laporan kasus asd

41
MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PROLAPS ISI BOLA MATA OCULI SINISTRA ET CAUSA ULCUS CORNEA SENTRAL DENGAN ATRIAL SEPTAL DEFECT YANG DILAKUKAN TINDAKAN EVISERASI OCULI SINISTRA ABSTRAK Latar belakang: Pembedahan pada mata merupakan tindakan yang unik dan menantang bagi ahli anestesi. Pengertian tentang anatomi dan fisiologi sistem okuli termasuk regulasi tekanan intraokuler, pengaruh obat – obat anestesi sangat penting dikuasai oleh seorang ahli anestesi karena akan mempengaruhi hasil operasi. Tujuan: Melaporkan pengelolaan anestesi pada seorang laki – laki dengan ablatio retina oculi dextra dan hipertensi stage I. Kasus: Seorang laki – laki berusia 56 tahun datang dengan keluhan mata kanan tiba – tiba kabur sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga dengan riwayat menderita hipertensi sejak 1 tahun terakhir, minum obat teratur dengan tekanan darah harian 140/90 dan tekanan darah tertinggi 170/100. Pada pemeriksaan EKG dan Rontgen Thorak masih dalam batas normal. Hasil: Operasi berlangsung selama 1 jam 30 menit. Dilakukan prosedur Buckle Sclera pada mata kanan. Perdarahan intra operatif sekitar 10 ml. Setelah 45 menit di ruang pemulihan pasein dipindahkan ke ruangan. Pasien dipulangkan pada hari ke 3 pasca operasi. Ringkasan: Manajemen Anestesi telah dilakukan pada laki – laki 56 tahun dengan ablatio retina oculi dextra dan hipertensi stage I.

Upload: dianwindiamalia

Post on 21-Dec-2015

66 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

tugas anestesi

TRANSCRIPT

MANAJEMEN ANESTESI

PADA PASIEN DENGAN PROLAPS ISI BOLA MATA OCULI SINISTRA

ET CAUSA ULCUS CORNEA SENTRAL DENGAN ATRIAL SEPTAL

DEFECT YANG DILAKUKAN TINDAKAN EVISERASI OCULI

SINISTRA

ABSTRAK

Latar belakang: Pembedahan pada mata merupakan tindakan yang unik dan menantang bagi ahli anestesi. Pengertian tentang anatomi dan fisiologi sistem okuli termasuk regulasi tekanan intraokuler, pengaruh obat – obat anestesi sangat penting dikuasai oleh seorang ahli anestesi karena akan mempengaruhi hasil operasi.

Tujuan: Melaporkan pengelolaan anestesi pada seorang laki – laki dengan ablatio retina oculi dextra dan hipertensi stage I.

Kasus: Seorang laki – laki berusia 56 tahun datang dengan keluhan mata kanan tiba – tiba kabur sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga dengan riwayat menderita hipertensi sejak 1 tahun terakhir, minum obat teratur dengan tekanan darah harian 140/90 dan tekanan darah tertinggi 170/100. Pada pemeriksaan EKG dan Rontgen Thorak masih dalam batas normal.

Hasil: Operasi berlangsung selama 1 jam 30 menit. Dilakukan prosedur Buckle Sclera pada mata kanan. Perdarahan intra operatif sekitar 10 ml. Setelah 45 menit di ruang pemulihan pasein dipindahkan ke ruangan. Pasien dipulangkan pada hari ke 3 pasca operasi.

Ringkasan: Manajemen Anestesi telah dilakukan pada laki – laki 56 tahun dengan ablatio retina oculi dextra dan hipertensi stage I. Operasi berjalan dengan sukses dan pasien diperbolehkan pulang ke rumah pada hari ke 3 pasca operasi.

Kata Kunci: ablatio retina, hipertensi, buckle sclera

BAB I

PENDAHULUAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. ULKUS KORNEA

1.1 DefinisiUlkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan

kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung, dan

diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma.1,2

Ulkus kornea adalah suatu kondisi yang berpotensi menyebabkan kebutaan yang

membutuhkan penatalaksanaan secara langsung.3

1.2 Anatomi dan Fisiologi Kornea

Kornea adalah jaringan transparan, yang ukurannya sebanding dengan kristal sebuah

jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di limbus, lengkung melingkar pada

persambungan ini disebut sulkus skleraris. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,52

mm di tengah, sekitar 0,65 di tepi, dan diameternya sekitar 12,5 mm dari anterior ke

posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda: lapisan epitel (yang

bersambung dengan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran

Descement, dan lapisan endotel. Batas antara sklera dan kornea disebut limbus kornea.

Kornea merupakan lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Kalau

kornea oedema karena suatu sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat

menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo.9

Gambar 2.2 Anatomi Kornea

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya

menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya yang uniform, avaskuler dan

deturgenes. Deturgenes, atau keadaan dehidrasi relative jaringan kornea dipertahankan oleh

pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih

penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cidera kimiawi atau fisik pada endotel

jauh lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema

kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya cedera pada epitel hanya menyebabkan edema

lokal stroma kornea sesaat yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu telah beregenerasi.

Penguapan air dari film air mata prakornea akan mengkibatkan film air mata akan menjadi

hipertonik; proses itu dan penguapan langsung adalah faktor-faktor yang yang menarik air dari

stroma kornea superfisialis untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.11

1.3 Etiologi Ulkus Kornea2,9,13,14

a. Infeksi

Infeksi Bakteri : P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella

merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk sentral. Gejala

klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar bersifat mukopurulen yang

bersifat khas menunjukkan infeksi P aeruginosa.

Infeksi Jamur : disebabkan oleh Candida, Fusarium, Aspergilus, Cephalosporium, dan

spesies mikosis fungoides.

Infeksi virus

Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk khas dendrit

dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan

menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami

nekrosis di bagian sentral. Infeksi virus lainnya varicella-zoster, variola, vacinia

(jarang).

Acanthamoeba

Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat didalam air yang tercemar

yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh acanthamoeba adalah

komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna lensa kontak lunak, khususnya bila

memakai larutan garam buatan sendiri. Infeksi juga biasanya ditemukan pada bukan

pemakai lensa kontak yang terpapar air atau tanah yang tercemar.

b. Noninfeksi

Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH.

Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik dan

organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan

protein permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi maka tidak bersifat

destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat superfisial saja. Trauma kimia asam

adalah trauma pada kornea dan konjungtiva yang disebabkan karena adanya kontak

dengan bahan kimia asam yang dapat menyebabkan kerusakan permukaan epitel bola

mata, kornea dan segmen anterior yang cukup parah serta kerusakan visus permanen

baik unilateral maupun bilateral. Sebagian besar bahan asam hanya akan mengadakan

penetrasi terbatas pada permukaan mata, namun bila penetrasi lebih dalam dapat

membahayakan visus. Asam sulfat merupakan penyebab paling sering dari seluruh

trauma kimia asam. Asam bereaksi dengan air mata yang melapisi kornea dan

mengakibatkan temperatur meningkat (panas) dan terbakarnya epitel kornea. Semua

asam cenderung untuk mengkoagulasi dan mengendapkan protein. Sel-sel terkoagulasi

pada permukaan berfungsi sebagai penghalang relatif pada penetrasi asam yang lebih

parah. Protein jaringan juga memiliki efek buffer pada asam, yang berkontribusi pada

sifat terlokalisir luka bakar asam.

Pada bahan alkali antara lain amonia, cairan pembersih yang mengandung

kalium/natrium hidroksida dan kalium karbonat akan terjadi penghancuran kolagen

kornea. Trauma basa biasanya lebih berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan

basa memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana dapat mengijinkan  mereka

secara cepat untuk penetrasi sel membran dan masuk ke bilik mata depan, bahkan

sampai retina. Sementara trauma asam akan menimbulkan koagulasi protein permukaan,

dimana merupakan suatu sawar perlindungan agar asam tidak penetrasi lebih dalam. 

Bahan ammonium hidroksida dan akustik soda dapat menyebabkan kerusakan yang

berat karena mereka dapat penetrasi secara cepat, dan dilaporkan bahwa bahan akustik

soda dapat menembus ke dalam bilik mata depan  dalam waktu 7 detik. Kornea, pada

organ ini dapat terjadi edema kornea karena adanya kerusakan dari epitel,

glikosaminoglikan, keratosit, dan endotel, sehingga aquos humor dari bilik mata

anterior dapat masuk kedalam kornea. Selain itu karena adanya iskemia limbus suplai

nutrisi berkurang sehingga menyebabkan tidak terjadinya reepitelisai kornea dan pada

akhirnya dapat timbul sikatrik pada kornea. 16,17

Radiasi atau suhu

Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang akan merusak

epitel kornea.

Sindrom Sjorgen

Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis sicca yang merupakan

suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan defisiensi unsur film air mata (akeus,

musin atau lipid), kelainan permukan palpebra atau kelainan epitel yang menyebabkan

timbulnya bintik-bintik kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul

ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea terpulas dengan flurosein.

Defisiensi vitamin A

Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan vitamin A dari

makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan ganggun pemanfaatan oleh tubuh.

Obat-obatan

Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya; kortikosteroid, IDU (Iodo 2

dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan imunosupresif.

Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.

Pajanan (exposure)

Dapat timbul pada situasi apapun dengan kornea yang tidak cukup dibasahi dan

dilindung oleh palpebra.

Neurotropik

Ulkus yang terjadi akibat gangguan saraf ke V atau ganglion Gaseri. Pada keadaan ini

kornea atau mata menjadi anestetik dan reflek mengedip hilang. Benda asing pada

kornea bertahan tanpa memberikan keluhan selain daripada itu kuman dapat

berkembang biak tanpa ditahan daya tahan tubuh. Terjadi pengelupasan epitel dan

stroma kornea sehingga menjadi ulkus kornea.

c. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)

SLE

SLE adalah gangguan autoimun multisistem dengan komplikasi okular di segmen anterior dan

posterior, termasuk keratitis sicca, episkleritis, ulkus kornea, uveitis, dan vasculitis retina.

Rheumathoid arthritis

RA adalah gangguan vaskulitis sistemik yang paling sering melibatkan permukaan okular.

Pasien dengan RA berat sering hadir dengan ulserasi progresif indolen dari kornea perifer

atau pericentral dengan peradangan minimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan

perforasi kornea.

1.5 Patofisiologi

Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam

perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya

tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan

anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu

pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di

kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di

daerah pupil.

Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera

datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan

kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja

sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat

dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-

sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan

timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas

tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah

ulkus kornea.

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik

superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga

diperberat dengan adanya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan

menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat

menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan

fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris.

Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut. Infiltrat sel

leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini menyebar kedua arah

yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil dan superficial maka akan lebih

cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih kembali, tetapi jika lesi sampai ke

membran Bowman dan sebagian stroma maka akan terbentuk jaringan ikat baru yang akan

menyebabkan terjadinya sikatrik.

1.6 Manifestasi Klinis9

Gejala klinis pada ulkus kornea secara umum dapat berupa :

1.6.1 Gejala Subjektif

a. Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva

b. Sekret mukopurulen

c. Merasa ada benda asing di mata

d. Pandangan kabur

e. Mata berair

f. Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus

g. Silau

h. Nyeri

i. Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat pada

perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel kornea.

1.6.2 Gejala Objektif

a. Injeksi siliar

b. Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat

c. Hipopion

1.7 Diagnosis Ulkus Kornea4,6,13

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium.

Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan adanya

riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang bermanfaat,

misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering kambuh. Hendaknya

pula ditanyakan riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien seperti kortikosteroid yang

merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, virus terutama keratitis herpes

simplek. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit sistemik seperti diabetes,

AIDS, keganasan, selain oleh terapi imunosupresi khusus.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala obyektif berupa adanya injeksi siliar,

kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus berat dapat terjadi

iritis yang disertai dengan hipopion.

Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti :

a. Ketajaman penglihatan

b. Tes refraksi

c. Pemeriksaan slit-lamp

d. Keratometri (pengukuran kornea)

e. Respon reflek pupil

f. Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi.

Gambar 2.14 Ulkus Kornea dengan fluoresensi

g. Goresan ulkus untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH)

h. Pada jamur dilakukan pemeriksaan kerokan kornea dengan spatula kimura dari dasar

dan tepi ulkus dengan biomikroskop dilakukan pewarnaan KOH, gram atau Giemsa.

1.8 Penatalaksanaan Ulkus Kornea6,9,10,14

Ulkus kornea adalah keadan darurat yang harus segera ditangani oleh spesialis mata

agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea. Pengobatan pada ulkus kornea

tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes mata yang mengandung antibiotik, anti virus,

anti jamur, sikloplegik dan mengurangi reaksi peradangan dengann steroid. Pasien dirawat

bila mengancam perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi

obat dan perlunya obat sistemik.

1. Eviserasi, Enukleasi dan Eksenterasi

2.1. Eviserasi

- Defenisi: Pengankatan isi bola mata dengan meninggalkan bagian dinding bola mata,

sclera, otot-otot ekstra okuli dan saraf optiki.

- Indikasi

Indikasi dari pembedahan eviserasi adalah keadaan kebutaan pada mata dengan

infeksi berat atau kondisi mata yang sangat nyeri. Tumor intraocular dan phitisis

merupakan kontraindikasi dalam meaksanakan pebedahan eviserasi. Eviserasi

memiliki keuntungan dibandingkan enukleasi yaitu pembedahan dapat dilaksanakan

dengan komplikasi yang lebih sedikit, anastesi dapat dilakukan dengan anastesi local

berupa blok retrobulbar dan proses pebedahan dilakukan dalam waktu yang lebih

singkat.

2.2. Enukleasi

Defenisi: Pengankatan keseluruhan isi bola mata termasuk nervus optikus.

Indikasi:

Visus yang sngat turun dengan nyeri pada rongga orbita.

Tumor intraokular

Trauma hebat dengan resiko sympathetic ophthalmia

Phthisis bulbi

Microphthalmia

Endophthalmitis/panophthalmitis

Kosmetik

.

2.3. Eksesnterasi

- Defenisi: Merupakan tindakan pengangkatan seluruh orbita, termasuk bola mata,

jaringan lunak orbita, serta kelopak mata dan adnexa mata.

- Indikasi

Indikasi pembedahan eksenterasi adalah adanya penyakit keganasan di rongga orbita

atau menyebaran dari tumor lain yang mengenai orbita

Manajemen Anestesi pada Operasi Mata

Pada prinsipnya manajemen anestesi pada operasi mata yang perlu kita perhatikan adalah

Tekanan intra okuler, Reflek okulo kardiak, dan ekspansi gas intraokuler

1. Tekanan Intra okuler

Mata dapat dianggap sebagai bola hampa dengan dinding  yang kaku. Jika isi dari bola

mata meningkat, tekanan intraokuler  (normal 12 – 20 mmHg) akan naik. Sebagai contoh,

glaukoma disebabkan oleh sumbatan aliran humor aquos. Begitu juga tekanan intraokuler akan

naik jika volume darah dalam bola mata meningkat. Naiknya tekanan vena akan meningkatkan

tekanan intraokuler oleh penurunan aliran aquos dan peningkatan volume darah koroid.

Perubahan  yang ekstrim  dari tekanan darah arteri dan ventilasi dapat meningkatkan tekanan

intraokuler. Pemberian anestesi merubah parameter ini dan dapat menpengaruhi tekanan

intraokuler seperti laryngoscopy, intubasi, sumbatan jalan napas, batuk, posisi trendelenburg.

Hal lain, peningkatan ukuran bola mata  yang tidak proporsional mengubah volume

isinya akan meningkatkan tekanan intraokuler. Penekanan pada mata dari sungkup yang sempit,

posisi prone yang tidak baik, atau perdarahan retrobulber merupakan tanda peningkatan tekanan.

Tekanan intraokuler membantu mempertahankan  bentuk dan oleh karena itu membangun optik

dari mata. Variasi temporer tekanan biasanya dapat ditoleransi dengan baik oleh mata normal.

Dalam kenyataanya kebutaan menaikkan tekanan intraokuler sebanyak 5 mmHg dan juling 26

mmHg.  Episode transien peningkatan tekanan intraokuler pada pasien dengan tekanan arteri

optalmikus yang rendah.(hipotensi, arteriosklerotik arteri retina), bagaimanapun dapat

membahayakan perfusi retina yang menyebabkan iskemia retina.

Pada saat bola mata dibuka selama prosedur pembedahan atau setelah trauma tembus, tekanan

intraokuler dapat  mendekati tekanan atmosfer. Beberapa faktor yang secara normal

meningkatkan tekanan intraokuler akan menurun bila  terjadi pengaliran aqous atau ektruksi

vitreus yang menembus luka. Komplikasi lama yang serius menimbulkan kelainan visus  yang

permanen.

Faktor yang menyebabkan peningkatan Tekanan Intra

Okuler

Faktor yang dapat menurunkan Tekanan Intra

Okuler

   

Obat Midriatik Obat depresan ssp

Gerakan pasien Manitol, ganglionik bloker

Peningkatan tonus otot ekstraokuler asetazolamid

Hipertensi Hipotensi

Injeksi cairan 8 - 10 ml ke orbita Posisi head up

Asidosis respiratorik, hipoksia dan hiperkarbai Hipokarbi

   

Umumnya obat –obat anestesi lain yang rendah tidak berefek  pada tekanan intraokuler.

Anestesi inhalasi menurunkan tekanan intraokuler yang proporsional sesuai dalamnya anestesi.

Penyebab penurunannya multipel antara lain ; penurunan tekanan darah mengurangi volume

koroidal, relaksasi otot-otot ekstraokuler menurunkan tekanan dinding bola mata, kontriksi pupil

memudahkan aliran aquos. Anestesi intravena juga dapat menurunkan tekanan intraokuler.

Mungkin  pengecualian adalah ketamin, yang dapat menaikkan tekanan darah arteri dan tidak

menyebabkan relaksasi otot ekstraokuler.

Pemberian obat antikolinergik topikal menyebabkan dilatasi pupil (midriasis), yang dapat

menyebabkan glaukoma sudut tertutup. Dosis premedikasi atropin sistemik yang dianjurkan

tidak berhubungan dengan hipertensi intraokuler, karena bagaimanapun hal ini akan terjadi pada

pasien-pasien dengan glaukoma. Besarnya empat struktur amonium glikopirolat dapat

memperbesar batas keamanan  dan mencegah penularan ke dalam sistem saraf pusat.

Suksinilkolin meningkatkan tekanan intraokuler sebanyak 5-10 mmHg selama 5-10 menit setelah

pemberiannya, menembus terutama ke dalam otot-otot ekstraokuler dan menyebabkan

kontraktur. Tidak seperti otot skelet lainnya, otot ekstraokuler terdiri dari  sel-sel dengan

multipel neuromuskuler junction. Setelah pemulihan depolarisasi sel-sel ini oleh suksinilkolin

menyebabkan kontraktur yang berkepanjangan. Hasilnya terjadi peningkatan tekanan intraokuler

yang mempunyai beberapa efek. Hal ini akan menyebabkan pengukuran palsu terhadap tekanan

intraokuler selama pemeriksaan dalam pengaruh anestesi pada pasien-pasien glaukoma,

peningkatan ini tidak penting dalam pembedahan, oleh karena itu kenaikan tekanan intraokuler

dapat menyebabkan ekstruksi okuler  akibat bedah terbuka atau trauma yang tembus. Efek akhir

kontraktur yang berkepanjangan dari otot-otot ekstraokuler adalah tes forced duction abnormal

selama 20 menit. Manuver ini menilai penyebab ketidakseimbangan otot ekstraokuler dan

pengaruh tipe  pembedahan strabismus. Kongesti vena-vena koroid juga dapat menaikkan

tekanan intraokuler. Obat  pelumpuh otot nondepolarisasi tidak menaikkan tekanan intraokuler.

Pengaruh Obat - obatan Anestesi terhadap Tekanan Intra

Okuler

Anestesi inhalasi

   

Agen Voletile ↓↓

Nitro oxide ↓

   

Obat Intravena

   

Barbiturat ↓↓

Benzodiazepin ↓↓

Narkotik ↓

Ketamin ↑↑

   

Muscle relaxan

   

Depolarisasi ↑↑

Non Depolarisasi ↓

2. Reflek Okulo Kardiak

Tarikan pada otot ektraokuler atau penekanan pada bola mata dapat menimbulkan

disritmia jantung berupa bradikardia dan ventricular ectopic beat sampai sinus arrest atau

fibrilasi ventrikuler. Refleks ini terdiri  dari afferen trigeminus (V1) dan jalur efferen vagal.

Refleks okulokardiak  paling sering pada pasien pediatrik yang menjaliani pembedahan

strabismus. Biarpun demikian  hal ini dapat terjadi dalam semua kelompok umur  dan beberapa

prosedur, termasuk ekstraksi katarak, enukleasi, dan perbaikan retinal terlepas.

Pemberian antikolinergik sering membantu mencegah reflek okulokardiak. Atropin intravena

atau glikopirolat merupakan prioritas segera pada pembedahan   dan lebih efektif dibandingkan

dengan premedikasi intramuskuler. Hal ini telah diketahui  bahwa pemberian antikolinergik

dapat merugikan pada pasien-pasien yang tua, yang sering mempunyai penyakit arteri koronaria.

Blok retrobulbar atau anestesi inhalasi yang dalam  juga dapat dinilai, tetapi prosedur ini

mempunyai resiko baginya. Blok retrobulbar kenyataanya dapat menimbulkan refleks

okulokardiak. Kebutuhan profilaksis secara rutin masih merupakan kontroversi

Penanganan refleks okulokardiak terdiri dari prosedur berikut : 

1. Segera laporkan ke ahli bedah dan menghentikan secara temporer stimulasi pembedahan

sampai nadi meningkat; 

2. Konfirmasi adekuatnya ventilasi, oksigen dan kedalaman anestesi;

3. Berikan atropin intravena (10 mcg/kg) jika terdapat gangguan konduksi yang persisten;

dan;

4. Dalam episode yang tidak bisa ditangani, lakukan infiltrasi pada otot rektus dengan

anestesi lokal. Refleks ini dapat lelah sendiri (memusnahkan dirinya sendiri) dengan

pulihnya traksi dari otot-otot ekstraokuler.

3. Ekspansi Gas Intraokuler

Gelembung gas dapat terjadi setelah injeksi oleh ahli mata didalam chamber posterior

selama pembedahan vitreus. Injeksi udara intravireal akan meyebabkan retina terlepas dan

dibolehkan koreksi penyembuhan secara anatomis. gelembung gas dapat diserap dalam 5 hari

dengan perlahan-lahan menebus jaringan sekitarnya dan masuk kedalam aliran darah. Jika pasien

diberikan nitrous oksida, gelembung akan meingkat ukurannya. Hal ini karena nitrous oksida 35

kali lebih larut dari nitrogen dalam darah. Kemudian nitrous oksida akan berdifusi ke dalam

gelembung gas lebih cepat dibanding nitrogen (komponen utama udara) diserap oleh aliran

darah. Jika gelembung berekspansi setelah mata ditutup, maka tekanan intraokuler akan

meningkat.

Sulfur hexaflouride (SF6) merupakan gas lemban, dimana gas tersebut kurang larut dalam darah

dibanding nitrogen, dan lebih kurang larut dibanding nitrous oxide. Durasi lama kerjanya (lebih

dari 10 hari) sebanding dengan gelembung udara yang dapat menguntungkan  ahli mata. Ukuran

gelembung tersebut menjadi ganda dalam waktu 24 jam setelah diinjeksi karena nitrogen dari

udara yang dihirup memasuki gelembung lebih cepat dari difusi sulfur hexafouride ke dalam

aliran darah. Walaupun demikian,  volume  dari sulfur hexaflouride yang murni  setelah di

injeksi secara lambat akan menggembung biasanya tidak meningkatkan  tekanan intraokuler. Jika

pasien menghirup nitrous okside, maka ukuran gelembung akan meningkat dengan cepat dan

dapat menyebabkan hipertensi intraokuler. Inspirasi nitroxide konsentrasi 70% dapat menambah

ukurannya 3x, setiap 1 ml gelembung  dapat menaikkan tekanan 2 kali pada mata tertutup dalam

waktu 30 menit. Penggunaan nitroxide yang tidak berkelanjutan dapat meningkatkan  reabsorpsi

dari gelembung, yang menjadi sebuah campuran nitrous okside dan sulfur hexaflouride.

Konsekuensi  dari penurunan tekanan intraokuler  dapat menyebabkan pelepasan  retina yang

lain.

Komplikasi – komplikasi ekspansi gelembung gas intraokuler ini dapat dihindarkan

dengan pemberian  nitrous okside paling kecil secara  tidak terus menerus  + 15 menit sebelum

injeksi udara atau sulfur hexaflouride. Kenyataannya, lamanya waktu untuk mengeliminasi

nitrous okside dari darah tergantung pada beberapa faktor , termasuk kecepatan  aliran gas dan 

adekuatnya ventilasi alveoli. Kedalaman anestesi harus dipelihara dengan obat-obat  anestesi

yang lain. Nitroxide seharusnya dihindari sampai gelembung tersebut diserap (5 hari setelah

diudara dan 10 hari setelah injeksi hexaflouride sulfur).

3. Atrial Septal Defect (ASD)

3.1. Defenisi

Atrial Septal Defect / ASD (Defek Septum Atrium) adalah kelainan jantung

kongenital dimana terdapat lubang (defek) pada sekat (septum) inter-atrium yang terjadi oleh

karena kegagalan fusi septum interatrium semasa janin(1).

3.2.. Tipe Defek Septum Atrium

a. Tipe pertama adalah Defek Ostium Secundum.

Tipe ASD yang paling umum dan paling tidak serius adalah kerusakan ostium

secundum. Kerusakan ini terjadi di daerah fossa ovalis dan mungkin diakibatkan oleh

resorpsi septum primum yang berlebihan, kurang berkembangnya septum secundum, atau

kombinasi dari 2 kondisi ini.

Hampir separuh pasien dengan kekurangan perkembangan katup atrioventrikular

(AV) kiri (yaitu sindrom jantung kiri hipoplast atau Shone complex), perlekatan atas katup

foramen ovale terletak pada atap atrium kiri ke bagian kiri septum secundum. Weinberg dkk

(1986) menyebut anomali ini sebagai “penyimpangan perlekatan atas septum primum (ke

arah kiri dan posterior)”. Penyimpangan ini sangat jarang teramati pada pasien dengan katup

AV kiri ternormalisasi. Yang penting, model klasik ini tidak menjelaskan keberadaannya

dengan baik. Jenis ini dapat dianggap sebagai variasi kerusakan ostium secundum, meskipun

hal ini dirancang secara paling kuat sebagai ASD (4).

Varian kedua kerusakan ostium secundum adalah kaitannya dengan aneurisme

septum atrium. Hal ini dianggap disebabkan oleh redundansi katup fossa ovalis. Hal ini

mungkin berkaitan dengan prolapse katup mitral atau atrial arrhytmia.

Anatomi dan Hemodinamik

Pada defek septum atrium sekundum terdapat lubang patologis di tempat fossa ovalis.

Defek dapat berukuran kecil sampai sangat besar shingga mencakup sebagian septum.

Akibatnya terjadi pirau dari atrium kiri ke atrium kanan, dengan beban volume di atrium dan

ventrikel kanan.

Gambaran klinis

Kebanyakan penderita defek septum atrium sekundum asimtomatis, terutama pada

masa bayi dan anak kecil. Bila pirau cukup besar maka pasien mengalami sesak nafas dan

sering mengalami infeksi paru. Gagal jantung pada masa bayi pernah dilaporkan, namu

sangat jarang. Tumbuh kembang biasanya sangat jarang, tetapi jika pirau besar berat badan

anak sedikit kurang.

Pada pemeriksaan fisis jantung pada mumnya normal atau hanya sedikit membesar

dengan pulsasi ventrikel kanan yang teraba. Komponen aorta dan pulmonal bunyi jantung II

terbelah lebar (wide split) yang tidak berubah baik pada saat inspirasi maupun ekspirasi

(fixed split). Split yang lebar ini disebakan oleh beban volume diventrikal kanan hingga

waktu ejeksi ventrikel kanan bertambah lama, sedang split yang idak bervariasi dengan

pernapasan terjadi karena pirau kiri kekanan bervariasi sesuai dengan berubahnya alir balik

ke atrium kanan. Pada defek yang sangat besar mungki terjadi variasi split sesuai dengan

siklus pernapasan yang merupakan petunjuk bahwa pasien memerluka tindakan operatif (5).

Pada defek kecil sampai sedang bunyi jantung I normal, akan tetapi pada defek besar

bunyi jantung I mengeras. Bising ejeksi sistolik terdengar di daerah pulmonal akibat aliran

darah yang berlebihan melalui katup pulmonal. Aliran darah yang memintas dari atrium kiri

ke kanan tidak menimbulkan bising karena perbedaan tekanan atrium kana dan kiri adalah

kecil. Bising diastolik di daerah trikuspidal terjadi akibat aliran darah yang berlebihan

melalui katup trikuspid pada fase pengisian cepat ventrikel kanan dapat terdengar. Bising ini

hanya dapat terdengar jikalau Qp/Qs lebih dari 2:1. bising ini terdengar pada saat inspirasi

dan melemah pada ikspirasi.

Foto Thoraks

Pada foto toraks pasien denga ASD dengan pirau yang bermakna, foto toraks AP akan

menunjukkan atrium kanan yang menonjol, dan dengan konus pulmonalis yang menonjol.

Pada foto AP biasanya tampak jantung yang hanya sedikit membesardan vaskularisasi paru

yang bertambah sesuai dengan besarnya pirau.

Ekokardiografi (6)

Picture 1 : Subcostal echocardiographic view of a child with a secundum atrial septal defect (ASD). Note the position of the defect in the atrial septum. RA = Right atrium; LA = Left atrium; SVC = Superior vena cava.

Picture 2: Subcostal long-axis view of the same child as in Media file 1 with a secundum atrial septal defect (ASD). RA = Right atrium; LA = Left atrium; RUPV = Right upper pulmonary vein.

Picture 3: Parasternal short axis view of a child with a secundum atrial septal defect (ASD). RA = Right atrium; LA = Left atrium; AO = Aorta.

b. Tipe kedua adalah Defek Ostium Primum.

ASD mungkin disebabkan oleh kegagalan bantalan endokardial untuk menutup

ostium primum. Karena bantalan endokardial juga membentuk katup mitral dan tricuspid,

kerusakan ostium primum selalu dikaitkan dengan pembelahan di dinding katup mitral

anterior.

Anatomi dan Hemodinamik

Pada defek septum primum terdapat celah pada bagian bawah septum atrium, yakni pada

septum atrium primum. Di samping itu, sering terdapat pula celah pada daun katup mitral.

Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya (1) pirau dai atrium kiri ke kanan serupa dengan

defek pada septum atrium sekundum, (2) arus sistolik dai ventrikel kiri melalui celah pada

katup mitral.

Gambaran klinis

Pasien dengan defek septum primum biasanya mempunyai berat badan yang kurang di

banding denga anak sebayanya, dan memiliki prekordium menonjol akibat pembesaran

ventrikel kanan. Pada pemeriksaan fisik biasanya jantung membesar dengan peningkatan

aktivitas ventrikel kiri maupu kanan. Pada auskultasi terdengar bunyi jantung I normal atau

mengeras, dan bunyi jantung II split lebar dan menetap. Didaerah pulmonal terdengar bising

ejeksi sistolik akibat stenosis pulmonal relatif. Sering terdengar bising pansistolik apikal

akibat regurgitasi mitral. Bising ini sering kali tidak terdengar jelas meskipun terdapat

regurgitasi mitral yang bermakna.

Foto toraks

Tampak pembesaran ventrikel kanan ( pada foto lateral) dengan atau tanpa pembesaran

atrium kanan. Pada foto PA tampak konus pulmonalis menonjol. Terdapat peningkatan

vaskularisasi paru baik di hilus maupu di daerah perifer. Jikalau terdapat regurgitasi mitral

maka terdapat pembesaran ventrikel sreta atrium kiri. Umumnya kardiomegali lebih sering

terjadi pada defek primum dibanding sekundum.

Ekokardiografi

Picture 4: Apical echocardiographic view of a primum atrial septal defect (ASD). Note the position of the defect when compared with a secundum ASD. RA = Right atrium; LA = Left atrium; RV = Right ventricle; LV = Left ventricle. (7)

Picture 5 : Apical echocardiographic view of a primum atrial septal defect (ASD). Note that the atrioventricular valves are at the same level (instead of mild apical displacement of the tricuspid valve), which is seen in the spectrum of atrioventricular canal defects. RA = Right atrium; LA = Left atrium; RV = Right ventricle; LV = Left ventricle (7).

Picture 6: Apical color Doppler echocardiographic view of a primum atrial septal defect (ASD). Note the flow across the defect from the left atrium to the right atrium (RA), and note the mitral regurgitation (MR) through a cleft in the anterior leaflet of the mitral valve. MV = Mitral valve; LV = Left ventricle. (8)

c. Tipe ketiga adalah Defek Sinus Venosus.

ASD ini ditemukan di bagian posterior septum di dekat vena cava superior (di

mana ia bisa ada bersama dengan koneksi vena paru-paru) atau vena cava inferior (di mana ia

bisa ada bersama dengan kerusakan vena paru-paru ). Secara klinis, EKG, dan radiologis

dfek septum atrium sekundum; untuk membedakannya diperlukan ekokardiofrafi. Defek tipe

ini merupakan 2-3 % dari seluruh kelainan hubungan antara atrium kanan dan atrium kiri.

Defek septum atrium tipe sinus venosus terletak di dekat muara vena kava superior atau vena

kava inferior dan seringkali disertai dengan anomali parcial drainase vena pulmonalis, yakni

sebagian vena pulmonalis bermuara kedalam atrium kanan. Pada bedah korektif dilakukan

pula koreksi terhadap kelainan Muara vena pulmonalis yang ada.

Picture 7: Subcostal short-axis view of a child with a sinus venosus atrial septal defect (ASD). Note the position of the defect compared with that of a secundum or primum ASD. Also note the anomalous position of the right upper pulmonary vein (RUPV). RA = Right atrium; LA = Left atrium.

d. Tipe keempat adalah Defek septum sinus koroner.

Tipe ASD yang paling tidak umum ini disebut sebagai kerusakan septum koroner

atau kerusakan septum sinus koroner. Sebagian dasar sinus koroner menghilang; oleh karena

itu, darah dapat mengalir dari atrium kiri ke sinus koroner dan selanjutnya ke atrium kanan.

Tipe ini seringkali dikaitkan dengan vena cava superior kiri.

Pirau dari kiri ke kanan

Efek klinis ASD biasanya dikaitkan dengan pirau dari kiri ke kanan. Besarnya

pirau berhubungan dengan ukuran kerusakan dalam septum, dengan pemenuhan relatif ruang

jantung kiri dan kanan, dan berhubungan secara tidak langsung dengan resistensi sirkulasi

pulmoner (PVR) dan sistemik. Saat lahir, ventrikel kanan dan kiri memiliki ketebalan dan

pemenuhan yang sama. Dalam beberapa hari sampai minggu pertama setelah kelahiran,

resistensi vaskuler pulmoner (PVR) masih meningkat dan belum mencapai titik terendah.

Saat hambatan aliran pulmoner turun dan ventrikel kanan masih bekerja normal,

darah dapat mengalir ke vaskuler pulmoner secara lebih mudah, dan pirau kiri ke kanan

tingkat atrium meningkat.

Kadang-kadang, kerusakan septum ini kecil, dengan sedikit pirau dari kiri ke

kanan. Akan tetapi, kebanyakan kerusakan yang menyebabkan bising atau gejala semakin

besar, dan ukuran kerusakan yang kecil dapat membatasi pirau dari kiri ke kanan. Sekitar 15

% ASD ostium secundum menutup secara spontan pada umur 4 tahun.

Kerusakan ini menyebabkan serangkaian masalah dalam perawatan primer anak.

Pemahaman tentang embriologi manusia sangatlah penting untuk mendiagnosis abnormalitas

ini dalam perencanaan penanganan jangka panjang.

3.3. Faktor Resiko

Jenis kelamin

Rasio wanita terhadap pria adalah sekiar 2:1.

Umur

ASD, abnormalitas bawaan, ada saat kelahiran. Akan tetapi, dalam kebanyakan

kasus, bising tidak terdengar sampai anak berusia beberapa bulan. Gejala-gejala ini biasanya

tidak terjadi pada individu dengan ASD sampai kanak-kanak akhir, remaja, atau dewasa.

Kerusakan tipe secundum (ostium secundum), sinus venosus, dan sinus koroner

kadang-kadang tidak terdiagnosa sampai dekade ketiga kehidupan. ASD ostium primum

biasanya terdiagnosa pada beberapa tahun pertama kehidupan karena adanya bising mitral

atau ECG abnormal.

Atrium umum (kombinasi kerusakan sinus venosus, ostium secundum, dan ostium

primum) biasanya terdiagnosa dalam beberapa tahun pertama kehidupan karena darah vena

sistemik dan darah vena pulmoner seringkali bercampur sebelum memasuki masing-masing

ventrikel, kondisi ini menyebabkan cyanosis. Selain itu, atrium bisa dikaitkan dengan CHD

kompleks, dan pasien bisa hadir relatif awal karena adanya abnormalitas intrakardial (10).

3.5. Gambaran Klinis

Bayi dan anak-anak dengan kerusakan septum atrium (ASD) biasanya

asimtomatis. Kebanyakan ASD terdiagnosa setelah bising terdeteksi selama pemeriksaan

pemeliharaan kesehatan rutin. Bahkan pada anak-anak dengan ASD asimtomatis, manifestasi

klinis seringkali tidak kentara dan nonspesifik. Beberapa anak dengan ASD memiliki berat

badan rendah, mereka masih tetap agak kecil, dan mereka bisa mengalami dyspnea usaha

atau infeksi sistem pernapasan atas.

Gejala-gejala yang relatif berat, misalnya arrhytmia, hipertensi arteri pulmoner,

dan penyakit kerusakan vaskuler pulmoner (PVOD), jarang ada pada anak-anak dengan

ASD. Beberapa bayi dan anak-anak dengan kerusakan luas bisa menunjukkan gejala gagal

jantung turunan (CHF), khususnya jika mereka memiliki luka yang berkaitan (misalnya

ductus arterious paten) atau penyakit paru-paru (misalnya bronchopulmonary dysplasia

dan/atau penyakit paru-paru kronis) (11).

Pemeriksaan Fisik

Kebanyakan anak dengan ASD ini asimtomatis. Di negara-negara maju, diagnosis

biasanya dibuat selama pengevaluasian bising yang mencurigakan atau selama

pengevaluasian kelelahan dan intoleransi olah raga. ASD yang tidak terdiagnosis pada anak-

anak dapat menyebabkan masalah di saat dewasa.

Pada evaluasi awal, banyak anak dengan ASD yang nampak sehat sama sekali,

akan tetapi, pemeriksaan fisik yang cermat seringkali menghasilkan tanda-tanda untuk

diagnosis.

Pasien dengan ASD dapat mengalami penonjolan prekardial, detak jantung

ventrikel kanan yang menonjol, dan denyut arteri pulmoner yang jelas. Semua ini

merupakan tanda peningkatan aliran darah melalui sisi kanan jantung dan dasar vaskuler

paru-paru.

Pada pemeriksaan individu dengan ASD, suara jantung pertama mungkin normal

atau menyebar. Suara yang berkaitan dengan penutupan katup tricuspid ini bisa ditekankan

jika aliran darah melalui katup pulmoner meningkat dan menimbulkan bising pulmoner

midsistolik. Suara ini dapat dinilai di batas sternal kiri atas dan bisa ditransmisikan ke bidang

paru-paru

Meskipun suara jantung kedua mungkin normal pada bayi baru lahir dengan ASD,

hal ini menyebar dengan luas dan tetap sepanjang waktu saat tekanan pada sisi kanan jantung

turun. Penyebaran tetap ini terjadi sebagai akibat peningkatan kapasitas dasar vaskuler

pulmoner, yang menimbulkan penghambatan pulmoner yang rendah, dan karenanya

memberikan interval setelah akhir sistol ventrikel kanan. Penyebaran tetap S2 merupakan

penemuan diagnostik penting dalam pelangsiran tingkat atrium.

Pirau yang besar dapat meningkatkan aliran di sepanjang katup tricuspidal, dan

pasien dengan ASD memungkinkan untuk mengalami bising diastol di batas sternum kiri (12).

Prolapse katup mitral terjadi dengan frekuensi yang meningkat dalam keberadaan

ASD dan bisa disebabkan oleh kompresi sisi kiri jantung setelah pembesaran sisi kanan

Pada pasien dengan prolapse katup mitral, bising sistolik seringkali terdengar

menyebar ke axilla. Bunyi klik midsistolik bisa ada, namun bising ini mungkin sulit untuk

dideteksi pada beberapa pasien dengan ASD

Resistensi vaskuler pulmoner (PVR) bisa meningkat selama kanak-kanak, remaja,

dan dewasa, menghasilkan PVOD. Peningkatan tekanan arteri pulmoner dan PVR

menghasilkan hipertrofi ventrikel kanan, yang kemudian mengurangi aktivitas ventrikel

kanan dan mengurangi tingkat pirau dari kiri ke kanan.

Pada pemeriksaan fisik, pasien bisa mengalami denyut ventrikel kanan yang

menonjol, namun gemuruh aliran tricuspid diastolik dan bising sistolik di daerah pulmoner

mungkin berkurang

Penyebaran luas suara jantung kedua bisa kecil, dan komponen paru-paru pada

suara jantung kedua bisa menjadi keras, dengan intensitas yang sama dengan intensitas

komponen aorta.

Pada semua pasien dengan atrium umum, pirau dari kanan ke kiri terjadi,

menghasilkan cyanosis, meskipun hal ini mungkin ringan karena adanya aliran darah di

sepanjang katup atrioventrikel (AV).

Pada orang dewasa dengan ASD yang tidak diketahui, pirau dari kiri ke kanan

bisa lebih buruk jika hipertensi arteri sistemik terjadi. Hasilnya mungkin adalah hipertrofi

ventrikel kiri, berkurangnya aktifitas ventrikel kiri, dan peningkatan pirau dari kiri ke kanan (13).

3.6. Penanganan dan Pengobatan

Terapi medis tidak terlalu bermanfaat pada anak-anak dengan kerusakan septum

atrium (ASD) asimtomatis. Dengan perkecualian jenis ostium secundum, ASD merupakan

kerusakan struktural yang tidak menutup secara spontan. Penutupan dengan pembedahan

diperlukan untuk kebanyakan ASD. ASD ostium secundum yang memiliki diameter 6 mm

atau kurang pada tahun pertama kehidupan pasien memungkinkan untuk menutup secara

spontan; akan tetapi, penutupan tersebut lebih lambat daripada penutupan pada kerusakan

septum ventrikel otot kecil.

Bayi yang terkena ASD berat dan mengalami gagal jantung bawaan (CHF) dapat

ditangani seperti anak lain dengan CHF dari pirau kiri ke kanan. Penanganan ini, yang

mencakup pengurangan diuretik, digoxin, dan afterload, tercakup dalam artikel lain.

Arrhytmia yang berkaitan dengan ASD juga jarang terjadi pada anak-anak, namun

semakin sering dengan pertambahan usia. Dalam kenyataannya, terjadinya fibrilasi atrium

dapat memicu CHF pada orang dewasa dengan ASD yang berumur kurang dari 40 tahun.

Arrhytmia bisa diakibatkan oleh pembesaran atrium, dan individu ini memerlukan terapi

antiarrhytmia sampai ASD lebih baik.

Beberapa anak dengan ASD mengalami infeksi sistem pernapasan berulang, yang

mungkin ditolerir dengan buruk.

Endocarditis prophylaxis bakteri tidak diperlukan untuk pasien tertentu dengan

ASD terpisah, tanpa memandang tipe ASD. Prophylaxis dianjurkan sebelum pembedahan

jika ASD merupakan bagian dari penyakit jantung bawaan (CHD) sianotik kompleks.

Endocarditis prophylaxis dianjurkan selama 6 bulan setelah operasi atau perbaikan ASD

percutaneous, dan dalam beberapa contoh dianjurkan lebih lama pada pasien dengan

abnormalitas katup mitral residual setelah operasi perbaikan ASD primum.

Terapi tertentu untuk ASD secara historis terbatas pada penutupan bedah. Akan

tetapi, dengan datangnya teknik-teknik transkateter, banyak anak yang menjalani penanganan

sukses di laboratorium kateterisasi jantung.

Pendekatan bedah yang paling umum untuk kerusakan ini adalah perbaikan

primer dengan penutupan jahitan atau dengan perbaikan tambalan (umumnya dengan

pericardium autolog yang ditangani dengan glutaraldehid atau benang yang terbuat dari serat

poliester (Dacron).

Tidak semua anak dengan ASD merupakan calon pembedahan, yang hanya

diindikasikan untuk anak-anak dengan pirau kiri ke kanan yang secara klinis signifikan.

Umumnya, rasio aliran pulmoner terhadap sistemik sebesar 1,5:1 atau lebih

dianggap sebagai indikasi utama perbaikan bedah. Pirau yang lebih sedikit pada anak-anak

dengan kerusakan kecil dan pada mereka dengan hipertensi pulmoner yang ada dapat

diamati.

Karena kateterisasi jantung jarang diperlukan, bukti ekokardiograf pelebaran

atrium kanan dan ventrikel kanan biasanya dianggap sebagai bukti pirau dari kiri ke kanan

yang secara klinis signifikan dan merupakan indikasi untuk bedah ASD.

Pembedahan idealnya dilakukan pada anak-anak yang berusia antara 2 – 4 tahun

dan memiliki angka mortalitas rendah. Akan tetapi, pembedahan dapat dilakukan lebih awal

jika anak memiliki bukti CHF (15).

Teknik-teknik pembedahan yang lebih baru telah dikembangkan. Hal ini

meningkatkan penampilan dan mengurangi waktu rawat inap. Teknik ini idealnya

disesuaikan untuk penutupan sederhana ASD secundum.

Angka mortalitas pembedahan ini rendah pada pasien dengan ASD yang tidak

berkomplikasi. Di sebuah pusat pediatri berpengalaman, angka mortalitas sebaiknya kurang

dari 1%.

Morbiditas pasca operasi pada individu dengan ASD hampir secara eksklusif

berhubungan dengan akumulasi cairan perikardium (sindrom pasca perikardiotomi), yang

terjadi pada sekitar sepertiga pasien. Kadang-kadang, tamponade terjadi dan memerlukan

perikardiosentesis. Efusi perikardial sebaiknya dicurigai pada pasien anak yang menjalani

perbaikan pasca operasi ASD dan yang menunjukkan rasa sakit di dada, napas pendek, atau

rasa tidak enak badan. Pada anak kecil, gejala-gejala ini mungkin tidak spesifik dan meliputi

iritabilitas dan penurunan nafsur makan.

Pendekatan transkateter untuk penutupan ASD telah diterima dalam populasi

pediatri. ASD secundum merupakan satu-satunya subtipe ASD yang menyetujui pendekatan

ini. Teknik tersebut memerlukan individu dengan keahlian besar di bidang kardiologi anak

intervensional dan kerjasama antara intervensionalis dan spesialis pencitraan noninvasif.

Keuntungan dari pendekatan transkateter adalah invasivitasnya yang minimal,

kurangnya stemotomi median, dan penghindaran bypas kardiopulmoner, dan waktu

pemulihannya yang relatif cepat. Kelemahannya adalah pirau residu di sekitar alat,

embolisasi selama penempatan yang memerlukan intervensi bedah, kurangnya lingkaran

septum yang memadai untuk menempatkan alat dengan tepat, masalah keamanan jangka

panjang, dan kebutuhan akan keahlian teknis dan peralatan khusus. Meskipun relatif baru,

pendekatan transkateter untuk penutupan ASD semakin lazim, dan penelitian-penelitian

menunjukkan angka keberhasilan yang tinggi (16).

i American Academy of Ophthalmology: Orbit, eyelid and Lacrimal System, Section7 , 2011-2012. page 119-

120