laporan sek 3 blok 4
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju,
khususnya pada bidang obat-obatan, saat ini telah banyak ditemukan berbagai
jenis obat. Namun, saat ini banyak persepsi masyarakat yang salah mengenai
obat. Masyarakat menilai, obat adalah bahan yang digunakan untuk
menyembuhkan atau menghilangakan rasa sakit. Sesungguhnya obat adalah
senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit
atau gangguan atau menimbulkan suatu kondisi tertentu yang justru merugikan
pengguna obat. Ilmu mengenai cara membuat, memformulasikan, menyimpan,
dan menyediakan obat disebut farmasi. Sedangkan farmakologi adalah ilmu
mengenai pengaruh senyawa (dalam ilmu kedokteran disebut obat) terhadap sel
hidup, lewat proses kimia khususnya lewat reseptor.
Dalam ilmu farmakologi difokuskan pada 2 sub disiplin yaitu
farmakokinetik dan farmakodinamik. Farmakokinetik adalah hal-hal yang dialami
obat yang diberikan pada suatu makhluk hidup, yang meliputi absorbsi,
distribusi, biotransformasi, dan ekskresi. Farmakodinamik adalah pengaruh obat
terhadap sel hidup, organ, atau makhluk, secara keseluruhan erat berhubungan
dengan fisiologi, biokimia, dan patologi. Sedangkan farmakogenetik adalah
pengaruh faktor genetik individu terhadap metabolisme obat dalam tubuh.
Oleh karena itu, dalam proses metabolisme obat dalam tubuh
dipengaruhi ketiga hal tersebut, sehingga dapat dimungkinkan antar individu
akan memberikan respon yang berbeda terhadap obat yang sama. Seperti kasus
dalam skenario 3 berikut ini:
Ny. S, 30 tahun, obese, dirawat di RS. Penderita tidak bisa tidur, muntah-
muntah, diare, serta kulit terlihat merah dan gatal-gatal. Sebelumnya, selama
satu minggu Ny. S mengkonsumsi obat teh pelangsing yang diminum sebelum
makan. Ny. S masih menyusui. Anak yang disusui juga menderita muntah, gatal,
dan gelisah (rewel).
Pemeriksaan klinis pada Ny. S didapatkan: kulit kemerahan, berat badan
80 kg, tinggi 150 cm, tensi 110/70 mmHg. Pemeriksaan laboraturium: SGOT 125
IU (normal: 40 IU); SGPT 200 IU (normal: 40 IU).
Teman Ny. S juga minum obat serupa, dan dapat menurunkan berat
badan, tetapi tidak ada keluhan berarti.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa terjadi tanda klinis pada Ny S? Adakah hubungannya dengan
obat yang diminum pasien?
2. Mengapa respon tiap orang terhadap suatu obat berbeda-beda?
3. Apa hubungan SGOT dan SGPT yang meningkat dengan obat teh
pelangsing?
4. Bagaimana farmakokinetik dan farmakodinamik obat?
C. Tujuan
1. Mampu menjelaskan konsep farmakodinamik yang meliputi proses
interaksi obat, hubungan antara dosis dan respon, serta reaksi obat yang
tidak diinginkan
2. Mampu menjelaskan konsep farmakokinetik yang meliputi absorbsi,
distribusi, biotransformasi, dan ekskresi.
3. Mampu menjelaskan farmakogenetik yang terkandung beberapa hal
antara lain enzim-enzim yang terlibat dalam katabolisme obat , variasi
genetik gen penyandi enzim yang mendegradasi obat, dan implikasi klinis
polimorfisme
4. Mampu merencanakan tindakan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif untuk penyakit metabolisme dan nutrisi
D. Manfaat
1. Mengetahui dasar konsep farmakologi yang meliputi farmakokinetik,
farmakodinamik dan farmakogenetik
2. Mengetahui tindakan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif pada
penyakit metabolisme obat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. FARMAKOKINETIK
Absorbsi
Absorbsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah. Tempat pemberian obat dapat dilakukan pada saluran cerna (mulut
sampai dengan rectum), kulit, paru, otot dan lain-lain. Yang terpenting adalah cara
pemberian obat melalui per oral, dengan cara ini tempat absorbsi obat utama
adalah usus halus karena memiliki permukaan absorbsi yang sangat luas yaitu 200
m2.
Pemberian onbat dibawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam
lemak, karena, luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan
diabsorpsi sangat cepat, missal nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung ke
vena kava superior dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan
sublingual ini tidak mengalami metabolisme lintas pertama oleh hati.
Pada pemberian obat melalui rectal, misalnya untuk pasien yang tidak sadar
atau muntah, hanya 50% darah dari rectum yang melalui vena porta sehingga
eliminasi lintas pertama oleh hati juga hanya 50%. Akan tetapi, absorpsi obat melalui
mukosa rectum seringkali tidak teratur dan tidak lengkap, dan banyak obat
menyebabkan iritasi mukosa rectum.
Dengan suntikan intramuscular atau subkutan, obat langsung masuk
interstisium jaringan otot atau kulit pembuluh darah kapiler darah sistemik.
Dinding pembuluh darah kapiler yang terdiri dari satu lapis sel endotel memiliki
celah antar sel yang cukup besar untuk melewatkan obat yang kebanyakan
mempunyai berat molekul antara 100 sampai 1000. obat yang larut lemak masuk ke
dalam darah kapiler dengan melintasi membrane sel endotel secara difusi pasif.
Hanya obat yang larut air masuk darah melalui celah antar sel endotel bersama air,
dengan kecepatan yang berbanding terbalik dengan besar molekulnya.
Absorpsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagian barier
absorpsi adalah membrane sel epitel saluran cerna, yang seperti halnya semua
membran sel di tubuh kita, merupakan lipid bilayer. Dengan demikian, agar dapat
melintasi membrane sel tersebut, molekul obat harus memiliki kelarutan lemak
(setelah lebih dulu larut dalam air). Kecepatan difusi berbanding lurus dengan
derajat kelarutan lemak molekul obat.
Kebanyakan obat merupakan elektrolit lemah, yakni asam lemah atau basa
lemah. Dalam air, elektrolit lemah ini akan terionsisasi menjadi bentuk ionnya.
Derajat ionisasi obat tergantung pada konstanta ionisasi obat dan pada pH dimana
larutan berada.
Untuk asam lemah, pH yang tinggi (suasana basa) akan meningkatkan
ionisasiny, dan mengurangi bentuk nonionnya, sebaliknya untuk basa lemah pH yang
rendah (suasana asam) akan meningkatkan ionisasinya. Hanya bentuk nonion yang
mempunyai kelarutan lemak, sehingga hanya bentuk nonion yang dapat diabsorpsi.
Oleh karena bentuk nonion dan bentuk ion berada dalam kesetimbangan, maka
setelah bentuk ion diabsorpsi, kesetimbangan akan bergeser ke arah bentuk nonion
sehingga absorpsi akan berjalan terus sampai habis.
Zat-zat makanan dan obat-obat yang strukturnya mirip makanan, yang tidak
dapat/sukar berdifusi pasif memerlukan transporter membrane untuk dapat
melintasi membrane agar dapat diabsorpsi dari saluran cerna maupun direabsorpsi
dari lumen tubulus ginjal. Secara garis besar terdapat 2 jenis transporter untuk obat
yaitu transporter untuk efflux atau eksport obat disebut ATP-Binding Cassette
Transporter terdiri dari P-glikoprotein dan Multidrug Resistance Proteins. Yang
terakhit yaitu transporter untuk uptake obat yang terdiri dari Organic anion
transporting polypeptide A-C 8, Organic anion transporter 1-4 dan Organic Cation
transporter 1-2.
Distribusi
Dalam darah obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan
seperti ikatan hidrofobik, van der waals, hydrogen dan ionic. Protein plasma terdiri
dari albumin, yang mengikat obat-obat asam, obat-obat netral, bilirubin dan asam-
asam lemak. Albumin memiliki 2 tempat ikatan yaitu site I yang mengikat warfarin,
fenilbutazon, fenitoin, asam valproat, tolbutamid, sulfonamid, dan bilirubin dan site
II mengikat diazepam dan benzodiazepine lainnya, dan asam-asam karboksilat,
penisilin dan derivatnya. Protein plasma lainnya adalah α-glikoprotein yang
mengikat obat-obat basa, CBG yang mengikat kortikosteroid dan SSBG yang
mengikat hormone kelamin.
Obat yang terikat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke seluruh
tubuh. Kompleks obat-protein terdisosiasi dengan sangat cepat. Obat bebas akan ke
luar ke jaringan ke tempat kerja obat, ke jaringan tempat depotnya, ke hati dan ke
ginjal.
Di jaringan, obat yang larut air akan tetap berada di luar sel (cairan
interstisial), sedangkan obat yang larut lemak akan berdifusi melintasi membrane sel
dan masuk ke dalam sel, tetapi karena perbedaan pH di dalam sel dengan di luar sel
maka obat-obat asam lebih banyak diluar sel sedangkan obat-obat basa di dalam sel.
Ikatan dengan protein plasma kuat untuk obat yang lipofilik dan lemah
untuk obat yang hidrofilik. Ikatan dengan protein plasma ini terutama penting untuk
obat-obat yang lipofilik agar dapat di bawah oleh darah ke seluruh tubuh karena
obat lipofilik jika tidak terikat protein akan segera berdifusi ke luar dari pembuluh
darah.
Metabolisme Obat
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di RE (Mikrosom)
dan sitosol. Tempat metabolism yang lain (Ekstrahepatik) yaitu: dinding usus,
ginjal, paru, darah, otak, kulit, dan juga flora usus.
Tujuan metabolisme adalah mengubah obat yang nonpolar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) sehingga dapat dieksresikan melalaui ginjal.
Setelah dimetabolisme obat bisa menjadi inaktif, lebih aktif, kurang aktif,
atau menjadi toksik.
Reaksi metabolisme terdiri dari dua fase yaitu reaksi fase I dan fase II.
1. Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. Pada fase ini
obat dibubuhi gugus polar seperti : gugus hidroksil, karboksil, amino,
dsb sehingga menjadi polar dan akibatnya obat menjadi inaktif,
kurang aktif, atau ,lebih aktif. Reaksi metabolisme yang terpenting
adalah oksidasi oleh enzim cytocrhome P450 (CYP).
2. Reaksi fase II merupakan konjugasi dengan substrat endogen : asam
glukoronat, asam sulfat, asam asetat,atau asam amino. Obat akan
menjadi sangat polar dan akibatnya obat akan menjadi inaktif. Reaksi
fase II yang terpenting adalah glukuronidasi melalui enzim UDP-
glukuroniltransferase (UGT) yang terutama terjadi di mikrosom hati.
Obat dapat mengalami reaksi fase I dan II, fase I saja, atau fase II saja.
Obat yang sudah memiliki gugus polar tidak perlu mengalami reaksi fase I.
Obat yang sudah mengalami reaksi fase I sudah cukup polar untuk
dieksresikan melalui ginjal.
Jika enzim mengalami kejenuhan pada kisaran dosis terap, maka pada
peningkatan dosis obat akan terjadi lonjakan kadar obat dalam plasma, yang
disebut farmakokinetik nonliniear.
Interaksi dalam metabolism berupa induksi atau inhibisi enzim
metabolism, terutama enzim CYP. Induksi berarti peningkatan sintesis enzim
metabolism pada tingkat transkripsi sehingga terjadi peningkatan kecepatan
metabolism obat yang menjadi substrat enzim yang bersangkutan, akibatnya
diperlukan peningkatan dosis obat tersebut, berarti terjadi toleransi
farmakokinetik.
Metabolisme obat akan terganggu pada pasien penyakit hati seperti
sirosis, hati berlemak, dan kanker hati.
Enzim-enzim metabolisme mencapai kematangan setelah tahun
pertama kehidupan, kecuali enzim UGT untuk bilirubin (UGT1A1) mencapai
nilai dewasa pada dekade kedua kehidupan.
Ekskresi
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui
ginjal dalam bentuk utuh atau bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh
merupakan cara eliminasi obat melalui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3
proses yaitu filtrasi glomelurus, sekeresi aktif di tubulus proksimal dan reabsorpsi
pasif di sepanjang tubulus.
Filtrasi glomelurus menghasilkan ultrafiltrat yakni plasma minus protein, jadi
semua obat bebas akan keluar dalam ultrafiltrat sedangkan yang terilat protein
tetap tinggal dalam darah. Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal
terjadi melalui transporter membrane P-gp dan MRP yang terdapat di membrane sel
epitel dengan selektivitas berbeda, yakni MRP untuk anion organic dan konyugat
dan P-gp untuk kation organic dan zat netral.
Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk nonion obat yang
larut lemak. Oleh karena derajat ionisasi bergantung pada pH larutan maka hal ini
dimanfaatkan untuk mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam
atau basa.
Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi ginjal.
Pengurangan fungsi dapat dihitung berdasarkan pengurangan klirens kreatinin.
Dengan demikian pengurangan dosis obat pada gangguan fungsi ginjal dapat
dihitung.
Ekskresi obat yang penting lainnya adalah melaui empedu ke dalam usus
dan keluar bersama feses. Transporter membran P-gp dan MRP terdapat di
membran kanalikulus sel hati da mensekresi aktif obat-obat dan metabolit ke dalam
empedu dengan selektivitas berbeda, yakni MRP untuk anion organic dan konyugat
dan P-gp untuk kation organic, steroid, kolesterol dan garam empedu. P-gp dan MRP
juga terdapat di membrane sel usus maka sekresi langsung obat dan metabolit dari
darah ke lumen usus juga terjadi.
Ekskresi dalam ASI, saliva , keringat dan air mata secara kuantitatif tidak
besar. Ekskresi ini bergantung pada difusi pasif dari bentuk nonion yang larut lemak
melalui sel epitel kelenjar dan pada pH. Ekskresi dalam ASI meskipun sedikit, penting
artinya karena dapat menimbulkan efek samping pada bayi yang menyusu pada
ibunya. ASI lebih asam daripada plasma, maka lebih banyak obat-obat basa dan
lebih sedikit obat-obat asam terdapat dalam ASI daipada dalam plasma. Kadar obat
dalam saliva sama dengan kadar obat dalam darah sehingga saliva bisa digunakan
untuk mengukur kadar obat dalam plasma bila darah sukar didapat.
B. FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik menjelaskan mengenai nasib obat di dalam tubuh. Tujuan
mempelajari farmakodinamik adalh untuk meneliti efek utama obat, mengetahui
interaksi obat dalam sel, dan mengetahui urutan peristiwa efek dan respon yang
terjadi (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
1. Interaksi Langsung
Terjadi apabila dua obat atau lebih bekerja pada tempat atau reseptor
yang sama, atau bekerja pada tempat yang berbeda tetapi dengan hasil
efek akhir yang sama atau hampir sama.
2. Interaksi Tidak Langsung
Terjadi bila obat presipitan punya efek yang berbeda dengan obat obyek,
tetapi efek obat presipitan tersebut akhirnya dapat mengubah efek obat
obyek.(Ganiswarna, et al., 1995)
C. FARMAKOGENETIK
Farmakogenetik merupakan studi tentang respon seseorang yang berbeda
dari suatu obat karena genetik yang dimilki. Farmakogenetik ini untuk memahami
bagaimana komponen genetik seseorang yang menentukan seberapa baiknya kerja
obat terhadap tubuh mereka. Selain itu hal ini bertujuan supaya membuat obat per
individu. Farmakogenetik bisa didiskripsikan sebagai obat secara personal (Dono,
2008).
D. FARMAKOTERAPI
1.Isoniazid(INH)
INH menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting
dinding sel mikobakterium. Di hati, INH terutama mengalami asetilasi, dan pada
manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik. INH dapat
menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis
multilobular. Penderita yang mendapat INH hendaknya selalu diamati dan dinilai
kemungkinan adanya gejala hepatitis, kalau perlu dilakukan pemeriksaan SGOT. Efek
nonterapi INH dapat dicegah dengan pemberian piridoksin dan pengawasan yang
cermat. Untuk tujuan terapi, INH harus diberikan dengan obat lain. Untuk
pencegahan, dapat diberikan tunggal.
2.Rifampicin
Rifampicin aktif terhadap sel yang bertumbuh. Kerjanya menghambat DNA-
dependent RNA polymerase dari mikobakteria dan mikroorganisme lain. Rifampicin
jarang menimbulkan efek nonterapi, namun pada penderita penyakit hati kronik,
alkoholisme, dan usia lanjut insidensi ikterus bertambah. Rifampicin tampaknya
meningkatkan hepatotoksisitas INH teutama pada asetilator lambat.
(Ganiswara,et.al,2001).
Efek sampingnya yang terpenting tetapi tidak sering terjadi adalah penyakit
kuning (icterus), terutama bila dikombinasikan dengan INH yang juga agak toksis
bagi hati. Pada penggunaan lama, dianjurkan untuk memantau fungsi hati secara
periodik. Obat ini agak sering juga menyebabkan gangguan saluran cerna seperti
mual, muntah, sakit ulu hati, kejang perut dan diare, begitu pula gejala gangguan
SSP dan reaksi hipersensitasi (Tjay, 2003)
3.Etambutol
Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Jika ada efek nonterapi,
biasanya berupa gangguan penglihatan, dan peningkatan kadar asam urat darah.
Efek nonterapi ini mungkin diperkuat oleh INH dan piridoksin.
4.Pirazinamid
Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Gejala pertama
adalah peningkatan SGOT dan SGPT. Jika jelas timbul kerusakan hati, terapi dengan
pirazinamid harus dihentikan. (Ganiswara et.al., 2001).
E. Faktor Pengaruh Respon Tubuh Terhadap Kerja Obat
Adanya perbedaan kerja obat karena farmakogenetik disebabkan karena :
1. Adanya perbedaan individual baik jumlah reseptor maupun affinitas obat untuk
dapat terikat pada reseptor tersebut.
2. Adanya perbedaan pola absorpsi, distribusi, biotransformasi maupun ekskresi
obat, hingga dosis yang sama dapat menyebabkan berbedanya kadar obat
dalam plasma pasien bersangkutan. Perbedaan genetik ini biasanya disebabkan
polimorfismus enzim-enzim tertentu, di mana terbentuk isoenzim dengan
aktivitas enzim yang berbeda.
3. Selain farmakogenetik, aspek farmakokinetik, makanan dan minuman, keadaan
penyakit, dan kontak dengan senyawa kimia tertentu juga mempengaruhi
perbedaan respon tubuh terhadap kerja obat yang berbeda terhadap masing-
masing individu. (Widianto, 1985).
BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario di atas, seorang pasien Ny.S mengkonsumsi obat teh pelangsing
yang diminum selama 1 minggu. Pasien tersebut kemudian mengalami muntah-muntah,
diare, tidak bisa tidur serta kulit terlihat merah dan gatal-gatal yang disebabkan
penggunaan obat teh pelangsing tersebut. Dengan pemberian obat yang sama, seorang
pasien lainnya tidak mengalami gejala atau tanda klinis yang sama.
Adanya perbedaan efek obat antar penderita itu bisa diakibatkan oleh variasi
genetik penderita yang termanifestasi sebagai variasi dalam hal enzim metabolisme obat
dan tempat obat bereaksi, berupa reseptor, enzim atau transporter. Selama ini
diperkirakan bahwa perbedaan dalam kapasitas metabolisme obat masing-masing
individu disebabkan oleh perbedaan struktur gen tunggal (monogenic), dan efek
farmakokinetik dari obat. Namun demikian, secara keseluruhan efek farmakologik suatu
pengobatan tidaklah bersifat monogenic, akan tetapi lebih merupakan efek gabungan
dari beberapa gen yang menyandi protein atau enzim-enzim yang bertanggung jawab
terhadap jalur metabolisme obat, disposisi, dan responnya.
Beberapa penyebab lain seperti patogenisitas, keparahan suatu penyakit,
interaksi obat, umur, status gisi, fungsi ginjal dan hati, juga menjadi faktor berbagai
perbedaan dalam efek dan respon obat. Berbagai faktor tersebut diatas, seperti kelainan
bawaan yang menyebabkan perbedaan dalam respon obat, dan perbedaan
polimorfisme secara genetik dalam target obat (reseptor obat), telah diketahui dapat
berpengaruh besar terhadap hasil pengobatan dan toksisitas obat.
Pada kasus dalam skenario disebutkan bahwa hasil pemeriksaan SGOT (125 IU)
dan SGPT (200 IU) Ny. S mengalami kenaikan dari normal (40 IU). SGOT (Serum Glutamic
Oxaloacetic Transaminase) mengandung aspartat transaminase dan SGOT akan
meningkat apabila terjadi gangguan kerusakan jaringan (infark miokardium) dan radang
hati. SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) mengandung alanin transaminas dan
SGPT akan meningkat pada gangguan mononukleosis infeksiosa dan radang hepatik. Dari
skenario diatas, SGOT dan SGPT meningkat karena adanya gangguan sistemik yang
terjadi akibat dari konsumsi obat teh pelangsing tersebut.
Obat mengalami proses farmakokinetik dalam tubuh meliputi : liberasi, absorpsi,
distribusi, metabolisme atau biotransformasi, dan ekskresi. Dalam biotransformasi obat
yang bersifat lipofilik supaya dapat menembus membran intestinal diubah menjadi
hidrofilik oleh hepatosit lewat proses biokimiawi yang melibatkan jalur oksidatif utama
enzim sitrokom P -450 sehingga dapat diekskresikan keluar tubuh. Hati menjadi
reservoar sebagian besar obat-obatan yang diabsorpsi tubuh. Banyak reaksi
hepatoseluler melibatkan sistem enzim sitokrom P-450 yang mengandung heme dan
dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim yang tak punya peran. Kompleks
enzim-obat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan
sebagai imunogen sasaran serangan sel T sitotoksik, merangsang respon imun multifaset
dan berbagai sitokin ( Sudoyo et al, 2006).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda terhadap obat yang
digunakan tergantung pada faktor penderita yaitu umur, berat badan,
luas permukaan badan, jenis kelamin, ras, genetik, sensivitas individual,
dan obesitas.
2. Alergi dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
3. Obesitas dapat berpengaruh pada fatty liver sehingga terjadi penimbunan
lemak yang berada di hati yang menyebabkan metabolisme obat
terganggu.
4. Farmakokinetik meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.
B. Saran
1. Bila muncul efek samping dari suatu obat turunkan dosisnya jika masih
dimungkinkan, namun bila efek samping tetap muncul maka yang harus
dilakukan adalah segera hentikan dan ganti dengan obat lainnya yang
memiliki kesamaan fungsi namun tidak mengandung bahan yang
mengakibatkan efek samping yang sama dengan obat sebelumnya.
2. Penggunaan obat mengikuti pola therapetik rasional sesuai motto
Farmakoterapi : Memilih obat yang tepat dan cara penggunaan yang
tepat, Dosis regimen yang tepat, BSO yang efektif, Waktu yang tepat,
Pada penderita yang tepat, faktor obat disesuaikan faktor penderita.
3. Therapi dengan obat berguna untuk profilaktik, simptomatik, kausatif.
Ketiga-tiganya harus dipilih secara tepat, digunakan sesuai motto
farmakoterapi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008 . Interaksi Obat Dalam Klinik. http://www.farklin.com.
Dorland, W.A. Newman. 2005. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Universitas Indonesia.
Kustiwinarni. 2008. Kuliah Penunjang: Metabolisme Purin dan Pirimidin.
Surakarta: Fakultas Kedokteran UNS.
Nungki. 2008. Farmakogenomik - Disposisi Obat, Target Obat dan Efek
Samping Obat.
http://biotekfaunsoed.wordpress.com/2008/04/11/farmakogenomik-
disposisi-obat-target-obat-dan-efek-samping-obat/.
Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 4 jilid I & III.
Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Tjay, Tan Hoan., Rahrdja, Kirana. 2007. Obat – obat Penting Khasiat,
Penggunaan, dan Efek – efek Sampingnya. Jakarta: Gramedia