lingua stba lia (vol. 9, no. 1, 2010)
DESCRIPTION
LINGUA STBA LIA Jakarta is a biyearly academic journal from STBA LIA Jakarta (Indonesia) which publishes the journal through PPPM, a unit of Research and Community Development .The content of this journal revolves around issues on Literature, Journalism, Translation, Linguistics, Cultural Studies, and Language Teaching. The writers are from the teaching staff of STBA LIA and other people from outside campus.Most articles in this journals are written in Indonesia and the rests are in Indonesian and Japanese.This journal is registered at: http://u.lipi.go.id/1180428792. More information about STBA LIA Jakarta can e found here: http://www.stbalia.ac.id/.TRANSCRIPT
-
SSN 1412-9183 Volume 9 Nomor 1, Maret 2010
JURNAL ILHIAH LINGUA
PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT SEKOLAH TINGGI BAHASA ASING LIA JAKARTA
Penasihat Prof. Dr. Ida Sundari Husen
Penanggung Jawab Dr Askalani M unir.
Penyunting Penyelia Askalani Munir, M. Pd.
Penyunting Pelaksana Agus Wahyudin, M.Pd.
Penyunting TamulPenelaah Ahli Dr. Agus Aris Munandar
Sekretaris Agus Wahyudin, M.Pd.
Tata Usaha Tety Kurniati
Alamat Redaksi Jalan Pengadegan Timur Raya No.3
Pancoran, Jakarta 12770 Telepon (021) 79181051, Faksimile (021) 79181048
E-mail: [email protected]
-
ISSN 1412-9183
Masalah Pilihan Kata dalam PeneIjemahan: Menciptakan 1-15 Kata Barn atau Menerima Kata Pinjaman? (Ida Sundari Husen)
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang 16--39 Mengikuti Ujian Kemampuan Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (Puspa Mirani Kadir)
Pemahaman Kata yang Menunjukkan Tempat dan Arah dalam 40-46 Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia (Dewi Kania Izmayanti)
Mengenal Sekilas Dialektologi: Kajian Interdisipliner 47-68 tentang Variasi dan Perubahan Bahasa (Wahya)
Nilai Moral Shudanshugi dan Munculnya Fenomena Ijime 69-88 (Ekayani Tobing)
-
> Sejumlah tulisan kembali hadir dalam volume 9, Nomor 1, Maret 2010.
Terbitan kali ini memuat lima tulisan dengan topik-topik yang menarik. Semua
itu disajikan untuk para pembaca setia UNGt/A. Tulisan tentang Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan dapat
dijadikan referensi bagi para peneIjemah. Memilih kata temyata bukan hal yang
mudah dalam peneIjemahan. Salah memilih kata dapat mengakibatkan
kesalahan dalam mengalihkan pesan. Temyata, banyak kesulitan dialami para
penerjemah. Apa saja itu? Ikuti kajian secara detail dari Prof. Dr. Ida Husen ini.
Tulisan berikut juga menarik untuk diperhatikan sebab jika berkeinginan
untuk mengikuti UKBJ (Uji Kemampuan Bahasa Jepang), Anda harns
memerhatikan (1) kemahiran kosakata, (2) kemampuan menyimak, (3)
keterampilan tata bahasa, dan (4) kemampuan memahami teks. Anda berminat?
Silakan pahami lebih lanjut dalam tulisan ini.
Tidak hanya itu yang perlu Anda baca, berikutnya Kata yang
Menunjukkan Tempat dan Arah dalam Bahasa Jepang dan Indonesia harns
dipahami. Jika tidak memahami, Anda akan salah mengartikan.
Walaupun mengambil judul sekilas, temyata Mengenal Sekilas
Dialektologi: Kajian Interdisipliner tentang Variasi dan Perubahan Bahasa
dibahas tidak sekilas. Seperti apa variasi dan perubahan bahasa yang sekilas itu?
Dr. Wahya akan menjelaskan kajian tersebut dalam tulisannya.
Dari awal dibicarakan tentang linguistik beserta aplikasinya, kini giliran
budaya Jepang dengan judul Nilai Moral Shudanshugi dan Fenomena
Munculnya ijime. Apa yang dimaksud dengan shudanshugi dan ijime itu?
Bagaimana hubungan antara nilai moral shudanshugi dan fenomena ijime?
Redaksi
-
MASALAH PILIHAN KATADALAM PENERJEMAHAN: MENCIPTAKAN KATA BARU ATAU MENERIMA KATA
PIN. TAMAN?
Ida Sundari Husen Ketua Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA Jakarta
Abstak Pilihan kata merupakan unsur yang penting dalam penerjemahan. Salah memilih kata
dalam penerjemahan akan mengakibatkan kesalahan pesan yang disampaikan kepada pembaca. Persoalan memilih kata sering dialami setiap penerjemah sekalipun sudah berpengalaman. Kesulitan-kesulitan itu di antaranya penentuan kata dengan bobot dan konotasi yang tepat, penyerapan bahasa asing, atau pemilihan istilah atau ungkapan yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut diperlukan kemampuan berbahasa Indonesia, salah satunya terampil memilih kata (diksi) sehingga terjemahannya dapat berterima.
Kata Kunci: pilihan kata, penerjemahan, pesan
Abstract Word choice is an important element in translation. Poor diction in translation may
transfer different message to readers. Good diction is still a problem to translators even to the experienced ones. These difficulties include the determination of words with the equivalent quality and connotation, the naturalization, and term and phrase selection that have no equivalence in Indonesian. To overcome these constraints, translators are required to master in diction to produce natural translation.
Key Words: word choice, translation, message
Pendahuluan
Sebelum membahas apa yang menjadi topik pembicaraan, saya mgm
mengingatkan kembali apa yang dimaksud dengan penerjemahan. Beberapa
pakar linguistik yang mengkhususkan diri pada peneiitian penerjemahan
mempunyai pendapat yang mirip, tetapi diformulasikan dengan cara yang
berbeda-beda. Catford (1965), misalnya, mengatakan bahwa menerjemahkan
adalah mengganti teks dalam bahasa sumber dengan teks sepadan dalam
bahasa sasaran, sedangkan menurut Newmark (1985): "menerjemahkan makna
Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Bam atau Menerima Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
1
-
suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang."
Unsur-unsur yang diteliti adalah penulis teks asal, teks asal (TA), penerjemah,
teks terjemahan (TT), dan pembaca. Dalam perkembangan selanjutnya unsur
yang diteliti bertambah dengan situasi komunikasi, citra mental penerjemah,
latar belakang budaya penulis, dan pembaca potensial.
Dengan kata sederhana dapat didefinisikan bahwa menerjemahkan adalah
mema-hami suatu teks (berbahasa asing) untuk membuat orang lain paham
(dalam bahasa sendiri). Penerjemah adalah perantara yang mengomunikasikan
gagasan dan pesan penulis teks asli yang ditulis dalam bahasa sumber kepada
pembaca melalui bahasa lain (bahasa sasaran). Pembaca teks hasil terjemahan
harus memahami dan memperoleh kesan atau pengertian sama seperti pembaca
teks asli. Karena bahasa adalah produk budaya, kegiatan penerjemahan pada
hakikatnya adalah kegiatan antarbudaya. Dalam pengalihan pesan dari bahasa
sumber ke bahasa sasaran, terjadi pula transfer budaya yang membuat pembaca
teks terjemahan mengerti atau tidak mengerti amanat yang
Setiap bahasa memiliki sistem dan struktur sendiri (sui generis). *
Penerjemah tidak dapat memaksakan sistem dan struktur bahasa sumber pada
bahasa sasaran yang dipakai dalam kegiatan penerjemahan. Untuk
mengalihkan pesan, penerjemah tidak mungkin mengalihbahasakan kata demi
kata, tetapi memindahkan secara wajar seluruh pesan/amanat ke dalam bahasa
sasaran, seperti contoh berikut.
How do you do?/How are you? (Sd.) Comment allez-vous?
Dear Sir/Madam Monsieur, Madame,
Lihat Hoed, B.H. (1995 dan 2000)
2
Apa kabar? Kumaha damang?
Dengan hormat,
LINGUA Vo\.9 No.1, Maret 1-15
-
Seperti telah dikemukakan di atas, kesulitan penerjemahan ditemukan
pada tahap pengalihan pesan, pengalihan bentuk (struktur, ungkapan, dan
pemilihan kata). Walaupun "bentuk" dapat dikorbankan demi pengalihan
pesan, penerjemah teks sastra misalnya, perlu berusaha keras
mengalihbahasakan ungkapan atau kata yang dipilih penulis teks asli karena
konotasi tertentu yang dikehendakinya. Oleh karena itu, dalarn penerjemahan
teks sastra, penerjemah sering mengalarni ketegangan (tension) karena
menghadapi masalah intraduisibilite [ketakterjemahan]. Narnun, penerjemah
wajib menghormati penulis dengan memilih kata, ungkapan, bahkan kalau
mungkin gaya penulis asli. Tentu saja semua harus dilakukan dalarn batas
kewajaran bahasa Indonesia. Penerjemah tidak boleh melanggar hak cipta dan
tetap sadar bahwa ia sedang menerjemahkan, bukan menulis karya sendiri
sehingga menimbulkan pemeo "La Belle infidele" 'Si Cantik yang tidak setia'.
Untuk teks yang lebih teknis sifatnya, operasional, atau fungsional, yang
harus diutarnakan adalah pesan. Adapun penerjemah karya ilmiah perlu
memiliki pengetahuan tentang teks yang akan diterjemahkannya, atau paling
sedikit ia harus berusaha untuk mencari teks-teks dalarn bahasa Indonesia
tentang topik yang sarna dan sering berkonsultasi dengan pakar dalarn bidang
tersebut. t Penerjemah tidak dapat mengandalkan karnus karena penjelasan
dalarn karnus sering tidak sesuai dengan apa yang diungkapkan dalarn karya
ilmiah. Gillest menyimpulkan bahwa penerjemahan karya sastra harus "author
oriented", sedangkan penerjemahan teks teknis harus "client oriented". Untuk
yang dimaksud dengan "klien", beberapa penulis teori mengacu pada pembaca
potensial, sedangkan yang lain mengartikan editor, penerbit, atau sponsor.
t Baca: Paulus Sanjaya (2002), Anna Karina (2002) dan Esther Mokodampit (2003) : Diungkapkan pada Seminar Penerjemahan yang diselenggarakan oleh Pusat Penerjemahan FIB UI April 1995 Masalah Pilihan Kata dalarn Penerjemahan: Mencari Kata Bam atau Menerima Kata Pinjarnan (Ida Suudari Husen)
3
-
Berkaitan dengan klien ini, kegiatan penerjemahanjuga bergantung pada
ideologi (Lihat Venuti seperti yang dikutip Hoed, 2004: 39). Dalam artikel
tersebut contoh yang diberikan adalah politik domestikasi teks asli untuk
kepeduan penerjemahannya di Amerika Serikat. Saya ingin mengingatkan
hadirin tentang penerjemahan karya Shakespeare di Prancis pada abad ke-18
yang direkayasa sedemikian rupa sehingga berbau karya Racine atau Comeille
yang sedang dikagumi masa itu. Metode penerjemahannya disebut traduction-
annexion [penerjemahan-aneksasi] atau traduction -immitation [penerjemahan-tiruan].
Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan
Seperti telah dikemukakan di bagian terdahulu, penerjemah hams
mengalihkan pesan atau amanat bukan mengalihbahasakan kata per kata.
Namun, pada praktiknya, dalam pengalihan pesan sering terjemahan suatu kata
atau istilah menjadi kendala yang agak sulit diatasi, pula ungkapan.
Terkadang kedua bahasa sedemikian berbeda sehingga penerjemah dihadapkan
pada ketidakmungkinan menerjemahkan suatu kata
(intraduisibilite!untranslatability) Di sinilah dipedukan kekebijakan,
kemampuan berbahasa Indonesia, keterampilan menemukan kata yang tepat,
serta kreativitas seorang penerjemah agar teks terjemahannya dapat berterima.
Di samping itu, penerjemah pun hams mengenali apakah suatu kelompok kata
merupakan frasa, klausa, ungkapan, atau peribahasa. Misalnya, berdasarkan
konteks, ia hams segera mengerti bahwa terjemahan "Les petits ruisseaux font
les grandes rivieres" (Inggris: Great oaks from little acorns grow) bukanlah
'Selokan-selokan kecillama-lama menjadi sungai besar', melainkan 'Sedikit-
Lihat "Laporan Seminar Penerjemahan Karya Sastra" dalam Lintas Bahasa, no. 5 tahun 1996, halaman 6.
4 LINGUA Vo\.9 No.1, Maret 1-15
-
sedikit lama-lama menjadi bukit'. Terjemahan kalimat "Tel pere tel fils"
(lnggris: Like father like son) bukanlah 'Begitu bapaknya begitulah anaknya",
melainkan 'Air di cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga', sedangkan
"Tomber de Charybde en Scyilla" 'Jatuh dari Charybde ke dalam Scylla'
adalah padanan dari 'Lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya'.
Terkadang peribahasa bahasa Indonesia merupakan terjemahan harfiah dari
peribahasa Prancis atau Inggris, misalnya: "Les chiens aboient, la caravane
passe" 'Anjing menggonggong, kafilah jalan terus'; "When there is a will,
there is a way" 'Di mana ada kemauan, di sana ada jalan'.
Masalahnya muncul jika penerjemah tidak tahu padanan peribahasa
Indonesia atau memang dalam bahasa Indonesia tidak ada padanannya. Salah
satu solusi adalah mener-jemahkan makna peribahasa itu berdasarkan kamus:
"De la discussionjaillit la lumiere" 'Dari diskusi terpancar cahaya' dipadankan
menjadi 'Berkat adu pendapat muncullah solusi'.
Penerjemah juga harus mengenali (berdasarkan konteks) bahwa frasa
yang ditemu-kannya adalah ungkapan, seperti di bawah ini.
II trouve sa maison sens dessus dessous (arah atas bawah): Ia menemukan rumah-nya berantakan.
Apres quelques jours de tete a tete (kepala pada kepala), ils sont obliges de se separer: Setelah berduaan beberapa hari, mereka terpaksa harus berpisah.
Setelah melihat contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang
penerjemah harus menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran. Ia tidak hanya
dituntut untuk memahami bahasa sumber tertulis, tetapi juga sigap menemukan
padanan dalam bahasa sasaran serta mampu menuangkannya dalam tulisan
yang tepat.
Apabila kata-kata yang terangkai dalam klausa atau kalimat memiliki
padanan dalam bahasa Indonesia, penerjemah dengan mudah Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Barn atau Menerima 5 Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
-
menerjemahkannya. Yang menjadi masalah dalam pemilihan padanan dalarn
hal ini adalah pencarian padanan kata yang memiliki "bobot" atau yang
disebut Machali "kekuatan" (Machali, 2000: 81-82) yang sarna. Hal ini tidak
hanya berlaku untuk karya sastra, tetapi juga dalarn teks umum, seperti contoh
berikut.
The Non-aligned is determined to actively participate [ .... ]
Gerakan Nonblok merasa terpanggil untuk ikut serta [ .... ]
Gerakan Nonblok berketetapan untuk secara aktifberperan serta [ ..... ]
Ia berpendapat bahwa kata ''terpanggil'' tidak memiliki kekuatan yang sarna
seperti "is determined", lebih baik digantikan oleh "berketetapan".
Ketika perselisihan antara Indonesia dan Portugal masih berlangsung,
koran-koran Indonesia biasa menulis "Timor Timur berintegrasi dengan
Indonesia pada tahun 1975", tetapi berita yang sarna akan muncul di surat
kabar Eropa (kawan-kawan Portugis) sebagai berikut "Timor Timur dianeksasi
oleh Indonesia pada tahun 1975". Dalarn hal ini tarnpak jelas bahwa
penerjemahan kata "bergabung" sangat dipengaruhi oleh ideo-logi yang
menyebabkan pilihan kata yang berbeda konotasinya.
Kata-kata yang sulit dicarikan padanannya biasanya menyangkut unsur
budaya materi, religi, sosial, organisasi sosial, adat istiadat, kegiatan, prosedur,
bahasa isyarat, ekologi (Newmark: 1988: 95, seperti yang dikutip oleh
Nababan, 2004). Masalahnya, terkadang padanan kata itu ada dalarn bahasa
Indonesia, tetapi konotasinya berbeda. Kata tersebut dalarn teks asal memiliki
berbagai makna yang harns dipilih dengan jeli oleh penerjemah. Memang
persoalan memilih makna kata itu merupakan masalah permanen dalarn
penerjemahan yang dapat membuat kesal penerjemah. Penerjemah telah paharn
apa yang dimaksud pengarang, tetapi mendapat kesulitan bagaimana
menuangkannya dalarn bahasa Indonesia dalarn satu kata atau istilah. Contoh-
6 LfNalJA Vol.9 No.1, Maret 1-15
-
contoh berikut kita akan dihadapkan pada kasus pencanan padanan yang
menyangkut kebiasaan sehari-hari (pranata sosial, makanan-minuman, dlL),
istilah keagamaan, istilah kekerabatan, kata ganti orang, nama diri, sebutan,
gelar, kata sapaan, nama peralatan, tumbuh-tumbuhan, bunga-bungaan, buah-
buahan, dan hewan.
1. Istilahlkata yang Memiliki Padanan dalam Bahasa Indonesia
a. Beberapa kata sebenarnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia, tetapi
dengan makna yang lebih luas, misalnya ricelriz yang dapat berarti
padiiberaslnasi. Dalam hal ini, konteks sangat menentukan padanan kata
yang dimaksud.
b. Suatu kata dari bahasa sumber dapat memiliki makna ganda dan
mempunyai dua padanan dalam bahasa Indonesia, misalnya table yang
dapat berarti meja atau tabel. PeneIjemah harus memilih mana yang paling
cocok dengan konteksnya.
c. Banyak juga kata-kata yang sebetulnya memiliki padanan dalam bahasa
Indonesia, tetapi dengan konotasi khusus, misalnya:
(1) cafeinelkitchen
(2) fa
(3) cuis undry
(4) lingerie
(5) boutique
dapur;
warung kopi;
binatu, tukang cuci;
baju dalam;
toko kecil/warung -7 butik
barang-barang yang eksklusif.
toko dengan
Rasa rendah diri dan kebiasaan berbahasa orang Indonesia tampaknya
ikut me-nentukan dalam pengadopsian atau peminjaman istilah-istilah
asing tersebut. Istilah "dapur" digunakan untuk dapur tradisional yang
kotor, sedangkan kalau dapur itu bersih dan modem namanya kitchen.
Dari istilah itu muncul kitchen-set di mana-mana. Sama halnya dengan
Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Barn atau Menerima Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
7
-
keempat istilah lain di atas. Ada yang dipinjam secara utuh dalam bentuk
aslinya, ada pula yang secara perlahan-lahan diserap menjadi bahasa
Indonesia, seperti cafe atau kafe.
Dalam petunjuk-petunjuk peneljemahan senng dikatakan bahwa
penerjemah hams menggunakan padanan istilah yang digunakan di Indonesia.
Namun, terkadang penerje-mah dihadapkan pada pilihan yang sulit, misalnya
teljemahan istilah "ministere" dari bahasa Prancis yang padanannya adalah
"kementrian". Di Indonesia kini digunakan istilah "departemen", sedangkan di
Prancis pun mempunyai istilah "departement" yang mengacu kepada lembaga
yang lain sama-sekali. Simpulannya, yang mungkin dapat dipilih adalah istilah
"kementrian" untuk menunjukkan bahwa di Prancis istilah itulah yang dipakai.
2. IstilahIKata yang Tidak Ada Padanannya dalam Bahasa Indonesia
Terkadang istilah budaya itu tidak ada padanannya dalam bahasa
Indonesia, misalnya sebagai berikut.
a. La dot diteljemahkan dengan parafrasa "bekal perkawinan", disertai
penjelasan pada catatan kakilbelakang: warisan keluarga yang diberikan
kepada seorang gadis pada hari perkawinannya.
b. Istilah-istilah budaya yang menyangkut adatlkebiasaan, bangunan, uang,
makanan dan minuman:
8
(1) vendetta
(2) chateau
= vendetta (dicetak miring) + catatan kaki; = chateau (dicetak miring) + catatan kaki;
(3) franc, louis, sou, pound sterling dipinjam dengan dicetak miring dan
catatan kaki;
(4) croissant, rhum, genievre, dipinjam dengan dicetak miring dan catatan
kaki.
LfNGIJAVo1.9No.I,Maret 1-15
-
c. Nama Diri, Julukan, Gelar, dan Sapaan
Nama diri biasanya dialihkan sebagairnana adanya, untuk rnenunjukkan
bahwa nama-nama itulah yang dipakai di negeri berbahasa sumber,
rnisalnya: Aucassin, Nicolette, Therese, dU. (bukan Nikoleta dan Teresa).
Khusus untuk nama Superchat dari suatu cerita anak-anak, dibuat kreasi
baru dengan rnenciptakan Superkucing yang dengan rnudah rnengingatkan
anak-anak pada Superman. Julukan terkadang terkadang tidak
ditetjernahkan, rnisalnya:
Le Tondu Si Gundul;
Le petit caporal Si Kopral yang kontet Gulukan untuk Napoleon).
Namun, saya rnernbiarkan "La Marquise" dan "Mademoiselle Fiji" karena
ber-pendapat bahwa tetjernahan istilah akan rnenghilangkan "bobot"
julukan itu. Di samping itu, untuk La Marquise saya rnendapat kesulitan
untuk rnernilih gelar kebangsawanan yang "sepadan": Bu Raden Ayu? Bu
Rangkayo? Sernentara itu, istilah Madame dan Monsieur ditetjernahkan
"Ibu" dan "Bapak", tetapi terkadang tidak, bergantung pada situasi. Gelar
Maitre, Baron, Comte, Marquis, tidak ditetjernahkan karena tidak ada
padanannya dalam bahasa Indonesia. Sernua kata asing dicetak miring dan,
jika perlu, diberi penjelasan pada catatan kaki.
d. Masalah juga tirnbul dalam penetjernahan istilah keagamaan, seperti frere/
brother, pasteur, abbe karena pernakaian istilah di seluruh Indonesia tidak
seragarn, rnisalnya istilah "rorno" hanya dipakai di Jawa. Berhubung bukan
Katolik, saya harus minta penjelasan dari ternan-ternan yang beragama
Katolik. Dernikian juga untuk rnencari padanan istilah untuk upacara,
benda-benda, serta bagian-bagian gereja. Untuk yang terakhir, kamus
visual sangat rnernbantu.
Masalah Pilihan Kata dalam Peneljemahan: Meneari Kata Bam atau Menerima Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
9
-
c. Istilah kekerabatan juga menjadi persoalan. Di Indonesia, orang yang lebih
muda selalu menambahkan sebutan abang, kakak, mas, bapak, ibu,
paman/om, dll. jika ia menyapa orang yang lebih tua, sedangkan di Barat,
hal itu sering tidak diperlukan. Saya merasakan keganjilan ketika istilah
"Aa" (dalam bahasa Sunda) tidak diterjemahkan atau dipinjam dalam
terjemahan "Perjaianan Pengantin " dalam bahasa Prancis. Pesan memang
sampai, tetapi ada unsur budaya yang tidak dialihkan. Sebaliknya, dalam
penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, saya bingung memilih, istilah
kekerabatan daerah mana yang harus dipilih? Sebetulnya saya segan
memilih "am" karena istilah Belanda, tetapi menggunakan istilah "paman"
untuk lingkungan tertentu kesannya sangat artifisial, tidak sesuai dengan
kenyataan.
f. Kata ganti orang pertama dan kedua yang tampaknya sederhana dan
banyak dipakai dalam kegiatan sehari dalam penerjemahan karya sastra
menimbulkan masalah karena pemakaiannya di Indonesia belum seragam.
Saya pribadi biasa memakai pasangan "saya--canda" dan "aku-kamu".
Namun, pilihan itu pemah dikoreksi oleh seorang editor yang
menambahkan "engkau". Demikian juga pemakaian "ia" dan "dia"
tampaknya belum seragam. Dalam menerjemahkan cerita anak-anak, saya
menyadari sepenubnya bahwa anak-anak masa kini menggunakan kata
ganti "gue dan [u/io" dalam percakapan mereka. Saya berpendapat bahwa
salah satu misi penerjemah adalah juga membina kebiasaan berbahasa
yang baik. Saya mengharapkan bahwa dengan seringnya membaca, anak-
anak akan berbahasa lebih baik. Televisi pun seharusnya memberikan
dukungan dengan mewajibkan semua orang yang tampil di layar kaca
menggunakan bahasa Indonesia yang "baik" sekalipun hal itu mungkin
sekarang tampak "artifisial" berhubung perusakan bahasa percakapan
10 UN4lJA Vo\.9 No.1, Maret 1-15
-
resmi semakin memprihatinkan. Dalam buku anak-anak Prancis pun
digunakan bahasa yang "resmi", yang baik dan benar. Dalam
kenyataannya, walaupun sudah belajar bahasa Prancis se1ama puluhan
tahun, mungkin saya tidak dapat memahami percakapan anak-anak di
negeri itu, apalagi percakapan remaja karena mereka bahasa
"gaul". Saya pernah mengalami kesulitan dalam pemilihan kata ganti
dalam suatu karya sastra. Tokoh suami-istri dalam karya itu, dari kalangan
borjuis kelas atas di Paris, menggunakan kata ganti "vous" (anda) untuk
saling menyapa. Sebetulnya padanannya mungkin "maslabanglakang",
tetapi karena istilah itu tidak berlaku umum di seluruh Indonesia, saya
memutuskan untuk menggunakan "anda".
g. Untuk nama tumbuh-tumbuhan, bunga, dan hewan tidak ada jalan lain
selain memin-jamnya dengan tulisan miring, dan kalau perlu dengan
catatan kaki, misalnya bunga marguerite, anemon, tilleul, ikan truite, dan
salmon. Pada kesempatan ini perlu disampaikan bahwa ada beberapa kata
dalam bahasa Indonesia yang masuk atau dipinjam dalam kamus Prancis,
antara lain durian, bambou, dan orang outang. Seperti telah disampaikan
di bagian terdahulu, penerjemahan teks teknik dan ilmiah menuntut cara
menerjemahkan yang berbeda. Penerjemah hams. memakai teks sejenis
dalam bahasa Indonesia untuk mengetahui istilah yang dipakai berhubung
informasi yang diungkapkan dalam kamus sering tidak memadai. Hal yang
lebih mungkin adalah ensiklopedi. Di samping itu, penerjemah juga harus
sering berkonsultasi dengan pakar bidang ilmu untuk memahami teks yang
sedang diterjemahkan. Idealnya penerjemah adalah pakar bidang tersebut.
Para pakar ilmu sering tidak begitu menguasai bahasa asing teks asal.
Sebaiknya, mereka bekerja sama dengan penerjemah yang menguasai
bahasa teks tersebut. Solusi lain adalah agar penerjemah mengkhususkan Masalah Pilihan Kata dalam Peneljemahan: Mencari Kata Barn atau Menerima Kata Pinjaman (Ida Sundari Busen)
11
-
diri dalam. satu bidang ilmu karena sebenarnya struktur dan istilah yang
dipakai lebih terbatas sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama akan
dapat menerjemahkan dengan lancar dan mudah. Mengenai petunjuk
pemakaian suatu alat, sebaiknya penerjemah melihat sendiri alat tersebut
dan mengerti cara berfungsinya agar hasil terjemahannya benar-benar ope-
rasional.
Saya pribadi belum banyak pengalaman dalam penerjemahan teks
teknik. Menurut pengalaman yang masih terbatas itu, ada beberapa catatan.
1. Istilah teknik yang dipakai di Indonesia belum seragam, misalnya istilah
dapur dan tanur. Dalam hal ini, penerjemah perlu meminta bahan dari
beberapa industri atau perguruan tinggi untuk mencari istilah yang lebih
populer.
2. Sering para ilmuwan atau kalangan industri lebih menyukai istilah
Inggrisnya. Usaha penerjemah untuk mengindonesiakan istilah dari bahasa
asing selain Inggris dipandang sebagai berbau dan tidak sesuai
dengan kenyataan.
3. Terkadang ada istilah asing yang diadopsi dalam bahasa Indonesia melalui
bahasa asing lain dan memiliki makna berbeda. Hal ini saya alami waktu
menerjemahkan Indochina dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia.
Saya menemukan istilah yang mengacu pada hiasan dekorasi candi yang
bentuknya tetap seperti kata Prancis, tetapi datang di Indonesia melalui
Belanda maknanya berbeda.
Agar contohnya lebih mutakhir, saya akan mengambil contoh-contoh
dari laporan penelitian tiga orang lulusan Program Spesialisasi 1 Penerjemahan
FIB UI tentang istilah kedirgantaraan (PT IPTN), perlistrikan, dan teknologi
komunikasi seluler.Tampaknya yang sudah membuat standardisasi hanyalah
bidang perlistrikan berkat tim khusus yang dibentuk Direktorat Jenderal Listrik
12 LINGUA Vo1.9 No.1, Maret 1-15
-
dan Pengembangan Energi. TeIjemahan istilah teknik tidak mengalami
kesulitan. Istilah yang bermasalah adalah yang "dipinjam" dari khazanah istilah
umum, misalnya alimentation (makanan), transfer, hand over (penga-lihan). Di
samping itu, usaha yang juga menghambat untuk memopulerkan istilah barn
adalah kebiasaan buruk orang Indonesia menggunakan istilah Inggris. Dengan
kata lain, orang Indonesia keengganan memopulerkan istilah bam dalam
bahasa Indonesia, misalnya sector mapping 'pemetaan sektor', mounting
cabling 'pemasangan kabel', hand over 'pengalihan frekuensi'.
Pada beberapa tahun terakhir banyak diterbitkan kamus istilah berbagai
bidang. Mudah-mudahan istilah-istilah yang ditawarkan sudah dapat diterima
oleh semua kalangan, termasuk perguruan tinggi.
Penutup
Memilih kata yang tepat pada hakikatnya merupakan pekeIjaan rutin
peneIjemah dalam usahanya mengalihkan pesan dari teks berbahasa sumber ke
dalam teks terjemahan yang akan ditulisnya. Seorang peneIjemah
berpengalaman sekalipun pasti selalu mengalami kesulitan mencari kata yang
tepat, dengan bobot dan konotasi yang tepat, yang akan mendorongnya untuk
menciptakan kata bam, mengindonesiakan kata asing atau "meminjam" kata
tersebut. Teks bam akan memberinya kesulitan lain. Bedanya dengan
peneIjemah bam adalah bahwa pengalaman telah memberinya cara untuk
meng-atasi kesulitan itu lebih cepat.
Berhubungan dengan hal di atas, pekeIjaan meneIjemahkan adalah
pekeIjaan yang memerlukan keuletan, kesabaran, dan terutama kecintaan pada
pekeIjaan yang dapat me-maksanya untuk duduk beIjam-jam di depan
komputer atau beIjalan ke sana ke mari untuk berkonsultasi atau mencari bahan
pendukung pekeIjaannya. Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Baru atau Menerima Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
13
-
DAFTAR PUSTAKA
Anna Karina. 2002. Analisis Peristilahan Peluncur Roket dalam Lintas Bahasa no. 20,211X/12/2002. Jakarta: Penerbitan Pusat Penerjemahan FIB UI.
Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press.
Durieux, C. 2000. "Kreativitas dalam Penerjemahan Teknik" dalam Enseigner la Traduction, no. 1, April. Jakarta: PPKB, LPUI & Kedutaan Besar Prancis, hlm. 77-87.
Hoed, B.H. et al. 1993."Pedoman Umum Penerjemahan" dalam Lintas Bahasa edisi khusus, no. 1 Juli 1993. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB UI.
Hoed, B.H.1995. "Prosedur Penerjemahan dan Akibatnya" dalam dalam Lintas Bahasa no. 2, 3 Maret 1995. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB UI.
2002. "Penerjemahan Unsur Budaya" dalam Lintas Bahasa no. 20, 21, 10 Desem-ber 2002. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB UI.
2004. "Liberte en Traduction, Skopos et Ideologie" dalam La Francophonie dans les Pays non Francophones. Acte du Colloque International 2004. Association des Professeurs de Franyais d'Indonesie.
Husen, Ida Sundari. 1996. Laporan Seminar Penerjemahan Karya Sastra dalam Lintas Bahasa no. 5, 4 April 1996. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB UI.
Hidayat, Rahayu Surtiati. 1996. Penerjemahan sebagai tindak Komunikatif (Pidato Ilmiah pada HUT FIB tanggal 5 Desember 1996)
2002. "Deverbalisasi sebagai Proses Terjemahan" dalam Lintas Bahasa no. 20, 21, 10 Desember 2002. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB UI.
Machali, Rochayah. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: PT Grasindo.
Mokadampit, Esther. 2003. Analisis Peristilahan Telekomunikasi Seluler dalam Lintas Bahasa no. 23/XI/8/2003. Jakarta: Penerbitan Pusat Penerjemahan FIB UI.
Nababan, M.R. 2004. "Penerjemahan dan Budaya" in Proceeding Seminar Nasional Linguistik. Peran Bahasa sebagai Perekat Keberagaman Etnik. Y ogyakarta: Cine Club. Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Y ogyakarta.
14 LINGUA Vol.9 No.1, Maret 1-15
-
Newmark, P. 1988. A Text Book o/Translation. New York: Prentice Hall. Paulus Sandjaja. 2002. Analisis Peristilahan Tenaga Listrik dalam Lintas
Bahasa no. 20,210012/2002. Jakarta: Penerbitan Pusat Penerjemahan FIB VI.
Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan: Mencari Kata Baru atau Menerima Kata Pinjaman (Ida Sundari Husen)
15
-
KAJIAN KELULUSAN MAHASISWA JURUSAN SASTRA JEPANG YANG MENGIKUTI UJIAN KEMAMPUAN BAHASA JEPANG
PERI ODE 2005-2007 *
Puspa Mirani Kadir Pengajar Program Stud; Sastra Jepang, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
Abstrak Uji kemampuan bahasa Jepang (UKBJ) akan memberikan pengaruh yang besar pada
mahasiswa yang akan mempelajari ketrarnpilan yang dipersyaratkan oleh sekolah tinggi yang bersangkutan. Mahasiswa yang merasa perlu terhadap UKBJ, walaupun tahun tertentu gagal, akan mencobanya kembali pada tahun berikutnya. Terdapat empat kriteria yang harns dipertimbangkan dalam Uji kemarnpuan bahasa Jepang: (1) kemahiran kosa kata, (2) kemampuan menyimak, (3) keterarnpilan tata bahasa, dan (4) kemampuan memahami teks. Semua kriteria tersebut saling berhubungan satu sarna lain. Kemahiran dalam kosa kata dan kemarnpuan dalam hurufkanji Jepang akan mempengaruhi kemampuan menyimak. Demikian pula halnya dengan ketrampilan tata bahasa. Ketrampilan tata bahasa yang rendah akan mengakibatkan kemarnpuan pemahaman teks yang rendah pula.
Uji kemarnpuan bahasa Jepang (UKBJ) untuk tingkat dasar dibagi menjadi empat kelompok: Level 4 adalah untuk tingkat dasar, level 3 untuk tingkat menengah, dan level 2 dan level 1 untuk tingkat atas. Tingkat kesulitan ini sangat beragam, khususnya untukujian dari Level 3 ke Level 2. Terdapat perbedaan yang sangat besar antara jumlah mahasiswa yang lulus level 2 dengan jumlah mahasiswa yang lulus level 4. Jumlah mahasiswa yang lulus level 2 pada tahun 2006 sebanyak 42% dari mahasiswa yang mengilkuti ujian dan kemudian menurun secara drastis pada tahun 2007 sebanyak 18%. .
Kata Kunci: Uj; kemampuan bahasa Jepang, kemahiran kosa kala, kemampuan menyimak, ketrampilan tata bahasa, kemampuan memahami teks.
Abstract Japanese language proficiency test (UKBJ) will be a big impact for students who
want to learn more skills that have been acquired while studying in a college. Students who feel the importance of this UKBJ and fail that year, will try the following year. Four criteria must be considered in this Japanese language proficiency: (1) mastery of vocabulary, (2) the ability of hearing, (3) grammar skills, and (4) reading comprehension. All these mentioned criteria basically interrelated with each other. The mastery of vocabulary and the low ability of Japanese kanji will affect the ability of listening. Similarly, low grammar skill will definitely causes low text comprehension ability.
Japanese Language Proficiency Test (UKBJ) is divided into four groups: Level 4 is to test basic level, level 3 is for middle level, and level 2 and 1 for the upper level. This difficulty level is very diverse, especially for the exam from Level 3 to Level 2. There is a far different number of students (Students of Padjadjaran University at Japanese Language Department from the years 2005 in 2007) who passes the test between the one passing level 3 and level 2.
Makalah telah disampaikan dalam Seminar Program Stud; Sastra Jepang, Unpad
16 LINGUA Vo\.9 No.1, Maret 16---39
-
The number of passing students for level 2 in year 2006 reached 42%, but in the year 2007 decreased drastically to 18%.
Key Words: Japanese Language Proficiency Test, vocabulary mastery, the listening, grammar skills, reading comprehension.
I.Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kemampuan seseorang dalam mempelajari suatu bahasa, khususnya
bahasa asing, dapat dilihat dari bermacam-macam tes yang diadakan oleh
lembaga yang sudah ditunjuk atau diakui untuk menyelenggarakan tes
kemampuan bahasa tersebut, misalnya tes TOEFL untuk tes kemampuan
berbahasa Inggris yang dilaksanakan oleh Pusat Bahasa Fakultas Sastra
Universitas Padjadjaran, Pusat Bahasa Institut Teknologi Bandung, dan UPI.
Ujian kemampuan berbahasa Jepang yang diadakan setiap akhir tahun
serempak di setiap negara. Pembuatan soal dan perhitungan nilai masih
dilaksanakan oleh The Japan Foundation Pusat di Tokyo.
Ujian kemampuan bahasa Jepang (UKBJ) akan berpengaruh besar bagi
siswa yang ingin lebih jauh mengetahui kemampuan yang sudah diperoleh
selama belajar di bangku kuliah. Mahasiswa yang merasakan pentingnya UKBJ
ini, biasanya akan terns mencoba jika gagal tahun ini, dan dia akan mencoba
pada tahun berikutnya.
Empat kriteria yang hams diperhatikan dalam kemampuan berbahasa
Jepang ini yaitu (1) penguasaan kosakata, (2) kemampuan pendengaran, (3)
kemampuan tata bahasa, dan (4) kemampuan pemahaman teks. Semua kriteria
yang disebutkan pada dasarnya saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Kemampuan kosakata dan kanji bahasa Jepang yang rendah akan berpengaruh
besar pada kemampuan pendengaran. Demikian pula, kemampuan tata
bahasanya rendah maka sudah pasti kemampuan pemahaman teksnya pun akan Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan 17 Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (puspa Mirani Kadir)
-
rendah. Keterkaitan keempat kriteria tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian
hasil UKBJ dari tahun 2005-2007 yang dipaparkan di bawah ini.
1.2 Perumusan Masalah
Sejak dimulai adanya UKBJ pada 1984 oleh The Japan Foundation
pusat, setiap tahun peserta semakin bertambah di setiap tempat pelaksanaan
UKBJ di beberapa kota di dunia. Bersamaan dengan itu pula, perlunya
kepemilikan sertifikasi kelulusan bagi peserta UKBJ ini sangat berpengaruh
besar terhadap mereka untuk terjun ke masyarakat, khususnya di dunia kerja
yang menggunakan bahasa Jepang sebagai media komunikasi, baik secara lisan
maupun tulisan.
Di era multimedia sekarang ini sangat perlu memacu pembelajar
bahasa Jepang untuk terus lebih meningkatkan diri dalam kemampuan
berbahasanya mengingat pada akhir belajamya diharapkan mampu bersaing
dengan lulusan dari universitas atau lembaga lainnya dalam
memperoleh kerja yang sesuai dengan keahliannya. Bahkan, perusahaan-
perusahaan Jepang yang cukup besar, seperti Nasional Gobel dan Toyota Astra,
memberikan syarat bagi lulusan bahasa Jepang harus mampu berkomunikasi
secara aktif dan memiliki sertifikasi level 2. Hal inilah yang membuat
pembelajar pada saat belajar di perguruan tinggi atau sejenisnya untuk terus
meningkatkan diri mulai pada tingkat pertama sampai tingkat akhir sehingga
kepemilikan sertifikasi itu dapat tercapai.
Banyak universitas atau lembaga seJems lainnya yang sudah
memberlakukan syarat kelulusan pembelajar, yaitu minimal harus memiliki
sertifikasi level 3. Namun, tidaklah mudah dalam melaksanakan perubahan
mendasar yang akan berdampak positif pada kemampuan pembelajar di akhir
perkuliahan tersebut. Adapun salah satu langkah yang dapat ditempuh dengan
18 LlNQUA Vol.9 No.1, Maret 16--39
-
efektif yakni selalu dapat mengevaluasi kurikulum yang diberlakukan saat ini
agar sesuai dengan kebutuhan pasar. Kurikulum yang berbasis kompetensi
yang dimiliki sebuah perguruan tinggi hams seimbang dan sejalan dengan
keinginan pasar keIja yang menginginkan lulusan itu memiliki keahlian
yang tidak diragukan lagi. Selain itu, pemantauan hasil UKBJ yang setiap
tahun dilaksanakan akan sangat membantu untuk perbaikan kurikulum secara
bertahap sehingga evaluasi yang rutin dan berkala akan menemukan segi
kelebihan dan kelemahan kurikulum yang berlaku.
Ujian Kemampuan Bahasa Jepang (UKBJ) ini terbagi dalam empat
kelompok, yaitu ujian tingkat dasar (Level 4), tingkat menengah (Level 3), dan
tingkat atas yang terdiri dari Level 2 dan Levell. Tingkat kesulitan ini sangat
beragam, khususnya untuk ujian dari Level 3 ke Level 2, sebagaimana tampak
dari hasil Ujian mahasiswa Jurusan Sastra Jepang Universitas Padjadjaran pada
2005-2006 di bawah ini.
JUMLAH YANG LULUS/JUMLAH SISWA YANG IKUT SERTA TAHUN
LEVELl LEVEL 4
2005 217 (28,6%) 67/139 (48,2%)
2006 1110 (10%) 106/173 (61,3%)
Tabel di atas memperlihatkan bahwa jumlah kelulusan siswa pada Level 3
sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan jumlah kelulusan siswa pada
Level 2. Hal ini perlu diteliti sampai tingkat mana kesulitan siswa dalam UKBJ
untuk Level 2 dan Level 3 ini mengingat tingkatan soal ujian yang diberikan
sesuai dengan mahasiswa Jurusan Sastra Jepang Unpad mulai semester 5
sampai dengan 8, baik itu kemampuan dalam mengingat kosakata, kemampuan
pendengaran, kemampuan tata bahasa maupun kemampuan pemahaman teks
cerita.
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (puspa Mirani Kadir)
19
-
Mengenai data kemampuan berbahasa Jepang mahasiswa Sastra Jepang
Universitas Padjadjaran sampai saat ini masih belum ada data yang lengkap
dan belum diteliti, baik dalam mengingat kosakata bahasa Jepang, kemampuan
pendengaran, dan kemampuan tata bahasa, maupun kemampuan pemahaman
teks, secara terpisah. Hasil kelulusan peserta yang telah diproses The Japan
Foundation ini berupa gabungan ujian dari tiap-tiap kemampuan siswa. Oleh
sebab itu, penelitian ini ingin mengetahui sampai dengan tingkat mana saja
kelulusan siswa dalam Ujian Kemampuan Bahasa Jepang (UKBJ) berdasarkan
kriteria kemampuan-kemampuan di atas.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat
diidentifikasi masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana tingkat kelulusan mahasiswa Jurusan Sastra Jepang Unpad
yang mengikuti UKBJ pada 2006---2007?
2. Bagaimana gambaran kelulusan mahasiswa tersebut berdasarkan pada
kriteria kemampuan dalam mengingat kosakata bahasa Jepang,
kemampuan pendengaran, kemampuan tata bahasa, dan pemahaman teks?
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Empat Tingkat Tingkatan dalam UKBJ Dalam presentasi yang disampaikan The Japan Foundation Pusat
(Kaneda, Januari 2006) diperoleh gambaran tentang nilai ukur spesifik untuk
ujian kemampuan bahasa Jepang, baik Level 4 maupun Levell.
20 LINGUA Vol.9 No.1, Maret 16---39
-
4f& 0) UJ {.5": 11 \
{.5": 11 \) .A I- 4.0
111 f;l :I: 3.0 (/)
i 2.O ,j:l
1.0
0.0
UJ o)TJi
-9.0 -8.0 -7.0 -6.0 -5.0 -4.0 -3.0 -2.0 -1.0 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0
Grafik di atas memperlihatkan bahwa Level 4 jumlah (kuantitas)
informasi tes secara keseluruhan sangat rendah jika dibandingkan dengan ujian
Level 3, 2, atau 1, sedangkan Level 3 dan 2 kuantitas informasi tes itu harnpir
sarna.
Dari hasil grafik lain diperoleh data bahwa di satu sisi soal untuk
kemarnpuan pemaharnan teks dan tata bahasa (Dokkai-Bunpo) pada Level 4
kuantitas informasi tes sangat tinggi, sedangkan di sisi lain tes kosakata (Goi)
dan tes kemarnpuan pendengaran (Chokai) informasi tes rendah. Semua ini
disebabkan masih sedikitnya jumlah materi yang terkandung dalarn level 4.
Temuan di atas dapat dijadikan acuan untuk penelitian ini, khususnya
perbandingan bagaimana kelulusan mahasiswa di Level 3 dan Level 2. Level
ini harus setara dengan kemarnpuan mahasiswa tingkat 3 atau tingkat 4
(semester akhir).
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (puspa Mirani Kadir)
21
-
2.2 Kisi-kisi Tingkatan (Level) . Pada buku yang membahas tentang kisi-kisi setiap level (Nihongo
Noryoku Shiken Shutsudai Kijun(NNSSK)) menjelaskan secara rinci bagian-
bagian yang perlu dipelajari di dalam setiap kriteria, baik untuk kriteria
kosakata, pendengaran, tata bahasa, maupun pemahaman wac ana. Tabel di
bawah merupakan jumlah yang pasti untuk setiap level, baik itu jumlah
kosakata maupun kanji yang hams dikuasai oleh setiap pembelajar. JUMLAH JUMLAH TAT A BAHASA DAN
NO. LEVEL KOSAKATA HURUFKANJI EMAHAMAN WACANA
1. 1 10.000 * 1.926 * Nihongo Noryoku Shiken Shutsudai Kijun
2. 2 6.000 * 1.000 * - idem-
3. 3 1.500 * 300 * - idem-4. 4 800 * 100 * - idem-
NB: (*) : Dapat dilibat di buku sumber Nihongo Noryoku Shiken Shutsudai Kijun Edisi
1996
Kisi-kisi level 4 dan level 3 yang ada di dalam buku ini, khusus untuk
tata bahasa dan pemahaman wacana, telah memperlihatkan sebuah tabel yang
mengacu kepada buku pegangan yang ada yang dipakai di universitas, baik
yang di dalam maupun Iuar negeri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pada buku pegangan Nihongo Shoho yang dipakai di Universitas Padjadjaran
hampir memenuhi kisi-kisi yang sudah ditentukan, hanya beberapa pola
kalimat atau tata bahasa yang tidak tercantum dalam buku ini, yaitu pola
kalimat dan tata bahasa.
Pola kalimatltata bahasa yang tercantum di atas perlu dicermati dengan
baik oleh pengajar bahasa Jepang tingkat dasar, baik pada pelajaran Nihongo
Kiso I-II, Hyougen I maupun Enshu 1-11
22 ltN4UA VoL9 No.1, Maret
-
Kisi-kisi untuk level 2 dan level 1 pada buku NNSSK ini tidak
memberikan gambaran tentang perbedaan isi materi-materi buku pelajaran
yang dipakai untuk tingkat menengah (Chukyuu) atau tingkat atas (Jokyuu) ,
tetapi hanya memberikan contoh kata yang berfungsi secara tata bahasa (xt:ft IJ it. yang diambil dari buku pelajaran bahasa Jepang tingkat menengah (Chukyuu ) yang masih banyak dipakai sampai sekarang ini,
kemudian dari buku lainnya yang bersifat keilmuan, hasil karya sastra,
terjemahan, dari surat kabar, dan majalah. Di bawah ini akan dipaparkan 25
buah buku yang telah dijadikan objek penelitian oleh penyusun buku NNSSK
In!. < *&ll&MtB)
[ 1 ] B [2] //
[ 3 ] Y!7 - B :$:mM [ 4 ] --b: Y !7 ---
[5 ]
[7 J m'T-
[8J ::1:LLL! J{:!J'J Jr B :$: (;1'-> .1j!;l,:mJJ
rm,f\;; '" -.?C I jj If" B I J JrB:>f;:mnjj
[9J
[10J
Jj(fii *'l!--Fftfll=lill>
If' B:$:A C (UP
[llJ 3\:,,
[12J ffl5L. -lill> C-"iifj":$:) >
If' ? -'" -:> Tc.1? e: ? -t"" Q Jb.JJ Y.l JJ E?B
-
Dari tujuh pegangan yang tercantum di atas, buku r s *& I J merupakan buku yang masih dipakai di Universitas Padjadjaran sampai saat
Inl.
Batasan yang tepat mengenai standar kisi-kisi di atas yang membuat
tujuan pembatasan level 1 dan level 2 itu menjadi hal yang penting. Akan
tetapi, perbedaan kedua level tertinggi ini tidak dapat dituturkan secara umum
seperti level 3 atau 4 karena untuk satu kejadianlperistiwa tidak mungkin dapat
dipisahkan dengan jelas, misalnya bacaan dari koran atau majalah khusus
untuk level 1 atau 2. Jadi, di dalam buku kisi-kisi ujian kemampuan bahasa
Jepang ini khusus untuk kisi-kisi tata bahasa levell dan level 2 telah dibuatkan
tabel kelompok kata yang berfungsi secara tata bahasa. Contoh kata yang
berfungsi secara tata bahasa ini disampaikan dengan contoh kalimat sederhana
seperti berikut.
fflfJu '" lb < j-..... -lb < <
iJ 0 to -t t1 lb 0
"'---=>---=>lbo [p]l:L---=>"'Jlbo '""'-' if3 0 --C / '" if3 v \ / '"'-' if3 '5 nc ,C if3 0 --C 0) if3 0 if30tc "-' t,r- b t,r- b L --C tc =- t,r- b
Contoh kata dan kalimat di atas memberikan gambaran kepada
pembelajar bahasa Jepang tentang kata-kata yang berfungsi secara tata bahasa
dalam kalimat walaupun tidak dijelaskan secara terperinci kelas katanya.
Dalam hal ini perlu kiranya ada petunjuk cara penggunaan buku tentang kisi-
24 LINGUA Vol.9 No.1, Maret 16-39
-
kisi ujian ini, baik dalam pelajaran Imiron (Semantik), Keitairon (Morfologi),
maupun Togoron(Sintaksis).
3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
a. mengkaji kelulusan mahasiswa Jurusan Sastra Jepang Unpad yang
mengikuti UKBJ pada 2005-2007.
b. mendeskripsikan gambaran kelulusan mahasiswa tersebut berdasarkan pada
kriteria kemampuan dalam mengingat kosakata bahasa Jepang, kemampuan
pendengaran, kemampuan tata bahasa, dan pemahaman teks.
3.2 Kontribusi Penelitian
Secara praktis dan institusional, penelitian ini diharapkan menjadi
masukan yang sangat berharga, baik itu untuk siswa dalam perbaikan cara
belajar bahasa Jepang pada umumnya maupun untuk pengajar dalam
peningkatan efektivitas pengaJarannya. Dengan demikian, kemampuan
mahasiswa dapat lebih dioptimalkan.
Di dalam pengajaran Percakapan Bahasa Jepang, pengajar agak sulit
mengevaluasi kemampuan Percakapan (Kaiwa), baik itu level dasar,
menengah, maupun atas. Di dalam UKBJ pun tidak ada tes langsung yang
dapat diharapkan, kecuali dalam kemampuan pendengaran saja. Dalam
penelitian ini, memperoleh empat kriteria kemampuan yang diujikan dalam
UKBJ ini sedikitnya dapat membantu pengajar Kaiwa untuk lebih
mengoptimalkan dalam pengajaran sehingga keterkaitan antara empat
kemampuan tersebut dan kemampuan Kaiwa- nya pun akan lebih meningkat.
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (Puspa Mirani Kadir)
25
-
4. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif (sinkronis). Dalarn
kaitan ini, hasil kelulusan siswa dibandingkan dalarn peri ode satu tahun mulai
2005-2006 dan penganalisisan data tidak bersifat menilai (evaluatif).
Pengumpulan data dilakukan melalui evaluasi hasil UKBJ pada 2007 yang
diperbandingkan dengan hasil UKBJ pada 2005 dan 2006. Jumlah peserta
Level 2 pada 2005 sebanyak 92 orang, telah dibandingkan dengan peserta
Level 2 pada 2006 sebanyak 66 orang, dan peserta level 3 pada 2004 sebanyak
250 orang telah dibandingkan dengan peserta Level 3 pada 2006 sebanyak 221
orang. Peserta UKBJ Level 2 dan Level 3 tahun 2007 yang dilaksanakan pada
3 Desember 2007 akan disertakan angket yang sudah dikeluarkan pada tanggal
yang sarna.
Analisis data dilaksanakan secara kualitatif dan kuantitatif, dengan
menghitung frekuensi dan membuat tabulasi silang. Selain itu, untuk
menunjang hasil penelitian ini dilakukan pembagian angket sebanyak 2 kali:
pertarna kepada seluruh peserta UKBJ level 2 dan 3 pada 2007 dan kedua
kepada peserta UKBJ sebanyak 10% dari level 2 dan 3.
5. Pembahasan
5.1 Perbandingan Kelulusan pada 2005-2007
Ujian Kemampuan Bahasa Jepang (UKBJ) ini terbagi dalarn empat
kelompok, yaitu ujian tingkat dasar (Level 4), menengah (Level 3), dan atas
yang terdiri dari Level 2 dan Level 1. Tingkat kesulitan ini sangat beragarn,
khususnya untuk ujian dari Level 3 ke Level 2, sebagaimana tarnpak dari hasil
ujian pada 2005-2007 di bawah ini.
26 LINGUA Vol.9 No.1, Maret 16-39
-
JUMLAH YANG LULUS/JUMLAH SISWA YANG IKUT SERTA TAHUN
LEVELl LEVEL 4
2005 217 (28,6%) 67/139 (48,2%)
2006 1110 (10%) 106/173 (61,3%)
2007 1110 (10%) 89/192 (46,35%)
Dari tabel di atas dapat dilihat jumlah kelulusan siswa di level 3
angkatan 2007 mengalami peningkatan, yakni mencapai setengah atau 59,2%
dari siswa yang mengikuti ujian. Hal ini menunjukkan keseriusan siswa yang
sudah mengikuti ujian level 4 di tahun sebelumnya, terutama yang sudah
memperoleh sertifIkasi kelulusan sebanyak 61,3%.
Dari tabel di atas dapat dilihat pula jumlah kelulusan siswa pada Level
3 sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan jumlah kelulusan siswa pada
Level 2. Hal ini perlu diteliti apa saja kesulitan siswa dalam UKBJ untuk Level
2 dan Level 3 ini mengingat tingkatan soal ujian yang diberikan sesuai dengan
mahasiswa Jurusan Sastra Jepang Unpad mulai semester 5 sampai 8 (semester
akhir), baik itu kemampuan dalam mengingat kosakata, kemampuan
pendengaran, kemampuan tata bahasa maupun kemampuan pemahaman teks
cerita.
Perbedaan yang sangat jauh antara hasil kelulusan siswa pada level 3
dan level 2 dapat dilihat dari bobot soal huruf kanji sebanyak 300 buah dan
kosakata 1500 buah untuk level 3, sedangkan untuk level 2 bobot soal huruf
kanji harns hafal 1.000 buah dan kosakata sebanyak 4.800 buah (Lihat kisi-kisi
setiap level).
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (Puspa Mirani Kadir)
27
-
5.2 Pengolahan Data Presentase Kelulusan Berdasarkan Kriteria Mengenai data kemampuan berbahasa Jepang mahasiswa Sastra Jepang
Universitas Padjadjaran sampai saat ini masih belum ada data yang lengkap
dan belum diteliti, baik dalam mengingat kosakata bahasa Jepang, kemampuan
pendengaran, kemampuan tatabahasa, maupun kemampuan teks secara
terpisah. Untuk lebih jelasnya, hasil perolehan kelulusan siswa untuk setiap
kriteria tersebut telah dicoba untuk menganalisis dengan menghitung frekuensi
dan membuat tabulasi silang seperti berikut ini.
KELOMPOK
KRITERIA
YANG LULUS
A
Kosakata saja
B
Pendengaran saja
C
PRESENT ASE KELULUSAN SISWA UNIVERSITAS
PADJADJARAN BERDASARKAN KELOMPOK KRITERIA
TAHUN2005
LEVEL 2
(0=92)
19,6%
4,4%
LEvEL 3
(0=250)
PADA 2005-2007
TAHUN2006
LEvEL 2
(0=66) LEVEL 3
(0=221)
TAHUN2007
LEvEL 2
(0=64) LEvEL 3
(0=211)
Tata Bahasa dan 2,2%
Pernaharnan Teks
A +B
Kosakata + Pendengaran
A +C Kosakata + Tata Bahasa dan
Pernaharnan Teks
B +C Pendengaran +
28
3,3%
19,6%
4,4% 8%
12,1% 14,9% 9,4%
4,6% 11,3% 3,1%
3,00/0 6,3% 30,5%
UNQUA Vol.9 No.1, Maret 16-39
-
Tata Bahasa dan
Pemabaman Teks
A+B+C
Kosakata +
Pendengaran + Tata Bahasa dan
Pemahaman Teks
2,2% 8% 3,0% 9,5% 3,1% 29,0%
HasH di atas rnenunjukkan bahwa rnahasiswa yang lulus kosakata saja
umumnya sudah lebih dari 50% untuk level 3, bahkan kecenderungan
rneningkat pada 2007 rnencapai 72,4% dari 210 siswa. Demikian pula untuk
kriteria C, yaitu tatabahasa dan pernaharnan teks, sudah rnencapai setengahnya
dari siswa yang ikut ujian, dan rnencapai 66,2 % pada 2007. Untuk kriteria A
kosakata dan kriteria C untuk tatabahasa dan pernahaman teks setelah
ditabulasi silang rnenghasilkan 58,1% pada 2007. Hal ini rnerupakan suatu
peningkatan yang cukup berarti dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Meskipun dernikian, kelernahan dari tiap siswa rnasih terlihat pada kriteria B,
yaitu pendengaran, siswa yang lulus baru rnencapai 32,9% pada 2007 yang
kecenderuligan rneningkat dibanding pada 2005 dan 2006. Kelernahan itu
sangat berpengaruh pada kelulusan ketiga kriteria A, B, dan C, yang setelah
dilakukan tabulasi silang hanya sekitar 29% yang lulus pada 2007. Walaupoo
tahun ini rnenjadi lebih baik dibandingkan dengan tahoo sebelumnya, hasil
yang dicapai rnasih rendah.
Capaian yang diperoleh di level 2 rnenunjukkan siswa yang lulus
kosakata saja pada 2006 pemah rnencapai 42,4 %,. Akan tetapi, pada 2007
rnenurun kernbali secara drastis, yakni hanya rnencapai 18% yang harnpir
sarna dengan 2005. Pada tampilan di atas tabulasi silang antara kriteria A+B,
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (Puspa Mirani Kadir)
29
-
A +C, dan B+C untuk level 2 memiliki kecenderungan presentase yang rendah
sesuai dengan masing-masing kelulusan kriteria.
Sesuai dengan yang diutarakan Kaneda (Asean Summit Bandung,
2007) bahwa persiapan untuk level 2 hams benar-benar mantap, baik itu belajar
mandiri maupun belajar di kelas, mengingat perbedaan yang sangat jauh dari
isi soal antara level 2 dan level 3. Dalam belajar mandiri ada buku yang dapat
dijadikan patokan atau kisi-kisi untuk mempersiapkan UKBJ tersebut, baik
untuk jumlah kosakata, contoh soal untuk pendengaran, tatabahasa, maupun
pemahaman teks. Buku kisi-kisi ini dapat dijadikan referensi pengajar untuk
perbaikan bahan ajar dalam memberikan materi pelajaran, khususnya yang
berkaitan dengan empat kriteria di atas.
Dalam pembahasan berikut, sebagai penunJang penelitian . ini,
membahas angket yang diiisi oleh peserta ujian: pertama pada waktu UKBJ
dilaksanakan dan kedua pada waktu peserta memperoleh hasil kelulusan.
Angket yang pertama telah disebarkan kepada 275 peserta ujian terdiri
dari laki-laki 78 orang (28,4%) dan perempuan 197 orang (71,6%). Usia
terbanyak kelompok umur 20-24 tahun (80%), sisanya di bawah 20 tahun
(17,5%) dan di atas 25 tahun (2,5%). Ditinjau dari pendidikan peserta ujian
didominasi oleh mahasiswa program S-l, yaitu 143 orang (52%), D-3 97
orang (35,3%), dan program Ekstensi 35 orang (12,7%). Level yang diikuti
hampir sebagian besar level 3,21 orang (76,7%).
30 LINGUA Vo\.9 No.1, Maret 16-39
-
Gambaran karakteristik subjek penelitian berdasarkan level yang diikuti
disajikan pada tabel berikut ini.
LEVEL KARAKTERISTIK 2
I Jumlah Jumlah % 0/0
USIA
-
KARAKTERISTIK
Mengikuti UKBJ sebanyak: Belumpemah 1 Kali 2 Kali 3 Kali 4 Kali 5 Kali 8 Kali
Terakhir mengikuti UKBJ Belumpemah Tahun2002 Tahun2003 Tahun2004 Tahun 2005 Tahun2006
2 Jumlah %
LEVEL
1 1,6
3 4,7 18
28,1 32
50,0 6
9,4 4
6,3
1 1,6
7 10,9
56 87,5
I Jumlah %
3
34 16,1
33 15,6 111
52,6 29
13,7 3
1,4
1 5,0
34 16,1
1 5,0
1 1,6
5 2,4 168 79,6
Selanjutnya akan dibahas hasil angket tentang penilaian peserta
terhadap persiapan ujian, baik itu untuk kriteria kosakata, pendengaran, tata
bahasa, maupun pemahaman wacana. Selain itu, dibahas pendapat peserta
terhadap pemakaian buku ajar yang dipakai selama ini.
32 LlN4lJA Vol.9 No.1, Maret 16-39
-
Persiapan peserta level 3 sebanyak 93 orang (44,1 %) yang menyatakan
cukup siap untuk menghadapi ujian, sedangkan peserta level 2 sebanyak 41
orang (64,1 %) yang menyatakan kurang siap atau setengah lebih dari peserta
yang ikut UKBJ. Penilaian mereka terhadap buku pegangan sebanyak 134
orang (63,5%) dari peserta level 3 yang menyatakan menunjang, dan level 2
sebanyak 31 orang (48,4%) yang menyatakan kurang menunjang.
Gambaran selanjutnya adalah penilaian kemampuan diri peserta dalam
menjawab soal-soal UKBJ berdasarkan tiga kriteria yang telah disebutkan di
atas. Untuk kelompok kosakata peserta level 2 sebanyak 21 orang (32,8%),
yang menyatakan yakin dapat mengeIjakan 25-50% dan untuk level 3
sebanyak 102 orang (48,3%). Namun, peserta yang menyatakan kurang yakin
dari 25%), berturut-turut untuk level 2 sebanyak 10 orang (25%) dan untuk level 3 sebanyak 12 orang (5,7%).
Ujian Kemampuan Bahasa Jepang untuk kriteria pendengaran, baik
level 2 maupun level 3, pada prinsipnya mereka cenderung merasa yakin 25-
50%. Level 2 untuk kriteria ini sekitar 38 orang (59,4%), sedangkan untuk
level 3 sekitar 102 orang (48,3%) atau hampir mendekati setengah darijumlah
peserta UKBJ.
Untuk kriteria tata bahasa dan pemahaman wacana, peserta level 3
sebanyak 122 orang (57,8%) yang merasa yakin telah mengeIjakan soal
tersebut (50-75%), tetapi sangat berbeda dengan level 2 yang menyatakan
tidak yakin (25-50%) sebanyak 27 orang (42,2%).
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (puspa Mirani Kadir)
33
-
Gambaran hasil di atas akan disajikan pada tabel berikut.
LEVEL KARAKTERISTIK 2 I Jumlah 3 Jumlah
% % Buku Bahan Ajar
Sangat Menunjang 6 52 Menunjang 9,4 24,6 Kurang Menunjang 23 134 Sangat Tidak 35,9 63,5
Menunjang 31 21 48,4 10,0
4 6,3
Persiauan dalam Ujian Sangat siap 6 Siap 3 2,8 Cukup 4,7 54 Kurang Siap 20 25,6
31,3 20 41 31,3
64,1 58 27,5
Kemamuuan dalam menjawab KOSAKATA 3 30
Yakin>75% 4,7 14,2 Yakin 50-75% 21 134 Yakin 25-50% 32,8 63,5 Yakin
-
LEVEL KARAKTERISTIK 2
I.JUmlah 3
Jumlah % %
Kemamnuan dalam menjawab PENDENGARAN 7
Yakin>75% 9 3,3 Yakin 50-75% 14,1 71 Yakin 25-50% 38 33,6 Yakin 75% 21,9 122 Yakin 50-75% 27 57,8 Yakin 25-50% 42,2 57 Yakin
-
Pertanyaan di atas kemudian dilanjutkan dengan saran-saran yang diajukan
untuk peningkatan hasil UKBJ di antarnya untuk pengajaran
a. kosakata: tidak hanya mengajar kosakata, tetapi cara penggunaan dalam
kalimat dan tidak perlu banyak, tetapi kontinyu;
h. pendengaran: frekuensi pengajaran pendengaran diperbanyak, misalnya
Ckokai dan Kaiwakai;
c. tata bahasa dan pemahaman wacana: diberikan tips menyelesaikan soal
wacana
Pertanyaan berikutnya berupa mendengar pendapat siswa terhadap motivasi
untuk perbaikan nilai UKBJ tersebut. Umumnyajawaban dari responden
adalah
a. memperbanyak membaca dan latihan wacana karena pemahaman wacana
adalah bagian yang memberikan kontribusi nilai yang paling besar;
b. memperkuat dasar kemampuan bahasa Jepang, dan memperbanyak
pengetahuan informasi yang barn dan terkini tentang J epang;
c. banyak megerjakan soal UKBJ.
Pertanyaan berikutnya adalah tujuan responden dalam mengikuti UKBJ,
baik untuk yang akanmengikuti level 1 atau level 2. Umumnya responden
menjawab agar mudah mencari pekerjaan dan mengukur kemampuan
berbahasa Jepang sebagai motivasi belajar.
Responden level 3 dalam menjawab prediksi mereka tentang hasil ujian,
yakni sesuai dengan persiapan belajar sebanyak 14 orang, dan sesuai dengan
yang diajarkan sebanyak 16 orang. Meskipun demikian, prediksi tentang hasil
kelulusan yang menyatakan tidak sesuai dengan yang diharapkan yakni sekitar
18 orang(72%) dari 25 orang responden.
Saran yang diajukan responden level 3 tidak berbeda jauh dengan level
2, yaitu untuk pengajaran
36 WJal1A VoL9 No.1, Maret 16-39
-
a. kosakata: memperbanyak tugas, bacaan, kuis untuk mempelajari
kosakata baru;
b. pendengaran: lebih banyak latihan mis, dalam MK kaiwa Lab seminggu
dua kali (diberi kaset dan buku soal);
c. pemahaman teks dan tata bahasa: banyak pelatihan dan lebih variatif + diberi teks bacaan di luar buku wajib.
Responden level 3 memberikan kiat-kiat yang dapat dilakukan untuk
perbaikan nilai UKBJ, di antaranya, lebih giat menghafal kanji dan kosakata
baru serta belajar lebih lama dan lebih tekun.
6. Simp ulan dan Saran
6.1 Simp ulan
Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1. Kelulusan mahasiswa Jurusan Sastra Jepang Unpad yang mengikuti sejak
2005 sampai dengan 2007, khususnya level 3 pada 2007, mengalami
peningkatan. Jumlah kelulusan siswa pada level 3 sangat jauh berbeda jika
dibandingkan dengan kelulusan siswa pada level 2.
2. Mahasiswa yang lulus kosakata (A) saja pada level 3 mengalami
peningkatan dari 59,% pada 2005 menjadi 72,4% pada 2007. Kelulusan
untuk kriteria pendengaran (B) masih sangat lemah (32%). Kelulusan untuk
kriteria tata bahasa dan pemahaman teks (C) terjadi peningkatan sejak 2005
sampai dengan 2007, yaitu dari 38% menjadi 66%.
3. Kelulusan kombinasi antara kriteria A dan kriteria C pada 2007 mencapai
58%. Kelulusan kombinasi antara kriteria A+B, B+C, dan A+B+C masih
relatif rendah.
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemampuan Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (puspa Mirani Kadir)
37
-
4. Kelulusan kriteria A untuk level 2 pada 2006 mencapai 42%, tetapi pada
tahun 2007 menurun kembali secara drastis, .yakni hanya 18%.
5. Kombinasi antara kriteria A+B, A+C, B+C, dan A+B+C untuk level 2
memiliki kecenderungan presentase yang rendah sesuai dengan masing-
masing kelulusan kriteria.
6.2 Saran Dengan tingkat kelulusan UKBJ yang relatif rendah, institusi,
khususnya Jurusan Sastra Jepang Fakultas Sastra, Univeritas Padjadjaran perIu
a. selalu mengevaluasi kurikulum yang diberlakukan saat ini agar sesuai
dengan kebutuhan pasar.
b. memiliki kurikulum yang berbasis kompetensi yang seimbang dan sejalan
dengan keinginan pasar kerja yang menginginkan lulusan itu betul-betul
memiliki keahlian yang tidak diragukan lagi.
c. memantau hasil UKBJ yang setiap tahun dilaksanakan akan dapat
membantu untuk perbaikan kurikulum secara bertahap.
d. menemukan segi kelebihan dan kelemahan kurikulum yang berlaku
DAFTARPUSTAKA
Kamada Satoru (2001) r ACTFL-OPI Aruku, Tokyo Kokusai Koryuu Kikin (2006)
Japan Foundation, Tokyo.
Swender, E. ed (1999) ACTFL Oral Proficiency Interview Tester
Training Manual. Hastings--on-Hudson. NY : ACTFL.
38 LfN{1tJA Vol.9 No.1, Maret 16-39
-
Yasuaki Kaneda(2006)
Tokyo.
r s J The Japan Foundation,
Zaidan Hojin Nihon Kokusai Kyoiku Shien Kyokai (2006) "The 2005
Japanese Language Proficiency Test Levelland 2 Questions" The
Japan foundation, Tokyo.
Kajian Kelulusan Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang yang Mengikuti Ujian Kemarnpuan Bahasa Jepang Periode 2005-2007 (puspa Mirani Kadir)
39
-
PEMAHAMAN KATA YANG MENUNJUKKAN TEMPATDAN ARAB DALAM BAHASA JEPANG DAN BAHASA INDONESIA*
Dewi Kania Izmayanti Staf Pengajar Jurusan Bahasa Jepang Universitas Bung Batta, Padang . [email protected]
Abstrak Pemahaman mahasiswa terhadap penggunaan kata yang menunjukkan tempat dan
arah dalam bahasa Jepang masih kurang. Mereka lebih menguasi bahasa Indonesia karena dianggap sudah dikenal sebelumnya. Penggunaan partikel dalam bahasa Jepang juga sebatas hapalan, belum memahami peraturan. Hal ini disebabkan kaidah yang ada dalam pikiran mahasiswa masih terbiasa dalam pola bahasa Indonesia.
Kata Kunci: pemahaman kata, tempat, arah
Abstract Student's understanding of the use of words indicating place and direction in
Japanese is still poor. Students are more proficient in Indonesian as it is already familiar to them. The use of particle in Japanese is just as for memorization without understanding the usage. The usage that exists in students' mind is still Indonesian usage. Students are still accustomed to the pattern of Indonesian.
Key Words: understanding words, place, direction
A. Pendahuluan
Bahasa adalah sistem larnbang uj aran yang digunakan untuk
berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik berkembang
berdasarkan suatu sistem, yaitu seperangkat aturan yang dipatuhi oleh
pemakainya. Sistem tersebut mencakup unsur-unsur, di antaranya, larnbang,
unik atau khas, dan tidak sarna dengan larnbang bahasa lain. Larnbang
dibangun berdasarkan kaidah yang bersifat universal. Karena
keuniversalannya, hal itu memungkinkan suatu sistem bahasa bisa sarna
dengan sistem bahasa lain.
Disampaikan dalam Seminar Nasioanl Gakkai di Kampus Binus Jakarta, 12 Februari 2010
40 LfN4VA Vo1.9 No.1, Maret 40-46
-
Kemarnpuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang bukan merupakan
suatu hal yang diwariskan, melainkan sesuatu yang diperoleh melalui suatu
pembelajaran. Bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa asing yang banyak
diminati dan dipelajari dewasa ini, terbukti dengan semakin meningkatnya
jumlah orang asing yang mempelajari bahasa Jepang dari tahun ke tahun.
Dalarn sepuluh tahun terakhir ini Indonesia menduduki urutan keenarn
pembelajar bahasa Jepang, yang tersebar pada pendidikan dasar dan menengah,
pendidikan tinggi, dan pendidikan nonsekolah (1998)
Bahasa Jepang adalah bahasa yang unik karena hanya satu negara yang
menjadikan bahasa Jepang sebagai bahasa nasionalnya. Hal ini berbeda dengan
bahasa lainnya, seperti bahasa Inggris yang digunakan di beberapa negara
sebagai bahasa nasionalnya. Demikian juga bahasa Melayu digunakan oleh
orang-orang Indonesia, Malaysia, dan Brunai Darussalarn. Bahasa Jepang dan
bahasa Indonesia merupakan dua bahasa yang sangat berbeda, baik dari
strukturnya maupun kaidah-kaidahnya. Walaupun demikian, ada bagian-bagian
yang dapat dibandingkall dari kedua bahasa tersebut karena seperti yang sudah
disebutkan di atas bahwa sistem larnbang disusun berdasarkan kaidah-kaidah
yang bersifat universal sehingga memungkinkan suatu sistem bisa sarna dengan
sistem larnbang yang lain. Salah satu kaidah yang bersifat universal tersebut
adalah kata yang mempunyai fungsi menyatakan arah atau tempat.
Partikel he, ni, 0, dan de merupakan partikel yang sarna-sarna
mempunyai fungsi menunjukkan tempat dan arah, tetapi dalarn penggunaannya
berbeda bergantung pada kata kerjanya, sedangkan dalarn bahasa Indonesia
kata di dan ke yang menunjukkan tempat atau arah disebut dengan kata depan,
dan penggunaannya sarna, tidak bergantung pada kata kerja.
Pemahaman Kata yang Menunjukkan Tempat dan Arah dalam Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia (Dewi Kania Izmayanti)
41
-
Hal yang menjadi permasalahan dalam pengajaran bahasa Jepang selama
ini adalah bagaiman mahasiswa memahami penggunaan partikel dan tujuan
yang ingin dicapai sehingga tidak hanya sekadar hapal, tetapi juga mengerti.
B. Arti dan Fungsi Kata Depan di dan ke
Dalam bahasa Indonesia kata yang menunjukkan tempat atau arah
ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya yang disebut dengan kata
depan. Kata depan dalam bahasa Indonesia ada dua, yaitu kata depan di dan
kata depan ke-. Baik kata depan di maupun kata depan ke selalu diikuti dengan
kata benda yang menyatakan arah dan tempat. Kata depan di dan kata depan ke
dapat diganti dengan kata dari yang menyatakan asal. Kata depan di tidak
dapat diposisikan dengan awalan me-, seperti contoh frasa
1. di rumah sakit I ke rumah sakit/dari rumah sakit,
2. di samping I ke samping I dari samping, dan
3. di mukal ke mukal dari muka
c. Arti dan Fungsi Joshi (Partikel) Mempelajari bahasa Jepang tidak akan pernah terlepas dari penggunaan
joshi (partikel). Selain sebagai salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang,joshi
juga merupakan hal penting dalam kaidah bahasa Jepang yang harns dipelajari
dan dipahami oleh pembelajar bahasa Jepang
Joshi adalah kelas kata yang termasuk Juzokugo yang dipakai setelah
suatu kata untuk menunjukkan hubungan antara kata tersebut dan kata lain
serta untuk menambah arti kata tersebut lebih jelas lagi. Karena termasuk
Juzokugo, joshi tidak dapat berdiri sendiri sebagai satu kata, satu bunsetsu
apalagi satu kalimat. Joshi akan mempunyai makna apabila telah dipakai
setelah kelas kata lain yang dapat berdiri sendiri (jiritsugo).
42 LlNQUA Yo!.9 No.1, Maret 40-46
-
Berdasarkan fungsinyajoshi dibagi menjadi empat macam.
1. Kakujoshi dipakai setelah nomina yang berfungsi menunjukkan hubungkan
antara nomina dan kata lainnya, yang termasuk dalam joshi ini adalah ga,
0, no, ni, e, to, yori, kara, de, danya.
2. Setsuzokushi dipakai setelah yougen (kata keIja dan kata sifat) atau setelah
jodoushi yang berftmgsi melanjutkan kata-kata sebelumnya terhadap kata-
kata berikutnya, yang termasuk dalam joshi ini adalah ba, to, keredo,
keredomo, ga, kara, shi, temo (demo), te (de), nagara,tari (dari), noni, dan
node.
3. Fukujoshi dipakai setelah berbagai macam kata dan mempunyai kaitan
yang erat dengan bagian kata berikutnya, yang termasuk dalam joshi ini
adalah wa, mo, koso, sae, demo, shika, made, bakari, dake, hodo,
kurai(gurai), nado, nari, yara, ka, dan zutsu.
4. Shuujoshi dipakai setelah berbagai macam kata pada bagian akhir kalimat
untuk menyatakan suatu pertanyaan, larangan, seruan, rasa haru, dan
sebagainya, yang termasuk dalamjoshi ini adalah ka, kashira, na, naa, zo,
torno, yo. ne, wa, no, dan sa.
Joshi atau partikel yang mempunyai fungsi sebagai penunjuk tempat atau
arah dalam bahasa Jepang adalah de, ni, dan 0, sedangkan e dan kara termasuk
ke dalam kakujoshi.
D. Pemahaman Mahasiswa
Untuk mengetahui bagaimana mahasiswa memahami penggunaanjoshi
yang menunjukkan tempat dan arah data diambil dari jawaban latihan soal,
terjemahan, contoh kalimat dari mata kuliah bunpo, dan hasillatihan sakubun.
Latihan soal yang berupa kalimat
1. f.l. 0) -=rftHi7j7) ( ) -lj- 0) J: ? 'c. 77k VJ * To Pemahaman Kata yang Menunjukkan Tempat dan Arah dalam Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia (Dewi Kania Izmayanti)
43
-
Pada umumnya mahasiswa mengisikan partikel ni dan de pada kalimat ini
karena mereka memahaminya dalam bahasa Indonesia menjadi 'Anak saya
berenang di dalam air seperti ikan hiu '. Para mahasiswa memahami kata di
dalam bahasa Jepangnya adalah ni atau de.
2. ( )
Pada umumnya mahasiswa menjawab dengan benar 0 untuk orite dan ni
untuk notta. Ketika ditanya alasannya, jawabannya karena itu sudah pasti.
3. ::::::m::JiYJ ( ) Sebagian besar mahasiswa mengisikan ni atau de karena pemahamannya
dalam bahasa Indonesia menjadi kereta lewat di jalur tiga. Kata depan di
dalam bahasa Jepang adalah ni atau de. Demikian halnya dalam kalimat
berikut.
4. ::::::m::JiYJ ( ) 'Kereta masuk dijalur tiga'. Mahasiswa mengisikan partikel ni atau de.
5. 0) if A (-r, I;:) \ \ it Ivo Dilarang menggambar di meja sekolah' .
Pada umumnya mahasiswa memilih de karena dalam pemikirannya kata
-r menunjukkan suatu aktivitas dan "'J < ;t sebagai tempat melakukan aktivitas tersebut.
'Pergi ke Shinjuku nonton film'.
7. (-r. ;k$;6>;;b0t:.o
44
'Tadi pagi di Shinjuku ada kebakaran'.
Pada kalimat yang pertama pada umumnya mahasiswa memilih de karena
dalam pemikrannya -r merupakan suatu aktivitas dan pada kalimat kedua mahasiswa memilih ni, karena para mahasiswa terpaku
LINGUA Vol.9 No.l, Maret 40--46
-
pada kata ;b It) T yang mereka.pahami bahwa patikel untuk kata ;b It) T yang sebelumnya didahului dengan keterangan tempat adalah ni.
Kemudian hal yang ditemui dalam mata kuliah teIjemahan adalah ketika
meneIjemahkan kalimat berikut.
1. Di luar udaranya sangat dingin. Pada umumnya mahasiswa
meneIjemahkan menjadi
Yi- C: --C t * v \ T 0 atau Yi- C: --C t * v \ T 0 Dalam pemahaman mahasiswa kata di dalam bahasa Jepang adalah ni atau de.
2. Di GOR Agus Salim ada konser Nidji. Kalimat ini diterjemahkan
menjadi
GOR Agus Salim :/(]) ::1 r- It) To Berikut kalimat-kalimat yang terlihat dalam latihan sakubun.
1. G 'Lulus dari SD'. 2. ::k':iJ) G tf::l--C It) L t::.o 'Ke luar dari kampus'. Dalam
bahasa Indonesia, tempat yang menyatakan asal selalu menggunakan
dari
3. 'Kuliah di universitas'
4. (' 'Berenang di laut' 5. T'? Y -{ Iv'Di Dumai tidak ada teman'
6. tc 'Karena macet di jalan, saya jadi
telat datang di kampus'
E. Simpulan Dari hasil jawaban yang diberikan mahasiswa temyata pemahaman
mahasiswa terhadap penggunaan.partikel dalam bahasa Jepang barn sebatas
hapalan belum memahami peraturan dan masih terpola pada bahasa Indonesia.
Pemahaman Kata yang Menunjukkan Tempat dan Arah dalam Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia (Dewi Kania Izmayanti)
45
-
DAFTAR PUSTAKA
Chisato, Kamada Osamu,1988, Gaikokujin no tame no Nihongo
Reibun Mondai Shirizu 7, Joshi,Aratake :Tokyo.
H.S.,Widjono, 2005, Bahasa Indonesia, Mata kuliah Pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi, Grasindo : Jakarta.
Sudjianto, Ahmad Dahidi, 2007, Pengantar Linguistik Bahasa Jepang,
Kesaint Blanc: Jakarta.
Toshiko,Tanaka, 2001, Nihongo ga wakaru: Bunpo,Goi,Hyoki,Kindai
Bungeisha : Tokyo.
46 UNCitJA Vol.9 No.1, Maret 40-46
-
MENGENAL SEKILAS DIALEKTOLOGI: KAJIAN INTERDISIPLINER TENT ANG VARIASI
DAN PERUBAHAN BAHASA
Wabya Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Pacijacijaran
saia. [email protected]
Abstrak Oialektologi adalah bidang kajian linguistik interdisipliner. Oialektologi disebut juga
kajian variasi bahasa. Mengingat variasi bahasa merupakan representasi perubahan bahasa, dialektologi juga merupakan kajian perubahan bahasa. Objek dialektologi adalah variasi bahasa. Membahas variasi bahasa berarti membahas sejarah bahasa. Pembahasan sejarah bersifat diakronis. Hanya mengingat kemudian adanya penyempitan makna pada konsep dialektologi itu sendiri, variasi bahasa yang dimaksud lebih tertuju pada varisi geografis. Mengingat hal itu, dalam dialektologi juga dibahas geografi dialek, Geografi dialek adalah kajian yang berobjek dialek geografis. Oi samping istilah geografi dialek, dikenal pula geolinguistik. Oalam dialektologi atau geografi dialek data bukan hanya diseskripsikan, melainkan juga divisualkan dalam bentuk peta.
Kata kunci: dialektologi, geografi dialek, geolinguistik.
Abstract Dialectology is a study of interdisipliner lingustics. It is also called a study of
language variation. Because language variations represet language change, dialectology is a study of language change. The research object of dialectology is language variation. It means to study history or diachronic study. But the concept of dialctology then is a study of goghraphic variation. So the dialectology studies a dialect geography. Geography dialect studies a geographical dialect. Besides terminology of a dialect geography is also called geolinguistcs. Dialectology not only describes the data also visualizes data in a map.
Key words: dialectology, dialect geography, geolinguistics.
1. Dialektologi dalam Kajian Linguistik
Linguistik adalah kajian ilmiah tentang bahasa dalam pengertian khusus
(langue). Linguistik merupakan ilmu empiris. Dikatakan empiris karena data
yang dianalisis merupakan fakta bahasa yang dapat diamati di lapangan dan
kebenarannya dapat diveriflkasi. Linguistik memprioritaskan objek kajiannya
Mengenal Sekilas Dialektologi: Kajian Interdisipliner tentang Variasi dan Perubahan Bahasa (Wabya)
47
-
pada bahasa keseharian alamiah manusiayang tidak dibuat-buat, yang lahir apa
adanya untuk memenuhi fungsi-fungsi sosial penuturnya.
Mengingat luasnya konsep bahasa sehingga secara dimensional bahasa
dapat diamati dari berbagai sisi. Oleh karena itu, linguistik memiliki berbagai
subkajian, yang membentuk disiplin tersendiri dan memiliki teori tersendiri
pula. Oleh para linguis, bahasa dipandang sebagi sistem simbol atau lambang.
Bidang linguistik yang memandang bahasa dalam sistem internalnya semata-
mata disebut mikrolinguistik. Sistem internal ini terdiri atas bunyi (fon), yang
dikaji oleh fonologi; morfem, yang dikaji oleh morfologi; satuan lingual yang
berupa frasa, klausa, dan kalimat yang dikaji oleh sisntaksis. Kajian-kajian ini
merupakan linguistik deskriptif. Termasuk ke dalam mikrolinguistik ini kajian
linguistik diakronis atau linguistik histories atau linguistik historis komparatif.
Di samping mikrolinguistik terdapat makrolinguistik dan sejarah
linguistik. Makrolingusitik terbagi atas bidang interdisipliner dan bidang
terapan. Dialektologi termasuk bidang interdisipliner. Dialektologimerupakan
lintas kajian lingusitik dengan geografi, sejarah, antropologi, sosiologi, dan
sosiolinguistik, bahkan untuk menafsirkan kata-kata tertentu dapat
memanfaatkan filologi,kajian tentang naskah lama.
2. Dialektologi
2. 1 Pengertian Dialektologi
Dalam pengertian umum, sesuai dengan ruang lingkup objek yang
dikaji pada awal-awal pertumbuhannya, dialektologi adalah kajian tentang
dialek atau dialek-dialek (Chambers dan Trudgill, 1980: 3; Francis, 1983: 1;
Walters, 1989: 119; Pei, 1966: 68). Dilaktologi berkaitan dengan aspek
regional dan so sial bahasa (Shuy, 1967: 3). Walaupun kajian ini baru benar-
benar memperoleh perhatian dari para ahli bahasa menjelang akhir abad ke-19,
48 LlN411A Vol.9 No.1, Maret 47-68
-
lama sebelumnya telah banyak dilakukan penulisan tentang hal-hal yang
bertalian dengan masalah ini (Ayatrohaedi, 1983: 14). Penelitian yang
dilakukan oleh Gustav Wenker pada tahun 1867 di Jerman dan Jules Louis
Gillieron pada tahun 1880 di Swis membuka babak bam dalam penelitian
dialektologi ini.
Chambers dan Trudgill (1980: 206) berpendapat bahwa dalam
perkembangan berikutnya, terminologi dialektologi mengalami penyempitan
pengertian, yakni sebagai kajian geografi dialek. Kenyataan ini diakui pula
oleh Petyt (1980: 30). Hal ini dapat diamati pada beberapa pendapat linguis,
misalnya O'grady dkk. (1997: 712) yang menyatakan bahwa dialektologi
merupakan kajian variasi bahasa yang berkaitan dengan distribusi geografis
penutur. Richards dkk. (1987: 80 ) memandang dialektologi sebagai kajian
variasi regional bahasa. Demikian pula Crystal (1989: 26) memandang
dialektologi sebagai kajian sistematis mengenai dialek regional. Oleh karena
itu, secara berdampingan, di samping dialektologi digunakan pula istilah lain,
yaitu goegrafi dialek atau geografi linguistik dan sarjana yang mengkaji bidang
ini disebut geografer dialek atau geografer bahasa atau dialektolog (Shuy,
1967: 3). Menurut Pei (1966: 68), geografi dialek, linguistik area (1), dan
geografi linguistik merupakan istilah yang bersinonim, yakni kajian perbedaan
bahasa lokal dengan wilayah tutur tertentu.
Para linguis atau mereka yang tertarik pada dialektologi memiliki
motivasi tertentu ketika mengkaji objeknya. Menurut Francis (1983: 7), mereka
yang mengkaji dialektologi (kajian dialek) paling tidak memiliki empat sifat
motivasi, yaitu (1) ingin tahu, (2) antropologis, (3) linguistis, dan (4) praktis.
Motivasi pertama tampak ketika seseorang sering ingin mengetahui perbedaan
kata untuk sesuatu yang dikenalnya atau perbedaan makna untuk kata yang
dikenalnya. Demikian pula, keingintahuan tentang perbedaan lafal yang
Mengenal Sekilas Dialektologi: Kajian Interdisipliner tentang Variasi dan Perubahan Bahasa (Wabya)
49
-
diucapkan. Motivasi kedua berkaitan dengan pandangan bahasa sebagai bagian
penting kebudayaan. Perbedaan bahasa dan variasinya sering merupakan
petunjuk terdalam bagi fenomena sosial dan budaya. Motivasi ketiga berkaitan
dengan data yang diperoleh dialektolog, yang dengan data ini dapat diketahui
sejarah bahasa. Motivasi keempat berkaitan dengan perubahan bahasa dan
pemakaiannya. Dengan data ini, permasalahan pemakaian variasi bahasa,
termasuk dialek baku, dalam masyarakat secara praktis dapat diketahui.
Dialektologi sebagai salah satu cabang linguistik memiliki andil dalam
mengembangkan ilmu tersebut. Dalam hal ini, kajiannya dapat menampilkan
gejala variasi bahasa, yakni variasi yang terdapat di wilayah tertentu ataupun
yang digunakan oleh kelompok sosial tertentu. Menurut Grijns (1991: 54),
salah satu jasa dialektologi yang telah nyata adalah bahwasudah sejak dini dan
dengan sangat umum berhasil menunjukkan kekompleksan distribusi areal ciri-
ciri linguistik dalam bahasa-bahasa manusia. Menurut Robins (1992: 74)
karena sering berkaitan dengan sejarah perkembangan bahasa, kajian dialek
sangat relevan bagi linguistik historis. Dalam hal ini, kajian dialek dapat
dianggap sebagai ilmu bantu linguistik historis. Nothofer (Collins, 1989: xx)
berpandangan bahwa penelitian dialek mempunyai dua tujuan, yakni tujuan
sinkronis dan tujuan diakronis. Jelaslah, kajian dialek memiliki ruang runag
lingkup yang luas sehingga memberikan sumbangan besar bagi kajian
linguistik umumnya.
Sesuai dengan perkembangan objek dan metode kajiannya, Chambers
dan Trudgill (1980: 206) menganggap dalam dialektologi kini (dialektologi
modem) tidak hanya dibahas masalah geografi dialek, tetapi dibahas pula
masalah dialek perkotaan dan geografi kependudukan. Oleh karena itu,
Chambers dan Trudgill mengusulkan istilah geolinguistik untuk kajian yang
50 WJt:;UA Vo\.9 No.1, Maret 47---68
-
mencakupi masalah itu akibat berbagai konotasi yang dikandung istilah
dialektologi tersebut.
2.2 Pengertian dan Ragam Dialek
Sebelum lebih lanjut dijelaskan mengenai dialek dan ragamnya, akan
disinggung dahulu eksistensi bahasa. Pei (1966: 141) memberikan batasan
bahasa antara lain sebagai suatu sistem komunikasi yang menggunakan bunyi,
yang memanfaatkan alat ucap dan pendengaran di antara anggota masyarakat
tertentu dengan menggunakan simbol vokal secara arbitrer dan arti secara
konvensional. Kridalaksana (1993: 21) membatasi bahasa sebagai sistem
larnbang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh anggota suatu
masyarakat untuk bekerja sarna, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
Kedua batasan bahasa di atas pada dasarnya sejalan, batasan bahasa sarna-sarna
ditinjau dari sudut pandang sebagai sebuah sistem yang memiliki fungsi praktis
sehari-hari dalarn kelompok pemakainya, yakni alat komunikasi. Batasan ini
dapat digunakan pula untuk dialek atau variasi bahasa jika semata-mata dialek
atau variasi bahasa dilihat secara otonom sebagai sebuah sistem yang memiliki
fungsi dalarn kelompok pemakainya karena pada hakikatnya subtansi bahasa
dan variasinya sarna saja (lihat pula Richards dkk. 1987: 154). Akan tetapi,jika
dilihat dari sisi eksternallain, yakni sisi pemakainya, bahasa dapat didentifikasi
sebagai variasi sesuai dengan keberadaan kelompok pemakai tersebut. Dalarn
hal ini variasi adalah dialek, baik pemakainya yang berada di tempat tertentu
dan dalarn kelompok sosial tertentu maupun pada masa tertentu.
Dialek sebagai sistem atau variasi bahasa tecermin dalarn pandangan-
pandangan berikut. Weijnen dkk. (Ayatrohaedi, 1983: 1, 2002: 1-2)
berpendapat bahwa dialek adalah sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh
satu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain yang bertetangga
Mengenal Sekilas Dialektologi: Kajian Interdisipliner tentang Variasi dan Perubahan Bahasa (Wabya)
51
-
yang mempergunakan sistem yang beflainan walaupuin erat hubungannya.
Richards dkk. ( 1987: 80) membatasi dialek sebagai variasi bahasa yang
digunakan di sebagian negeri (dialek regional), atau oleh penduduk yang
memiliki kelas sosial tertentu (dialek sosial atau sosiolek), yang berbeda
dalarn beberapa kata, tata bahasa, danlatau pelafalan dari bentuk lain pada
bahasa yang sarna. Pei (1966: 67) membatasi dialek sebagai cabang atau
bentuk tertentu dari bahasa yang digunakan di wilayah geografis tertentu.
Poedjoseodarmo (tanpa tahun) membatasi dialek sebagai varian yang walaupun
berbeda masih dapat dipaharni oleh penutur dari varian lain. Kridalaksana
(1993: 42) membatasi dialek sebagai variasi yang berbeda-beda menurut
pemakai, apakah di tempat tertentu (dialek regional), oleh golongan tertentu
(dialek sosial), ataukah pada waktu tertentu (dialek temporal). Dari beberapa
pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa dialek merupakan sistem atau
variasi bahasa. Variasi ini bisa berwujud variasi regional atau geografis jika
digunakan di tempat tertentu, bisa berwujud variasi sosial (sosiolek) jika
digunakan oleh kelompok sosial tertentu, dan bisa berwujud variasi temporal
jika digunakan pada waktu ter-tentu. Dengan demikian, dialektologi
merupakan kaj ian variasi bahasa.
Para linguis sering menggarnbarkan variasi geografis (variasi regional)
dan variasi sosial dengan arah yang berbeda. Variasi geografis berarah
horizontal, sedangkan varisi sosial berarah vertikal. Variasi sosial cenderung
bertingkat sesuai dengan adanya lapisan-Iapisan sosial, sedangkan varisi
geografis tidak. Bagan berikut mengarnbarkan posisi kedua jenis variasi
tersebut.
52 LlNGlJA Vo1.9 No.1, Maret 47-68
-
variasi sosial
ID l1li
va