laporan submodul 2 kel 9

33
KATA PENGANTAR Assalamualaikum wr.wb puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan hidayahNYA lah penulis dapat menyelesaikan laporan Al-islami modul II Penulis menyadari banyak kekurangan yang ada didalam tulisan yang disusun pada laporan ini Modul II Al-islami ini dapat membuat mahasiswa mengerti dan memahami tentang batasan autrat laki-laki, perempuan dan cara pemeriksaan antara lawan jenis yang baik dan benar sesui syariat islam Dengan selesainya modul II ini diharapkan mahasiswa dapat menerapkan modul II ini dalam dalam kehidupan sehari-hari agar dapat menjadikan dokter-dokter islami yang mengerti batasan-batasan yang diajarkan islam.

Upload: raysha-ramadhani

Post on 08-Nov-2015

231 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

al islam

TRANSCRIPT

KATA PENGANTARAssalamualaikum wr.wb puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan hidayahNYA lah penulis dapat menyelesaikan laporan Al-islami modul II Penulis menyadari banyak kekurangan yang ada didalam tulisan yang disusun pada laporan iniModul II Al-islami ini dapat membuat mahasiswa mengerti dan memahami tentang batasan autrat laki-laki, perempuan dan cara pemeriksaan antara lawan jenis yang baik dan benar sesui syariat islamDengan selesainya modul II ini diharapkan mahasiswa dapat menerapkan modul II ini dalam dalam kehidupan sehari-hari agar dapat menjadikan dokter-dokter islami yang mengerti batasan-batasan yang diajarkan islam.

SkenarioSaat anda sedang praktek di klinik Az Zahra, kemudian datang seorang pasien yang berlawanan jenis dengan anda mengeluh merasa ada benjolan di duburnya, dia meminta anda untuk memeriksa bagian duburnya karena sudah 3 bulan dia merasa keluar benjolan saat dia mengejan. Pasien tersebut berumur 19 tahun dan belum menikah. Dia datang sendiri ke klinik dan saat praktek anda ditemani oleh perawat.Bagaimana menurut anda?

Penyelesaian Klarifikasi istilah : -Kata kunci : 1. Pasien lawan jenis 2. Berumur 19 th dan belum menikah 3. Meminta untuk diperiksa dibagian dubur4. Pasien datang sendirian5. Saat praktek anda hanya ditemani seorang perawat

Analisa masalah :Pertanyaan :1. Apakah pengertian aurat ?2. Batasan aurat pria dan wanita menurut islam 3. Bagaimana adab pemeriksaan kesehatan terhadap lawan jenis menurut islam dan umum (akhlakul karimah)4. Bagaimana seorang dokter mengatasi penyakit pasien pada kasus diatas dengan memperhatikan adab pemeriksaan lawan jenis sesuai ihsan ?5. Apakah dengan ditemani perawat seorang dokter dapat memeriksa aurat pasien lawan jenisnya 6. Adakah perbedaan mengenai adab pemeriksaan terhadap lawan jenis yang sudah menikah atau belum ?7. Apakah seorang dokter diperbolehkan memeriksa bagian aurat pasien lawan jenis menurut hokum islam berikan alas an jika iya atau tidak dan jika boleh sebatas apa ?8. Perlukah seorang pasien ditemani oleh muhrimnya saat berobat ,jika dilihat dari kasus ini /9. Apakah seorang dokter dapat memeriksa aurat pasien jika ditemani oleh perawat baik yg sejenis dengan pasien maupun yang tidak ?

Pembahasan : Aurat (dalam bahasa arab Aurah) yang berarti keaiban adalah bagian dari tubuh manusia yang diharamkan untuk dilihat dan dipegang .Dalam islam, aurat bagi wanita adalah seluruh tubuhnya, kecualikedua telapak tangan dan muka (surah An Nuur 31 dan Al Ahzab 59) ,sedangkan untuk pria adalah bagian pusar (perut) ke bawah hingga lutut. Manakala dalam istilah fekah pula aurat diartikan sebagai bagian tubuh badan seseorang yang wajib ditutup atau dilindungi dari pandangan . (Wikipedia bahasa Indonesia,ensiklopedia bebas.E-book iMuslim) Batasan aurat wanita menurut islam adalah dari ujung rambut hingga ujung kaki kecuali muka dan telapak tangan. Dalam islam aurat dibagi menjadi dua yaitu aurat dalam kehidupan sehari-hari dan aurat dalam shalat . untuk wanita aurat dalam shalatnya adalah seluruh tubuh kecuali muka dan suaranya. Sedangkan batasan aurat laaki-laki menurut islam adalah dari pusar perut sampai dibawah lutut.Adab pemeriksaan pasien lawan jenis menurut islam.Di antara keindahan syariat Islam, yaitu ditetapkannya larangan mengumbar aurat dan perintah untuk menjaga pandangan mata kepada obyek yang tidak diperbolehkan, lantaran perbuatan itu hanya akan mencelakakan diri dan agamanya.Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman (yang artinya): Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita . . ." [an-Nr/24: 30-31].Islam mensyariatkan, jika seseorang tertimpa penyakit maka ia diperintahkan untuk berusaha mengobatinya. Al-Qur`n dan as-Sunnah telah menetapkan syariat tersebut. Dan pada pelayanan dokter memang terdapat faedah, yaitu memelihara jiwa. Satu hal yang termasuk ditekankan dalam syariat Islam. Akan tetapi bagimana jika seorang laki-laki berobat kpd wanita muslim?IDEALNYA MUSLIM BEROBAT KE DOKTER PRIAHukum asalnya, apabila ada dokter umum dan dokter spesialis dari kaum Muslim, maka menjadi kewajiban kaum Muslim untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Meski hanya sekedar keluhan yang paling ringan, flu batuk pilek sampai pada keadaan genting, ataupun jika harus melakukan pembedahan.Berkaitan dengan masalah itu, Syaikh Bin Bz rahimahullah mengatakan: Seharusnya para dokter wanita menangani kaum wanita secara khusus, dan dokter lelaki melayani kaum lelaki secara khusus kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Bagian pelayanan lelaki dan bagian pelayanan wanita masing-masing disendirikan, agar masyarakat terjauhkan dari fitnah dan ikhtilat yang bisa mencelakakan. Inilah kewajiban semua orang.[4]Lajnah D-imah juga menfatwakan, bila seorang wanita mudah menemukan dokter wanita yang cakap menangani penyakitnya, ia tidak boleh membuka aurat atau berobat ke seorang dokter lelaki. Kalau tidak memungkinkan maka ia boleh melakukannya.[5]seorang muslim harus menjaga kehormatannya, sehingga ia harus menjaga rasa malu yang telah menjadi fitrah, menghindarkan diri dari tangan wanita yang bukan makhramnya, menjauhkan diri dari ikhtilath. Tatkala ia ingin mendapatkan penjelasan mengenai penyakitnya secara lebih banyak, lebih leluasa bertanya, dan sebagainya, maka mau tidak mau hal ini tidak akan bisa didapatkan dengan baik, melainkan jika seorang pria berobat atau memeriksakan dirinya kepada dokter atau ahli medis pria. Bila tidak, maka hal itu sulit dilakukan secara maksimal.

BAGAIMANA BILA TIDAK ADA DOKTER PRIA?Syaikh Bin Bz rahimahullah memandang permasalahan ini sebagai persoalan penting untuk diketahui dan sekaligus menyulitkan. Akan tetapi, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberi karunia ketakwaan dan ilmu kepada seorang wanita, maka ia harus bersikap hati-hati untuk dirinya, benar-benar memperhatikan masalah ini, dan tidak menyepelekan. Seorang lelaki memiliki kewajiban untuk mencari dokter wanita terlebih dahulu. Bila mendapatkannya, alhamdulillah, dan ia pun tidak membutuhkan bantuan dokter wanita.[6]Bila memang dalam keadaan darurat dan terpaksa, Islam memang membolehkan untuk menggunakan cara yang mulanya tidak diperbolehkan. Selama mendatangkan maslahat, seperti untuk pemeliharaan dan penyelamatan jiwa dan raganya. Seorang muslim yang keadaannya benar-benar dalam kondisi terhimpit dan tidak ada pilihan, (maka) ia boleh pergi ke dokter wanita, baik karena tidak ada ada seorang dokter muslim yang mengetahui penyakitnya maupun memang belum ada yang ahli.Allah Ta`ala menyebutkan dalam firman-Nya surat al-An'm/6 ayat 119:

"(padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya)".Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak. 1. Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang muslim terpaksa harus bertemu dan berobat kepada dokter wanita, ia harus didampingi mahram atau istrinya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di kamar praktek atau ruang periksa.Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bz rahimahullah untuk pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan, dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat lelaki, meskipun sudah ada perawat wanita umpamanya- maka keberadaan istri atau pria lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik untuk menjauhkan dari kecurigaan.[7]Ketika Syaikh Shalih al-Fauzan ditanya mengenai hukum berobat kepada dokter yang berbeda jenisnya, beliau menjelaskan:Seorang wanita tidak dilarang berobat kepada dokter pria, terlebih lagi ia seorang spesialis yang dikenal dengan kebaikan, akhlak dan keahliannya. Dengan syarat :1. bila memang tidak ada dokter wanita yang setaraf dengan dokter pria tersebut. 2. Atau karena keadaan si pasien yang mendesak harus cepat ditolong, (karena) bila tidak segera, penyakit (itu) akan cepat menjalar dan membahayakan nyawanya. Dalam masalah ini, perkara yang harus diperhatikan pula :1. dokter tersebut tidak boleh membuka sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali sebatas yang diperlukan dalam pemeriksaan.2. dokter tersebut adalah muslim yang dikenal dengan ketakwaannya. 3. Pada situasi bagaimanapun, seorang muslim yang terpaksa harus berobat kepada dokter pria tidak dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali harus disertai oleh salah satu mahramnya".[8]Ketika Lajnah D-imah menjawab sebuah pertanyaan tentang syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi dokter lelaki untuk menangani pasien perempuan, maka Lajnah D-imah mengeluarkan fatwa yang berbunyi: (Syarat-syaratnya), yaitu tidak dijumpai adanya dokter wanita muslimah yang sanggup menangani penyakitnya, dokter tersebut seorang muslim lagi bertakwa, dan pasien wanita itu didampingi oleh mahramnya.[9]Pada buku Fikih Kedokteran karangan Walid bin Rasyid as-Saidah, Pustaka Fahima. Dalam buku Fikih Kedokteran ini, ada 21 Kaidah, diantaranya :Kaidah Kesembilan : Apabila Ada dua kerusakan, maka diambil kerusakan yang lebih-lebih ringan. Dibolehkannya wanita mengobati laki-laki dan sebaliknya jika tidak ada cara lain. Sebab tindakan tersebut untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Sebab jika orang sakit dibiarkan dengan keadaannya yang sakit, dan tidak diobati, niscaya kemadharatan yang lebih besar dan kerusakan yang lebih banyak akan terjadi. Maka, dibolehkan seorang laki-laki mengobati wanita dan sebaliknya jika tidak ada cara lain demi menolak kerusakan yang lebih besar dengan melakukan kerusakan yang lebih kecil.Keempat belas: Keterpaksaan itu Membolehkan yang Terlarang. Seorang dokter pria boleh melihat pasien wanita, atau melihat aurat pasien laki-laki karena darurat. Namun, ia tidak boleh melihat secara mutlak. Cukup sebatas yang diperlukan untuk mencegah keterpaksaan saja. KESIMPULANSebagaimana hukum asalnya, bila ada dokter pria yang ahli, maka dialah yang wajib menjalankan pemeriksaan atas seorang pasien pria. Bila tidak ada, dokter pria non-muslim yang dipilih. Jika masih belum ditemukan, maka dokter wanita muslim yang melakukannya. Bila keberadaan dokter muslim tidak tersedia, bisa saja seorang dokter non-muslim yang menangani.Akan tetapi harus diperhatikan, dokter wanita yang melakukan pemeriksaan hanya boleh melihat tubuh pasien pria itu sesuai dengan kebutuhannya saja, yaitu saat menganalisa penyakit dan mengobatinya, serta harus menjaga pandangan. Dan juga, saat dokter wanita menangani pasien pria, maka pasien pria itu harus disertai mahram, atau istrinya, atau pria yang dapat dipercaya supaya tidak terjadi khalwat.Jadi akhlakul karimah yang wajib dimiliki seorang dokter muslim adalah1. Iman2. Ikhlas3. Ikhsan4. Etika dokter islami

Dari ulasan diatas terpaparlah bahwa seharusnya seorang laki-laki mencari dokter yang sejenis begitu pula dengan wanita. Namun bila dalam keadaan darurat maka dokter hendaklah mengatasi penyakit pasien dengan hati ihsan. Dokter memeriksa pasien dengan seperlunya saja dengan terlebih dulu meminta izin kepasien dan meminta pasien untuk membawa muhrimnya dan tidak hanya berduaan dengan pasien didalam kamar periksa. Pada hukum dasarnya, sentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram atau bukan suaminya sendiri, hukumnya haram.Namun bila ada hal-hal mendesak yang tidak mungkin dihindari serta tidak ditemukanya alternatif lain, untuk sementara hal-hal yang hukumnya haram bisa berubah sesaat. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah. Islam mensyariatkan, jika seseorang tertimpa penyakit maka ia diperintahkan untuk berusaha mengobatinya. Al-Qur`n dan as-Sunnah telah menetapkan syariat tersebut. Dan pada pelayanan dokter memang terdapat faedah, yaitu memelihara jiwa. Satu hal yang termasuk ditekankan dalam syariat Islam.Yang dimaksud ikhtilat, yaitu berduanya seorang lelaki dengan seorang perempuan di tempat sepi. Dalam hal ini menyangkut pergaulan antara sesama manusia, yang rambu-rambunya sangat mendapat perhatian dalam Islam. Yaitu berkait dengan ajaran Islam yang sangat menjunjung tinggi keselamatan bagi manusia dari segala gangguan. Terlebih lagi dalam masalah mu'amalah (pergaulan) dengan lain jenis. Dalam Islam, hubungan antara pria dan wanita telah diatur dengan batasan-batasan, untuk membentengi gejolak fitnah yang membahayakan dan mengacaukan kehidupan. Karenanya, Islam telah melarang pergaulan yang dipenuhi dengan ikhtilat (campur baur antara pria dan wanita). Hukum asalnya, apabila ada dokter umum dan dokter spesialis dari kaum Muslimah, maka menjadi kewajiban kaum Muslimah untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Meski hanya sekedar keluhan yang paling ringan, flu batuk pilek sampai pada keadaan genting, semisal persalinan ataupun jika harus melakukan pembedahan. Bila memang dalam keadaan darurat dan terpaksa, Islam memang membolehkan untuk menggunakan cara yang mulanya tidak diperbolehkan. Selama mendatangkan maslahat, seperti untuk pemeliharaan dan penyelamatan jiwa dan raganya. Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak. Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus bertemu dan berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di kamar praktek atau ruang periksa.

Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bz rahimahullah untuk pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan, dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat wanita, meskipun sudah ada perawat wanita umpamanya- maka keberadaan suami atau wanita lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik untuk menjauhkan dari kecurigaan.[7]Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak. Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus bertemu dan berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di kamar praktek atau ruang periksa.

Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bz rahimahullah untuk pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan, dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat wanita, meskipun sudah ada perawat wanita umpamanya- maka keberadaan suami atau wanita lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik untuk menjauhkan dari kecurigaan.[7] Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak. Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus bertemu dan berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di kamar praktek atau ruang periksa.

Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bz rahimahullah untuk pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan, dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat wanita, meskipun sudah ada perawat wanita umpamanya- maka keberadaan suami atau wanita lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik untuk menjauhkan dari kecurigaan.Dalam islam tidak ada perbedaan antara memeriksa pasien lawan jenis baik yang sudah menikah maupun yang masih single. Tetap saja jika ingin memeriksa pasien lawna jenis harus ditemani muhrim pasien. seorang dokter diperbolehkan memeriksa bagian aurat pasien lawan jenis menurut hukum islam jika itu dalam keadaan darurat dan dengan syarat si pasien harus ditemani oleh muhrimnya atau seorang perawat yang sejenis dengan pasien. Dan dalam memeriksa auratpun dokter tidak boleh berlebihan. Jadi hanya memeriksa seperlunya saja sesuaai dengan kebutuhan. Dan si pasien saat berobat ke dokter yang berlawanan jenis haruslah ditemani oleh muhrimnya. Perawat yang menemani dokter yang sedang memeriksa pasien lawna jenis hendaklah sejenis denga pasien yang sedang diperiksa. Namun lebih baik untuk menghidari fitnah maka hendaklah pasien yang terdesak dan harus berobat kedokter lawan jenis maka harus membawa muhrimnya. Referensi [1]. Lihat ath-Thuruq Hukmiyah, hlm. 407.[2]. Syarhu Shahh Muslim.[3]. Hadits shahh diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan lainnya. Lihat ash-Shahhah (226), Shahhul-Jami' (5045).[4]. Al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, hlm. 230.[5]. Fatwa Lajnah D-imah, no. 4671. Dinukil dari al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha.[6]. Al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha 228-229[7]. Ibid.[8]. Lihat Fatwa, Syaikh Shalih al-Fauzan, Jilid 5.[9]. Fatwa Lajnah D-imah no. 3507. Dinukil dari al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, hlm. 242.[10]. Lihat Fatwa wa Rasail Ibni Utsaimin, Jilid 12.

Kalimat Kunci1. seorang pasien yang berlawanan jenis2. berumur 19 tahn, belum menikah3. meminta untuk memeriksa bagian dubur4. dia datang sendiri5. saat praktek anda ditemani seorang perawat

Pertanyaan1. apa pengetian aurat?2. apa saja batasan aurat wanita dan laki-laki?3. bagaimanakah adab pemeriksaan kesehatan terhadap lawan jenis, menurut islam dan menurut umum?4. bagaimana seorang dokter mengatasi penyakit pasien pada kasus dengan memperhatikan adab pemeriksaan lawan jenis sesui ikhsan?5. apakah dengan ditemani seorang perawat, seorang dokter dapat memeriksa bagian aurat pasien lawan jenis dan bagaimana cara mengatasinya?6. apakah perbedaan mengenai adab pemeriksaan terhadap lawan jenis yang sudah menikah atau belum menikah?7. apakah seorang dokter diperbolehkan memeriksa bagian aurat pasien yang berlawanan jenis menurut hukum islam? Berikan alasan jika ya atau tidak!8. perlukah seorang pasien ditemani oleh muhrimnya pada sat berobat, di lihat dari kasus ini?9. apakah seorang dokter dapat memeriksa aurat pasien lawan jenis bila ditemani dengan perawat sejenis atau lawan jenis?

Tujuan Pembelajaran

Pembahasan1. apa pengetian aurat?Aurat (dalam bahasa arab Aurah) yang berarti keaiban adalah bagian dari tubuh manusia yang diharamkan untuk dilihat dan dipegang .Dalam islam, aurat bagi wanita adalah seluruh tubuhnya, kecualikedua telapak tangan dan muka (surah An Nuur 31 dan Al Ahzab 59) ,sedangkan untuk pria adalah bagian pusar (perut) ke bawah hingga lutut. Manakala dalam istilah fekah pula aurat diartikan sebagai bagian tubuh badan seseorang yang wajib ditutup atau dilindungi dari pandangan .

2. apa saja batasan aurat wanita dan laki-laki?3. bagaimanakah adab pemeriksaan kesehatan terhadap lawan jenis, menurut islam dan menurut umum?Di antara keindahan syariat Islam, yaitu ditetapkannya larangan mengumbar aurat dan perintah untuk menjaga pandangan mata kepada obyek yang tidak diperbolehkan, lantaran perbuatan itu hanya akan mencelakakan diri dan agamanya.Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman (yang artinya): Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita . . ." [an-Nr/24: 30-31].Islam mensyariatkan, jika seseorang tertimpa penyakit maka ia diperintahkan untuk berusaha mengobatinya. Al-Qur`n dan as-Sunnah telah menetapkan syariat tersebut. Dan pada pelayanan dokter memang terdapat faedah, yaitu memelihara jiwa. Satu hal yang termasuk ditekankan dalam syariat Islam. Akan tetapi bagimana jika seorang laki-laki berobat kpd wanita muslim?Idealnya Muslim Berobat Ke Dokter PriaHukum asalnya, apabila ada dokter umum dan dokter spesialis dari kaum Muslim, maka menjadi kewajiban kaum Muslim untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Meski hanya sekedar keluhan yang paling ringan, flu batuk pilek sampai pada keadaan genting, ataupun jika harus melakukan pembedahan.Berkaitan dengan masalah itu, Syaikh Bin Bz rahimahullah mengatakan: Seharusnya para dokter wanita menangani kaum wanita secara khusus, dan dokter lelaki melayani kaum lelaki secara khusus kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Bagian pelayanan lelaki dan bagian pelayanan wanita masing-masing disendirikan, agar masyarakat terjauhkan dari fitnah dan ikhtilat yang bisa mencelakakan. Inilah kewajiban semua orang.Lajnah D-imah juga menfatwakan, bila seorang wanita mudah menemukan dokter wanita yang cakap menangani penyakitnya, ia tidak boleh membuka aurat atau berobat ke seorang dokter lelaki. Kalau tidak memungkinkan maka ia boleh melakukannya.seorang muslim harus menjaga kehormatannya, sehingga ia harus menjaga rasa malu yang telah menjadi fitrah, menghindarkan diri dari tangan wanita yang bukan makhramnya, menjauhkan diri dari ikhtilath. Tatkala ia ingin mendapatkan penjelasan mengenai penyakitnya secara lebih banyak, lebih leluasa bertanya, dan sebagainya, maka mau tidak mau hal ini tidak akan bisa didapatkan dengan baik, melainkan jika seorang pria berobat atau memeriksakan dirinya kepada dokter atau ahli medis pria. Bila tidak, maka hal itu sulit dilakukan secara maksimal.Bagaimana Bila Tidak Ada Dokter Pria?Syaikh Bin Bz rahimahullah memandang permasalahan ini sebagai persoalan penting untuk diketahui dan sekaligus menyulitkan. Akan tetapi, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberi karunia ketakwaan dan ilmu kepada seorang wanita, maka ia harus bersikap hati-hati untuk dirinya, benar-benar memperhatikan masalah ini, dan tidak menyepelekan. Seorang lelaki memiliki kewajiban untuk mencari dokter wanita terlebih dahulu. Bila mendapatkannya, alhamdulillah, dan ia pun tidak membutuhkan bantuan dokter wanita.[6]Bila memang dalam keadaan darurat dan terpaksa, Islam memang membolehkan untuk menggunakan cara yang mulanya tidak diperbolehkan. Selama mendatangkan maslahat, seperti untuk pemeliharaan dan penyelamatan jiwa dan raganya. Seorang muslim yang keadaannya benar-benar dalam kondisi terhimpit dan tidak ada pilihan, (maka) ia boleh pergi ke dokter wanita, baik karena tidak ada ada seorang dokter muslim yang mengetahui penyakitnya maupun memang belum ada yang ahli.Allah Ta`ala menyebutkan dalam firman-Nya surat al-An'm/6 ayat 119: "(padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya)".Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak. 2. Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang muslim terpaksa harus bertemu dan berobat kepada dokter wanita, ia harus didampingi mahram atau istrinya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di kamar praktek atau ruang periksa.Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bz rahimahullah untuk pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan, dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat lelaki, meskipun sudah ada perawat wanita umpamanya- maka keberadaan istri atau pria lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik untuk menjauhkan dari kecurigaan.Ketika Syaikh Shalih al-Fauzan ditanya mengenai hukum berobat kepada dokter yang berbeda jenisnya, beliau menjelaskan:Seorang wanita tidak dilarang berobat kepada dokter pria, terlebih lagi ia seorang spesialis yang dikenal dengan kebaikan, akhlak dan keahliannya. Dengan syarat :3. bila memang tidak ada dokter wanita yang setaraf dengan dokter pria tersebut. 4. Atau karena keadaan si pasien yang mendesak harus cepat ditolong, (karena) bila tidak segera, penyakit (itu) akan cepat menjalar dan membahayakan nyawanya. Dalam masalah ini, perkara yang harus diperhatikan pula : dokter tersebut tidak boleh membuka sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali sebatas yang diperlukan dalam pemeriksaan. dokter tersebut adalah muslim yang dikenal dengan ketakwaannya. Pada situasi bagaimanapun, seorang muslim yang terpaksa harus berobat kepada dokter pria tidak dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali harus disertai oleh salah satu mahramnya".Ketika Lajnah D-imah menjawab sebuah pertanyaan tentang syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi dokter lelaki untuk menangani pasien perempuan, maka Lajnah D-imah mengeluarkan fatwa yang berbunyi: (Syarat-syaratnya), yaitu tidak dijumpai adanya dokter wanita muslimah yang sanggup menangani penyakitnya, dokter tersebut seorang muslim lagi bertakwa, dan pasien wanita itu didampingi oleh mahramnya.Pada buku Fikih Kedokteran karangan Walid bin Rasyid as-Saidah, Pustaka Fahima. Dalam buku Fikih Kedokteran ini, ada 21 Kaidah, diantaranya :Kaidah Kesembilan : Apabila Ada dua kerusakan, maka diambil kerusakan yang lebih-lebih ringan. Dibolehkannya wanita mengobati laki-laki dan sebaliknya jika tidak ada cara lain. Sebab tindakan tersebut untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Sebab jika orang sakit dibiarkan dengan keadaannya yang sakit, dan tidak diobati, niscaya kemadharatan yang lebih besar dan kerusakan yang lebih banyak akan terjadi. Maka, dibolehkan seorang laki-laki mengobati wanita dan sebaliknya jika tidak ada cara lain demi menolak kerusakan yang lebih besar dengan melakukan kerusakan yang lebih kecil.Keempat belas: Keterpaksaan itu Membolehkan yang Terlarang. Seorang dokter pria boleh melihat pasien wanita, atau melihat aurat pasien laki-laki karena darurat. Namun, ia tidak boleh melihat secara mutlak. Cukup sebatas yang diperlukan untuk mencegah keterpaksaan saja. KesimpulanSebagaimana hukum asalnya, bila ada dokter pria yang ahli, maka dialah yang wajib menjalankan pemeriksaan atas seorang pasien pria. Bila tidak ada, dokter pria non-muslim yang dipilih. Jika masih belum ditemukan, maka dokter wanita muslim yang melakukannya. Bila keberadaan dokter muslim tidak tersedia, bisa saja seorang dokter non-muslim yang menangani.Akan tetapi harus diperhatikan, dokter wanita yang melakukan pemeriksaan hanya boleh melihat tubuh pasien pria itu sesuai dengan kebutuhannya saja, yaitu saat menganalisa penyakit dan mengobatinya, serta harus menjaga pandangan. Dan juga, saat dokter wanita menangani pasien pria, maka pasien pria itu harus disertai mahram, atau istrinya, atau pria yang dapat dipercaya supaya tidak terjadi khalwat.Jadi akhlakul karimah yang wajib dimiliki seorang dokter muslim adalah5. Iman6. Ikhlas7. Ikhsan8. Etika dokter islami

4. bagaimana seorang dokter mengatasi penyakit pasien pada kasus dengan memperhatikan adab pemeriksaan lawan jenis sesui ikhsan?5. apakah dengan ditemani seorang perawat, seorang dokter dapat memeriksa bagian aurat pasien lawan jenis dan bagaimana cara mengatasinya?Pada hukum dasarnya, sentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram atau bukan suaminya sendiri, hukumnya haram.Namun bila ada hal-hal mendesak yang tidak mungkin dihindari serta tidak ditemukanya alternatif lain, untuk sementara hal-hal yang hukumnya haram bisa berubah sesaat. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah.Islam mensyariatkan, jika seseorang tertimpa penyakit maka ia diperintahkan untuk berusaha mengobatinya. Al-Qur`n dan as-Sunnah telah menetapkan syariat tersebut. Dan pada pelayanan dokter memang terdapat faedah, yaitu memelihara jiwa. Satu hal yang termasuk ditekankan dalam syariat Islam.Yang dimaksud ikhtilat, yaitu berduanya seorang lelaki dengan seorang perempuan di tempat sepi. Dalam hal ini menyangkut pergaulan antara sesama manusia, yang rambu-rambunya sangat mendapat perhatian dalam Islam. Yaitu berkait dengan ajaran Islam yang sangat menjunjung tinggi keselamatan bagi manusia dari segala gangguan. Terlebih lagi dalam masalah mu'amalah (pergaulan) dengan lain jenis. Dalam Islam, hubungan antara pria dan wanita telah diatur dengan batasan-batasan, untuk membentengi gejolak fitnah yang membahayakan dan mengacaukan kehidupan. Karenanya, Islam telah melarang pergaulan yang dipenuhi dengan ikhtilat (campur baur antara pria dan wanita).Hukum asalnya, apabila ada dokter umum dan dokter spesialis dari kaum Muslimah, maka menjadi kewajiban kaum Muslimah untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Meski hanya sekedar keluhan yang paling ringan, flu batuk pilek sampai pada keadaan genting, semisal persalinan ataupun jika harus melakukan pembedahanBila memang dalam keadaan darurat dan terpaksa, Islam memang membolehkan untuk menggunakan cara yang mulanya tidak diperbolehkan. Selama mendatangkan maslahat, seperti untuk pemeliharaan dan penyelamatan jiwa dan raganya.Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak. Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus bertemu dan berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di kamar praktek atau ruang periksa.

Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bz rahimahullah untuk pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan, dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat wanita, meskipun sudah ada perawat wanita umpamanya- maka keberadaan suami atau wanita lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik untuk menjauhkan dari kecurigaan.6. apakah perbedaan mengenai adab pemeriksaan terhadap lawan jenis yang sudah menikah atau belum menikah?(Syarat-syaratnya), yaitu tidak dijumpai adanya dokter wanita muslimah yang sanggup menangani penyakitnya, dokter tersebut sorang muslim lagi bertakwa, dan pasien wanita itu didampingi oleh mahramnya.Lajnah da-imah, merumuskan hal itu. Jadi tidak ada perbedaan adab pemeriksaan antar paasien single maupun yg sudah menikah. Semua tetap harus didampingi oleh mahramnya. Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak. Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus bertemu dan berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di kamar praktek atau ruang periksa.

Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bz rahimahullah untuk pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan, dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat wanita, meskipun sudah ada perawat wanita umpamanya maka keberadaan suami atau wanita lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik untuk menjauhkan dari kecurigaan. Ketik Syaikh Shalih al-Fauzan ditanya mengenai hukum berobat kepada dokter yang berbeda jenisnya, beliau menjelaskan : Seorang wanita tidak dilarang berobat kepada dokter pria, terlebih lagi ia seorang spesialis yang dikenal dengan kebaikan, akhlak dan keahliannya. Dengan syarat, bila memang tidak ada dokter wanita yang setaraf dengan dokter pria tersebut. Atau karena keadaan si pasien yang mendesak harus cepat ditolong, (karena) bila tidak segera, penyakit (itu) akan cepat menjalar dan membahayakan nyawanya. Dalam masalah ini, perkara yang harus diperhatikan pula, dokter tersebut tidak boleh membuka sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali sebatas yang diperlukan dalam pemeriksaan. Dan juga, dokter tersebut adalah muslim yang dikenal dengan ketakwaannya. Pada situasi bagaimanapun, seorang muslimah yang terpaksa harus berobat kepada dokter pria, tidak dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali harus disertai oleh salah satu mahramnya".7. apakah seorang dokter diperbolehkan memeriksa bagian aurat pasien yang berlawanan jenis menurut hukum islam? Berikan alasan jika ya atau tidak!Adab-adab pemeriksaan seorang dokter terhadap lawan jenisnya. Seorang pasien wanita dierbolehkan untuk pergi ke dokter pria atau sebaliknya dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :1. bila memang tidak ada dokter wanita yang setaraf dengan dokter pria tersebut,ataupun sebaliknya2. Atau karena keadaan si pasien yang mendesak harus cepat ditolong, (karena) bila tidak segera, penyakit (itu) akan cepat menjalar dan membahayakan nyawanya. Dalam masalah ini, perkara yang harus diperhatikan pula : dokter tersebut tidak boleh membuka sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali sebatas yang diperlukan dalam pemeriksaan. dokter tersebut adalah muslim yang dikenal dengan ketakwaannya. Pada situasi bagaimanapun, seorang muslim yang terpaksa harus berobat kepada dokter pria tidak dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali harus disertai oleh salah satu mahramnya.Sehingga kita bisa menarik kesimpulan bahwa seorng dokter dapat memeriksa pasien yang berlawanan jenis jika:1. meminta izin terlebih dahulu kepada pasien sebelum melakukan pemeriksaan2. pasien mengetahui tujuan dari pemeriksaan itu3. pasien wanita atau pria harus ditemani oleh mahromnya. Begitu pula bagi dokter harus ditemani oleh perawat4. melakukan pemeriksaan hanya meurut kepentingan pemeriksaan5. dokter yang melakukan pemeriksaan harus seorang muslim. Jika tidak ada, diperbolehkan kepada dokter non muslimTidak diperbolehkan jika:1. dokter tersebut membuka aurat pasien untuk diperiksa sedangkan hal tersebut tidak diperlukan dalam pemeriksaan.2. dokter tersebut bukan seorang muslim.3. seorang pasien wanita tidak didampingi oleh mahramnya (ataupun sebaliknya). Begitu pula seorang dokter pria harus didampingi perawat laki-laki juga (ataupun sebaliknya).Menurut kaidah fiqhiyah, Adh-Dharuratul Tubihul Malhdzurat,sesuatu yang darurat itu bisa membolehkan larangan. namun hal tersebut sifatnya lokal, sementara, parsial dan seperlunya saja. Begitu kadar kedaruratannya hilang, maka hukum keharamannya kembali lagi. Sesuai dengan kaidah Adh-dharuratu Tuqaddar bi Qadriha, Sesuatu yang darurat itu harus diukur sesuai kadarnya.8. perlukah seorang pasien ditemani oleh muhrimnya pada sat berobat, di lihat dari kasus ini?9. apakah seorang dokter dapat memeriksa aurat pasien lawan jenis bila ditemani dengan perawat sejenis atau lawan jenis?Islam menentukan bahwa setiap manusia harus menghormati manusia yang lainnya, karena Allah sebagai khalik sendiri menghormati manusia, sebagai mana di jelaskan Allah dalamsuratAl Isra :70.Maka dokter maupun paramedis haruslah tidak memaksakan sesuatu kepada pasien, segala tindakan yang harus mereka kerjakan haruslah dengan suka rela dan atas keyakinan. Untuk pemeriksaan dokter dalam menegakkan diagnosa penyakit, maka dokterberkhalwat, melihat aurat, malah memeriksa luar dalam pasien dibolehkan hanya didasarkan pada keadaan darurat, sebagai yang dijelaskan oleh qaidah ushul fiqih yang berbunyi : yang darurat dapat membolehkan yang dilarang.Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum.Adakaidah Idzaa dhoogal amr ittasi(jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: Kondisi darurat menjadikan sesuatu yang haram menjadi mubah.Berbicara mengenai kaidah fiqhiyyah tentang darurat maka terdapat dua kaidah yaitukaidah pokok dan kaidah cabang. Kaidah pokok disini menjelaskan bahwa kemudharatan harus dilenyapkan yang bersumber dariQ.S Al- Qashash : 77), contohnya meminum khamar dan zat adiktif lainnya yang dapat merusak akal, menghancurkan potensi sosio ekonomi, bagi peminumnyakanmenurunkan produktivitasnya. Demikian pula menghisap rokok, disamping merusak diri penghisapnya juga mengganggu orang lain disekitarnya.Paraulama menganggap keadaan darurat sebagai suatu kesempitan, dan jika kesempitan itu datang agama justru memberikan keluasan.Namun darurat itu bukan sesuatu yang bersifatrutindangampangdilakukan. Umumnya darurat baru dijadikan pilihan manakala memang kondisinya akan menjadikritis dantidak ada alternatiflain. Itu pun masih diiringi dengan resiko fitnah dan sebagainya.Akan tetapi, untuk mencegah fitnah dan godaan syaitan maka sebaiknya sewaktu dokter memeriksa pasien dihadiri orang ketiga baik dari keluarga maupun dari tenaga medis itu sendiri.Akan lebih baik lagi jika pasien diperiksa oleh dokter sejenis, pasien perempuan diperiksa oleh dokter perempuan dan pasien laki-laki diperiksa oleh dokter laki-laki. Karena dalam dunia kedokteran sendiri banyak cerita-cerita bertebaran di seluruh dunia, di mana terjadi praktek asusila baik yang tak sejenis hetero seksual, maupun yang sejenis homoseksual antara dokter dan pasien.Dalam batas-batas tertentu, mayoritas ulama memperbolehakan berobat kepada lawan jenis jika sekiranya yang sejenis tidak ada, dengan syarat ditunggui oleh mahram atau orang yang sejenis. Alasannya, karena berobat hukumnya hanya sunnah dan bersikap pasrah (tawakkal) dinilai sebagai suatu keutamaan (fadlilah). Ulama sepakat bahawa pembolehan yang diharamkan dalam keadaan darurat, termasuk pembolehan melihat aurat orang lain,ada batasnya yang secara umum ditegaskan dalam al-quran ( Q.S Al-baqarah : 173; Al-anam :145 ;An-nahl : 115) dengan menjauhi kezaliman dan lewat batas.Dalam pengobatan, kebolehan hanya pada bagian tubuh yang sangat diperlukan, karena itu, bagian tubuh yang lain yang tidak terkait langsung tetap berlaku ketentuan umum tidak boleh melihatnya. Namun, untuk meminimalisir batasan darurat dalam pemeriksaan oleh lawan jenis sebagai upaya sadd al-Dzariat (menutup jalan untuk terlaksananya kejahatan), disarankan disertai mahram dan prioritas diobati oleh yang sejenis.Pembolehan dan batasan kebolehanya dalam keadaan darurat juga banyak disampaikan oleh tokoh madzhab. Ahmad ibn Hanbal, tokoh utama mazhab hanbali menyatakan boleh bagi dokter/ tabib laki-laki melihat aurat pasien lain jenis yang bukan mahram khusus pada bagian tubuh yang menuntut untuk itu termasuk aurat vitalnya, demikian pula sebaliknya, dokter wanita boleh melihat aurat pasien laki-laki yang bukan mahramnya dengan alasan tuntutan.Di Indonesia, dalam fatwa MPKS disebutkan, tidak dilarang melihat aurat perempuan sakit oleh seorang dokter laki-laki untuk keperluan memeriksa dan mengobati penyakitnya. Seluruh tubuhnya boleh diperiksa oleh dokter laki-laki, bahkan hingga genetalianya, tetapi jika pemeriksaan dan pengobatan itu telah mengenai genitalian dan sekiatarnya maka perlu ditemani oleh seorang anggota keluarga laki-laki yang terdekat atau suaminya. Jadi, kebolehan berobat kepada lain jenis dopersyaratkan jika yang sejenis tidak ada. Dalam hal demikian, dianjurakan bagi pasien untuk menutup bagian tubuh yang tidak diobati. Demikian pula dokter atau yang sejenisnya harus membatasi diri tidak melihat organ pasien yang tidak berkaitan langsung.

Referensihttp://lhiezainternisti.blogspot.com/ Pustaka [6]A. sihabuddin.Telaah kritis atas doktris faham salafi/wahabi(www.google.com , 2009) [7]Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2(Jakarta,2003), hal. 108. [8]Dr. H. Yurnalis Uddin,Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta, 1995), hal. 122. [9]Dr. H. Yurnalis Uddin,Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta, 1995), hal. 122 dan 125. [10]Zuhroni, dkk,Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2(Jakarta,2003), hal. 130. [11]Zuhroni, dkk,Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2(Jakarta,2003), hal. 132. [12]Zuhroni, dkk,Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2(Jakarta,2003), hal. 133. Wikipedia bahasa Indonesia,ensiklopedia bebas. E-book iMuslim [1]. Lihat ath-Thuruq Hukmiyah, hlm. 407.[2]. Syarhu Shahh Muslim.[3]. Hadits shahh diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan lainnya. Lihat ash-Shahhah (226), Shahhul-Jami' (5045).[4]. Al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, hlm. 230.[5]. Fatwa Lajnah D-imah, no. 4671. Dinukil dari al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha.[6]. Al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha 228-229[7]. Ibid.[8]. Lihat Fatwa, Syaikh Shalih al-Fauzan, Jilid 5.[9]. Fatwa Lajnah D-imah no. 3507. Dinukil dari al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, hlm. 242.[10]. Lihat Fatwa wa Rasail Ibni Utsaimin, Jilid 12.

Maraji`: 1. Al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, Pengantar Syaikh 'Abdul-'Aziz bin 'Abdullah Alu Syaikh, Darul-Muayyad, Cetakan I, Tahun 1424 H. 2. Fatwa, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. 3. Fatwa, Syaikh Shalih al-Fauzan. 4. Fatwa wa Maqalat, Syaikh Bin Baz. 5. Fiqhun-Nawazil, Dr. Muhammad bin Hasan al-Jizani, Darul-Ibnil-Jauzi, Cetakan I, Tahun 1426-2005. 6. Majalah Mujamma`, Juz 3.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

id.answers.yahoo.commajalah as-sunnah ed.5 tahun xI 1428 hijriah 2007 masehi. Diterbitkan. Yayasan lajnah istiqomah surakarta.