laporan penelitiaan kuliah kerja kesehatan masyarakat

53
BAB I IDENTIFIKASI PRIORITAS MASALAH KESEHATAN A. Gambaran Lokasi Praktek Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat (K3M) 1. Profil Kabupaten Cilacap a. Keadaan Geografis Kabupaten Cilacap memiliki daerah yang cukup luas terletak di ujung barat bagian selatan Propinsi Jawa Tengah dengan batas-batas : Barat : Kabupaten Ciamis (Propinsi Jawa Barat) Utara : Kabupaten Brebes dan Banyumas Timur : Kabupaten Kebumen Selatan : Samudra Indonesia Terletak di antara 108 o 4’ 30” – 109 o 30’ 30” garis bujur timur dan 7 o 30’ – 7 o 45’ 20” garis lintang selatan, dengan luas wilayah 225.361 Ha termasuk Pulau Nusakambangan seluas 11.511 Ha atau sekitar 6,94 % dari luas Propinsi Jawa Tengah, dan terbagi dalam 24 Kecamatan. Daerah dengan permukaan tanah paling tinggi adalah Kecamatan Dayeuhluhur dengan ketinggian 198 M dari permukaan laut dan wilayah terendah adalah Kecamatan Cilacap Tengah dengan ketinggian 6 M dari permukaan laut. Adapun jarak terjauh 152 km, yaitu dari wilayah kecamatan Dayuehluhur ke wilayah kecamatan Nusawungu yang terbentang dari barat ke timur, sedangkan bentang jarak wilayah dari utara ke selatan 35 km yaitu dari wilayah kecamatan Sampang sampai dengan wilayah kecamatan Cilacap Selatan. b. Pertumbuhan Penduduk 1

Upload: fikadora

Post on 11-Jun-2015

3.796 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

BAB I

IDENTIFIKASI PRIORITAS MASALAH KESEHATAN

A. Gambaran Lokasi Praktek Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat (K3M)

1. Profil Kabupaten Cilacap

a. Keadaan Geografis

Kabupaten Cilacap memiliki daerah yang cukup luas terletak di ujung barat

bagian selatan Propinsi Jawa Tengah dengan batas-batas :

Barat: Kabupaten Ciamis (Propinsi

Jawa Barat)

Utara: Kabupaten Brebes dan

Banyumas

Timur : Kabupaten Kebumen

Selatan : Samudra Indonesia

Terletak di antara 108o 4’ 30” – 109o 30’ 30” garis bujur timur dan 7o 30’ – 7o 45’

20” garis lintang selatan, dengan luas wilayah 225.361 Ha termasuk Pulau

Nusakambangan seluas 11.511 Ha atau sekitar 6,94 % dari luas Propinsi Jawa

Tengah, dan terbagi dalam 24 Kecamatan. Daerah dengan permukaan tanah

paling tinggi adalah Kecamatan Dayeuhluhur dengan ketinggian 198 M dari

permukaan laut dan wilayah terendah adalah Kecamatan Cilacap Tengah

dengan ketinggian 6 M dari permukaan laut. Adapun jarak terjauh 152 km, yaitu

dari wilayah kecamatan Dayuehluhur ke wilayah kecamatan Nusawungu yang

terbentang dari barat ke timur, sedangkan bentang jarak wilayah dari utara ke

selatan 35 km yaitu dari wilayah kecamatan Sampang sampai dengan wilayah

kecamatan Cilacap Selatan.

b. Pertumbuhan Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Cilacap tahun 2007 sebanyak 1.730.569

jiwa dengan perincian Laki-laki 865.669 jiwa dan Perempuan 864.900 jiwa

dengan jumlah KK sebanyak 429.842.

Pada tahun 2006 jumlah penduduk Kabupaten Cilacap sebanyak

1.722.607 jiwa dengan perincian laki-laki 861.643 jiwa dan perempuan 860.964

jiwa, sedangkan tahun 2005 jumlah penduduk Kabupaten Cilacap sebanyak

1.717.273 jiwa yang terdiri dari laik-laki 859.278 jiwa dan perempuan 857.995

jiwa, dengan pertumbuhan penduduk per tahun 0.46 %, di banding pada tahun

2004 pertumbuhan penduduk turun 0,03 %.

c. Tingkat Pendidikan

1

Page 2: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam upaya

meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Di Kabupaten Cilacap jumlah

penduduk yang berusia di atas 5 tahun sebanyak 1.631.016 jiwa, sebagian

penduduk mempunyai tingkat pendidikan paling banyak adalah berpendidikan

SD sederajat sebanyak 876.126 jiwa, sedangkan urutan ke dua adalah

berpendidikan tidak/belum tamat SD sebanyak 432.470 jiwa dan urutan terakhir

adalah berpendidikan Universitas sejumlah 3.558 jiwa

d. Kepadatan Penduduk

Kepadatan Penduduk tahun 2007 sebesar 868,60 jiwa/km2. Kepadatan

Penduduk tahun 2006 sebesar 806,36 jiwa/km2. Sedangkan Kepadatan

Penduduk Tahun 2005 sebesar 803,03 jiwa/km2. Jumlah penduduk tahun 2007,

yang terpadat terdapat di Kecamatan Clacap Selatan yaitu 8.502 jiwa/km2

sedangkan pada tahun 2006, penduduk yang terpadat berada di Kecamatan

Cilacap Tengah yaitu sebesar 9653.23 jiwa/km2. Jumlah Penduduk tahun 2007

yang tingkat kepadatannya terendah, adalah Kecamatan Kampunglaut yaitu

sebesar 95 jiwa/km2.

e. Keadaan sosial ekonomi

Angka beban tanggungan (Dependency Ratio)merupakan alat untuk

mengukur beban tanggungan perekonomian di suatu wilayah, dependency ratio

penduduk Kabupaten Cilacap tahun 2007 sebesar 0,47 % , tertinggi terdapat di

Kecamatan Kampunglaut sebesar 0,58 %, dan angka ketergantungan terendah

di Kecamatan Cilacap Tengah sebesar 0,39 %.

2. Profil Kecamatan Jeruklegi

Puskesmas Jeruklegi I berada di wilayah Kecamatan Jeruklegi. Kecamatan

Jeruklegi memiliki 13 desa/kelurahan. Sebagian besar (50%) wilayah datar sampai

berombak, 35% wilayah berbukit dan bergunung sedangkan 10% berombak sampai

berbukit. Jarak kecamatan dengan ibukota kabupaten sejauh 17 km dengan lama

tempuh ± 30 menit. Wilayah ini mempunyai iklim panas dengan suhu maksimum

33oC dan suhu minimum 22oC. Jumlah curah hujan per tahun sebanyak 1.938 mm

dengan hari hujan 45 hari.

Dari data Kecamatan Jeruklegi tahun 2008 menunjukkan jumlah penduduk

sebanyak 61.518 jiwa dengan perincian laki-laki 31.327 jiwa (51%) dan perempuan

30.191 jiwa (49%). Jumlah kepala keluarga sebanyak 14.911 KK dan kepadatan

penduduknya sebesar 622 jiwa/km2.

2

Page 3: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Gambar 1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

data sekunder 2008

Tabel 2. Distribusi Penduduk Kecamatan Jeruklegi Berdasarkan Usia

Usia (tahun) Jumlah (orang)0 – 5 tahun 7.089 orang

6 – 15 tahun 13.634 orang17 – 25 tahun 11.553 orang26 – 55 tahun 19.460 orang

≥ 56 tahun 9.782 orang

Gambar 2 .Distribusi Penduduk Berdasarkan Usia

3

Page 4: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Sedangkan data berdasarkan data monografi penduduk Kecamatan Jeruklegi

tahun 2008, kelompok usia yang paling banyak adalah kelompok usia 26-55 tahun

kemudian pada urutan kedua adalah kelompok usia 6-15 tahun. Selanjutnya

kelompok ketiga, keempat dan kelima berturut-turut adalah kelompok usia dewasa

17-25 tahun, kelompok usia ≥ 56 tahun dan kelompok usia bawah lima tahun (0-5

tahun). Sebagian besar penduduk Jeruklegi bermatapencaharian sebagai buruh

industri dan bangunan serta petani (penderes gula kelapa).

3. Profil Puskesmas Jeruklegi I

Lokasi yang digunakan sebagai lahan praktek Kuliah Kerja Kesehatan

Masyarakat (K3M) mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM adalah Puskesmas

Jeruklegi I. Puskesmas Jeruklegi I merupakan salah satu dari dua puskesmas yang

ada di Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Puskesmas

Jeruklegi I terdiri dari tiga bangunan yaitu kantor serta rumah dinas kepala

puskesmas, ruang pendaftaran dan KIA, dan poliklinik. Puskesmas Jeruklegi I

menyediakan layanan kesehatan rawat jalan dan layanan rawat inap dapat dilakukan

dalam keadaan darurat.

Gambar 3. Peta Wilayah UPT Puskesmas Jeruklegi I

Ruang lingkup kerja Puskesmas Jeruklegi I seluas ± 47,56 km2, dengan batas-

batas:

Utara : Kecamatan wilayah Puskesmas Jeruklegi II Desa Cilibang

Timur : Kecamatan Kesugihan

Barat : Kecamatan Kawunganten

4

Page 5: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Selatan : Kecamatan Cilacap Utara

Wilayah kerja Puskesmas Jeruklegi I mencakup 7 desa, yaitu Jeruklegi Wetan,

Jeruklegi Kulon, Brebeg, Sumingkir, Tritih Wetan, Tritih Lor, dan Mandala. Jarak

tempuh terjauh ke arah barat adalah 20 km, yaitu Desa Brebeg dan ke arah timur

15 km, yaitu Desa Mandala.

4. Gambaran Umum Desa Tritih Wetan

Desa Tritih Wetan berada di wilayah Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap,

Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah Desa Trith Wetan adalah 451162 Ha. Desa

Tritih Wetan mempunyai tinggi tempat 10 mdl, curah hujan 21,75 Mm, suhu rata-rata

harian 28ºC. Desa ini terdiri dari 11 Rw dan 40 Rt. Batas wilayah Desa Tritih Wetan

adalah sebagai berikut:

Utara : Desa Tritih Lor dan Kuripan

Selatan : Desa Mertasinga dan Desa Menganti

Barat : Desa Tritih Kulon

Timur : Desa Kuripan dan Desa Menganti

Jumlah penduduk di Desa Tritih Wetan pada tahun 2008 sebanyak 10015 orang dan

jumlah rumah tangga sebanyak 2395 KK. Distribusi penduduk berdasar jenis

kelamin, laki-laki sebanyak 5051 orang dan perempuan sebanyak 4964 orang.

Sedangkan distribusi penduduk berdasar usia sebagai berikut :

Tabel 2. Distribusi Penduduk Desa Tritih Wetan Berdasarkan Usia Pada Thaun 2008

Usia (tahun) Jumlah (orang)0 – 12 bulan 186 orang1 – 10 tahun 1168 orang

11 – 20 tahun 1890 orang21 – 30 tahun 1549 orang31 – 40 tahun 1591 orang41 – 50 tahun 1487 orang51 – 58 tahun 806 orang

≥ 59 tahun 1336 orang

Pekerjaan penduduk Desa Tritih Wetan beragam, antara lain pedagang,

wiraswatsa, pengusaha, buruh tani, PNS, tukang batu, TNI Polri, kontraktor, dll.

Jumlah yang paling banyak adalah sebagai pedagang sedangkan yang paling sedikit

sebagai kontraktor.

Tabel 3.Mata pencaharian Penduduk Desa Tritih Wetan Pada Tahun 2008

No Mata Pencaharian Jumlah (orang)

1 Buruh tani 407

5

Page 6: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

2 Tani 364

3 Pedagang 483

4 PNS 146

5 TNI Polri 24

6 Penjahit 15

7 Montir 16

8 Sopir 13

9 Karyawan swasta 72

10 Kontraktor 3

11 Tukang kayu 41

12 Tukang batu 148

13 Buruh swasta 21

Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Masyarakat tahun 2008

menunjukkan bahwa pendidikan masyarakat di Desa Tritih Wetan bervariasi sebagai

berikut :

Tabel 4.Pendidikan Penduduk Desa Tritih Wetan Pada Tahun 2008

No Pendidikan Jumlah (orang)

1 Buta huruf -

2 Tidak tamat SD/sederajat 48

3 Tamat SD/sederajat 3529

4 Tamat SLTP 3023

5 Tamat SLTA 2432

6 Tamat D1 47

7 Tamat D2 221

8 Tamat D3 206

9 Tamat S1 128

10 Tamat S2 4

Tingkat pendidikan penduduk Desa Tritih Wetan beragam dari tidak tamat

SD/sederajat hingga tamat S2, selain itu di Desa Tritih Wetan sudah bebas buta

huruf. Tingkat pendidikan yang paling banyak adalah tidak tamat SD/sederajat,

sedangkan yang paling sedikit adalah tamat S2.

5. Kondisi dan Perilaku Kesehatan Masyarakat

a. Perilaku

6

Page 7: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Berdasarkan rapid assesmen dari 27 orang, sebanyak 51,85 % adalah perokok

b. Kesehatan Lingkungan

1) Jumlah rumah tangga yang memiliki WC 1749 orang, jumlah rumah tangga

yang menggunakan sumur gali 1275 rumah tangga, jumlah rumah tangga

yang menggunakan PAM 947 rumah tangga, jumlah rumah tangga yang

menggunakan sumur pompa 178 rumah tangga

2) Kebiasaan berobat penduduk bila sakit adalah sebagian kecil penduduk

berobat ke dukun, banyak penduduk berobat ke dokter/puskesmas, selain

itu banyak juga penduduk yang menggunakan obat tradisional

3) Pola makan penduduk adalah kebiasaan makan 3 x sehari

c. Gizi dan kesehatan

1) Masih ada balita yang menderita gizi buruk sebanyak 3 orang dari 540 balita,

sehingga jumlah gizi baik 537 orang

2) Balita yang sudah diimunisasi polio 3 sebanyak 80,5 %, balita yang

diimunisasi DPT-1 sebanyak 80,5 %, balita yang diimunisasi cacar sebanyak

77,9 %

3) Pengetahuan gizi ibu balita tentang ASI Eksklusif masih kurang, hal ini dapat

dilihat saat dilakukan rapid assesmen masih banyak ibu yang belum

memberikan ASI Eksklusif

d. Kegawatdaruratan

Kondisi jalan raya di wilayah Kecamatan Jeruklegi yang rusak dan berbelok-

belok serta dilewati kendaraan berat menyebabkan sering terjadi kecelakaan lalu

lintas.

B. Daftar Masalah Kesehatan di Masyarakat

Tabel 5. Daftar Masalah Kesehatan di Masyarakat

No Masalah KesehatanIndikator

KeteranganJumlah(orang)

Prevalensi (%)

1 ISPA non-pneumonia 11.318 18.40 Data sekunder2 Penyakit pada sistim otot

dan jaringan pengikat3.576 5.81 Data sekunder

3 Penyakit pada saluran pencernaan

2.537 4.12 Data sekunder

4 Penyakit kulit infeksi 2.413 3.92 Data sekunder5 ISPA (pneumonia) 1.952 3.17 Data sekunder6 Diare 978 1.59 Data sekunder7 Hipertensi 830 1.35 Insidensi di Desa Jeruklegi

Wetan tahun Januari 2009 0,36%.

8 Kecelakaan Umum 773 1.26 Data sekunder9 Konjungtivitis 638 1.04 Data sekunder10 Penyakit saluran 573 0.93 Data sekunder

7

Page 8: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

pernafasan (Asma, Bronchitis,TBC)

Daftar masalah kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Jeruk Legi 1 yang tersebut

diatas di dapatkan dari data sekunder dari puskesmas yaitu laporan tahunan/SPTP tahun

2008 mengenai 10 Besar Penyakit selama tahun 2008.

Dari daftar masalah kesehatan disebutkan bahwa ISPA (non-pneumonia) seperti flu,

batuk dan pilek mempunyai prevalensi paling tinggi sebesar 18,40 % dengan jumlah 11.318

orang. Selain ISPA (non-pneumonia) ada penyakit pada sistim otot dan jaringan pengikat,

penyakit pada saluran pencernaan, penyakit kulit infeksi, ISPA (Pneumonia), diare,

hipertensi, kecelakaan umum, konjungtivitis, dan yang terakhir adalah penyakit saluran

pernafasan (Asma, Bronchitis,TBC)

C. Penentuan Prioritas Masalah Kesehatan

Tabel 6.Penentuan Prioritas Masalah Kesehatan

No Masalah KesehatanKriteria Prioritas Skor

PrioritasM Sc T U F Sp

1 ISPA non-pneumonia 10 7 7 6 3 3 362 Penyakit pada sistim otot

dan jaringan pengikat9 5 1 5 3 4 27

3 Penyakit pada saluran pencernaan

8 6 7 6 3 4 34

4 Penyakit kulit infeksi 7 6 7 5 6 5 365 ISPA (pneumonia) 6 4 1 7 6 7 316 Diare 5 6 1 7,5 7 8 277 Hipertensi 4 6 7 7,5 8 9 348 Kecelakaan Umum 3 4 1 8 6 5 279 Konjungtivitis 2 4 1 5 5 4 21

10 Penyakit saluran pernafasan (Asma, Bronchitis, TB)

1 7 7 7.5 8 9 39.5

1. Magnitude (M)

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) non-pneumonia merupakan pernyakit yang paling

sering diderita oleh pengunjung Puskesmas Jeruklegi 1. Hal tersebut yang menyebabkan

ISPA non-pneumonia mendapat nilai 10 untuk kriteria magnitude.

2. Scope (S)

Cakupan atau scope masing-masing penyakit dinilai berdasarkan distribusi usia pasien yang

menderita penyakit tersebut. ISPA non-pneumonia dan penyakit saluran pernafasan (asma,

bronchitis, dan TB) mendapat nilai tertinggi karena semua golongan usia dapat menderita

penyakit tersebut. Skor tertinggi kedua diberikan untuk penyakit pada saluran pencernaan,

penyakit kulit infeksi, diare dan hipertensi karena golongan umur yang menderita penyakit

tersebut hampir sama. Demikian pula dengan penilaian pada penyakit yang lain.

8

Page 9: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

3. Trend (T)

Nilai trend diberikan berdasarkan kemunculan kembali penyakit tersebut pada awal tahun

2009. Dari data 10 besar penyakit di Puskesmas pada Januari 2009, penyakit hipertensi,

ISPA non-pneumonia, penyakit saluran pencernaan, penyakit kulit infeksi dan penyakit

saluran pernafasan (asma, bronchitis, dan TB) masih menjadi masalah di Puskesmas

Jeruklegi 1 sehingga diberikan skor yang tinggi yaitu 7. Sedangkan penyakit lain tidak muncul

kembali dan diberi skor yang rendah yaitu 1.

4. Urgency (U)

Urgency dinilai berdasarkan kegawatan penyakit tersebut sehingga harus ditangani segera.

Kecelakaan umum merupakan penyakit dengan nilai tertinggi yaitu 8 karena apabila

kecelakaan umum tidak segera ditangani dapat membahayakan nyawa. Hipertensi, penyakit

saluran pernafasan dan diare memiliki tingkat urgency yang tertinggi kedua, Hal ini

dikarenakan hipertensi merupakan penyakit yang dapat menimbulkan penyakit komplikasi

yang berbahaya hingga menyebabkan kematian. Sedangkan diare dapat menimbulkan

dehidrasi berkepanjangan sehingga harus ditangani segera. Penyakit saluran pernafasan jika

tidak segera ditangani maka akan menyebar luas dan pengobatan yang diperlukan lama

sehingga lebih baik mencegah daripada mengobati.

5. Feasibility (F)

Feasibility dinilai berdasarkan sumber daya atau sarana prasarana untuk melakukan

program pemecahan masalah kesehatan tersebut. Program penanganan hipertensi dan

penyakit saluran pernafasan dipandang paling mungkin untuk dilakukan. Penanganan ISPA

non-pneumonia, penyakit saluran pencernaan dan penyakit pada sistem otot dan jaringan

mendapat nilai terendah karena dipandang sulit untuk dibuat program penanganan.

Sumberdaya yang ada cukup memadai dan termasuk dalam wilayah kerja puskesmas jeruk

legi1.

6. Support (S)

Dukungan atau support dinilai dari dukungan yang diberikan dari Puskesmas, Kecamatan

dan Masyarakat Jeruklegi terhadap intervensi atau program penanganan yang akan dibuat.

Dukungan terbesar diberikan untuk penyakit saluran pernafasan khususnya TBC

karena penderita TB mulai banyak ditemukan tidak hanya usia dewasa tapi anak-

anak sekolah. Hal ini dapat diketahui dari hasil screening pada anak sekolah yaitu

banyak ditemukan BTA positif. Sementara itu, masalah yang kurang didukung untuk

diintervensi adalah ISPA non-pnuemonia. Hal ini dikarenakan penyakit ini sulit untuk dihindari

dan dicegah, sehingga intervensi paling efektif adalah dengan terapi kuratif.

Dari hasil scoring atau pemberian nilai dalam penentukan prioritas masalah

kesehatan di Puskesmas Jeruklegi 1 yang akan diintervensi, TB merupakan masalah

kesehatan dengan nilai paling tinggi, yaitu 39,5. Sehingga pada kegiatan Kuliah

Kerja Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Jeruklegi 1, akan disusun program-

9

Page 10: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

program yang ditujukan untuk mengatasi penyakit saluran pernafasan khususnya

TBC.

BAB II

IDENTIFIKASI FAKTOR RISIKO

A. Kepentingan Permasalahan

Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 2008 mengenai jumlah penduduk Desa

Tritih Wetan yang memeriksakan dirinya ke puskesmas Jeruklegi I didapatkan bahwa penderita

TB klinis sebanyak 46 orang. Sedangkan jumlah penderita TB suspect dalam lingkup Kecamatan

Jeruklegi sebanyak 277 orang. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang tenaga

kesehatan didapatkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan makin tingginya angka

persebaran TB adalah ketidakpatuhan meminum obat. Banyak pasien yang putus obat sebelum 6

bulan. Fungsi pengawas minum obat juga belum optimal karena terbatasnya SDM di Tritih Wetan

dan kesadaran masyarakat yang rendah. Selain itu faktor lingkungan dan adat istiadat setempat

juga mempengaruhi persebaran TB di Tritih Wetan.

B. Rumusan Permasalahan

1. Bagaimana kejadian tuberkulosis pada masyarakat Desa Tritih Wetan, Kecamatan Jeruklegi,

Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah?

2. Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis pada masyarakat Desa

Jeruklegi Wetan, Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui beberapa faktor risiko tuberkulosis pada lansia di Desa Jeruklegi Wetan,

Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dan melakukan intervensi terhadap

beberapa faktor risiko yang ada.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan usia

b. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan latar belakang profesi

c. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan faktor sosioekonomik

d. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan kebiasaan merokok

e. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan kebiasaan minum alkohol

f. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan penyakit sistemik lainnya (seperti

diabetes mellitus dan gagal ginjal kronik).

g. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan kontak lingkungan

h. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan kondisi rumah

10

Page 11: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

D. Kajian Literatur

1. Definisi

Tuberculosis adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru.

Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges,

ginjal, tulang dan nodus limfe. Agen infeksius utama, mycobacterium tuberculosis

adalah bakteri batang aerobik tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan

sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet (Smeltzer and Bare, 2001).

Tuberculosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Angka

mortalitas dan morbiditasnya terus meningkat. TB sangat erat kaitannya dengan

kemiskinan, malnutrisi, tempat kumuh, perumahan dibawah standard dan

perawatan kesehatan yang tidak adekuat. Jumlah kasus TB meningkat ditunjang

oleh beberapa faktor, termasuk peningkatan imigrasi epidemic HIV strain TB yang

resisten terhadap banyak obat, dan tidak adekuatnya dukungan system

kesehatan masyarakat (Balkissoon et al, 2003).

2. Epidemiologi

Indonesia merupakan negara ketiga terbesar dalam jumlah penderita TB, setelah

India dan China. Pada tahun 2005, prevalensi TB di Indonesia adalah 107 per

100.000 jiwa. Setiap tahunnya, di Indonesia terdapat seperempat juta kasus baru

TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC.

Sebagian besar penderita TBC adalah mereka dengan usia produktif (15-55

tahun) dan TBC adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit menular, di

mana TBC juga adalah penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung

dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia. Indonesia telah

berhasil mencapai angka keberhasilan pengobatan sesuai dengan target global

yaitu 85 persen dan tetap dipertahankan dalam empat tahun terakhir (WHO,

2003; Chapman et al, 2005).

3. Penularan dan faktor-faktor risiko.

Menurut Smeltzer and Bare (2001), tuberculosis ditularkan dari orang ke orang

oleh transmisi melalui udara. Individu terinfeksi, melalui berbicara, batuk, bersin,

tertawa atau bernyanyi, merupakan droplet besar (lebih besar dari 100 mikro)

dan kecil (1-5mikro). Droplet yang besar menetap, sementara droplet yang kecil

tertahan di udara dan terhirup oleh individu yang rentan. Risiko untuk tertular

tuberculosis juga tergantung pada banyaknya organisme yang terdapat di udara.

Individu yang berisiko tinggi untuk tertular tuberculosis adalah mereka yang

kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif, individu imunosupresif

(termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka yang dalam terapi

11

Page 12: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi dengan HIV), pengguna obat-obatan,

perokok, dan alkoholik, setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat

(tunawisma, rumah tahanan, etnik dan ras minoritas, terutama anak-anak

dibawah usia 15 tahun dan dewasa muda antara yang berusia 15 – 44 tahun),

setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (misalnya

diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, bypass gatrektomi atau yeyunoileal),

imigran dari negara dengan insiden TB yang tinggi (Asia Tenggara, Afrika,

Amerika Latin, Karibia), setiap individu yang tinggal di institusi (misalnya fasilitas

perawatan jangka panjang, institusi psikiatrik, penjara), individu dengan status

sosioekonomik rendah, dan petugas kesehatan (JAMA, 2007).

4. Patofisiologi

Tuberculosis (TB) adalah penyakit bakteri yang disebabkan oleh Mycobacterium

khususnya Mycobacterium tuberculusis, M. bovis atau M. africanum. Penyakit ini

menyebar dari inhalasi seperti droplet sputum, dari orang yang terinfeksi

(Mueller, 2004)

Individu rentan yang menghirup basil tuberculosis dan menjadi terinfreksi. Bacteri

dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli, tempat dimana mereka terkumpul dan

mulai untuk memperbanyak diri. Basil juga dipindahkan melalui system limfe dan

aliran darah ke bagian tubuh lainnya (ginjal, tulang, korteks cerebri) dan area

paru-paru lainnya (lobus atas) (Smeltzer and Bare, 2001; Chapman et al, 2005).

Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (netrofil

dan makrofag) menelan banyak bakteri, limfosit spesifik tuberculosis melisis

(menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan

penumpukan eksudat awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan.

Masa jaringan baru, yang disebut granulomas, yang merupakan gumpalan basil

yang masih hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang

membentuk dindidng protektif. Granulomas diubah menjadi masa jaringan

fibrosa. Bagian sentral dari masa fibrosa ini disebut tuberkel ghon. Bahan (bakteri

dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk masa seperti keju. Masa ini dapat

mengalami kalsifikasi, membentuk skar kulagenosa. Bakteri menjadi dorman,

tanpa perkembangan penyakit aktif (Smeltzer and Bare, 2001).

Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif

karena gangguan atau respon yang inadekuat dari respon system imun. Penyakit

aktof dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam

kasus ini, tuberkelghon memecah, melepaskan bahan seperti keju ke dalam

bronkhi. Bakteri kemudian menjadi tersebat di udara, mengakibatkan penyebaran

penyakit lebih jauh. Tuberkel yang memecah menyembuh, membentuk jaringan

parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak, mengakibatkan terjadinya

bronkhopneumonia lebih lanjut, pembentukan tuberkel dan selanjutnya

(Balkissoon et al, 2003).

12

Page 13: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Kecuali proses tersebut dapat dihentikan, penyebarannya dengan lambat

mengarah ke bawah ke hilum paru-paru dan kemudian meluas ke lobus yang

berdekatan. Proses mungkin berkepanjangan dan ditandai oleh remisi lama ketika

penyakit dihentikan, hanya supaya diikuti dengan periode aktivitas yang

diperbaharui. Hanya sekitar 10 % individu yang awalnya terinfeksi mengalami

penyakit aktif (Smeltzer dan Bare, 2001).

5. Manifestasi Klinis

Tuberculosis paru termasuk insidius. Sebagian besar pasien menunjukkan demam

tingkat rendah, keletihan, anoreksia, penurunan berat badan, berkeringat malam,

nyeri dada dan batuk menetap. Batuk pada awalnya mungkin nonproduktif tetapi

dapat berkembang kearah pembentukan sputum mukopurulen dengan

hemoptisis (Li dan Brainard, 2006).

Tuberkulosis dapat mempunyai manifestasi atipikal pada lansia, seperti perilaku

tidak biasa dan perubahan status mental, demam, anoreksia, dan penurunan

berat badan. Basil TB dapat bertahan lebih dari 50 tahun dalam keadaan dorman

(Smeltzer and Bare, 2001). Tuberculosis juga dapat memiliki manifestasi

ekstrapulmonal, yaitu limfadenitis, meningitis, tuberkuloma otak, tuberculosis

vertebral, tuberculosis intestinal, dan tuberculosis renal (Chandrasoma dan

Taylor, 1995).

6. Evaluasi Diagnostik

Diagnosis tuberculosis ditegakkan dengan mengumpulkan riwayat kesehatan,

pemeriksaan fisik, rontgen dada, usap basil tahan asam BTA, kultur sputum, dan

tes tuberculin. Rontgen dada biasanya akan menunjukkan lesi pada lobus atas.

Sputum pagi hari untuk kultur BTA dikumpulkan; usap BTA akan menunjukkan

apakah terdapat mikobakterium, yang menandakan diagnosis tuberculosis

(Brodie et al, 2005). Tes kulit tuberculin adalah tes kulit yang digunakan untuk

menentukan apakah individu telah terinfeksi basil TB. Extrak basil tuberkel

(tuberculin) disuntikkan ke dalam lapisan intradermal pada bagian dalam lengan

bawah, sekitar 10 cm di bawah siku (Smeltzer dan Bare, 2001).

7. Pengobatan

Pengobatan TB memiliki tiga prinsip dasar: menggunakan obat multiple di mana

M tuberculosis rentan terhadapnya, terapi harus dilakukan secara regular, dan

terapi harus dilakukan dalam periode yang cukup untuk memastikan penyakit ini

benar-benar sembuh.(Li dan Brainard, 2005)

Dua tujuan pengobatan tuberculosis adalah untuk menginterupsi penularan

tuberculosis dan mencegah morbiditas serta mortalitas. Kemoterapi untuk

tuberculosis menjadi mungkin dengan ditemukannya streptomisin pada

pertengahan decade 1940. Namun pengobatan dengan streptomisin saja

seringkali berhubungan dengan resistensi dan dan kegagalan terapi. Dengan

ditemukannya asam paraaminosalisilat dan isoniazid, muncul pemahaman baru

13

Page 14: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

bahwa pengobatan tuberculosis memerlukan minimal dua agen antimikroba. Pada

saat itu diperlukan pengobatan selama dua belas hingga 24 bulan untuk

mencegah rekurensi tuberculosis.

Penemuan rifampin pada awal decade 1970 menghasilkan era kemoterapi dengan

jangka waktu yang lebih singkat, dengan durasi kurang dari dua belas bulan. Lalu

dengan ditemukannya efek pirazinamida yang dapat lebih memperkuat potensi

isoniazid/rifampin mengantarkan kita kepada pemberian obat tripel selama enam

bulan sebagai terapi baku (Kasper et al, 2004).

8. Prognosis

Hampir semua pasien yang diterapi dengan baik dapat disembuhkan. Tingkat

kekambuhan berkisar lima persen dengan metode pengobatan saat ini. Penyebab

utama kegagalan terapi yaitu ketidakpatuhan terhadap terapi. (McPhee et al,

2008)

9. Pencegahan

Sejauh ini pencegahan terbaik adalah mendiagnosis kasus-kasus infeksius sedini

mungkin dan mengobati sampai benar-benar sembuh. Strategi-strategi tambahan

termasuk vaksinasi BCG dan mengobati individu dengan infeksi tuberculosis laten

yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit tuberculosis aktif.

Vaksin BCG diberikan saat kelahiran di negara-negara dengan prevalensi

tuberculosis yang tinggi. Vaksin ini memiliki tingkat kemanjuran yang tinggi untuk

mencegah bayi dan anak-anak menderita bentuk yang parah dari tuberculosis,

yaitu meningitis dan tuberculosis miliaria. Vaksin ini sangat aman dan jarang

menyebabkan komplikasi serius (WHO, 2003).

10. Pengendalian Tuberculosis

Prioritas utama program pengendalian tuberculosis adalah deteksi dini dan

kemoterapi pada semua penderita di bawah pengawasan yang baik, dengan

penekanan pada pengobatan kasus-kasus dengan apusan sputum positif.

Usaha-usaha pencegahan penularan dilakukan dengan isolasi respirasi individu

dengan suspek tuberculosis sampai individu tersebut terbukti noninfeksius

(misalnya apusan sputum negatif), ventilasi yang cukup pada kamar penderita,

penggunaan sinar ultraviolet di area-area dengat tingkat penularan tuberculosis

yang tinggi, dan penapisan berkala terhadap individu-individu dengan riwayat

kontak tuberculosis.

Di negara-negara dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, program

pengendalian tuberculosis harus berdasarkan elemen-elemen kunci strategi DOTS

dari WHO: komitmen politik pemerintah terhadap pengendalian yang

berkelanjutan; deteksi kasus dengan pemeriksaan mikroskopik pada pasien

14

Page 15: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

dengan batuk berdurasi lebih dari dua minggu; pemberian kemoterapi baku pada

semua pasien dengan BTA positif dan diawasi konsumsinya secara langsung;

penetapan dan pemeliharaan system pengawasan yang efektif dan

memungkinkan penilaian hasil terapi (Kasper et al, 2004).

E. Kerangka Konseptual

Keterangan :

: faktor yang tidak dapat diintervensi

: faktor yang dapat diintervensi

F. Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan usia

2. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan latar belakang profesi

15

TUBERCULOSIS

Penyakit sistemik lainMerokok

Modifying Factors

Sosial ekonomiPekerjaann

Alkohol

Unmodifying Factors

Usia

Page 16: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

3. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan faktor sosioekonomik

4. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan kebiasaan merokok

5. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan kebiasaan minum alkohol

6. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan penyakit sistemik lainnya (seperti diabetes

mellitus dan gagal ginjal kronik).

7. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan kontak lingkungan

8. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan kondisi rumah

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan retrospektif yaitu pengukuran

variabel bebas dan terikat dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Tempat Penelitian

Desa Tritih Wetan Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap

b. Waktu Penelitian

Tanggal 6 April – 6 Mei 2009

3. Populasi dan Sampel Penelitian

a. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah masyarakat Desa Tritih Wetan, Kecamatan Jeruklegi,

Kabupaten Cilacap.

b. Sampel

Sampel penelitian diambil secara random sampling dengan kriteria sebagai berikut :

Menderita maupun tidak menderita tuberkulosis

Bersedia menjadi subjek penelitian

4. Besar Sampel

no = Z²PQ

n = no

1 + {(no – 1)/N}

Keterangan :

Z = 1,96, karena tingkat kepercayaan yang ditetapkan 95%

P = 0,50, perkiraan proporsi penderita tuberculosis paru di Desa Tritih Wetan

Q = 1 – 0,50 = 0,50

d =0,1, merupakan presisi yang diinginkan atau kesalahan maksimum yang

diperbolehkan

N = 10.013, ukuran populasi, jumlah warga Desa Tritih Wetan

16

Page 17: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Sehingga diperoleh besar sampel :

no = 1,962 x 0,50 x 0,50

0,1²

= 96,04

n =

n = 95,04 sampel ≈ 95 sampel

Besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah 95 orang responden (diambil dari

penderita TB maupun non penderita)

5. Variabel Penelitian

Variabel bebas:

a. Usia

b. Jenis pekerjaan

c. Sosial ekonomi

d. Kebiasaan merokok

e. Kebiasaan minum alkohol

f. Penyakit sistemik lain

g. Kontak lingkungan

h. Kondisi rumah

Variabel terikat:

Tuberculosis paru

6. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Skala KategoriCara

Pengukuran

Tuberculosis

paru

adalah keadaan dimana pasien

terdiagnosis tuberculosis paru

secara klinis, radiologik, dan

atau laboratorik

Ordinal

Tuberculosis

Non-

tuberkulosis

Data rekam

medic dan

wawancara

Usia adalah masa hidup dihitung dari

tahun kelahiran dan dinyatakan

dengan tahun

Usia produktif adalah responden

yang berusia 15-54 tahun

sedangkan usia nonproduktif

Ordinal

Usia produktif

Usia

nonproduktif

Wawancara

17

Page 18: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

adalah responden yang berusia

kurang dari 15 tahun.

Kebiasaan

merokok

adalah aktivitas merokok selama

lebih dari atau sama dengan 6

bulan berturut-turut, atau,

riwayat merokok dengan kriteria

yang sama.

Nominal

Ya

Tidak

Wawancara

Kebiasaan

minum alkohol

adalah aktivitas minum minuman

yang mengandung alkohol (bir,

anggur, wiski, vodka, gin, dan

sebagainya) sebanyak minimal 1

sloki per hari selama lebih dari

sama dengan 6 bulan, atau,

riwayat minum minuman

beralkohol dengan kriteria yang

sama.

Nominal

Ya

Tidak

Wawancara

Riwayat

penyakit

sistemik lain

adalah riwayat didiagnosis

menderita penyakit sistemik lain.

Data diperoleh dengan

wawancara secara langsung.

Penyakit sistemik yang

dimaksud meliputi penyakit

jantung, diabetes mellitus, dan

penyakit ginjal.

Nominal

Ya

Tidak

Wawancara

Faktor

sosioekonomik

rendah

adalah keadaan dimana

responden merupakan kepala

keluarga yang memiliki lebih dari

3 anggota keluarga dengan

pengeluaran per bulan kurang

dari UMR (Rp 700.000).

Nominal Ya

Tidak

Wawancara

Kontak

lingkungan

adalah keadaan dimana terdapat

penderita dengan batuk > 3

minggu dalam jarak 25 m dari

rumah

Nominal Ya

Tidak

Wawancara

Kondisi rumah adalah keadaan rumah yang

meliputi kondisi ventilasi (setiap

10 m2 luas rumah terdapat 1 m2

ventilasi), dan kepadatan rumah

(luas rumah ditempati dan

Ordinal Baik

Buruk

Observasi

18

Page 19: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

digunakan untuk keperluan

sehari-hari dibagi dengan jumlah

penghuni (9 m2 ) )

7. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan adalah kuesioner,timbangan injak, dan meteran.

8. Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data primer, terdiri dari :

i. Data identitas

Data ini meliputi nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan tingkat pendidikan.

ii. Data sosial ekonomi, kebiasaan merokok, minum alkohol, ada tidaknya penyakit

sistemik lain, kontak lingkungan, dan kondisi rumah. Data ini diperoleh dari pengisian

kuesioner.

Data sekunder

Data sekunder meliputi data gambaran umum lokasi, demografi, jumlah masyarakat

Desa Jeruklegi.

9. Langkah-Langkah Pelaksanaan Penelitian

a. Tahap Persiapan

1. Melakukan screening awal untuk mengetahui prioritas masalah kesehatan pada

tokoh masyarakat dan kader kesehatan di Desa Jeruklegi Wetan, Kecamatan

Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

2. Menentukan prioritas masalah berdasarkan scoring hasil screening awal yang telah

dilakukan.

3. Menyiapkan alat penelitian berupa kuesioner.

b. Tahap Pelaksanaan

Melaksanakan pengumpulan data sosial ekonomi, kebiasaan merokok, minum alkohol,

ada tidaknya penyakit sistemik lain, kontak lingkungan, dan kondisi rumah melalui

pengisian kuesioner dan wawancara.

10.Manajemen dan Analisis Data

Manajemen dan analisis data dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahap :

a. Pengumpulan data

Data dikumpulkan melalui penelusuran dokumen, penyebaran kuesioner serta

pengukuran tekanan darah, tinggi badan dan berat badan.

b. Editing data

Proses ini dilakukan untuk melihat dan memastikan apakah semua data telah tersedia

sehingga terhindar dari kekurangan.

c. Koding

19

Page 20: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Data setelah diteliti, tahap berikutnya adalah pemberian kode pada jawaban di tepi

lembar jawaban.

d. Entry data

Setelah dilakukan koding, kemudian dilakukan entry data.

e. Tabulasi data

Setelah proses entry, dilakukan tabulasi data dalam bentuk master table agar mudah

dibaca dan dipahami.

f. Analisis data

Uji statistik untuk menguji hubungan antara variabel bebas dengan variable terikat

dilakukan dengan uji chi square.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analitik terhadap warga masyarakat

tanpa batasan usia di wilayah Desa Tritih Wetan, Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten

Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini melalui

wawancara dengan kuesioner terhadap responden. Jumlah minimal subjek berdasarkan

perhitungan rumus (Supadi, 2000) adalah sebanyak 95 orang. Penelitian ini

menggunakan 92 orang subjek yang masuk dalam kriteria inklusi. Hasil yang diperoleh

dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel III.1 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin,

Usia,

Tingkat Pendidikan, dan Pekerjaan

No. KarakteristikFrekuens

i

Persentas

e (%)

1. Usia

Usia Produktif (20-55 tahun)

Usia non produktif

71

21

77,2

22,8

2. Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

26

66

28,3

71,7

2. Pendidikan

Tidak Tamat SD

Tamat SD

Tamat SMP

Tamat SMA

11

37

13

25

12

40,2

14,1

27,2

20

Page 21: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Tamat Perguruan Tinggi 4 4,3

3. Pekerjaan

Tenaga Kesehatan

Non Tenaga Kesehatan

1

91

1,1

98,9

Sumber: Hasil Data

primer

1. Hubungan tuberculosis paru dengan usia

Tabel III.4 Hubungan antara tuberculosis dengan usia

Usia produktif

Usia nonprodukti

f

Total

Tuberculosis 24 16 40Non-tuberculosis 47 5 52

Total 71 21 92 Sumber : Hasil Data Primer

Tabel di atas menunjukkan distribusi kejadian tuberculosis pada subjek penelitian

berdasarkan kelompok usia. Setelah melalui uji statistik dengan menggunakan uji

Chi-Square, didapatkan adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan

kelompok usia produktif dengan nilai kemaknaan sebesar 0,01 (p < 0,05). Hal ini

berarti faktor umur memiliki pengaruh yang kuat terhadap frekuensi kejadian

tuberculosis pada masyarakat Desa Tritih Wetan, Kecamatan Jeruklegi, Cilacap, Jawa

Tengah.

Temuan tersebut sesuai dengan penelitian Borgdorff et al (2001), di mana

tuberculosis paru lebh banyak terjadi pada usia produktif. Kelompok usia tersebut

diduga lebih berisiko tertular dan menderita tuberculosis karena mereka lebih sering

keluar rumah dan melakukan kontak dengan lingkungan sekitar maupun tempat

kerja, sehingga kemungkinan tertular menjadi lebih besar. Para penderita

tuberculosis biasanya tertular dari individu dengan umur yang tidak jauh berbeda

(Borgdorff et al, 1999).

Di Amerika Serikat, tuberculosis jarang terjadi pada usia produktif karena mereka

sangat jarang terpapar infeksi M. tuberculosis selama beberapa dekade terakhir.

Sebaliknya , karena risiko tinggi di masa lalu, prevalensi tuberculosis pada individu

21

Page 22: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

lanjut usia relatif tinggi. Individu dewasa muda yang menderita tuberculosis di

Amerika Serikat biasanya berasal dari pengidap HIV, kaum imigran, dan atau

kelompok sosioekonomik rendah (Kasper et al, 2004).

2. Hubungan antara tuberculosis dengan latar belakang profesi

Tabel III.5 Hubungan antara tuberculosis dengan latar belakang profesi

Tenaga Kesehatan

Bukan Tenaga

Kesehatan

Total

Tuberculosis 0 40 40Non-tuberculosis 1 51 52Total 1 91 92

Sumber : Hasil Data Primer

Secara statistik dengan uji Chi Square tidak didapatkan adanya hubungan antara

kejadian tuberculosis dengan latar belakang profesi tenaga kesehatan, dengan nilai

kemaknaan sebesar 0,378 (p>0,05).

Meredith et al (1996) menyebutkan bahwa tenaga professional kesehatan

memiliki risiko terinfeksi tuberculosis dua sampai tiga kali lebih besar dibanding

mereka yang tidak bekerja di bidang kesehatan. Jenis pekerjaan tersebut berpotensi

bagi terjadinya TB Paru, hal ini terkait dengan keterpaparan kuman Mycobacterium

tuberculosis. Namun bisa saja angka tersebut menjadi besar karena para petugas

kesehatan lebih sadar akan tanda dan gejala tuberculosis sehingga kasus mereka

banyak terdeteksi.

Jenis pekerjaan seseorang  memberikan kontribusi terjangkit-tidaknya seseorang

terhadap penyakit TB paru. Namun menurut Reviono (2001), potensi tersebut terjadi

lebih karena jenis pekerjaan berhubungan dengan tingkat penghasilan seseorang

sehingga pekerjaan sebagai wiraswastawan, karyawan, atau PNS/TNI lebih dapat

memenuhi kebutuhan asupan zat-zat gizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh

terhadap serangan  bibit penyakit. Hasil studi Reviono menunjukkan jenis pekerjaan

pada penderita TBC berturut-turut: tidak bekerja 33%, buruh tani 27%, wiraswasta

20%, PNS/ABRI/Pensiunan 14%.

3. Hubungan antara tuberculosis dengan faktor sosioekonomik

Tabel III.6 Hubungan antara Tuberculosis dengan Sosioekonomik

Sosek Rendah

Sosek Cukup Jumlah

Tuberculosis 32 8 40Non-

Tuberculosis33 19 52

22

Page 23: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Total 65 27 92 Sumber : Hasil Data Primer

Secara statistik dengan uji Chi Square menunjukkan tidak adanya hubungan

antara kejadian tuberculosis dengan kondisi sosioekonomik, dengan nilai kemaknaan

sebesar 0,084 (p > 0,05).

Temuan ini berbeda dengan beberapa literature yang menunjukkan bahwa faktor

sosioekonomik berperan dalam terjadinya tuberculosis (Kasper et al, 2004; Coker et

al, 2006). Faktor sosioekonomik sangat erat kaitannya dengan keadaan rumah,

kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja

yang buruk yang kemudian dapat memudahkan penularan tuberculosis. Pendapatan

keluarga sangat erat juga dengan penularan tuberculosis, karena pendapatan yang

kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syarat – syarat

kesehatan (Adhitama, 1994). Penderita tuberculosis umumnya juga menghadapi

keterbatasan dalam mengakses layanan kesehatan (Retnaningsih, 2007).

4. Hubungan antara tuberkulosis dengan kebiasaan merokok

Tabel III.7 Hubungan antara tuberculosis dengan kebiasaan merokok

Perokok Nonperokok Jumlah

Tuberculosis 19 21 40Non-tuberculosis 18 34 52Total 37 55 92

Sumber : Hasil Data Primer

Secara statistik dengan uji Chi-Square menunjukkan bahwa tak terdapat

hubungan antara kejadian tuberculosis dengan kebiasaan merokok, dengan nilai

kemaknaan sebesar 0,212 (p > 0,05).

Hal ini tak sejalan dengan temuan di mana pengaruh kebiasaan merokok

terhadap tuberculosis dibuktikan dalam penelitian Gomez et al (2006) dan Bates et al

(2007) bahwa merokok berhubungan dengan peningkatan risiko terjangkit

tuberculosis dan memperberat penyakit tuberculosis yang sudah diderita, demikian

juga pada perokok pasif walaupun risikonya lebih kecil. Pada anak-anak yang menjadi

perokok pasif juga terjadi peningkatan kejadian tuberculosis (De Boon et al, 2007).

Kemungkinan mekanismenya adalah menurunnya respon imun, limfopenia CD4,

defek pada respon makrofag, permeabilitas vascular dan epitel abnormal, dan

gangguan mekanik fungsi cilia pada jalan napas (ScienceDaily, 2004). Merokok juga

dapat mengubah jumlah, konsistensi, dan permebilitas mukosa. Jumlah makrofag

alveolar meningkat karena paparan asap tembakau, tetapi kemampuan fagositosis

dan membunuh bakterinya berkurang. Hasilnya, imunitas paru terganggu, dan agen

infeksius lebih mudah mencapai jaringan alveolar.

23

Page 24: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Sel T sangat rentan terhadap asap rokok, yang dapat mengganggu kapasitas

sitotoksik sel T untuk melawan infeksi. Lebih jauh lagi, kebiasaan merokok dapat

mereduksi immunoglobulin serum, rasio sel T-helper/T-suppresor, dan aktivitas

sitotoksik sel Natural Killer, yang dapat menyebabkan penurunan respon imun tubuh

terhadap M tuberculosis (Sopori, 2002).

5. Hubungan antara tuberculosis dengan kebiasaan minum alkohol

Tabel III.9 Hubungan antara tuberculosis dengan kebiasaan minum alkohol

Konsumen Alkohol

Nonkonsumen Alkohol

Jumlah

Tuberculosis 4 36 40Non-tuberculosis 0 52 52Total 4 88 92

Sumber : Hasil Data Primer

Dengan uji Chi-Square, didapatkan hubungan antara kebiasaan minum alkohol

dengan kejadian tuberculosis dengan kemaknaan sebesar 0.02 (p<0.005).

Lonnroth et al (2008) menemukan bahwa risiko terinfeksi tuberculosis lebih

tinggi pada individu yang mengonsumsi alkohol lebih dari 40 g per hari dan atau

memiliki gangguan konsumsi alcohol. Konsumsi alkohol juga dapat meningkatkan

risiko infeksi sekunder yang lebih serius dari paparan selanjutnya. Pada mencit,

konsumsi alcohol kronik dapat memperberat infeksi M tuberculosis di paru (Mason et

al, 2004)

Alcohol memiliki efek toksik langsung pada system imun yang mengakibatkan

individu lebih rentan terhadap penyakit tuberkulosis. Studi pada hewan menunjukkan

bahwa imunitas selular dan fungsi makrofag (yang penting dalam respon pertahanan

tubuh terhadap infeksi M tuberculosis) diganggu secara langsung konsumsi alcohol

akut maupun kronik (Mason et al).

Alcohol merusak system imun dengan cara menghambat respon tumour

necrosis factor (TNF). Alcohol juga dapat mereduksi respon system NO terhadap

infeksi mycobacterium, yang dapat mencegah destruksi mycobacterium. Selain itu,

alcohol menghambat formasi granuloma, produksi IL-2, produksi IFN-gamma, dan

proliferasi CD4. Gangguan konsumsi alcohol juga menyebabkan gangguan imunitas

secara tidak langsung lewat defisiensi mikronutrien dan makronutrien, atau melalui

gangguan lain yang terkait alcohol, seperti keganasan (Nelson et al, 1995).

6. Hubungan antara tuberculosis dengan kondisi rumah

Tabel III.10 Hubungan antara tuberculosis dengan kondisi rumahKondisi Baik Kondisi

BurukJumlah

24

Page 25: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Tuberculosis 20 20 40Non-tuberculosis 22 30 52Total 42 50 92

Sumber : Hasil Data Primer

Uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square menunjukkan tidak adanya

hubungan antara kejadian tuberculosis dengan kondisi rumah, dengan nilai

kemaknaan sebesar 0.463 (p >0.05).

Berbeda dengan temuan Mangtani et al (1995), Coker et al (2006), dan Hill et al

(2006), yang menyebutkan bahwa kondisi rumah yang padat dan lembab

meningkatkan risiko terjangkit tuberculosis. Penyakit atau gangguan saluran

pernapasan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang buruk. Lingkungan yang buruk

tersebut dapat berupa kondisi fisik perumahan yang tidak mempunyai syarat seperti

ventilasi, kepadatan penghuni, penerangan dan pencemaran udara dalam rumah.

Lingkungan perumahan sangat berpengaruh terhadap terjadinya infeksi saluran

pernapasan (Ranuh,1997).

Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran

udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis.

Tersedianya udara segar dalam rumah atau ruangan amat dibutuhkan manusia,

sehingga apabila suatu ruangan tidak mempunyai sistem ventilasi yang baik dan

overcrowded maka akan menimbulkan keadaan yang dapat merugikan kesehatan

(Gunawan et al., 1982). Ruangan yang ventilasinya kurang baik akan membahayakan

kesehatan khususnya saluran pernapasan karena terdapat bakteri di udara

disebabkan adanya debu dan uap air. Jumlah bakteri udara akan bertambah jika

penghuni ada yang menderita penyakit saluran pernapasan, seperti TBC, Influenza,

dan ISPA (Azwar, 1990; Depkes RI, 1989).

Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan

membawa pengaruh bagi penghuninya. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya

konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat

racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan

peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari

kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang

baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk

kuman tuberculosis (Nurhidayah et al, 2007).

Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan

dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situ

selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan

selalu mengalir (Notoatmodjo, 2003). Selain itu, menurut Lubis (1989), luas ventilasi

yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangngya proses

pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya

25

Page 26: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap

bersama udara pernapasan.

Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan

mempunyai dampak kurangnya oksigen dalam ruangan sehingga daya tahan tubuh

penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan.

Selain menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota

keluarga terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular

kepada anggota keluarga yang lain (Lubis, 1989; Notoatmodjo, 2003). Kepadatan

hunian rumah akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran

panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan

tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin

cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya

penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan

CO2 ruangan dan dampak dari peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas

udara dalam rumah (Yusup dan Sulistyorini, 2005)

7. Hubungan antara tuberculosis dengan penyakit sistemik lain

Tabel III.11 Hubungan antara Tuberculosis dengan Penyakit Sistemik Lain

yang Diderita

Dengan Penyakit

Lain

Tanpa Penyakit Lain

Jumlah

Tuberculosis 2 38 40Non-tuberculosis 3 49 52

Total 5 87 92 Sumber : Hasil Data

Primer

Uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square tidak menunjukkan adanya

hubungan antara kejadian tuberculosis dengan penyakit sistemik yang diderita,

dengan nilai kemaknaan sebesar 0.872 (p > 0,05). Hasil tersebut tak sejalan dengan

penelitian Leon et al (2004) dan Pablos-Mendez (1997) yang menemukan bahwa

diabetes meningkatkan risiko terjangkit tuberculosis. Status diabetes memang tidak

26

Page 27: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

meningkatkan risiko terinfeksi M tuberculosis, tetapi meningkatkan risiko reaktivasi

tuberculosis dorman.

Selain itu, penelitian Moore et al (2002) menunjukkan bahwa penyakit ginjal

kronik dapat meningkatkan risiko terinfeksi tuberculosis. Namun hasil temuan Jin et al

(2008) tidak menunjukkan adanya kaitan bermakna antara penyakit ginjal kronik

dengan insidensi tuberculosis. Secara teoretis, penyakit ginjal kronik dapat

mengganggu imunitas tubuh dan meningkatkan insidensi tuberculosis. Kasus gagal

ginjal juga merupakan faktor risiko potensial teaktivasi tuberculosis (Chia et al, 1998).

8. Hubungan antara tuberculosis dengan riwayat kontak penderita

tuberculosis

Tabel III.12 Hubungan antara tuberculosis dengan riwayat kontak penderita

tuberculosis

Kontak Positif

Kontak Negatif

Jumlah

Tuberculosis 23 17 40Non-tuberculosis 9 43 52

Total 32 60 92 Sumber : Hasil Data Primer

Uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square menunjukkan adanya hubungan

antara kejadian tuberculosis dengan riwayat kontak penderita tuberculosis, dengan

nilai kemaknaan sebesar 0.00 (p < 0,05). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian

yang dilakukan Coker et al (2006) dan Hill et al (2006) bahwa riwayat kontak dengan

penderita TB di dalam rumah maupun di sekitar rumah meningkatkan risiko terjangkit

tuberculosis.

Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana

seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya,

sedangkan besar resiko terjadinya penularan untuk tangga dengan penderita lebih

dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita

TB. Hal tersebut terjadi karena adanya penderita tuberculosis di rumah dan

sekitarnya meningkatkan frekuensi dan durasi kontak dengan kuman tuberculosis

yang merupakan faktor penting patogenesis tuberculosis (Guwatudde et al, 2003).

27

Page 28: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

BAB IV

TINDAKAN PEMECAHAN MASALAH KESEHATAN

A. TINDAKAN PEMECAHAN MASALAH YANG TELAH DILAKUKAN

Beberapa kegiatan dilakukan oleh mahasiswa K3M dalam memecahkan

masalah kesehatan di Desa Tritih Wetan. Kegiatan tersebut, antara lain:

1. Kegiatan Yankes, dan Pengobatan Gratis

Kegiatan Yankes bertempat di Posyandu di Tritih Wetan antara lain:

a. Posyandu RW VI

b. Posyandu RW V

c. Posyandu RW I

d. Posyandu RW IX

e. Posyandu Lansia RW XI

28

Page 29: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

f. Posyandu Lansia RW IV

Kegiatan Yankes ditujukan untuk balita, lansia serta PUS/WUS di daerah Tritih

Wetan. Acara dijadwalkan mulai pada pukul 09.00-12.30 WIB. Semua warga

datang kemudian mendaftar, dan dilanjutkan dengan anamnesis sederhana

yaitu tinggi badan, berat badan, dan pengukuran tekanan darah. Kegiatan

dilanjutkan dengan menanyakan keluhan utama. Pada kegiatan ini mahasiswa

juga mengedarkan rapid assesment, mengambil data sebagai sampel di Tritih

Wetan. Setelah melakukan konsultasi sedikit terutama jika terdapat gejala

batuk lama, kemudian dilanjutkan pengobatan gratis dan pemberian imunisasi

TT oleh Puskesmas Jeruklegi I. Secara umum kegiatan berlangsung lancar dan

mengena pada semua usia (produktif dan nonproduktif).

a. Tujuan kegiatan

1. Tujuan Instruksional Umum

Setelah pemeriksaan kesehatan didapatkan gambaran persebaran

penyakit dan insidensi penderita tuberculosis di Desa Tritih Wetan.

2. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah dilakukan pelayanan kesehatan masyarakat diharapkan :

a) Mengetahui dan memahami penyebab TB, tanda dan gejala TB,

penularan TB, dan pertolongan pada penderita TB.

b) Masyarakat diharapkan mampu melakukan tindakan preventif

terhadap masalah kesehatan terutama TB.

c) Masyarakat diharapkan memiliki kepekaan jika ada tetangga/

anggota keluarga yang menunjukkan tyanda gejala yang mirip

dengan TB.

Secara keseluruhan tujuan kegiatan ini tercapai, dimana sebagian

besar warga masyarakat merasa puas dengan pelayanan yang

diberikan meski ada beberapa kendala.

b. Hambatan kegiatan

Keterbatasan jumlah tenaga pengelola Yankes, sehingga pada

pelaksanaannya membutuhkan waktu yang lebih lama dari rencana

yang dijadwalkan.

Luasnya daerah cakupan (satu desa) sehingga belum semua RW

menerima Yankes

c. Saran / rekomendasi

Bagi puskesmas

perlunya sosialisasi tentang penularan dan akibat TB sehingga

masyarakat waspada terhadap TB

Bagi warga Desa Tritih Wetan

Perlunya meningkatkan kepekaan dan kepedulian warga terhadap

orang yang menderita TB

29

Page 30: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Perlunya memberikan dukungan kepada penderia TB aktif untuk

rutin berobat dan kontrol

Perlunya pelurusan tentang stigma msayarakat bahwa TB adalah

penyakit kemiskinan.

2. Penyuluhan tentang TBC

Pada tanggal 20 April 2009 dilakukan penyuluhan tentang TBC oleh

mahasiswa kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Penyuluhan

dilakukan di rumah Ketua RT 3 Desa Tritih Wetan pada pertemuan rutin

Arisan PKK RW X Desa Tritih Wetan. Peserta penyuluhan adalah pengurus

PKK masing-masing RT di RW X Desa Tritih Wetan. Secara umum kegiatan

berlangsung dengan baik dan lancar. Media yang digunakan dalam

penyuluhan adalah leaflet meskipun tidak menggunakan fasilitas

multimedia seperti LCD, program powerpoint dan layar namun kegiatan

cukup interaktif dan komunikatif. Banyaknya pertanyaan yang diajukan

peserta kepada penyuluh menunjukkan antusiasme peserta yang cukup

baik.

a. Tujuan kegiatan

1) Tujuan Instruksional Umum

Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta mampu memahami

mengenai penyakit TBC.

2) Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta diharapkan dapat

memahami :

a) Penyebab TBC

b) Tanda-tanda TBC

c) Cara penularan TBC

d) Pengobatan TBC dan pentingnya pengobatan pada penderita

e) Pencegahan TBC

b. Hambatan kegiatan

Waktu yang terbatas karena setelah penyuluhan masih dilanjutkan

beberapa ragkaian acara dalam arisan sehingga sesi tanya jawab

tidak dapat diperpanjang mengingat banyak peserta yang ingin

bertanya.

c. Saran / rekomendasi

Bagi puskesmas perlunya penyuluhan mengenai TBC secara

berkala didukung dengan peggunaann media

3. Penyuluhan mengenai PUGS.

30

Page 31: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Penyuluhan mengenai PUGS dilaksanakan pada tanggal 21 April 2009 di

rumah Ketua RT III pada pertemuan rutin arisan PKK RW III Desa Trith Wetan.

Peserta penyuluhan adalah pengurus PKK masing-masing RT di RW III Desa

Tritih Wetan. Meskipun penyuluhan tidak menggunakan fasilitas multimedia

dan hanya menggunakan leaflet namun kegiatan secara umum berjalan

dengan baik dan lancar. Sambutan peserta cukup baik dan antusiames

peserta dapat dilihat dari beberapa pertanyaan yang diajukan peserta

kepada penyuluh.

a. Tujuan kegiatan

1) Tujuan Instruksional Umum

Setelah mengikuti proses penyuluhan kesehatan peserta mampu

memahami PUGS.

2) Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta diharapkan dapat

memahami :

a. Pengertian PUGS

b. Isi PUGS yaitu 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang

c. Piramida makanan dan Tri Guna Makanan

b. Hambatan kegiatan

Keterbatasan waktu mengingat banyaknya rangkaian acara

sebelum penyuluhan sehingga penyuluhan dimulai agak sore. Waktu

pelaksanaan tersebut dapat menyebabkan berkurangnya konsentrasi

peserta untuk mengikuti jalannya acara.

c. Saran / rekomendasi

Bagi puskesmas perlunya pengadaan penyuluhan PUGS secara

berkala.

4. Penyuluhan tentang PHBS dengan Rumah Sehat dan Cuci Tangan

Pada tanggal 28 April 2009 dilakukan penyuluhan tentang PHBS dengan

Rumah Sehat kemudian dialnjutkan penyuluhan tentang Cuci Tangan.

Penyuluhan dilakukan oleh mahasiswa di rumah Ketua RT 3 RW IX Desa

Tritih Wetan dalam pertemuan rutin PKK RW IX Desa Tritih Wetan. Peserta

penyuluhan adalah pengurus PKK masing-masing RT di RW IX Desa Tritih

Wetan. Secara umum kegiatan berlangsung dengan baik dan lancar. Media

yang digunakan dalam penyuluhan adalah leaflet meskipun tidak

menggunakan fasilitas multimedia seperti LCD, program powerpoint dan

layar namun kegiatan berjalan cukup baik, komunikatif dan interaktif.

Antusiasme dan sambuatan peserta yang cukup baik dilihat dari banyaknya

pertanyaan yang diajukan peserta.

31

Page 32: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

a. Tujuan kegiatan

1) Tujuan Instruksional Umum

Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta mampu memahami

mengenai PHBS dan Rumah Sehat serta mampu memahami mengenai

Cuci Tangan.

2) Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta diharapkan dapat

memahami :

a) Pengertian rumah sehat

b) Syarat rumah sehat

c) Kriteria rumah sehat

d) Cara cuci tangan yang benar

b. Hambatan kegiatan

Waktu yang terbatas karena setelah penyuluhan masih dilanjutkan

beberapa ragkaian acara dalam arisan sehingga sesi tanya jawab tidak

dapat dilanjutkan mengingat banyak peserta yang ingin bertanya.

c. Saran / rekomendasi

Bagi puskesmas perlunya penyuluhan mengenai PHBS dan Ruah Sehat

serta Cara Cuci Tangan yang Benar, secara berkala.

5. Pembuatan Leaflet Anti rokok dan Poster Tuberculosis

Leaflet anti rokok dan poster tuberculosis selesai produksi pada

tanggal 06 Mei 2009 dengan sasaran laki-laki dewasa (bagi pamflet

antirokok) dan bagi kader Posyandu bagi poster Tuberculosis. Kegiatan ini

tepat sasaran terutama bagi laki-laki dewasa yang banyak merokok.

a. Tujuan kegiatan

1) Tujuan Instruksional Umum

Setelah dilakukan penyebaran pamflet antirokok dan poster

tuberculosis diharapkan masyarakat sadar akan bahaya merokok dan

memberikan pengetahuan tentang tuberculosis.

2) Tujuan Instruksional Khusus

Setelah dilakukan penyebaran pamflet antirokok dan penyebaran

poster diharapkan masyarakat mampu :

a) Memahami bahaya merokok.

b) Memahami mengenai penyakit tuberculosis

c) Mengurangi konsumsi merokok setiap harinya.

b. Hambatan kegiatan

Keterbatasan jumlah pamflet yang dicetak sehingga tidak semua

masyarakat Tritih Wetan mendapatkan informasi kesehatan tentang

bahaya merokok dan penyakit tuberculosis.

32

Page 33: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

c. Saran / rekomendasi

Bagi puskesmas perlunya menggalakkan promkes anti rokok ke

rumah-rumah sehingga seluruh masyarakt tergerak untuk berubah.

Perlunya usaha peningkatan sosialisasi pemahaman tuberculosis

sehingga masyarakat tahu.

Bagi warga Desa Jeruklegi Wetan perlunya turut aktif

mensukseskan program Puskesmas sehingga masalah merokok

bisa diatasi bersama.

6. Lomba Mewarnai di TK Wijaya Kusuma di Desa Tritih Wetan

Kegiatan lomba mewarnai bertempat di TK Wijaya Kusuma di Tritih Wetan.

Kegiatan Lomba Mewarnai Gambar bertema “Perilaku Hidup Bersih dan

Sehat” ditujukan anak-anak TK Wijaya Kusuma. TK tersebut memiliki jumlah

murid 46 orang. Acara dijadwalkan mulai pada pukul 08.00-11.00WIB. acara

mulai tepat waktu. Kegiatan ini diikuti oleh 42 orang anak sedangkan 4

orang lainnnya tidak mengikuti karena absen. Acara dibuka oleh Pak Yatin

selaku kepala sekolah dengan salam, do’a kemudian dilanjutkan dengan

persiapan. Lomba mewarnai dilaksanakan di halaman TK dengan

menggunakan meja dan kursi. Anak-anak duduk dapa tempatnya masing-

masing kemudian dibagikan kertas yang berisi gambar bertema PHBS. Anak-

anak dibagikan pinsil warna dan bagian kertas atas ditulis nama anak. Pak

Yatin menjelaskan aturan dan lama menggambar, kemudian anak-anak

mulai menggambar. Waktiu yang ditetapkan 1 jam. Selama kegiatan

berlangsung mahasiswa mendampingi anak-anak dan merautkan pinsil

warna yang kecil. Murid TK Wijaya Kusuma menggambar dengan giat dan

antusias. Setyelah satu jam, semua peserta mengumpulkan hasil karyanya.

Dari 42 gambar dipilih 3 gambar sebagai juara I, II dan II. Selama penjurian

berlangsung, murid-murid diisi materi tentang “Cuci Tangan Sehat” . anak

diminta untuk menirukan gerakan cuci tangan setelah mahasiswa

mendemonstrasikan. Setelah selesai, kemudian diumumkan juara I,II dan III.

Siswa lain yang belum beruntung mendapatkan doorprize berupa buku dan

pinsil.

Secara umum kegiatan mewarnai gambar berlangsung lancar dan

antusias. Kegiatan selesai pada pukul 11.00. tujuan PHBS khususnya cara

mencuci tangan yang baik bisa tersampaikan dengan baik.

a. Tujuan kegiatan

1) Tujuan Instruksional Umum

Setelah kegiatan mewarnai gambar dilaksanakan, murid-murid

diharapkan memahami dan dapat mempraktikkan hidup bersih sehat.

2) Tujuan Instruksional Khusus

33

Page 34: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Setelah dilakukan kegiatan mewarnai gambar anak-anak diharapkan

:

a) Mengetahui cara mencuci tangan yang baik dan benar

b) Mengetahui akibat jika tidak mencuci tangan dengan baik.

c) Mampu mempraktikkan cuci tangan yang baik.

d) Dapat berperikau hidup bersih dan sehat

e) Senang dan cinta terhadap kesehatan.

f) Terbebas dari TB sebagai salah satu penyakit infeksius.

Secara keseluruhan tujuan kegiatan ini tercapai, dimana sebagian besar

anak-anak dapat mempraktikkan dan memahami cara hidup bersih sehat

khususnya dengan mencuci tangan yang baik.

b. Hambatan kegiatan

Diperlukan media yang lebih menarik supaya anak lebih tertarik

terhadap cara mencuci tangan yang baik.

c. Saran / rekomendasi

Bagi puskesmas

Kegiatan semacam ini perlu terus dilakukan supaya anak mengenal

hidup bersih sehat sejak dini.

Anak-anak TK hendaknya turut menjadi sasaran promkes karena

mereka rentan akan penyakit.

Anak-anak rentan terhadap TB sehingga diperlukan program yang

melindungi mereka.

Bagi warga Desa Tritih Wetan

Diperlukan kepedulian dari warga sekitar sehingga anak-anak juga

tidak luput dari sasaran promkes

B. KEGIATAN TAMBAHAN

1. Penyuluhan tentang Osteoporosis

Pada tanggal 25 April 2009 dilakukan penyuluhan tentang Osteoporosis oleh

mahasiswa kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Penyuluhan dilakukan di

Balai Desa Tritih Wetan dalam pertemuan Rapat Koordinasi PKK Desa Tritih

Wetan. Peserta penyuluhan adalah pengurus-pengurus POKJA di Desa Tritih

Wetan. Secara umum kegiatan berlangsung dengan baik dan lancar. Media yang

digunakan dalam penyuluhan adalah leaflet meskipun tidak menggunakan

34

Page 35: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

fasilitas multimedia seperti LCD, program powerpoint dan layar namun kegiatan

cukup interaktif dan komunikatif. Sambutan dan antusiasme peserta secara

umum cukup baik dilihat dari perhatian peserta terhadap materi yang diberikan

dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peserta.

a. Tujuan kegiatan

1) Tujuan Instruksional Umum

Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta mampu memahami

mengenai DHF.

2) Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta diharapkan dapat

memahami :

a) Pengertian osteoporosis

b) Faktor risiko dan penyebab osteoporosis

c) Gejala osteoporosis

b. Hambatan kegiatan

Tidak ditemukan hambatan yang bermakna pada saat jalannya acara

c. Saran / rekomendasi

Bagi puskesmas perlunya penyuluhan mengenai osteoporosis secara

berkala.

2. Penyuluhan tentang DHF

Pada tanggal 30 April 2009 dilakukan penyuluhan tentang DHF oleh mahasiswa

kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Penyuluhan dilakukan di rumah...........

dalam pertemuan rutin arisan PKK RW IV Desa Tritih Wetan. Peserta penyuluhan

adalah pengurus PKK masing-masing RT di RW IV Desa Tritih Wetan. Secara

umum kegiatan berlangsung dengan baik dan lancar. Media yang digunakan

dalam penyuluhan adalah leaflet meskipun tidak menggunakan fasilitas

multimedia seperti LCD, program powerpoint dan layar namun kegiatan cukup

interaktif dan komunikatif. Sambutan dan antusiasme peserta secara umum

cukup baik dilihat dari perhatian peserta terhadap materi yang diberikan dan

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peserta.

a. Tujuan kegiatan

1) Tujuan Instruksional Umum

Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta mampu memahami

mengenai DHF.

2) Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta diharapkan dapat

memahami :

a) Pengertian DHF

b) Penyebab DHF

35

Page 36: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

c) Tindakan yang dilakukan bila terkena DHF

d) Pencegahan DHF

b. Hambatan kegiatan

Tidak ditemukan hambatan yang bermakna pada saat jalannya acara

c. Saran / rekomendasi

Bagi puskesmas perlunya penyuluhan mengenai DHF secara berkala.

B. MONITORING DAN EVALUASI KEGIATAN

1. Secara umum hampir semua kegiatan berjalan dengan baik dan lancar.

2. Secara umum sambutan antusiasme peserta terhadap berbagai kegiatan baik.

3. Masih ada hambatan dana untuk semua kegiatan

4. Masih ada beberapa penolakan dari masyarakat untuk berpartisipasi dalam

kegiatan

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

36

Page 37: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Berdasarkan hasil penelitian terhadap warga masyarakat Desa Tritih Wetan,

dapat disimpulkan:

1. Adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan kelompok usia

produktif di Desa Tritih Wetan

2. Tidak adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan latar belakang

profesi tenaga kesehatan

3. Tidak adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan kondisi

sosioekonomik

4. Tidak adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan kebiasaan

merokok,

5. Tidak adanya hubungan antara kebiasaan minum alkohol dengan kejadian

tuberculosis

6. Tidak adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan kondisi rumah

7. Tidak menunjukkan adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan

penyakit sistemik yang diderita

8. Adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan riwayat kontak

penderita tuberculosis.

B. Saran

Upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah TBC di Desa Jeruklegi Wetan:

1. Perlu dilakukan sosialisasi secara berkala kepada masyarakat

tentang penyakit TBC termasuk gejala, penanganan dan juga pencegahannya

2. Pendekatan kepada warga yang menderita TBC agar secara rutin

memeriksakan dirinya dan menjalani pengobatan secara teratur untuk proses

penyembuhan

3. Edukasi mengenai faktor risiko tuberculosis

4. Penyegaran pengawas minum obat (PMO)

DAFTAR PUSTAKA

37

Page 38: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Brodie D, et al. The diagnosis of Tuberculosis. Clin Chest Med. 2005 Jun;26(2):247–71

JAMA and Archives Journals (2007). Smoking May Be A Risk Factor For Tuberculosis. ScienceDaily. Diunduh pada 2 April 2009, dari http://www.sciencedaily.com/releases/2007/02/070227105634.htm

Chapman S, et al. 2005. Oxford Handbook of Respiratory Medicine. Oxford University

Press.

Smeltzer,Suzanne C and Bare, Brenda G.2001. Keperawatan Medikal Bedah. Brunner and Suddarth Edisi 8.Jakarta:EGC.

Mueller, Donna H. 2004. Krause’s Food Nutrition & Diet Therapy 11th Ed. Boston: Elsevier.

Chandrasoma P, Taylor CR. 1995. Concise Pathology 2nd ed. New York: Appleton & Lange.

Kasper DL, et al. 2004. Harrison's Principles of Internal Medicine 16th Ed. New York: McGraw-Hill Professional.

Stephen J. McPhee, Maxine A. Papadakis, Lawrence M. Tierney. 2008. Current Medical Diagnosis & Treatment 2008 47th ed. New York: McGraw-Hill.

Balkissoon R, et al. 2003. 2003. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine. New York: McGraw-Hill.

WORLD HEALTH ORGANIZATION: Treatment of Tuberculosis. Guidelines for National Programmes. Geneva, World Health Organization, 2003

Li J, Brainard D. 2006. Tuberculosis. Emedicine.com.

Coker et al. Risk factors for pulmonary tuberculosis in Russia: case-control study. Brit Med J, 2006; 332: 7533-85.

Borgdorff MW, Nagelkerke N, van Soolingen D, et al. Transmission of tuberculosis between people of different ages in the Netherlands—an analysis using DNA fingerprinting. Int J Tuberc Lung Dis 1999;3:202–6.

Borgdorff MW, Nagelkerke N, Haas P, et al. Transmission of Mycobacterium tuberculosis Depending on the Age and Sex of Source Cases. American Journal of Epidemiology Vol. 154, 2001, No. 10 : 934-943.

Reviono, et al. Profil Penderita TB Paru Rawat Jalan di Poliklinik Paru/RS. Persahabatan Jakarta periode September-Desember 1999.  JRI.  PDPI. Vol.21 No. 3, 2001: 95-100.

Meredith S, et al. Are healthcare workers in England and Wales at increased risk of tuberculosis? Brit Med J, 1996; 313: 522-525.

Adhitama TY. 1994. Masalah Tuberkulosis Paru dan Penanggulangannya. Universitas Indonesia, Jakarta.

Retnaningsih E. 2007. Pengaruh Kemiskinan Kontekstual Terhadap Akses Layanan Kesehatan Suspek Penderita Tuberculosis di Indonesia. Jurnal Pembangunan Manusia.

Gomez et al. Effects of Active Smoking and Environmental Tobacco Smoke on Pulmonary Tuberculosis. Chest Journal, 2006; 3:124-8.

38

Page 39: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Bates et al. Risk of Tuberculosis from Exposure to Tobacco Smoke. Arch Intern Med, 2007: 162: 335-42.

De Boon et al. Association Between Passive Smoking and Infection With Mycobacterium tuberculosis in Children. Pediatrics, 2007; 119: 734-739.

Sopori M. Effects Of Cigarette Smoke on The Immune System. Nat Rev Immunol. 2002;2:372–377

Mason C, Dobard E, Zhang P, Nelson S: Alcohol Exacerbates Murine Pulmonary Tuberculosis. Infection and Immunity 2004, 2556-2563.

Nelson S, Mason C, Bagby G, Summer W: Alcohol, Tumor Necrosis Factor, and Tuberculosis. Alcoholism: Clinical and Experimental Research 1995, 19:17-24.

Lonnroth K, et al. Alcohol Use as A Risk Factor for Tuberculosis – A Systematic Review. BMC Public Health 2008, 8:289.

Yusup, Nur Achmad dan Sulistyorini, Lilis.2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik Dengan Kejadian ISPA Pada Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan 2005;Vol.1, No.2, Januari.

Azwar, Azrul. (1990). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Mutiara

Gunawan, Rudi dan FX Haryanto. (1982). Pedoman Perencanaan Rumah Sehat. Yogyakarta : Yayasan Sarana Cipta.

Ranuh, I.G.N. (1997). Masalah ISPA dan Kelangsungan Hidup Anak. Surabaya, Continuing Education. Ilmu Kesehatan Anak.

Nurhidayah I, et al. 2007. Hubungan Antara Karakteristik Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Pada Anak di Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang. UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN BANDUNG

Departemen Kesehatan RI. 1989. Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Jakarta: Depkes RI

Azwar, A. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara Sumber Daya

Lubis, P. 1989. Perumahan Sehat. Jakarta: Depkes RI

Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta

Atmosukarto dan Sri Soewasti. 2000. Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalam Penyebaran Tuberkulosis. Jakarta: Media Litbang Kesehatan, Vol. 9 (4), Depkes RI.

Mangtani P, et al. Socioeconomic deprivation and notification rates for tuberculosis in London during 1982-9.  BMJ 1995;310(6985):963.

Guwatudde D, et al. Tuberculosis in Household Contacts of Infectious Cases in Kampala, Uganda. Am J Epid, 2003(158):9

Chia S, Karim M, Elwood RK, Fitzgerald JM. Risk of Tuberculosis in Dialysis Patients: a Population-Based Study. Int J Tuberc Lung Dis 1998;2:989-91.

Moore D, et al. High Rates of Tuberculosis in End-Stage Renal Failure: the Impact of International Migration. CDC 2002(8).

39

Page 40: laporan penelitiaan Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat

Jin S, et al. Frequency and predictors of miliary tuberculosis in patients with miliary pulmonary nodules in South Korea: A retrospective cohort study. BMC Infectious Diseases 2008(8).

Leon A, et al. Tuberculosis and Diabetes in Southern Mexico. Diabetes Care 2004, 27:1584–1590.

Pablos-Mendez A, Blustein J, Knirsch C. The Role of Diabetes Mellitus in the Higher Prevalence of Tuberculosis among Hispanics. Am J Public Health 1997, 87(4).

40