Download - SLE Jadiii
A. Anatomi Fisiologi
B. Pengertian
Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan
antibodi yang sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di
tubuh, tetapi dalam keadaan autoimun, antibodi tersebut ternyata merusak organ
tubuh sendiri. Organ tubuh yang sering dirusak adalah ginjal, sendi, kulit, jantung,
paru, otak, dan sistem pembuluh darah. Semakin lama proses perusakan terjadi,
semakin berat kerusakan tubuh. Jika penyakit lupus melibatkan ginjal, dalam waktu
lama fungsi ginjal akan menurun dan pada keadaan tertentu memang diperlukan cuci
darah. (Dr. Samsuridjal Djauzi, 2009)
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES)
adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena
adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003).
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan
oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya
gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang
melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai
banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi
dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun
terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
C. Insidensi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan
10:1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi oleh
obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 – 64 tahun.
Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan
usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda – beda untuk tiap
etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000
populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di
Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand,
terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000
populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi
(Bartels, 2006).
SLE terutama terjadi pada wanita, dengan ratio pria:wanita adalah 9:1.
Awitan penyakit biasanya terjadi setelah masa pubertas, terutama pada dekade ke-2
dan ke-3. SLE lebih sering terjadi pada ras Afrika-Amerika dibandingkan pada ras
Kaukasian. Angka insidensi SLE yang pernah dilaporkan dari penelitian-penelitian
sebelumnya berkisar antara 1-10/100.000/tahun dan angka prevalensi antara 16-
70/100.000/tahun. Perbedaan ras mempengaruhi angka prevalensi dan manifestasi
klinis. Ras Hispanik, Afrika-Amerika dan Asia lebih cenderung memiliki manifestasi
klinik yang melibatkan system hematologis, serosa, neurologis dan ginjal. Angka
insidensi dan prevalensi SLE pada anak-anak cenderung lebih rendah dari pada
orang dewasa. Dari sebuah penelitian di Eropa dan Amerika Utara ditemukan bahwa
angka insidensi SLE pada anak-anak usia di bawah 16 tahun adalah kurang dari
1/100.000/tahun. Sedangkan angka prevalensi SLE pada anak-anak di Taiwan pada
tahun 1999 diperkirakan 6.3/100.000/tahun.
D. Klasifikasi
1. Penyakit Lupus Diskoid
Cutaneus Lupus atau sering disebut dengan discoid, adalah penyakit lupus
yang terbatas pada kulit. Klien dengan lupus diskoid memiliki versi penyakit yang
terbatas pada kulit, ditandai dengan ruam yang muncul pada wajah, leher, dan
kulit kepala, tetapi tidak memengaruhi organ internal. Penyakit ini biasanya lebih
ringan biasanya sekitar 10%-15% yang berkembang menjadi lupus sistemik.
2. Penyakit Lupus Sistemik
Pada sekitar 10% pasien lupus diskoid, penyakitnya berevolusi dan
berkembang menjadi lupus sistemik yang memengaruhi organ internal tubuh
seperti sendi, paru-paru, ginjal, darah, dan jantung. Lupus jenis ini sering
ditandai dengan periode suar (ketika penyakit ini aktif) dan periode remisi (ketika
penyakit ini tidak aktif). Tidak ada cara untuk memperkirakan berapa lama suar
akan berlangsung. Setelah suar awal, beberapa pasien lupus sembuh dan tidak
pernah mengalami suar lain, tetapi pada beberapa pasien lain suar datang dan
pergi berulang kali selama bertahun-tahun.
3. Drug Induced Lupus (DIL)
DIL atau dikenal dengan nama Lupus karena pengaruh obat. Jenis lupus ini
disebabkan oleh reaksi terhadap obat resep tertentu dan menyebabkan gejala
sangat mirip lupus sistemik. Obat yang paling sering menimbulkan reaksi lupus
adalah obat hipertensi hydralazine dan obat aritmia jantung procainamide, obat
TBC Isoniazid, obat jerawat Minocycline dan sekitar 400-an obat lain. Gejala
penyakit lupus mereda setelah pasien berhenti mengkonsumsi obat pemicunya.
4. Ada juga “Lupus neonatal” yang jarang terjadi. Kondisi ini terjadi pada bayi yang
belum lahir dan bayi baru lahir dapat memiliki ruam kulit dan komplikasi lain
pada hati dan darahnya karena serangan antibodi dari ibunya. Ruam yang
muncul akan memudar dalam enam bulan pertama kehidupan anak.
E. Etiologi
Sampai saat ini faktor yang merangsang sistem pertahanan diri untuk
menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman virus,
sinar ultraviolet dan obat-obatan tertentu memainkan peranan.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di
kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita
mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus
Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit
keturunan. Walau bagaimanapun, mewarisi gabungan gen tertentu meningkatkan
lagi risiko seseorang itu mengidap penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE).
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan
dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat
dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara
kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%).
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain
haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang
berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4,
dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin
(Albar, 2003).
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang
mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan
sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE
juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan
dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga
tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda
asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang
mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T
dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus
dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme
menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit
nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).
Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang
penyakit SLE dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T,
atau pada interaksi antara kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan
aktivasi sel-sel B poliklonal, akibatnya terjadi pembentukan autoantibodi secara
berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi patologik yang terbentuk akibat sistem imun
tubuh tidak dapat membedakan antara “self ” dan “nonself ”. Selain itu banyak faktor
lain yang berperan terhadap timbulnya penyakit LES, antara lain faktor genetik,
defisiensi komplemen, hormon, lingkungan, stress, obat-obatan dan faktor-faktor lain.
1. Genetik
Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan
gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major
Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan
DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar
daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain
menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen
HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita
yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi
anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop
HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
2. Defisiensi komplemen
Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan
atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi
komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES
dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu yang
mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr,
Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus.
Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi
meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit
kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi
C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang
terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel
imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem
pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan
eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan
diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat
pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen,
eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi
berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.
3. Hormon
Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns
sedangkan estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita
dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam
patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron
mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat
penyakit.
4. Lingkungan
Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-
obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun.
Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan
ekspresi MHC kelas I atau II.
5. Obat-obatan
Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala klinik yang
menyerupai penyakit LES ini. Obat-obatan yang telah disepakati berhubungan
erat dengan kejadian lupus ini diantaranya : Carbamazepine, Chlorpromazine,
Diphenylhydantoin, Ethosuximide, Hydralazine, Isoniazid, Methyldopa,
Penicillamine, Procainamide, Quinidine, dan Sulfasalazine. Obat-obat tersebut
diduga dapat bereaksi dengan antigen DNA atau histon dan menyebabkan
antigen-antigen tersebut menjadi lebih imunogenik.
6. Stres
Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti
halnya sistem yang mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi
dalam proses-proses fisiologis lain dan dimodifikasi oleh otak. Faktor-faktor lain
seperti usia, neoplasia, gizi dapat berpengaruh terhadap penyakit autoimun.
Diduga faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan aktivasi poliklonal sel B.
F. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi
ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam
penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan
produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal
sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus
tersebut berulang kembali.
G. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah
rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan
(Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia umumnya
timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi
interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal,
siku, dan pergelangan kaki (Delafuente, 2002).
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak
menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu
(butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi.
Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada
bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% – 20% pasien
SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis eritema periungual, livido retikularis,
alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis,
gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis
Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan
kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko penyakit
jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002).
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi
pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas,
dan batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas
yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan
(gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu
dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali
(Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa
gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003).
Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan
stroke (Delafuente, 2002).
Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi
kronik pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji
Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya
limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh.
Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai
perdarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien dan harus diterapi dengan
glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan
pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar
yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi
(Delafuente, 2002).
Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan antibodi antifosfolipid.
Antikoagulan ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu tromboplastin parsial
(PTT) dan kegagalan penambahan plasma normal untuk memperbaiki perpanjangan
waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin (aCL) dideteksi dengan pemeriksaan
ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL adalah trombositopenia, pembekuan darah
pada vena atau arteri yang berulang, keguguran berulang, dan penyakit katup
jantung. Bila AL disertai dengan hipoprotombinemia atau trombositopenia, maka
dapat terjadi perdarahan.
Gejala yang jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan (VIII,
IX); adanya antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga
perdarahan terjadi terus-menerus (Hahn, 2005). Pada wanita dengan SLE yang
mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan mempercepat penyebaran penyakit
selama kehamilan dan pada periode awal setelah melahirkan. Selain itu juga dapat
terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur. Kemungkinan terjadinya
preeklamsia atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga dapat memperparah
penyakitnya (Delafuente, 2002). Gejala klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari
tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien SLE
sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis dapat dibagi menjadi
beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas I (normal/minimal
mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal proliferative), kelas IV (diffuse
proliferative), dan kelas V (membranous glomerulonephritis). Selama perjalanan
penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke kelas yang lain.
Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika – Amerika dapat terjadi
peningkatan serum kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan,
hipertensi, dan sindrom nefrotik yang persisten (Delafuente, 2002).
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus
Sistemik (LES) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil
pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate
(ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG
mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat.
Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme
granular atau sel darah merah pada urin.
2. Antibodi Antinuklear
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang
spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein ANA dapat diperiksa dengan
menggunakan metode imunofluoresensi. ANA digunakan sebagai pemeriksaan
penyaring pada connective tissue disease. Dengan pemeriksaan yang baik, 99%
penderita LES menunjukkan pemeriksaan yang positif
3. Antibodi terhadap DNA
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi yang
reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif dengan
kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan
prognostik.
4. Pemeriksaan Komplemen 17
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik.
Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi
aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai
mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen
merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan
bekerja secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade pembekuan
darah dan fibrinolisis.
Pada LES, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus
kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat
beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada
penderita dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih
dahulu dibanding gejala klinis.
I. Penatalaksanaan
1. Terapi Farmakologis
a. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID)
NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan
antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan
arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti
kegunaannya. Ibuprofen dan indometasin cukup efektif untuk mengobaati
SLE dengan arthritis dan pleurisi, dalam kombinasi dengan steroid dan
antimalaria. Keterbatasan obat ini adalah efeksamping pada saluran
pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. Cox2 dengan efek samping
yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini, sayang belum ada
penelitian mengenai efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari OAINS
adalah : reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis
aseptik.
b. Antimalaria
Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi
telah lama diketahui, dan obat initelah dianggap sebagai obat pilihan
pertama untuk SLE kulit terutama LE diskoid dan LE kutaneus subakut.
Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan antigen di makrofag
dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam
vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi netrfil, dam
metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan
mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin menghaambat reaksi kulit karena
sinar UV. Bebrapa penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat
menurunkan koSLEterol total, HDL dan LDL, pada penderita SLE yang
menerima steroid maupun yang tidak.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis
200-400mg/hari), klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin (100mg/hari).
Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih
ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada
saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah; efk sam ping lain adalah
timbulnya ruam, toksisitas retin, daan neurologis (jarang).
c. Kortikosteroid
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekaanisme
antiinflamasi dan amunosuprefit. Dari berbagai jenis steroid, yang paling
sering digunakan adalah prednison dan metilprednisolon.
Pada SLE yang ringan (kutneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat
dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednison2,5 mg sampai 5
mg perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari
respon klinis. Pada SLE yang akut dan mengancam jiwa langsung diberikan
steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi
serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis, dermatitis
berat ataau SCLE, poliarthritis, poliserosistis, myokarditis, lupus
pneumonitis, glomeruloneftritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik,
neuropati perifer dan krisis lupus. Pada SLE aktif dan berat, terdapat
beberapa regimen pemberian steroid:
a. Regimen I: daily oral short acting (prednison, prednisolon, metilprednisolon),
dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi, lalu diturunkaan
secara bertahap (tapering) sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris.
Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk
manifestasi hemotologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas; 3-10 minggu
untuk glomerulonephritis.
b. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari, selama
3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin dapat
mengontrol penyakit lebih cepat dari pada terapi oral setiaap hari, tetapi efek
yang menguntungkan ini hanya bersifat sementara, sehingga tidak
digunakan untuk terapi SLE jangka lama.
c. Regimen III: kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik azayhioprine
atau cyclophosphamide.
d. Methoreksat
Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk
penyaakit rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat
alkilating atauazathrioprin. Methorekxate dosis rendah mingguan, 7,5-15
mg, eektif sebagai “steroid sprring agent” dan dapat diterima baik oleh
penderita, terutama pada manifestsi kulit dan mukulosketetal. Gansarge
dkk. Melakukan percobaan dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada
kegagalan steroid dan antimalaria.
Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah:lekopenia, ulkus oral,
toksisitas gastrointestinal, hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek samping
diperlukan pemeriksaan darah lengkap,tes fungsi ginjal dan hepar.pada
penderita dengan efek samping gastrointestinal,pemberian asam folat 5 mg
tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.
e. Imunosupresan atau sitostatik yang lain
1) Azathhioprine (Imuran AZA)
2) Cylophosphamide (chitokxan, CTX)
3) Chlorambucil (leukeran, CHL)
4) Cyclosporine A
5) Tacrolimus (FK506)
6) Fludarabine
7) Cladribine
8) Mycophenolate mofetil
f. Terapi hormonal
1) Dehidroxyepiandrosterone Sulfate (DHEAS)
2) Danazol
g. Pengobatan Lain
1) Dapsone
Dapsone, atau 4.4’- diaminophenylsulphone, bekerja dengan cara
mengganggu metabolisme folat dan menghambat asam para
aminobenzoat, dan menghambat jalur alternative komplemen serta
sitotoksisitas netrofil. Tersedia sejak lebih dari 50 tahun yang lalu untuk
pengobatan lepra. Dapson ternyata efektif untuk pengobatan Lupus
eritematosus kutaneus. Leukopenia, dan trombositopenia pada SLE,
dengan dosis 50-150 mg/hr. hampir semua penderita yang menerima
dapsone akan mengalami anemia hemolitik ringan yang biasanya
berhubungan dengan dosis.
2) Clofazimine (Lamprene)
Clofazimine adalah anti leprosi juga yang telah terbukti untuk LE
kutaneus yang refrakter. Digunakan dengan dosis antara 100 sampai
200 mg/hr. efek samping yang terutama adalah warna kulit yang
berubah menjadi pink atau coklat gelap, dan menjadi kering.
3) Thalidomide
Thalidomide dengan dosis50 sampai 100 mg/hr serta dosis
pemeliharaan 25 sampai 5o mg/hr, efektif untuk LE kutaneus refrakter.
Obat ini bekerja dengan menghambat TNF alfa. Obat ini
dikontraindikasikan pada kehamilan karena banyak laporan mengenai
terjadinya malformasi janin (fokomelia).
4) Immunoglobulin intravena
Immunoglobulin intravena (IVIg) bekerja dengan menghambat reseptor
Fc reikuloendotelial. Terapi ini berguna untuk mengatasi
trombositopenia iun, dan pada keadaan mengamcam jiwa, dengan
dosis 2 k/kgBB/hari. 5 hari berturut-turut setiap bulan. IVIg sangat
mahal, oleh karena itu hanya digunakan pada SLE yang resisten
terhadap terapi standar, atau pada keadaan SLE yang berat.
5) External Device
Terdapat beberapa teknik eksternal yang kegunaannya pada SLE agak
terbatas, yaitu: plasmapheresis, photopheresis, immunoadsorption,
UVA1light (panjang gelombang: 340-400nm), and iradiasi limfoid total.
2. Terapi Non Farmakologis
a. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SEL merupakan
penyakit yang kronis, dapat reda (remisi) dan kambuh (flare up). Penderita
perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai manifestasi klinis yang
mungkin dialami, tingkat keparahan yang berbeda-beda sehingga penderita
dapat memahami dan tidak merasa cemas yang berlebihan. Pada wanita
usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila
merencanakan punya anak, sebaiknya kehamilan terjadi saat remisi,
sehingga dapat mengurangi kemungkinan flare up dan risiko kelainan pada
janin maupun penderita selama hamil. Di samping itu penderita juga akan
menggunakan berbagai obat dalam jangka panjang, termasuk yang
berpotensi efek samping bermakna terhadap kondisi kesehatan seperti
steroid dan imunosupresan.
b. Dukungan sosial dan psikologis
Bisa diberikan oleh dokter, keluarga, teman dan peran peer group atau
support group. Saat ini kita mempunyai 2 organisasi pasien Lupus, yakni
Care for Lupus Yayasan Syamsi Dhuha di Bandung dan Yayasan Lupus
Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi
pasien, keluarga dan masyarakat mengenai Lupus.Selain itu mereka pun
memberikan advokasi dan bantuan finansial untuk pasien yang kurang
mampu dalam pengobatan.
c. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang
cukup, sambil dipikirkan kemungkinan penyebab lain seperti hipotiroid,
fibromialgia dan depresi.
d. Tabir Surya
Sinar matahari mengeluarkan radiasi dalam 3 gelombang, yaitu gelombang
A, B dan C. Tetapi hanya gelombang A (UVA/”tanning”) dan B
(UVB/”burning”) yang berbahaya bagi pasien SLE. Efek dari sinar matahari
terhadap kulit dipengaruhi oleh kuantitas dan lamanya terpapar matahari.
Ada pasien yang tidak mengeluhkan apapun ketika 15 menit terpapar
matahari, dan keluhan baru terasa setelah 20 menit terpapar. Sinar
ultraviolet tetap ada walaupun ketika cuaca mendung, UVA muncul
sepanjang hari, sedangkan UVB (yang lebih berbahaya bagi pasien SLE)
terutama muncul sekitar jam 10 pagi sampai dengan jam 3 sore. Disarankan
untuk pasien SLE agar melakukan aktivitas diluar rumahnya pada pagi hari
(sebelum jam 10 pagi) atau sore hari (setelah jam 3 sore) untuk menghindari
periode puncak UVB. Beberapa obat yang meningkatkan sensitivitas
terhadap matahari diantaranya antibiotik yang mengandung sulfa dan
beberapa tetrasiklin. Penggunaan sunblock/tabirsurya penting bagi
penderita SLE. Pada tabir surya terteratulisan SPF (sun protection factor).
Tabir surya dengan SPF 15 artinya ketika memakai tabir surya tersebut
maka kita akan dilindungi 15 kali lebih baik dibandingkan yang tidak
memakai tabir surya. Tabir surya dengan SPF dibawah 15 memberikan
perlindungan yang kecil bagi penderita SLE, sedangkan tabir surya dengan
SPF diatas 30 dapat menyebabkan kulit menjadi kering, iritasi, atau gatal.
e. Olah Raga
Olah raga memegang peranan penting dalam penatalaksanaan SLE. Olah
raga dapat meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan fleksibilitas, dan
mencegah osteoporosis. Aktivitas berjalan kaki, berenang, dan bersepeda
bisa menjadi pilihan. Aktivitas olah raga bisa dimulai dengan berjalan kaki
selama 5 menit 2 kali seminggu, bertahap ditingkatkan sampai berjalan kaki
selama 1 jam setiap 3-5 kali/minggu.
f. Diet
Pasien SLE disarankan untuk mengkonsumsi makanan bernutrisi dan
memiliki kandungan gizi seimbang. Beberapa faktor yang berhubungan
dengan diet/makanan dan bisa mempengaruhi SLE dibagi dalam 2
kelompok, yaitu :
a. Faktor yang berhubungan dengan lupus
1) Minyak ikan memiliki efek antiinflamasi. Mengkonsumsi beberapa ikan
dalam seminggu sama dengan mengkonsumsi aspirin tambahan. Hal
tersebut memang tidak akan menyembuhkan penyakit, tetapi mungkin dapat
meningkatkan kesehatan secara keseluruhan. Minyak ikan dapat menjadi
makanan pengganti, tetapi minyak ikan dapat menimbulkan efek samping
iritasi lambung, dan dibutuhkan 8-10 kapsul/hari untuk menggantikan 1 ekor
ikan.
2) Pasien SLE juga harus menghindari mengkonsumsi tauge/kecambah.
Tauge/kecambah ini mengandung asam amino yaitu L-canavanine, yang
dapat meningkatkan inflamasi pada pasien penyakit autoimun.
b. Faktor yang berhubungan dengan obat-obatan
Berbagai macam obat digunakan dalam pengobatan SLE, tetapi hanya
beberapa yang memiliki efek terhadap diet. Kortikosteroid dapat
meningkatkan kadar gula darah, kadar kolesterol serum, trigliserida, dan
juga dapat meningkatkan tekanan darah. Oleh karena itu, pasien yang
mengkonsumsi steroid dengan dosis > 10mg prednisone/hari disarankan
untuk mengurangi konsumsi makanan yang mengandung gula, garam, dan
lemak.
g. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila
terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga
meningkat sejalan dengan pemberian obat imunosupresan dan steroid.
Risiko kejadian penyakit kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga
meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko
seperti merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.
J. Pencegahan
Beberapa hal yang dapat membuat penderita penyakit lupus untuk memiliki
kehidupan yang lebih baik,dapat dilakukan dengan cara berikut ini :
1. Menghindari kelelahan dengan istirahat yang cukup dan hindari stres.
2. Pelajari sebanyak mungkin tentang penyakit lupus, karena penelitian
menunjukkan pasien-pasien yang aktif dalam pengobatan membutuhkan
kunjungan ke dokter dan gejala yang minimal.
3. Dukungan dari keluarga, sahabat, maupun menjadi anggota dari perkumpulan
lupus lokal.
4. Bersikap proaktif dalam manajemen stress. Aktivitas seperti meditasi dan yoga
dipercaya dapat menurunkan stres.
5. Olahraga yang teratur dan menghindari rokok, berhenti merokok pada penderita
telah lupus dibuktikan dapat mencegah komplikasi lupus pada sistem
kardiovaskuler seperti tulang dan otot.
6. Kurangi paparan terhadap sinar matahari,penderita lupus seringkali sensitif
terhadap cahaya matahari.
7. Kunjungan dari dokter yang teratur untuk mendeteksi perkembangan komplikasi
penyakit lupus maupun komplikasi dari pengobatanya.
8. Pasien hamil memiliki resiko keguguran sebesar 10% menurut statistik yang
dikemukakan Jhon Hopkins Arthritis Center. Menurut penelitian, hal ini
mungkin disebabkan oleh sindroma antibodi antifosfolipid.oleh karena itu pada
pasien hamil dengan lupus dapat dilakukan skrinning terhadap antbodi
antifosofolipid, dengan mengetahui adanya sindroma ini dapat dilakukan
penatalaksanaan berupa pemberian heparin atau aspirin. Tentunya dengan
pengawasan dokter kebidanan dan kandungan.
K. Komplikasi
1. Serangan pada ginjal :
a. Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
b. Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c. Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin)
2. Serangan pada jantung dan paru :
a. Pleuritis
b. Pericarditis
c. Efusi pleura
d. Efusi pericard
e. Radang otot jantung atau miocarditis
f. Gagal jantung
g. Perdarahan paru (batuk darah)
3. Serangan sistem saraf
a. Sistem saraf pusat
Cognitive dysfunction
Sakit kepala pada lupus
Sindrom anti-phospholipid
Sindrom otak
Fibromyalgia
b. Sistem saraf tepi
Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c. Sistem saraf otonom
gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan
otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang
sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem
saraf otonom (7).
4. Serangan pada kulit
Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya
disebut lesi diskoid. Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam
pada akhir 70-an, yaitu :
a. Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif
terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult
subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau
lesi tidak berparut berbentuk koin.
b. Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup
area yang luas di bagian tubuh
c. Lesi non spesifik
d. Rambut rontok (alopecia)
e. Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan
ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi
borok
f. Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang
di sertai pusing.
5. Serangan pada sendi dan otot
a. Radang sendi pada lupus
b. Radang otot pada lupus
c. Serangan pada Mata
6. Serangan pada darah
a. Anemia
b. Trombositopenia
c. Gangguan pembekuan
d. Limfositopenia
7. Serangan pada hati
L. Asuhan Keperawatan
M. Pendidikan Kesehatan