simulasi kasus demam tifoid

Upload: nkesumawati

Post on 09-Jul-2015

580 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan infeksi bakterial sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (S.typhi). Penyakit ini umumya didapat karena mengkonsumsi air atau makanan yang terkontaminasi urin atau feses dari karier yang terinfeksi. Penyakit ini umumnya terjadi di daerah dengan sanitasi yang buruk dan telah menjadi masalah kesehatan yang serius di berbagai negara berkembang.1,2 Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada keadaan iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis.3 Di seluruh dunia, dilaporkan telah terjadi 17 juta kasus baru dan lebih dari 600.000 ribu meninggal setiap tahunnya. Sebanyak 80% dari data kasus baru dan kematian tersebut, terutama terjadi di Asia.2 Di Indonesia insidensi demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Di daerah endemik demam tifoid, insidensi tertinggi didapatkan pada anak-anak. Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Oleh karena itu diperlukan proses diagnosa yang tepat dan penatalaksanaan yang adekuat untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. 3 Pada makalah ini akan dibahas sebuah simulasi tentang laporan kasus tentang demam tifoid, penulisan resep dan pembahasan mengenani terapi rasional demam tifoid.

1

1.1. Definisi Demam Tifoid Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang diakibatkan oleh bakteri Salmonella enterica dengan serotipe typhi. Demam yang terjadi bersifat kontinu berlangsung selama 3-4 minggu, bradikardia relatif, dan terkadang melibatkan jaringan limfoid.4

1.2 Insidensi Berdasarkan sensus yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2004, diperkirakan sebesar 21,6 juta kasus demam tifoid terjadi setiap tahun di seluruh dunia. Sebagian besar kasus terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Insidensi global terjadinya demam tifoid diperkirakan sebesar 0,5% dengan insidensi tertinggi yang dilaporkan terjadi di Indonesia dan Papua New Guinea sebesar 2%, dimana demam tifoid menduduki peringkat kelima penyebab kematian dari keseluruhan penyakit. Di negara tersebut, 91% kasus merupakan anak-anak yang berusia 3-19 tahun, dan 20.000 kematian terjadi tiap tahunnya.5

Gambar 1. Distribusi Geografis Infeksi S.typhi di dunia 4 2

1.3 Etiologi Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella enterica serotipe typhi atau dikenal pula dengan Salmonella typhi. S. typhi, bakteri batang gram negatif merupakan anggota famili Enterobacteriaciae. Bakteri ini secara serologis positif mengandung lipopolisakarida antigen O9 dan O12, protein flagella antigen Hd, dan kapsul polisakarida antigen Vi.4

Gambar 2. Gambaran mikroskopis S.typhi 6 1.4 Patofisiologi Salmonella typhi tidak memiliki vektor selain manusia itu sendiri. Proses penularan dimulai dari transmisi oral melalui makanan atau minuman yang diolah oleh individu yang telah tercemar oleh bakteri penyebab secara kronis melalui tinja atau urin (jarang). Selain itu, penularan juga terjadi dari tangan ke mulut setelah menggunakan toilet yang terkontaminasi bakteri penyebab dan hieginitas tangan yang tidak terjaga. Penularan juga dapat terjadi dari air kamar mandi atau sungai yang mengandung bakteri penyebab terutama di negara-negara berkembang.6

3

Infeksi S.typhi dapat terjadi apabila inokulasi organisme tersebut berjumlah sekurang-kuranganya 10.000 organisme. S.typhi dapat bertahan terhadap asam lambung sehingga dapat mencapai usus halus. Penetrasi mukosa terjadi di ileum distal menghasilkan bakterimia asimptomatik. S.typhi dapat bertahan hidup dan menggandakan diri pada sel fagositik mononuklear dari folikel limfoid, hati, dan lien. Infeksi yang terjadi ditentukan oleh jumlah bakteri, virulensi bakteri, dan respon host. S.typhi kemudian dilepaskan dari habitat

intraselulernya ke dalam aliran darah. Masa inkubasinya biasa berlangsung antara 7 sampai 14 hari. Pada fase bakterimia, bakteri disebarkan secara luas. Infeksi yang paling sering terjadi ialah di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan plaque Peyeri di ileum terminal. Invasi pada kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah maupun dari penyebaran empedu. Organisme tersebut keluar melalui cairan empedu sehingga dapat menyebabkan reinvasi pada usus maupun keluar melalui feses. Jumlah bakteri dalam darah penderita demam tifoid akut memiliki konsentrasi rata-rata 1 bakteri per mililiter darah.4 Infeksi tifoid memacu sistem imun humoral dan selular baik lokal maupun sistemik. Interaksi antara mediator imunologik host dan faktor bakterial dalam jaringan yang terinfeksi dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis pada plaque Peyeri terutama pada infeksi tingkat lanjut. Hal tersebut kemudian menyebabkan nyeri, diare, perdarahan, dan terkadang mengakibatkan perforasi.4 Hoffman mengemukakan bahwa gambaran klinis yang khas pada demam tifoid merupakan hasil interaksi antara Salmonella typhi dan makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesentrika. Sejumlah bakteri yang berada

4

yang berada di jaringan limfoid intestinal, hati, limfa dan sumsum tulang menyebabkan inflamasi di tempat tersebut dan melepaskan mediator inflamasi dari makrofag. Makrofag memproduksi sitokin diantaranya tumor necroting factor (TNF), IL-1 dan interferon. Makrofag juga memproduksi sumber metabolit arakhidonat dan reactive oxygen intermediates. Produk makrofag tersebut diatas dapat menyebabkan nekrosis seluler, perangsangan sistem imun, ketidakstabilan vaskuler, permulaan mekanisme pembekuan, penekanan sumsum tulang, demam, dan kelainan yang berhubungan dengan demam tifoid. Tampaknya endotoksin merangsang makrofag untuk melepaskan produknya yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestin maupun sel hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis demam tifoid.4

5

Gambar 1. Patogenesis Demam Tifoid 1.5 Diagnosis A. Gejala klinis Infeksi demam tifoid umumnya terjadi pada anak-anak atau dewasa muda berumur 5 25 tahun.6,7,8 6

-

Manifestasi klinis klasik demam tifoid timbul sekitar 7-14 hari setelah S. typhi diingesti atau memasuki saluran cerna.1,3 Ada pula sumber pustaka yang menyebutkan masa inkubasinya 3-60 hari dimana gejalanya rata-rata berlangsung dalam 1-2 minggu.2 Pola demam biasanya stepwise/ stepladder/naik perlahan dimana suhu badan meningkat bertahap setiap harinya dan menurun drastis di pagi hari.1,2,3 Puncak suhu semakin hari semakin meningkat. Selama minggu pertama sakit, dapat timbul gejalagejala saluran cerna, antara lain nyeri perut yang difus, perut yang menegang, dan dalam beberapa kasus, dapat terjadi nyeri perut kanan atas yang bersifat kolik. Infiltrasi monositik dapat menginflamasi plak Peyeri dan mempersempit lumen usus sehingga dapat menimbulkan konstipasi yang terjadi sepanjang perjalanan penyakit.1 Pasien juga dapat mengalami anoreksia, nyeri perut, malaise, mialgia, sakit kepala, batuk, diare atau konstipasi, dan delirium.6,7,8

03.00, 39

03.00, 39

21.00, 38 15.00, 37.8 09.00, 37.5

21.00, 38 15.00, 37.8 09.00, 37.5

15.00, 38

09.00, 37.5

Gambar 2. Ilustrasi kurva suhu badan pada demam tifoid yang memiliki pola naik bertahap atau stepwise/stepladder fever. Demam semakin tinggi menuju malam hari dan turun di pagi hari meskipun pasien tetap demam. Demam seringkali masih tinggi hingga pukul 07.00-08.00.

7

Pada akhir minggu pertama sakit, plato demam mencapai 39-40oC. Pasien dapat pula memunculkan rose spot yang berwarna seperti ikan salmon dan mengkilap pada batang tubuh berupa makulopapul yang biasanya berukuran 1-4 cm yang berkumpul sekitar 5 buah dan hanya terjadi selama 2-5 hari.1 Ada pula sumber pustaka yang menyebutkan rose spot biasanya timbul di bagian anterior toraks dan menghilang dalam 3-4 hari dengan ukuran diameter 2-4 mm yang berkumpul sekitar 5-20 buah.2 Di sumber pustaka lain, disebutkan bahwa rose spot juga dapat muncul di punggung, lengan, dan tungkai pada 25% kasus pada akhir minggu pertama.8

Gambar 3. Rose spot merupakan tanda khas pada demam tifoid tetapi ketiadaannya tidak menyingkirkan diagnosis demam tifoid. 8

Rose spot ini merupakan emboli bakteri di dermis dan kadang-kadang terjadi pada shigelosis atau salmonelosis non-tifoid. Selama minggu kedua sakit, gejala dan tanda di atas mulai bertambah berat. Abdomen menjadi distensi dan

8

dapat dijumpai splenomegali dengan konsistensi yang lunak. Dapat pula terjadi bradikardia relatif dan nadi dikrotik (denyut ganda dimana denyut kedua lebih lemah daripada denyut pertama).1,2 Bradikardia relatif merupakan indikator demam tifoid meskipun temuan ini tidak universal.8 Hingga memasuki minggu ketiga sakit, pasien yang masih mengalami demam mengalami anoreksia berat hingga terjadi penurunan berat badan yang signifikan. Konjungtiva dapat terinfeksi dnan pasien menjadi takipneu dengan rhonkii basah di seluruh basal paru. Distensi abdomen bertambah berat. Beberapa pasien mengalami berak cair (diare seperti sup kacang) berwarna hijau kekuningan. Pasien dapat jatuh ke status tifoid yang ditandai oleh apatis, kebingungan, bahkan psikosis. Plak Peyeri yang nekrotik dapat menyebabkan perforasi usus dan peritonitis. Komplikasi ini seringkali tidak dikenali dan samar akibat penggunaan kortikosteroid. Pada saat ini, terjadinya toksemia, miokarditis, atau perdarahan saluran cerna dapat menyebabkan kematian.6 Penyakit ini dapat berlangsung hingga 4 minggu jika tidak diobati.6,8 Jika pasien masih bertahan, gejala demam, status mental, dan distensi abdomen perlahan membaik dalam beberapa hari. Komplikasi saluran cerna dan neurologik dapat terjadi pada pasien ini. Penurunan berat badan dan kelemahan otot dapat terjadi berbulan-bulan. Kemudian pasien ini dapat menjadi karier S. typhi yang asimptomatik dan berpotensi menularkannya ke orang lain.9,10,12,13

9

Gambar 4. Cuplikan tabel perjalanan klasik manifestasi klinis demam tifoid secara dan 2 sistem organ. Dapat dilihat bahwa gejala dan tanda demam tifoid banyak didapatkan di minggu pertama.1,11

10

B. Pemeriksaan Fisik 5 Bradikardi relatif dapat terjadi lebih dari 50% pasien tetapi tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya indikator diagnostik. Lidah kotor (tepi hiperemis dengan permukaan lidah berwarna putih) serta rose spots dapat timbul di badan dan bisa bermanifestasi menjadi hemorragik. Adenopati servikal dan hepatomegali seringkali terjadi. Perdarahan usus dapat terjadi akibat ulserasi mukosa pada plaque Peyeri. Perubahan status mental dan kejang dapat terjadi. Manifestasi pada mata yang dapat timbul antara lain abses pada kelopak mata, ulkus kornea, uveitis, perdarahan retina, dsb. Manifestasi tersebut dapat muncul akibat invasi organisme pada jaringan okuli.

C. Pemeriksaan Penunjang Penegakan diagnosis definitif demam tifoid bergantung pada isolasi S. typhi yang berasal dari darah, sumsum tulang, atau dari lesi anatomis yang spesifik. Adanya gejala klinis yang menjadi ciri khas pada demam tifoid atau deteksi adanya respon antibodi hanya mendukung pada terjadinya demam tifoid tetapi hanya bersifat non definitif.15 Kultur darah merupakan metode diagnostik standar pada demam tifoid. Akan tetapi, kultur sumsum tulang memberikan hasil yang lebih sensitif. Kultur darah kurang sensitif dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dikarenakan jumlah mikroorganisme di dalam darah lebih sedikit dibandingkan kultur sumsum

11

tulang. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Selain itu, pada tes fungsi hati biasanya menunjukkan peningkatan.4 Peran tes Widal dalam diagnosis demam tifoid masih kontroversial dikarenakan sensitivitas, spesifisitas, dan nilai prediksinya sangat bervariasi dan bergantung pada area geografisnya. Tes ini mendeteksi aglutinasi antibodi terhadap antigen S.typhi O dan H. Pasien demam tifoid terkadang tidak meningkat atau bahkan tidak terlihat repons antibodinya. Tes widal (O dan H aglutinin) mulai positif pada hari ke sepuluh dan titer akan semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang dua hari yang menunjukkan kenaikan progressif dari titer agglutinin (di atas 1:200) menunjukkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid. Meskipun demikian, tes Widal masih banyak digunakan terutama di negara-negara berkembang untuk mendiagnosis demam tifoid mengingat tes ini mudah dilakukan.4,16 Kemajuan terbaru di bidang imunologi molekuler telah menemukan penanda (marker) potensial yang sensitif dan spesifik dalam identifikasi demam tifoid. Penanda tersebut tersedia dalam bentuk kit yang praktis dan murah untuk mendeteksi terjadinya demam tifoid dengan menggunakan sampel darah dan urin penderita. Kit-kit yang tersedia antara lain Multi-Test Dip-S-Ticks, Typhidot, dan TUBEX yang masing-masing secara berurutan dapat mendeteksi imunoglobulin G (Ig G), Ig G dan M, dan Ig M.16

12

Tabel 1.

Sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value, negative predictive value, dan tingkat kepercayaan 95% dari uji diagnostik cepat (rapid diagnostic test) demam tifoid.16

Selain itu, pemeriksaan radiologis abdomen dapat dilakukan untuk mengetahui adanya udara bebas akibat perforasi usus.5

1.6 Diagnosis Banding Demam tifoid harus dibedakan dengan demam akut atau subakut lainnya. Pada daerah yang tidak endemik demam tifoid, riwayat berkunjung/melakukan perjalanan perlu diperhatikan. Apabila terdapat gejala klinis misalnya rose spots, demam lama, bradikardi relatif, dan leukopenia maka diagnosis demam tifoid dapat dengan kuat ditegakkan. Akan tetapi, pada kebanyakan kasus demam tifoid gejala tersebut tidak selalu muncul. Diagnosis banding demam tifoid antara lain adalah infeksi dengan demam lama contohnya Malaria, abses, tuberkulosis, abses hati akibat amuba, ensefalitis, influenza, demam dengue, leptospirosis, mononukleosis infeksiosa, endokarditis, bruselosis, lesmaniasis viseral,

toksoplasmosis, penyakit limfoproliferatif dan beberapa penyakit jaringan ikat.17

13

1.7 Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam : 4 Komplikasi intestinal: perdarahan usus, perforasi, peritonitis dan ileus paralitik. Komplikasi ekstraintestinal: miokarditis, DIC, bronkhitis, bronkopneumonia, empiema, hepatitis, kolesistisis, glomerulonefritis, pielonefritis, osteomielitis, meningitis, ensefalopatia, sindroma Guillain Barre, psikosis, dan sindroma katatonia. Lain-lain (abses fokal, faringitis, karier, relaps, infeksi kronis)

Gambar 3. Perforasi Usus Akibat Demam Tifoid 4 1.8 Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang dapat dilakukan, yaitu :8,23,24 1. Perawatan Penderita harus tirah baring sampai dengan 5 7 hari bebas demam, kemudian secara bertahap mulai mobilisasi. Lama perawatan di RS umumnya berkisar selama 10 hari tergantung keadaan penderita. Pada penderita dengan

14

komplikasi seperti pneumonia dan ensefalopati perawatan di RS dapat lebih lama tergantung respon terhadap pemberian dan luasnya komplikasi yang ada. 2. Diet Pemberian diet tahap awal pada penderita demam tifoid harus mengutamakan unsur lunak, mudah dicerna, tidak merangsang, bebas serat dan tidak menimbulkan gas. Pemberian makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering. Biasanya disajikan dalam bentuk bubur saring yang halus, tetapi ini sering menimbulkan keluhan pasien karena tidak sesuai dengan selera. 3. Medikamentosa Saat ini WHO merekomendasikan obat golongan fluorokuinolon sebagai pilihan pertama demam tifoid. Fluorokuinolon diberikan sebesar 15mg/kgbb/hari selama 5-7 hari. Obat terpilih alternatif untuk penderita dengan demam tifoid adalah Kloramfenikol, dengan dosis 50100 mg/kgBB/hari maksimal 2 gram per hari. Obat ini diberikan sampai dengan 7 hari bebas demam, minimal diberikan dalam 10 hari. Bila dalam 10 hari pemberian Kloramfenikol panas tidak turun maka obat diganti dengan Ampisilin 200 mg/kgBB/hari diberikan secara intravena selama 1014 hari atau Trimetropin-Sulfametoksazol dengan dosis 1050 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Ada beberapa obat alternatif yang dapat dipakai untuk demam tifoid misalnya Tiamfenikol diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgbb/hari selama 10-14 hari. Golongan sefalosforin generasi ketiga yang sering dipakai pada demam tifoid diantaranhya Ceftriaxon dengan dosis 80 mg/kgbb/hari diberikan secara IV selama 5-7 hari. Cefotaxim dapat diberikan dengan dosis 100 mg/kgbb/hari diberikan dalam 4 dosis terbagi. Sefopferazon

15

dengan dosis 100 mg/kgbb/hari diberikan dalam 2 dosis kemudian diturunkan menjadi 50 mg/kgbb/hari setelah suhu tubuh turun kembali normal. Kortikosteroid dosis tinggi diberikan pada penderita demam tifoid berat dengan gejala delirium, obtundasi dan stupor atau penderita yang secara klinis didiagnosa dengan tifoid ensefalopati. Pengobatan demam tifoid menjadi masalah dengan ditemukan dan menyebarnya dengan cepat Salmonella typhi yang resisten terhadap

Kloramfenikol, Ampisilin, Kotrimoksazol yang sebelumnya merupakan obat pilihan untuk demam tifoid. Tiga golongan obat yang sudah banyak diteliti dan cukup efektif untuk demam tifoid dengan multi drug resisten adalah golongan flurokuinolon, sefalosforin generasi ketiga dan azitromisin.

4. Pengobatan penunjang : Pemberian cairan infus dilakukan bila penderita datang dengan keadaan dehidrasi, keadaan umum yang lemah dan tidak dapat makan per oral atau datang dalam keadaan syok. Untuk penanganan penderita dengan dehidrasi lihat standar profesi

16

pelayanan dehidrasi, sedangkan untuk skema terapi penderita demam tifoid dengan syok lihat standar profesi syok septik. Bila penderita datang dengan anemia, berikan transfusi darah bila Hb < 6 gr%. 5. Tindak lanjut : Pemeriksaan rutin seperti tanda vital merupakan hal yang wajib dan selalu jadi perhatian karena dari itu dapat dipantau perkembangan penderita dari waktu ke waktu untuk ditindaklanjuti dengan tindakan berikutnya yang diperlukan terutama bila terjadi perburukan klinis atau adanya komplikasi atau penyakit lainnya.

1.9 Prognosis Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Prognosis kurang baik bila terjadi gejala klinis yang berat seperti hiperpireksia atau febris kontinue, penurunan kesadaran, dan komplikasi berat seperti dehidrasi, asidosis, perforasi usus dan gizi buruk. .Angka kematian pada anak-anak 2,6 % dan pada orang dewasa 7,4 %, rata-rata 5,7 % .3,19

17

18

BAB II SIMULASI KASUS

2.1. Kasus Anamnesis Nn. Sarah, 19 tahun, mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri di fakultas MIPA, alamat Jalan S. Parman No. 10 Banjarmasin, datang ke Klinik jam 10 pagi dengan keluhan badan panas. Panas sudah muncul sejak 4 hari yang lalu, tapi panasnya hanya sore sampai malam hari, kalau pagi sudah hilang lagi, sehingga pasien dapat tetap kuliah. Kalau sore pasien makan sanmol tablet, tapi biasanya kalau malam pasien panas lagi. Panasnya tidak terlalu tinggi, tidak sampai menggigil. Perut mual dan makannya tidak berselera. Sudah 3 hari pasien tidak bisa buang air besar, mungkin karena makannya sedikit. Pasien takut terkena demam berdarah, tapi dilengan tidak ada bintik-bintik merah.

Pemeriksaan Fisik Tanda vital: TD = 130/70 mmHg N = 88 x/menit RR = 20 x/menit T = 37,5oC Kepala dan leher : Thorak : Abdomen: Ekstremitas Tes RL Pemeriksaan darah Hasil tes Widal : : : :

Tidak ada kelainan Paru dan jantung dalam batas normal Bising usus dalam batas normal, nyeri tekan ulu hati, tidak ada hepatomegali dan splenomegali. Dalam batas normal Negatif Lekopenia, trombosit normal, tidak ada hemokonsentrasi 1/160 pada titer O dan H S. typhi 1/80 pada titer O S. paratyphi A dan B

19

Diagnosis : Demam Tifoid 2.2 Tujuan Pengobatan Manajemen umum demam tifoid meliputi hidrasi baik oral maupun intravena, pemberian antipiretik, nutrisi yang adekuat dan transfusi darah bila diperlukan. Lebih dari 90% pasien dapat rawat jalan dengan pemberian antibiotik oral, pengawasan terhadap tanda komplikasi dan respon terhadap terapi. Pasien dengan vomitus persisten, diare berat, dan distensi abdomen dapat dipertimbangakan untung rawat inap. 15

2.3. Daftar kelompok obat beserta jenisnya yang berkhasiat untuk demam tifoid 8,17,20

No 1.

Kelompok Obat Antibiotik

Jenis Obat Fluorokuinolon (Ofloksasin, Siprofloksasin, Perfloksasin, Fleroksasin), Penisilin (Ampisilin, Amoksisilin) Amfenikol (Kloramfenikol), TrimetropimSulfametoksazol, Sefalosporin (Ceftriakson, Cefiksim), Makrolid (Azitromisin). Parasetamol, Ibuprofen

2.

Antipiretik-analgetik

20

2.4.

Perbandingan kelompok obat menurut khasiat, keamanan, dan Kecocokannya 20, IONI Kecocokan (Kontraindikasi obat) Hipersensitif terhadap siprofloksasin atau golongan kuinolon lainnya, penggunaan bersamaan dengan amiodaron, sotalol dan bepridil, kehamilan dan menyusui, penderita dengan riwayat defisiensi G6PD, penggunaan bersama dengan obat anti aritmia.

Kelompok Jenis Obat Siprofloksasin

Khasiat (Efek) Antibiotik

Keamanan BSO (Efek Samping Obat) - Mual, muntah, dyspepsia, nyeri lambung, diare tapi jarang, sakit kepala, pusing, pruritus, flatulen, disfagia, prankreatitis, takikardi, hipertensi, efek samping yang jarang : anoreksia, peningkatan kadar urea dan kadar kreatinin dalam darah.

Kloramfenikol

Antibiotik

- reaksi hematologik: depresi sumsum tulang, anemia ringan sampai anemia aplastik dengan pansitopeni - reaksi alergi: kemerahan kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis - reaksi saluran cerna: mual, muntah, diare,

- Neonatus. Bila terpaksa diberikan untuk neonatus, dosisnya jangan melebihi 25 mg/kg BB sehari - Pasien dengan gangguan faal hati dan pasien yang hipersensitif.

21

enterokolitis - reaksi neurologik; depresi, bingung, sakit kepala. Ofloksasin Antibiotik Takikardi, hipotensi transient, reaksi vaskulitis, ansietas, sempoyongan (unsteady gait), neurophaty, gejala ekstrapiramidal, efek samping yang sangat jarang terjadi : perubahan gula darah dan reaksi vaskulitis.pada pemberian IV dapat terjadi tromboplebitis Flatulen, disfagia, pancreatitis, takikardia, tinnitus, vaskulitis, nyeri dan flebitis pada tempat penyuntikan. Mual, muntah, diare, insomnia, sakit kepala, pusing, lelah, pruritus, plebitis, mulut kering, konstipasi, sakit perut, anoreksia, hipotensi. Hipersensitif dan quinolone, hamil dan menyusui, anak-anak prapubertas

Perfloksasin

Antibiotik

Fleroksasin

Antibiotik

Ampisilin

Antibiotik

Amoksisilin

Antibiotik

Kotrimoksazol

Antibiotik

Mual, muntah, diare, ruam (hentikan penggunaan), jarang terjadi kolitis. Pruritus, urtikaria, angioderma, glotitis, stomatitis, mual, muntah. Gangguan gastrointestinal, reaksi alergi, anafilaksis, infeksi pada mulut Gangguan saluran cerna, mual dan muntah, ruam, neutropenia,

Hipersensitif terhadap derivay kuinolon, defisiensi G6PD, hamil dan laktasi, anak