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003).

Page 7: SLE Jadiii

Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan

stroke (Delafuente, 2002).

Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi

kronik pada sebagian besar pasien  saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji

Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya

limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh.

Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai

perdarahan dan purpura terjadi pada  5% pasien dan harus diterapi dengan

glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan

pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar

yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi

(Delafuente, 2002).

Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan  antibodi antifosfolipid.

Antikoagulan ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu tromboplastin parsial

(PTT) dan kegagalan penambahan plasma normal untuk memperbaiki perpanjangan

waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin (aCL) dideteksi dengan pemeriksaan

ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL  adalah trombositopenia, pembekuan darah

pada vena atau arteri yang berulang, keguguran berulang, dan penyakit katup

jantung. Bila AL disertai dengan hipoprotombinemia   atau   trombositopenia,   maka  

dapat   terjadi     perdarahan.

Gejala yang jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan (VIII,

IX); adanya antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga

perdarahan terjadi terus-menerus (Hahn, 2005). Pada wanita dengan SLE yang

mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan mempercepat penyebaran penyakit

selama kehamilan dan pada periode awal setelah melahirkan. Selain itu juga dapat

terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur. Kemungkinan terjadinya

preeklamsia  atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga dapat memperparah

penyakitnya (Delafuente, 2002). Gejala klinik  pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari

tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien SLE

sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis dapat dibagi menjadi

beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas I (normal/minimal

mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal proliferative), kelas IV (diffuse

proliferative), dan kelas V (membranous glomerulonephritis). Selama perjalanan

penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke kelas yang lain.

Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika – Amerika dapat terjadi

peningkatan serum kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan,

hipertensi, dan sindrom nefrotik yang persisten (Delafuente, 2002).

Page 8: SLE Jadiii

H. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus

Sistemik (LES) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil

pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik,

trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate

(ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG

mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat.

Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya

proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme

granular atau sel darah merah pada urin.

Page 9: SLE Jadiii

2. Antibodi Antinuklear

Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang

spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein ANA dapat diperiksa dengan

menggunakan metode imunofluoresensi. ANA digunakan sebagai pemeriksaan

penyaring pada connective tissue disease. Dengan pemeriksaan yang baik, 99%

penderita LES menunjukkan pemeriksaan yang positif

3. Antibodi terhadap DNA

Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi yang

reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif dengan

kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan

prognostik.

4. Pemeriksaan Komplemen 17

Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik.

Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi

aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai

mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen

merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan

bekerja secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade pembekuan

darah dan fibrinolisis.

Pada LES, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus

kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat

beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada

penderita dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih

dahulu dibanding gejala klinis.

I. Penatalaksanaan

1. Terapi Farmakologis

a. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID)

NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan

antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan

arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti

kegunaannya. Ibuprofen dan indometasin cukup efektif untuk mengobaati

SLE dengan arthritis dan pleurisi, dalam kombinasi dengan steroid dan

antimalaria. Keterbatasan obat ini adalah efeksamping pada saluran

pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. Cox2 dengan efek samping

yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini, sayang belum ada

penelitian mengenai efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari OAINS

Page 10: SLE Jadiii

adalah : reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis

aseptik.

b. Antimalaria

Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi

telah lama diketahui, dan obat initelah dianggap sebagai obat pilihan

pertama untuk SLE kulit terutama LE diskoid dan LE kutaneus subakut.

Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan antigen di makrofag

dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam

vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi netrfil, dam

metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan

mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin menghaambat reaksi kulit karena

sinar UV. Bebrapa penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat

menurunkan koSLEterol total, HDL dan LDL, pada penderita SLE yang

menerima steroid maupun yang tidak.

Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis

200-400mg/hari), klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin (100mg/hari).

Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih

ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada

saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah; efk sam ping lain adalah

timbulnya ruam, toksisitas retin, daan neurologis (jarang).

c. Kortikosteroid

Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekaanisme

antiinflamasi dan amunosuprefit. Dari berbagai jenis steroid, yang paling

sering digunakan adalah prednison dan metilprednisolon.

Pada SLE yang ringan (kutneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat

dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednison2,5 mg sampai 5

mg perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari

respon klinis. Pada SLE yang akut dan mengancam jiwa langsung diberikan

steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi

serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis, dermatitis

berat ataau SCLE, poliarthritis, poliserosistis, myokarditis, lupus

pneumonitis, glomeruloneftritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik,

neuropati perifer dan krisis lupus. Pada SLE aktif dan berat, terdapat

beberapa regimen pemberian steroid:

a. Regimen I: daily oral short acting (prednison, prednisolon, metilprednisolon),

dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi, lalu diturunkaan

secara bertahap (tapering) sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris.

Page 11: SLE Jadiii

Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk

manifestasi hemotologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas; 3-10 minggu

untuk glomerulonephritis.

b. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari, selama

3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin dapat

mengontrol penyakit lebih cepat dari pada terapi oral setiaap hari, tetapi efek

yang menguntungkan ini hanya bersifat sementara, sehingga tidak

digunakan untuk terapi SLE jangka lama.

c. Regimen III: kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik azayhioprine

atau cyclophosphamide.

d. Methoreksat

Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk

penyaakit rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat

alkilating atauazathrioprin. Methorekxate dosis rendah mingguan, 7,5-15

mg, eektif sebagai “steroid sprring agent” dan dapat diterima baik oleh

penderita, terutama pada manifestsi kulit dan mukulosketetal. Gansarge

dkk. Melakukan percobaan dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada

kegagalan steroid dan antimalaria.

Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah:lekopenia, ulkus oral,

toksisitas gastrointestinal, hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek samping

diperlukan pemeriksaan darah lengkap,tes fungsi ginjal dan hepar.pada

penderita dengan efek samping gastrointestinal,pemberian asam folat 5 mg

tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.

e. Imunosupresan atau sitostatik yang lain

1) Azathhioprine (Imuran AZA)

2) Cylophosphamide (chitokxan, CTX)

3) Chlorambucil (leukeran, CHL)

4) Cyclosporine A

5) Tacrolimus (FK506)

6) Fludarabine

7) Cladribine

8) Mycophenolate mofetil

f. Terapi hormonal

1) Dehidroxyepiandrosterone Sulfate (DHEAS)

2) Danazol

g. Pengobatan Lain

1) Dapsone

Page 12: SLE Jadiii

Dapsone, atau 4.4’- diaminophenylsulphone, bekerja dengan cara

mengganggu metabolisme folat dan menghambat asam para

aminobenzoat, dan menghambat jalur alternative komplemen serta

sitotoksisitas netrofil. Tersedia sejak lebih dari 50 tahun  yang lalu untuk

pengobatan lepra. Dapson ternyata efektif untuk pengobatan Lupus

eritematosus kutaneus. Leukopenia, dan trombositopenia pada SLE,

dengan  dosis 50-150 mg/hr. hampir semua penderita yang menerima

dapsone akan mengalami anemia hemolitik ringan yang biasanya

berhubungan dengan dosis.

2) Clofazimine (Lamprene)

Clofazimine adalah anti leprosi juga yang telah terbukti untuk LE

kutaneus yang refrakter. Digunakan dengan dosis antara 100 sampai

200 mg/hr. efek samping yang terutama adalah warna kulit yang

berubah menjadi pink atau coklat gelap, dan menjadi kering.

3) Thalidomide

Thalidomide dengan dosis50 sampai 100 mg/hr serta dosis

pemeliharaan 25 sampai 5o mg/hr, efektif untuk LE kutaneus refrakter.

Obat ini bekerja dengan menghambat TNF alfa. Obat ini

dikontraindikasikan pada kehamilan karena banyak laporan mengenai

terjadinya malformasi janin (fokomelia).

4) Immunoglobulin intravena

Immunoglobulin intravena (IVIg) bekerja dengan menghambat reseptor

Fc reikuloendotelial. Terapi ini berguna untuk mengatasi

trombositopenia iun, dan pada keadaan mengamcam jiwa, dengan

dosis 2 k/kgBB/hari. 5 hari berturut-turut setiap bulan. IVIg sangat

mahal, oleh karena itu hanya digunakan pada SLE yang resisten

terhadap terapi standar, atau pada keadaan SLE yang berat.

5) External Device

Terdapat beberapa teknik eksternal  yang kegunaannya pada SLE agak

terbatas, yaitu: plasmapheresis, photopheresis, immunoadsorption,

UVA1light (panjang gelombang: 340-400nm), and iradiasi limfoid total.

2. Terapi Non Farmakologis

a. Edukasi

Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SEL merupakan

penyakit yang kronis, dapat reda (remisi) dan kambuh (flare up). Penderita

perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai manifestasi klinis yang

Page 13: SLE Jadiii

mungkin dialami, tingkat keparahan yang berbeda-beda sehingga penderita

dapat memahami dan tidak merasa cemas yang berlebihan. Pada wanita

usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila

merencanakan punya anak, sebaiknya kehamilan terjadi saat remisi,

sehingga dapat mengurangi kemungkinan flare up dan risiko kelainan pada

janin maupun penderita selama hamil. Di samping itu penderita juga akan

menggunakan berbagai obat dalam jangka panjang, termasuk yang

berpotensi efek samping bermakna terhadap kondisi kesehatan seperti

steroid dan imunosupresan.

b. Dukungan sosial dan psikologis

Bisa diberikan oleh dokter, keluarga, teman dan peran peer group atau

support group. Saat ini kita mempunyai 2 organisasi pasien Lupus, yakni

Care for Lupus Yayasan Syamsi Dhuha di Bandung dan Yayasan Lupus

Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi

pasien, keluarga dan masyarakat mengenai Lupus.Selain itu mereka pun

memberikan advokasi dan bantuan finansial untuk pasien yang kurang

mampu dalam pengobatan.

c. Istirahat

Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang

cukup, sambil dipikirkan kemungkinan penyebab lain seperti hipotiroid,

fibromialgia dan depresi.

d. Tabir Surya

Sinar matahari mengeluarkan radiasi dalam 3 gelombang, yaitu gelombang

A, B dan C. Tetapi hanya gelombang A (UVA/”tanning”) dan B

(UVB/”burning”) yang berbahaya bagi pasien SLE. Efek dari sinar matahari

terhadap kulit dipengaruhi oleh kuantitas dan lamanya terpapar matahari.

Ada pasien yang tidak mengeluhkan apapun ketika 15 menit terpapar

matahari, dan keluhan baru terasa setelah 20 menit terpapar. Sinar

ultraviolet tetap ada walaupun ketika cuaca mendung, UVA muncul

sepanjang hari, sedangkan UVB (yang lebih berbahaya bagi pasien SLE)

terutama muncul sekitar jam 10 pagi sampai dengan jam 3 sore. Disarankan

untuk pasien SLE agar melakukan aktivitas diluar rumahnya pada pagi hari

(sebelum jam 10 pagi) atau sore hari (setelah jam 3 sore) untuk menghindari

periode puncak UVB. Beberapa obat yang meningkatkan sensitivitas

terhadap matahari diantaranya antibiotik yang mengandung sulfa dan

beberapa tetrasiklin. Penggunaan sunblock/tabirsurya penting bagi

penderita SLE. Pada tabir surya terteratulisan SPF (sun protection factor).

Page 14: SLE Jadiii

Tabir surya dengan SPF 15 artinya ketika memakai tabir surya tersebut

maka kita akan dilindungi 15 kali lebih baik dibandingkan yang tidak

memakai tabir surya. Tabir surya dengan SPF dibawah 15 memberikan

perlindungan yang kecil bagi penderita SLE, sedangkan tabir surya dengan

SPF diatas 30 dapat menyebabkan kulit menjadi kering, iritasi, atau gatal.

e. Olah Raga

Olah raga memegang peranan penting dalam penatalaksanaan SLE. Olah

raga dapat meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan fleksibilitas, dan

mencegah osteoporosis. Aktivitas berjalan kaki, berenang, dan bersepeda

bisa menjadi pilihan. Aktivitas olah raga bisa dimulai dengan berjalan kaki

selama 5 menit 2 kali seminggu, bertahap ditingkatkan sampai berjalan kaki

selama 1 jam setiap 3-5 kali/minggu.

f. Diet

Pasien SLE disarankan untuk mengkonsumsi makanan bernutrisi dan

memiliki kandungan gizi seimbang. Beberapa faktor yang berhubungan

dengan diet/makanan dan bisa mempengaruhi SLE dibagi dalam 2

kelompok, yaitu :

a. Faktor yang berhubungan dengan lupus

1) Minyak ikan memiliki efek antiinflamasi. Mengkonsumsi beberapa ikan

dalam seminggu sama dengan mengkonsumsi aspirin tambahan. Hal

tersebut memang tidak akan menyembuhkan penyakit, tetapi mungkin dapat

meningkatkan kesehatan secara keseluruhan. Minyak ikan dapat menjadi

makanan pengganti, tetapi minyak ikan dapat menimbulkan efek samping

iritasi lambung, dan dibutuhkan 8-10 kapsul/hari untuk menggantikan 1 ekor

ikan.

2) Pasien SLE juga harus menghindari mengkonsumsi tauge/kecambah.

Tauge/kecambah ini mengandung asam amino yaitu L-canavanine, yang

dapat meningkatkan inflamasi pada pasien penyakit autoimun.

b. Faktor yang berhubungan dengan obat-obatan

Berbagai macam obat digunakan dalam pengobatan SLE, tetapi hanya

beberapa yang memiliki efek terhadap diet. Kortikosteroid dapat

meningkatkan kadar gula darah, kadar kolesterol serum, trigliserida, dan

juga dapat meningkatkan tekanan darah. Oleh karena itu, pasien yang

mengkonsumsi steroid dengan dosis > 10mg prednisone/hari disarankan

untuk mengurangi konsumsi makanan yang mengandung gula, garam, dan

lemak.

g. Monitor ketat

Page 15: SLE Jadiii

Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila

terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga

meningkat sejalan dengan pemberian obat imunosupresan dan steroid.

Risiko kejadian penyakit kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga

meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko

seperti merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.

J. Pencegahan

Beberapa hal yang dapat membuat penderita penyakit lupus untuk memiliki

kehidupan yang lebih baik,dapat dilakukan dengan cara berikut ini :

1. Menghindari kelelahan dengan istirahat yang cukup dan hindari stres.

2. Pelajari sebanyak mungkin tentang penyakit lupus, karena penelitian

menunjukkan pasien-pasien yang aktif dalam pengobatan membutuhkan

kunjungan ke dokter dan gejala yang minimal.

3. Dukungan dari keluarga, sahabat, maupun menjadi anggota dari perkumpulan

lupus lokal.

4. Bersikap proaktif dalam manajemen stress. Aktivitas seperti meditasi dan yoga

dipercaya dapat menurunkan stres.

5. Olahraga yang teratur dan menghindari rokok, berhenti merokok pada penderita

telah lupus dibuktikan dapat mencegah komplikasi lupus pada sistem

kardiovaskuler seperti tulang dan otot.

6. Kurangi paparan terhadap sinar matahari,penderita lupus seringkali sensitif

terhadap cahaya matahari.

7. Kunjungan dari dokter yang teratur untuk mendeteksi perkembangan komplikasi

penyakit lupus maupun komplikasi dari pengobatanya.

8. Pasien hamil memiliki resiko keguguran sebesar 10% menurut statistik yang

dikemukakan Jhon Hopkins Arthritis Center. Menurut penelitian, hal ini

mungkin disebabkan oleh sindroma antibodi antifosfolipid.oleh karena itu pada

pasien hamil dengan lupus dapat dilakukan skrinning terhadap antbodi

antifosofolipid, dengan mengetahui adanya sindroma ini dapat dilakukan

penatalaksanaan berupa pemberian heparin atau aspirin. Tentunya dengan

pengawasan dokter kebidanan dan kandungan.

K. Komplikasi

1. Serangan pada ginjal :

a. Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)

b. Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)

Page 16: SLE Jadiii

c. Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin)

2. Serangan pada jantung dan paru :

a. Pleuritis

b. Pericarditis

c. Efusi pleura

d. Efusi pericard

e. Radang otot jantung atau miocarditis

f. Gagal jantung

g. Perdarahan paru (batuk darah)

3. Serangan sistem saraf

a. Sistem saraf pusat

Cognitive dysfunction

Sakit kepala pada lupus

Sindrom anti-phospholipid

Sindrom otak

Fibromyalgia

b. Sistem saraf tepi

Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki

c. Sistem saraf otonom

gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan

otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang

sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem

saraf otonom (7).

4. Serangan pada kulit

Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya

disebut lesi diskoid. Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam

pada akhir 70-an, yaitu :

a. Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif

terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult

subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau

lesi tidak berparut berbentuk koin.

b. Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup

area yang luas di bagian tubuh

c. Lesi non spesifik

d. Rambut rontok (alopecia)

Page 17: SLE Jadiii

e. Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan

ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi

borok

f. Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang

di sertai pusing.

5. Serangan pada sendi dan otot

a. Radang sendi pada lupus

b. Radang otot pada lupus

c. Serangan pada Mata

6. Serangan pada darah

a. Anemia

b. Trombositopenia

c. Gangguan pembekuan

d. Limfositopenia

7. Serangan pada hati

L. Asuhan Keperawatan

M. Pendidikan Kesehatan