lp hd adek print

45
LAPORAN PENDAHULUAN CKD (CRONIC KIDNEY DISEASE) Causa HT (HIPERTENSI) dan HD (HEMODIALISA) CKD (CRONIC KIDNEY DISEASE) A. PENGERTIAN Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. (Brunner & Suddarth, 2001). Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², sebagai berikut: 1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan: - Kelainan patologik - Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan 2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan Ginjal (Chonchol, 2005) B. ETIOLOGI Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak adalah glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008). a. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis) b. Penyakit peradangan (glomerulonefritis) primer dan sekunder Glomerulonefritis adalah peradangan ginjal bilateral, biasanya timbul pasca infeksi streptococcus. Untuk glomerulus akut, gangguan fisiologis utamanya dapat mengakibatkan ekskresi air, natrium dan zat-zat nitrogen berkurang sehingga timbul edema dan azotemia, penigkatan aldoeteron menyebabkan retensi air dan

Upload: aliyah-adek-rahmah

Post on 01-Oct-2015

177 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

CKD causa HT

TRANSCRIPT

LAPORAN PENDAHULUAN

CKD (CRONIC KIDNEY DISEASE) Causa HT (HIPERTENSI)

dan HD (HEMODIALISA)

CKD (CRONIC KIDNEY DISEASE)A. PENGERTIAN

Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. (Brunner & Suddarth, 2001).

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m, sebagai berikut:

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan: Kelainan patologik Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan Ginjal (Chonchol, 2005)

B. ETIOLOGI

Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak adalah glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008). a. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)

b. Penyakit peradangan (glomerulonefritis) primer dan sekunder

Glomerulonefritis adalah peradangan ginjal bilateral, biasanya timbul pasca infeksi streptococcus. Untuk glomerulus akut, gangguan fisiologis utamanya dapat mengakibatkan ekskresi air, natrium dan zat-zat nitrogen berkurang sehingga timbul edema dan azotemia, penigkatan aldoeteron menyebabkan retensi air dan natrium. Untuk glomerulonefritis kronik, ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif lambat, akan nampak ginjal mengkerut, berat lebih kurang dengan permukaan bergranula. Ini disebabkan jumlah nefron berkurang karena iskemia, karena tubulus mengalami atropi, fibrosis intestisial dan penebalan dinding arteri

c. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis). Merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal. Sebaliknya CKD dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme retensi Na dan H2O, pengaruh vasopresor dari system renin, angiotensin dan defisiensi prostaclandin, keadaan ini merupakan salah satu penyebab utama GGK, terutama pada populasi bukan orang kulit putih.

d. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik)

e. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal). Penyakit ginjal polikistik yang ditandai dengan kista multiple, bilateral yang mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. Asidosis tubulus ginjal merupakan gangguan ekskresi H+ dari tubulus ginjal/kehilangan HCO3 dalam kemih walaupun GFR yang mamadai tetap dipertahankan, akibatnya timbul asidosis metabolic.

f. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)

g. Nefropati toksik

h. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)

C. FAKTOR RISIKO

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

D. KLASIFIKASI

Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR) dengan melihat kadar kretatinin. Kreatinin adalah produk sisa yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal yang sehat.

Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :

Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :

Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)

Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100 persen, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium.

Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)

Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik.

Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )

Pada tingkat ini akumulasi sisa sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :

Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.

Kelebihan cairan: Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.

Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampurdengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.

Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal beradan dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik dan infeksi.

Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.

Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)

Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini. Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah :

Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit tidur

Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.

Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.

Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau pernafasan yang tidak enak.

Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)

Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup. Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :

a. Kehilangan napsu makan

b. Nausea.

c. Sakit kepala.

d. Merasa lelah.

e. Tidak mampu berkonsentrasi.

f. Gatal gatal.

g. Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.

h. Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.

i. Keram otot

j. Perubahan warna kulit

E. PATOFISIOLOGI

Infeksi (ISK, glomerulonephritis, pielonefritis), penyakit vaskuler, adanya zat toksik serta penyakit kongenital dapat mempengaruhi GFR. Khususnya penyakit vaskuler dapat menghambat suplai darah ke ginjal. Hal ini menyebabkan GFR ginjal menjadi turun. Kondisi ini menyebabkan kerusakan sebagian nefron. Nefron yang utuh mencoba untuk meningkatkan reabsorpsi dan filtrasi, sehingga terjadilah hipertropfi nefron. Yang akan meningkatkan jumlah nefron yang rusak. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.

Gagal ginjal kronis juga akan mempengaruhi aktivasi RAA. Dimaan renin akan diproduksi dan akan merangsang angiotensin 1 yang selanjutnya akan diubah menjadi angiotensin 2 dan akan merangsag sekresi aldosterone. Proses ini akan menyebabkan retensi natrium dan air sehingga terjadi peningkatan tekanan kapiler dan pada akhirnya mempengaruhi volume interstitial yang meningkat. Pada penderita GGK akan timbul sebagai kondisi edema yang biasanya terjadi pada area ektremitas

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin. Kemudian timbul kondisi perpospatemia yang akan menimbulkan kondis gatal-gatal dikulit. Sindrom uremia juga menyebabkan gangguan asam basa dalam metabolism tubuh yang akan mempangaruhi produksi asam dalam lambung. Produksi asam lambung ini selanjutnya akan mengiritasi lambung.

Salah satu terapi pada penderita gagal ginjal kronik adalah dengan menggunakan CAPD. CAPD merupakan metode pengganti ginjal dengan memasukkan cairan dialisat dalam area peritoneal melalui pemasangan kateter. Namun dalam penggunaan cairan dialisat ini proses pergantian cairan dan konsentrasi cairan dialisat yang digunakan harus diperhatikan sebab beberapa pasien akan mengalami nyeri pada proses penggantian ini. Konsentrasi cairan dialisat yang digunakan pun perlu diperhatikan sebab penggunaan cairan hipertonik yang berlebih akan menyebabkan pembuangan cairan yang berlebih. Penggunaan CAPD berkelanjutan juga perlu memperhatikan intake cairan per oral.

F. TANDA DAN GEJALA

Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut: a. Gangguan kardiovaskuler

Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.

b. Gangguan Pulmoner

Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.

c. Gangguan gastrointestinal

Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.

d. Gangguan musculoskeletal

Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot otot ekstremitas.

e. Gangguan Integumen

Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.

f. Gangguan endokrin

g. Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.

h. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa

Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.

i. System hematology

j. Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Urin Volume: biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tak ada (anuria) Warna: secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkanoleh pus, bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat Osmoalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakn ginjal tubular dan rasio urin/serum sering 1:1 Klirens kreatinin: mungkin agak menurun Natrium:lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga adab. Darah BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir Ht : menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl SDM: menurun, defisiensi eritropoitin GDA:asidosis metabolik, ph kurang dari 7,2 Natrium serum : rendah Kalium: meningkat Magnesium;Meningkat Kalsium ; menurun Protein (albumin) : menurunc. Osmolalitas serum: lebih dari 285 mOsm/kg\d. Pelogram retrograd: abnormalitas pelvis ginjal dan uretere. Ultrasono ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atasf. Endoskopi ginjal, nefroskopi: untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektifg. Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, masah. EKG: ketidakseimbangan elektrolit dan asam basaH. PENATALAKSANAAN

1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006). a. Peranan diet ( Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. b. Kebutuhan jumlah kalori ( Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuatn dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.c. Kebutuhan cairan ( Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. d. Kebutuhan elektrolit dan mineral ( Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).2. Terapi simtomatik

a. Asidosis metabolik ( Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.

b. Anemia ( Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

c. Keluhan gastrointestinal ( Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

d. Kelainan kulit ( Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e. Kelainan neuromuscular ( Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f. Kelainan sistem kardiovaskular ( Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita. 3. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).

b. Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).

c. Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:

1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan

2. hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.

3. Kualitas hidup normal kembali

4. Masa hidup (survival rate) lebih lama

5. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif

6. untuk mencegah reaksi penolakan

7. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

HIPERTENSI1. PENGERTIAN

Hipertensi ( tekanan yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg dan diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya, mempunyai rentang dari tekanan darah normal tinggi sampai hipertensi maligna. Keadaan ini dikatagorikan sebagai primer/esensial (hampir 90% dari semua kasus) atau sekunder, terjadi sebagai akibat dari kondisi patologis yang dapat dikenali seringkali dapat diperbaiki. (Kapita Selecta Kedokteran ,2001 )2. Etiologi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal.a. Hipertensi esensial

Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan resiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul pada usia 30 50 tahun.

b. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain lain.

a) Hipertensi pada penyakit ginjal

Penyakit ginjal dapat meningkatkan tekanan darah dan sebaliknya hipertensi dalam jangka waktu yang lama dapat mengganggu ginjal. Secara klinis sulit untuk membedakan dua keadaan tersebut, terutama pada penyakit ginjal menahun. Beratnya pengaruh hipertensi terhadap ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dalam waktu lama makin berat komplikasi yang mungkin ditimbulkan. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun penyakit ginjal kronik, baik pada kelainan glumerolus maupun pada kelainan vaskular. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokkan dalam :

1. Penyakit glumerolus akut

Hipertensi terjadi karena adanya retensi natrium yang menyebabkan hipervolemik. Retensi natrium terjadi karena adanya peningkatan reabsorbsi natrium di duktus koligentes. Peningkatan ini dimungkankan abibat adanya retensi relatif terhadap Hormon Natriuretik Peptida dan peningkatan aktivitas pompa Na K ATPase di duktus koligentes.

2. Penyakit vaskuler

Pada keadaan ini terjadi iskemi yang kemudian merangsang sistem renin angiotensin aldosteron.

3. Gagal ginjal kronik

Hipertensi yang terjadi karena adanya retensi natrium, peningkatan sistem Renin Angiotensinogen Aldosteron akibat iskemi relatif karena kerusakan regional, aktifitas saraf simpatik yang meningkat akibat kerusakan ginjal, hiperparatiroidis sekunder, dan pemberian eritropoetin.

4. Penyakit glumerolus kronik

Sistem Renin-Angiotensinogen-Aldoteron (RAA) merupakan satu sistem hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperan dalm naiknya tekanan darah, pangaturan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit.

b) Hipertensi pada penyakit renovaskular.Hipertensi renovaskular merupakan penyebab tersering dari hipertensi sekunder. Diagnosa hipertensi renovaskular penting karena kelainan ini potensial untuk disembuhkan dengan menghilangkan penyebabnya yaitu stenosis arteri renalis. Stenosis arteri renalis adalah suatu keadaan terdapatnya lesi obstruktif secara anatomik pada arteri renalis. Sedangkan hipertensi renovaskular adalah hipertensi yang terjadi akibat fisiologis adanya stenosis arteri renalis. Istilah nefropati iskemik menggambarkan suatu keadaan terjadinya penurunan fungsi ginjal akibat adanya stenosis arteri renalis. Jika terjadi gangguan fungsi ginjal, kelainan ini akan menetap walaupun tekanan darahnya dapat dikendalikan dengan pengobatan yang meliputi medikamentosa antihipertensi, revaskularisasi dengan tindakan bedah ataupun angioplasti.

c) Hipertensi pada kelainan endokrin

Salah satu penyakit yang disebabkan oleh kerusakan endokrin adalah aldosteronisme primer (Sindrom Conn). Hiperaldosteronisme primer adalah sindrom yang disebabkan oleh hipersekresi aldesteron yang tidak terkendali yang umumnya berasal dari kelenjar korteks adrenal. Hiperaldosteronisme primer secara klinis dikenal dengan triad terdiri dari hipertensi, hipokalemi, dan alkalosis metabolik. Sindrom ini disebabkan oleh hiperplasi kelenjar korteks adrenal, adenoma atau karsinoma adrenal.

d) Sindrom Cushing

Sindrom cushing disebabkan oleh hiperplasi adrenal bilateral yang disebabkan oleh adenoma hipofisis yang menghasilkan Adenocorticotropin Hormone (ACTH).

e) Hipertensi adrenal kongenital

Hipertensi adrenal kongenital merupakan penyabab terjadinya hipertensi pada anak (jarang terjadi).

f) Feokromositoma

Feokromositoma adalah salah satu hipertensi endokrin yang patut dicurigai apabila terdapat riwayat dalam keluarga. Tanda tanda yang mencurigai adanya feokromositoma yaitu hipertensi, sakit kepala, hipermetabolisme, hiperhidrosis, dan hiperglikemia.Feokromositomia disebabkan oleh tumor sel kromatin asal neural yang mensekresikan katekolamin. Sebagian besar berasal dari kelenjar adrenal, dan hanya 10 % terjadi di tempat lain dalam rantai simpatis. 10 % dari tumor ini ganas dan 10 % adenoma adrenal adalah bilateral. Feokromositomia dicurigai jika tekanan darah berfluktuasi tinggi, disertai takikardi, berkeringat atau edema paru karena gagal jantung.

g) Koartasio aorta

Koarktasi aorta paling sering mempengaruhi aorta pada distal dari arteri subklavia kiri dan menimbulkan hipertensi pada lengan dan menurunkan tekanan pada kaki, dengan denyut nadi arteri femoralis lemah atau tidak ada. Hipertensi ini dapat menetap bahkan setelah reseksi bedah yang berhasil, terutama jika hipertensi terjadi lama sebelum operasi.h) Hipertensi pada kehamilan

Hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab utama peningkatan morbiditas dan mortalitas maternal, janin dan neonatus. Kedaruratan hipertensi dapat menjadi komplikasi dari preeklampsia sebagaimana yang terjadi pada hipertensi kronik. Perempuan hamil dengan hipertensi mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya komplikasi yang berat seperti abruptio plasenta, penyakit serebrovaskuler, gagal organ, koagulasi intravaskular. Penelitian observasi pasien hipertensi kronik yang ringan didapatkan risiko kehamilan preaklampsia 10 25 %, abruptio 0,7 1,5 %, kehamilan prematur kurang dari 37 minggu 12 34 %, dan hambatan pertumbuhan janin 8 16 %. Risiko bertambah pada hipertensi kronik yang berat pada trimester pertama dengan didapatnya preaklampsia sampai 50 %. Terhadap janin, mengakibatkan risiko retardasi perkembangan intrauterin, prematuritas dan kematian intrauterin. Selain itu risiko hipertensi seperti gagal jantung, ensepalopati, retinopati, perdarahan serebral, dan gagal ginjal akut dapat terjadi. Sampai sekarang yang belum jelas apakah tekanan darah yang terkontrol secara agresif dapat menurunkan terjadinya eklampsia.

i) Hipertensi akibat dari penggunaan obat obatan.

Penggunaan obat yang paling banyak berkaitan dengan hipertensi adalah pil kontrasepsi oral (OCP). 5% perempuan mengalami hipertensi sejak mulai penggunaan. Perempuan usia lebih tua (> 35 tahun)lebih mudah terkena, begitupula dengan perempuan yang pernah mengalami hipertensi selama kehamilan. Pada 50 % tekanan darah akan kembali normal dalam 3 6 sesudah penghentian pil. Penggunaan estrogen pascamenopause bersifat kardioproteksi dan tidak meningkatkan tekanan darah. Obat lain yang terkait dengan hipertensi termasuk siklosporin, eritopoietin, dan kokain.3. KLASIFIKASI HIPERTENSI

JNC VII membuat pembagian hipertensi menjadi empat berdasarkan tekanan siatolik dan diastolik diatas 120/80 mmHg.KategoriTekanan Sistolik Tekanan Diastolik

Normal 20-30 mg%/hari, Serum kreatinin > 2 mg%/hari, Hiperkalemia, Overload cairan yang parah, Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis

Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%, Hiperkalemia, Asidosis metabolik yang parah.

C. Kontra Indikasi

Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).

D. Alat-Alat Hemodialisa1. Dialyzer

Dialyzer adalah suatu alat tempat terjadinya proses dialisa yang berisi ribuan serat berupa membran semipermeable yang memisahkan kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Membran semipermeable adalah lapisan sangat tipis dan memiliki pori-pori mikroskopik. Partikel kecil dan air bisa lewat, sel-sel darah tak bisa lewat. Lewat membran inilah terjadi proses difusi dan konveksi, antara kompartemen darah dengan kompartemen dialisat. Membran dialyzer dapat berupa hollow fiber atau parallel plate.

a) Hollow-fiber

Penggunaan dialyzer hollow fiber mempunyai beberapa keuntungan, yaitu volume priming dan compliance yang rendah dan untuk reuse mudah. Jumlah darah yang dibutuhkan untuk mengisi sebuah dialyzer hollow fiber dengan luas membran 1,0 m sekitar 65 86 ml, sedangkan untuk dialyzer plate dengan ukuran yang sama adalah 70 100 ml. Kerugian hollow fiber adalah adanya volume darah residu yang lebih besar karena kloting dan adanya potting compound yang digunakan untuk tempat pelekatan serabut-serabut pada tabung dialyzer. Adanya potting compound menyebabkan lebih sulitnya untuk membersihkan residu ethylene oxide yang digunakan untuk sterilisasi.

b) Membran

Material membran. Terdapat tiga tipe membran yang digunakan dalam dialyzer: selulosa, substituted selulosa dan sintetik. Yang paling sering dipakai adalah membran selulosa dengan bermacam-macam nama (regenerated selulosa, cuprammonium selulosa (=Cuprophan), cuprammonium rayon, saponified selulosa ester). Selulosa mempunyai banyak gugus hidroksil pada permukaannya. Pada membran selulosa asetat, gugus hidroksil ini secara kimia terikat pada asetat. Pada selulosa yang dimodifikasi (modified cellulose = Hemophan), beberapa gugus hidroksil terikat pada senyawa amino tersier. Pada bentuk sintetik tidak mengandung selulosa, tetapi menggunakan polyacrilonitrile (PAN), polysulfone dan polymethylmethacrylate (PMMA). Aktifasi komplemen. Gugus hidroksil bebas pada permukaan membran selulosa dipercaya dapat mengaktifkan sistem komplemen dalam darah yang melalui dialyzer. Aktifasi komplemen lebih jarang pada pemakaian membran substituted cellulose (asetat selulosa dan modified cellulose) dan sintetik. Aktifasi komplemen dapat dikurangi dengan dialyzer re-used.Permeabilitas membran terhadap solut dan air. Permeabilitas membran terhadap solut dan air dapat diubah dengan mengubah ketebalan membran dan ukuran pori-pori

c) Metode Sterilisasi. Metode sterilisasi dialyzer yang paling sering adalah dengan gas ethylene oxide. Pemakaian ethylene oxide dikaitkan dengan terjadinya reksi anafilaksis saat dialisa. Metode lain menggunakan iradiasi gamma atau autoclav.2. Air untuk DialisaSekali terapi dialisa, diperlukan sekitar 120 liter air. Semua bahan dengan molekul kecil yang ada dalam air akan berhubungan langsung dengan aliran darah pasien seperti halnya jika diberikan secara injeksi intravena. Atas dasar ini, kemurnian air untuk dialisa menjadi hal yang sangat penting dan harus tetap terkontrol. a) Pentingnya kontaminan dalam air. Beberapa kontaminan kadang-kadang terdapat dalam air yang digunakan untuk dialisa. Aluminium dapat menyebabkan penyakit tulang, kemunduran neurologik progresif dan anemia. Tembaga dapat menyebabkan anemia hemolitik. Hemolitik anemia juga bisa akibat kloramin, suatu bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi bekteri.b) Sterilitas. Air untuk dialisa tidak harus steril, karena membran dialyzer sendiri dapat berfungsi sebagai barier yang efektif terhadap bakteri dan endotoksin. Meskipun demikian, hitung bakteri harus kurang dari 200 koloni/ml dalam air dan kurang dari 2000 koloni/ml dalam dialisat. Secara periodik harus dilakukan desinfeksi pada sistem water treatment. Penggunaan membran high-flux dapat mempermudah masuknya endotoksin dan produk-produk bakteri kedalam sirkulasi darah yang dapat merangsang sel-sel monosit untuk untuk memproduksi sitokin (interleukin-1; IL-1) yang menimbulkan panas badan.c) Metode pemurnian air untuk dialisa. Metode reverse osmosis, yaitu dengan mendorong air melalui membran semipermeabel dengan pori-pori yang cukup kecil untuk menahan masuknya solut dengan BM yang kecil seperti urea, natrium dan klorida. Metode ini dapat membuang lebih dari 90% kotoran yang sudah cukup murni untuk dialisa. Metode lain dengan resin penukar ion (ion exchange resins) membuang semua ion bermuatan dari sumber air dan harus digunakan bersama dengan karbon aktif untuk membuang kontaminan non-ionik. Dapat juga metode gabungan, pertama dengan reverse osmosis dilanjutkan dengan resin penukar ion dan karbon. 3. Cairan Dialisa

a) Mengandung Asetat. Dialisat asetat biasanya dijual sebagai cairan konsentrat yang diencerkan dengan air murni oleh mesin dialisa (biasanya dalam perbandingan 1 : 34).

b) Mengandung Bikarbonat. Kalsium dan magnesium tidak dicampur secara langsung dalam konsentrat yang mengandung bikarbonat, karena dapat menyebabkan pengendapan kalsium dan magnesium karbonat. Untuk mengatasi masalah ini konsentrat bikarbonat dibuat dalam dua komponen, yaitu komponen bikarbonat dan komponen asam. Komponen asam mengandung sejumlah kecil asam laktat atau asam asetat ditambah kalsium dan megnesium. Mesin dialisa yang didesain khusus mencampur kedua komponen secara simultan dengan air murni untuk menghasilkan cairan dialisat. Selama pencampuran, asam dalam konsentrat asam akan bereaksi dengan bikarbonat untuk menghasilkan karbondioksida (CO2). Selanjutnya CO2 akan membentuk asam karbonik yang akan menurunkan pH dialisat bikarbonat menjadi kira-kira 7.0 7.4. Dengan rentang pH seperti ini dan lebih rendahnya kadar kalsium dan magnesium dalam campuran final, maka kadar keduanya tetap dalam larutan. Meski demikian kadang-kadang masih terjadi endapan mikro yang mengendap dalam pipa-pipa mesin dialsa.

Tabel 1 . Komponen standar cairan dialisa asetat dan bikarbonat

Komponen Kandungan Asetat (mEq/liter)Kandungan Bikarbonat (mEq/liter)

Natrium 135 145135 145

Kalium0 4.0 0 4.0

Kalsium2.5 3.52.5 3.5

Magnesium0.5 1.00.5 1.0

Klorida100 119100 119

Asetat35 382 4

Bikarbonat030 38

Dekstrosa1111

PCO 2 (mm Hg)0.540 -100

pH Variasi 7.1 7.3

4. Mesin Hemodialisa

a) Blood pump. Pompa darah memompa darah dari pasien ke dialyzer dan kembali ke pasien. Percepatan aliran untuk pasien dewasa biasanya 200-300 ml/mnt (sampai 600 ml/mnt untuk dialysis efisiensi ultra-high)

b) Sistem Delivery Cairan dialisa.

Sistem delivery sentral dan individual. Pada sistem delivery sentral, semua larutan untuk unit dialisa dihasilkan oleh satu mesin dan hasil akhirnya akan dipompa melalui pipa ke setiap mesin dialisa. Sedangkan sistem individual, setiap mesin mencampur sendiri konsentrat cairan dengan air murni untuk dialisanya.

Heating dan Degassing. Cairan dialisat harus dipanaskan dulu oleh mesin sebelum dipompa ke dialyzer pada suhu yang tepat (34-39 C). Begitu juga dengan bahan terlarut (udara) harus dibuang sebelum digunakan. Proses degassing ini biasanya dikerjakan dengan memberikan tekanan negatif pada air yang sudah dipanaskan.

Tekanan Negatif: Pompa dialisat terletak pada line dari dialyzer ke drain. Lokasi ini memungkinkan mesin untuk membuat tekanan negatif dalam kompartemen dialisat dari dialyzer untuk melakukan ultrafiltrasi. Tekanan negatif dihasilkan dengan melakukan oklusi parsial line jalur dialisat ke dialyzer.

c) Alat Monitor

1. Sirkuit Darah

Monitor Tekanan (pressure monitor)

Lokasi alat monitor tekanan umumnya pada proksimal dari pompa darah dan distal dari dialiser. Monitor yang berlokasi disini digunakan untuk menjaga penyedotan akses vaskuler yang berlebihan oleh pompa darah, sedangkan monitor di distal dari dialyzer (monitor vena) berguna untuk menjaga adanya tahanan berlebihan kembalinya darah pada akses vaskuler dan juga dapat untuk estimasi tekanan kompartemen darah pada dialiser.

Kadang-kadang monitor arteri diletakkan pada distal dari pompa darah dan proksimal dari dialyzer. Monitor ini digunakan untuk mendeteksi kloting dalam dialyzer dan untuk membantu mesin agar lebih tepat memperkirakan tekanan dalam kompartemen darah dialiser.

Perangkap (trap) dan detektor udaraAlat ini berlokasi distal dari monitor tekanan vena. Tujuan detektor dan perangkap udara ini adalah untuk mencegah gelembung udara masuk dalam sirkuit darah yang kembali ke pasien.

2. Sirkuit Cairan Dialisat

Konduktivitas dialisat

Jika sistem pencampuran (proporsi) yang melarutkan konsentrat dengan air terganggu tidak tepat dapat timbul masalah. Paparan darah pada dialisat yang hiperosmoler menyebabkan hipernatremia dan kelainan elektrolit yang lain. Paparan pada dialisat yang hipoosmoler menyebabkan hemolisis atau hiponatremia. Oleh karena solut dalam dialisat adalah elektrolit, maka derajat kadar dialisat direfleksikan oleh konduktivitas elektriknya, dan proporsi konsentrat terhadap air dapat dimonitor dengan suatu pengukur yang secara terus-menerus mengukur konduktifitas dari dialisat yang dihasilkan yang akan ke dialyzer.

Temperatur Dialisat

Gangguan pada elemen pemanas dalam mesin dialisa dapat menyebabkan dialisat yang sangat dingin atau panas. Pemakaian dialisat yang dingin tidak berbahaya, pasien hanya akan mengeluh dingin dan menggigil, kecuali pasien tidak sadar karena dapat terjadi hipotermia. Jika tertalu panas (>420C) dapat menyebabkan hemolisis. Katub bypass. ( Bekerja jika konduktivitas dialisat atau suhu diluar batas.

Detektor kebocoran darah( Detektor kebocoran darah terletak pada line outflow dialisat.

Monitor tekanan outflow dialisat.

d) Lain-lain

1. Pompa Heparin

2. Bikarbonat

3. Sodium: Kadar Na biasanya diubah dengan mengubah proporsi kadarnya terhadap air.

4. Pengontrol UF

E. Komplikasi HemodialisisKomplikasi yang paling sering hemodialisa berturut-turut dari yang tertinggi adalah hipotensi (20-30%), kramp (5-20%), nausea dan vomiting (5-15%), nyeri dada (2-5%), back pain (2-5%), gatal (5%) panas/nggigil (