laporan kasus, mh, nurul fatimah
TRANSCRIPT
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
1/19
0
LAPORAN KASUS
Morbus Hansen
Oleh
Nurul Fatimah (H1A 009 032)
Pembimbing :
Dr. Yunita Hapsari, Sp.KK
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN
KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM PROPINSI NTB - FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
2013
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
2/19
1
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya
sehingga laporan kasus yang berjudul Kusta ini dapat terselesaikan. Tugas inidisusun untuk memenuhi syarat dalam rangka mengikuti kepaniteraan klini di
bagian SMF/Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Mataram Rumah Sakit Umum Propinsi NTB.
Dalam penyusunan laporan kasus ini penulis memperoleh bimbingan serta
dukungan dari berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk menyempurnakan tulisan ini.
Mataram, 30 April 2013
Penulis
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
3/19
2
Daftar Isi
Halaman Judul ............................................................................................................... 0
Kata Pengantar............................................................................................................... 1
Daftar Isi....................................................................................................................... 2
Bab I Pendahuluan................................................................................................ 3
Bab II Laporan Kasus........................................................................................... 5
Bab III Pembahasan.............................................................................................. 8
Ringkasan ............................................................................................................ 16
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 17
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
4/19
3
Laporan Kasus
Morbus Hansen
Nurul Fatimah
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNRAM/RSUP NTB
BAB I
PENDAHULUAN
Morbus hansen (MH/ kusta/lepra) merupakan penyakit infeksi yang kronik
dan penyebabnya adalah mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat,
menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama (primer), kulit dan jaringan
tubuh lain, kecuali susunan saraf pusat. 1,2,3,4 Menurut World Health Organization
(WHO), penyakit kusta diklasifikasikan menjadi dua yaitu tipe PB (pausi basiler)
dan tipe MB (multi basiler).1,3
Menurut WHO, diperkirakan jumlah penderita kusta baru di dunia pada
tahun 2005 (di luar regional Eropa) adalah sekitar 296.499 orang. Dari jumlah
tersebut terbanyak terdapat di regional Asia Tenggara : 201.635 kasus, diikuti
regional Afrika : 42.814 kasus, regional Amerika : 47.780 kasus dan sisanya
berada pada regional lain di dunia. Sementara di Indonesia ada tahun 2005 tercatat
21.537 penderita kusta terdaftar, jumlah kasus baru sebanyak 19.695 penderita,
8,74 % penderita mengalami cacat tingkat 2 serta 9,09 % di antaranya adalah
penderita kusta anak. Menurut data kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5 %
penderita mengalami reaksi kusta.3
Secara global terdapat 436.246 kasus didunia pada tahun 2008, dengan
India dan Brazil sebagai penyumbang tertinggi dengan jumlah penderita masing-
masing 83.041 dan 29.761 kasus dan di Indonesia menduduki peringkat tiga dunia
sebagai penyumbang penderita baru kusta terbanyak yaitu 19.785 kasus.5
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
5/19
4
Penyakit kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan dari
orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak < 14 tahun didapatkan 11,39%,
tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada
kelompok umur antara 25-35 tahun.1
Cara penularan kusta belum diketahui pasti, hanya berdasarkan anggapan
klasik yaitu antara kontak langsung antara kulit yang lama. Angapan ke dua
adalah melalui inhalasi, sebabM. Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam
droplet.1,6 Kuman kusta dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat
dan air susu ibu, jarang ditemukan ada urin.1
Reaksi kusta merupakan salah satu faktor resiko terjadi kecacatan
sehingga diharapkan reaksi kusta yang terjadi pada penderita kusta dapat
diketahui sedini mungkin dan penderita secepatnya mendapatkan penanganan
serta terhidar dari kecacatan akibat reaksi tersebut.3
Penyakit kusta dapat didiagnosis berdasarkan gambaran klinis,
bakterioskopis, serologis dan histopatologis. Dari ketiganya diagnosis secara
klinis yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan
waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Tes
tambahan adalah tes lepromin untuk membantu penentuan tipe yang hasilnya akan
diketahui setelah 3 minggu.1
Melihat tingginya insidensi terjadinya penyakit kusta di masyarakat
khususnya di Indonesia, maka penulis merasa perlu untuk membahas penyakit
kusta sebagai bahan pembelajaran mengenai pengenalan awal reaksi kusta agar
dapat sedini mungkin mencegah terjadinya kecacatan pada pasien penderita
penyakit kusta. Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah untuk membahas
kasus mengenai kusta yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, penegakan diagnosis serta penatalaksanaan dan edukasi pada penderita
kusta.
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
6/19
5
BAB II
LAPORAN KASUS
KASUS
Tn M, laki-laki umur 21 tahun bertempat tinggal di praya, datang ke poli
kulit dan kelamin tanggal 27 April 2013 dengan keluhan utama bercak merah
kehitaman yang mati rasa pada kaki dan tangan. Pasien mengaku bercak pada
kulit dan mati rasa sudah dirasakan sejak 3 tahun yang lalu, awalnya bercak kulit
agak pucat dan ada yang sewarna dengan kulit dan bercak berubah menjadi
kemerahan kurang lebih sejak 1 bulan yang lalu, terasa bengkak dan panas.
Pertama kali mati rasa dirasakan pasien pada jari telunjuk tangan kanan, kemudian
ke kaki kiri dan kemudian ke tangan dan bercak kulit lainnya, pasien menyangkal
adanya gatal dan nyeri pada bercak-bercak dikulit dan mengaku hanya merasa
kesemutan. Pasien menyangkal adanya keluhan pada mata seperti penglihatan
kabur, ataupun kelemahan pada otot seperti sulit menggenggam. Pasien mengaku
tidak memiliki riwayat alergi makan maupun obat serta menyangkal adanya
riwayat atopi pada diri pasien atau keluarga. Selama 3 tahun mengalami hal
tersebut pasien mengaku tidak pernah berkunjung ke puskesmas atau rumah sakit
untuk berobat karena berharap bercak dikulitnya akan sembuh sendiri. Pasien
mengaku tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya, dan menyangkal
adanya keluarga atau orang disekitar rumahnya yang mengalami hal yang serupa.
Pasien merupakan rujukan dari puskesmas praya. Pada riwayat sosial di satu
psukesmas tempat berobat pertama kali, pasien mengaku ada pasien lain yang
menderita hal yang sama, tetapi pasien tidak kenal dan tidak pernah berhubungan
dengan orang tersebut.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien baik, kesadaran (GCS) compos
mentis (E4V5M6), dari inspeksi tidak terlihat kelainan ekspresi wajah, tidak
terlihat lagoftalmus, tidak terlihat madarosis, tidak terlihat saddle nose, dan tidak
terlihat facies leonina. Pemeriksaan saraf tepi : pada N. Facialis tidak ditemukan
lagoftalmus atau kehilangan ekspresi wajah; pada N. Trigeminus ditemukan
anestesia pada bercak kulit pada wajah, rekleks kornea dan konjungtiva normal
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
7/19
6
dengan menutup mata spontan; N. Aurikularis magnnus : ditemukan adanya
perbesaran saraf; N. Ulnaris tidak ditemukan clawhandpada jari kelingking dan
jari manis, serta atrofi dari otot tenar maupun hipotenar anestesi pada jari
kelingking dan jari manis tangan kanan dan kiri; N. Medianus tidak ditemukan
clawhandpada ibu jari, telunjuk dan jari tengah, anestesi pada ujung anterior ibu
jari, tenlunjuk dan jari tengah tangan kanan, smentara tangan kiri tidak anestesi;
N. Radialis tidak ditemukan adanya tangan gantung (wrist drop), ditemukan
anestesi pada ujung proksimal jari telunjuk tangan sebelah kanan sementara
tangan kiri tidak anestesi, mampu mengekstensikan jari-jari dan pergelangan
tangan; N. Poplitea lateralis tidak ditemukan kaki gantung (foot drop) dan
ditemukan anestesi pada dorsum pedis; N. Tibialis posterior tidak ditemukan
adanya claw toes, ditemukan anestesi pada telapak kaki kanan, dan beberapa titik
di kaki sebelah kiri. Ditemukan kelainan saraf otonom pada tes Gunawan pada
lesi di tangan dan di kaki.
Status dermatologis, regio: ekstremitas superior, inferior dextra et sinistra,
torakalis posterior, facialis, abdomen bagian lateral. UKK regio ekstremitas
superior dextra et sinistra : terdapat plak eritema multipel dengan bentuk tidak
beraturan, ukuran terbebesar berdiameter 10 cm, anestesi (+). Regio thorakalis
posterior : terdapat plak eritema multipel yang tertutup skuama halus, anestesi (-).
Regio ekstremitas inferior dextra et sinistra: tampak makula eritema multipel,
ukuran bervariasi anestesi (+). Regio Facialis : tampak plak eritema multipel,
diameter 2 cm, anestesi (+).
Adapun diagnosis banding yang di ajukan adalah kusta, psoriasis vulagaris,
pitiriasis rosea.
Adapun pemeriksaan penunjang yang di ajukan pada kasus ini adalah
Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit pada cuping telinga dan lesi
kulit yang anestesia) untuk mengetahui hasil tes BTA serta jumlah indeks bakteri
(IB) dan indeks morfologi (IM) pada sediaan dengan hasil pemeriksaan IB cuping
telinga +2, IB lesi kulit +3 dan IM 60%. Pemeriksaan penunjang lain adalah
pemeriksaan histopatologik yang bertujuan untuk menemukan sel datia langhans
serta tuberkel, pemeriksaan serologik yang bertujuan untuk mengecek antibodi
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
8/19
7
anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD,
dan tes lepromin untuk menentukan tipe kusta, tetapi ketiga pemeriksaan terakhir
tidak dilakukan, karena untuk mendiagnosis penyakit kusta, diagnosis secara
klinis yang terpenting dan paling sederhana adalah bakterioskopik dan tidak
memerlukan waktu lama.
Diagnosis kerja : Kusta tipe MB dengan Reaksi tipe 1, derajat kecacatan 0
Terapi
Dosis perbulan : Rifampicin 600 mg
Clofazimine 300 mg (lamprene)
Dapson 100 mg
Dosis perhari : Dapsone 100 mg
Clofazimine 50 mg
Keterangan penggunaan obat: Pengobatan penderita kusta tipe MB dewasa
dengan 12 blister dalam waktu 12-18 bulan (1 blister untuk 1 bulan). Hari pertamakonsumsi dosis bulanan didepan petugas, hari ke 2-28 dilanjutkan dengan dosis
harian, lalu kembali kontrol dan kembali mengkonsumsi dosis bulanan sampai 12
bulan.
Saran : teratur dalam minum obat, jika obat habis segera datang kontol
untuk mendapatkan obat, segera kontrol jika terdapat keluhan tambahan seperti
lemah otot, tidak kuat menggenggam, sulit menutup mata, dll.
Prognosis :
- Ad vitam : Bonam- Ad functionam : Dubia- Ad sanationam : Dubia- Ad cosmetic : Dubia
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
9/19
8
BAB III
PEMBAHASAN
Diagnosis kusta pada pasien ini dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Identitas pasien seorang laki-laki usia 21
tahun, sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa penyakit kusta dapat
menyerang semua umur, tetapi umur pasien tidak masuk dalam umur dengan
frekuensi tinggi menderita kusta yaitu 25-35 tahun.1 Sementara dari literatur lain
menyatakan bahwa umur dengan frekuensi tertinggi menderita kusta adalah 20-30
tahun dan menurun pada umur diatasnya.5 Jadi dari anamnesis usia pasien 21
tahun sudah termasuk dalam usia yang memiliki frekuensi tinggi menderita kusta.
Pasien berjenis kelamin laki-laki sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa
jenis kelamin laki-laki memiliki prevalensi lebih tinggi menderita kusta dibanding
wanita.5,8
Diagnosis kusta dilakukan dengan mencari kelainan yang berhubungan
dengan saraf tepi dan kelainan yang tampak pada kulit. Tanda utama atau cardinal
signpenyakit kusta yaitu: 5,6,8,9
a. Lesi (kelainan kulit) yang mati rasa, yaitu kelainan aau lesi kulithipopigmentasi, erithematous dan anestesi.
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf yangdiakibatkan oleh adanya neuritis perifer, gangguan fungsi sensoris (mati
rasa), gangguan fungsi motorik (kelemahan otot atau kelumpuhan) dan
gangguan saraf otonom (kulit kering dan retak)
c. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan kulit (BTA positif)Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila terdapat satu atau lebih
tanda cardinal.
Dari anamnesis didapatkan keluhan bercak-bercak kulit merah kehitaman
yang mati rasa yang di rasakan sudah sejak 3 tahun yang lalu. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat kelainan saraf sensoris berupa anestesi/hipoanestesi,
dan pada pemeriksaan fisik didapatkan penebalan saraf tepi yaitu N. Aurikularis
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
10/19
9
magnus serta dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil BTA positif.
Dari tanda kardinal pada literatur terdapat tiga tanda yang positif pada pasien ini
sehingga dapat di diagnosa sebagai pasien kusta.
Agar terapi yang diberikan pada pasien sesuai, maka perlu ditentukan tipe
kusta yang diderita sesuai dengan bagan diagnosis sebagai berikut :
Bagan diagnosis klinis mennurut WHO :1,3,4
PB MB
Lesi kulit (makula datar,
papul yang meninggi,
nodus)
- 1-5 lesi- Hipopigmentasi/eritema- Distribusi tidak simetris- Hilangnya sensasi yang
jelas
- > 5 lesi- Distribusi lebih
simetris
- Hilangnya sensasikurang jelas
Kerusakan saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf
yang terkena)
Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
Dari pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, terlihat lesi kulit merah
kehitaman yang mati rasa yang di rasakan sudah sejak 3 tahun yang lalu dengan
predileksi pada regio ektremitas superior dan inferior dextra et sinistra, thorakalis
posterior, fasialis dan lateral abdomen. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
kelainan saraf berupa kelainan sensoris yaitu anestesi/hipoanestesi mengenai
banyak saraf dengan lesi kulit lebih dari lima tempat, sehingga mengarahkan
diagnosis pada kusta tipe MB (multibasiler).
Dari hasil anamnesis pada pasien, dicurigai pasien telah mengalami reaksi
kusta yang terjadi sebelum pengobatan. Reaksi kusta sendiri memiliki definisi
berupa gambaran episode akut dari perjalanan kronis penyakit kusta yang
merupakan reaksi hipersensitifitas terhadap M. leprae yang menyebabkan
gangguan dalam keseimbangan sistem imunologi.1,3Merupakan reaksi imun yang
dapat terjadi sebelum, selama atau setelah pengobatan dengan MDT.9
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
11/19
10
Dua komplikasi kusta adalah teaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan Erythema
Nodosum Leprosum (ENL). Kerusakan fungsi saraf didefinisikan sebagai
penurunan fungsi sensorik dan motorik.9
Reaksi reversal dikenali dengan adanya inflamasi akut pada lesi kulit atau
saraf atau keduanya. Rekasi tipe 1 sering mengalami kekambuhan dan dapat
menyebabkan kerusakan saraf yang lebih lanjut.9 Dapat terjadi pada penderita
kusta tipe TB dan MB, terutama pada fase 6 bulan pertama pengobatan. 3 Dari
anamnesis diketahui bahwa kurang lebih satu bulan yang lalu, pasien mengaku
lesi pada kulit berubah warna menjadi lebih merah dan bengkak, hal tersebut
dapat di curigai sebagai raksi kusta tipe 1 yang terjadi sebelum masa pengobatan,
sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa lesi kulit dapat menjadi inflamasi
akut dan edema serta mengalami ulserasi. Edema terjadi pada tangan, kaki dan
wajah. 3,9,10.
Sumber : 3, 10
Sementara reaksi tipe 2 (ENL) sering terjadi pada penderita kusta tipe MB dan
merupakan respon imun humoral, karena tingginya repon imun humoral
penderita.3 Gejala ENL dapat terjadi perubahan nodul kemerahan, neuritis,
gangguan fungsi saraf, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh
lainnya.3,9
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
12/19
11
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk dapat segera
mendiangnosa pasien yang mengalami reaksi kusta adalah sebagai berikut : 10
1. Dignosa dini penyakit kusta dan segera melakukan pengobatan dengan MDT2. Mengidentifikasi pasien dengan resiko tinggi mengalami reaksi kusta.3. Edukasi pasien yang menderita kusta dan keluarga tentang pentingnya
pengobatan yang tratur dan komplit.
4. Edukasi pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala reaksi kusta dan neuritisdan memberitahukan pasien segera datang kontrol jika tanda dan gejala
tersebut terlihat.
5. Memantau dan melakukan sering melakukan pemeriksaan pada pasiendengan resiko tinggi setiap bulan untuk deteksi awal terjadinya reaksi da
kerusakan saraf
6. Pengobatan reaksi kusta yang tepat waktu dan rujukan yang tepat akanmembantu dalam pencegahan kecacatan akibat kusta.
Kusta disebabkan oleh kuman tahan asam yang bentuknya sangat menyerupai
tuberkulosis. Gambaran mikroskopik sebagai tuberkulosis yaitu terdapat sel-sel
epiteloid, tuberkel tidak sebanyak seperti tuberkulosis dan sel datia, tetapi tidak
pernah terjadi perkejuan, kuman tersebar diseluruh tubuh tetapi yang terpenting
ialah di kulit dan di serabut saraf tepi.12
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
13/19
12
Pada pasien ditemukan lesi yang berbentukpunch out yang merupakan lesi
dengan hipopigmentasi berbentuk oval dibagian tengah berbatas jelas. Hal
tersebut diudga terjadi akibat adanya reaksi inflamasi granulomatosa, sesuai
dengan literatur yang menyatakan bahwa inflamasi granulomatosa kronik yaitu
suatu inflamasi yang ditandai dengan kumpulan makrofag yang berubah bentuk
menjadi nodular kecil. Makrofag yang berubah mempunyai banyak sitoplasma
merah jambu dan disebutsel epiteloid. Sel-sel epiteloid dapat bersatu membentuk
sel datia berinti banyak. Pada granuloma juga dapat ditemukan limfosit, sel
plasma, neutrofil dan nekrosis sentral dan dapat terjadi salah satuya pada penyait
kusta.13
Sementara untuk mekanisme pengambilan sampel lesi pada cuping telinga
menggunakan skapel steril. Setelah lesi tersebut didesinfeksi kemudian dijepit
antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan
mengandung sedikit mungkin darah. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis,
melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan
banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil
M.leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api,
kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.14 Pada pengambilan sampel
pada pasien, banyak darah yang ikut serta dalam kerokan kulit sehingga akan
mempengaruhi pewarnaan dan interpretasi hasil indeks bakteri dan indeks
morfologi karena sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa M. leprae
tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan, spesimen
yang diambil tidak boleh terdapat darah karena akan menggangu pewarnaan dan
hasil interpretasi.14
Diagnosa banding yang di ajukan pertama pada pasien ini adalah psoriasis
vulgaris karena memberikan gambaran effloresensi yang sama yaitu ruam kulit
yang eritem dan tertutup skuama. Tetapi biasanya pada pasien dengan psoriasis
lesi kulit tertutup oleh skuama tebal dan memiliki gejala klinis gatal dan panas
pada lesi. Pada predileksi, lesi upertama pada psoriasis akan muncul pada tempat
yang mudah terkena trauma seperti siku, lutut, sakrum, dan genetalia. Dan untuk
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
14/19
13
menyingkirkan psoriasis sebagai diagnosis dapat dilaukan pemeriksaan Karsvlek
phenomena, Autpitz sign, dan Kobner phenomena.1,2
Gambar
Diagnosis banding yang selnjutnya pada pasien ini adalah pitiriasis rosea
karena memberikan gambaran effloresensi yang sama yaitu ruam kulit yang
eritem dan tertutup skuama halus. Tetapi pada pasien ini ruam kulit tidak
memberikan gambaran ruam yang searah dengan lipatan tubuh.1,2 Pitiriasis rosea
adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabanya, dimulai dengan lesi
inisial yang berbentuk eritema dan skuama halus, kemudian disusul oleh lesi yang
lebih kecil pada badan, lengan, paha atas, dan tersusun mengikuti lipatan kulit.
Lesi pertama (Herald patch), umunya dibadan, solitar, bentuknya oval dan anular,
diameter kira-kira 3 cm, lalu diikuti oleh lei berikutnya yang susunannya sejajar
dengan kosta menyerupai pohon cemara terbalik.1
Gambar
Penatalaksanaan pada kusta tipe MB pada pasien ini adalah pemberian dosis
bulanan yang terdiri dari rifampisisn 600 mg, clofazimine 300 mg, dapson 100
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
15/19
14
mg, dan dosis harian terdiri dari dapson 100 mg dan clofaziine 50 mg. Dengan
atauran pemakaian dosis bulanan di minum pada hari pertama dilanjutkan pada
hari ke 28 dan begitu seterusnya selama 12 bulan, serta dosis harian yang
diminum selama 12 bulan dengan toleransi 6 bulan.3,4,6,7,8,11
Lampiran gambar
Gambar 1, lesi pada ekstremitas superior dektra et snistra
Gambar 2, lesi pada ekstremitas superior dektra et snistra
Gambar 3, lesi pada regio thorakalis posterior
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
16/19
15
Gambar 4, regio Facialis
Gambar 5, pemebsaran nervus aurikularis magnus
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
17/19
16
RINGKASAN
Telah dilaporkan sebuah temuan kasus dengan diagnosis Kusta tipe MB
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang di RSUPNTB pada tanggal 27 April 2013 yang dialami oleh seorang pasien laki-laki, Tn
M umur 21 tahun bertempat tinggal di praya, pasien dengan keluhan utama bercak
merah kehitaman yang mati rasa pada kaki dan tangan. Pasien mengaku bercak
pada kulit dan mati rasa sudah dirasakan sejak 3 tahun yang lalu, awalnya bercak
kulit agak pucat dan ada yang sewarna dengan kulit dan bercak berubah menjadi
kemerahan kurang lebih sejak 1 bulan yang lalu. Pertama kali mati rasa dirasakan
pasien pada jari telunjuk tangan, kemudian ke kaki kiri dan kemudian ke tangan
dan bercak kulit lainnya, pasien menyangkal adanya gatal dan nyeri pada bercak-
bercak dikulit dan mengaku hanya merasa kesemutan. Pasien menyangkal adanya
keluhan pada mata seperti penglihatan kabur, ataupun kelemahan pada otot seperti
sulit menggenggam. Selama 3 tahun mengalami hal tersebut pasien mengaku
tidak pernah berkunjung ke puskesmas atau rumah sakit untuk berobat karena
berharap bercak dikulitnya akan sembuh sendiri. Pasien merupakan rujukan dari
puskesmas praya. Pada riwayat sosial di satu puskesmas tempat berobat pertama
kali, pasien mengaku ada pasien lain yang menderita hal yang sama, tetapi pasien
tidak kenal dan tidak pernah berhubungan dengan orang tersebut. Dari
pemeriksaan fisik, terlihat lesi kulit yang tersebar di regio ektremitas superior dan
inferior dextra et sinistra, thorakalis posterior, fasialis dan lateral abdomen,
dengan UKK patch eritem dan plak eritem yang tertutup kuama halus. Diagnosa
kerja kusta tipe MB yang ditegakkan berdasarkan gambaran klinis melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta hasil pemeriksaan labratorium yang
menunjukkan hasil BTA positif dengan indeks bakteri (IB) pada telinga +2 dan IB
pada kulit +3, serta indeks mofologi (IM) 60%.Pengobatan yang diberikan pada
pasien dibagi dalam dua jenis, dosis bulanan yang terdiri dari Rifampisisn 600
mg, Clofazimine 300 mg dan dapson 100 mg. Dosis harian terdiri dari Dapsone
100 mg dan Ckofazimine 50 mg.
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
18/19
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Kosasih A, Wisnu I.M, Sjamsoe-Daili E.S, Menaldi S.L (Editors). Ilmupenyakit kulit dan kelamin, 6th ed. Jakarta: Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia; 2011.73-88
2. Murtiastutik D, Ervianti E, Agusni I, Suyoso S (Editors). Atlas penyakitkulit & kelamin, 2nd ed. Surabaya: FK Unair; 2009.41-56
3. Purwanto. Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap TerjadinyaReaksi Kusta. Semarang; 2008
4. Daili E.S.S, Menaldi S.L, Wisnu I.M. Penyakit Kulit yang Umum diIndonesia; Sebuah Pengantar Bergambar. PT Medical Multimedia
Indonesia: Jakata; tt.51-9
5. Rambey M.A. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Kejadian Cacat Tingkat 2pada Penderita Kusta di Kabupaten Lamongan Tahun 2011-2012. Depok;
2012
6. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks color atlas & synopsisof clinical dermatology, 5th ed. Austria: McGraw-Hills; 2007. 1786-96
7. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C (Editors). Rooks Textbook ofDermatology. Blackwell Publishing: Singapore ;2010.1469-18
8. The Internstional Federation of Anti-Leprosy Asscociation (ILEP). How toDiagnose and Treat Leprosy. DS Print & Reesign; London: 2002
9. Kahawita I.P, Wwalker S.L, Lockwood D.N.J. Leprosy Type 1 Reactionand Erythema Nodosum Leprosum. Anais Brasileiros de Dermatologia.
2008. 75-82
10.Directorate General of Health Service.Training Manual for MedicalOfficers. Nasional Leprosy Eradication Program: New Delhi. 2009
11.Gawkrodger D.J. Dermatology an Ilustrated Colour Text. British LibraryCataloguin in Publication : China; 2003.56
-
7/23/2019 Laporan Kasus, MH, Nurul Fatimah
19/19
18
12.Setyawan S. Himawan S. (editors). Patologi. Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia : Depok;1973 (73)
13.Robins S.L, Cotran R.S, Kumar V. Saputra L (editors). Intisari Patologi.Binarupa Aksara; Jakarta ;2009 (26-7)
14.The Internstional Federation of Anti-Leprosy Asscociation (ILEP).Bagaimana Melakukan Pemeriksaan Skin Smear pada Lepra. DS Print &
Reesign; London: 2003