laporan kasus disentri + tifoid

Upload: duta-dhanabhalan

Post on 04-Apr-2018

273 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    1/34

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    2/34

    2011

    HALAMAN PENGESAHAN

    Nama Mahasiswa : Cipto Legowo

    NIM : G6A 009 053

    Bagian : Kepaniteraan Komprehensif Puskesmas Batealit

    Judul Kasus Besar : Seorang Laki-laki 51 tahun dengan Disentri dan

    Observasi Febris 2 Hari

    Pembimbing : Dr. Lia Apriliana Ekaningtyas

    Jepara, 19 Mei 2011

    Pembimbing,

    Dr. Al Manaf

    Kepala Puskesmas

    Dr. Murtono

    Pembimbing,

    Dr. Lia Apriliana Ekaningtyas

    ii

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    3/34

    LAPORAN KASUS

    I. IDENTITAS PENDERITA

    Nama : Tn. Suwardi

    Umur : 51 tahun

    Alamat : Desa Geneng RW01/RT02, Kec.Batealit, Kab.Jepara

    Agama : Islam

    Pekerjaan : Petani

    Tgl. Msk : 5 Juli 2011

    II. DAFTAR MASALAH

    No Masalah Aktif Tgl No Masalah Pasif Tgl

    1

    2

    Disentri

    Observasi febris 2 hari

    5 Juli 2011

    5 Juli 2011

    III. DATA DASAR

    A. SUBYEKTIF

    ANAMNESIS

    Autoanamnesis pada tanggal 5 Juli 2011 pukul 20.00, di UGD

    Puskesmas Batealit.

    Keluhan Utama : berak bercampur darah dan lendir

    Riwayat Penyakit Sekarang :

    2 hari ini pasien mengeluh berak yang bercampur darah segar

    dan lendir. Dalam sehari pasien berak sebanyak 4x, cair, sedikit-sedikit,

    bercampur ampas, tidak nyemprot, bau seperti biasa. Demam (+) tinggi,

    terus menerus, mual (-), muntah (-), batuk (-), pilek (-), nyeri (+) di perut

    bagian bawah, perut terasa tegang (-), nyeri saat BAB (-), BAK tidak ada

    kelainan. Sebelumnya makan seperti biasa, riwayat minum obat-obatan

    sebelumnya disangkal. Pasien merasa sangat kehausan dan pasien tidak

    merasa ada penurunan berat badan. Riwayat bepergian jauh (-).

    3

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    4/34

    Riwayat Penyakit Dahulu :

    - Baru kali pertama sakit seperti ini, BAB sebelum sakit,

    lancar tidak ada kelainan.

    -Riwayat diabetes mellitus dan tekanan darah tinggi

    disangkal.

    - Riwayat batuk lama dan pengobatan 6 bulan disangkal.

    - Riwayat operasi daerah perut disangkal.

    - Riwayat penyakit jantung disangkal.

    - Riwayat asma dan alergi disangkal.

    Riwayat Penyakit Keluarga :

    - Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini.

    - Riwayat sakit tumor dalam keluarga disangkal.

    Riwayat Sosial Ekonomi :

    Pasien adalah seorang petani, dan istrinya juga seorang petani.

    Pasien memiliki 6 orang anak, 3 belum mandiri. Biaya perawatan

    ditanggung oleh Jamkesmas.

    Kesan : sosial ekonomi kurang.

    B. OBYEKTIF

    PEMERIKSAAN FISIK

    Dilakukan pada tanggal 5 Juli 2011 di UGD Puskesmas Batealit pukul

    20.30 WIB.

    Keadaan umum : tampak gelisah dan kesakitan, dispneu (-).

    Kesadaran : composmentis.

    Tanda Vital :

    - TD : 120 / 80

    mmHg

    - N : 96 x/menit

    - RR : 20 x/menit

    - T : 38,9C

    (axiller)

    4

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    5/34

    TB : 170 cm, BB : 60 kg, BMI : 20,76 kg/m2 (normoweight)

    Kepala : bentuk mesosefal, turgor dahi cukup, kulit kering (-)

    Mata : konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/-, mata

    cekung -/-

    Telinga : discharge (-)

    Hidung : discharge (-), nafas cuping hidung (-), epistaksis (-)

    Mulut : bibir kering (-), sianosis (-)

    Tenggorok : T1-1, faring hiperemis (-)

    Leher : JVP tidak meningkat, trakea di tengah

    pembesaran kelenjar limfe (-), kaku kuduk (-)

    Thorax : pernafasan thorakoabdominal, sela iga tidak melebar

    Cor : In : IC tak tampak

    Pa : IC teraba di SIC V 2 cm medial LMCS tidak kuat

    angkat, tidak melebar, pulsasi epigastrial (-),

    pulsasi parasternal (-), sternal lift (-)

    Pc : batas kanan : linea para sternalis dextra

    batas kiri : di SIC V 2 cm medial LMCS

    batas atas : di SIC II linea parasternalis sinistra

    Kesan : konfigurasi jantung dalam batas normal

    Au : BJ I II normal, bising (-), gallop (-)

    Pulmo : In : Simetris, statis-dinamis, tidak tampak retraksi otot

    bantuan pernafasan

    Pa : Stem fremitus kanan = kiri

    Pc : Sonor seluruh lapangan paru

    Au : SD : vesikuler +/+ST : tidak ada -/-

    Abdomen : In : datar, venektasi tidak ada

    Au : bising usus (+) meningkat

    Pc : tympani meningkat, pekak sisi (+) normal, pekak

    alih (-), nyeri ketok (-)

    Pa : hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (+) di

    5

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    6/34

    kuadran bawah

    Ekstremitas : Superior Inferior

    Oedema - / - - / -

    Sianosis - / - - / -

    Perabaan dingin - / - - / -

    Capp. Refill

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    7/34

    IV. RESUME

    Seorang laki-laki 51 tahun datang ke UGD Puskesmas dengan keluhan

    berak bercampur darah dan lendir. Sudah 2 hari ini pasien mengeluh berak

    yang bercampur darah segar dan lendir. Dalam sehari pasien berak sebanyak

    4x, cair, sedikit-sedikit, bercampur ampas, tidak nyemprot, bau seperti biasa.

    Demam (+) tinggi, terus menerus, nyeri (+) di perut bagian bawah.Sebelumnya makan seperti biasa, riwayat minum obat-obatan sebelumnya

    disangkal. Pasien merasa sangat kehausan dan pasien tidak merasa ada

    penurunan berat badan.

    Pada pemeriksaan fisik didapatkan:

    Keadaan umum : tampak gelisah dan kesakitan, dispneu (-).

    Kesadaran : composmentis.

    Tanda Vital :

    - TD : 120 / 80 mmHg

    - N : 96 x/menit

    - RR : 20

    x/menit

    - T : 38,9C

    (axiller)

    TB : 170 cm, BB : 60 kg, BMI : 20,76 kg/m2 (normoweight)

    Kepala : bentuk mesosefal, turgor dahi cukup, kulit kering (-)

    7

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    8/34

    Mata : konjungtiva palpebra pucat -/- , mata cekung -/-

    THT : discharge (-)

    Mulut : bibir kering (-), sianosis (-)

    Tenggorok : T1-1, faring hiperemis (-)

    Leher : JVP tidak meningkat, trakea di tengah

    pembesaran kelenjar limfe (-), kaku kuduk (-)

    Thorax : pernafasan thorakoabdominal

    Cor dan pulmo dalam batas normal

    Abdomen : In : datar, venektasi tidak ada

    Au : bising usus (+) meningkat

    Pc : tympani meningkat, pekak sisi (+) normal, pekak

    alih (-), nyeri ketok (-)

    Pa : hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (+) di

    kuadran bawah

    Ekstremitas : Superior Inferior

    Perabaan dingin - / - - / -

    Sianosis - / - - / -

    Capp. Refill

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    9/34

    8. Nyeri tekan abdomen kuadran bawah

    9. Darah rutin, kesan : leukositosis segmen dan peningkatan LED I/II

    10. Tes Widal, - Thypi O : 1/80

    - Thypi H : 1/80

    VI. DAFTAR MASALAH

    1. Disentri

    2. Observasi febris 2 hari

    RENCANA PEMECAHAN MASALAH

    1. Disentri

    Assesment : - bakterial

    - parasit

    Rencana Awal :

    Dx : S : -

    O : feses rutin, kultur feses dan sensitivitas antibiotik

    Rx : - Infus RL 30 tpm

    - Inj. Cloramphenicol 1 gr (extra)

    - Cotrimoksasol 2x1 tab (960mg)

    - Attapulgit 3x1 tab

    - Zinc 1x1 tab

    - Diet lunak TKTP

    Mx : Keadaan umum, tanda vital, feses (frekuensi, isi dan konsistensi)

    Ex : - Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kemungkinan

    penyebab berak yang bercampur darah dan lendir pada pasien

    - Menghimbau pasien untuk menampung tinja saat berak guna

    dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui penyebab

    - Menghimbau pada pasien untuk istirahat yang cukup dan minum

    air yang banyak, terutama setelah mencret

    9

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    10/34

    - Menghimbau pasien untuk menjaga kebersihan diri terutama

    tangan saat akan makan

    2. Observasi febris 2 hari

    Assesment : - Demam thypoid

    - Enterocolitis

    Rencana Awal :

    Dx : S : -

    O : -

    Rx : - Tirah baring

    - Parasetamol 1 tab/ 4 jam (jika T > 38C)

    Mx : suhu axiller tiap 4 jam

    Ex : Menghimbau kepada keluarga pasien untuk mengompres pasien

    dengan air biasa

    VIII. CATATAN KEMAJUAN

    10

    5 Juli 2011 6 Juli 2011 6 Juli 2011 7 Juli 2011Jam 20.00 07.30 19.00 07.30

    Keluhan Mencret 4x,

    Darah (+),lendir (+)

    Mencret 3x,

    Darah (+),lendir (+)

    Perut sakit (+),

    Mencret (-)

    -

    KU Gelisah & lemah lemah baik baik

    Tanda Vital TD : 120/80

    HR : 96x/RR : 20x/

    T : 38,9 C

    TD : 100/70

    HR : 80x/RR : 20x/

    T : 36,8 C

    TD : 110/60

    HR : 76x/RR : 18x/

    T : 36,1 C

    TD : 100/70

    HR : 80x/RR : 20x/

    T : 36,5 C

    Abdomen Timpani ,BU(+), nyeri

    tekan kuadranbawah(+)

    Timpani ,BU(+), nyeri

    tekan kuadranbawah(+)

    Timpani ,BU(+), nyeri

    tekan kuadranbawah(+)

    Timpani ,BU(+), nyeri

    tekan kuadranbawah(-)

    Darah Rutin - LED I/II

    Leukositosissegmen

    - -

    Terapi - tirah baring

    - infus RL 30 tpm- inj. Clorampncl

    1 gr (extra)- cotrimoksasol

    2x1 tab (960mg)- parasetamol 1

    tab/4 jam jika

    T>38C- attapulgit 3x1tab- zinc 1x1 tab

    - Diet lunakTKTP

    tetap tetap tetap

    Keterangan Boleh pulang

    Tirah baringDiet lunak TKTP

    Obat :- cotrimoksasol

    2x1 tab (5hr)

    - parasetamol3x1 tab jk

    panas

    - attapulgit3x1tab jk

    masih mencret- zinc 1x1tab

    (7hr)- vit Bc 1x1 tab

    (3hr)

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    11/34

    TINJAUAN PUSTAKA

    DIARE AKUT KARENA INFEKSI

    I. PENDAHULUAN

    Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau

    setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya

    lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,

    yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer

    tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.

    1,2

    Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung

    kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari

    14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare

    yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus,

    Bakteri, dan Parasit.3

    11

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    12/34

    II. PATOFISIOLOGI1,3,9,10

    Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi

    diare non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri

    dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang

    disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti

    mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala

    dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan

    lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.

    Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang

    mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah.

    Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan

    tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan

    pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit.

    Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi

    menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare

    osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas

    dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya

    adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam

    magnesium.

    Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi

    yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat

    toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam

    empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon

    intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat

    menyebabkan diare sekretorik.Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik

    usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi

    bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory

    bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.

    12

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    13/34

    Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan

    waktu tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis,

    sindroma usus iritabel atau diabetes melitus.

    Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri

    paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan

    penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan

    mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang

    invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.

    Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen

    meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,

    invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat

    menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi

    pertahanan mukosa usus.

    Adhesi

    Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur

    polimer fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel

    epitel. Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization

    factor antigen (CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti

    Enterotoxic E. Coli (ETEC).

    Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic

    E.coli (EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF),

    menyebabkan perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur

    sitoskleton di bawah membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak

    terlihat pada infeksiEPECini dan diare terjadi akibatshiga like toksin.

    Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihatpada jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dariETECatauEHEC.

    Invasi

    Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel

    usus. Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel

    epitel sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi

    inflamasi serta kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya

    13

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    14/34

    mediator seperti leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman

    Shigellajuga memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses

    patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa

    lemah, dan gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella.

    Sitotoksin

    Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh

    Shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan

    sitotoksin adalahEnterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat

    menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC

    serta V. Parahemolyticus.

    Enterotoksin

    Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT)

    yang secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin

    kolera terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang

    aktivitas adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga

    terjadi inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi

    klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa usus.

    ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya

    sama dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP

    selular, mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili,

    membuka kanal dan mengaktifkan sekresi klorida.

    PerananEnteric Nervous System (ENS)

    Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan

    reseptor neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus

    mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik.Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian

    melibatkan refleks neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron

    sensorik aferen kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik

    tipe 1 VIPergik. CT juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-

    HT, neurotensin, dan prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan

    14

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    15/34

    obat antidiare yang bekerja pada ENS selain yang bersifat antisekretorik pada

    enterosit.

    III. DIAGNOSIS

    Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri

    Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan

    pemeriksaan yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat

    penyakit, latar belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama

    antibiotik, riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1,3,13

    Pendekatan umum Diare akut infeksi bakteri baik diagnosis dan terapeutikterlihat pada gambar 1.

    15

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    16/34

    Manifestasi Klinis8,14,15

    Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau

    demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis

    yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan

    yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi

    berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang

    merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang

    16

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    17/34

    pipi menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala

    ini disebabkan deplesi air yang isotonik.

    Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang

    mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat

    pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul).

    Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat

    naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi,

    bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif.

    Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa

    renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun

    sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas

    dingin dan kadang sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat

    timbul aritmia jantung.

    Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan

    akan timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit

    berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita

    menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih

    berat, akan terjadi kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih

    banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting karena dapat

    menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena

    tanpa alkali.

    Pemeriksaan Laboratorium

    Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai daripemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit,

    jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non

    infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin.

    Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan

    Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45% - 95%

    tergantung dari jenis patogennya.3

    17

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    18/34

    Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin.

    Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil,

    keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat

    terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi

    dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia secara komersial,

    sensitifitas 83 93 % dan spesifisitas 61 100 % terhadap pasien dengan

    Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi dengan biakan

    kotoran.

    Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita

    diare inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau

    latoferin positip, atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus

    dilakukan kultur feses untuk EHEC O157 : H7.1

    Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan

    harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa

    gas darah dan pemeriksaan darah lengkap5,8,10,14

    Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya

    biasanya tidak membantu untuk evaluasi diare akut infeksi.6

    Beberapa Penyebab Diare Akut Infeksi Bakteri1,3,15,16

    a. Infeksi non-invasif.

    Stafilococcus aureus

    Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan asupan makanan

    yang mengandung toksin stafilokokkus, yang terdapat pada makanan yang tidak

    tepat cara pengawetannya. Enterotoksin stafilokokus stabil terhadap panas.

    Gejala terjadi dalam waktu 1 6 jam setelah asupan makanan

    terkontaminasi. Sekitar 75 % pasien mengalami mual, muntah, dan nyeri

    abdomen, yang kemudian diikuti diare sebanyak 68 %. Demam sangat jarang

    terjadi. Lekositosis perifer jarang terjadi, dan sel darah putih tidak terdapat pada

    pulasan feses. Masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam.

    18

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    19/34

    Diagnosis ditegakkan dengan biakan S. aureus dari makanan yang

    terkontaminasi, atau dari kotoran dan muntahan pasien.

    Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik. Tidak ada peranan antibiotik

    dalam mengeradikasi stafilokokus dari makanan yang ditelan.

    Bacillus cereus

    B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk spora.

    Enterotoksin dariB. cereus menyebabkan gejala muntah dan diare, dengan gejala

    muntah lebih dominan.

    Gejala dapat ditemukan pada 1 6 jam setelah asupan makanan

    terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam. Gejala

    akut mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang seringkali berakhir setelah 10 jam.

    Gejala diare terjadi pada 8 16 jam setelah asupan makanan terkontaminasi

    dengan gejala diare cair dan kejang abdomen. Mual dan muntah jarang terjadi.

    Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.

    Clostridium perfringens

    C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk

    spora. Bakteri ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari

    enterotoksin dan biasanya sembuh sendiri . Gejala berlangsung setelah 8 24 jam

    setelah asupan produk-produk daging yang terkontaminasi, diare cair dan nyeri

    epigastrium, kemudian diikuti dengan mual, dan muntah. Demam jarang terjadi.

    Gejala ini akan berakhir dalam waktu 24 jam.

    Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih dari 105

    organisma per gram makanan, menegakkan diagnosa keracunan makanan C

    perfringens . Pulasan cairan fekal menunjukkan tidak adanya sel

    polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium lainnya tidak diperlukan.Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.

    Vibrio cholerae

    V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan

    menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi

    setelah 3 4 jam pada pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat

    mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan meningkatkan cAMP,

    19

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    20/34

    sekresi, dan menghambat absorpsi cairan. Penyebaran kolera dari makanan dan air

    yang terkontaminasi.

    Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat

    menjadi diare berat, diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit

    dan volume darah. Demam ringan dapat terjadi.

    Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera

    digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang

    signifikan, dan penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses dapat

    ditemukan V.cholerae.

    Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif.

    Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah

    memerlukan cairan intravena.

    Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare.

    Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg sebagai

    dosis tunggal, merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif pada

    kehilangan cairan menurunkan angka kematian ( biasanya < 1 %). Vaksin kolera

    oral memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin parenteral.

    Escherichia colipatogen

    E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada pelancong. Mekanisme

    patogen yang melalui enterotoksin dan invasi mukosa. Ada beberapa agen

    penting, yaitu :

    1Enterotoxigenic E. coli (ETEC).

    2Enterophatogenic E. coli (EPEC).3Enteroadherent E. coli (EAEC).

    4Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)

    5Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)

    Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami gejala

    ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare berat jarang

    terjadi, dimana pasien melakukan BAB lima kali atau kurang dalam waktu 24

    20

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    21/34

    jam. Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul pada kurang dari 1/3

    pasien. Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel darah merah atau sel darah

    putih. Lekositosis sangat jarang terjadi. ETEC, EAEC, dan EPEC merupakan

    penyakitself limited, dengan tidak ada gejala sisa.

    Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untukE coli, lekosit

    feses jarang ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan

    EHEC dapat diisolasi dari kultur, dan pemeriksaan aglutinasi latex khusus untuk

    EHEC tipe O157.

    Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari

    pada penyakit yang parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprim-

    sulfametoksazole atau kuinolon yang diberikan selama 3 hari. Pemberian

    antimikroba belum diketahui akan mempersingkat penyakit pada diare EPEC dan

    diare EAEC. Antibiotik harus dihindari pada diare yang berhubungan dengan

    EHEC.

    2. Infeksi Invasif

    Shigella

    Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air.

    Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons

    inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi bakteri.

    Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen,

    demam, BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri

    abdomen, dan diare cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3 5 hari

    kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada kasus

    yang lebih parah menetap selama 3 4 minggu. Shigellosis kronis dapat

    menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala

    pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic

    Syndrome. Artritis oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak

    terjadinya disentri.

    21

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    22/34

    Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah.

    Kultur feses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas

    antibiotik.

    Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena,

    tergantung dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi

    antimikroba diberikan untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit dan

    penyebaran bakteri. Trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua kali

    sehari selama 3 hari merupakan antibiotik yang dianjurkan.

    Salmonella nontyphoid

    Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di

    Amerika Serikat. Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium merupakan

    penyebab. Awal penyakit dengan gejala demam, menggigil, dan diare, diikuti

    dengan mual, muntah, dan kejang abdomen. Occult bloodjarang terjadi. Lamanya

    berlangsung biasanya kurang dari 7 hari.

    Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih se.

    Kultur darah positip pada 5 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada

    pasien terinfeksi HIV.

    Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi

    adekuat. Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat meningkatan

    resistensi bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi salmonellosis, usia

    ekstrem ( bayi dan berusia > 50 tahun), immunodefisiensi, tanda atau gejala

    sepsis, atau infeksi fokal (osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik adalah

    trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolone seperti ciprofloxacin atau

    norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 7 hari atau Sephalosporin generasi ketiga

    secara intravena pada pasien yang tidak dapat diberi oral.Salmonella typhi

    Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam

    tiphoid. Demam tiphoid dikarakteristikkan dengan demam panjang, splenomegali,

    delirium, nyeri abdomen, dan manifestasi sistemik lainnya. Penyakit tiphoid

    adalah suatu penyakit sistemik dan memberikan gejala primer yang berhubungan

    22

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    23/34

    dengan traktus gastrointestinal. Sumber organisme ini biasanya adalah makanan

    terkontaminasi.

    Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem

    retikuloendotelial, menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer

    pacthes di dalam usus halus. Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat

    menyebabkan perforasi usus halus atau perdarahan gastrointestinal.

    Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari.

    Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan

    perbedaan peningkatan temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan

    defekasi normal. Pada minggu kedua terjadi splenomegali dan timbul rash. Pada

    minggu ketiga timbul penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia,

    keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare kebiru-biruan dan

    berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi perbaikan

    klinis.

    Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif pada

    90% pasien pada minggu pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif

    pada minggu kedua dan ketiga.

    Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka

    waktu penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung empedu

    dapat menjadi karier dari pasien yang telah sembuh dari penyakit akut.

    Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2 minggu.

    Jika terjadi resistensi, penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan karier

    disarankan sepalosporin generasi ketiga dan flourokinolon. Sepalosforin generasi

    ketiga menunjukkan effikasi sangat baik melawan S. Thypi dan harus diberikan

    IV selama 7-10 hari, Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari selama14 hari, telah menunjukkan efikasi yang tinggi dan status karier yang rendah.

    Vaksin thipoid oral (ty21a) dan parenteral (Vi) direkomendasikan jika pergi ke

    daerah endemik.

    Campylobakter

    23

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    24/34

    Spesies Campylobakterditemukan pada manusia C. Jejuni dan C. Fetus,

    sering ditemukan pada pasien immunocompromised.. Patogenesis dari penyakit

    toksin dan invasi pada mukosa.

    Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi, dari

    asimtomatis sampai sindroma disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam setelah

    organisme masuk. Diare dan demam timbul pada 90% pasien, dan nyeri abdomen

    dan feses berdarah hingga 50-70%. Gejala lain yang mungkin timbul adalah

    demam, mual, muntah dan malaise. Masa berlangsungnya penyakit ini 7 hari.

    Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses dapat

    ditemukan adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin

    dan quinolon, namun pemakaian antibiotik masih kontroversi. Antibiotik

    diindikasikan untuk pasien yang berat atau pasien yang nyata-nyata terkena

    sindroma disentri. Jika terapi antibiotik diberikan, eritromisin 500 mg 2 kali sehari

    secara oral selama 5 hari cukup efektif. Seperti penyakit diare lainnya,

    penggantian cairan dan elektrolit merupakan terapi utama.

    Vibrio non-kolera

    Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya

    gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah

    dihubungkan dengan konsumsi kerang mentah. Diare terjadi individual, berakhir

    kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat kultur feses yang

    memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan cairan. Antibiotik

    tidak memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun pasien dengan diare parah

    atau diare lama, direkomendasikan menggunakan tetrasiklin.

    YersiniaSpesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan sesuai

    dengan antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi

    epitel usus. Yersinia menghasilkan enterotoksin labil. Terminal ileum merupakan

    daerah yang paling sering terlibat, walaupun kolon dapat juga terinvasi.

    Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang

    dapat diikuti dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema

    24

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    25/34

    multiforme). Feses berdarah dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis,

    mual, muntah dan ulserasi pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari kultur feses.

    Penyakit biasanya sembuh sendiri berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan

    hidrasi adekuat. Antibiotik tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan pada

    penyakit yang parah atau bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid dan Kuinolon

    nampaknya dapat menjadi terapi empirik pada sepsis.

    Enterohemoragik E Coli(Subtipe 0157)

    EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah ini

    terjadi akibat makanan yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10 hari

    setelah asupan makanan atau air terkontaminasi. EHEC dapat merupakan

    penyebab utama diare infeksius. Subtipe 0157 : H7 dapat dihubungkan dengan

    perkembangan Hemolytic Uremic Syndrom (HUS). Centers for Disease Control

    (CDC) telah meneliti bahwa E Coli 0157 dipandang sebagai penyebab diare

    berdarah akut atau HUS. EHEC non-invasif tetapi menghasilkan toksin shiga,

    yang menyebabkan kerusakan endotel, hemolisis mikroangiopatik, dan kerusakan

    ginjal.

    Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat (hingga 10-12

    kali perhari). Diare awal tidak berdarah tetapi berkembang menjadi berdarah.

    Nyeri abdomen berat dan kejang biasa terjadi, mual dan muntah timbul pada 2/3

    pasien. Pemeriksaan abdomen didapati distensi abdomen dan nyeri tekan pada

    kuadran kanan bawah. Demam terjadi pada 1/3 pasien. Hingga 1/3 pasien

    memerlukan perawatan di rumah sakit. Lekositosis sering terjadi. Urinalisa

    menunjukkan hematuria atau proteinuria atau timbulnya lekosit. Adanya tanda

    anemia hemolitik mikroangiopatik (hematokrit < 30%), trombositopenia (20 mg/dL) adalah diagnosa HUS.HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari setelah terkena

    diare. Faktor resiko HUS, usia (khususnya pada anak-anak dibawah usia 5 tahun)

    dan penggunaan anti diare.Penggunaan antibiotik juga meningkatkan resiko.

    Hampir 60% pasien dengan HUS akan sembuh, 3-5% akan meninggal, 5% akan

    berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir dan 30% akan mengalami gejala sisa

    25

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    26/34

    proteinuria. Trombosit trombositopenik purpura dapat terjadi tetapi lebih jarang

    dari pada HUS.

    Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe

    biasanya dilakukan pada laboratorium khusus.

    Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal dan

    vaskuler. Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi gejala atau resiko komplikasi

    infeksi EHEC. Nyatanya pada beberapa studi yang menggunakan antibiotik dapat

    meningkatkan resiko HUS. Pengobatan antibiotik dan anti diare harus dihindari.

    Fosfomisin dapat memperbaiki gejala klinis, namun, studi lanjutan masih

    diperlukan.

    Aeromonas

    Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Aeromonas

    menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin.

    Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang feses berdarah.

    Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan kotoran.

    Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang atau

    kondisi yang berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia, termasuk

    malignansi, penyakit hepatobiliar, atau pasien immunocompromised. Pilihan

    antibiotik adalah trimetroprim sulfametoksazole.

    Plesiomonas

    Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.

    Kebanyakan kasus berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air tanpa olah

    dan perjalanan ke daerah tropik, Gejala paling sering adalah nyeri abdomen,

    demam, muntah dan diare berdarah. Penyakit sembuh sendiri kurang dari 14 hari.

    Diagnosa ditegakkan dari kultur feses.Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik adalah

    tritoprim sulfametoksazole.

    IV. PENATALAKSANAAN

    A. Penggantian Cairan dan elektrolit

    26

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    27/34

    Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang

    adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan

    rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak

    dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena

    yang membahayakan jiwa.17 Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g

    Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g

    glukosa per liter air.2,4 Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-

    paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan

    secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan

    menambahkan sendok teh garam, sendok teh baking soda, dan 2 4 sendok

    makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk

    mengganti kalium.. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak

    mereka merasa haus pertama kalinya.3 Jika terapi intra vena diperlukan, cairan

    normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan

    suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus

    dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan

    urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan

    rehidrasi oral sesegera mungkin.

    Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang

    keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai

    cara : 8

    BD plasma, dengan memakai rumus :

    Kebutuhan cairan = BD Plasma 1,025 X Berat badan (Kg) X 4 ml

    0,001

    MetodePierceberdasarkan keadaan klinis :

    1 - Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% X KgBB

    2 - Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% X KgBB

    3 - Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% X KgBB

    Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor (tabel 1)

    27

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    28/34

    Kebutuhan cairan = Skor X 10% X KgBB X 1 liter

    15

    Goldbeger(1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan cairan :18

    Cara I :

    1 - Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka

    kehilangan cairan kira-kira 2% dari berat badan pada waktu itu.

    2-

    Bila disertai mulut kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari berat

    badan saat itu.

    3 - Bila ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas, perubahan

    mental seperti bingung atau delirium, maka defisit cairan sekitar 7 -14% atau

    sekitar 3,5 7 liter pada orang dewasa dengan berat badan 50 Kg.

    Cara II :

    Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 Kg padafase akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter.

    Cara III :

    Dengan menggunakan rumus :

    Na2 X BW2 = Na1 X BW1, dimana :

    28

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    29/34

    Na1 = Kadar Natrium plasma normal; BW1 = Volume air badan normal, biasanya

    60% dari berat badan untuk pria dan 50% untuk wanita ; Na2 = Kadar natrium

    plasma sekarang ; BW2 = volume air badan sekarang

    B. Anti biotik

    Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut

    infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa

    pemberian anti biotik.

    Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda

    diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi

    ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare

    infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian

    antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel 2), tetapi terapi antibiotik spesifik

    diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman.1,5,9,16

    C. Obat anti diare

    Kelompok antisekresi selektif

    Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara

    luas racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim

    enkephalinase sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal.

    Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga

    keseimbangan cairan dapat dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini

    29

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    30/34

    tersedia di bawah nama hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti

    diare yang dapat pula digunakan lebih aman pada anak.14

    Kelompok opiat

    Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta

    kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-

    60mg 3x sehari, loperamid 2 4 mg/ 3 4x sehari dan lomotil 5mg 3 4 x sehari.

    Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan

    absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi

    frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman dan

    dapat mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala

    demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.10

    Kelompok absorbent

    Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau

    smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan

    infeksius atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar

    kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.

    Zat Hidrofilik

    Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,

    Karaya (Strerculia),Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid

    dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi

    feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit.

    Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam

    bentuk kapsul atau tablet.9

    Probiotik

    Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteriaatau Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran

    cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan

    reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan

    mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang adekuat.3,7,19

    V. KOMPLIKASI

    30

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    31/34

    Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,

    terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan

    cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat.

    Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan

    asidosis metabolik.1,8

    Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga

    syok hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul

    Tubular Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ.

    Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat

    sehingga tidak tecapai rehidrasi yang optimal.9,12,14

    Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan

    terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia

    hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan

    meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi

    penggunaan antibiotik untuk terjadinya HUS masih kontroversi.

    Sindrom Guillain Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah

    merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah

    infeksi C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain Barre, 20 40 % nya menderita

    infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita

    kelemahan motorik dan memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot

    pernafasan. Mekanisme dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain Barre

    tetap belum diketahui.

    Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare

    karena Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.1

    VI. PROGNOSIS

    Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung,

    dan terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya

    sangat baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan

    penyakit, morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut

    usia. Di Amerika Serikat, mortalits berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %.

    31

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    32/34

    Pengecualiannya pada infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan

    dengan sindrom uremik hemolitik.1

    VII. PENCEGAHAN1,3,13,16

    Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya

    dapat dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering

    mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah

    makanan. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan

    ternak harus terjaga dari kotoran manusia.

    Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus

    diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan

    makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi.

    Jika ada kecurigaan tentang keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang

    diambil dari danau atau air, harus direbus dahulu beberapa menit sebelum

    dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau sungai, harus diperingatkan untuk

    tidak menelan air.

    Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang

    bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia

    atau hewan yang tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-

    buahan dan sayuran. Semua daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya

    produk susu yang dipasteurisasi dan jus yang boleh dikonsumsi. Wabah EHEC

    terakhir berhubungan dengan meminum jus apel yang tidak dipasteurisasi yang

    dibuat dari apel terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena kotoran ternak.

    Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi

    efektivitas dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yangtersedia adalah untuk V. colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini

    tidak begitu efektif dan tidak direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral

    kolera terbaru lebih efektif, dan durasi imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid

    parenteral yang lama hanya 70 % efektif dan sering memberikan efek samping.

    Vaksin parenteral terbaru juga melindungi 70 %, tetapi hanya memerlukan 1 dosis

    dan memberikan efek samping yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah

    32

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    33/34

    tersedia, hanya diperlukan 1 kapsul setiap dua hari selama 4 kali dan memberikan

    efikasi yang mirip dengan dua vaksin lainnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL,

    Henry NK, et al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious

    Disease. New York: Lange Medical Books, 2003. 225 - 68.

    2. Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al. Practice Guidelines for the

    Management of Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases

    2001;32:331-51.3. Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR,

    Grendell JH,editors. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology.

    2ndedition. New York: Lange Medical Books, 2003. 131 - 50.

    4. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Mentri Kesehatan Republik

    Indonesia. Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/SK1216-

    01.pdf

    5. Manatsathit S, Dupont HL, Farthing MJG, et al. Guideline for the

    Management of acute diarrhea in adults. Journal of Gastroenterology and

    Hepatology 2002;17: S54-S71.

    33

  • 7/30/2019 laporan kasus disentri + tifoid

    34/34

    6. Jones ACC, Farthing MJG. Management of infectious diarrhoea. Gut

    2004; 53:296-305.

    7. Tjaniadi P, Lesmana M, Subekti D, et al. Antimicrobial Resistance of

    Bacterial Pathogens Associated with Diarrheal Patiens in Indonesia. Am J

    Trop Med Hyg 2003; 68(6): 666-10.8. Hendarwanto. Diare akut Karena Infeksi, Dalam: Waspadji S, Rachman

    AM, Lesmana LA, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi

    ketiga. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam

    FKUI ;1996. 451-57.

    9. Soewondo ES. Penatalaksanaan diare akut akibat infeksi (Infectious

    Diarrhoea). Dalam : Suharto, Hadi U, Nasronudin, editor. Seri Penyakit

    Tropik Infeksi Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa penyakit

    Tropik Infeksi. Surabaya : Airlangga University Press, 2002. 34 40.

    10. Rani HAA. Masalah Dalam Penatalaksanaan Diare Akut pada Orang

    Dewasa. Dalam: Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis

    and Treatment in Internal Medicine 2002. Jakarta: Pusat Informasi PenerbitanBagian Penyakit Dalam FK UI, 2002. 49-56.

    11. Tatalaksana Penderita Diare. Available from :

    http://www.depkes.go.id/downloads/diare.pdf.

    12. Thielman NM, Guerrant RL. Acute Infectious Diarrhea. N Engl J Med

    2004;350:1: 38-47.

    13. Kolopaking MS.Penatalaksanaan Muntah dan Diare akut. Dalam: Alwi I,

    Bawazier LA, Kolopaking MS, Syam AF, Gustaviani, editor. Prosiding

    Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu penyakit Dalam II.

    Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI,

    2002. 52-70.

    14. Nelwan RHH.Penatalaksanaan Diare Dewasa di Milenium Baru. Dalam:

    Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in

    Internal Medicine 2001. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit

    Dalam FK UI, 2001. 49-56.

    15. Procop GW, Cockerill F. Vibrio & Campylobacter. In: Wilson WR, Drew

    WL, Henry NK, et al, Editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious

    Disease, New York: Lange Medical Books, 2003. 603 - 13.

    16. Procop GW, Cockerill F.Enteritis Caused by Escherichia coli & Shigella

    & Salmonella Species. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al, Editors.

    Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease, New York: Lange

    Medical Books, 2003. 584 - 66.17. Wells BG, DiPiro JT, Schwinghammer TL, Hamilton CW.

    Pharmacotherapy Handbook. 5th ed. New York: McGraw-Hill, 2003. 371-79.

    18. Zein,U. Gastroenteritis Akut pada Dewasa. Dalam : Tarigan P, Sihombing

    M, Marpaung B, Dairy LB, Siregar GA, Editor. Buku Naskah Lengkap

    Gastroenterologi-Hepatologi Update 2003. Medan: Divisi Gastroentero-

    hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 2003. 67-79.

    19. Isaulauri E.Probiotics for Infectious Diarrhoea. Gut 2003; 52: 436-7.