lapsus olip
TRANSCRIPT
Laporan Kasus
HIPERBILIRUBINEMIA
DENGAN SEPSIS NEONATORUM
DAN
INTAKE ORAL SULIT
Oleh
Olivia Valentine Leki, S.KedNIM. I1A009081
Pembimbing
dr. Meriah Sembiring, SpA
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAKFK UNLAM – RSUD ULIN
BANJARMASIN
Maret, 2013
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
PENDAHULUAN...................................................................................................3
LAPORAN KASUS................................................................................................5
PEMBAHASAN....................................................................................................14
PENUTUP..............................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang masalah
Periode setelah lahir merupakan awal kehidupan yang tidak menyenangkan bagi
bayi. Hal itu disebabkan oleh lingkungan kehidupan sebelumnya (intra uterus) dengan
kehidupan sekarang (ekstra uterus) yang sangat berbeda. Bayi yang dilahirkan prematur
ataupun bayi yang dilahirkan dengan penyulit/komplikasi, tentu proses adaptasi
kehidupan tersebut menjadi lebih sulit untuk dilaluinya.1
Ikterus (‘jaundice’) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah,
sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan. Pada
orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin > 2 mg/dL (> 17 μmol/L),
sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin > 5 mg/dL ( >86μmol/L).
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonatus > 95 0/00 menurut Normogram Bhutani.2
Sepsis adalah kumpulan gejala klinis dari kelainan yang disebabkan oleh karena
adanya bakterimia. Sepsis merupakan keadaan gawat darurat yang sering ditemukan di
ruang perawatan intensif anak. Penyulit yang sering adalah syok septik dan disfungsi
organ multipel.3
3
Gambaran klinis sepsis bayi baru lahir sangat bervariasi dan tidak spesifik. Berikut
gejala klinis yang biasanya muncul pada bayi yang menderita sepsis4 :
1) Tremor
2) Letargi atau lunglai
3) Mengantuk atau aktivitas berkurang
4) Iritabel atau rewel
5) Muntah (menyokong ke arah sepsis)
6) Perut kembung (menyokong ke arah sepsis)
7) Tanda-tanda mulai muncul sesudah hari ke empat (menyokong ke arah sepsis)
8) Air ketuban bercampur mekonium
9) Malas minum sebelumnya minum dengan baik atau intake oral sulit (menyokong ke
arah sepsis).
Dalam tulisan ini akan dilaporkan sebuah kasus bayi cukup bulan, sesuai masa
kehamilan, berat bayi lahir cukup dengan hiperbilirubinemia, sepsis neonatorum, dan
intake oral sulit yang dirawat di ruang bayi RSUD Ulin Banjarmasin.
2. Rumusan masalah
Diagnosis dini hiperbilirubinemia, sepsis neonatorum, dan intake oral sulit sangat
penting karena terapi dan prognosis dari masing-masing penyebab sangat berbeda
sehingga diperlukan pembelajaran agar kasus seperti ini tetap dapat ditangani dengan
tepat sebagaimana kasus-kasus perinatologi lainnya yang sering ditemui. Dengan
demikian, rumusan masalah pada laporan kasus ini adalah bagaimana mendiagnosis
4
dan memberikan penanganan yang tepat serta mencegah kasus bayi dengan
hiperbilirubinemia, sepsis neonatorum, dan intake oral sulit.
3. Tujuan
Penulisan laporan kasus ini mempunyai beberapa tujuan antara lain:
1. Mengetahui faktor-faktor risiko yang terjadi pada bayi dengan hiperbilirubinemia,
sepsis neonatorum, dan intake oral sulit
2. Memahami gejala klinis, alur diagnosis, penanganan dan pencegahan pada kasus
bayi dengan hiperbilirubinemia, sepsis neonatorum, dan intake oral sulit.
4. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang faktor
risiko dan penanganan bayi-bayi dengan hiperbilirubinemia, sepsis neonatorum, dan
intake oral sulit. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan pemahaman tentang
mekanisme terjadinya hiperbilirubinemia, sepsis neonatorum, dan intake oral sulit,
gejala klinis, diagnosis, penanganan serta pencegahannya. Selain itu melalui laporan
kasus ini diharapkan secara tidak langsung mampu meningkatkan pelayanan pada
bagian perinatologi RSUD Ulin khususnya pada bayi dengan hiperbilirubinemia, sepsis
neonatorum, dan intake oral sulit.
5
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas pasien atas nama By. Ny. A jenis kelamin perempuan, datang ke
Instalasi Gawat Darurat bagian anak RSUD Ulin pada tanggal 18 April 2013.
Bayi datang dengan keluhan utama tidak mau minum susu. Pada tanggal 16 april
2013 ibu mengeluhkan keluar air-air dan dibawa ke bidan kelayan. Pada pukul 01.00
WITA ibu mengeluhkan nyeri perut. Pukul 05.00 ketuban ibu pecah, ketuban berwarna
kuning dan berbau. Ibu melahirkan pukul 15.30 WITA. Bayi dikatakan letak normal
oleh bidan, dan kemudian diputuskan untuk melahirkan per vaginam. Bayi lahir secara
normal, warna kulit kemerahan, langsung menangis dan gerakan bayi aktif. Bayi Ny. A
merupakan bayi tunggal. Bayi Ny. A lahir dengan berat badan saat lahir 2600 gram.
Saat bayi lahir, ASI ibu belum keluar, oleh karena itu bayi diberikan susu formula dan
sampai saat ini pemberian ASI selalu diselingi susu formula. Setiap kali memberikan
susu formula, ibu dapat memberikannya hingga 30 cc sekaligus sehingga bayi muntah.
Selain itu, bayi juga dikeluhkan sering BAB, lebih dari 10x dalam sehari dengan
konsistensi feses lunak dan berwarna kuning, tidak ada lendir ataupun darah. Kulit dan
sklera mata kulit bayi terlihat kuning. Karena kondisi bayi tersebut, bayi kemudian
dirujuk ke RSUD Ulin Banjarmasin. Pada awal kehamilan, ibu mengaku tidak pernah
mengalami demam dan tidak ada nyeri kencing. Selama hamil, ibu rutin memeriksakan
kandungan ke praktek dokter kandungan 2x dalam sebulan pada trimester pertama dan
1x dalam sebulan untuk trimester berikutnya dan oleh dokter dikatakan kehamilannya
baik-baik saja.
6
Berdasarkan data rekam medis, saat dibawa ke IGD RSUD Ulin Banjarmasin,
bayi Ny. A berumur 3 hari. Kondisi saat masuk rumah sakit, bayi menangis kuat dan
bergerak aktif, tetapi klihatan lesu dan tidak mau menyusu. Laju napas 56 kali per
menit, laju jantung 132 kali per menit, dengan suhu axilla 36,5 C, capillary refill time 2
detik, skor Down 0 dan skor Apgar 10. Berat badan 2600 gram dan panjang badan 49
cm. Umur kehamilan menurut nilai New Ballard 40 minggu. Pada pemeriksaan fisik
ketika masuk didapatkan kulit ikterik. Mata tidak terdapat konjungtiva pucat. Sklera
terlihat ikterik. Kebiruan pada bibir tidak ada serta mukosa bibir terlihat lembab. Pada
hidung tidak didapatkan pernapasan cuping hidung. Pada dada tidak didapatkan tarikan
kulit dinding dada antar iga serta adanya suara napas tambahan rhonki dan wheezing
pada kedua lapang paru. Tidak didapatkan bising jantung. Pada bagian perut tampak
cembung. Tidak teraba hepar dan lien. Pada anggota gerak atas dan bawah tidak ada
edem dan akral teraba hangat. Tidak didapatkan tanda rangsang meningeal. Diagnosis
saat masuk rumah sakit adalah Hiperbilirubinemia et causa sepsis neonatorum dan
intake oral sulit pada bayi cukup bulan, sesuai masa kehamilan, bayi berat lahir cukup
(BBLC) dengan persalinan spontan presentasi belakang kepala. Tatalaksana saat di IGD
Rumah Sakit Ulin Banjarmasin bayi dirawat dalam inkubator, dipertahankan agar suhu
berkisar antara 36,5 C – 37,5 C. Tidak diberikan oksigen. Infus menggunakan D10%
13,5 cc/jam. Obat-obatan yang diberikan melalui intravena antara lain Ampicilin 2x70
mg dan Gentamicin 14mg/36 jam. Hasil laboratorium tanggal 18 Februari 2013,
pemeriksaan darah rutin, didapatkan hasil Hb 19,6 g/dl, leukosit 11.000 ul, limfosit%
17,5%, hasil GDS 116, bilirubin total 19.670 mg/dl, bilirubin direk 2.200 mg/dl, dan
bilirubin indirek 17.470 mg/dl. Pada bayi ini diprogramkan fototerapi, latih ASI (ASI on
7
demand) serta perawatan tali pusat dan bayi masuk ruang perawatan perinatologi level
II RSUD Ulin Banjarmasin.
Pada tanggal 19 April 2013 (hari perawatan kedua, umur 4 hari), bayi terlihat
bergerak aktif dan menangis kuat dan sudah bisa menyusu. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan kulit terlihat ikterik dan pada mata ditemukan sklera ikterik. Bayi dirawat
dalam box. Diberikan infus D10% ditambahkan Ca Glukonas 13,5 cc/jam. Antibiotik
lini pertama tetap diteruskan yaitu Ampicilin 2x130 mg dan Gentamicin 13mg/36 jam.
Pada bayi ini diprogramkan fototerapi, latih ASI (ASI on demand) serta perawatan tali
pusat.
Pada tanggal 20 April 2013 (hari perawatan ketiga, umur 5 hari), bayi tetap
menangis kuat dan bergerak aktif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kulit masih tetap
terlihat ikterik dan pada mata ditemukan sklera ikterik. Tatalaksana infus dihentikan.
Obat injeksi dan program masih diteruskan.
Pada tanggal 21 April 2013 (hari perawatan keempat, umur 6 hari), gerak bayi
masih aktif dan menangis kuat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ikterik pada kulit
bayi berkurang dan sklera ikterik pada mata juga mulai berkurang. Antibiotik lini
pertama tetap diteruskan yaitu Ampicilin 2x130 mg dan Gentamicin 13mg/36 jam.
Program pun tetap diteruskan yaitu fototerapi, latih asi, dan perawatan tali pusat.
Pada tanggal 22 April 2013 (hari perawatan kelima, umur 7 hari), gerak bayi
aktif dan menangis kuat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ikterik pada kulit bayi
berkurang dan sklera ikterik pada mata juga mulai berkurang dari hari sebelumnya.
Obat injeksi dan program masih diteruskan.
8
Pada tanggal 24 April 2013 (hari ketujuh perawatan, umur 9 hari) kondisi bayi
membaik dan bayi pulang atas permintaan keluarga.
Berdasarkan pemeriksaan didapatkan data sebagai berikut.
I. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
2. Pengukuran
Tanda vital :
Denyut jantung : 132 kali/menit
Frekuensi napas : 56 kali/menit
Suhu tubuh : 36,4 oC
3. Kulit : Kemerahan, tidak ada sianosis, ikterik kramer III
4. Kepala
Bentuk : Mesosefali
Sefal hematom : tidak ada
Kaput suksedaneum : tidak ada
5. Rambut : Hitam, tebal, dan distribusi merata
6. Mata : Tidak ada perdarahan subkonjungtiva, sklera ikterik,
konjungtiva tidak anemis, tidak ada sekret
7. Telinga : Simetris, tulang rawan sempurna, tidak ada auriculae
assesoria, rekoil cepat kembali
8. Hidung : Simetris, tidak ada epistaksis, ada pernapasan cuping hidung
9. Mulut : Simetris, mukosa bibir basah, tidak ada sianosis, tidak ada
uvula bivida, tidak ada labioskisis
9
10. Leher : Tidak ada fraktur klavikula, tidak ada tortikolis, tidak ada kaku
kuduk
11. Toraks : Simetris, tidak ada retraksi subkostal
12. Payudara : Teraba jaringan mamma di kedua pihak, diameter 0,5 cm.
Areola kehitaman, diameter 0,5 - 1 cm
13. Paru : Suara nafas bronkovesikuler, tidak ada ronki, tidak ada
wheezing
14. Jantung : S1 dan S2 tunggal, tidak ada bising
15. Abdomen : Supel, H/L/M tidak teraba, bising usus positif normal
16. Genitalia : Perempuan, tidak ada kelainan
17. Anus : Ada, mekonium (-)
18. Ekstremitas
Atas : akral hangat, tidak ada edem dan paresis,dislokasi (+/-)
Bawah : akral hangat, tidak ada edem dan paresis
19. Denyut arteri femoralis : Positif kanan-kiri
20. Tulang belakang : Tidak ada deformitas, tidak ada spina bifida
21. Tanda-tanda fraktur : Tidak ada
22. Tanda-tanda kelainan bawaan : Tidak ada
23. Neurologi :
Refleks Moro : +
Refleks isap : +
Refleks pegang : +
Refleks rooting : +
10
II. DIAGNOSA
Diagnosa kerja:
Hiperbilirubinemia et causa sepsis neonatorum + Intake Oral Sulit + BCB + SMK +
BBLC + SPT BK
III. PENATALAKSANAAN
I. Rawat box
II. O2 (-)
III. Kebutuhan cairan
- Infus : D10% 8 cc/jam
IV. Obat-obatan
- Iv (+) inj. Ampisilin 2x70 mg
Inj gentamicin 20 mg/36 jam
V. Monitor : Keadaan Umum, Tanda vital, CRT, SD
VI. Program:
- Foto terapi
- Latih ASI
- Rawat tali pusat
11
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium Darah
28/04/2013
Hb 19,6
Leukosit 11,0
Eritrosit 5,43
Hematokrit 56,8
Trombosit 195
RDW-CV 16,1
MCV 104,7
MCH 36,0
MCHC 34,5
Limfosit % 17,5
MID% 11,2
MID# 1,2
Gran# 7,90
Limfosit # 1,9
Gran% 71,3
GDS 116
Bilirubin Total 19,67
Bilirubin Direk 2,20
Bilirubin Indirek 17,47
12
BAB III
PEMBAHASAN
Ikterus (‘jaundice’) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah,
sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan. Pada
orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin > 2 mg/dL (> 17 µmol/L),
sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin > 5 mg/dL (
>86µmol/L).2
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonatus > 95 0/00 menurut Normogram Bhutani.2
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan5 :
13
A. Penyebab yang sering:
1. Hiperbilirubinemia fisiologis
2. Inkompatibilitas golongan darah ABO
3. ‘Breast Milk Jaundice’
4. Inkompatibilitas golongan darah rhesus
5. Infeksi
6. Hematoma sefal, hematoma subdural, ‘excessive bruising’
7. IDM (‘Infant of Diabetic Mother’)
8. Polisitemia / hiperviskositas
9. Prematuritas / BBLR
10. Asfiksia (hipoksia, anoksia), dehidrasi – asidosis, hipoglikemia
11. Lain-lain
B. Penyebab yang jarang:
1. Defisiensi G6PD (Glucose 6 – Phosphat Dehydrogenase)
2. Defisiensi piruvat kinase
3. Sferositosis kongenital
4. Lucey – Driscoll syndrome (ikterus neonatorum familial)
5. Hipotiroidism
6. Hemoglobinopathy
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu
dapat pula disertai dengan gejala-gejala2 :
1. Dehidrasi
o Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)
14
2. Pucat
o Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan
golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah
ekstravaskular.
3. Trauma lahir
o Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup
lainnya.
4. Pletorik (penumpukan darah)
o Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali
pusat, bayi KMK
5. Letargik dan gejala sepsis lainnya
6. Petekiae (bintik merah di kulit)
o Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau eritroblastosis
7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal)
o Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit
hati
8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
9. Omfalitis (peradangan umbilikus)
10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
12. Feses dempul disertai urin warna coklat
o Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke bagian
hepatologi.
15
Penatalaksanaan pada hiperbilirubinemia2
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menbimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung
ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar
konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan
merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan
(luminal).6
Phenobarbital dapat menstimulus hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif baik
diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum
melahirkan. Penggunaan Phenobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan
karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan
mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus enterohepatika.6
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau
albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar
atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan
kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous Immuno
Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis,
meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.6
Tabel 3. Penanganan ikterus berdasarkan kadar serum bilirubin
Usia Terapi sinar Transfusi tukar
Bayi sehat Faktor Risiko* Bayi sehat Faktor Risiko*
16
mg/dL µmol/L mg/dL µmol/L mg/dL µmol/L mg/dL µmol/L
Hari 1 Setiap ikterus yang terlihat 15 260 13 220
Hari 2 15 260 13 220 25 425 15 260
Hari 3 18 310 16 270 30 510 20 340
Hari 4 dst 20 340 17 290 30 510 20 340
(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294)
Terapi Sinar
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.
Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru
mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin.
Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa
berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini
mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran
empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya
pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan
bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus.7
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-
luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap
6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup
namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan
hemoglobin bayi di pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin
<10 mg/dL (<171 µmol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam.7
17
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila
ditemukan efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan
antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi
dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang
penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.7
Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat
bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang
telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis.
Walaupun transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya
yang mungkin timbul perlu di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila
ada indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat kadar
bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin (Tabel 4).8
Tabel 4. Kriteria Transfusi Tukar Berdasarkan Berat Bayi dan Komplikasi
Berat Bayi
(gram)
Tidak Komplikasi
(mg/dL)
Rasio
Bili/Alb
Ada Komplikasi
(mg/dL)
Rasio
Bili/Alb
< 1250 13 5.2 10 4
1250 – 1499 15 6 13 5.2
1500 – 1999 17 6.8 15 6
2000 – 2499 18 7.2 17 6.8
≥ 2500 20 8 18 7.2
Konversi mg/dL menjadi mmol/L dengan mengalikan 17.1 (Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294)
Yang dimaksud ada komplikasi apabila8 :
18
1. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5
2. PaO2 < 40 torr selama 1 jam
3. pH < 7,15 selama 1 jam
4. Suhu rektal ≤ 35 O C
5. Serum Albumin < 2,5 g/dL
6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
8. Anemia hemolitik
9. Berat bayi ≤1000 g
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang akan
diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia yang
terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai
adalah darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan
proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi.
Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel
dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan
titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar
berkisar antara 140-180 cc/kgBB.8
Macam Transfusi Tukar:
1. ‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 % mengganti Hb
bayi.
19
2. ‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat mengganti
65 % Hb bayi.
3. ‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus
polisitemia atau darah pada anemia.
Tabel 5. Volume Darah pada Transfusi Tukar
Kebutuhan Rumus*
‘Double Volume’ BB x volume darah x 2
‘Single Volume’ BB x volume darah
Polisitemia BB x volume darah x (Hct sekarang –Hct yang diinginkan)
Hct sekarang
Anemia BB x volume darah x (Hb yang diinginkan – Hb sekarang)
(Hb donor – Hb sekarang)
BB x volume darah x (PCV yang diinginkan – PCV sekarang)
(PCV donor)
* Volume darah bayi cukup bulan 85 cc / kg BB * Volume darah bayi kurang bulan 100 cc /kg BB
Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan harus
dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan yang aseptik yang
dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai dengan alat yang
dapat mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan pula kemungkinan terjadinya
komplikasi transfusi tukar seperti asidosis, bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung.8
Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana dan
tenaga tidak memungkinkan dilakukan terapi sinar atau transfusi tukar, penderita dapat
dirujuk ke pusat rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil (‘transportable’) dengan
memperhatikan syarat-syarat rujukan bayi baru lahir risiko tinggi.8
20
Sepsis adalah kumpulan gejala klinis dari kelainan yang disebabkan oleh karena
adanya bakterimia. Sepsis neonatorum adalah sindrom klinik bakterimia dengan tanda
dan gejala sistemik infeksi pada 4 minggu pertama kehidupan. Sepsis merupakan
keadaan gawat darurat yang sering ditemukan di ruang perawatan intensif anak.
Penyulit yang sering adalah syok septik dan disfungsi organ multipel.3
Manifestasi klinis yang menjadi dasar diagnostik pada sepsis adalah sebagai
berikut4
keadaan umum : menurun (not doing well), malas minum (poor feeding),
hipo/hipertermia, edema, sklerema.
Sistem susunan saraf pusat : hipotonia, iritabel, high pitch cry, kejang, letargi,
tremor, fontanella cembung.
system saluran pernafasan : pernafasan tidak teratur, napas cepat (>60 x/menit),
apnea, dispnea, sianosis.
system kardiovaskuler : takikardi(> 160 x/menit), bradikardi(< 100 x/menit),
akral dingin, syok.
Sistem saluran cerna : retensi lambung, hepatomegali, mencret, muntah,
kembung.
system hematologi : kuning, pucat, splenomegali, ptekie, purpura, perdarahan.
Etiologi sepsis pada neonatus dapat dilihat pada tabel berikut4
OnsetOnset dini< 5 hari
Onset lambat> 4 hari
Nosokomial5 hari s-d saat dipulangkan
21
Faktor risiko obstetri
Kolonisasi kuman, amnionitis, prematuritas
JarangPrematuritas, intervensi medis, reseksi perut
Gejala klinisGawat napas, pneumonia, syok
Demam, SSP, gejala fokal
Apnea, bradikardi, letargi, instabilitas suhu
Meningitis 30% 75% 10 – 20%
Keterlibatan sistem lain
Jarang
Pyelonefritis, osteomyelitis, sepsis arthritis, selulitis
Pneumonia, pyelonefritis, endoftalmitis, thrombus, flebitis, infeksi kulit
Kuman pathogen
Streptokokus grup B, Klebsiela, listeria, enterokokus, H.influenzae, S.pneumoniae
Streptokokus grup B, E. coli, listeria, herpes simpleks
S. epidermidis, S. aureus, C. albicans, klebsiela, pseudomonas, E. coli, herpes simpleks, serratia
Terapi kausalAmpisilin dan Gentamisin
Ampisilin dan Gentamisin
Tergantung kuman nosokomial di ruangan; vankomisin/nafsilin dan Gentamisin
Adapun penggolongan sepsis berdasarkan manifestasi klinis adalah sebagai
berikut3
a. early onset : terjadi 5 hari pertama pasca lahir, dengan gejala klinis yang
timbulnya mendadak, serta gejala sistemik yang berat. Terutama mengenai
system saluran nafas, sifatnya progresif dan akhirnya syok
b. late onset: timbul setelah umur 5 hari, sering disertai manifestasi klinis adanya
gangguan system susunan saraf pusat
c. nosocomial infection : yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa risiko
infeksi, yang timbul lebih dari 48 jam saat dirawat di rumah sakit.
Sepsis awitan dini berhubungan dengan mikroorganisme yang didapat dari ibu.
Infeksi transplasenta atau infeksi dari serviks dapat disebabkan oleh mikroorganisme
22
yang berkoloni di saluran genitourinaria ibu. Neonatus memperoleh mikroorganisme
tersebut saat melewati jalan lahir.9
Faktor yang berhubungan dengan sepsis awitan dini yaitu berat lahir rendah,
ruptur membran, cairan berbau busuk, pemeriksaan pervaginam multipel, demam
maternal, aspirasi mekonium.10
Sepsis awitan lambat disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari
lingkungan luar dari rumah atau rumah sakit. Infeksi ditularkan melalui tangan petugas
kesehatan. Faktor yang mempengaruhi yaitu berat lahir rendah, infeksi superfisial,
aspirasi, dan disrupsi kulit akibat jarum infus dan penggunaan cairan intravena. Faktor-
faktor ini memperbesar jalan masuk dari mikroorganisma ke aliran darah neonatus yang
imunitasnya lebih jelek dibandingkan anak-anak dan dewasa.9
Kriteria diagnostik sepsis dikelompokkan sebagai berikut9 :
1. Possible suspect sepsis : bila terdapat 3 gejala klinis dari 6 kelompok di atas
2. Probable sepsis : bila terdapat 3 gejala klinis dan adanya kelainan laboratoris
3. Proven sepsis : bila terdapat 3 gejala klinis dan kultur darah positif
Bila sindroma klinis mengarah ke sepsis, perlu dilakukan evaluasi sepsis secara
menyeluruh. Hal ini termasuk biakan darah, pungsi lumbal, analisis dan kultur urin,
serta foto dada.9
Diagnosis sepsis ditegakkan dengan ditemukannya kuman pada biakan darah.
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan neutropenia dengan pergeseran ke kiri
(imatur: total seri granulosit > 0,2). Selain itu dapat dijumpai pula trombositopenia.
Adanya peningkatan reaktans fase akut seperti C-reactive protein (CRP) memperkuat
23
dugaan sepsis. Diagnosis sebelum terapi diberikan (sebelum hasil kultur pasitif) adalah
tersangka sepsis.9
Gambaran klinis sepsis BBL sangat bervariasi dan tidak spesifik. Berikut kelompok
temuan yang berhubungan dengan Infeksi Neonatorum10 :
Kategori A Kategori B
1) Kesulitan bernapas (mis. apnea, napas
kurang dari 40 kali per menit, retraksi
dinding dada, grunting pada waktu
ekspirasi, sianosis sentral)
2) Kejang
3) Tidak sadar
4) Suhu tubuh tidak normal, (tidak
normal sejak lahir & tidak memberi
respon terhadap terapi atau suhu tidak
stabil sesudah pengukuran suhu
normal selama tiga kali atau lebih,
menyokong ke arah sepsis)
5) Persalinan di lingkungan yang kurang
higienis (menyokong ke arah sepsis)
6) Kondisi memburuk secara cepat dan
dramatis (menyokong ke arah sepsis)
10) Tremor
11) Letargi atau lunglai
12) Mengantuk atau aktivitas
berkurang
13) Iritabel atau rewel
14) Muntah (menyokong ke arah
sepsis)
15) Perut kembung (menyokong ke
arah sepsis)
16) Tanda-tanda mulai muncul sesudah
hari ke empat (menyokong ke arah
sepsis)
17) Air ketuban bercampur mekonium
18) Malas minum sebelumnya minum
dengan baik (menyokong ke arah
sepsis)
Diagnosis sepsis neonatal sulit karena gambaran klinis pasien yang tidak
spesifik. Kecurigaan besar sepsis, bila10 :
o Pada bayi umur sampai dengan 3 hari: Bila ada riwayat ibu dengan infeksi rahim,
demam dengan kecurigaan infeksi berat atau ketuban pecah dini atau bayi
mempunyai 2 atau lebih kategori A atau 3 atau lebih kategori B.
Pada bayi umur lebih dari 3 hari: Bila bayi mempunyai dua atau lebih temuan
kategori A atau tiga atau lebih temuan kategori B. Hipoglikemi, hiperglikemi, asidosis
24
metabolik, dan ikterik adalah tanda metabolik yang biasanya mengikuti sepsis
neonatorum. Kebutuhan glukosa neonatus meningkat sebagai akibat dari sepsis.
Hipoglikemi diikuti oleh hipotensi mungkin menjadi akibat dari respon inadekuat dari
kelenjar adrenal dan berhubungan dengan level kortisol.10
Adapun penatalaksanaan sepsis adalah sebagai berikut3
1. Suportif.
Lakukan monitoring cairan, elektrolit, dan glukosa, berikan koreksi jika terjadi
hipovolemia, hiponatremia, hipokalsemia dan hipoglikemia. Bila terjadi SIADH
(Syndrome of appropriate antidiuretic hormone), batasi cairan. Atasi syok, hipoksia
dan asidosis metabolik. Awasi adanya hiperbilirubinemia, lakukan transfusi tukar
bila perlu. Pertimbangkan nutrisi parenteral bila pasien tidak dapat menerima nutrisi
enteral.
2. Kausatif.
Antibiotik diberikan sebelum kuman penyebab diketahui. Biasanya digunakan golongan
penisilin sepeti ampisilin ditambah aminoglikosida seperti gentamisin. Pada sepsis
nosokomial antibiotik diberikan dengan mempertimbangkan flora di ruang
perawatan, namun sebagai terapi inisial biasanya diberikan vankomisin dan
aminoglikosida atau sefalosporin generasi ketiga. Setelah didapat hasil biakan dan
uji sensitivitas, diberikan antibiotik yang sesuai. Terapi dilakukan selama 10-14
hari. Bila terjadi meningitis antibiotik diberikan selama 14-21 hari dengan dosis
sesuai untuk meningitis.
Surviving Sepsis Campaigne pada tahun 2004, merekomendasikan
penatalaksanaan sepsis berat, dan syok septik sebagai berikut4
25
1. Early Goal Directed Therapy (EGDT)
Resusitasi cairan agresif dengan koloid dan atau kristaloid, pemberian obat-
obatan inotropik, atau vasopresor dalam waktu 6 jam sesudah diagnosis ditegakkan di
unit gawat darurat sebelum masuk ke PICU. Resusitasi awal 20 ml/kgBB 5-10 menit
dan dapat diulang beberapa kali sampai lebih dari 60 ml/kgBB cairan dalam waktu 6
jam. Pada syok septik dengan tekanan nadi sangat sempit, koloid lebih efektif daripada
kristaloid.
Kristaloid dan koloid dapat dipakai pada syok septik, akan tetapi apabila ditinjau
dari segi patofisiologi dan patogenesis sepsis yaitu terdapat kebocoran sel endotel
dengan meningkatnya molekul adhesi ICAM-1 dan VCAM-1, koloid yang mempunyai
sealing effect dan anti-inflamasi dengan menghambat aktivitas ICAM-1 dan VCAM-1
seperti hidroxyethylstarch molekul sedang (BM 100.000-300.000), direkomendasikan
sebagai cairan awal pada sepsis dan syok berat. Apabila mempergunakan kristaloid
diperlukan jumlah yang lebih banyak dengan risiko bertambahnya edema interstitial.
Target resusitasi volume adalah: Tekanan Vena Sentral (TVS) 8-12 mmHg;
Tekanan arteri rata-rata (Mean Arterial Pressure/ MAP) sesuai umur, tekanan perfusi
normal sesuai umur (tekanan arteri rata-rata/TVS); saturasi vena sentral >70%; perfusi
jaringan baik; kesadaran baik; jumlah urin >1 ml/kgBB/jam, laktat serum < 2 mmol/L,
denyut jantung normal sesuai umur, ekstremitas hangat, perbadaan suhu oesofagus
(core) dan suhu jempol kaki > 20C.
2. Inotropik/vasopresor/vasodilator
Apabila terjadi refrakter terhadap resusitasi volume, dan MAP kurang dari
normal, diberikan vasopresor. Dopamin merupakan pilihan pertama. Apabila refrakter
26
terhadap pemberian Dopamine, maka dapat diberikan epinephrine atau norepinephrine.
Dobutamin dapat diberikan pada keadan curah jantung yang rendah. Vasodilator
diberikan pada keadaan tahanan pembuluh darah perifer yang meningkat dengan MAP
tinggi sesudah resusitasi volume dan pemberian inotropik. Nitrosovasodilator
(nitrogliserin, atau nitropusid) diberikan apabila terjadi curah jantung yang rendah dan
tahanan pembuluh darah sistemik yang meningkat disertai syok.
Apabila curah jantung masih rendah, akan tetapi normotensi dan tahanan
pembuluh darah sistemik meningkat, maka dipikirkan pemberian phosphodiesterase
inhibitor. Vasopresin yaitu ADH, adrenocorticotrophic hormone yang dikeluarkan oleh
hipotalamus, sebagai vasokonstriktor pada otot polos pembuluh darah dosis 0,01-0,04
u/menit diberikan pada penderita yang refrakter terhadap vasopresor konvensional dosis
tinggi.
3. Extra Corporeal Membrane Oxygenation
ECMO dilakukan pada syok septik yang refrakter terhadap terapi cairan,
inotropik, vasopresor, vasodilator dan terapi hormon. Terdapat 1 penelitian yang
menganalisis 12 penderita sepsis meningokokus dengan ECMO, 8 hidup dimana 6 dapat
hidup normal sampai 1 tahun pemantauan.
4. Suplemen Oksigen
Intubasi endotrakheal dini dengan atau tanpa ventilator mekanik sangat
bermanfaat pada bayi dan anak dengan sepsis berat/syok septik, karena kapasitas
residual fungsional yang rendah. Volume tidal 6 ml/kgBB dengan permissive
hypercapnea dan posisi tengkurap dapat memberikan oksigenasi jaringan yang baik.
5. Koreksi Asidosis
27
Terapi bikarbonat untuk memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan
akan vasopresor, tidak dianjurkan pada keadaan asidosis laktat dan pH > 7,15 dengan
hemodinamik dan kebutuhan akan vasopresor, dan pengaruhnya terhadap keluaran pada
pH rendah.
6. Terapi Antibiotik
Pemberian antibiotik segera setelah satu jam ditegakkan diagnosis sepsis dan
pengambilan kultur darah. Terapi antibiotik empiris spektrum luas dosis inisial penuh,
satu atau beberapa obat berdasarkan dugaan kuman penyebab dan dapat berpenetrasi ke
dalam sumber infeksi. Terdapat hubungan antara pemberian antibiotik yang inadekuat
dengan tingginya mortalitas. Pada keadaan dimana fokus infeksi tidak jelas, maka
antibiotik harus diberikan pada keadaan penderita mengalami perburukan, status
imunologik yang buruk, adanya kateter intravena berdasarkan dugaan kuman penyebab
dan tes kepekaan. Antibiotik golongan beta-laktam seperti penicillin, carbapenem
seperti meropenem, imipenem, sefalosporin dan aminoglikosida. Extended spectrum
Penicillin yaitu carboxy penicillins dan ureido-penicillins diberikan untuk infeksi
Pseudomonas aeruginosa atau bakteri gram negatif lain. Carboxy penicillins termasuk
carbenicillin dan ticarcilin dapat diberikan pada infeksi MRSA dan spesies Klebsiella.
Evaluasi pemberian antibiotik dilakukan sesudah 48-72 jam berdasarkan data
klinis dan mikrobiologi dengan mempergunakan antibiotik spektrum sempit untuk
mengurangi resistensi bakteri, menurunkan toksisitas dan biaya. Lama pemberian
antibiotika 7-10 hari dipandu oleh respon manifestasi klinis.
7. Sumber infeksi
28
Eradikasi sumber infeksi sangat penting, seperti drainase abses, debridement
jaringan nekrosis, alat-alat yang terinfeksi dilepas. Kontrol sumber infeksi harus
dilaksanakan secepatnya mengikuti resusitasi volume inisial.
8. Terapi kortikosteroid
Penelitian oleh Annane dkk, pada syok septik dewasa dengan insufisiensi
adrenal yang refrakter terhadap vasopresor, hidrokortison 50 mg setiap 6 jam dan
dikombinasi dengan fludrocortisone 50 ug diberikan 7 hari, dapat menurunkan angka
kematian absolut sebanyak 15%. Dosis yang direkomendasikan untuk syok septik
adalah 1-2 mg/kgbb (berdasarkan gejala klinis insufisiensi adrenal) sampai 50mg/kg
untuk terapi empiris syok septik diikuti dosis sama diberikan 24 jam. Terapi
hidrokortison pada syok septik perlu diberikan pada penderita yang resisten terhadap
katekolamin, dan terbukti adanya insufisiensi adrenal, penderita yang berisiko termasuk
syok septik dengan purpura, dengan riwayat pemberian steroid untuk penyakit kronis,
atau adanya gangguan pada kelenjar adrenal atau hipofisis.
9. Transfusi Tukar
Keuntungan transfusi tukar adalah mengeluarkan endotoksin bakteri dan
mediator inflamasi, meningkatkan transpor oksigen, memperbaiki fungsi granulosit
dalam melakukan lisis bakteri dan aktivitas opsonin, memperbaiki koagulopati dan
gangguan elektrolit. Penelitian sebanyak 31 studi kasus (1995-1996) pada bayi sepsis
yang dilakukan hemofiltrasi, didapatkan angka hidup sebanyak 50%.
29
BAB IV
PENUTUP
30
Telah dilaporkan sebuah kasus dengan penderita seorang anak bayi perempuan
bernama By. Ny. A berumur 3 hari yang dirawat ruang bayi Rumah Sakit Umum
Daerah Ulin yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
didiagnosa bayi cukup bulan, sesuai masa kehamilan, berat bayi lahir cukup dengan
hiperbilirubinemia, sepsis neonatorum, dan intake oral sulit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Surarmi. Bayi Resiko Tinggi. Dalam: Perawatan bayi resiko tinggi. Jakarta: EGC; 2003.
31
2. Etika Risa, dkk. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Surabaya : Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak. FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo; 2007.
3. Ari Y. Sepsis Neonatal. Dalam: Pedoman penatalaksanaan medis neonatologi. Banjarmasin : Pustaka Banua; 2004.
4. Ermin T. Penatalaksanaan syok septik pada anak. Dalam: Simposium Nasional Perinatologi dan Pediatri Gawat Darurat. Banjarmasin: IDAI Kalimantan Selatan; 2005.
5. Camilia R.M, Cloherty J.P. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty J.P et al Manual of Neonatal Care 5th Ed., Lippincott Williams & Wilkins : 2004; 185-221.
6. Maisels MJ. Neonatal Hyperbilirubinemia. Dalam: Klaus MH and Fanaroff AA. Care of the High-Risk Neonate 5th Ed, WB Saunders Co. 2001; 324-62.
7. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294.
8. Sylviati MD, Fatimah I, Agus H, Risa E. Manajemen Rujukan Bayi Baru Lahir Risiko Tinggi, Pertemuan Koordinasi RS dan Depkes Kab. Dalam Rangka Pemantapan Sistem Rujukan Maternal dan Neonatal Tahun 2003, Surabaya, November 2003 : 1-6.
9. Mansjoer A. Sepsis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. 2000; 318 – 325.
10. Tim Paket Pelatihan Klinik PONED. Buku Acuan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Jakarta : 2008.
32