logbook iii (kelompok)

32
Pendidikan Agama Disusun oleh : Juvenrio (38130084) Kelas : A

Upload: juven-venovesa

Post on 23-Jan-2016

36 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

logbook

TRANSCRIPT

Page 1: Logbook III (Kelompok)

Pendidikan Agama

Disusun oleh : Juvenrio (38130084)

Kelas : A

Hari/tanggal : 6 Mei 2015

Logbook II

Page 2: Logbook III (Kelompok)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Page 3: Logbook III (Kelompok)

B. DEFINISI OPERASIONAL JUDUL

Variabel Independen

Definisi dialog : pertukaran opini dan ide atas sesuatu hal, dengan tujuan mencapai

kesepakatan.

Definisi Interfaith dialogue: Interaksi positif, kooperatif, dan konstruktif melalui

pertukaran opini dan ide antar masyarakat yang memiliki tradisi religius, kepercayaan

humanistik dan spiritual yang berbeda, pada tingkat individu dan institusi untuk mencapai

kesepakatan dan membangun hubungan baik antar agama.

Variable Dependen

Definisi toleransi: sikap menerima dan menghormati praktek-praktek, opini, dan

kepercayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya. Serta bersikap menahan diri ketika

adanya ketidaksetujuan terhadap hal-hal yang berbeda.

Pengertian judul sesungguhnya

Arti judul bagaimana mengembangkan prinsip-prinsip interfaith dialogue the los angeles

untuk membangun toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia:

Dialog antar agama mengacu pada interaksi antar pemeluk agama satu dengan lainnya

secara positif, kooperatif dan konstruktif. Interaksi yang dimaksud yaitu pertukaran opini

dan ide untuk mencapai suatu kesepakatan. Dalam hal ini dengan terjadinya kesepakatan

antar pemeluk agama yang berbeda maka sikap toleran dalam kehidupan beragama di

Indonesia dapat terbangun.

Page 4: Logbook III (Kelompok)

C. KERANGKA BERPIKIR

D. Rumusan masalah dan hipotesis

Bagaimana mengembangkan prinsip-prinsip interfaith dialogue the Los Angeles untuk

membangun toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia?

Hipotesis dalam topik ini:

1. Ha: prinsip-prinsip dialog Buddha Katholik di Los Angeles dapat meningkatkan

toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia.

2. Ho: prinsip-prinsip dialog Buddha Katholik di Los Angeles tidak dapat meningkatkan

toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia.

Membangun kerukunan kehidupan beragama

Variabel Independen : Interfaith Dialog ( Dialog Antargama)

Variabel Dependen:

Membangun sikap toleransi antar umat beragama

Indikator :

1. Interaksi kooperatif dan positif antara orang-orang yang berbeda agama

2. Konsentrasi pada kesamaan antar agama

3. Pemahaman nilai-nilai ajaran masing-masing agama

Indikator :

1. Saling menghargai dan menjunjung tinggi persamaan

2. Menghormati perbedaan yang ada di antara umat beragama

Page 5: Logbook III (Kelompok)

Bab II

Refleksi/gambaran Kondisi dan Masalah Kehidupan Beragama dalam

Literatur

A. Refleksi Kondisi

1. Berdasar Literatur

a. Berkait Variabel Independen (Interfaith Dialogue)

1) Berdasar Literatur Pokok

Dialog formal/dialog antar agama sangat diperlukan dalam Gereja Katolik oleh

kepemimpinan tercerahkan dari Paus. Pada awal tahun 1964, dalam surat ensiklik

pertama nya, ecclesiam Suam, Paus Paulus VI telah menekankan perlunya dialog

antar-agama, suatu sikap yang lebih ditekankan dalam Nostra Aetate yang

sepenuhnya didedikasikan untuk subjek yang ditunjukkan oleh judul. Nostra Aetate

yang menetapkan panggung untuk awal dari dialog antaragama. Keputusan ini

memulai perubahan fundamental dalam cara Gereja dilihat dari agama lain. Untuk

pertama kalinya, mendorong dialog dengan mereka.

Pada tahun 1969 Keuskupan Agung Katolik di Los Angeles dengan masyarakat

agama lain mendirikan Council of Southern California dan pada tahun 1971 mereka

bergabung dengan komunitas Buddha. 3 tahun berikutnya, Keuskupan Agung

membentuk Komisi Ekumenis dan Antar Negeri untuk mengkoordinasikan dan

meningkatkan komunitas Katholik dengan komunitas agama lain. Melalui Komisi dan

Dewan Interreligious satu-satu pertukaran dimulai antara Katolik dan Buddha.

Beberapa sorotan dari pertukaran seperti perayaan multireligius kunjungan 1987 dari

Paus Yohanes Paulus II di Little Tokyo (Nostra Aetate Alive) . Ini merupakan sejarah

Los Angeles dalam kerjasama agama Budha-Katolik Dialog, yang dimulai 16

Februari 1989.

Komunitas Buddhisme melihat interfaith dialogue yang dilakukan sebagai

kesempatan untuk membantu meningkatkan pemahaman dan simpati terhadap

Buddhisme dan merupakan sebuah proses yang dapat membantu umat Buddha terjun

Page 6: Logbook III (Kelompok)

ke masyarakat luas. Dialog ini diadakan oleh Organisasi Dewan Sangha Buddha dan

Kantor Katolik Ekumenis dan Urusan antaragama. Dialog ini membentuk sebagai

seorang pejabat dan kelompok inti. Kelompok inti dirancang untuk menampung

sekitar delapan perwakilan dari umat Buddha dan delapan perwakilan dari umat

Katolik Roma. Rapat yang akan diadakan setiap enam sampai delapan minggu yang

diadakan selalu berputar antara di lokasi umat Buddha dan Katholik. Dari awal,

panitia mengakui bahwa ini adalah dialog antar agama yang bersifat sangat awal

dengan kebutuhan yang besar atas kesabaran dan kesederhanaan untuk saling

mengenal satu sama lain. Dan mereka menyadari telah menjadi tangan pertama yang

memiliki karunia untuk memberikan satu sama lain pemahaman akan dua agama

yang berbeda.

2) Berdasar Literatur Pengembangan

Akhir-akhir ini, interfaith dialogue dan interaksi antara umat Buddha dengan pemeluk

agama lainnya sering dilakukan. Mereka mulai saling menghargai dan memahami

kepercayaan mereka masing – masing. Hal ini digambarkan dengan pertemuan Dalai

Lama dengan Paus. Pada suatu pertemuan yang dilaksanakan di Assisi, Italia dimana

Sri Paus mengundang semua pemimpin-pemimpin agama di dunia. Sekitar 150 wakil

agama hadir. Dalai Lama duduk dekat Sri Paus dan diberi kehormatan untuk

memberikan pidato yang pertama. Pemimpin-pemimpin agama yang lain juga

menunjukkan penghargaan yang tertinggi terhadap Buddhisme. Pada konferensi itu,

mereka mendiskusikan topik yang umum pada setiap agama, seperti moralitas, cinta

dan kasih sayang. Orang-orang yang sangat bersemangat dengan kerja sama,

keserasian dan penghargaan yang setara yang dirasakan oleh para pemimpin agama

yang berlainan. Dialog antar Budha dan katholik mengharapkan adanya kemajuan

materi dan kemajuan spiritual.

b. Berkait Variabel Dependen (Toleransi antar umat beragama)

1) Berdasar Literatur Pokok

Mengacu pada Hindu dan Buddha, Paus menyatakan bahwa Gereja Katolik sangat

menjunjung tinggi perilaku dan ajaran kepercayaan mereka walaupun berbeda dalam

banyak hal dari apa yang mereka percayai. Komentar dari Francis Kardinal Arinze,

Presiden Dewan Kepausan Vatikan untuk Dialog antar agama, yang menyebutkan

Page 7: Logbook III (Kelompok)

bahwa salah satu gerakan yang paling ramah dari Gereja adalah surat yang dikirim

kepada masyarakat Buddhis yaitu Francis Kardinal menunjukkan ketertarikannya

pada "Pesta Hari Raya Waisak." Waisak adalah hari di mana umat Buddha

memperingati kelahiran, Pencerahan, dan kematian Sang Buddha. Sesuai dengan

semangat pendirinya, umat Buddhis telah terkenal sepanjang sejarah untuk saling

toleransi pada keyakinan dan nilai-nilai yang berbeda. Tetapi beliau mengingatkan

kita bahwa hal ini masih tidak cukup. Kardinal menunjukkan juga bahwa “masyarakat

majemuk di mana kita hidup menuntut lebih dari sekedar toleransi saja.” Kita

sebenarnya diharuskan untuk saling mengasihi dan memahami sesama kita layaknya

mengasihi diri kita sendiri. Begitu pula dalam ajaran Buddha yang menasehati kita:

“kemarahan setara dengan cinta, menaklukkan kejahatan dengan kebaikan,

menaklukkan kekikiran dengan pemberian, serta menaklukkan pembohong dengan

kebenaran."

Meskipun benar bahwa banyak yang telah dicapai dengan cara dialog antar agama,

namun masih ada batu sandungan yang tetap signifikan selama ini. Salah satu

hambatan yang paling bertahan sampai dialog adalah kepercayaan oleh anggota dari

berbagai agama, yang dengan berpartisipasi di dalamnya mereka bisa mengorbankan

kepercayaan mereka sendiri. Untuk penganut Buddha, imannya ada untuk berdialog

dengan agama lain. Alasannya adalah bahwa Buddhisme bukan suatu sistem dogma,

ataupun doktrin "keselamatan" sebagai istilah yang umumnya dipahami dalam agama

teistik. Sang Buddha menasihati murid-muridnya untuk tidak mengambil keyakinan

dengan begitu saja. Sebaliknya, mereka harus mendengarkan, dan kemudian

memeriksa ajaran untuk diri mereka sendiri, sehingga mereka mungkin yakin akan

kebenarannya.

2) Berdasar Literatur Pengembangan

Interfaith Dialogue antara Buddha dan Katholik yang terjadi di Los angeles juga

menghasilkan dampak positif pada negara – negara lain. Contohnya di Seoul, Korea,

Para seniman Buddha dan Katolik mengadakan pameran natal bersama untuk

memperingati Hari Raya Natal dan meningkatkan kerukunan dan kerjasama antara

kedua agama. Masing-masing terdiri dari 12 seniman Katolik dan 11 seniman Buddha

memamerkan sebuah lukisan atau patung di galeri seni Katolik di Kuil Bubryunsa,

Page 8: Logbook III (Kelompok)

Seoul, pada 8-15 Desember. Joseph Choi Jong-tae, Ketua Asosiasi Seniman Katolik

Korea, mengatakan kepada UCA News 8 Desember, pameran bersama itu digelar

untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus dan untuk meningkatkan kerukunan

antaragama antara para seniman Katolik dan Buddha."Jika kita fanatik terhadap

agama kita masing-masing, konflik antara agama-agama akan jadi makin parah," kata

Choi, dosen kehormatan di Seoul National University.

Pada upacara pembukaan pameran baru-baru ini, Uskup Chunchon Mgr John Chang

Yik dan Yang Mulia Bubjang (Ketua Eksekutif Ordo Chogye) menyampaikan ucapan

selamat. "Hari Raya Natal hampir tiba dan pameran ini adalah untuk memperingati

kelahiran Yesus Kristus," kata Yang Mulia Bubjang, pemimpin sekte Buddha terbesar

di negara itu. "Hari Raya Natal juga merupakan ajang pertemuan para seniman dari

kedua agama. Agama-agama menunjukkan jalan hidup kepada umatnya dan umat

hendaknya bersatu dalam semangat agama mereka masing-masing. Agama-agama

juga membuka jalan terberkati kepada umatnya. Inilah cara merayakan Hari Raya

Natal." Biksu itu mengatakan, kegiatan-kegiatan antaragama yang terus

berkelanjutan mendorong dia "untuk belajar dari dan memahami satu sama lain."

Bagi dia, dialog antaragama bisa terwujud hanya "jika kita kritis terhadap tradisi

agama kita masing-masing." Uskup Chang, pembimbing rohani Asosiasi Seniman

Katolik Korea, berharap agar "pameran-pameran ini akan terus berlanjut dari tahun ke

tahun untuk membantu meningkatkan persaudaraan dan saling pengertian di antara

agama-agama."

Sejumlah karya seni pada pameran itu mencerminkan tema-tema religius, seperti Roh

Kudus, Salib, kelahiran Kristus, dan gambar-gambar Buddha. Pameran itu dibuka

untuk umum secara gratis. Seorang mahasiswa seni yang sedang mengunjungi

pameran itu mengatakan, ia terkejut melihat para seniman Buddha dan Katolik

mengadakan pameran bersama. Namun ia senang melihat seni Katolik dan Buddha

berada dalam satu tempat. Salah seorang seniman Buddha yang mengikuti pameran

itu, mengatakan "Kami berasal dari agama yang berbeda, tapi kami punya kemauan

baik untuk mengadakan pameran bersama ini karena ini membantu kami memahami

budaya satu sama lain."

Page 9: Logbook III (Kelompok)

B. Analisis Kondisi

1) Berdasar Literatur Pokok

a. Berkait Variabel Independen (Interfaith Dialogue)

1) Berdasar Literatur Pokok

Pada tahun – tahun awal berdirinya agama katholik , Buddha dan Katholik

telah hidup di antara satu sama lain . Kemungkinan kecil pada abad pertama,

komunitas kecil Katholik ada di India. Proses penyebaran agama katholik

dimulai pada awal era modern ketika Eropa melakukan perjalanan eksplorasi,

ekspansi kekuasaan komersial dan kolonial di Asia serta mulai mengatur

panggung untuk pertemuan besar pertama antara agama yang sekarang biasa

disebut interfaith dialogue atau dialog antar agama. Para penjelajah Eropa

tersebut merasa selain mencari target ekspansi tetapi juga sebagai misionaris

yang melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari misi untuk menyebarkan

Injil Tuhan. Tetapi lambat laun apa yang dilakukan mereka tidak bercermin

pada pertemuan bersar pertama antar agama pada awalnya. Mereka mulai

membawa kata Allah ke Asia dan menetapkan struktur kekuasaan dan

dominasi Eropa atas masyarakat baik yang berumat Buddha, Hindu dan

anggota agama-agama lainnya. Hal ini bukan suasana yang dipupuk oleh

dialog antar agama yang sejati. Hal ini mulai membuat sebagian orang

merasa tidak adanya rasa saling memahami dengan perbedaan antar agama

yang ada.

Sebuah kota di Negara Amerika yang dinamai dengan nama kota yang paling

suci "Queen of Angels" atau biasa kita dengar Los Angeles, agama Buddha

dan Katholik hidup berdampingan. Hal ini disebabkan oleh adanya

gelombang imigrasi yang besar dari negara – negara di benua Asia ke Los

Angeles yang kebetulan bertepatan dengan sikap keterbukaan baru terhadap

agama-agama lain dalam Katholik. Sikap tersebut secara resmi diumumkan

dengan dikeluarkannya putusan yang bernama "Nostra Aetate" yaitu Deklarasi

Agama Non-Kristen yang berasal dari Vatikan pada tahun 1965. Nostra

Aetate ini adalah Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama

Bukan Kristen yang berisi mengenai segala pernyataan yang berhubungan

Page 10: Logbook III (Kelompok)

antara agama katholik dan agama lainnya sehingga tidak terjadi pertikaian.

Dengan diumumkannya putusan Nostra Aetate, mereka juga mulai

menyiapkan panggung untuk dialog antar agama yang baru.

Ketika Buddhisme mulai dikembangkan, situasi unik mulai terjadi juga di Los

Angeles. Semua sekolah utama dengan etnis dan tradisi didasari dengan basis

Buddhisme meskipun masing-masing dengan bahasa sendiri dan adat istiadat

yang memang sudah ada dari awal di sini. Keragaman besar tersebut yang

mulai timbul dalam agama Buddha merangsang dialog antar Buddha dan

Katholik. Setelah melalui proses panjang seperti yang sudah dijelaskan

berdasarkan literatur pokok diatas, Pada tanggal 16 Februati 1989 Dialog

antar agama Buddha dan Katholik pertama kali diadakan di Los angeles.

Dialog tersebut diadakan oleh organisasi Dewan Sangha Buddhis dan Komisi

Ekumenis dan Antar Negeri Pimpinan Buddhisme di Los Angeles setuju

untuk melakukan interfaith dialogue meskipun beliau diliputi perasaan

keengganan. Kegalauan pemikiran pemimpin Buddha adalah banyak orang

yang ingin beragama Buddha tapi mereka dipenuhi rasa takut akan masa –

masa kolonial yang mengharuskan mereka beragama katholik. Namun

demikian, beberapa pemimpin Buddha telah mengembangkan hubungan

persahabatan dengan pemimpin dari kelompok agama lain, terutama dengan

Katolik Roma dan mampu meredakan kekhawatiran rekan-rekan mereka.

Komunitas Buddhisme sendiri pun melihat interfaith dialogue yang dilakukan

sebagai kesempatan untuk membantu meningkatkan pemahaman dan simpati

terhadap Buddhisme dan merupakan sebuah proses yang dapat membantu

umat Buddha terjun ke masyarakat luas. Ada juga tradisi Buddhisme dalam

perjalanan sejarah untuk bekerja kelompok dengan agama lain. Karena inti

dari Buddhisme adalah untuk meninggalkan segala bentuk ciri yang bersifat

tidak mengkritik atau mengutuk agama lain. Sang Buddha sendiri sering

mengunjungi pusat-pusat agama lain, dan pengikut agama Buddha sering

didorong untuk belajar dan pengalaman yang berbeda sistem agama atau

filsafat. Di antara umat Katolik, pedoman Nostra Aetate memulai perubahan

fundamental dalam cara Gereja yaitu umat Katolik telah menjadi bersemangat

Page 11: Logbook III (Kelompok)

untuk mengeksplorasi dan belajar tentang agama lain. Hal ini mempengaruhi

Dialog antar dua agama tersebut sehingga dialog menjadi tepat waktu.

Di dalam Interfaith Dialogue yang dilakukan di Los Angeles, Paus

menyatakan bahwa apa yang menyatukan kita (antar umat beragama) lebih

besar daripada apa yang dapat memisahkan kita dimana kita dapat

bekerjasama atau saling mendukung tanpa adanya konflik serta

kesalahpahaman. Alfred Rabbi Wolf mempercayai bahwa ajaran Buddha

sebagai ajaran yang universal dalam arti bahwa hal itu berkaitan dengan

kondisi dasar manusia. Dan dinyatakan pula bahwa semua orang adalah

Buddha walaupun tidak beragama Buddha atas dasar ajarannya yang

universal.

Berkaitan dengan masalah penderitaan, Paus mengingatkan kita, "Orbis Stat

dum volvitur inti." ("Salib tetap konstan sementara dunia berubah").

Penelitian ini mencari jawaban atas pertanyaan yang membingungkan:

mengapa Tuhan mengijinkan adanya kejahatan di dunia? Sementara bagi umat

beragama Buddha, pertanyaannya bukan bagaimana Tuhan mengijinkan hal

tersebut melainkan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi realitas

kejahatan yang terjadi di dunia.

Sesuai dengan semangat pendirinya, umat Buddhis telah terkenal sepanjang

sejarah untuk saling toleransi pada keyakinan dan nilai-nilai yang berbeda.

Tetapi beliau mengingatkan kita bahwa hal ini masih tidak cukup.Komentar

dari Francis Kardinal Arinze, Presiden Dewan Kepausan Vatikan untuk

Dialog antar agama menunjukkan juga bahwa “masyarakat majemuk di mana

kita hidup menuntut lebih dari sekedar toleransi saja.” Kita sebenarnya

diharuskan untuk saling mengasihi dan memahami sesama kita layaknya

mengasihi diri kita sendiri. Begitu pula dalam ajaran Buddha yang menasehati

kita: “kemarahan setara dengan cinta, menaklukkan kejahatan dengan

kebaikan, menaklukkan kekikiran dengan pemberian, serta menaklukkan

pembohong dengan kebenaran."

Tidak hanya masalah yang terjadi di Los Angles, masalah yang dihadapi

kebanyakan orang adalah mengganggap agama hanya sistem kepercayaan

Page 12: Logbook III (Kelompok)

yang berpusat pada Tuhan sang pencipta. Sebenarnya sistem kepercayaan

adalah definisi terbatas dari agama, dan tidak semua pemuka agama akan

mendefinisikannya dengan cara yang sama. Tetapi, itu adalah sistem

kepercayaan yang bertujuan untuk menolong orang dalam kehidupan ini dan

yang akan datang, dan untuk memajukan kemanusiaan.

Pada upacara pembukaan pameran baru-baru ini, Uskup Chunchon Mgr John

Chang Yik dan Yang Mulia Bubjang (Ketua Eksekutif Ordo Chogye)

menyampaikan ucapan selamat. Yang Mulia Bubjang menekankan pentingnya

kerukunan antaragama. Ia menyebut semua agama "rekan," bukan "saingan

atau musuh." Dijelaskan bahwa kerjasama antaragama itu perlu "demi

pengembangan sosial berkelanjutan, seperti penyelesaian secara damai

perselisihan antarbangsa, dan penanganan krisis lingkungan hidup."

Meski harus diakui pula, dialog antar-agama juga belum membuahkan hasil

yang memuaskan. Kerap masih ada sekelompok yang melampaui batas dan

mencederai dialog yang selama ini dibangun. Bagaimana seharusnya dialog

dibangun?

Dialog antar agama saat ini dikatakan masih belum bisa berjalan dengan

efektif. Ini harus terus dimaksimalkan. Dialog antar-agama yang selama ini

diadakan, hanya dilakukan dan dihadiri oleh tokoh yang itu-itu saja. Mestinya

dialog diikuti oleh tokoh lainnya agar dialog tak hanya dalam tataran wacana

saja.

Ini berarti dialog tak hanya terbatas dilakukan oleh para pemuka agama saja.

Dialog juga mestinya dilakukan para guru atau kalangan pelajar yang

memiliki keyakinan berbeda sehingga akan membantu kesalingpahaman di

antara pemeluk agama yang berbeda.

Dengan pemahaman untuk saling menghargai dan toleransi yang tak hanya

dimengerti oleh para pemuka agama saja, tentu langkah toleransi juga akan

semakin mudah untuk dilakukan. Intinya, dialog antar-agama mestinya juga

mencapai akar rumput.

Diperlukan langkah yang lebih konkret dan praktis. Dengan demikian dialog

ini tak hanya berhenti dalam sebuah wacana saja. Ini bisa dilakukan dengan

Page 13: Logbook III (Kelompok)

melakukan perkemahan bersama, misalnya. Dalam kegiatan tersebut dapat

menjadi sebuah pelatihan atau percontohan. Bahkan, dapat menjadi pelajaran

bagi para pemeluk agama yang berbeda untuk mengatasi berbagai masalah

dan perbedaan. Ini juga bisa dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat

beragama pada skala yang lebih besar.

2) Berdasar Literatur Pengembangan

Dialog Membangun Peradaban

Program Bilateral Interfaith Dialogue dilaksanakan 12-14 Oktober 2008 di

Beirut, Lebanon. Temanya, ”Promoting Interfaith Dialogue among Plural

Society”.

Dialog ini terselenggara atas kerja sama Deplu, KBRI Beirut, dan Dar El

Fatwa Lebanon di bawah pengawasan Perdana Menteri HE Mr Fuad Siniora.

Pertemuan antartokoh agama ini memberi inspirasi bagi bangsa ini untuk

saling belajar bagaimana memahami berbagai sekte dan aliran keagamaan.

Dan yang penting bagaimana perbedaan bisa melahirkan tata hidup yang

berdampingan dalam suasana damai dan saling menghormati.

Indonesia dan Lebanon

Dari pengalaman dialog antaragama di Indonesia, bisa dipetik beberapa hal

positif. Dalam 10 tahun terakhir, ada perkembangan positif terkait kerukunan

umat beragama. Salah satu faktor penting adalah adanya komunikasi lebih

intensif antarpemuka agama. Di Indonesia, hal ini didukung identitas nasional,

Pancasila, sebagai komponen pemersatu bangsa yang majemuk.

Meningkatnya peran pemuka agama dalam mencegah konflik dapat dilihat

melalui berbagai Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk

di setiap provinsi dan kabupaten/kota. Forum ini selain membahas tentang

agama juga hal-hal aktual terkait kesejahteraan umat beragama.

Belajar dari fenomena agama di Lebanon, bisa dilihat umat beragama yang

umumnya menghargai proses dialog dan berkomitmen untuk hidup damai

berdampingan. Artinya, meski ada konflik, bukan disebabkan perbedaan

Page 14: Logbook III (Kelompok)

agama yang terdiri dari 18 sekte. Konflik terjadi sebagai bagian pertentangan

politik.

Peran agama

Peran agama amat penting sebagai penyeimbang dua poros utama, negara dan

pasar. Itu dikatakan karena selama ini agama sering terjebak permainan

negara dan terjerumus logika pasar kapitalisme yang kerap mencelakakan.

Peran agama harus dikembalikan sebagai penyeimbang dua kekuatan itu.

Itulah yang dimaksud upaya merenda habitus baru bangsa dan merumuskan

kultur bangsa yang beradab.

Orientasi hidup beragama tidak sekadar mencari kerukunan antaragama satu

dan lain setelah itu everything is over. Justru setelah kerukunan agama

berlanjut, hal itu menjadi modal bangsa untuk membangun dan mencari

keseimbangan di antara posisi negara dan pasar, antara perancang kebijakan

politik dan pelaku ekonomi.

Hingga kini, kita menghadapi masalah: agama masih sering dijadikan

instrumen kekuasaan daripada sebagai pewarna dan pengarah. Inilah yang

membuat agama sering mandul dalam diri para pengkhotbah dan pemeluknya.

Sebab, ia tidak pernah dibatinkan dalam perilaku, tetapi lebih dijadikan

komoditas politik dan ekonomi untuk kepentingan jangka pendek dan amat

sempit. Orientasi beragama bukan untuk mengembangkan keadaban publik,

tetapi lebih pada bentuk lahiriah saja.

b. Berkait Variabel Dependen (Toleransi antar umat beragama)

1) Berdasar Literatur Pokok

Menurut Alfred bahwa kita (antar umat beragama) sudah siap untuk saling

berpelukan dan menyatakan dalam hal ini kita sudah hormat pada ajarannya

masing-masing. Kita semua sama dalam hal menderita dan nantinya akan

mengalami akhir dari penderitaan yaitu kebebasan. Dalai Lama telah

menempatkan itu: "Saya tertarik tidak dalam mengkonversi orang lain untuk

Buddhisme tetapi bagaimana kita umat Buddha dapat berkontribusi untuk

manusia, sesuai dengan ide-ide kita sendiri." Dan Alfred selalu berfikir bahwa

Page 15: Logbook III (Kelompok)

jika kita sudah berdialog sejak tiga puluh tahun yang lalu untuk mulai

berbicara satu sama lain, maka kita harus melanjutkannya dengan toleransi

antar satu sama lain.

Dalai lama mengatakan bahwa sangat baik dengan adanya berbagai macam

agama di dunia ini. Seperti halnya satu jenis makanan tidak akan menarik bagi

semua orang, satu agama atau kepercayaan tidak akan memuaskan kebutuhan

setiap orang. Oleh karena itu, sangatah baik terdapat berbagai macam agama

di dunia. Tetapi terkadang tidak semua orang memiliki pemahaman seperti

Dalai lama. Orang – orang mulai mempunyai pemikiran jahat untuk

mengekspansi kepercayaan orang lain dan memaksakan agamanya sendiri

pada orang lain. Konflik agama juga sering terjadi akibat dipolitisasinya

agama untuk kepentingan tertentu. Agama tidak dijadikan sebagai pedoman

hidup, melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang justru bertentangan

dengan norma agama itu sendiri. Namun dialog antar agama bukannya

mencari persamaan seperti yang selama ini sering dilakukan, melainkan justru

harus mencari perbedaan guna mendorong terciptanya kehidupan antar agama

yang damai. Tentu saja, jika dialog tersebut mendiskusikan metafisik dan

teologi, akan terdapat perbedaan-perbedaan. Tidak ada jalan untuk

menyatukan perbedaan-perbedaan itu. Tetapi hal itu tidak berarti dalam setiap

dialog harus mendebatkan masalah tersebut dengan sikap seolah-olah

"Ayahku lebih kuat daripada Ayahmu," itu adalah sifat kekanak-kanakan dan

dapat memicu konflik. Lebih baik untuk melihat segala sesuatunya dengan

sewajarnya.

Semua agama di dunia adalah untuk mencari kemajuan perdamaian dunia dan

untuk membuat hidup menjadi lebih baik dengan jalan mengajarkan kepada

orang-orang untuk mengikuti tingkah laku yang etis. Dengan cara ini, orang-

orang tidak menjadi terperangkap pada sisi material dari kehidupan dan hidup

mereka dapat diseimbangkan antara kemajuan material dan spritual. Jika

semua agama memiliki rasa toleransi yang tinggi untuk memajukan situasi

dunia, saya percaya semua konfik agama dapat dihindari. Dialog antar Budha

dan Katholik mengharapkan adanya kemajuan materi dan kemajuan spiritual.

Page 16: Logbook III (Kelompok)

2) Berdasar Literatur Pengembangan

Saya mempunyai tetangga yang berbeda agama, tetapi kami tetap rukun

meskipun berbeda agama, sebagai contohnya adalah ketika keluarga tetangga

saya mempunyai acara atau selamatan agama islam semua orang membantu

keluarga tetangga saya termasuk orang yang beragama lain dengan senang

hati begitu juga sebaliknya, dan saya juga mempunyai teman satu kelas yang

berbeda agama, namun kami tetap saja bermain bersama dan saling rukun

tanpa adanya batas jarak apapun, karena toleransi beragama sangat penting

digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Kisah itu mungkin juga dialami oleh sebagian dari kita bahwa ketika

berinteraksi dengan orang lain, kita dihadapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-

aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi kita untuk dapat memahami

komunikasi mereka jika kita birsikap sangat etnosentrik yakni sikap cara

memandang segala sesuatu dengan pandangan kelompoknya sendiri sebagai

pusat segala sesuatu itu, dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan

rujukan kelompoknya.

Dengan kondisi alam yang terus mengalami penyempitan akibat terus

bertambahnya jumlah penduduk, maka yang dahulu kita saling jauh,

dikemudian hari kita akan saling berdekatan atau mungkin bertetangga.

Dengan kondisi tersebut, maka kebutuhan akan sikap toleransi yang inklusif

sangat urgen. Sebagai sarana untuk membina kerukunan beragama dan

bermasyarakat.

Karena itu sebagai solusinya adalah dalam hal ini para penganut agama dan

kalangan elite agama harus bijak di dalam upaya menafsirkan doktrin agama

dan kitab suci masing-masing. Para penganut dan elit agama hendaknya lebih

menonjolkan ajaran-ajaran yang humanis dan menafsirkan ulang ayat-ayat

yang terkesan mengajarkan permusuhan menjadi lemah lembut.

Kunci untuk meraih kerukunan beragama yang harmonis menurut saya adalah

membiasakan hidup bertoleransi di dalam kehidupan bermasyarakat, tidak

hanya bagi mereka yang berbeda budaya saja tetapi juga keyakinan agama

agar kedamaian membumi di negeri kita tercinta ini.

Page 17: Logbook III (Kelompok)

Bab III

Rumusan Topik

1. Variabel Independen (Interfaith Dialogue)

Untuk memecahkan masalah, diperlukan sikap:

- Sikap keterbukaan terhadap segala sesuatu, jangan menganggap sesuatu itu

buruk/menjauhi sesuatu berdasarkan penghakiman pribadi, namun kita harus terbuka

terhadap sesuatu yang baru itu dan memahaminya terlebih dahulu.

- Sikap saling menghormati antar manusia pada umumnya, karena kita semua adalah

makhluk Tuhan yang memiliki derajat yang sama dan kita harus saling menghormati jika

kita ingin dihormati oleh orang lain.

- Melepaskan pola pikir yang stereotype yang didasarkan pada kebiasaan mayoritas suatu

kaum, suku bangsa, ataupun umat beragama, karena tidak semua orang seperti yang kita

bayangkan, jadi kita harus mengenal seseorang atau sesuatu terlebih dahulu dengan baik.

- Melepaskan pemikiran buruk antar umat beragama/manusia lainnya

- Menerapkan pola pikir yang rasional, karena dunia ini sungguh luas akan informasi dan

berbagai macam karakteristik lainnya, sehingga kita perlu bersikap rasional agar tetap

menjaga keharmonisan dalam masyarakat.

2. Variabel Dependen (Sikap Toleransi)

Untuk membangun kehidupan beragama di Indonesia, diperlukan sikap:

- Rasa toleransi antar umat beragama, karena Indonesia ini terdiri dari berbagai macam

umat beragama yang berbeda-beda dan tentunya ada perbedaan dalam kepercayaan atau

cara penyampaian, sehingga kita harus memiliki sikap toleransi untuk menjaga kehidupan

beragama yang senantiasa harmonis.

- Sikap saling menghormati antar umat beragama. Misalnya, jika agama lain sedang

melaksanakan ibadah atau merayakan hari raya mereka, kita harus menghormati

kebiasaan mereka itu karena tentunya kita tidak ingin mereka bersikap tidak hormat

kepada kita ketika kita sedang melakukan hal serupa. Bukan hanya untuk mencari

penghormatan dari orang lain, namun karena perbedaan yang ada, kita harus tetap

Page 18: Logbook III (Kelompok)

menghormatinya karena kita hidup di negara yang sama agar tercipta kedamaian dan

menimbulkan persatuan dan kesatuan.

- Tidak sembarangan menuduh seseorang atas perbuatannya dan menyalahkan agama yang

dipeluknya. Seringkali kita menemukan kasus yang terjadi di negara kita ini tentang

penyalahgunaan kata-kata yang diucapkan seseorang yang menimbulkan keributan yang

didasarkan kata-kata tidak enak semata. “Mulutmu harimaumu” adalah slogan yang

cocok untuk hal ini. Ironisnya di negara Bhineka Tunggal Ika ini adalah kelompok

masyarakat tertentu masih belum bisa memahami dan menerima adanya perbedaan antar

masyarakat, terlepas dari motto negara kita yang berarti “Berbeda-beda namun tetap satu”

itu, sehingga seringkali dengan didasarkan pola pikir yang stereotype, mereka

menyalahkan agama tertentu atas perbuatan umatnya.

Page 19: Logbook III (Kelompok)

Bab IV

Prinsip-prinsip Interfaith Dialogue dalam Literatur

Istilah interfaith dialog mengacu pada koperasi, konstruktif dan positif interaksi antara orang-

orang dari tradisi agama yang berbeda (yaitu, "agama") dan / atau spiritual atau humanistik

kepercayaan, baik individu dan kelembagaan. Hal ini berbeda dari sinkretisme agama atau

alternatif, dalam dialog yang sering melibatkan mempromosikan pemahaman antar agama atau

keyakinan yang berbeda untuk meningkatkan penerimaan orang lain, bukan untuk mensintesis

keyakinan baru. Beberapa dialog antaragama baru-baru ini telah mengadopsi nama interbelief

dialog, sementara pendukung lainnya telah mengusulkan dialog Interpath istilah, untuk

menghindari implisit termasuk ateis, agnostik, humanis, dan lain-lain tanpa keyakinan agama

tetapi dengan keyakinan etika atau filsafat, serta menjadi lebih akurat mengenai banyak agama

dunia yang tidak menempatkan penekanan yang sama pada "iman" seperti halnya beberapa

agama Barat. Demikian pula, kelompok rasionalis pluralistik telah menyelenggarakan dialog

penalaran publik untuk mengatasi semua pandangan dunia (baik agama, budaya dan politik),

disebut dialog transbelief.

Di seluruh dunia ada lokal, regional, nasional dan inisiatif lintas agama internasional; banyak

yang secara formal maupun informal terkait dan merupakan jaringan yang lebih besar atau

federasi. Sering dikutip "Tidak akan ada perdamaian di antara bangsa-bangsa tanpa kedamaian di

antara agama-agama. Tidak akan ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog antar

agama" dirumuskan oleh Dr Hans Küng, seorang Profesor Ekumenis Teologi dan Presiden

Global Etika Yayasan.

United States Institute of Peace menerbitkan karya tentang dialog antar agama dan peacebuilding

termasuk Laporan Khusus tentang Mengevaluasi Interfaith Dialog Interfaith Dialog bentuk peran

utama dalam studi agama dan perdamaian.

Untuk sebagian orang, dialog antar agama istilah memiliki arti yang sama seperti dialog

antaragama. Baik adalah sama dengan Kristen Nondenominational. The World Council of

Churches, meskipun. membedakan antara 'antar' dan 'interrreligious. " Untuk WCC, 'antar'

Page 20: Logbook III (Kelompok)

mengacu pada tindakan antara denominasi Kristen yang berbeda. Jadi, 'antar' mengacu pada

interaksi antara kelompok agama yang berbeda seperti Muslim dan Kristen atau Hindu dan

Yahudi misalnya.

Dalam literatur, prinsip-prinsip Interfaith Dialogue yang dapat kita ambil adalah:

1. Prinsip toleransi antar umat beragama

Sikap toleransi adalah sikap saling menghormati. Sebagai manusia yang hidup dengan jutaan

umat manusia lainnya, tentu kita memiliki banyak perbedaan. Entah itu perbedaan ras, suku

bangsa, kebudayaan, dan agama. Oleh karena itu kita memerlukan rasa saling menghormati

karena kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Dalam literatur “The Los Angeles Buddhist-

Catholic Dialogue”, orang Buddhist ini memiliki sikap toleransi antar umat beragama, karena

ia mau menghargai dan mengakui adanya kebenaran pada agama lain, dan tidak malu untuk

menyatakannya.

2. Prinsip mau mengakui adanya perbedaan

Pada dasarnya, agama itu adalah satu kepercayaan karena kita percaya akan adanya Tuhan

dan Tuhan kita tentu selalu mengajarkan umat-Nya untuk melakukan dan berbuat hal-hal

baik. Yang membuat perbedaan antar agama adalah dengan adanya tokoh-tokoh besar yang

berpengaruh dalam agama itu sendiri, seperti pada agama Buddha misalnya, kita mengenal

Sidharta Gautama, yaitu Sang Buddha sendiri serta Yesus Kristus pada agama

Kristen/Katholik. Namun pada akhirnya inti dari ajaran agama itu adalah satu, untuk menjaga

kesejahteraan umat manusia itu sendiri. Dalam dialog tersebut, pemeluk agama Buddhist ini

mau mengakui perbedaan yang ada antar agama dan mau mengakui kebenaran dari hasil

karya Paus John Paul II dan dia setuju bahwa kita semua harus melepaskan pola pikir

stereotype yang didasarkan dari kebiasaan lama.

3. Prinsip keterbukaan

Artinya kita mau menerima tentang hal-hal yang baru atau asing bagi kita. Dalam literatur

tersebut, sang pemeluk agama Buddha ini terbuka dengan ajaran agama Katholik. Hal ini

bukan berarti ia ingin berpindah agama atau semacamnya. Ia masih menjadi seorang pemeluk

agama Buddha, namun ia terbuka dengan ajaran agama lain jika menurutnya hal itu benar

adanya.

Page 21: Logbook III (Kelompok)

Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil analisis / penelaahan terhadap literatur pokok maupun literatur

pengembangan dapat disimpulkan bahwa kelompok kami menerima Ha yakni Prinsip –

prinsip dialog agama Buddha dan Katholik di Los Angeles dapat meningkatkan rasa

toleransi dalam hidup beragama.

Berdasarkan hasil peninjauan lapangan menyatakan bahwa seluruh lapisan masyarakat

mendukung adanya interfaith dialogue yang diyakini dapat meningkatkan sikap toleransi

antar umat beragama sehingga tercipta kerukunan hidup beragama.