lapsus anesthesi laily
TRANSCRIPT
Manajemen Anestesi Pada Operasi Appendiktomi
(Kasus Appendicitis Akut Perforata)
Disusun Oleh :
Laily Nurhayati (0610710073)
Pembimbing :
Dr. Djudjuk Rahmat Basuki Sp.An(K)
LABORATORIUM ANESTHESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR
MALANG
2012
BAB 1
PENDAHULUAN
Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan.
Analgesia ialah pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran pasien (Latief dkk, 2009). Ada dua jenis anestesi yaitu
anestesi umum, local dan regional. Anestesi umum membuat pasien tidak sadar,
sementara anestesi local dan regional hanya membuat mati rasa sebagian tubuh
yang akan dilakukan tindakan akan tetapi pasien tetap sadar. Sementara itu
istilah anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi
menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama dan sesudah
pembedahan (Latief dkk, 2009). Dalam istilah anestesi kita mengenal trias
anestesi yang meliputi analgesia (hilangnya nyeri), hipnotik (hilang kesadaran)
dan relaksasi otot.
Prosedur anestesi memerlukan persiapan yang matang baik sebelum
anestesi, selama anestesi, dan setelah anestesi. Persiapan sebelum dilakukan
anestesi merupakan hal yang sangat penting karena memiliki tujuan, antara lain
mempersiapkan mental dan fisik penderita secara optimal, merencanakan, dan
memilih obat dan teknik anestesi yang sesuai, mengurangi angka kesakitan, dan
mengurangi angka mortalitas. Persiapan yang kurang memadai merupakan
factor penyumbang sebab-sebab terjadinya kecelakaan anestesi. Seorang dokter
ahli anestesi sudah seharusnya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah,
agar dapat mempersiapkan pasien dengan sebaik-baiknya, sehingga pada saat
dilakukan tindakan, pasien dalam keadaan segar bugar (Latief dkk, 2009).
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai proses anesthesia
dari awal hingga akhir dengan pemahaman melalui contoh kasus baik untuk
anestesi umum maupun regional.
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1. Identitas Pasien
Nama : Tn.HR
Usia : 20 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Tajinan, Malang
Berat Badan : 60 kg
Register : 11054235
Jenis Pembedahan : Appendiktomi
Rencana Anestesi : Regional Anesthesi, Sub Arachnoid Block
2.2 Persiapan Pre Operasi
2.2.1 Anamnesis (8 Juli 2012)
A (Alergy) : tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan dan
asma
M (Medication) : tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu
P (Past Medical History) : riwayat DM (-), HT (-). Sakit yang sama dan
riwayat operasi (-)
L (Last Meal) : Pasien terakhir makan jam 13.00 WIB (8 Juli 2012)
E (Elicit History) : Nyeri pada perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS dan
memberat dengan nyeri pada seluruh area perut pada hari H MRS.
2.2.2 Pemeriksaan Fisik Pre-operasi (8 Juli 2012)
B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 16x/mnt, Rh (-), Wh (-), Mallampati
score 1, leher bebas, buka mulut ≥ 3jari, gigi (+), foto thorax normal.
B2 : Akral hangat, kering, merah, nadi 90 x /mnt, TD 120/70, CRT < 2”,
S1S2 single regular, murmur (-), gallop (-)
B3 : Sadar penuh, GCS 456, Pupil isokor 3mm/3mm, reflek cahaya +/+
B4 : BAK spontan (+), warna kuning muda (+)
B5 : Soefl, BU (+) ↓, mual (-), muntah (-), Nyeri tekan pada seluruh
abdomen, defense muscular (+), nyeri tekan Mc Burney (+)
B6 : Mobilitas (+) ↓ pasien merasa sangat nyeri hingga kesulitan untuk
berjlan, edema (-), akral hangat, area penyuntikan anestesi
tidak terdapat infeksi/luka, skoliosis (-).
2.2.3 Pemeriksaan Laboratorium Pre-Operasi (8 Juli 2012)
Darah Lengkap
Hb : 14,3 gr/dL
Leukosit : 15.190/ mm3
Trombosit : 209.000
PCV : 40,90 %
Faal Hemostasis
PPT : 11,5 ( K : 11,6 )
APTT : 28,9 (K: 26,3)
Serum Elektrolit
Natrium : 132 mmol/L
Kalium : 4,3 mmol/L
Chlorida : 103 mmol/L
Berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium, maka pasien ini
dikategorikan ke dalam ASA 1 dengan leukositosis (15.190 / mm3).
2.3 Durante Operasi
2.3.1 Laporan Anestesi Durante Operatif
o Jenis anestesi : Regional Anestesi
o Teknik anestesi : Sub Arachnoid Block GA intubasi
o Lama anestesi : 23.20 – 02.25 WIB
o Lama operasi : 23.35 – 02.15 WIB
o Premedikasi : Injeksi Ranitidine 50 mg iv
Injeksi Metoclopramide 10 mg iv
2.3.2 Tindakan Anestesi Regional Dengan Sub Arachnoid Block (8 Juli
2012 pk. 23.20 )
o Informed Consent
o Pasien posisi elevasi, duduk, dan rileks
o Identifikasi L4-L5
o Septik – Aseptik pada lokasi anestesi
o Insersi spinal cath no 27 dengan introducer
o Barbotage (+) LCS (+), darah (-)
o Masukkan regimen anastesi dengan Bupivacain 20 mg +
Morphine 0,15 mg
2.3.3 Tindakan Anestesi Umum Dengan Intubasi (9 Juli 2012 pk.00.45)
Pasien diposisikan pada posisi supine
Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas
normal
Obat midazolam dosis 2.5mg diberi intramuscular untuk tujuan
premedikasi
Obat berikut dimasukkan secara intravenous:
Propofol 100mg
Fentanil 100µg
Pasien diberi oksigen 100% 10 liter dengan metode over face
mask sehingga pasien jatuh dalam kondisi apneu
Pemberian oksigen (preoksigenasi) 100% 10 liter dilanjutkan
dengan metode face mask selama 2-5 menit
Dipastikan apakah airway pasien paten
Dimasukkan muscle relaxant atracurium 30mg intravenous dan
diberi bantuan nafas dengan ventilasi mekanik
Dipastikan pasien sudah berada dalam kondisi tidak sadar dan
stabil untuk dilakukan intubasi ETT
Dilakukan intubasi ETT dilakukan ventilasi dengan oksigenasi
Cuff dikembangkan, lalu cek suara nafas pada semua lapang paru
dengan stetoskop, dipastikan suara nafas dan dada mengembang
secara simetris ETT difiksasi agar tidak lepas dan
disambungkan dengan ventilator
Maintenance dengan inhalasi oksigen 4 liter per menit dan
isofluran MAC 1.15%
Monitor tanda-tanda vital pasien, produksi urin, saturasi oksigen,
tanda-tanda komplikasi (pendarahan, alergi obat, obstruksi jalan
nafas, nyeri)
Dilakukan ekstubasi apabila pasien mulai sadar, nafas spontan
dan ada reflek menelan. Oksigenasi diberikan 2 lpm nasal kanul
2.4 Pemberian Cairan
Jam ke I : 340cc (M+O)
Jam ke II: 340cc (M+O)
Cairan masuk:
Pre operatif : RL 1000 cc
Durante operatif : RL 1000 cc
Cairan keluar:
Perdarahan : ± 150 cc (kasa besar 100 cc+kasa kecil 50cc)
Produksi urin : PO 100 cc (di buang)
DO 100 cc
EBV: 4200cc
ABL: 840cc
M: 100cc/jam
O: 240cc
2.5 Postoperatif
2.5.1 Laporan Anestesi Postoperatif di Ruang Pulih Sadar
Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:
B1: airway paten, napas spontan, RR18x/menit, Rh (-), Wh(-)
B2: akral hangat, kering, kemerahan, nadi 84x/menit, TD 110/70 mmHg,
SpO2 100% dengan nasal kanul 2 lpm
B3: compos mentis, GCS 456, pupil isokor 3mm/3mm, reflek cahaya
+/+
B4: terpasang kateter 16 fr
B5: soefl, BU(+) N, terpasang drain di abdomen sebelah kanan
B6: mobilitas (+), edema (-)
Terapi Pasca Bedah
O2 2 lpm NC
Infus: RL 100cc/jam
Antibiotika: sesuai TS Bedah
Inj. Ketolorac 3x30mg iv
Inj. Metoclopramide 3 x 10 mg iv
Inj. Ranitidin 2x50mg iv
2.5.2 Monitoring
Cek vital sign tiap 5 menit selama 1 jam
Bila RR ≤ 10 x/mnt berikan O2 10 L/mnt dengan NRBM
Bila nadi ≤ 50, berikan sulfas atropin 0,5 mg iv
Jika tekanan darah sistole < 90 mmHg berikan RL/NS 500 cc dalam 30
menit efedrin 5-10 mg iv
Pindah ruangan jika aldrete score > 8
BAB 3
PEMBAHASAN
2.1 Anestesi Regional – Subarachnoid Block
Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh
August Bier (1898) pada praktis klinis, tehnik ini telah digunakan dengan luas
untuk menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah
umbilicus. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan,
peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga
level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan
menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan
analgesia yang minimal (USU, 2011).
Anestesi regional meliputi 2 cara yaitu blok sentral yang meliputi blok
spinal, epidural, dan kaudal. Yang kedua adalah blok perifer seperti blok pleksus
brachialis, aksiler, anestesi regional intravena, dan lainnya. Anestesi spinal
adalah pemberian obat anestetik local ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi
spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik local ke dalam ruang
subarachnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radix anterior dan
posterior, radix ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan
menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom (Latief dkk,
2009).
Tabel 2.1 Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal
Indikasi/Kontraindikasi/
KomplikasiKeterangan
Indikasi
Bedah ekstremitas bawah
Bedah panggul
Tindakan sekitar rectum-perineum
Bedah obstetric-ginekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatric
biasanya dikombinasikan dengan anesthesia
umum ringan
Indikasi Kontra Absolut
Pasien menolak
Infeksi pada tempat penyuntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
Tekanan intra cranial tinggi
Fasilitas resusitasi minimal
Kurang pengalaman/tanpa didampingi
konsultan anesthesia
Indikasi Kontra Relatif
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
Infeksi sekitar tempat penyunikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
Komplikasi Tindakan
Hipotensi berat
Bradikardia
Hipoventilasi
Trauma pembuluh darah
Trauma saraf
Mual muntah
Gangguan pendengaran
Blok spinal tinggi, atau spinal total
Komplikasi Pasca Tindakan
Nyeri tempat suntikan
Nyeri punggung
Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urine
Meningitis
Persiapan untuk anestesi spinal pada dasarnya sama dengan persiapan
pada anestesi umum. Adapun yang perlu diperhatikan adalah adanya informed
consent dari pasien, pemeriksaan fisik (lebih diperhatikan terhadap kemungkinan
kelainan spesifik seperti kelainan tulang belakang, kondisi pasien yang gemuk
sehingga sulit identifikasi prosesus spinosus, dan lainnya), serta pemeriksaan
laboratorium anjuran seperti hemoglobin, hematokrit, PT, dan PTT.
Peralatan yag diperlukan dalam anestesi spinal ini terdiri aatas peralatan
monitor seperti teknan darah, nadi, pulse oxymetri, dan EKG; peralatan
resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo
runcing, Quincke-Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point,
Whitecare).
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau
posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya
obat. Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid:
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus laterl.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang spinosus
mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
Gambar 2.1 Posisi anestesi spinal
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka
dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat
tusukannya, misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di
atasnya berisiko trauma medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol.
4. Beri anestetik local pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G,
23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil
27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum),
yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introdusersedalam kira-
kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal
berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37ºC adalah 1,003 –
1,008.Anestetik local dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric.
Anestetik local dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.
Anestetik local dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anestetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan
mencampur anestetik local dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya
digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi (Latief dkk,
2009). Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi blockade saraf pada
pemberian anestesi spinal. Faktor tersebut antara lain barisitas, posisi pasien
selama dan sesaat setelah injeksi, serta dosis obat. Pada umumnya makin tinggi
dosis dan posisi injeksi, maka level anestesi akan semakin tinggi. Oleh karena itu
pada posisi supine head down, cairan hiperbarik akan menyebar kea rah kepala
dan cairan hipobarik menyebar ke kaudal dan sebaliknya pada posisi head up.
Sementara pada posisi lateral, cairan spinal hiperbarik akan berefek pada bagian
yang lebih rendah dan cairan hipobarik akan mencapai daerah yang lebih tinggi
(Morgan, 2006).
Tabel 2.2 Anestetik Lokal yang Paling Sering Digunakan
Anestesi lokal Berat jenis Sifat Dosis Dosis Durasi
maksimal
Lidokain
2% plain
5% dalam
dekstrose 7,5%
1,006
1,033
Isobarik
Hiperbarik
20-100 mg (2-
5ml)
20-50 mg (1-
2ml)
4.5 mg/ kg
BB
45 menit-
2 jam
Bupivakain
0,5% dalam air
0,5% dalam
dextrose 8,25%
1,005
1,027
Isobarik
Hiperbarik
5-20 mg (1-
4ml)
5-15 g (1-3ml)
3 mg/ kg
BB
1.5 – 8
jam
Obat yang sering digunakan pada anestesi spinal ini adalah bupivacaine
hiperbarik dan tetrakain. Toksisitas bupivacain lebih rendah dibandingkan
lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain lebih lama (10-15 menit) dibandingkan
lidocain (5-10 menit) tetapi durasi kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam)
dibandingkan lidocain (1-2 jam). Penggunaan lidokain harus diperhatikan karena
seringkali menyebabkan transient neurological symptoms (TNS) dan cauda
equine sindrom. Namun ada ahli yang menyatakan penggunaan lidokain ini
aman pada anestesi spinal dengan dosis terbatas 60 mg dan diencerkan 2.5%.
Oleh karena itu penggunaan bupivacaine lebih aman dan lebih efektif (Morgan,
2006).
Pada pasien ini direncanakan untuk dilakukan regional anestesi.
Pemilihan anestesi regional sebagai teknik anestesi pada pasien ini berdasarkan
pertimbangan bahwa pasien akan menjalani operasi appendiktomi sehingga
pasien memerlukan blockade pada regio abdomen bawah untuk mempermudah
operator dalam melakukan operasi. Teknik ini umumnya sederhana, cukup
efektif, dan mudah digunakan.
Saat sebelum operasi dimulai, pasien diposisikan supine, selanjutnya
pasien diberi Ranitidine yang merupakan H2 receptor antagonist yang berfungsi
mengurangi produksi asam lambung sehingga mencegah stress ulcer akibat
penigkatan asam lambung yang berlebihan pre operasi. Sedangkan
metoclopramide digunakan sebagai anti emetic untuk mencegah pasien mual.
Setelah itu, pasien diposisikan duduk rileks sambil memeluk bantal untuk
mengekspose area lumbal yang akan dilakukan anestesi. Setelah memberi tanda
pada L4 atau L4-5 (perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista
iliaka dengan tulang punggung), kemudian tempat tusukan ditentukan. Setelah
itu, area tersebut disterilkan dengan betadin atau alkohol. Anestetik local dengan
lidokain 1-2% diberikan pada tempat tusukan.
Teknik anestesi regional pada pasien ini dengan menggunakan jarum 27
G dan dibantu dengan introducer (penuntun jarum). Setelah introduser
disuntikkan sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian jarum
spinal berikut mandrinnya dimasukkan ke lubang jarum tersebut. Setelah
resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor. Setelah
terjadi barbotage, yaitu keluarnya cairan serebrospinal tanpa disertai keluarnya
darah, maka pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap
baik.
Pada pasien ini diberikan obat anestesi bupivacain dikarenakan toksisitas
bupivacain lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain
lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi
kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain (1-2 jam).
Selain itu diberikan morphine 0,1 mg dengan tujuan untuk memperpanjang waktu
kerja obat anestesi dan sebagai analgetik. Meskipun demikian, perlu diwaspadai
efek samping hipotensi akibat pemakaian obat ini.
2.2 Persiapan Pre Anestesi dan Pre Operasi
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan
persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan
anastesi. Persiapan sebelum tindakan anestesi ini memerlukan kunjungan
pasien. Adapun persiapannya meliputi anamnesis pasien yang leliputi poin
AMPLE (A=allergy baik alergi makanan atau obat atau lainnya; M= medication
obat-obatan yang dipakai pasien sebelum tindakan anestesi, karena ada
beberapa obat yang berinteraksi dengan obat-obatan anestesi dan menimbulkan
efek yang merugikan; P= past medical history riwayat penyakit atau tindakan
medis yang pernah dialami atau sedang dialami pasien; L= last meal masukan
oral terakhir pasien; E= elicit history keadaan yang menjelaskan mengapa
pasien perlu dioperasi), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang
berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status fisik
pasien berdasarkan skala ASA (The American Society of Anesthesiologists).
Operasi yang elektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien
mencapai kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan
dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan
dilakukan, hal ini tercermin dalam informed consent.
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul
pada history taking, sedangkan history taking membantu memfokuskan
pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa dengan teliti.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik
setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate,
suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal.
Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga
bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi
geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.
Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada
pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek
antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah yang besar, makroglosia,
Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae
servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk
dilakukan intubasi trakeal.
Klasifikasi status fisik ASA merupakan klasifikasi yang digunakan untuk
menilai kebugaran fisik pasien. Klasifikasi ASA ini bukan alat prakiraan risiko
anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6
selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor.
Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas
perioperatif. (Barin, 2006; Miller, 2009)
Tabel 2.2 Kategori ASA dan Mortality Rate
KATEGORI DISKRIPSI PASIENMORTALIT
Y (%)
IPasien sehat organik, fisiologis,
biokimia, atau psikiatri.0,06 – 0,08
II
Pasien dengan penyakit sistemik
ringan sampai sedang dengan
tidak ada pembatasan fisik.
0,3 – 0,4
III Pasien dengan penyakit sistemik 1,8 – 4,3
berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
IV
Pasien dengan penyakit sistemik
berat dengan terapi obat terus
menerus, tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakit tersebut
dapat menjadi ancaman setiap saat
.
7,8 – 23,4
V
Pasien dengan penyakit berat yang
akan meninggal dalam 24 jam
apabila tidak dilakukan operasi.
9,4 – 57
EApabila emergensi (diletakkan
setelah huruf romawi)
Pada pasien ini, dari history taking tidak didapatkan riwayat alergi
terhadap makanan atau obat-obatan, tidak mengkonsumsi obat-obatan rutin,
tidak didapatkan riwayat operasi sebelumnya, tidak didapatkan riwayat penyakit
jantung, hipertensi, dan kencing manis. Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan
kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses anestesi, pasien
digolongkan dalam kategori Malampati 1. Dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan kadar leukosit yang tinggi yaitu 15.190/ mm3, oleh karena itu pasien
diberikan antibiotic ciprofloxacin intravena 400mg ketika awal masuk. Tingginya
kadar leukosit pasien kemungkinan terjadi karena infeksi appendisitisnya. Oleh
karena itu pada saat masuk dan sebelum operasi dijalankan pasien diberikan
antibiotic yang sesuai sebagai agen penghambat penyebaran infeksi lebih lanjut.
Adapun pemberiannya juga dilanjutkan pada saat perawatan setelah operasi di
ruangan. Dari data-data tersebut pasien kemudian diklasifikasikan sebagai ASA
II dikarenakan adanya penyakit sistemik ringan sampai sedang tanpa ada
pembatasan aktifitas fisik. Pada pasien ini sebelum operasi dilakukan, diberikan
Inform consent sebagai bentuk persetujuan dilakukannya tindakan anestesi dan
operasi.
2.3 Terapi Cairan Perioperatif
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan
sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan.
Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat
karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan
insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan
maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:
Tabel 2.4 Perkiraan Cairan Maintenance Berdasarkan Berat Badan
Berat Badan Kadar
10 kg pertama 4 mL/kg/jam
10 kg berikutnya + 2 mL/kg/jam
Tiap kg di atas 20 kg + 1 mL/kg/jam
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
Pada pasien ini, telah diberikan cairan maintenance sebanyak 1000cc
cairan RL sebelum operasi. Berat badan pasien adalah 60kg dimana kebutuhan
cairan maintenance adalah 100cc/jam dan pasien ini telah puasa selama 8-10
jam sebelum operasi. Jadi defisit cairan pasien ini secara total adalah 800-
1000cc.
2.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludan dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Tabel 2.5 Jenis Premedikasi
Premedikasi Keterangan
1.Premedikasi tanpa
sedasi
Pasien dengan sepsis
Pasien usia tua
Pasien dengan masalah di airway
One daycare surgery
Pasien neurosurgical
Neonatus & infant < 6 bulan
2.Premedikasi
dengan oral sedative
Diberikan malam hari apabila ada indikasi
Pasien dengan operasi elektif
Pasien direncanakan regional anestesi
3. Opioid
Pasien sehat yang akan dioperasi dengan kasus
berat
Pasien dengan nyeri
Pasien dengan abortus
4. Pasien pediatric
Untuk pasien < 6 bulan premedikasi diberikan
secara oral diazepam sirup 0,2 mg/kgBB
Untuk pasien > 5 tahun oral diazepam 0,2
mg/kgBB atau oral midazolam 0,5 – 0,7 mg/kgBB
5. Pasien obstetricRanitidine 150 mg
Anti emetic
6. Pasien dengan
risiko regurgitasi dan
aspirasi
Termasuk di dalamnya morbid obese
Pasien obstetric
Pasien dengan riwayat hernia diafragmatika
Pasien dengan esofagitis
↓
Diberikan H2 reseptor antagonis (ranitidine
cimetidin), proton pump inhibitor
(omeprazole), antasida (sodium sitrat),
gastrokinetic agent (metoclopramide)
diberikan bersama-sama
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Metoclopramide 10
mg, inj. Ranitidine 50 mg, inj. midazolam sebelum dilakukan anestesi general
(durante operasi setelah ada indikasi melakukan general anestesi) dengan dosis
2,5 mg. Metoclopramide dan ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV.
Midazolam juga bisa berfungsi sebagai induksi dan sedasi, dosisnya lebih besar
dan pemberiannya melalui intravena.
Tabel 2.6 Dosis Midazolam
Midazolam Premedication IM 0.07–0.15 mg/kg
Sedation IV 0.01–0.1 mg/kg
Induction IV 0.1–0.4 mg/kg
2.5 Terapi Cairan Durante Operasi
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler (Morgan).
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik
air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan
sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium
serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit
pada komposisi cairan ekstraseluler danmerupakan menjadi cairan yang paling
fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi
biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah
volume darah yang hilang (Morgan, 2006).
Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan
estimated blood volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya
ditransfusi hanya apabila kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu
yang tepat untuk transfusi ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedur operasi
yang dilakukan. Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan untuk menurunkan
hematokrit ke 30% dihitung seperti berikut:
1. Estimate Blood Volume
Pada orang dewasa, EBV dapat dihitung rata-rata 70 cc/kgBB. Tetapi ada
sumber yang menyebutkan bahwa EBV pria dihitung dengan 75 cc/kgBB
dan wanita 65 cc/kgBB.
2. Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi
3. Perkiraan RBCV pada heatokrit 30% (RBCV30%), menunjukkan volume
darah normal telah dicapai.
4. Menghitung kehilangan sel darah merah jika hematokrit ≤ 30% dengan cara
RBCVlost = RBCVpreop – RBCV30%.
5. Kehilangan darah yang terjadi = RBCVlost x 3.
Kehilangan cairan tambahan diperhitungkan sesuai dengan jenis operasi
apakah ringan, sedang atau berat (Morgan, 2006).
Tabel 2.7 Kebutuhan cairan berdasarkan derajat trauma
Derajat Trauma Kebutuhan cairan tambahan
Ringan (herniorrhaphy) 0-2 ml/kg
Sedang (cholecystectomy) 2-4 ml/kg
Berat (bowel resection) 4-8 ml/kg
Pada pasien ini, estimated blood volume (EBV) adalah sebanyak 4200 mL
(60kg x 70 mL/kg). Allowable blood loss diperkirakan sebanyak 840 mL (20% dari
EBV pasien). Selain itu, pasien ini membutuhkan cairan maintenance sebanyak
100cc/jam. Selama durante operasi, terdapat perdarahan sebanyak 150 cc,
pasien telah diberikan cairan RL sebanyak 340cc/jam (M=100cc + O =240cc).
2.6 Monitoring
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam
mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring
intraoperatif yang diadopsi dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic Monitoring.
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada kondisi
emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standar ini ditujukan
hanya tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah satu komponen
perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim (1)
beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2)
penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk
mendeteksi perkembangan klinis selanjutnya.
Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general
anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.
Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan
temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
Heart rate, nadi, dan kualitasnya
Warna membran mukosa, dan capillary refill time
Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas
reflek
palpebra)
Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pasien tidak pernah
< 95%, tekanan darah pasien dalam batas normal (S 100-120, D 60-80), nadi
<100x/menit, frekuensi nafas 20x/’ spontan ketika RA-SAB dan 16x’/ menit
(dengan ventilator).
2.7 Recovery dari Regional Anestesi
Pasien yang dilakukan regional anestesi, lebih mudah mengalami
recovery dibandingkan dengan general anestesi. Hal ini dikarenakan pasien
dalam posisi sadar, sehingga komplikasi yang terkait airway, breathing, dan
circulation lebih minimal. Meskipun demikian, tetap harus dilakukan pemeriksaan
tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas sampai pasien benar-benar stabil.
Fungsi neuromuskuler harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring
tambahan berupa penilaian nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak
mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan
perdarahan.
Semua pasien post operasi umumnya harus mendapatkan oksigen 30-
40% karena bisa terjadi transient hypoksemia pada pasien yang sehat sekalipun.
Keputusan rasional untuk meneruskan suplementasi oksigen ketika
mengeluarkan pasien dari Post Anesthesia Care Unit (PACU) bisa dibuat
berdasarkan SpO2 dengan udara ruangan. Pasien dimotivasi untuk nafas dalam
dan batuk.
Pada pasien ini durante operasi pk. 00.45 operasi masih belum selesai
dan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi untuk kemudian dilanjutkan dari
appendiktomi kemudian akan dilakukan eksplorasi laparotomi. Dibutuhkan waktu
operasi yang lebih lama dari yang direncanakan semula karena pada awalnya
hanya akan dilkukan appendiktomi akan tetapi setelah abdomen dibuka posisi
appendik pasien terletak retrograde dan pada ujung appendik didapatkan telah
terjadi perforasi dan didapatkan pocketed abses di ujung appendiks, sehingga
perlu dilakukan pencucian cavum abdomen dengan NS hangat dan pemasangan
drain yang pada akhirnya membuat proses operasi lebih lama, sehingga anestesi
regional SAB dilanjutkan dengan anestesi umum yang diawali dengan intubasi
pasien dan dilakukan proses berikutnya.
2.8 Pemakaian Obat Anestesi Umum
Masukan obat anestesi umum meliputi induksi dan rumatan anestesi.
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi
anstesi dapat dilakukan dengan intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal.
Setelah induksi anestesi maka dilanjutkan dengan rumatan atau pemeliharaan
anestesisampai tindakan pembedahan selesai. Untuk persiapan induksi
dilakukan dengan penyiapan STATICS:
S (Scope) : Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung,
laringoscope (dipilih sesuai usia pasien
T (Tubes) : Pipa trachea (ETT) yang dipilih sesuai usia (< 5 tahun tanpa
balon dan > 5 tahun dengan balon)
A (Airway) : Pipa orofaring atau pipa nasofaring. Aalat ini berfungsi menahan
lidah pasien agar tidak jatuh dan menyumbat jalan nafas.
T (tape) : Plester fiksasi.
I (Introducer) : Stilet sebagai pemandu agar pipa ETT mudah dimasukkan.
C (Connector) : Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S (Suction)
Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan propofol. Mekanisme
induksi general anestesi dengan propofol melibatkan fasilitasi dari inhibisi
neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA. Propofol bisa mempotensiasi
Nondepolarizing neuromuscular blocking agents (NMBA) yang juga digunakan
pada kasus ini (atracurium). Penggunaan propofol bersamaan dengan fentanyl
dapat meningkatkan konsentrasi fentanyl. Pada kasus ini analgetik yang
digunakan adalah fentanyl. Beberapa klinisi memberikan midazolam (pada kasus
ini diberikan untuk premedikasi) dengan jumlah kecil (misal 30µg/kg) sebelum
induksi dengan propofol, karena mereka percaya bahwa kombinasi tersebut
mempunyai efek sinergis (onset lebih cepat dan kebutuhan dosis total menjadi
turun).
Tabel 2.8 Dosis Propofol
Propofol Induction IV 1–2.5 mg/kg
Maintenance infusion IV 50–200 µg/kg/min
Sedation infusion IV 25–100 µg/kg/min
Tabel 2.9 Dosis Fentanyl
Fentanyl Intraoperative anesthesia IV 2–150 µg/kg
Postoperative analgesia IV 0.5–1.5 µg/kg
Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat
yang bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan kadarnya
selama waktu yang dibutuhkan untuk operasi. Hal ini merupakan konsep yang
sama baik pada anestesi yang dicapai dengan anestesi inhalasi, obat intravena,
atau keduanya.
Pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan anestesi inhalasi.
Obat anestesi inhalasi yang dipakai adalah isoflurane. Isoflurane tidak memiliki
kontraindikasi khusus. Isofluran juga dapat mempotensiasi NMBA (pada pasien
ini dipakai atracurium).
Pada kasus ini jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi
dengan intubasi. Sebelum dilakukan intubasi diperlukan muscle relaxant
sehingga proses intubasi lebih mudah dilakukan.
Tidak ada nondepolarizing muscle relaxants yang sekarang tersedia
menyamai onset yang cepat dan durasi pendek dari succinylcholine; tetapi
meskipun begitu onset dari nondepolarizing relaxants bisa dipercepat dengan
menggunakan baik dosis yang lebih besar atau dengan priming dosis. ED95
adalah dosis efektif obat pada 95% individu. Satu kali datau dua kali lipat ED95
biasanya digunakan untuk intubasi. Meskipun dosis untuk intubasi yang lebih
besar dapat mempercepat onset, dosis ini dapat mengeksaserbasi efek samping
dan memperlama durasi. Prinsip umumnya adalah semakin besar potensi
nondepolarizing muscle relaxant semakin lama kecepatan onsetnya.
Pengenalan agen short- dan intermediate-acting telah menghasilkan
penggunaan priming dosis yang lebih besar. Secara teoritis, pemberian 10–15%
dosis intubasi 5 menit sebelum induksi akan menempati cukup reseptor sehingga
paralisis akan cepat mengikuti ketika keseimbangan relaxant sudah diberikan.
Penggunaan priming dosis bisa menghasilkan kondisi yang sesuai untuk intubasi
segera setelah 60 detik bila mneggunakan rocuronium dan 90 detik
menggunakan agen intermediate-acting nondepolarizers seperti atracurium.
Setelah intubasi, paraslisis otot mungkin perlu diteruskan untuk
memfasilitasi operasi misal operasi abdominal atau untuk manajemen anestesi
atau untuk kebutuhan mengontrol ventilasi. Dosis maintenance bisa dicapai
dengan intermittent bolus atau continuous infusion, diberikan dengan monitor
menggunakn nerve stimulator atau tanda klinis (usaha atau gerakan nafas
spontan). Pada kasus ini atracurium diulang setelah ± 45 menit pemberian
atracurium yang pertama karena operasi masih dalam proses, sehigga intubasi
masih tetap dipertahankan (supaya ventilasi terkontrol).
Drug ED95 for Adductor
Pollicis During
N2/O2 Anesthesia
(mg/kg)
Intubation
Dose
(mg/kg)
Onset of
Action for
Intubating
Dose
(min)
Duration of
Intubating
Dose (min)
Maintenance
Dosing by
Boluses
(mg/kg)
Maintenance
Dosing by
Infusion (
g/kg/min)
Atracurium 0.2 0.5 2.5–
3.0
30–45 0.1 5–12
2.9 Recovery dari General Anestesi
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, frekuensi nafas, patensi jalan nafas,
dan oksigenasi harus diperiksa tiap 5 menit selama 15 menit atau sampai pasien
stabil. Pulse oximetry harus dimonitor terus menrus pada pasien yang masih
berada dalam proses recovery dari general anestesi, paling tidak sampai pasien
mulai sadar. Fungsi neuromuskuler juga harus dinilai misalnya mengangkat
kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian nyeri (skala deskriptif atau
numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan output cairan termasuk
produksi urin, drainase, dan perdarahan.
Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus
mendapatkan oksigen 30-40% karena bisa terjadi transient hypovemia pada
pasien yang sehat sekalipun. Resiko hipoksemia meningkat pada pasien-pasien
yang menjalani operasi di daerah upper abdomninal adau toraks, sehingga harus
terus dimonitor dengan pulse oxymeter dan mungkin memerlukan oksigenasi
dalam waktu yang lebih lama. Keputusan rasional untuk meneruskan
suplementasi oksigen ketika mengeluarkan pasien dari Post Anesthesia Care
Unit (PACU) bisa dibuat berdasarkan SpO2 dengan udara ruangan. Pasien
dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk (Morgan).
Pada kasus ini, pasien mulai sadar ± 10 menit setelah operasi selesai
dilakukan. Pasien mulai berada dalam proses recovery, mulai timbul kesadaran,
pasien mulai bisa bernafas dalam dan tidak didapatkan mual atau muntah.
Tanda vital : tekanan darah 110/70, nadi 82x/menit, frekuensi nafas 18x/menit
dengan SpO2 99% dengan oksigen via nasal canule 2lpm.
2.10 Kriteria Discharge dari PACU
Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU
berdasarkan criteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah
Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke
Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.
Tabel 2.10 Aldrete Recovery Score
Postanesthetic Aldrete Recovery Score
Original Criteria Modified Criteria Point
Value
Color Oxygenation
Pink SpO2 > 92% on room air
2
Pale or dusky SpO2 > 90% on oxygen
1
Cyanotic SpO2 < 90% on oxygen
0
Respiration
Can breathe deeply and
cough
Breathes deeply and
coughs freely
2
Shallow but adequate
exchange
Dyspneic, shallow or
limited breathing
1
Apnea or obstruction Apnea 0
Circulation
Blood pressure within 20%
of normal
Blood pressure ± 20 mm
Hg of normal
2
Blood pressure within 20–
50% of normal
Blood pressure ± 20–50
mm Hg of normal
1
Blood pressure deviating >
50% from normal
Blood pressure more
than ± 50 mm Hg of
normal
0
Consciousness
Awake, alert, and oriented Fully awake 2
Arousable but readily drifts
back to sleep
Arousable on calling 1
No response Not responsive 0
Activity
Moves all extremities Same 2
Moves two extremities Same 1
No movement Same 0
Based on Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49:924
and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.
Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9.
Kontrol nyeri postoperative, mual dan muntah, dan mempertahankan
normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem scoring
untuk discharge digunakan secara luas. Kebanyakan criteria yang dinilai adalah
SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik.
Kebanykan pasien memenuhi criteria discharge dalam waktu ± 60 menit di
PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan regional anestesi
seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan
motoris.
Pada kasus ini, setelah 1 jam di PACU pasien di-assest dengan Aldrete
Score 10 karena pasien sudah sadar penuh, tekanan darah relatif tetap
dibanding preoperatif, pasien mampu bernafas dalam dan batuk, SpO2 98%
dengan udara ruangan, dan pasien mampu menggerakkan keempat
ekstrimitasnya. Oleh karena itu, pasien kemudian dipindah ke ruangan biasa.
2.11 Kontrol Nyeri dan PONV
Pemberian NSAID preoperatif saja atau bersamaan dengan asetaminofen
bisa mengurangi kebutuhan terhadap opioid secara signifikan untuk prosedur
operasi tertentu. Penggunaan inhibitor selektif siklooksigenase-2 (seperti
celecoxib) dapat mengurangi potential adverse effect terhadap fungsi platelet
dan komplikasi gastrointestinal.
Nyeri ringan hingga sedang (mild to moderate) bisa diterapi dengan
asetaminofen dan kodein oral. Sebagai alternatif bisa digunakan opioid agonis-
antagonis (butarphanol 1-2mg atau nalbuphine 5-10mg) atau
ketorolacmethamine 30 mg iv. Obat tersebut sering digunakan untuk operasi
ortopedi dan ginekologi.
Nyeri sedang-berat (moderate to severe) di PACU bisa diterapi dengan
opioid parenteral atau intraspinal, anestesi regional, atau blok saraf spesifik. Bila
digunakan opioid, pemberian yang aman diberikan dalam titrasi dosis kecil
intravena. Opioid yang umum digunakan opioid intermediate-long duration seperti
meperidine 10-20 mg (0.25-0.5 mg/kg pada anak-anak), atau morfin 2-4mg
(0.025-0.05 mg/kg pada anak-anak). Efek analgesik mencapai peak dalam waktu
4-5 menit.
Sedangkan Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan
masalah yang sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada
sekitar 20-30% pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam
setelah discharge (postdischarge nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya
multifaktorial bisa melibatkan agen anestesi, tipe atau jenis anestesi dan faktor
pasien sendiri.
Terjadi peningktan insiden mual setelah pemberian opioid selama anestesi,
setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi
strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus
vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau
bersamaan dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan insiden PONV.
Selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti
ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak), granisetron 0.01–0.04 mg/kg,
dan dolasetron 12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak-anak) juga sangat efektif untuk
mencegah PONV dan menerapi PONV yang sudah terjadi. Metoclopramide, 0.15
mg/kg intravena, kurang efektif tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus.
5-HT3 antagonis tidak berhubungan dengan manifestasi akut extrapyramidal
(dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan oleh metoclopramide
atau phenothiazine-type antiemetics. Dexamethasone, 4–10 mg (0.10 mg/kg in
children), bila dikombinasikan dengan antiemetic lainnya biasanya efektif untuk
mual dan muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa
digunakan untuk postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis non
farmakologis untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg)
setelah puasa dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan tangan).
Pada pasien ini tidak dikeluhkan adanya mual dan muntah serta nyeri sangat
yang dapat memicu peningkatan asam lambung, namun tetap diberikan terapi
post operasi dengan menggunakan Inj. ketolorac 30mg iv, inj. metoclopramide 10
mg iv, dan inj. Ranitidin 50mg iv sebagai profilaksis.
DAFTAR PUSTAKA
Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Universitas Sumatera Utara (USU). 2011. Anestesi Spinal. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22847/4/Chapter%20II.pdf. Diakses pada 11 Juli 2012 pk.10.00.
Miller, R. D., Erikkson, L. I., Fleisher, L. A., Wiener, J. P., Young W. L. 2009. Miller’s Anesthesia. 7th Edition. New York: Elsevier.
Morgan, G. Edward; Mikhail, Maged S.; Murray, Michael J. 2006. Clinical Anesthesiology, Fourth Edition. United States: McGraw-Hill Companies, Inc.
Barin, Kursat. 2006. On the utility of ASA scores to predict postoperative arthroplasty complications. http://www.albertaboneandjoint.com/evidence/ASAUtilityReview.pdf. Diakses pada 11 Juli 2012 pk.10.15.
Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.