laporan pendahuluan sle

62
LAPORAN PENDAHULUAN SLE (SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS) May 20, 2015 by Lestari DEFINISI 1. SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall, 1998) . 2. SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh. (Albar, 2003) 3. Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh. 4. Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit yang tidak jelas etiologinya, yaitu terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan kompleks imun yang ditunjukkan kepada salah satu atau lebih komponen inti sel. Prevalensi penyakit ini pada wanita usia subur adalah sekitar 1 dari 500. Angka kelangsungan hidup 10 dan 20 tahun masing-masing adalah 75 dan 50 persen, dengan infeksi, kekambuhan lupus, kegagalan organ ujung (end- organ), dan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian. (Kenneth J. Leveno, dkk, 2009) EPIDEMIOLOGI Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina.

Upload: fitrah-nurani-erba-putri

Post on 09-Dec-2015

348 views

Category:

Documents


60 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Pendahuluan Sle

LAPORAN PENDAHULUAN SLE (SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS)May 20, 2015 by Lestari

 

DEFINISI

1. SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor

(Isenberg and Horsfall, 1998) .

2. SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum

diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan

eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh. (Albar, 2003)

3. Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, dimana tubuh pasien

lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel

darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun

virus yang masuk ke dalam tubuh.

4. Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit yang tidak jelas etiologinya, yaitu terjadinya

kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan kompleks imun yang ditunjukkan kepada salah satu

atau lebih komponen inti sel. Prevalensi penyakit ini pada wanita usia subur adalah sekitar 1 dari 500.

Angka kelangsungan hidup 10 dan 20 tahun masing-masing adalah 75 dan 50 persen, dengan infeksi,

kekambuhan lupus, kegagalan organ ujung (end-organ), dan penyakit kardiovaskular merupakan

penyebab utama kematian. (Kenneth J. Leveno, dkk, 2009)

EPIDEMIOLOGI

Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia). Prevalensi pada

berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering

ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina.

Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi

(Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika

yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan

Page 2: Laporan Pendahuluan Sle

pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi,

sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi.

Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah

penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas

penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini

menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain.

ETIOLOGI

Faktor genetic memiliki peranan yang sangat penting dalam kerentanan penyakit SLE. Sekitar 10% –

20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang menderita SLE juga.

Faktor lingkungan, yakni sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga

menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel

keratonosit.

SLE dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang memiliki gen HLA DR-4

menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan

kesempatan obat untuk berikatan degan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh

sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuclear (ANA) untuk menyaring benda asing

tersebut. (Herfindal et al, 2000)

Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme

menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit non spesifik yang

akan memicu terjadinya SLE. (Herfindal et al, 2000)

PATOFISIOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang

berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara lain: faktor-faktor genetik, hormonal

(sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya

matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa

preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa

kimia atau obat-obatan.

Page 3: Laporan Pendahuluan Sle

Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga

timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya

serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

KLASIFIKASI

Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus

yang diinduksi oleh obat.

1. Discoid Lupus >>  Dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit lupus yang menyerang kulit. Lesi

berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan

folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada.

Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di

bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).

2. Systemic Lupus Erythematosus >> Adalah penyakit lupus yang menyerang kebanyakan sistem di

dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati otak dan sistem saraf. SLE merupakan

penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and

Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan

sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi

terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat

menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein,

1998)

3. Lupus yang diinduksi oleh obat >> Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada

asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat

banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein

tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi

antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut. Gejala-gejalanya biasanya menghilang

setelah pemakaian obat dihentikan (Herfindal et al., 2000).

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan

nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005).

1. Sistem Muskuloskeletal >> Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri

ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

Page 4: Laporan Pendahuluan Sle

2. Sistem integumen >> Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang

pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

3. Sistem cardiac >> Perikarditis merupakan manifestasi cardiac.

4. Sistem pencernaan >> Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah

jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan

adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil

mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan

pankreatitis.

5. Sistem pernafasan >> Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral. Mungkin

ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi

yang adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti

infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.

6. Sistem vaskuler >> Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan

purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan

dan berlanjut nekrosis.

7. Sistem perkemihan >> Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah

proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang terjadi; hanya

terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis

pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit

SLE difus merupakan kelauanan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik,

hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa lebih

jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan

penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif. Kelainan ginjal lain yang mungkin

ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal

merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.

8. Sistem saraf >> Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk

penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

PEMERIKSAAN

Pemeriksaan menurut Betz (2002), Catzel(1995), Hartman(1994), antara lain :

Pemeriksaan Fisik

Meliputi pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal, integument dan vaskuler.

Inspeksi : bentuk kepala, leher dan thorax simetris atau tidak, tampak bengkak & kemerahan pada

metacarpophalangaeal dextra & sinistra atau tidak, tampak adanya deformitas dan tampak adanya lesi

Page 5: Laporan Pendahuluan Sle

akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi

pasien atau tidak. Ada ruam pada wajah dan leher klien atau tidak.

Palpasi : raba apa ada pembesaran kelenjar dan terdapat massa atau tidak, pergerakan nafasnya

normal atau tidak, ada nyeri tekan atau tidak di daerah abdomen dan daerah ekstremitas atas maupun

bawahnya, serta raba ada krepitasi atau tidak pada ekstremitas atas maupun bawah klien. Ada oedema

atau tidak dan suhu teraba hangat atau tidak.

Perkusi: suara ketuknya sonor atau timpani.

Pemeriksaan   Diagnostik

Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik

mencakup demam, keletihans ecara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis.

Tidak ada 1 terlaboratorium megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau

leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan

diagnostik

Anti ds DNA

Batas normal : 70 – 200 iu/mL

Negatif             :   < 70 iu/mL

Positif  : > 200 iu/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain.

Jumblah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada

penderitadengan penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah

antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama

Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang.

Antinuklear antibodies ( ANA )

Harga normal : nol

Page 6: Laporan Pendahuluan Sle

ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimunyang lain. ANA adalah sekelompok antibody protein yang

beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada

95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit

dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA

diperkirakan menurun.

Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinis

dan test laboratorium yang lain, jika hasil test posotof maka sebaiknya dilakukan test laboratorium yang lain tetapi jika

hasil test negativ maka sebaiknya dilakukan test serelogi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut

menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-smith ( anti SM ). Anti RNP/antiribonukleo protein.

Pemeriksaan khusus:

Biopsi ginjal

Biopsi kulit

Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular pada dermaepidermal junction, baik pada lesi

kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tidak terkena (70%).

 

PENATALAKSANAAN

Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna (sangat jarang didapatkan remisi yang sempurna). Terapi terdiri dari

terapi suportif yaitu diet tinggi kalori tinggi protein dan pemberian vitamin. Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan

eksaserbasi pada SLE, yaitu:

Monitoring teratur

Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup

Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian sun screen lotion

untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari

Page 7: Laporan Pendahuluan Sle

Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang adekuat.

Rencanakan kehamilan/hindari kehamilan.

 

obat – obatan yang biasa digunakan pada SLE adalah sebagai berikut:

1. Nonsteroid anti inflamatori drugs {NSAIDS} >> NSAIDS berguna karena kemampuanya sebagai

analgesic, antipiretik dan inflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan

arthralgia/arthiritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuferon

idometasin cukup efektif untuk mengobati SLE dengan arthiritisdan pleuritis, dalam kombinasi dengan

steroid dan antimanalria. Keterbatasan obat ini adalah efek samping yang lebih sedikit, diharapkan

dapat mengatasi hal ini, saying belum ada penelitian mengenai efektifitasnya pada SLE. Efek samping

dari OAINS adalah: reaksi hipersensivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.

2. Korticosteroid >> Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan

amunosuprefh dari berbagai jenis steroid yang paling sering digunakan adalah pprednison dan

multipred nisinosolon. Pada SLE yang ringan yang tidak dapat dikontrol oleh NSAID dan antimalaria,

diberikan prednison 2,5 mg samapai 5 mg,. Dosis ini ditingkatkan 20% 1 sampai 2 minggu tergantung

dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan yang mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID

dan antimalariatidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang membaik de ngan steroid

antara lain: vaskulitis, dermatitis berat miocarditis, lupus pneumonitis, glomerulonefritis, anemia

haomolitik, neufropati perifer dan kasus lupus.Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regment

pembenan steroid:

a. Regmen I : daily oral short acting {predmison, prednisolon, multiprednisolon} dosis: 1-2mg/kgBB/hari dimulai dari

dosis terbagi, lalu diturunkan secara bertahap sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratories. Regimen ini sangat

cepat mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hamatologis atau saraf atau vaskulitis, 3-10 minggu untuk

glumerulonefritis

b. Regimen II : methyprednisolon intravena, dosis : 500-1000mg/hari, selama 3-5 minggu atau 30

mg/kgBB/hari selama 3 hari. Regimen mungkin sangat cepat mengontrol penyakit lebih cepat dari

pada terapi oral setiap hari, tetapi efek yang hanyan bersifat sementara, sehingga tidak digunakan

untuk terapi SLE jangka lama

c. Regimen III : Kombinasi regimen 1 dan 2 obat sitoksit ezayhioprine cyclophos phamide.

d. Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5 mg/minggu

sampai dicapai maintenance dose.

2. Antimalaria >> Efektifitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui

dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk cara mengganggu pemoresan antigen

dimakrofag dan sel pengaji antigen yang lain dengan peningkatan PH di dalam vakuolalisosomal. Juga

Page 8: Laporan Pendahuluan Sle

menghamabat dan mengabsorbsi sinar UV, bebera penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat

menurunkan kolestrol total, HDL, LDL. Pada penderita SLE yang menerima steroidmaupun yang tidak.

Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia, hidroksikolokulin. Dosis 200-400mg/hari, klorokuin dan efek

sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran

pencernaan, kembung, mual dan muntah. Efek samping lain adalah timbulnya ruam, toksisitas retin dan

neurologis

3. Methoreksat >> Methoreksat adalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyakit

rematik efek imunosupresifinyalebih lemah dari pada obat alkilating atau zat hioprin . methorekxate

dosis rendah mingguan 7,5-15mg, efektif sebagai “steroid spring agent” dan dapat diterima baik oleh

penderita, terutama pada manifestasi klinis dan muskluskletal.

Efek samping yang paling seringdipakai adalah: lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal dan hepaktotoksitas.

Untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi ginjal dan hepar pada penderita

dengan efek samping gastrointestinal, pemberian asam folat 5mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.

PENGKAJIAN

1. DATA DASAR

2. RIWAYAT KEPERAWATAN

3. Keluhan utama >> Selama mengumpulkan riwayat, perawat menanyakan tentang tanda dan gejala

pada pasien. Kaji apakah klien mengeluh badannya kaku dan nyeri sendi dikaki maupun tangan disertai

demam dan muntah?

4. Riwayat Penyakit Sekarang >> Kaji apakah gejala terjadi pada waktu kapan saja sebelum atau sesudah

bergerak maupun beraktivitas, setelah terkena sinar UV terlalu lama, atau setelah mengkonsumsi obat-

obat tertentu? Kaji apakah klien mengeluh badannya kaku, nyeri sendi dikaki dan tangan, merasa

lemah, demam, muntah, terdapat lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang

melintang pangkal hidung serta pipi atau tidak, nafsu makan menurun dan rambut rontok atau tidak

5. Riwayat penyakit dahulu >> Kaji apakah gejala berhubungan dengan ansietas, stress, alergi, makan

atau minum, atau karena mengkonsumsi obat-obatan tertentu? Kaji adakah riwayat penyakit tersebut

sebelumnya?

6. Riwayat kesehatan keluarga >> Kaji riwayat kesehatan keluarga klien apakah ada anggota keluarga

yang ernah menderita penyakit tersebut sebelumnya

7. Riwayat Psikososial >> Psikologis pasien terganggu, karena pengaruh dari penyakit yang diderita.

 http://askepkita.com/wp-content/uploads/2015/05/PATHWAY-SLE-2.jpg

Page 9: Laporan Pendahuluan Sle

ASKEP SLEBAB IPENDAHULUAN

A. Latar belakangSystemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003).SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi pada berbagai populasi berbeda – beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998).Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006).Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya. Kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk menemukan obat-obat penyakit SLE yang baru, aman dan efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga merupakan masalah tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia).Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005). Penderita SLE dengan manifestasi kulit dan muskuloskeletal mempunyai survival rate yang lebih tinggi daripada dengan manifestasi klinik renal dan

Page 10: Laporan Pendahuluan Sle

central nervous system (CNS). Meskipun mempunyai survival rate yang berbeda, penderita dengan SLE mempunyai angka kematian tiga kali lebih tinggi dibandingkan orang sehat. Saat ini prevalensi penderita yang dapat mencapai survival rate 10 tahun mendekati 90%, dimana pada tahun 1955 survival rate penderita yang mencapai 5 tahun kurang dari 50%. Peningkatan angka ini menunjukkan peningkatan pelayanan terhadap penderita SLE yang berkaitan dengan deteksi yang lebih dini, perawatan dan terapi yang benar sejalan dengan perkembangan ilmu kedokteran dan farmasi. Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE adalah infeksi yang disebabkan oleh pemakaian imunosupresan. Sedangkan mortalitas pada penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling banyak ditemukan dalam 5 tahun pertama ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan kanker yang berkaitan dengan inflamasi kronik dan terapi sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas.The Framingham Offspring Study menunjukkan bahwa wanita dengan usia 35 – 44 tahun yang menderita SLE mempunyai resiko 50 kali lipat lebih besar untuk terkena infarct miocard dari pada wanita sehat. Penyebab peningkatan penyakit coronary artery disease (CAD) merupakan multifaktor termasuk disfungsi endotelial, mediator inflamasi, kortikosteroid yang menginduksi arterogenesis, dan dislipidemia yang berkaitan dengan penyakit ginjal (salah satu manifestasi klinis dari SLE). Dari suatu hasil penelitian menunjukkan penyebab mortalitas 144 dari 408 pasien dengan SLE yang dimonitor lebih dari 11 tahun adalah lupus yang akif (34%), infeksi (22%), penyakit jantung (16%), dan kanker (6%) (Bartels, 2006).Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar. Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu.Dan Peran Perawat pada kasus halusinasi ini meliputi :- Promotif ialah memberikan penyuluhan tentang penyakit SLE kepada individu,keluarga dan masyarakat.- Preventiv ialah memberikan pendidikan tentang SLE kepada individu, keluarga dan masyarakat.- Curativ ialah memberikan askep dengan pendekatan proses keperawatan baik untuk individu, keluarga dan masyarakat dengan menggunakan pendekatan manajemen keperawatan yang terdiri dari : perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan secara konsisten berupa : a. Perencanaan askep yang di susun oleh SDMb. Pengorganisasian : metode pemberian askep berupa M. Fungsional, M. Kasus total, M tim, M keperawatan primer ( Gillies, 1989 ).c. Pengarahan : Motivasi, manajement konflik, pendelegasian komunikasi.d. Pengawasan dan pengendallian langsung dan tidak langsung.- Rehabilitativ ialah memberikan kegiatan yang mempunyai efek positif terhadap SLE supaya tidak terulang dan mencegah faktor Genetik.Berdasarkan data di atas yang melatarbelakangi kenapa kelompok kami mengambil SLE ( sistemik Lupus Erythematosus ) sebagai materi makalah kami.B. Tujuan penulisan1. Tujuan UmumSetelah mempelajari atau membahas makalah ini kelompok dapat memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan masalah sistemics lupus erythematosus ( SLE )

Page 11: Laporan Pendahuluan Sle

2. Tujuan Khususa. Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan sistemics lupus ertythematosus ( SLE )b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )c. Mampu merencanakan tindakan keperwatan pada klien dengan sistemic lupus erythematosus ( SLE )d. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )e. Melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus( SLE )

C. Ruang lingkup Ruang lingkup dari makalah keperawatan dengan sistemics lupus erythematosus yaitu asuhan keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )

D. Metode penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode1. Research library yaitu pengambilan sumber dari buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan atau studi pustaka.2. Web search yaitu ialah pengambilan sumber dari internet yang ada hubunganya dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE ).

E. Sistematika PenulisanBAB I PENDAHULUAN ( Latar belakang, Tujuan penulisan, Ruang lingkup, Metode penulisan, Sistematika penulisan )BAB II TINJAUAN TEORITIS ( Definisi, Etiologi, Fatopisiologi, tanda dan gejala, komplikasi, pemeriksaan diagnostik, Pengobatan, Askep )BAB III PENUTUP ( Kesimpulan, Saran )

Daftar fustaka

Page 12: Laporan Pendahuluan Sle

BAB IITINJAUAN TEORIA. PengertianSystemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003).SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).B. Etiologi1. Faktor genetik Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .

2. Faktor lingkungan Pada Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).

3. Patofisiologi

Page 13: Laporan Pendahuluan Sle

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

4. Pathway SLEGangguan Respon Imun

Stimulasi Antigen( Bahan Kimia, DNA Bakteri, Antigen Virus, Fosfolipid, Protein, DNA dan RNA )

Aktivasi Sel T

Memproduksi Sitokin

Sel B Terangsang

Produksi Autoantibodi Yang patogenPeningkatan Sel Antibodi Hipergamaglobulinemia Pembentukan Kompleks Imun

5. Tanda dan gejala1. Sistem MuskuloskeletalArtralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.2. Sistem integumenLesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.3. Sistem kardiakPerikarditis merupakan manifestasi kardiak.4. Sistem pernafasanPleuritis atau efusi pleura.5. Sistem vaskulerInflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

Page 14: Laporan Pendahuluan Sle

6. Sistem perkemihanGlomerulus renal yang biasanya terkena.7. Sistem sarafSpektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

6. Komplikasia. Gagal Ginjalb. Kerusakan Jaringan Otakc. Infeksi Sekunder

7. Pemeriksaan Penunjanga. CBC (Complete Blood Cell Count) untuk mengukur jumlah sel darah, maka terdapat anemia, leukopenia,trombositopenia.b. ESR(Erithrocyte Sedimen Rate), laju endap darah pada lupus akan ESR akan lebih cepat dari pada normal.c. (biopsi) untuk mengetahui fungsi hati dan ginjald. Urinalysis pengukuran urinà kadar protein dan sel darah merahe. X-ray dadaf. Uji imunofluroresensi ANA pada setiap pasien SLE + sehingga uji tersebut sangat sensitif.

8. Pengobatan1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.2. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, musPemeriksaan kuloskeletal dan sistemik ringan SLE3. Preparat imunosupresan ( pengkelat dan analog purion ) untuk fungsi imun.BAB IIIASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.2. Kulit Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher. 3. KardiovaskulerFriction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.4. Sistem MuskuloskeletalPembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.5. Sistem integumenLesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum6. Sistem pernafasan

Page 15: Laporan Pendahuluan Sle

Pleuritis atau efusi pleura.7. Sistem vaskulerInflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.8. Sistem RenalEdema dan hematuria. 9. Sistem sarafSering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.B. Diagnosa Keperawatan1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.

C. Intervensi1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamananIntervensi :a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin, masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai, teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan.Intervensi : a. Beri penjelasan tentang keletihan : - Hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan - Menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya- Mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur) - Menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional- Menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga

Page 16: Laporan Pendahuluan Sle

- Kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.d. Rujuk dan dorong program kondisioning.e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.Intervensi : a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :- Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit- Meningkatkan pemakaian alat bantu- Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.- Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan- Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas- Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas- Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan penyakitIntervensi :a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya. b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut- Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.- Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.- Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.Intervensi :a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasib. Hilangkan kelembaban dari kulitc. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

h. EvaluasiEvaluasi adalah merupakan salah satu alat untuk mengukur suatu perlakuan atau tindakan keperawatan terhadap pasien. Dimana evaluasi ini meliputi evaluasi formatif / evaluasi proses yang dilihat dari setiap selesai melakukan implementasi yang dibuat setiap hari sedangkan evaluasi sumatif / evaluasi hasil dibuat sesuai dengan tujuan yang dibuat mengacu pada kriteria hasil yang diharapkan. Adapunevaluasi yang di harapkan pada klien

Page 17: Laporan Pendahuluan Sle

dengan kasus SLE ( Sistemisc lupus erythematosus ) ialah :a. Skala nyeri normal dan nyeri berkurang.b. Aktivitas sehari – hari teratur sesuai kebutuhan dan di sesuaikan dengan kondisi klien.c. Klien dapat melakukan imobilisasi dalam memenuhi kegiatan sehari – harinya. d. Integritas kulit kembali normal ( Elastis, Halus dan bersih ).e. Klien mengerti dan menerima terhadap penyakitnya.

BAB IVPENUTUP

A. Kesimpulan Sistemisc lupus erythematosus ( SLE ) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh adapun tanda dan gejalanya seperti sistem muskuloskeletal, sistem integumen, sistem kardiak, sistem pernapasan, sistem vaskuler, sistem perkemihan, sistem saraf adapun untuk pengobatannya seperti- Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama

Page 18: Laporan Pendahuluan Sle

kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus. - Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE- Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun. B. Saran Sebagai tenaga propesional tindakan perawat dalam penanganan masalah keperawatan khususnya sistemics lupus erythematosus ( SLE ) harus di bekali dengan pengetahuan yang luas dan tindakan yang di lakukan harus rasional sesuai gejala penyakit.

DAFTAR PUSTAKAhttp.www.google/sistemics lupus erythematosus.comMD. Daniel J.Wallace.THE LUPUS BOOK.B first.2007 Jogjakarta

ASKEP Penyakit Lupus (Sistem Imun dan Hematologi)

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Penyakit   lupus   berasal   dari   bahasa   Latin   yang   berarti   “Anjing hutan,”   atau   “Serigala,” merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan hidung akan terlihat kemerah-merahan. Tanda awalnya panas dan rasa lelah berkepanjangan, kemudian dibagian bawah wajah dan lengan terlihat bercak-bercak merah. Tidak hanya itu,  penyakit  ini  dapat menyerang seluruh organ tubuh lainnya salah satunya adalah menyerang ginjal. Penyakit untuk menggambarkan salah satu ciri  paling menonjol  dari  penyakit   itu yaitu ruam di  pipi  yang membuat penampilan seperti serigala.  Meskipun demikian,  hanya sekitar 30% dari  penderita  lupus benar-benar memiliki  ruam “kupu-kupu,” klasik tersebut.

Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan kuman, virus,   dan   lain-lain   dari   luar   tubuh   kita.   Tetapi   pada   penderita   lupus,   sistem   imun   menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri,  oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema,   lalu juga sendi, paru, ginjal,  otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan “Sistemik,” karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus)   yang   tidak   terlalu   berbahaya   dibandingkan   lupus   yang   sistemik   (Sistemik Lupus /SLE). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem   kekebalan   tubuh   sehingga   antibodi   yang   seharusnya   ditujukan   untuk  melawan   bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, 

Page 19: Laporan Pendahuluan Sle

hati,   sendi,   sel   darah  merah,   leukosit,   atau   trombosit.   Karena  organ   tubuh   yang  diserang  bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).

Perkembangan   penyakit   lupus  meningkat   tajam   di   Indonesia.  Menurut   hasil   penelitian Lembaga   Konsumen   Jakarta   (LKJ),   pada   tahun   2009   saja,   di   RS  Hasan   Sadikin   Bandung   sudah terdapat   350   orang   yang   terkena   SLE   (sistemic lupus erythematosus).   Hal   ini   disebabkan   oleh manifestasi  penyakit  yang sering   terlambat  diketahui   sehingga berakibat  pada pemberian  terapi yang   inadekuat,   penurunan   kualitas   pelayanan,   dan   peningkatan  masalah   yang   dihadapi   oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya   tentang   informasi,  pendidikan,  dan  dukungan  yang   terkait  dengan  SLE.  Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimanakah proses penyakit lupus tersebut ?

2.      Bagaimanakah  tindakan  yang  akan  dilakukan   seorang  perawat   /  mahasiswa  calon  perawat,  bila menghadapi klien dengan penyakit lupus tersebut ?

C.     Tujuan dan Manfaat Penulisan

1.      Tujuan Penulisan

a)      Tujuan Umum :

Untuk mengetahui dan dapat memahami penjabaran tentang penyakit lupus.

b)      Tujuan Khusus :

1)      Mampu menjelaskan tentang defenisi, etiologi, klasifikasi / jenis-jenis penyakit lupus, patofisiologi dan   pathway,   manifestasi   klinis   (tanda   dan   gejala),   prognosis,   pemeriksaan   penunjang, penatalaksanaan serta komplikasi penyakit lupus.

2)      Mampu menjabarkan dan atau membuat asuhan keperawatan pada klien yang menderita penyakit lupus.

2.      Manfaat Penulisan

a)      Manfaat Teoritis :

1)      Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam mengetahui tentang penyakit lupus

2)      Sebagai bahan ajar dalam proses belajar-mengajar di kelas.

b)      Manfaat Praktis :

Page 20: Laporan Pendahuluan Sle

Dengan  adanya  makalah   ini  dapat  berguna  bagi  pembaca  khususnya   seorang  perawat  maupun mahasiswa calon perawat  dalam mengkaji   laporan pendahuluan (defenisi,  etiologi,  dan  lain-lain) serta dalam menyusun asuhan keperawatan pada klien yang menderita penyakit lupus.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.     Konsep Dasar

Penyakit   lupus   termasuk   penyakit   autoimun,   artinya   tubuh  menghasilkan   antibodi   yang sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di tubuh, tetapi dalam keadaan autoimun, antibodi tersebut ternyata merusak organ tubuh sendiri. Organ tubuh yang sering dirusak adalah ginjal, sendi, kulit,  jantung, paru, otak, dan sistem pembuluh darah. Semakin lama proses perusakan   terjadi,   semakin  berat  kerusakan  tubuh.   Jika  penyakit   lupus  melibatkan ginjal,  dalam waktu lama fungsi ginjal akan menurun dan pada keadaan tertentu memang diperlukan cuci darah. (Dr. Samsuridjal Djauzi, 2009)

Penyebab   penyakit   lupus   belum   diketahui   secara   pasti,   agaknya   disebabkan   kombinasi berbagai faktor seperti genetik, hormon, infeksi, dan lingkungan. Terjadi penyimpangan pada sistem kekebalan   yang   pada   mulanya   sistem   kekebalan   tidak   bisa   membedakan   teman   dan   musuh, kemudian “teman-teman” sendiri  (sel-sel tubuh/organ sendiri)  dianggap sebagai musuh, sehingga dibuat zat anti terhadap sel-sel tersebut, kemudian zat anti ini menyerang sel-sel tubuh.organ sendiri tersebut. Akibatnya serangan ini menimbulkan kerusakan-kerusakan pada organ tersebut.

Ada berita dari Jerman yang menyatakan sekelompok peneliti mencurigai ada suatu enzim dalam sel yang bertugas menghancurkan DNA dari sel yang sudah mati, tetapi enzim ini tidak bekerja normal, sehingga DNA tersebut tidak habis, tetapi sisa-sisa hancuran DNA masih ada. Tehadap sisa-sisa ini kemudian terbetuk zat anti. Dengan cara penyakit ini mengganggu kesehatan, maka penyakit ini digolongkan dalam penyakit autoimun. Penyakit ini juga menyerang beberapa organ lain, yaitu organ saluran pencernaan dan bahkan bisa sampai kelainan jiwa (psikosis). Penyakit ini terdiagnosis saat organ tubuh telah mengalami kerusakan parah.

Gejala penyakit lupus sistemik amat beragam. Demam merupakan gejala yang sering timbul. Disamping   itu  mungkin   juga   terdapat  nyeri   sendi,   kelainan  pada  kulit,   anemia,  gangguan   fungsi ginjal,  nyeri  kepala sampai kejang.  Pada jantung atau paru,  bisa terdapat cairan sehingga timbul sesak   napas.   Gejala   ini   tidak   semuanya  timbul   pada   seorang   penderita   lupus.   Penderita   lupus mungkin hanya mengalami beberapa gejala saja.

Gejala   lainnya   adalah   perempuan  merasa   lebih   gampang   lelah,   rambut   rontok,   sering demam,   sering   sariawan,   kencing   mengandung   protein,   serta   mengalami   fotosensitif.   Ini dikemukakan oleh Prof.  Handono Kalim selaku Ketua Indonesian Rheumatology Association (IRA) (Antar News, 2012).

Page 21: Laporan Pendahuluan Sle

Seperti yang diungkapkan dalam buku kecil Care for Lupus (Syamsi Dhuha), Lupus adalah sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai Lupus Erythematosus.

Dalam   istilah   sederhana,   seseorang   dapat   dikatakan   menderita   penyakit   Lupus Erythematosus saat tubuhnya menjadi alergi pada dirinya sendiri.

Penyakit ini dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu ketika penyakit ini sudah menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia. Dalam ilmu imunologi atau kekebalan tubuh, penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Pada Lupus, tubuh menjadi overacting terhadap   rangsangan   dari   sesuatu   yang   asing   dan  membuat   terlalu   banyak antibodi atau semacam protein yang malah ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri. Dengan demikian,   Lupus   disebut   sebagai autoimmune disease(penyakit   dengan   kekebalan   tubuh berlebihan).

Penyakit ini dikelompokkan dalam tiga jenis (kelompok), yaitu :

1.      Penyakit Lupus Diskoid

Cutaneus Lupus atau   sering   disebut   dengan   discoid,   adalah   penyakit   lupus   yang   terbatas   pada kulit.Klien dengan lupus diskoid memiliki versi penyakit yang terbatas pada kulit, ditandai dengan ruam yang muncul pada wajah, leher, dan kulit kepala, tetapi tidak memengaruhi organ internal.

Penyakit   ini   biasanya   lebih   ringan   biasanya   sekitar   10%-15%   yang   berkembang  menjadi   lupus sistemik.

2.      Penyakit Lupus Sistemik

Pada   sekitar   10%  pasien   lupus  diskoid,   penyakitnya  berevolusi   dan  berkembang  menjadi   lupus sistemik   yang  memengaruhi   organ   internal   tubuh   seperti   sendi,   paru-paru,   ginjal,   darah,   dan jantung. Lupus jenis ini sering ditandai dengan periode suar (ketika penyakit ini aktif) dan periode remisi (ketika penyakit ini tidak aktif). Tidak ada cara untuk memperkirakan berapa lama suar akan berlangsung. Setelah suar awal, beberapa pasien lupus sembuh dan tidak pernah mengalami suar lain, tetapi pada beberapa pasien lain suar datang dan pergi berulang kali selama bertahun-tahun.

3.      Drug Induced Lupus (DIL)

DIL atau dikenal dengan nama Lupus karena pengaruh obat. Jenis lupus ini disebabkan oleh reaksi terhadap obat resep tertentu dan menyebabkan gejala sangat mirip lupus sistemik. Obat yang paling sering  menimbulkan   reaksi   lupus   adalah   obat   hipertensi   hydralazine   dan   obat   aritmia   jantung procainamide,  obat TBC Isoniazid,  obat  jerawat Minocycline dan sekitar  400-an obat  lain.  Gejala penyakit lupus mereda setelah pasien berhenti mengkonsumsi obat pemicunya.

Ada juga “Lupus neonatal” yang jarang terjadi. Kondisi ini terjadi pada bayi yang belum lahir dan bayi baru lahir dapat memiliki ruam kulit dan komplikasi lain pada hati dan darahnya karena serangan antibodi  dari   ibunya.  Ruam yang muncul  akan memudar dalam enam bulan pertama kehidupan anak.

Penyakit   lupus   ini   bermacam-macam.   Jika  menyerang   kulit,   kulit   kepala   akan   ngelotok sehingga rambutpun akan rontok. Jika menyerang tulang, seluruhnya sakit, berbaring posisi apa pun sakit.  Biasanya  untuk  menghilangkan   sakit  menggunakan  morfin,   tapi   jika  menggunakan  morfin efeknya   tidak   baik,   jadi   sering   kali   penderita   berteriak   kesakitan,   mengerikan   memang.   Jika 

Page 22: Laporan Pendahuluan Sle

menyerang darah, darahnya akan mengental dan tidak mencapai otak, stroke dan koma. Lupus itu mirip AIDS bahkan mungkin  lebih parah,  daya tahan tubuh penderita  menurun drastis,  sehingga penyakit-penyakit mudah menyerang tubuh penderita.

Penyakit   lupus  ini  dapat  menyerang siapa saja dan para peneliti masih menindak  lanjuti penyebab penyakit ini. Penyakit lupus justru kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50   tahun sekalipun  ada  juga  pria  yang  mengalaminya.  Menurut  perkiraan  para   ilmuwan bahwa hormon wanita   (hormon estrogen)  mungkin ada hubungannya dengan penyebab penyakit   lupus karena dari fakta yang ada diketahui bahwa 9 dari 10 orang penderita penyakit lupus adalah wanita. Yang memicu penyakit lupus adalah lingkungan, stress, obat-obatan tertentu, infeksi, dan paparan sinar matahari.

Pada kehamilan dari  perempuan yang menderita penyakit   lupus,  sering diduga berkaitan dengan   kehamilan   yang  menyebabkan   abortus,   gangguan   perkembangan   janin   atau   pun   bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk gejala penyakit   lupus.   Sering   dijumpai   gejala   penyakit   lupus   muncul   sewaktu   hamil   atau   setelah melahirkan.

Kebanyakan   kasus  memiliki   latar   belakang   dari   riwayat   keluarga   yang   pernah   terkena sebelumnya,   namun  dalam  beberapa   kasus   tidak   ada   penyebab   yang   jelas   untuk   penyakit   ini. Penyakit lupus telah banyak diteliti dan telah dikaitkan dengan gangguan lain, tetapi hanya dalam teori, tidak ada yang jelas dinyatakan sebagai fakta.

Sampai saat ini, Lupus masih merupakan penyakit misterius di kalangan medis. Kecuali lupus yang disebabkan reaksi obat, penyebab pasti penyakit ini tidak diketahui. Perdebatan bahkan masih berlangsung mengenai apakah lupus adalah satu penyakit atau kombinasi dari beberapa penyakit yang berhubungan. Sekitar 90% penderita lupus adalah perempuan, yang mengindikasikan bahwa penyakit ini mungkin terkait hormon-hormon perempuan. Menstruasi, menopause dan melahirkan dapat memicu timbulnya lupus. Sekitar 80% pasien lupus menderita  penyakit ini di usia antara 15 sampai dengan 45 tahun atau 50 tahun.

Biasanya odipus (orang hidup dengan lupus) akan menghindari hal-hal yang dapat membuat penyakitnya kambuh dengan :

1. Menghindari stress

2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari

3. mengurangi beban kerja yang berlebihan

4. menghindari pemakaian obat tertentu.  ( sumber wikipedia indonesia)

Saat ini tidak ada tes tunggal yang dapat memastikan apakah seseorang terkena penyakit lupus.  Diagnosis   dapat   ditegakkan  melalui   pemeriksaan   komprehensif   yang  mempertimbangkan semua gejala dan riwayat penyakit.

Pada   tahun   1982 American College of Rheumatology atau American Rheumatism Association (ARA) menetapkan “Sebelas Kriteria Lupus” untuk membantu dokter mendiagnosis lupus dan yang diperbaharui tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat 

Page 23: Laporan Pendahuluan Sle

ditegakkan  jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau  lebih  kriteria  dari  11 kriteria yaitu :

1.      Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami kerusakan

2.      Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan immunofluoroscence atau   pemeriksaan   serupajika   diketahui   tidak   ada   pemberian   obat   yang   dapat   memicu ANAsebelumnya

3.      Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)

4.      Fotosensitif   bercak   reaksi   sinar  matahari   =   peka   terhadap   sinar   UV   /matahari,   menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit

5.      Bercak diskoid = Ruam pada kulit

6.      Salah satu Kelainan darah :

a)      anemia hemolitik,

b)      Leukosit < 4000/mm³,

c)      Limfosit<1500/mm³, dan

d)      Trombosit <100.000/mm³

7.      Salah satu Kelainan Ginjal :

a)      Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,

b)      Sedimen   seluler   =   adanya   elemen   abnormal   dalam   air   kemih   yang   berasal   dari   sel   darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal

8.      Salah satu Serositis :

a)      Pleuritis,

b)      Perikarditis

9.      Salah satu kelainan Neurologis :

a)      Konvulsi / kejang,

b)      Psikosis

10.  Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan

11.  Salah satu Kelainan Imunologi :

a)      Sel LE+

b)      Anti dsDNA diatas titer normal

Page 24: Laporan Pendahuluan Sle

c)      Anti Sm (Smith) diatas titer normal

d)      Tes serologi sifilis positif palsu

B.     Pengobatan Tradisional Penyakit Lupus Menggunakan Obat Herbal

Jika sudah terkena Lupus harus segera mendapat penanganan yang serius. Didalam makalah ini  tim penulis   juga akan memberikan beberapa saran pengobatan penyakit   lupus secara herbal alami dengan kombinasi produk herbal dari PT UFO BKB Syariah yaitu :

1.       XAMthone Plus

2.      Madu Cerna

3.      Teh Murbei

4.      Kapsul MGL Super

Madu   Cerna   fungsinya  menyembuhkan   sistim   saluran   pencernaan   yang   sudah   diserang sehingga   nanti   bisa   menyerap   zat   dari   XAMthone   Plus,   Teh  Murbei   dan   Kapsul   MGL   untuk menormalkan sistim kekebalan tubuh yang berlebihan tersebut.

Secara spesifik Teh Murbei  dan Kapsul  MGL Super akan memperbaiki  kinerja ginjal  yang sudah rusak yang menyebabkan persendian sakit bahkan tidak bisa digerakkan atau lumpuh. Perlu diketahui  ginjal  adalah benteng pertahanan pertama dari   tubuh kita  karena semua zat-zat  yang masuk ke dalam tubuh akan di saring di ginjal. Sedangkan XAMthone Plus akan memperbaiki sistem-sistem secara keseluruhan.

BAB III

LAPORAN PENDAHULUAN

A.     Defenisi Penyakit Lupus

Penyakit  lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit autoimun artinya tubuh pasien  lupus  membentuk antibodi  yang salah arah,  yang akhirnya merusak organ tubuh sendiri, seperti   ginjal,   hati,   sendi,   sel   darah  merah,   leukosit,   atau   trombosit   dan   organ   lain.   Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.

Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat dengan kata lain, sistem imun yang terbentuk berlebihan. Kelainan ini dikenal dengan 

Page 25: Laporan Pendahuluan Sle

autoimunitas. Pada satu kasus  penyakit ini bisa membuat kulit seperti ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). Pada kasus lain ketika sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian dapat menyebabkan kelumpuhan (lupus SLE).

SLE   (Sistemics lupus erythematosus)   adalah  penyakit   radang  multisistem  yang   sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun dalam tubuh.

SLE   atau   LES   (lupus   eritematosus   sistemik)   adalah   penyakit   radang   atau   imflamasi multisystem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan system imun (Albar, 2003).

B.     Etiologi

Sehingga kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan.

Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE)   ini   lebih   kerap   ditemui   di   kalangan   kaum wanita.   Ini  menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai  peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.

C.     Patofis (Patofisiologis)

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,  isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa   turut   terlibat  dalam penyakit  SLE-  akibat  senyawa kimia atau obat-obatan. .

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen.

Sebagai   akibatnya   munculah   sel   T   autoreaktif   yang   akan   menyebabkan   induksi   serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini  masih belum jelas.  Sebagian dari  yang diduga termasuk didalamnya  ialah hormon seks,  sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya  dalam keadaan alamiah  terdapat  dalam bentuk  agregat  protein  dan atau  kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini secara 

Page 26: Laporan Pendahuluan Sle

bersama-sama   disebut   ANA   (anti-nuclear   antibody).   Dengan   antigennya   yang   spesifik,   ANA membentuk kompleks  imun yang beredar dalam sirkulasi.  Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun

Uptake kompleks   imun pada  limpa.  Gangguan-gangguan  ini  memungkinkan terbentuknya deposit  kompleks  imun di   luar sistem fagosit  mononuklear.  Kompleks  imun  ini  akan mengendap pada  berbagai  macam organ  dengan  akibat   terjadinya  fiksasi   komplemen  pada  organ   tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat  yang bersangkutan  seperti ginjal,  sendi,  pleura,  pleksus  koroideus,  kulit  dan sebagainya. Bagian  yang  penting  dalam patofisiologi   ini   ialah   terganggunya  mekanisme  regulasi   yang  dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

D.     Manifestasi Klinis

Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan   berkembang.   Karena   itu,   gejala   dan   beratnya   penyakit,   bervariasi   pada   setiap   penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.

Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.

1.      Sistem Muskuloskeletal

a)      Artralgia

b)      artritis (sinovitis)

c)      pembengkakan sendi,

d)      nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan

e)      rasa kaku pada pagi hari.

2.      Sistem Integument (Kulit)

a)      Lesi akut pada kulit  yang terdiri  atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi, dan

b)      Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

3.      Sistem kardiak

a)      Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.

4.      Sistem pernafasan

a)      Pleuritis atau efusi pleura.

Page 27: Laporan Pendahuluan Sle

5.      Sistem vaskuler

a)      Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,

b)      eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

6.      Sistem perkemihan

a)      Glomerulus renal yang biasanya terkena.

7.      Sistem saraf

a)      Spektrum   gangguan   sistem   saraf   pusat   sangat   luas   dan   mencakup   seluruh   bentuk   penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

E.      Prognosis

Karena perjalanan lupus tak dapat diramalkan, maka prognosisnya sangat bervariasi.  Penyakit  ini cenderung  menjadi   kronis   dan   kambuhan,   seringkali   dengan   periode   bebas   gejala   yang   dapat berakhir   dalam   hitungan   tahun.   Flare   jarang   terjadi   setelah  menopous.   Prognosis   penyakit   ini semakin membaik dengan bermakna dalam dua dekade terakhir ini.  Biasanya, jika inflamasi awal dikendalikan, prognosis jangka panjangnya adalah baik.

Jika   gejala   lupus   adalah   disebabkan   oleh   penggunaan   suatu   obat,   penghentian   obatakan menyembuhkan lupus, walaupun penyembuhan dapat memakan waktu berbulan-bulan.

F.      Evaluasi Diagnostik

Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:

1.      Pemeriksaan Laboratorium

a)      Tes Anti ds-DNA

  Batas normal : 70 – 200 IU/mL

  Negatif          : < 70 IU/mL

  Positif             :  > 200 IU/mL

Antibodi   ini  ditemukan pada 65% –  80% penderita  dengan SLE  aktif  dan  jarang pada penderita dengan penyakit   lain.  Jumlah yang tinggi  merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai   sedang  dapat  ditemukan  pada  penderita  dengan  penyakit   reumatik  yang   lain,  hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang   tepat  dan   dapat  meningkat   pada   penyebaran   penyakit   terutama   lupus   glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).

Page 28: Laporan Pendahuluan Sle

Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA).  Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis   saja   tetapi  merupakan   konstributor   yang   besar   dalam   perjalanan   penyakit   tersebut. Kompleks   tersebut   akan  menginduksi   sistem   komplemen   yang   dapat  menyebabkan   terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).

b)      Tes Antinuclear antibodies (ANA)

  Harga normal : nol

ANA  digunakan  untuk  diagnosa  SLE  dan  penyakit   autoimun  yang   lain.  ANA adalah   sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE,  hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja   karena  ANA   juga   berkaitan   dengan   penyakit   reumatik   yang   lain.   Jumlah  ANA   yang   tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes  positif  maka  sebaiknya  dilakukan  tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm),   anti-RNP   (anti-ribonukleoprotein),   dan   anti-SSA   (Ro)   atau   anti-SSB   (La)   (Pagana   and Pagana, 2002).

2.      Tes Laboratorium lain

Tes  laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi  pada penyakit  SLE  antara   lain  adalah antiribosomal  P,  antikardiolipin,   lupus  antikoagulan, Coombs   test,   anti-histon,  marker   reaksi   inflamasi   (Erythrocyte   Sedimentation  Rate/ESR   atau   C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).

3.      Pemeriksaan Penunjang

a)      Ruam kulit atau lesi yang khas.

b)      Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.

c)      Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung.

d)      Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +++.

e)      Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.

f)       Biopsi ginjal.

g)      Pemeriksaan saraf.

G.     Tinjauan Pengobatan

Page 29: Laporan Pendahuluan Sle

Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien,  memonitor  manifestasi   penyakit,  menghindari   penyebaran   penyakit,   serta  memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi  dalam manifestasi  klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.

Pengobatan  SLE  meliputi  terapi  nonfarmakologi  dan   terapi   farmakologi   (Herfindal  et  al., 2000), sebagai berikut :

1.      Terapi nonfarmakologi

Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara   istirahat   dan   kerja,   dan   hindari   kerja   yang   terlalu   berlebihan.   Penderita   SLE   sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg  diet   dapat  menurunkan  produksi   sitokin  proinflamasi   seperti   IL-4,   IL-6,   TNF-a,   IL-10,   dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE  sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar  UV yang terdapat  pada sinar  matahari  ketika akan beraktivitas  di   luar   rumah (Delafuente, 2002).

2.      Terapi farmakologi

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya  pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.

3.      NSAID

Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan  termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari  mediator  inflamasi  termasuk interleukin,   interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan  COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi  prostaglandin untuk melindungi  lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal   (Katzung,   2002).   Efek   samping   penggunaan   NSAID   adalah   perdarahan   saluran   cerna, ulser,  nefrotoksik,  kulit  kemerahan,  dan  alergi   lainnya.   Celecoxib   merupakan   inhibitor   selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).

Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang timbul,   frekuensi   pemberian,   dan  biaya.  Pemberian   terapi  pada  pasien  SLE  dilakukan   selama  1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan   efek   samping  maka  dipilih  NSAID   yang   lain  dengan  periode  1   sampai   2  minggu. Penggunaan   lebih   dari   satu  NSAID  tidak  meningkatkan  efikasi   tetapi  malah  meningkatkan   efek samping   toksisitasnya  sehingga  tidak  direkomendasikan.  Apabila   terapi  NSAID  gagal  maka dapat 

Page 30: Laporan Pendahuluan Sle

digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria  tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).

4.      Antimalaria

Antimalaria  efektif  digunakan untuk manifestasi  ringan atau sedang (demam, atralgia,   lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α).

Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50%  selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum   pengobatan   dihentikan   sebaiknya   dilakukan   tapering   dosis   dengan  memberikan   obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali  per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).

5.      Kortikosteroid

Penderita   dengan   manifestasi   klinis   yang   serius   dan   tidak   memberikan   respon   terhadap penggunaan  obat   lain   seperti  NSAID   atau  antimalaria   diberikan   terapi   kortikosteroid.  Beberapa pasien   yang   mengalami  lupus   eritematosus   pada   kulit   baik   kronik   atau   subakut   lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme   kerja   sebagai   antiinflamasi   melalui   hambatan   enzim   fosfolipase   yang   mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen,  membunuh  mikroorganisme,  dan  memproduksi   interleukin-1,   TNF-α,  metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi,  imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal,  dan  memperbaiki  manifestasi   klinik   yang  timbul.   Penderita   SLE  umumnya  menerima kortikosteroid   dosis   tinggi   selama  3   sampai   6   hari   (pulse   therapy)  untuk  mempercepat   respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena  (10–30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian  prednison secara oral selama beberapa minggu.

Penggunaan  kortikosteroid   secara   intravena  pada  75% pasien  menunjukkan  perbaikan   yang berarti  dalam beberapa  hari  meskipun  pada  awalnya  marker  yang  menunjukkan  penyakit  ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian   glukokortikoid Kadar  komplemen    dan   antibodi    DNA    dalam    serum    menurun   dalam   1   sampai   3  minggu. Beberapa  manifestasi   seperti   vaskulitis,   serositis,   abnormalitas   hematologik,   abnormalitas   CNS umumnya memberikan respon dalam  5 sampai  19 hari.

Page 31: Laporan Pendahuluan Sle

Oral   prednison   lebih   sering  digunakan  daripada  deksametason   karena  waktu  paronya   lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai  maka   untuk   terapi   selanjutnya   didasarkan   pada   pengontrolan   gejala   yang   timbul   dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan   tapering   dosis  menjadi   alternate-day   dan   adanya   kemungkinan   untuk  menghentikan pemakaian.   Yang  perlu  diperhatikan  adalah   ketika   akan  melakukan  tapering  dosis prednison  20 mg  per  hari   atau   kurang  dan  penggantian  menjadi   alternate-day   sebaiknya  berhati-hati   karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).

Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin.   Sedangkan   untuk   kerusakan   organ-organ   besar   selama   penyebaran   (contoh nefritis)  tidak  selalu  dipertimbangkan  untuk  melakukan   tapering  dosis  karena  penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).

Penggunaan kortikosteroid  dosis  tinggi  dapat  menyebabkan diabetes  melitus  atau hipertensi sehingga   diperlukan   monitoring   terhadap   tekanan   darah   dan   kadar   glukosa   darah   selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan   terhadap   infeksi   yang  merupakan   salah   satu   penyebab   kematian  pada   pasien   SLE. Osteoporosis  juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).

6.      Siklofosfamid

Digunakan   untuk   pengobatan   penyakit   yang  berat   dan   merupakan   obat   sitotoksik   bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara  langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi   inflamasi.  Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count.  Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal,   interval  pemberian,  rute pemberian,  durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.

Siklofosfamid   juga   menurunkan   proteinuria,   antibodi   DNA,   serum   kreatinin   dan meningkatkan kadar   komplemen   (C3)   sehingga   dapat   mengatasi   lupus   nefritis.   Penggunaan siklofosfamid   yang   dikombinasi   dengan   steroid   dosis   tinggi   pada   penderita   lupus   nefritis   yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.

Efek samping  lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual,  muntah, diare,  dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).

Page 32: Laporan Pendahuluan Sle

7.      Terapi hormone

Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria  yang diproduksi pada saat masih fetus   dan   berhenti   setelah   dilahirkan.  Hormon   ini   kembali   aktif   diproduksi   pada   usia   7   tahun, mencapai   puncak   pada   usia   30   tahun,   dan   menurun   seiring   bertambahnya   usia.   Pasien   SLE mempunyai  kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini  memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai  efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall,  1998).  Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1,  IL-6,  dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara  in vivo belum diketahui   (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).

8.      Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus

Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida   (Isenberg   and   Horsfall,   1998).   Untuk   herpes   zoster   dapat   diatasi   dengan   pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali  sehari selama 5–7 hari. Salmonella dapat  diterapi  dengan  antibiotik  golongan  kuinolon,   ampisilin,   kotrimoksazol,   dan  kloramfenikol (Katzung,   2002).   Sedangkan   golongan   penisilin   dan   sefalosporin   tidak digunakan  karena menyebabkan  rash   yang  sensitif  sehingga   dapat   memperparah   rash   SLE (Isenberg   and   Horsfall,   1998).   Adanya   infeksi   dari   Candida   dapat   diatasi   dengan   pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).

H.     Penatalaksanaan

1.      Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg per hari s/d 6 bulan postpartum)  (metilprednisolon 1000 mg per 24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik dilakukan tapering off).

2.      AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).

3.      Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).

4.      Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.

BAB IV

ASUHAN KEPERAWATAN

A.     Pengkajian

Page 33: Laporan Pendahuluan Sle

1.      Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala   yang   pernah   dialami   seperti   keluhan   mudah   lelah,   lemah,   nyeri,   kaku,   demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.

2.      Kulit

Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.

3.      Kardiovaskuler

a)      Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.

b)      Lesi   eritematous   papuler   dan   purpura   yang  menjadi   nekrosis  menunjukkan   gangguan   vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.

4.      Sistem Muskuloskeletal

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

5.      Sistem integumen

a)      Lesi akut pada kulit  yang terdiri  atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.

b)      Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

6.      Sistem pernafasan

Pleuritis atau efusi pleura.

7.      Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

8.      Sistem Renal

Edema dan hematuria.

9.      Sistem saraf

Sering   terjadi  depresi  dan psikosis,   juga  serangan kejang-kejang,  korea  ataupun manifestasi  SSP lainnya.

B.     Diagnosa Keperawatan

1.      Uraian Masalah Keperawatan

a)      Nyeri

Page 34: Laporan Pendahuluan Sle

b)      Kerusakan intergritas kulit

c)      Isolasi sosial

d)      Kerusakan mobilitas fisik

e)      Keletihan/kelelahan

f)       Perubahan Nutrisi

g)      Kurang Pengetahuan

Sumber diagnose diatas di ambil dari beberapa sumber buku dan dipadu dalam buku ini.

Yang akan tim penulis ambil didalam makalah ini adalah sebagai berikut :

2.      Diagnosa Keperawatan

a)      Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

b)      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.

c)      Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

C.     Intervensi (Rencana Tindakan)

1.      Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.

Tujuan dan Kriteria Hasil :

a)      Tujuan :

1)      Gangguan nyeri dapat teratasi

2)      Perbaikan dalam tingkat kenyamanan

b)      Kriteria Hasil :

1)      Skala Nyeri : 1-10

c)      Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R)

  Mandiri :

1)      I : Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas (skala nyeri 1-10).

R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan/kerusakan tetapi, biasanya paling berat selama penggantian balutan dan debridemen.

Page 35: Laporan Pendahuluan Sle

2)      I   :   Tutup   luka   sesegera  mungkin  kecuali   perawatan   luka  bakar  metode  pemajanan  pada  udara terbuka.

R : suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf.

3)      I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup tubuh hangat.

R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas eksternal perlu untuk mencegah menggigil.

4)      I   :   Lakukan   penggantian   balutan   dan   debridemen   setelah   pasien   di   beri   obat   dan/atau   pada hidroterapi.

R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan penggantian balutan dan debridemen.

5)      I : Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.

R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme koping.

6)      I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, napas dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi.

R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan rasa control, yang dapat menurunkan ketergantungan farmakologis.

7)      I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.

R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan kembali perhatian.

  Kolaborasi

8)      I : Berikan analgesic sesuai indikasi.

R : membantu mengurangi nyeri.

2.      Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.

Tujuan dan Kriteria Hasil :

a)      Tujuan :

1)      Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit

b)      Kriteria Hasil :

1)      Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.

c)      Rencana Tindakan dan Rasional

  Mandiri

Page 36: Laporan Pendahuluan Sle

1)      I   :   Kaji   kulit   setiap   hari.   Catat  warna,   turgor,sirkulasi   dan   sensasi.   Gambarkan   lesi   dan   amati perubahan.

R :  Menentukan garis  dasar di  man perubahan pada status dapat di  bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.

2)      I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau krim.

R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.

3)      I : Gunting kuku secara teratur.

R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.

4)      I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.

R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.

  Kombinasi :

5)      I : gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi

R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.

3.      Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.

Tujuan dan Kriteria Hasil :

a)      Tujuan :

1)      Memberikan   informasi   tentang   penyakit   dan   prosesnya   kepada   klien   dan   keluarga   klien/orang terdekat (bila tidak ada keluarga).

b)      Kriteria Hasil :

1)      Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari informasi yang diberikan

c)      Rencana Tindakan dan Rasional

1)      I : Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.

R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.

2)      I : Tinjau ulang cara penularan penyakit.

R:   mengoreksi   mitos   dan   kesalahan   konsepsi,   meningkatkan   ,   mendukung   keamanan   bagi pasien/orang lain.

3)      I : Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien.

R : merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.

Page 37: Laporan Pendahuluan Sle

4)      I : Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi

R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan perubahan/individu.

5)      I   :   Identifikasi   sumber-sumber   komunitas,   misalnya  rumah   sakit   sebelumnya/pusat   perawatan tempat tinggal.

R   :   Memudahkan   pemindahkan   dari   lingkungan   perawatan   akut;   mendukung   pemulihan   dan kemandirian.

Page 38: Laporan Pendahuluan Sle

BAB V

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :

1)      Penyakit   lupus  merupakan   salah   satu  penyakit   berbahaya   selain  AIDS  dan   kanker.   Penyakit   ini merupakan   salah   satu   penyakit   autoimun,   dimana   sistem   imun   terbentuk   secara   berlebihan sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.

2)      Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya tetapi diduga yang menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu,   dan   lingkungan.   Para   ilmuwan  menduga   penyakit   ini   ada   kaitannya   dengan   hormon estrogen.

3)      Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap sepele tetapi justru perlu untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari penyebarannya sampai ke organ-organ.

B.     Saran

Oleh karena itu, tim penulis memberikan beberapa saran :

1)      Perlu mengenali gejala-gejala pada penyakit lupus ini agar dapat ditangani dengan baik sejak awal untuk  mempercepat   proses   penyembuhan   dan   atau  merawat   penyakit   ini   untuk  menghindari penyebarannya keseluruh organ tubuh.

2)      Perlu mengetahui tindakan-tindakan untuk proses penyembuhan penyakit ini.

3)      Perlu mendapatkan informasi yang lebih dalam makalah ini tentang penyakit ini.

SEKILAS INFO

  Fotosensitif adalah kondisi di mana seseorang sangat peka terhadap sinar matahari. Bila terkena sinar matahari kulit akan menjadi merah, sangat letih, tubuh tidak nyaman dan tidak enak.

Page 39: Laporan Pendahuluan Sle

  Estrogen   (atau  oestrogen)   adalah   sekelompok   senyawa   steroid   yang  berfungsi   terutama   sebagai hormon seks wanita. Walaupun terdapat baik dalam tubuh pria maupun wanita, kandungannya jauh lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur.

Jadi hormone estrogen ada pada wanita dan pria. Bedanya adalah dikadarnya (kandungannya). Pria memeliki kadar yang lebih sedikit dibandingkan wanita (terutama pada usia produktif yaitu wanita usia subur)

  Radang (bahasa  Inggris: inflammation)  adalah respon dari  suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Radang atau inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Buku Kedokteran

Djaunzi, Samsuridjal. an. Raih Kembali Kesehatan : Mencegah Berbagai Penyakit Hidup Sehat untuk Keluarga. Jakarta : Kompas

Doenges,   Marilyn   E.   1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC

Gibson J.M, MD. 1996. Mikrologi dan Patologi Modern untuk Perawat. Buku Kedokteran

Lumenta,  Nico  A.  dkk.  2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan Cara Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo

Robins. Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi (edisi 4). Buku Kedokteran

Robins., dkk. 1996. Buku Saku Robins : Dasar Patologi Penyakit (edisi 5). Buku Kedokteran

Smeltzer,  Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart edisi 8 volume 3 . Jakarta : EGC

sumber lain :

http://doktersehat.com/lupus-apa-itu-penyakit-lupus/ , diakses pada tanggal 10 Desember 2012, jam 13.45

WITA

http://id.wikipedia.org/wiki/Lupus_eritematosus_sistemik , diakses pada tanggal 8 Desember 2012, jam 9.00

WITA

http://infokesehatan101.blogspot.com/2012/07/penyakit-lupus.html , diakses pada tanggal 7 Desember 2012,

jam 11. 00 WITA

Page 40: Laporan Pendahuluan Sle

http://kotasehat.blogspot.com/2012/01/penyakit-lupus-gejala-dan-pengobatannya.html , diakses pada tanggal 8

Desember 2012 jam 9.30 WITA

http://www.lupusarthritisindonesia.org/id/basicinfo-systemic.php , diakses pada tanggal 10 Desember 2012, jam

14.00 WITA

http://majalahkesehatan.com/penyakit-misterius-bernama-lupus/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam

10.45 WITA

http://mazrie.wordpress.com/2010/01/14/67/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 15.00 WITA

http://niwanasod.net/penyakit-lupus/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012,  jam 15. 45 WITA

http://www.antaranews.com/berita/338354/gejala-penyakit-lupus-yang-sering-diabaikan oleh editor Aditia

Maruli, diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 10. 30 WITA

http://www.metris-community.com/penyakit-lupus-gejala-penyebab-lupus-penyakit/ , diakses pada tanggal 8

Desember 2012, jam 11. 00 WITA

http://www.penyakitlupus.net/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 16.00 WITA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah

Systemic Erithematosus Lupus (SEL) atau yang biasa dikenal dengan istilah Lupus adalah penyakit

kronik atau menahun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit

yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak

manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit

collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya

penyakit tersebut (Delafuente, 2002).

Penyakit LES merupakan salah satu penyakit yang masih awam ditelinga masyarakat Indonesia.

Namun, bukan berarti tidak banyak orang yang terkena penyakit ini. Kementerian Kesehatan

menyatakan lebih dari 5 juta orang di seluruh dunia terdiagnosis penyakit Lupus. Sebagian besar

penderitanya ialah perempuan di usia produktif yang ditemukan lebih dari 100.000 setiap tahun. Di

Indonesia jumlah penderita penyakit Lupus secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan

mencapai jumlah 1,5 juta orang (Kementerian Kesehatan, 2012).

SLE dapat menyerang semua usia, namun sebagian besar pasien ditemukan pada perempuan usia

produktif.  Sembilan dari sepuluh orang penderita lupus (odapus) adalah  wanita dan sebagian

besar wanita yang mengidap SLE ini berusia 15-40 tahun. Namun, masih belum diketahui secara

pasti penyebab lebih banyaknya penyakit SLE yang menyerang wanita.

SLE dikenal juga dengan penyakit 1000 wajah karena gejala awal penyakit ini tidak spesifik,

sehingga pada awalnya penyakit ini sangat sulit didiagnosa. Hal tersebut menyebabkan

penanganan terhadap penyakit lupus terlambat sehingga penyakit tersebut banyak menelan

korban. Penyakit ini dibagi menjadi tiga kategori yakni discoid lupus, systemic lupus

erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat. Masing-masing kategori tersebut memiliki

gejala, tingkat keparahan serta pengobatan yang berbeda-beda.

Penderita SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar, pengobatan yang

diberikan haruslah rasional. Perawatan pada pasien SLE juga harus diperhatikan, seperti

mengurangi paparan sinar UV terhadap tubuh pasien.

Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman mengenai penyakit systemik  eritematosus lupus,

pengertian tentang systemic lupus eritematosus, etiologi dan faktor risiko, manifestasi klinis,

Page 41: Laporan Pendahuluan Sle

patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penatalaksanaan (medis,

keperawatan, diet) serta asuhan keperawatan bagi penderita lupus.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Definisi Lupus Eritematosus Systemik (LES)

Lupus Eritematosus Systemik (LES) adalah suatu penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh

terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen diri yang berlainan. Antibodi-antibodi

tersebut biasanya adalah IgG atau IgM dan dapat bekerja terhadap asam nukleat pada DNA atau

RNA, protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Komplek

antigen antibodi dapat mengendap di jaringan kapiler sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas III,

kemudian terjadi peradangan kronik (Elizabeth, 2009).

Systemic Eritematosus Lupus (SEL) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit

autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan

sampai yang berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena

manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan (Sylvia dan Lorraine, 1995).

Ada tiga bentuk lupus yang dikenal, yaitu:

a.     Lupus systemik

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah gangguan autoimun kronis dimana tubuh menghasilkan

antibodi melawan jaringannya sendiri. Kompleks imun ini bersirkulasi di dalam darah dan

merangsang reaksi inflamasi di pembuluh darah kecil, jaringan penyambung, dan membran serosa

seluruh tubuh, sehingga menimbulkan berbagai gejala.

b.    Lupus discoid

Yaitu penyakit lupus yang menyerang kulit.

c.    Lupus karena obat

Penyakit lupus yang muncul setelah penggunaan obat tertentu, seperti hidralazin (Apresoline),

metildopa (Aldomet), klorpromazin (Thorazine), prokainamid (Pronestyl) (Barbara Engram, 1998).

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko

a. Etiologi

Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut

berperan pada patofisiologi LES.

Kecenderungan terjadinya LES dapat berhubungan dengan perubahan gen MHC spesifik dan

bagaimana antigen sendiri ditunjukkan dan dikenali. Wanita lebih cenderung mengalami LES

dibandigkan pria, karena peran hormon seks. LES dapat dicetuskan oleh stres, sering berkaitan

dengan kehamilan atau menyususi.

Pada beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet yang berlebihan dapat mencetuskan penyakit.

Penyakit ini biasanya mengenai wanita muda selama masa subur. Penyakit ini dapat bersifat

Page 42: Laporan Pendahuluan Sle

ringan selama bertahn-tahun, atau dapat berkembang dan menyebabkan kematian (Elizabeth,

2009).

b.    Faktor Risiko

1)    Faktor risiko genetik

Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria dewasa),

umur (lebih sering pada usia 20-40 tahun), etnik, dan faktor keturunan (frekuensinya 20 kali lebih

sering dalam keluarga di mana terdapat anggota dengan penyakit tersebut).

2)    Faktor risiko hormon

Estrogen menambah risiko LES, sedang androgen mengurangi risiko ini.

3)    Sinar ultraviolet

Sinar ultraviolet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga LES

kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin

sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran di

pemuluh darah.

4)    Imunitas

Pada pasien LES terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.

5)    Obat

Obat tertentu dalam presentasi kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu

tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE).

Jenis obat yang dapat menyebabkan lupus obat adalah:

a)    Obat yang pasti menyebabkan lupus obat: klorpromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,

dan isoniazid.

b)    Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus obat: dilantin, peninsilamin, dan kuinidin.

c)    Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis antibiotik, dan griseofulvin.

6)    Infeksi

Pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah

infeksi.

7)    Stres

Stres berat dapat mencetuskan LES pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan

penyakit ini (Arif Mansjoer, 2000).

2.3 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis dari LES biasanya dapat membingungkan, gejala yang palin sering adalah sebagai

berikut:

a.    Poliartralgia (nyeri sendi) dan artiritis (peradangan sendi).

b.    Demam akibat peradangan kronik

c.    Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung, kata Lupus berarti

serigala dan mengacu kepada penampakan topeng seperti serigala.

d.    Lesi dan kebiruan di ujung kaki akibat buruknya aliran darah dan hipoksia kronik

e.    Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari tangan

f.    Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan)

g.    Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung

h.    Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan ginjal dan hipertensi

i.    Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulang, dan perdarahan sering terjadi karena serangan

terhadap sel darah merah dan putih serta trombosit (Elizabeth, 2009).

2.4 Patofisiologi LES

Page 43: Laporan Pendahuluan Sle

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan

autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara

faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi

selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu

seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di

samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa

kimia atau obat-obatan.

Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang

abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan

menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut

berulang kembali.

2.5 Pathway   LES

(terlampir)

2.6 Komplikasi LES

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita LES adalah sebagai berikut:

a.    Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita LES. Gagal ginjal dapat

terjadi akibat deposit kompleks antibodi-antigen pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen

resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas tipe III

b.    Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikadium yang mengelilingi jantung)

c.    Peradangan membran pleura yang mengelilngi paru dapat membatasi perapasan. Sering

terjadi bronkhitis.

d.     Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer.

e.    Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian, termasuk

psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat

atau penyakitnya (Elizabeth, 2009).

2.7    Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang di lakukan terhadap pasien LES meliputi:

a.    ANA (anti nucler antibody). Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifisitas yang

rendah.

b.    Anti dsDNA (double stranded). Tes ini sangat spesifik untuk LES, biasanya titernya akan

meningkat sebelum LES kambuh.

c.    Antibodi anti-S (Smith). Antibodi spesifik terdapat pada 20-30% pasien.

d.    Anti-RNP (ribonukleoprotein), anti-ro/anti SS-A, antikoagulan lupus)/anti-SSB, dan antibodi

antikardiolipin. Titernya tidak terkait dengan kambuhnya LES.

e.    Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)

f.    Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga positif pada artritis reumatoid, sindrom sjogren,

skleroderna, obat, dan bahan-bahan kimia lain.

g.    Anti ssDNA (single stranded)

h.    Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis (Arif Mansjoer, 2000).

2.8    Penatalaksanaan LES

a.    Penatalaksanaan medis

Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-obat:

1)    Antiradang nonstreroid (AINS)

Page 44: Laporan Pendahuluan Sle

AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena

memiliki insiden hepatotoksik tertinggi, dan sebagian penderita SLE juga mengalami gangguan

pada hati. Penderita LES juga memiliki risiko tinggi terhadap efek samping obat-obatan AINS pada

kulit, hati, dan ginjal sehingga pemberian harus dipantau secara seksama.

2)    Kortikosteroid

3)    Antimalaria

Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS tidak dapat mengendalikan

gejala-gejala LES. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan dengan dosis tinggi untuk

memperoleh keadaan remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk memantau

pemakaian dosis.

4)    Imunosupresif

Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas

autoimun LES. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika:

a)    Diagnosis pasti sudah ditegakkan

b)    Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa

c)    Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian steroid tidak

memberikan respon atau bila dosis steroid harus diturunkan karena adanya efek samping

d)    Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma (Sylvia dan Lorraine, 1995).

b.    Penatalaksanaan keperawatan

Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai area klinik karena sifat penyakit yang homogeny.

Hal ini meliputi area praktik keperawatan reumatologi, pengobatan umum, dermatologi, ortopedik,

dan neurologi. Pada setiap area asuhan pasien, terdapat tiga komponen asuhan keperawatan yang

utama.

1)    Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan instrument yang valid, seperti

hitung nyeri tekan dan bengkak sendi (Thompson & Kirwan, 1995) dan kuesioner pengkajian

kesehatan (Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi yang berguna mengenai pemburukan atau

kekambuhan gejala.

2)    Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien yang menyadari

hubungan antara stres dan serangan aktivitas penyakit akan mampu mengoptimalkan prospek

kesehatan mereka. Advice tentang keseimbangan antara aktivitas dan periode istirahat,

pentingnya latihan, dan mengetahui tanda peringatan serangan, seperti peningkatan keletihan,

nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing, penting dalam membantu pasien mengembangkan

strategi koping dan menjamin masalah diperhatikan dengan baik.

3)    Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE. Perawat dapat memberi

dukungan dan dorongan serta, setelah pelatihan, dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli.

Pemberdayaan pasien, keluarga, dan pemberi asuhan memungkinkan kepatuhan dan kendali

personal yang lebih baik terhadap gaya hidup dan penatalaksanaan regimen bagi mereka (Anisa

Tri U., 2012).

c.    Penatalaksanaan diet

Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien memerlukan

kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium,

rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan

obat tradisional.

Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk mempertahankan

densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress

sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari,

bila terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof

Page 45: Laporan Pendahuluan Sle

sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada

pasien SLE.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1  Pengkajian Keperawatan

Riwayat atau adanya faktor risiko. Meskipun LES bukan herediter, insiden kadang-kadang lebih

tinggi diantara individu dengan riwayat keluarga positif.

Pemeriksaan fisik berdasarkan pada survei umum dapat menunjukkan keterlibatan multisystem,

karena SLE adalah penyakit inflamasi dari jaringan penyambung yang mempengaruhi kulit, sendi

membran pleural dan pericardial, ginjal, sumsum tulang, dan sistem saraf pusat. Asosiasi

Reumatisme Amerika telah mengidentifikasi karakteristik fisik yang berbeda dan temuan

labolatorium dari SLE. Diagnosis dari SLE dibuat dengan empat temuan berikut secara bersama-

sama (Whitney, 1989):

a.    Ruam malar – berbentuk kupu-kupu melintang di hidung dan pipi, mungkin unilateral atau

bilateral

b.    Pleuritis atau perikarditis

c.    Paliartritis – sendi nyeri terinnflamasi yang migrasi dan jarang mengakibatkan deformitas sendi

d.    Fotosensitif – terjadi ruam bila terpajan pada sinar matahari secara terus menerus

e.    Ruam discoid – bercak, merah, ruam kering pada area yang terpajan pada matahari

f.    Perubahan sistem saraf pusat seperti kejang atau psikosis

g.    Ulserasi membran mukosa (mulut, hidung, dan vagina)

h.    Abnormalitas hematologis (anemia, trombositopenia, leukopenia)

i.    Peningkatan antibodi antinuklear (ANA)

j.    Proteinuria, serpihan seluler, atau pus tanpa bakteriuria ditunjukkan oleh urinalis

Gejala tambahan meliputi:

a.    Pembesaran limpa dan hepar

b.    Penurunan berat badan, demam, kelelahan

c.    Fenomena Raynaud’s (perubahan warna pucat, sianosis, kemerahan pada jari disertai dengan

nyeri dan parestesia)

Kaji terhadap faktor yang mencetuskan eksaserbasi:

a.    Kelelahan berlebihan

b.    Pemajanan lama pada sinar ultraviolet (sinar matahari langsung)

c.    Pembedahan

d.    Obat tertentu seperti penisilin, sulfonamid, dan kontrasepsi oral

Dan selanjutnya kaji perasaan pasien tentang kondisi dan dampak gaya hidup (Barbara Engram,

1998).

3.2    Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan bagi penderita LES adalah sebagai berikut:

a.    Nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan

b.    Gangguan kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit dan lesi

c.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan komplikasi sekunder terhadap SLE

3.3    Intervensi Keperawatan dan Rasional Tindakan

Intervensi keperawatan dan rasional tindakan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

a.    Nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan

Page 46: Laporan Pendahuluan Sle

Tujuan:

Meringankan nyeri, dapat beristirahat dan mendapat pola tidur yang adekuat

NO INTERVENSI RASIONAL1 Tutup luka sesegera mungkin kecuali

perawatan luka bakar metode pemajanan pada udara terbuka.

1.       suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf. pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor.

2     Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup tubuh hangat.

Sumber panas eksternal perlu untuk mencegah menggigil.

3     Kaji keluhan nyeri. Perhatikan lokasi/karakter dan intensitas (skala 0-10).

nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan/kerusakan tetapi biasanya paling berat selama penggantian balutan dan debridemen.

4    Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat dan/atau pada hidroterapi

menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan penggantian balutan dan debridemen.

5 D Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.    pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme koping.

6 Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, napas dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi.

     memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan rasa control, yang dapat menurunkan ketergantungan farmakologis.

7      Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi

membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan kembali perhatian.

(Gusti Pandi Liputo, 2012).a.       Gangguan kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit dan lesi

Tujuan:dapat menunjukkan perilaku/teknik untuk meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi

NO INTERVENSI RASIONAL1 Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,

sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati perubahan

Menentukan garis dasar menentukan dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.

2 Pertahankan/intruksikan dalam hygien, misalnya, membasuh dan kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan

Mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi

Page 47: Laporan Pendahuluan Sle

melakukan masase dengan menggunakan lotion atau krim.

barier infeksi.

3 Gunting kuku secara teratur Kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.

4 Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif, misalny, duoderm, sesuai petunjuk.

Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan

(Gusti Pandi Liputo, 2012).

b.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan komplikasi sekunder terhadap LESTujuan:Peningkatan toleransi terhadap aktivitas

NO INTERVENSI RASIONAL1 Evaluasi rutinitas harian pasien. Bantu

perencanaan jadwal setiap hari untuk aktivitas yang meliputi periode istirahat sering

Istirahat membantu menyeimbangkan energi tubuh. Keseimbangan aktivitas fisik pada istirahat membantu mengontrol kelelahan dan peningkatan ketahanan.

2 Anjurkan pasien untuk menggunakan obat yang diresepkan untuk anemia dan dan menyimpan

Memungkinkan periode tambahan istirahat tanpagangguan

3 Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, bantu melakukan rentang rentang gerak sendi aktif/pasif

Tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan. Ini dapat terjadi karena keterbatasan aktivitas yang mengganggu periode istirahat

4 Dorong penggunaan teknik menejemen stres, contoh relaksasi progresif, visualisasi, bimbingan imajinasi. Berikan aktivitas hiburan yang tepat contoh menonton TV, radio, dan membaca.

Meningkatkan relaksasi dan penghematan enrgi, memusatkan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan koping.

(Gusti Pandi Lupito, 2012).

BAB IV

PENUTUP

4.1 SimpulanDari penjelasan yang kami sampaikan dalam makalah ini, maka dapat disimpulan bahwa SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan interaksi kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor lingkungan, yang semuanya dianggap ikut memainkan peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan pembuatan berbagai autoantibody polispesifik.Selain itu, pada banyak penderita SLE gambaran klinisnya membingungkan. Sehingga sering terjadi keterlambatan diagnosis penyakit LES. 4.2 Saran

Page 48: Laporan Pendahuluan Sle

Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita terkena penyakit SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan dihentikan. Karena, apabila dihentikan maka penyakit akan muncul kembali dan kumatlagi. Prognosisnya bertambah baik akhir-akhir ini, kira-kira 70% penderita akan hidup 10 tahun setelah timbulnya penyakit ini. Apabila didiagnosis lebih awal dan pengenalan terhadap bentuk penyakit ini ketika masih ringan.

DAFTAR PUSTAKA

Chang, Esther, dkk. 2009. Patofisiologi Aplikasi Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. 

Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Mrdikal-Bedah Volume 2. Jakarta: EGC.

Gusti Pandi Liputo. 2012. “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan  Sistem Imunologi

Lupus”, (Online), (http://gustinerz.wordpress.com/2012/04/06/pdf-asuhan-keperawatan-lupus-les/,

diakses 25 Oktober 2012). 

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit

Buku 2 Edisi 4. Jakarta: EGC. 

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius.

Page 49: Laporan Pendahuluan Sle
Page 50: Laporan Pendahuluan Sle