laporan observasi sosiologi

Upload: kamar53

Post on 10-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    1/17

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1Latar BelakangTradisi yang berbeda dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain menyebabkan

    seseorang mengalami culture shockketika harus berpindah lingkungan. Karena menghadapi

    perbedaan tradisi yang mencolok dapat menyebabkan disorientasi dan frustasi (Stolley,

    2005:41). Hal itu dapat dilihat dari perbedaan cara bersikap dan berperilaku individu di

    setiap lingkungan yang ditempatinya.

    Di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, keberadaan pondok

    pesantren bukanlah hal yang aneh. Hampir disetiap kota di Indonesia terdapat pondok

    pesantren. Entah itu pondok yang dikelola oleh kyai lokal maupun pondok yang diasuh olehkyai terkenal. Jenis lembaga pendidikan agama ini memiliki tradisi yang berbeda dari

    lembaga pendidikan lain. Bahkan, tradisi pondok pesantren di tiap daerah juga berbeda.

    Pada pondok pesantren di Jawa tradisi unggah-ungguhatau tata krama menjadi

    hal mutlak. Kyai menduduki kelas sosial yang paling tinggi. Ustadz yang mengajar para santri

    berada di bawah kyai. Sedangkan para santri adalah komunitas paling bawah dalam strata

    sosial di pondok pesantren. Selain tata krama, di dalam pondok juga diberlakukan peraturan

    keagamaan yang ketat. Apalagi yang berkaitan dengan pergaulan antar lawan jenis.

    Kebanyakan pondok tidak mempersilahkan adanya hubungan antar lawan jenis diluar

    pernikahan karena itu tidak sesuai dengan syariat agama Islam.UIN Maliki Malang adalah satu-satunya universitas negeri yang dapat menerima

    calon mahasiswa lulusan pondok pesantren. Maka dari itu, tradisi di UIN Maliki Malang ini

    diusahakan tidak jauh berbeda dari tradisi pondok pesantren dengan tetap

    mempertahankan cara-cara menuntut ilmu di universitas pada umumnya. Pada tahun

    pertama berkuliah di sini, para mahasiswa diharuskan untuk bertempat tinggal di asrama

    atau biasa disebut mahadyang berarti pondok. Sehingga para mahasiswa lulusan pondok

    pesantren yang berkuliah disini tidak mengalami perubahan tradisi yang terlalu mencolok.

    Meskipun tahun pertama telah tinggal di mahadbukan berarti tradisi pondok

    pesantren tetap melekat pada kehidupan masing-masing individu. Karena di UIN Maliki

    Malang ini kita dapat bergaul dengan lawan jenis diluar kawasan mahad, maka banyak

    mahasiswa lulusan pondok pesantren yang mulai meninggalkan tradisi di pondok pesantren.

    Yang dulunya sangat menjaga hubungan antar lawan jenis sekarang malah begitu mudahnya

    akrab dengan teman lawan jenis. Walaupun tidak semua mahasiswa lulusan pondok

    pesantren mengalami hal itu, namun fenomena ini tetap memiliki daya tarik yang tidak

    pernah habis untuk diobservasi dari sisi psikologis maupun sosialnya.

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    2/17

    2

    1.2Rumusan Masalah1. Apa saja yang mempengaruhi proses sosialisasi terhadap lawan jenis mahasiswa

    lulusan pondok pesantren di UIN Maliki Malang?

    2. Bagaimana peran dan proses sosialisasi masing-masing mahasiswa lulusan pondokpesantren di UIN Maliki Malang?

    3. Apa dampak sosial yang terjadi pada pelaku sosialisasi terhadap lawan jenismahasiswa lulusan pondok pesantren di UIN Maliki Malang?

    1.3Tujuan Observasi1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses sosialisasi terhadap

    lawan jenis mahasiswa lulusan pondok pesantren di UIN Maliki Malang.

    2 Untuk mengetahui peran dan proses sosialisasi masing-masing mahasiswa lulusanpondok pesantren di UIN Maliki Malang.

    3 Untuk mengetahui dampak sosial yang terjadi pada pelaku sosialisasi terhadap lawanjenis mahasiswa lulusan pondok pesantren di UIN Maliki Malang.

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    3/17

    3

    BAB II

    REVIEW TEORI SOSIOLOGI

    2.1 Interaksi dan Proses Sosial

    Sosialisasi adalah proses sosial yang abadi dari pembelajaran pola, perilaku, dan

    ekspetasi kebudayaan. Lewat sosialisasi, kita belajar nilai-nilai budaya, norma, dan peran-

    peran. Para sosiolog dan yang lainnya telah mengembangkan dan mendebatkan beberapa

    teori untuk menjelaskan proses sosial dan implikasinya. Teori tersebut (Stolley, 2005:61)

    adalah sebagai berikut:

    a. Teori Looking-Glass SelfCharles Horton Cooley (1864-1929), mengembangkan konsep looking-glass self.

    Berdasar pada pemikiran Cooley, masyarakat menyediakan sebuah cerminan singkat;

    atau melihat kaca (looking-glass), yang merefleksikan kepada kita siapa kita. Kita

    membentuk citra diri berdasarkan pada bagaimana kita mempersepsikan orang lain

    melihat kita. Jika kita berpikir orang lain melihat kita sebagai seseorang yang cantik atau

    humoris contohnya, kita akan melihat diri kita pada keadaan tersebut.

    b. Teori I and MeGeorge Herbert Mead (1863-1931), mengembangkan sebuah konsep dari kedirian

    yang merupakan pusat untuk pengertian kita pada proses sosialisasi dan

    pengembangan interaksionisme simbolik. Menurut Mead (1934), kita tidak terlahir

    dengan diri kita. Kita mengembangkan diri kita lewat pengalaman sosial dan interaksi.

    Ada dua kata dalam teori kedirian ini yaitu Idan me. Imerupakan sesuatu yang

    spontan, impulsif, dan pelaku yang kreatif. Sedangkan meadalah bagian dari kita yang

    menyesuaikan diri, merefleksikan dan bertindak karena reaksi orang lain. Secara

    mudahnya dapat dipahami seperti ini: ketika Imelakukan sesuatu, maka hal itu akan

    menggambarkan me, dan orang lain akan menilai perilaku tersebut.

    c. Teori Kepribadian dan Perkembangan SosialTeori ini berasal dari pengembangan teori-teori psikologi seperti teori milik

    Sigmund Freud (1950), Erik Erikson (1985), Jean Piaget (1896-1980), Lawrence Khlberg

    (1984), dan Carol Gilligan (1982). Teori-teori psikologi ini menjadi target berbagai

    kritikan. Para pengkritik berargumen bahwa teori-teori tersebut dengan luasnya

    mendasarkan pada studi tentang pria (tidak termasuk Gilligan) dan kelas dan cenderung

    untuk menyamaratakan penemuan dari kebudayaan Barat kepada kebudayaan lain.

    Meskipun begitu, teori-teori tersebut penting didalam penyampaian bahwa sosialisasi

    adalah proses perkembangan.

    Proses sosial adalah setiap interaksi sosial yang berlangsung dalam suatu jangka

    waktu, sedemikian rupa hingga menunjukkan pola-pola pengulangan hubungan perilaku

    dalam kehidupan masyarakat (Norma, 2011:57). Sosialisasi umumnya merujuk kepada

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    4/17

    4

    proses dimana orang-orang belajar keterampilan, pengetahuan, nilai-nilai, motivasi, dan

    peran dari sebuah kelompok yang mereka ikut di dalamnya atau komunitas dimana mereka

    tinggal (Wikibooks, 2006:60). Secara garis besar, proses sosial bisa dibedakan ke dalam dua

    jenis, yaitu proses sosial yang asosiatif, dan proses sosial yang disosiatif (Norma, 2011:57).

    Proses sosial asosiatif proses sosial yng mengindikasikan adanya gerak pendekatanatau penyatuan. Bentuk-bentuk proses sosial asosiatif terdiri dari empat macam (Norma,

    2011:57-64), yaitu:

    a. KooperasiKooperasi berasal dari dua kata Latin, coyang berarti bersama-sama, dan operani

    yang berarti bekerja. Kooperasi merupakan perwujudan minat dan perhatian orang

    untuk bekerja bersama-sama dalam suatu kesepahaman, sekalipun motifnya sering dan

    bisa tertuju kepada kepentingan diri sendiri.

    b. AkomodasiAkomodasi adalah suatu proses ke arah tercapainya persepakatan sementara

    yang dapat diterima kedua belah pihak yang tengah bersengketa. Dalam proses

    akomodasi, masing-masing pihak tetap saja memegang teguh pendirian masing-masing

    namun sampai kepada kesepakatan untuk saling tak sepakat, dan atas dasar toleransi

    atas perbedaan masing-masing itu lalu mempertahankan kelangsungan interaksi

    sosialnya. Inilah proses yang oleh Summer (1907) disebut antagonistic cooperation

    (kerja sama dalam suatu permusuhan). Akomodasi sebagai proses sosial dapat

    berlangsung dalam beberapa bentuk1.

    c. AsimilasiPada proses asimilasi terjadi proses peleburan kebudayaan, sehingga pihak-pihak

    atau warga-warga dari dua-tiga kelompok yang tengah berasimilasi akan merasakan

    adanya kebudayaan tunggal yang dirasakan sebagai milik bersama. Perbedaan-

    perbedaan yang ada akan digantikan oleh kesamaan paham budayawi, dan karena juga

    akan digantikan oleh kesatuan pikiran, perilaku, dan mungkin juga tindakan. Proses

    Bentuk-bentuk akomodasi sebagai berikut:

    Pemaksaan (coersion), ialah proses akomodasi yang berlangsung melalui cara pemaksaan sepihak dan yangdilakukan dengan mengancam saksi. Contohnya adalah perbudakan.

    Kompromi (compromise), ialah proses akomodasi yang berlangsung dalam bentuk usaha pendekatan olehkedua belah pihak yang sadar menghendaki akomodasi, kedua belah pihak bersedia mengurangi tuntutanmasing-masing sehingga dapat diperoleh kata sepakat mengenai titik tengah penyelesaian.

    Penggunaan jasa perantara (mediation), ialah suatu usaha kompromi yang tidak dilakukan sendiri secaralangsung, melainkan dengan bantuan pihak ketiga, yang mencoba mempertemukan dan mendamaikan pihak-

    pihak yang bersengketa atas dasar itikat kompromi kedua belah pihak.

    Penggunaan jasa penengah (arbitrate), sama dengan perantara, hanya saja perantara itu sekedarmempertemukan kehendak kompromistis kedua belah pihak, penengah ini menyelesaikan sengketa dengan

    membuat keputusan-keputusan penyelesaian atas dasar ketentuan-ketentuan yang ada.

    Peradilan (adjudication), ialah suatu usaha penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh pihak ketiga yangmemang mempunyai wewenang sebagai penyelesai sengketa seperti seorang hakim.

    Pertenggangan (tolerantion), ialah suatu bentuk akomodasi yang berlangsung tanpa manifestasi persetujuanformal macam apapun.

    Stalemate, adalah suatu bentuk akomodasi, di mana pihak-pihak yang bertentangan sama-sama memilikikekuatan yang seimbang, hingga mereka tiba pada posisi maju tidak bisa, mundur pun tak bisa.

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    5/17

    5

    asimilasi tidaklah akan terjadi apabila antarkelompok tidak tumbuh sikap toleransi dan

    saling berempati.

    d. AmalgamasiAmalgamasi merupakan proses sosial yang melebur dua kelompok budaya

    menjadi satu, yang pada akhirnya melahirkan sesuatu yang baru. Tak usah dikatakanlagi, amalgamasi itu jelas akan melenyapkan pertentangan-pertentangan yang ada

    dalam kelompok.

    Proses-proses sosial yang disosiatif (Norma, 2011:65-70) meliputi:

    a. KompetisiProses ini adalah proses sosial yang mengandung perjuangan untuk

    memperebutkan tujuan-tujuan tertentu yang sifatnya terbatas, yang semata-mata

    bermanfaat untuk mempertahankan suatu kelestarian hidup.

    b. KonflikBerbeda hal dengan kompetisi yang selalu berlangsung dalam suasana damai,

    konflik adalah suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan oranng-orang

    atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan.

    c. KontravensiKontravensi berasal dari kata Latin, contadan venire, yang berarti menghalangi

    atu menantang. Dalam kontravensi dikandung usaha untuk merintangi pihak lain

    mencapai tujuan. Yang diutamakan dalam kontravensi adalah menggagalkan

    tercapainya tujuan pihak lain.

    Secara teoritis, tindakan sosial dan interaksi sosial adalah dua konsep yang berbeda

    arti. Tidakan sosial adalah hal-hal yang dilakukan individu atau kelompok di dalam interaksi

    dan situasi sosial tertentu. Sedang yang dimaksud dengan interaksi sosial adalah proses di

    mana antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan

    kelompok berhubungan satu dengan yang lain (Suyanto & Ariadi, 2011:20).

    Ada dua syarat bagi terjadinya suatu interaksi sosial, yaitu terjadinya kontak sosial

    dan komunikasi. Terjadinya suatu kontak sosial tidaklah semata-mata tergantung dari

    tindakan, tetapi juga tergantung kepada adanya tanggapan terhadap tindakan tersebut.

    Sedangkan aspek terpenting dari komunikasi adalah bila seseorang memberikan tafsiran

    pada sesuatu atau perikelakuan orang lain (Suyanto & Ariadi, 2011:16).

    Faktor-faktor yang mendasari terjadinya interaksi sosial menurut H. Abu Ahmadi

    (2007) adalah:

    a) Faktor ImitasiImitasi pada hakikatnya adalah proses belajar seseorang dengan cara meniru atau

    mengikuti perilaku orang lain. Dalam hal ini bukan hanya sikap yang ditiru namun

    penampilan (performance), tingkah laku (behaviour), maupun gaya hidup (lifestyle),

    bahkan apa saja yang dimiliki orang tersebut.

    b) Faktor SugestiYang dimaksud sugesti disini ialah pengaruh psikis, baik yang datang dari dirinya

    sendiri maupun dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya daya kritik.

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    6/17

    6

    Sugesti akan mudah terjadi apabila pikiran kita sedang mangalami hambatan atau

    kebuntuan berpikir. Selain itu, pandangan atau norma-norma yang dianut sebagian besar

    masyarakat juga sangat mudah diterima apabila ia termasuk bagian masyarakat yang

    mempercayai norma tersebut. Meskipun kita tidak termasuk bagian masyarakat yang

    menganut norma tersebut kita juga akan mudah menerima sugesti dari pandangan yngminoritas.

    c) Faktor IdentifikasiIdentifikasi dalam psikologi berarti keinginan untuk menjadi sama (identik) dengan

    orang lain, baik secara lahiriyah maupun secara batiniah. Proses identifikasi ini mula-mula

    berlangsung secara tidak sadar (dengan sendirinya) kemudian irrasional, yaitu

    berdasarkan perasaan-perasaan atau kecenderungan-kecenderungan dirinya yang tidak

    diperhitungkan secara rasional, dan yang ketiga identifikasi berguna untuk melengkapi

    sistem norma-norma, cita-cita, dan pedoman-pedoman tingkah laku orang yang

    mengidentifikasi itu.d) Faktor Simpati

    Simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain.

    Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, melainkan berdasarkan penilaian perasaan

    seperti juga pada proses identifikasi. Dorongan utama dalam simpati adalah ingin

    mengerti dan kerja sama dengan orang lain.

    Banyak ahli sosiologi sepakat bahwa interaksi sosial adalah syarat utama bagi

    terjadinya aktivitas sosial dan hadirnya kenyataan sosial. Max Weber melihat kenyataan

    sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosial

    (Johnson, 1986:214-215 dalam Suyanto & Ariadi, 2011:20).

    2.2 Norma

    Norma diturunkan dari nilai-nilai sosial kita. Kata norma memiliki akar yang sama

    dengan kata normal, dan cara termudah untuk mengenali norma-norma yang berlaku

    ditengah-tengah masyarakat adalah mencari tahu apa yang dianggap normal oleh

    kebanyakan orang (Boeree, 2006:135).

    Norma merupakan aturan yang dipakai bersama atau harapan dalam menetapkan

    perilaku yang tepat di dalam bermacam-macam situasi. Kita butuh norma untuk memelihara

    kestabilan tatatertib sosial. Keduanya dilakukan secara langsung dan melarang beberapa

    perilaku (Hechter dan Opp, 2011 dalam Stolley, 2005:46). Norma memberitahu kita apa

    yang seharusnya dilakukan (menunggu atau berjalan, membayar pajak tepat waktu,

    menghormati orang yang lebih tua, dll); norma juga memberitahu kita apa yang seharusnya

    tidak dilakukan (memukul suami/istri, memaki dengan keras pada saat pelayanan gereja,

    melanggar lampu merah, dll).

    Norma dipergunakan sebagai standar untuk menilai baik dan buruknya suatu

    perilaku, pandangan, keyakinan, atau bahkan perasaan, di dalam kelompok sosial yangmenganut norma tersebut (Boeree, 2006:134).

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    7/17

    7

    Norma formal telah ditetapkan, peraturan tertulis. Hukum adalah norma formal,

    begitu juga buku pedoman pegawai, syarat ujian masuk perguruan tinggi, dan tanda

    dilarang berlari di kolam renang. Norma formal adalah pertanyaan paling spesifik dan jelas

    dari bermacam-macam tipe norma, dan paling keras memaksa. Tetapi norma formal yang

    datar bersifat memaksa untuk bermacam-macam tingkatan, tergambar di dalamkebudayaan (OpenStax, 2012:62).

    Ada banyak norma formal, tetapi daftar dari norma informal (perilaku sambil lalu

    yang umum dan luas untuk menyesuaikan diri) lebih panjang. Orang-orang mempelajari

    norma informal dengan observasi, imitasi, dan sosialisasi umum. Beberapa norma informal

    dikatakan secara langsung (OpenStax, 2012:62).

    Norma, dan reaksi sosial terhadap pelanggaran, bervariasi dalam kekuatan dan

    intensitasnya (Sumner, 1906 dalam Stolley, 2005:46-47). Dibawah ini adalah macam-macam

    norma menurut Sumner:

    a. FolkwaysFolkwaysmerupakan norma yang lemah yang seringnya informal diturunkan dari

    generasi sebelumnya. Folkwaysbisa juga dianggap sebagai norma tanpa dasar-dasar

    moral. Folkwayssering berurusan dengan perilaku sehari-hari dan sopan santun.

    Kebanyakanfolkwaystidak tertulis dan tidak disebutkan. Kita belajar dari bimbingan

    langsung dan tindakan yang dilakukan untuk memperkuat perilaku yang disetujui.

    b. Tata kelakuan (mores)Tata kelakuan adalah yang mewujudkan pandangan moral dan inti kelompok. Tata

    kelakuan merupakan norma-norma yang dipegang teguh. Moresmewakili standar yang

    dipegang teguh tentang apa yang benar dan salah. Moresdianggap sebagai pelanggaran

    moral yang signifikan dan sering diformalkan sebagai hukum. Moresterkuat secara

    hukum dilindungi dengan hukum atau norma-norma formal lainnya. Orang yang

    melanggar moresdipandang sebagai orang yang memalukan. Bahkan mereka dihindari

    atau dilarang dalam beberapa kelompok. Konsekuensi dari pelanggaran norma ini parah,

    dan bisa berakhir dengan pengusiran. Contoh morespada banyak kebudayaan adalah

    larangan pembunuhan, perampokan, dan penyerangan.

    c. TabuTabu adalah norma yang begitu keberatan bahwa mereka dilarang keras. Tabu sering

    terpikirkan dan hal yang paling dipertimbangkan dalam suatu budaya. Contoh umum

    termasuk inses(perkawinan antara dua orang yang berkerabat dekat dan dianggap

    melanggar adat, hukum, atau agama) serta kanibalisme.

    Sedangkan menurut Soetandyo Wignjosoebroto (2011), pengklasifikasian norma

    sosial meliputifolkways, mores, dan hukum.

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    8/17

    8

    a) FolkwaysDiterjemahkan menurut arti kata-katanya,folkwaysitu berarti tata cara (ways) yang

    lazim dikerjakan atau diikuti oleh rakyat kebanyakan (folk). Walaupunfolkwaysitu

    semula memang merupakan suatu kebiasaan dan kelaziman belaka (yaitu sesuatu yang

    terjadi secara berulang-ulang dan ajeg di alam realita), namun karena dikerjakan secaraberulang-ulang, maka berangsur-angsur terasa kekuatannya sebagai hal yang bersifat

    standar, yang karenanyasecara normatifwajib dijalani.

    b) MoresDibandingkan dengan norma-normafolkwaysyang biasanya dipandang relatif kurang

    begitu pentingdan oleh karenanya dipertahankan oleh ancaman-ancaman sanksi yang

    tidak seberapa kerasmaka apa yang disebut moresitu dipandang lebih esensial bagi

    terjaminnya kesejahteraan masyarakat. Pelanggaran terhadap moresselalu disesali

    dengan sangat, dan orang selalu berusaha dengan amat kerasnya agar morestidak

    dilanggar.c) Hukum

    Pada kebanyakan masyarakat, di samping adanyafolkwaysdan mores, diperlukan

    pula adanya segugus kaidah yang lain, yang lazim disebut hukum, untuk menegakkan

    keadaan tertib sosial. Berbeda halnya denganfolkwaysdan mores, pada hukum didapati

    adanya organisasi-politik khususnya, yang secara formal dan berprosedur bertugas

    memaksakan ditaatinya kaidah-kaidah sosial yang berlaku. Inilah organisasi yang lazim

    dikenal dengan nama badan peradilan.

    Dalam pandangan para antropolog, agama merupakan sumber nilai moral dan

    kaidah sosial masyarakat. Nilai-nilai agamayang umumnya sangat disakralkan

    merupakan orientasi utama dari mana sistem hukum dan kaidah sosial dibentuk dan

    dilembagakan masyarakat (Mashud, 2011:253).

    Di dalam berbagai ritus keagamaan tertanam pelaksanaan sentimenyang

    menopang norma dan nilai-nilai yang fundamental dan karena itu memantapkan kembali

    norma tersebut dalam kesadaran para penganutnya. Dalam kegiatan timbal balik yang saling

    memperkuat ini, kepercayaan beragama memberikan sanksi norma tingkah laku dan

    menyediakan pembenahan terakhir. Sedang ritus agama menanamkan dan melaksanakan

    sikap-sikap pengungkapan dan oleh karena itu akan memperkuat sikap memiliki dan

    menghormati di mana norma yang demikian itu dianut. Jadi, melalui sanksi dan pembaruan

    norma-norma dasar, agama memberikan dasar strategis bagi pengendalian sosial dalam

    menghadapi kecenderungan penyimpangan dan pengungkapan dorongan-dorongan yang

    berbahaya bagi stabilitas masyarakat (Mashud, 2011:254).

    2.3 Tradisi dan Kebudayaan

    Kebudayaan adalah kepercayaan dan perilaku yang dilakukan bersama-sama oleh

    sebuah kelompok sosial (OpenStax College, 2012:56). Menurut para sosiolog, kebudayaan

    terdiri dari seluruh ide, kepercayaan, perilaku, dan produk-produk, serta menegaskan, jalan

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    9/17

    9

    hidup suatu kelompok sosial. Kebudayaan meliputi apapun yang manusia ciptakan dan miliki

    karena interaksi yang terjadi diantara mereka (Stolley, 2005:41).

    Kebudayaan membentuk persepsi masyarakat tentang berbagai hal termasuk cara

    berpikir, cara berperilaku, cara menilai sesuatu, tradisi yang kita pegang, dan hukum yang

    kita buat. Setiap kebudayaan terdiri dari material dan non material. Semua hal yang dapat

    diraba (nyata) yang dihasilkan oleh interaksi antar manusia disebut material kebudayaan.

    Hal itu termasuk pakaian, buku, seni, bangunan, kuliner, alat-alat, dll. Non material

    kebudayaan adalah segala sesuatu yang tidak dapat diraba yang tercipta dari hasil interaksi

    antar manusia. Ide, bahasa, nilai-nilai, kepercayaan, kebiasaan, dan institusi sosial

    merupakan contoh dari non material kebudayaan (Stolley, 2005:42).

    Unsur-unsur kebudayaan terdiri dari (OpenStax College, 2012:61):

    a. Nilai-nilai dan KepercayaanNilai adalah standar kebudayaan untuk melihat mana yang baik dan pantas di dalam

    masyarakat. Sedangkan kepercayaan adalah ajaran atau keyakinan yang dianggap benar

    oleh orang-orang. Individu-individu di dalam sebuah masyarakat mempunyai

    kepercayaan yang spesifik, tetapi mereka juga berbagi nilai-nilai bersama.

    b. NormaNorma adalah bagaimana cara berperilaku agar sesuai dengan apa yang masyarakat

    tetapkan sebagai baik, benar, dan penting, dan sebagian besar anggota masyarakat

    menganutnya.

    c. Simbol dan BahasaSimbol dapat diartikan seperti gerak-gerik, tanda, benda, sinyal, dan kata-kata

    membantu orang-orang untk mengerti dunia. Simbol memberikan petunjuk untuk

    memahami pengalaman. Bahasa adalah sistem simbolik yang ditransmisikan melalui

    komunikasi dan melalui budaya.

    Kebudayaan berubah ketika sesuatu yang baru (katakanlah, rel kereta api atau

    smartphone) membuka cara hidup yang baru dan ketika ide-ide baru memasuki suatu

    kebudayaan (katakanlah, sebagai hasil dari perjalanan atau globalisasi). Kebudayaan dapat

    berubah disebabkan dua hal dibawah ini (OpenStax, 2012:69-70):

    a. Inovasi (Penemuan dan Penciptaan)Sebuah inovasi mengarah kepada suatu objek atau konsep awal dari sebuah

    penampilan dalam masyarakat. Ada dua cara yang tepat dalam mendatangkan sebuah

    ide ataupun benda inovatif yaitu, penemuan dan penciptaan.

    Penemuan adalah yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu tentang aspek yang ada

    pada kenyataan. Contohnya pada 1610, ketika Galileo melihat melalui teleskopnya dan

    menemukan planet Saturnus, planet itu telah ada disana, tetapi hingga waktu itu, belum

    ada yang tahu tentang keberadaan planet tersebut.

    Hasil invensi muncul ketika sesuatu yang baru telah dibentuk dari objek atau konsepyang ada (ketika benda-benda diletakkan bersama di dalam sebuah adab secara

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    10/17

    10

    keseluruhan). Pada akhir 1800an dan awal 1900an, alat-alat listrik telah diinvensi dengan

    langkah yang mencengangkan.

    Sosiolog William F. Ogburn menciptakan istilah ketertinggalan budayauntuk

    merujuk kepada masa yang lalu diantaranya ketika sesuatu yang baru dari material

    kebudayaan telah dikenalkan dan ketika hal itu menjadi bagian yang telah diterima darinon material kebudayaan (Ogburn:1957).

    b. Difusi dan GlobalisasiPasar dunia telah didominasi oleh perusahaan multinasional pada 1980an, sebuah

    keadaan baru dari urusan-urusan pada saat itu. Integrasi dari perdagangan internasional

    dan pasar uang sebagai globalisasi. Peningkatan komunikasi dan perjalanan udara telah

    lebih jauh membuka pintu untuk hubungan bisnis internasional, memfasilitasi alirannya

    tidak hanya yang baik tetapi juga informasi dan orang-orang dengan baik

    (Scheuerman:2010).

    Disepanjang proses globalisasi ada difusi, atau, penyebaran material dan nonmaterial kebudayaan. Ketika globalisasi merujuk pada integrasi pasar, difusi

    menghubungkan proses yang serupa untuk integrasi kebudayaan internasional.

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    11/17

    11

    BAB III

    LAPORAN OBSERVASI

    3.1Setting Lingkungan SosialObservasi ini saya lakukan di lingkungan kampus UIN Maulana Malik Ibrahim

    Malang yang mayoritas mahasiswanya lulusan pondok pesantren. Meskipun begitu, sistem

    pembelajaran di kampus ini laki-laki dan perempuan belajar dalam satu kelas, entah itu

    kelas reguler ataupun kelas Bahasa Arab atau PPBA. Selain lulusan pondok pesantren, di

    kampus ini juga banyak mahasiswa yang berasal dari sekolah umum. Maka dari itu,

    mahasiswa dari kedua latar belakang tersebut berbaur dalam lingkungan sosial di kampus

    ini menciptakan lingkungan sosial yang beragam termasuk cara bergaul dengan lawan jenis.

    3.2Gambaran Latar Belakang Kehidupan Sosial SubyekKarena disini subyek yang saya teliti adalah mahasiswa lulusan pondok pesantren,

    maka yang akan saja paparkan hanya latar belakang mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim

    Malang yang berasal dari pondok pesantren saja. Di pondok pesantren, para santri

    menjalankan kehidupan sesuai dengan syariat Islam. Meskipun tidak semua pondok

    mempunyai cara yang sama dalam mendidik para santrinya.

    3.3Gambaran tentang Realitas Sosial yang TerjadiPergaulan di kampus yang berbeda dengan di pondok pesantren juga berdampak

    pada cara bergaul para mahasiswa lulusan pondok pesantren di UIN Maulana Malik Ibrahim

    Malang. Jika di pondok pesantren pergaulan antara laki-laki dan perempuan sangat diatur,

    berbeda halnya dengan di kampus yang bebas. Meskipun pada tahun pertama diwajibkan

    bertempat tinggal di mahad, tetapi hal itu tidak dapat mempertahankan kondisi pergaulan

    antar lawan jenis seperti di pondok pesantren. Hal itu dikarenakan kelas belajar untuk kuliah

    reguler dan Program Pengembangan Bahasa Arab (PPBA) disatukan antara mahasiswa dan

    mahasiswi. Sehingga interaksi antar lawan jenis secara intens tidak terelakkan setiap

    harinya.

    3.4Bentuk-bentuk Permasalahan Sosial yang TerjadiDari proses sosialisasi antar lawan jenis yang terjadi pada mahasiswa lulusan

    pondok pesantren di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, terdapat permasalahan sosial

    yang muncul, diantaranya perubahan cara bersosialisasi atau bergaul mahasiswa lulusan

    pondok pesantren dengan lawan jenisnya serta berubahnya pola pikir terhadap pergaulan

    antar lawan jenis.

    Cara bersosialisasi mahasiswa lulusan pondok pesantren dengan lawan jenisnya di

    kampus telah mengalami perubahan dari cara bergaul mereka dengan lawan jenis di pondok

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    12/17

    12

    pesantren. Di pesantren, ketika bertatap muka dengan lawan jenis yang bukan mahram

    mereka akan menundukkan muka. Sebisa mungkin untuk menjaga pandangan dan sikap

    ketika berada di hadapan lawan jenis.

    Mengobrol dengan candaan dan basa-basi merupakan salah satu aktivitas interaksi

    sosial di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Di kampus, lawan jenis berinteraksi dengan

    menatap muka secara langsung hingga berduaan sudah menjadi hal biasa. Banyak hal

    aktivitas akademik yang membutuhkan interaksi antar lawan jenis seperti diskusi, rapat,

    kerja kelompok, dll.

    Cara berpikir mahasiswa yang dulunya mondokdi pesatren terhadap lawan jenis

    yang bukan mahramyang menganggap bahwa yang bukan mahramitu tidak boleh didekati.

    Hal itu sesuai dengan syariat Islam yang mengatur pergaulan lawan jenis yang bukan

    mahramdan diterapkan di dalam pondok pesantren. Berbeda cara pandang terjadi ketika

    mereka telah berada di kampus. Meskipun tidak semua merubah cara berpikir mereka.

    Mereka yang berubah pemikirannya sudah tidak mengganggap yang bukan mahramitu

    haram untuk didekati. Bebasnya pergaulan merupakan bukti dari perubahan cara berpikir

    tersebut.

    3.5Penyebab Munculnya Masalah SosialPenyebab munculnya permasalahan sosial yang terjadi adalah dikarenakan keadaan

    dan sistem belajar di kampus yang mendukung munculnya masalah sosial serta kebiasaan

    atau perilaku mahasiswa bukanlulusan pondok pesantren dan senior yang mempengaruhi

    perilaku mahasiswa lulusan pondok pesantren khususnya junior atau mahasiswa baru.

    Sistem belajar di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang mencampurkan antara

    mahasiswa dan mahasiswi dalam satu kelas serta penyamarataan dalam perlakuan

    akademik menjadi salah satu penyebab munculnya masalah sosial. Sistem pembelajaran

    seperti itu menuntut para mahasiswa dan mahasiswinya untuk saling berinteraksi di dalam

    kelas maupun di luar kelas. Kegiatan yang menuntut adanya interaksi antar lawan jenis yaitu

    diskusi, kerja kelompok, maupun presentasi.

    Selain itu peran mahasiswa yang bukan lulusan pondok pesantren dan senior di UINMaulana Malik Ibrahim Malang juga ikut andil dalam memunculkan masalah sosial diatas.

    Karena di kampus ini tidak membedakan latar belakang pendidikan masing-masing

    mahasiswa. Mahasiswa yang lulus tidak dari pondok pesantren memiliki cara berpikir dan

    bergaul yang lebih bebas daripada mahasiswa lulusan pondok pesantren. Hal itu

    mempengaruhi mahasiswa lulusan pondok pesantren. Mereka meniru cara pandang dan

    bergaul para senior dan mahasiswa bukan lulusan pondok pesantren yang mereka anggap

    keren.

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    13/17

    13

    3.6Dampak Riil Masalah Sosial dalam Kehidupan Sosial MasyarakatDampak riil masalah sosial dalam kehidupan sosial masyarakat meliputi dampak

    positif dan dampak negatif. Dampak positif yang terjadi seperti:

    Terbukanya pergaulan antar lawan jenis dapat mengharmoniskan hubungankomunikasi. Tentunya juga meluaskan pergaulan di kalangan mahasiswadan sekitarnya.

    Selain itu, pembatasan pergaulan yang dilakukan beberapa observan jugadapat membentengi keimanan dan diri mereka dari kemaksiatan.

    Dampak negatif yang terjadi antara lain:

    Terlalu terbukanya pergaulan dengan tidak dibarengi kesadaran dankewaspadaan akan kejahatan dan hal-hal negatif lainnya dapat

    menjerumuskan mahasiswa kedalam kemaksiatan.

    Pembatasan pergaulan yang terlalu ketat juga akan mengakibatkanrendahnya kemampuan sosialisasi seseorang di masyarakat.

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    14/17

    14

    BAB IV

    ANALISA, PEMBAHASAN, DAN SOLUSI

    4.1 Analisa

    Dari observasi yang telah dilakukan penulis, dapat diketahui bahwa proses sosialisasi

    yang terjadi antar lawan jenis untuk mahasiswa lulusan pondok pesantren sebenarnya

    mayoritas tidak menemui masalah ketika berinteraksi dengan lawan jenis pertama kalinya di

    luar pondok pesantren. Karena menurut mereka, ketika di pondok pesantren pembatasan

    pergaulan lawan jenis tidak terlalu dijaga ketat, tetapi tetap dibatasi. Oleh karena itu, ketika

    telah berada di kampus mereka tidak memiliki masalah dengan pergaulan mereka dengan

    lawan jenis.

    Selain itu, ada juga beberapa mahasiswa yang kaget ketika telah berada di kampus

    karena pondok pesantren tempat mereka dahulu menimba ilmu memiliki peraturan dan

    pembatasan yang lebih ketat terhadap masalah pergaulan antar lawan jenis. Kelompok ini

    memiliki masalah berinteraksi dengan lawan jenis ketika harus mengerjakan tugas kelompok

    atau hal-hal lain yang mengharuskan mereka berinteraksi dengan lawan jenis. Hal-hal yang

    muncul ketika mereka menemui masalah dalam bersosialisasi adalah rasa gugup,

    kecanggungan dalam bersikap, dan berkomunikasi.

    4.2 Pembahasan

    Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, terdapat hal-hal yang

    mempengaruhi proses sosialisasi yang terjadi antar lawan jenis pada mahasiswa lulusan

    pondok pesantren di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, diantaranya sistem peraturan

    atau pembatasan pergaulan antar lawan jenis di pondok pesantren tempat mereka

    menimba ilmu dahulu dan sistem pembelajaran di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang

    tidak memisahkan antara mahasiswi dan mahasiswa dalam proses pembelajaran seperti

    tugas kelompok, diskusi, dll.

    Selain itu ketika mereka mengikuti organisasi ataupun Unit Kegiatan Mahasiswa di

    kampus juga diharuskan berinteraksi dengan lawan jenis terutama senior. Ada dari observan

    yang kemudian mengubah cara pandangnya terhadap hal ini dan mulai terbuka dengan

    lawan jenis. Hal itu didasari oleh argumen bahwa pembatasan pergaulan dengan lawan jenis

    dapat merugikan dirinya ketika harus melaksanakan tugas dari dosen ataupun ketika

    bersosialisasi di kampus.

    Yang lain ada juga yang tetap mempertahankan keyakinan yang mereka bawa dari

    pondok pesantren. Ketika berinteraksi dengan lawan jenis, mereka memberlakukan

    pembatasan terhadap dirinya sendiri dengan tidak memandang lawan jenis dan berbicara

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    15/17

    15

    seperlunya saja. Mereka berkeyakinan bahwa melakukan interaksi yang berlebihan

    terhadap lawan jenis akan menjerumuskan mereka ke dalan kemaksiatan.

    4.3 Solusi

    Solusi yang dapat penulis sarankan kepada kedua macam kelompok observanadalah:

    Bagi observan yang terbuka dalam pergaulan, diharapkan tetap waspada dalammenjaga diri terhadap hal-hal yang negatif. Begitu juga dalam memilih teman harus

    selektif agar tidak menimbulkan pengaruh negatif atas diri kita.

    Bagi observan yang membatasi pergaulannya, diharapkan dapat lebih luwes lagidalam bergaul agar tidak kaku dalam bersosialisasi, tetapi jangan tinggalkan nilai-

    nilai luhur yang telah kalian terima dari pondok pesantren.

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    16/17

    16

    BAB V

    KESIMPULAN

    Proses sosialisasi antar lawan jenis yang terjadi pada mahasiswa lulusan pondok

    pesantren di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini memiliki dua cara yang berbeda. Ada

    yang mengalami perubahan dari tradisi pergaulan di pondok pesantren dan ada pula yang

    statis. Yang mengalami perubahan cara bersosialisasi tidak lepas dari faktor pergaulan di

    kampus serta sistem pembelajaran kampus. Hal itu berdampak pada perubahan sikap dan

    pola berpikir tentang pergaulan lawan jenis.

  • 7/22/2019 laporan observasi sosiologi

    17/17

    17

    DAFTAR PUSTAKA

    Abu Ahmadi, Haji. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta

    Boeree, C. George. 2006. Dasar-dasar Psikologi Sosial. Jogjakarta: Prismasophie

    College, OpenStax. 2012. Introduction to Sociology. Houston, Texas: OpenStax College

    Mashud, Mustain. 2011. Pranata Agama dalam Narwoko dan Suyanto (Eds). Sosiologi Teks

    Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana

    Norma, Siti. 2011. Proses Sosial dalam Narwoko dan Suyanto (Eds). Sosiologi Teks Pengantar

    dan Terapan. Jakarta: Kencana

    Suyanto, Bagong dan Ariadi, Septi. 2011. Interaksi dan Tindakan Sosial dalam Narwoko dan

    Suyanto (Eds). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana

    T. Cragun, Ryan dan Cragun, Deborah. 2006. Introduction to Sociology. Wikibooks

    Wignjosoebroto, Soetandyo. 2011. Norma dan Nilai Sosial dalam Narwoko dan Suyanto

    (Eds). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana

    Stolley, Kathy S. 2005. The Basics of Sociology. London: Greenwood Press