lapsus abses coli finish!!!!

38
LAPORAN KASUS SEORANG WANITA 63 TAHUN DENGAN ABSES COLLI SINISTRA POST OPERASI Pembimbing drg. Gunawan Disusun oleh : 1. Jefri Sutanto 22010111200087 2. Jessica Christanti 22010111200088 3. Karunia Ayu P 22010111200089 4. Khrist Gafriela J 22010111200090 5. Lasni Tiurmauli P 22010111200091

Upload: pan-jessica

Post on 29-Oct-2015

712 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

LAPSUS

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

SEORANG WANITA 63 TAHUN

DENGAN ABSES COLLI SINISTRA POST OPERASI

Pembimbing

drg. Gunawan

Disusun oleh :

1. Jefri Sutanto 22010111200087

2. Jessica Christanti 22010111200088

3. Karunia Ayu P 22010111200089

4. Khrist Gafriela J 22010111200090

5. Lasni Tiurmauli P 22010111200091

BAGIAN ILMU KESEHATAN GIGI DAN MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

2012

BAB I

PENDAHULUAN

Abses merupakan pus yang terlokalisir akibat adanya infeksi dan supurasi

jaringan. Abses bisa terjadi pada semua struktur atau jaringan rongga mulut.

Abses rongga mulut yang paling sering terjadi adalah abses periodontal dan abses

periapikal. Abses periodontal merupakan lesi yang dapat dengan cepat merusak

jaringan periodontium dan bisa terjadi dalam bentuk akut dan kronis. Abses

periodontal merupakan salah satu dari beberapa kondisi klinik dalam periodontik,

sehingga pasien diharapkan untuk segera mendapatkan perawatan. Apabila tidak

dilakukan perawatan atau perawatan yang tidak adekuat, akan menyebabkan

kehilangan gigi dan penyebaran infeksi ke bagian tubuh yang lain. Abses

periodontal mempunyai gejala yang mirip dan terlihat seperti abses periapikal.

Oleh karena itu, diagnosa yang tepat harus ditegakkan agar dapat dilakukan

perawatan yang tepat.

Abses gigi tidak hanya ada di dalam mulut saja tapi juga bisa menyebar ke

daerah lain misalnya abses leher. Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah

(pus) di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat

penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus

paranasal, telinga dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan

pembengkakan di ruang leher dalam yang terkena.

Secara anatomi daerah potensial leher dalam merupakan daerah yang

sangat komplek. Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang potensial leher

secara baik, serta penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan untuk dapat

memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan yang adekuat.

Tidak ada angka estimasi yang diperoleh terhadap kejadian abses leher

dalam. Namun diperkirakan bahwa kejadian abses leher dalam menurun secara

bermakna sejak era pemakaian antibiotik. Di samping itu hygiene mulut yang

meningkat juga berperan dalam hal ini. Sebelum era antibiotik, 70% infeksi leher

dalam lebih banyak berasal dari tonsil pada anak, setelah ditemukannya antibiotik,

infeksi gigi merupakan sumber infeksi paling banyak yang dapat menyebabkan

abses leher dalam. Kebersihan gigi yang kurang menjadi faktor penyebab

tersering pada orang dewasa.

Keterlambatan dalam diagnosis dan pemberian terapi yang tidak adekuat

dapat mengakibatkan komplikasi yang dapat membahayakan jiwa, seperti

mediastinitis, dengan angka mortalitas sebesar 40%. Kuman penyebab abses leher

dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif

anaerob. Asmar dikutip Murray dan kawan-kawan, mendapatkan kultur dari abses

retrofaring 90% mengandung kuman aerob, dan 50% pasien ditemukan kuman

anaerob. Di samping drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik

diperlukan untuk terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif

terhadap pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotik

terhadap kuman. Namun ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga

diperlukan pemberian antibiotik secara empiris. Berbagai kepustakaan

melaporkan perlunya pemberian terapi antibiotik spektrum luas secara kombinasi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Abses periapikal akut adalah keadaan dimana setelah terjadinya pulpitis

akut. Biasanya terlihat timbul secara spontan, dalam hubungannya dengan gigi

dimana pulpanya telah mengalami nekrosis yang tidak menimbulkan gejala, baik

setelah terjadinya trauma atau setelah dilakukan penambalan. Terdapat proses

peradangan akut pada rahang pasien yang sangat hebat, tetapi meluas dengan

cepat, membentuk pembengkakan peradangan pada jaringan lunak di dekatnya

dan rasa sakit cenderung akan hilang. Gigi menjadi goyang dan nyeri bila

disentuh, sehingga pasien berusaha menghindari makanan. Gigi ini disebut

periostitik. Pada tahap awal, warna sedikit kemerahan dan rasa nyeri dari mukosa

mulut diatas apek gigi, merupakan tanda satu-satunya yang terlihat. Tetapi

seringkali, abses periapikal yang sangat hebat berhubungan dengan pembentukan

nanah intra-alveolar dan jaringan lunak didekatnya tampak meradang dan

bengkak, yang apabila mengenai gigi atas dapat menutupi mata. Pembentukan

nanah terjadi cukup cepat dan bila nanah meluas keluar tulang terbentuk rongga

abses yang menonjol di dalam atau kadang-kadang diluar mulut. Keadaan ini

disebut sebagai abses dento-alveolar. Selain pembengkakan, terlihat adanya

trismus bila gigi belakang merupakan penyebab sakit tersebut. Hasil pemeriksaan

sinat-X menunjukkan adanya daerah radiolusen pada sebagian besar keadaan.

Abses periodontal akut adalah abses yang timbul pada bagian belakang

poket periodontal dan terlihat berupa pembengkakan akut yang terasa sakit, sering

timbul pada bagian palatal dari gigi geraham besar atas atau pada gigi seri bawah.

Pembengkakan terlihat terlokalisir dan terbatasi pada alveolus. Pembengkakan

eksternal sangat jarang terlihat. Gigi yang diserang selalu dalam keadaan goyang

dan hasil pemeriksaan rontgen menunjukkan pola kerusakan tulang yang tidak

teratur.

Perikoronitis akut adalah keadaan yang bersifat lebih dari sekedar nyeri

permukaan, kelainan ini terbatas pada gigi geraham besar ketiga bawah (gigi

bungsu), walaupun keadaan tersebut juga dapat terlihat pada gigi geraham besar

atas. Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang

potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai

sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.

Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher

dalam yang terkena.

2.2 Etiologi

Sebelum ditemukannya antibiotik, 70% dari kasus abses leher dalam

disebabkan oleh penyebaran dari infeksi yang berasal dari faring dan tonsil.

Setelah ditemukannya antibiotik, infeksi gigi merupakan sumber infeksi paling

banyak yang dapat menyebabkan abses leher dalam. Kebersihan gigi yang kurang

menjadi faktor penyebab tersering pada orang dewasa.

Berbagai jenis organisme ditemukan pada abses leher dalam. Kebanyakan

abses mengandung flora bakteri campuran. Pada suatu penelitian, rata-rata

ditemukan lebih dari 5 spesies yang diisolasi pada satu kasus. Streptococcus

mutans dan Staphylococcus aureus adalah patogen aerob yang sering ditemukan.

Isolat aerob yang lain adalah bakteri Diptheroid, Neisseria, Klebsiella, dan

Haemophillus. Kebanyakan abses odontogenic melibatkan patogen anaerob

misalnya spesies Bacteroides, terutama Bacteroides melaninogenicus, dan

Peptostreptococcus. Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang

disebabkan oleh infeksi bakteri campuran.

Pada kebanyakan membrane mukosa, kuman anaerob lebih banyak

dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1

sampai 10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman

yang paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas,

Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus sp.

2.3 Epidemiologi

Parhischar dkk mendapatkan dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%)

kasus dapat diidentifikasi penyebabnya. Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%.

2.4 Patogenesis

Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal

dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh

baik secara perluasan langsung, maupun melalui laserasi atau perforasi.

Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu maka

kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian

besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman

aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.

Saluran pulpa yang sempit menyebabkan drainase yang tidak sempurna

pada pulpa yang terinfeksi, namun dapat menjadi tempat berkumpulnya bakteri

dan menyebar kearah jaringan periapikal secara progresif. Ketika infeksi

mencapai akar gigi, jalur patofisiologi proses infeksi ini dipengaruhi oleh jumlah

dan virulensi bakteri, ketahanan host, dan anatomi jaringan yang terlibat.

Staphylococcus aureus dalam proses ini memiliki enzim aktif yang disebut

koagulase yang fungsinya untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan Streptococcus

mutans memiliki 3 enzim utama yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi,

yaitu streptokinase, streptodornase, dan hyaluronidase.

Hyaluronidase adalah enzim yang bersifat merusak jembatan antar sel

yang terbuat dari jaringan ikat (hyalin/hyaluronat), yang pada fase aktifnya nanti,

enzim ini berperan layaknya parang yang digunakan petani untuk merambah

hutan. “Hyaluronidase”, artinya adalah enzim pemecah hyalin/hyaluronat. Fungsi

jembatan antar sel penting sebagai transpor nutrisi antar sel, sebagai jalur

komunikasi antar sel, juga sebagai unsur penyusun dan penguat jaringan. Jika

jembatan ini mengalami kerusakan dalam jumlah besar, maka dapat diperkirakan,

kelangsungan hidup jaringan yang tersusun atas sel-sel dapat terancam

rusak/mati/nekrosis.

Proses kematian pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah enzim

dari S.mutans, akibatnya jaringan pulpa mati, dan menjadi media

perkembangbiakan bakteri yang baik, sebelum akhirnya mereka mampu

merambah ke jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan periapikal.

Pada perjalanannya, tidak hanya S.mutans yang terlibat dalam proses

abses, karenanya infeksi pulpo-periapikal seringkali disebut sebagai mixed

bacterial infection. Kondisi abses kronis dapat terjadi apabila ketahanan host

dalam kondisi yang tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi. Yang

terjadi dalam daerah periapikal adalah pembentukan rongga patologis abses

disertai pembentukan pus yang sifatnya berkelanjutan apabila tidak diberi

penanganan. Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal mengundang

respon keradangan untuk datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut, namun

karena kondisi hostnya tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi akan

menciptakan kondisi abses yang merupakan hasil sinergi dari bakteri S.mutans

dan S.aureus.

S.mutans dengan 3 enzimnya yang bersifat destruktif tadi, terus merusak

jaringan yang ada di daerah periapikal, sedangkan S.aureus dengan enzim

koagulasenya mampu mendeposisi fibrin di sekitar wilayah kerja S.mutans, untuk

membentuk sebuah pseudomembran yang terbuat dari jaringan ikat, yang sering

kita kenal sebagai membran abses (oleh karena itu, jika dilihat melalui foto

rontgen, batas abses tidak jelas dan tidak beraturan, karena jaringan ikat adalah

jaringan lunak yang tidak mampu ditangkap dengan baik dengan rontgen). Ini

adalah peristiwa yang unik dimana S.aureus melindungi dirinya dan S.mutans dari

reaksi keradangan dan terapi antibiotika.

Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses

saja yang terjadi pada peristiwa pembentukan abses ini, tapi juga ada

pembentukan pus oleh bakteri pembuat pus (pyogenik), salah satunya juga adalah

S.aureus. Jadi, rongga yang terbentuk oleh sinergi dua kelompok bakteri tadi,

tidak kosong, melainkan terisi oleh pus yang konsistensinya terdiri dari leukosit

yang mati (oleh karena itu pus terlihat putih kekuningan), jaringan nekrotik, dan

bakteri dalam jumlah besar.

Secara alamiah, sebenarnya pus yang terkandung dalam rongga tersebut

akan terus berusaha mencari jalan keluar sendiri, namun pada perjalanannya

seringkali menimbulkan gejala-gejala yang cukup mengganggu seperti nyeri,

demam, dan malaise. Karena mau tidak mau, pus dalam rongga patologis tersebut

harus keluar, baik dengan bantuan dokter gigi atau keluar secara alami. Rongga

patologis yang berisi pus (abses) ini terjadi dalam daerah periapikal, yaitu di

dalam tulang. Untuk mencapai luar tubuh, maka abses ini harus menembus

jaringan keras tulang, mencapai jaringan lunak, lalu barulah bertemu dengan

dunia luar. Perjalanan inilah yang disebut pola penyebaran abses. Pola penyebaran

abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu virulensi bakteri, ketahanan jaringan, dan

perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu menyebabkan bakteri

bergerak secara leluasa ke segala arah, ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik

menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan mudah dirusak, sedangkan perlekatan

otot mempengaruhi arah gerak pus.

Sebelum mencapai “dunia luar”, perjalanan pus ini mengalami beberapa

kondisi, karena sesuai perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone,

pus bergerak menuju ke arah tepian tulang atau lapisan tulang terluar yang kita

kenal dengan sebutan korteks tulang. Tulang yang dalam kondisi hidup dan

normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi dengan baik guna

menutrisi tulang dari luar, yang disebut periosteum. Karena memiliki

vaskularisasi yang baik ini, maka respon keradangan juga terjadi ketika pus mulai

“mencapai” korteks, dan melakukan eksudasinya dengan melepas komponen

keradangan dan sel plasma ke rongga subperiosteal (antara korteks dan

periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus yang kandungannya berpotensi

destruktif tersebut. Peristiwa ini cenderung menimbulkan rasa sakit, terasa hangat

pada regio yang terlibat, bisa timbul pembengkakan, peristiwa ini disebut

periostitis/serous periostitis. Adanya tambahan istilah “serous” disebabkan

karena konsistensi eksudat yang dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung

kurang lebih 70% plasma, dan tidak kental seperti pus karena memang belum ada

keterlibatan pus di rongga tersebut. Periostitis dapat berlangsung selama 2-3 hari,

tergantung keadaan host.

Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak

mampu menghambat aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi

yang disebut abses subperiosteal. Abses subperiosteal terjadi di rongga yang

sama, yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan lapisan periosteum, bedanya

adalah di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus, dengan kata lain pus sudah

berhasil “menembus” korteks dan memasuki rongga subperiosteal, karenanya

nama abses yang tadinya disebut abses periapikal, berubah terminologi menjadi

abses subperiosteal. Karena lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis, maka

dalam beberapa jam saja akan mudah tertembus oleh cairan pus yang kental,

sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan peristiwa periostitis dimana

konsistensi cairannya lebih serous.

Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang

tadi, maka dengan bebasnya, proses infeksi ini akan menjalar menuju fasial space

terdekat, karena telah mencapai area jaringan lunak. Apabila infeksi telah meluas

mengenai fasial spaces, maka dapat terjadi fasial abscess. Fasial spaces adalah

ruangan potensial yang dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan jaringan ikat. Fasial

spaces dibagi menjadi :

1. Fasial spaces primer

1.1 Maksila

a. Canine spaces

Berisi musculus levator anguli oris, dan m. labii superior. Infeksi daerah

ini disebabkan periapikal abses dari gigi caninus maksila. Gejala klinisnya yaitu

pembengkakan pipi bagian depan dan hilangnya lekukan nasolabial. Penyebaran

lanjut dari infeksi canine spaces dapat menyerang daerah infraorbital dan sinus

kavernosus.

b. Buccal spaces

Terletak sebelah lateral dari m. buccinator dan berisi kelenjar parotis dan

n. facialis. Infeksi berasal dari gigi premolar dan molar yang ujung akarnya berada

di atas perlekatan m. buccinator pada maksila atau berada di bawah perlekatan m.

buccinator pada mandibula. Gejala infeksi yaitu edema pipi dan trismus ringan.

c. Infratemporal spaces

Terletak di posterior dari maksila, lateral dari proc. Pterigoideus, inferior

dari dasar tengkorak, dan profundus dari temporal space. Berisi nervus dan

pembuluh darah. Infeksi berasaal dari gigi molar III maksila. Gejala infeksi

berupa tidak adanya pembengkakan wajah dan kadang terdapat trismus bila

infeksi telah menyebar.

1.2 Mandibula

a. Submental spaces

Infeksi berasal dari gigi incisivus mandibula. Gejala infeksi berupa

bengkak pada garis midline yang jelas di bawah dagu.

b. Buccal spaces

c. Sublingual spaces

Terletak di dasar mulut, superior dari m. mylohyoid, dan sebelah medial

dari mandibula. Infeksi berasal dari gigi anterior mandibula dengan ujung akar di

atas m. mylohyoid. Gejala infeksi berupa pembengkakan dasar mulut,

terangkatnya lidah, nyeri, dan dysphagia.

d. Submandibular spaces

Terletak posterior dan inferior dari m. mylohyoid dan m. platysma. Infeksi

berasal dari gigi molar mandibula dengan ujung akar di bawah m. mylohyoid dan

dari perikoronitis. Gejala infeksi berupa pembengkakan pada daerah segitiga

submandibula leher disekitar sudut mandibula, perabaan terasa lunak dan adanya

trismus ringan.

2. Fasial spaces sekunder

Fasial spaces sekunder merupakan fasial spaces yang dibatasi oleh

jaringan ikat dengan pasokan darah yang kurang. Ruangan ini berhubungan secara

anatomis dengan daerah dan struktur vital. Yang termasuk fasial spaces sekunder

yaitu masticatory space, cervical space, retropharyngeal space, lateral pharyngeal

space, prevertebral space, dan body of mandible space. Infeksi yang terjadi pada

fasial spaces sekunder berpotensi menyebabkan komplikasi yang parah.

a. masticatory space

Berisi m. masseter, m. pterygoid medial dan lateral, insersi dari m.

temporalis. Infeksi berasal dari gigi molar III mandibula. Gejala infeksi berupa

trismus dan jika abses besar maka infeksi dapat menyebar ke lateral pharyngeal

space. Pasien membutuhkan intubasi nasoendotracheal untuk alat bantu bernapas.

b. cervical space

c. retropharyngeal space

Infeksi berasal dari gigi molar mandibula, dari infeksi saluran pernapasan

atas, dari tonsil, parotis, telinga tengah, dan sinus. Gejala infeksi berupa kaku

leher, sakit tenggorokan, dysphagia, hot potato voice, stridor. Merupakan infeksi

fasial spaces yang serius karena infeksi dapat menyebar ke mediastinum dan

daerah leher yang lebih dalam (menyebabkan kerusakan n. vagus dan n cranial

bawah, Horner syndrome)

d. lateral pharyngeal space

Berhubungan dengan banyak space di sekelilingnya sehingga infeksi pada

daerah ini dapat dengan cepat menyebar. Gejala infeksi berupa panas, menggigil,

nyeri dysphagia, trismus.

e. prevertebral space

f. body of mandible space

Terjadinya infeksi pada salah satu atau lebih fasial space yang paling

sering oleh karena penyebaran kuman dari penyakit odontogenik terutama

komplikasi dari periapikal abses. Pus yang mengandung bakteri pada periapikal

abses akan berusaha keluar dari apeks gigi, menembus tulang, dan akhirnya ke

jaringan sekitarnya, salah satunya adalah fasial spaces. Gigi mana yang terkena

periapikal abses ini kemudian yang akan menentukan jenis dari fasial spaces yang

terkena infeksi.

Bakteri aerob dan fakultatif adalah Streptococcus pyogenic dan

Stapylococcus aureus. Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam

berasal dari infeksi tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan

periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke

daerah sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan

penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu kedaerah sublingual, sedangkan

molar II dan III apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih

cepat ke daerah submaksila.

2.5 Diagnosis

1. Gambaran foto polos diutamakan karena pemeriksaan paling mudah

dilakukan. Posisi anteroposterior dan lateral leher mungkin dapat

memperlihatkan massa di jaringan lunak leher yang menghalangi jalan

nafas.

2. Pantomografi sangat berguna untuk mengindikasikan tulang atau gigi yang

rusak.

3. CT-scan dengan kontras intravena adalah metode paling akurat untuk

menentukan lokasi, ukuran, tepi dan hubungannya dengan proses inflamasi

yang mengelilingi struktur vital.

2.6 Penatalaksanaan

Pada kerusakan periodontal diobati dengan debridemen, kuretase

subginggiva dan obat cuci mulut hidrogen peroksida 3 %. Disamping itu, jika

diikuti gejala-gejala sistemik seperti demam, dianjurkan pemberian pengobatan

secara oral dengan menggunakan penisilin V dosis 25.000 sampai 50.000

unit/KgBB/24 jam dibagi 4 dosis. Biasanya, jika diobati gejala akan hilang dalam

waktu 48 jam. Hal yang terpenting adalah konsultasi gigi, dianjurkan untuk

pembersihan gigi yang teliti guna mencegah kekambuhan dan memperbaiki

kerusakan periodontal.

Penanganan komplikasi periodontitis fase akut ditujukan pada perbaikan

perbaikan keadaan umum disertai pemberian antibiotik yang tepat untuk kuman

penyebab dan dilakukan debridemen, selanjutnya dilakukan pembedahan untuk

memperbaiki kerusakan. Upaya ini memerlukan perencanaan dan keahlian yang

baik dengan mengutamakan pulihnya fungsi dari aspek kosmetik.

2.7 Faktor Penyulit

1. Usia

Usia adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun. Saat seseorang

memiliki riwayat diabetes mellitus, maka pada usia 40 tahun ke atas sering

mengalami kasus gigi goyang, disebabkan oleh infeksi dan peradangan yang

mudah sekali terjadi. Hal ini berarti semakin tinggi usia pada penderita DM

semakin tinggi pula risiko terjadinya infeksi dan peradangan pada gigi.

2. Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik sebagai akibat kurangnya

insulin di dalam tubuh sehingga glukosa darah diatas normal hampir sepanhjang

waktu, dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai gejala klinis

akut 3P (poliuria, pplidipsi, polifagia). Pada diabetes mellitus tipe 2, penyebabnya

bervariasi yang terutama adalah resistensi insulin ( jumlah insulin banyak, tetapi

tidak dapat berfungsi ) dapat juga disertai kekurangan insulin relatif, maupun

gangguan produksi ( sekresi ) insulin.

Mekanisme terjadinya penyakit periodontal pada penderita diabetes mellitus :

Setelah etiologi penyakit periodontal pada penderita dengan penyakit

diabetes mellitus dievaluasi, ternyata penyakit diabetes mellitus berpengaruh aktif

terhadap kerusakan jaringan. Oleh karena itu perlu diketahui sifat penyakit

diabetes tersebut terhadap struktur periodontal dan tindakan apa yang harus

dilakukan untuk mencegah berbagai perubahan yang merugikan. Pada penderita

diabetes mellitus dengan kelainan periodontal selalu diikuti dengan faktor iritasi

lokal. Disebutkan bahwa diabetes mellitus merupakan faktor predisposisi yang

dapat mempercepat kerusakan jaringan periodontal yang dimulai oleh agen

mikrobial, perubahan vaskuler pada penderita diabetes dapat mengenai pembuluh

darah besar dan kecil. Perubahan pada pembuluh darah kecil dapat dijumpai pada

arteriol, kapiler dan venula pada berbagai macam organ serta jaringan. Akibat

adanya angiopati pada penderita diabetes mellitus, pada jaringan periodontal akan

mengalami kekurangan suplai darah dan terjadi kekurangan oksigen, akibatnya

akan terjadi kerusakan jaringan periodontal. Selanjutnya akibat kekurangan

oksigen pertumbuhan bakteri anaerob akan meningkat. Dengan adanya infeksi

bakteri anaerob pada diabetes mellitus akan menyebabkan pertahanan dan perfusi

jaringan menurun dan mengakibatkan hipoksia jaringan sehingga bakteri anaerob

yang terdapat pada plak subginggiva menjadi berkembang dan menjadi lebih

patoogen serta menimbulkan infeksi pada jaringan periodontal. Pada neuropati

diabetes mellitus yang mengenai syaraf otonom yang menginervasi kelenjar

saliva, akan mengakibatkan produksi saliva berkurang dan terjadi xerostomia.

Menurunnya kepadatan tulang seringkali mempunyai kaitan dengan diabetes

mellitus. Sehubungan dengan kejadian ini, perlu diketahui bahwa insulin dan

regulasi diabetes mellitus mempunyai pengaruh pada metabolisme tulang, antara

lain insulin meningkatkan uptake asam amino dan sintesis kolagen oleh sel tulang,

yang penting untuk formasi tulang oleh osteoblast. Regulasi jelek diabetes

mellitus menyebabkan hipokalsemia yang akan menimbulkan peningkatan

hormon paratiroid (resorbsi tulang akan meningkat). Regulasi jelek diabetes

mellitus juga mengganggu metabolisme vitamin D3 dengan kemungkinan

menurunnya absorbsi kalsium di usus. Selain itu juga akan merangsang makrofag

untuk sintesis beberapa sitokin yang akan meningkatkan resorbsi tulang. Semua

pengaruh diabetes mellitus pada tulang inilah yang menyebabkan adanya

hubungan antara diabetes mellitus dengan penurunan kepadatan tulang maupun

gigi.

3. Azotemia

Azotemia adalah kondisi medis yang ditandai dengan abnormalitas level

senyawa yang mengandung nitrogen seperti urea, kreatinin, senyawa hasil

metabolisme tubuh dan senyawa kaya nitrogen pada darah. Kondisi ini dapat

disebabkan oleh filtrasi darah pada ginjal yang kurang memadai.

Hubungan antara azotemia dengan infeksi kuman streptococcus sp.

Hubungan antara azotemia dan infeksi streptococcus dikemukakan

pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan timbulnya

glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina, diisolasinya kuman streptococcus

beta hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum

penderita. Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut yang

menjadi penyebab dari azotemia terdapat masa laten selama kurang 10 hari.

Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen

daripada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan faktor

iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya

glomerulonefritis kronis setelah infeksi kuman streptococcus. Glomerulonefritis

kronis pasca streptococcus adalah suatu sindrom nefrotik akut yang ditandai

dengan timbulnya hematuria, edema, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal.

Gejala-gejala ini timbul setelah infeksi kuman streptococcus beta hemoliticus

golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit. Glomerulonefritis

akut pasca streptococcus terutama menyerang pada anak laki-laki dengan usia

kurang dari 3 tahun. Sebagian besar pasien (95%) akan sembuh, tetapi 5 %

diantaranya dapat mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.

Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh kuman streptococcus beta

hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit, sehingga

pencegahan dan pengobatan infeksi saluran pernafasan atas dan kulit dapat

menurunkan kejadian penyakit ini. Dengan perbaikan kesehatan masyarakat,

maka kejadian penyakit ini dapat dikurangi

4. Anemia

Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah merah atau jumlah

Hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada dibawah

normal. Sel darah merah mengandung hemoglobin, yang memungkinkan mereka

mengangkut oksigen dari paru-paru dan mengantarkannya ke seluruh bagian

tubuh. Anemia menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah

hemoglobin dalam sel darah merah, sehingga darah tidak dapat mengangkut

oksigen dalam jumlah sesuai yang diperlukan tubuh. Anemia normositik

normokromik adalah anemia dengan sel darah merah yang memiliki bentuk

normal (normositik) dan warnanya atau kadar Hbnya normal (normokromik).

Penderita anemia biasanya menunjukkan resorpsi tulang alveolar yang

cepat. Tulang akan mengalami resorbsi dimana atropi selalu berlebihan. Resorbsi

yang berlebihan dari tulang alveolar mandibula menyebabkan foramen mentale

mendekati puncak linggir alveolar. Puncak tulang alveolar yang mengalami

resorbsi berbentuk konkaf atau datar dengan akhir seperti ujung pisau. Resorbsi

berlebihan pada puncak tulang alveolar mengakibatkan bentuk linggir yang datar

akibat hilangnya lapisan kortikalis tulang. Resorbsi linggir yang berlebihan dan

berkelanjutan merupakan masalah karena dapat menjadi penyebab terjadinya

ketidakseimbangan oklusi dan periodontitis. Faktor resiko utama terjadinya

resorbsi ini adalah tingkat kehilangan tulang sebelumnya, gaya oklusal berlebihan

selama pengunyahan dan bruxism.

2.8 Komplikasi

1. Fistula Dentocutaneus dari infeksi gigi kronik

Fistula berkembang sebagai inflamasi kronik yang mengerosi tulang

alveolar dan menyebar ke sekitar jaringan lunak. Sering tidak terdiagnosis karena

infeksi gigi kronik yang sering asimtomatik dan lesi di kulit diduga bersifat lokal.

2. Osteomyelitis

Osteomyelitis sering terjadi sebelum era terapi antibiotik. Osteomyelitis

berasal dari inflamasi di kavitas medula dan korteks tulang. Mandibula sering

dikenai daripada maksila karena maksila mempunyai suplai darah yang lebih baik.

3. Trombosis sinus kavernosus

Kira-kira 10% pasien dengan trombosis sinus kavernosus memiliki fokus

infeksi di gigi. Penyebaran infeksi berasal dari dental abses ke sinus kavernosus

terjadi melalui pleksus vena pterygoid. Pasien sering mengalami sakit kepala,

nyeri retroorbital unilateral, edema periorbital, demam, proptosis dan ptosis.

Terapi terdiri dari antibiotik, antikoagulan dan terapi bedah.

4. Angina Ludwig

Terjadi karena infeksi di regio mandibula. Abses mandibula di molar 2 dan

3 bisa memperforasi mandibula dan menyebar ke daerah submandibula dan

submental. Gejala klinik berupa bengkak di dasar mulut dan elevasi lidah serta

displacement bagian posterior lidah. Infeksi awalnya unilateral tapi menyebar

secara cepat termasuk ke bagian kontralateral. Gejala klinik yang dominan adalah

di mulut, leher, nyeri gigi, pembengkakan leher, odinofagi, disfonia, trismus dan

lidah bengkak. Angina ludwig jarang pada anak-anak.

5. Sinusitis maksila

Sinusitis maksila sering terjadi karena penyebaran langsung infeksi gigi

atau dari perforasi dasar sinus karena infeksi.

6. Bengkak daerah wajah

Daerah yang paling sering terkena adalah submandibula dan sublingual.

2.9 Prognosis

Abses leher memiliki prognosis baik dengan insisi, drainase, terapi anti

biotik dan perawatan rutin.

BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. Asmoah

Umur : 63 tahun

Pekerjaan : Tidak bekerja

Jenis kelamin : Perempuan

Masuk RSDK : 2 Mei 2012

No. CM : C 352945

KELUHAN SUBYEKTIF

ANAMNESIS (Alloanamnesis pada tanggal 4 Mei 2012 pukul 10.30 WIB di

bangsal Penyakit Dalam)

1. Keluhan utama

Benjolan di leher sebelah kiri.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

± 1 bulan yang lalu pasien mengeluh timbul benjolan sebesar kelereng di

leher sebelah kiri, makin lama benjolan makin membesar. Benjolan jika di

tekan nyeri, dan keluar nanah. Sebelumnya pasien mengeluh sakit gigi

geraham kiri bawah, sakit yang dirasakan terus menerus sudah lama, gigi

tersebut kemudian tanggal sendiri tetapi masih tersisa bagian gigi. Saat ini

gigi pasien sudah tidak sakit lagi. Pasien mengeluh lemas dan makan

hanya sedikit.

± 1 minggu SMRS benjolan dirasakan semakin membesar dan

mengganggu aktivitas. Pasien kemudian dibawa keluarga ke RSDK.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

1. Penderita belum pernah sakit seperti ini sebelumnya

2. Riwayat hipertensi (-)

3. Riwayat diabetes mellitus (+) dengan gula darah tidak terkontrol

4. Riwayat trauma disangkal.

PEMERIKSAAN OBYEKTIF

PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 4 Mei 2012 pukul 11.00 WIB di bangsal Penyakit Dalam

RSDK

1. KeadaanUmum

Kesadaran : komposmentis

Keadaan gizi : baik

Tampak kesakitan : tampak kesakitan

Tanda vital

Tekanan darah : 100/60 mmHg

Nadi : 96 x/menit

Frek. nafas : 24 x/menit

Suhu : afebris

2. Pemeriksaan Ekstra Oral

a. Wajah

Inspeksi : asimetri wajah (-), trismus (-), kemerahan (-)

Palpasi : pembesaran nnll preaurikuler (+) sebesar kelereng,

perabaan keras, mobile, nyeri tekan (-)

b. Leher

Inspeksi : terdapat jahitan post incisi abses ditutup perban

Palpasi : pembesaran nnll sub mandibula -/+

3. Pemeriksaan Intra Oral

Mukosa pipi : tidak ditemukan kelainan

Mukosa palatum : tidak ditemukan kelainan

Mukosa dasar mulut : tidak ditemukan kelainan

Mukosa pharynx : tidak ditemukan kelainan

Kelainan periodontal : 3.4,3.5 gangren radix

4.4, 4.5, 4.6, 4.7 gangren pulpa

Ginggiva atas : tidak ditemukan kelainan

Ginggiva bawah : tidak ditemukan kelainan

Karang gigi (+) : Generalisata RA+RB

Pocket : Tidak ditemukan kelainan

STATUS LOKALIS

1. Rahang bawah

Ektsraoral

Inspeksi : Asimetri (-)

Palpasi : teraba pembesaran nnll pre aurikuler (+) sebesar

kelereng di pipi kiri, keras, mobile, nyeri tekan (-)

Intraoral

Inspeksi : gigi 3.4, 3.5 gangren radix

gigi 4.4, 4.5, 4.6, 4.7 gangren pulpa

Kalkulus generalisata (+)

Gigi:

Gigi 3.4, 3.5

Inspeksi : terdapat sisa akar

Sondasi : nyeri (-)

Perkusi : (-)

Mobilitas: (-)

Gigi 4.4, 4.5, 4.6, 4.7

Inspeksi : tampak karies, terdapat sisa 1/3 mahkota gigi

Sondasi : nyeri (-)

Perkusi : (-)

Mobilitas: (-)

Gigi 4.8 missing teeth

2. Leher

Inspeksi : asimetris (-), terdapat jahitan post incisi abses ditutup perban

Palpasi : pembesaran nnll sub mandibula -/+

DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis Keluhan Utama : Abses Colli Sinistra Post Operasi ec Gangren radix

Diagnosis Banding : Osteomielitis Rahang

Diagnosis Penyakit Lain : Diabetes Mellitus Tipe 2, Azotemia,

Anemia Normositik Normokronik

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi : foto panoramik

Pemeriksaan laborat : darah lengkap (kadar glukosa, ureum kreatinin,

hitung jenis)

INDIKASI TERAPI

1. Ekstraksi gigi penyebab fokus infeksi

2. Kalkulektomi

TERAPI

1. Pro ekstraksi gigi penyebab bila kadar glukosa dan ureum kreatinin sudah stabil

2. Rawat bersama dengan bagian Ilmu Penyakit Dalam

BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang wanita 63 tahun datang ke RSDK dengan asimetri wajah dan

leher ke kiri. Dari anamnesis didapatkan ± 1 bulan yang lalu pasien mengeluh

timbul benjolan sebesar kelereng di leher sebelah kiri, makin lama benjolan makin

membesar. Benjolan jika di tekan nyeri, dan keluar nanah. Sebelumnya pasien

mengeluh sakit gigi geraham kiri bawah, sakit yang dirasakan terus menerus

sudah lama, gigi tersebut kemudian tanggal sendiri tetapi masih tersisa bagian

gigi. Saat ini gigi pasien sudah tidak sakit lagi. Pasien mengeluh lemas dan makan

hanya sedikit.

Pada pemeriksaan ekstraoral didapatkan asimetri wajah dan leher ke kiri

(+), pembesaran nnll pre aurikuler kiri (+) sebesar kelereng, perabaan keras,

mobile, pembesaran nnll submandibula kiri (+). Pada pemeriksaan intraoral

didapatkan 3.4, 3.5 gangren radix; 4.4, 4.5, 4.6, 4.7 gangren pulpa; 4.8 missing

teeth; kalkulus generalisata rahang atas dan rahang bawah.

Dari anamnesis dan pemeriksaan yang didapatkan kemungkinan benjolan

mengarah pada infeksi odontogen sebagai fokal infeksi yang menyebabkan abses.

Didahului olah gigi non vital (gangren radix), yaitu gigi 3.4 dan 3.5, menyebabkan

peridontitis apikalis, dimulai dari sekitar apex lalu menyebar ke tulang rahang

sekitar kemudian menembus kortex tulang alveolar dan menyebar ke jaringan

sekitar.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan X-Foto panoramik dan

cevical untuk menyingkirkan diferensial diagnosisnya, yaitu osteomielitis rahang.

BAB V

KESIMPULAN

Seorang wanita 63 tahun dengan keluhan benjolan di leher kiri dengan

diagnosis utama abses colli sinistra ec gangren radix dengan diferensial diagnosis

osteomielitis rahang. Dan diagnosis penyakit lain 4.4, 4.5, 4.6, 4.7 periodontitis

kronis ec gangren pulpa. Untuk menentukan diagnosis pasti dilakukan dengan

pemeriksaan penunjang lainnya yaitu X-Foto cervical dan pungsi.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahardjo SP. Abses Leher Dalam Sebagai Komplikasi Infeksi Odontogenic.

Dexa Media. Jakarta : 2008.

2. Tjokroprawiro A. Diabetes mellitus klasifikasi, Diagnosis, terapi. Edisi ke-3

Jakarta. PT.Gramedia Pustaka Utama : 2000.

3. Cohen DW. Diabetes Mellitus and Periodontal Disease. J Periodontal 41.

Available from : http://normalgigi.com/2009/10/diabetes-mellitus-dan-penyakit .

html.

4. Guyton, Arthur C. & John E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC : 2006.

5. Rupirda, N. Pmeriksaan Status Umum. Available from :

http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/04/15/pemeriksaan-status-umum