laporan hplc kel 2
DESCRIPTION
okTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kimia analitik adalah cabang ilmu kimia yang berfokus pada analisis
material untuk mengetahui komposisi, struktur, dan fungsi kimiawinya.
Secara tradisional, kimia analitik dibagi menjadi dua jenis, kualitatif dan
kuantitatif. Analisis kualitatif bertujuan untuk mengetahui keberadaan suatu
unsur atau senyawa kimia, baik organik maupun anorganik, sedangkan
analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui jumlah suatu unsur atau
senyawa dalam suatu cuplikan. Kimia analitik modern dikategorisasikan
melalui dua pendekatan, target dan metode. Berdasarkan targetnya, kimia
analitik dapat dibagi menjadi kimia bioanalitik, analisis material, analisis
kimia, analisis lingkungan, dan forensik. Berdasarkan metodenya, kimia
analitik dapat dibagi menjadi spektroskopi, spektrometri massa, kromatografi
dan elektroforesis, kristalografi, mikroskopi, dan elektrokimia.
Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan campuran berdasarkan
perbedaan kecepatan perambatan komponen dalam medium tertentu. Pada
kromatografi, komponen – komponennya akan dipisahkan antara dua buah
fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam akan menahan komponen
campuran sedangkan fase gerak akan melarutkan zat komponen campuran.
Komponen yang mudah tertahan pada fase diam akan tertinggal. Sedangkan
komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih cepat.
Sekarang ini, kromatografi sangat diperlukan dalam memisahkan
suatu campuran senyawa. HPLC didefinisikan sebagai kromatografi cair
yang dilakukan dengan memakai fase diam yang terikat secara kimia pada
penyangga halus yang distribusi ukuranya sempit ( kolom ) dan fase gerak
yang dipaksa mengalir dengan laju alir yang terkendali dengan memakai
tekanan tinggi sehingga menghasilkan pemisahan dengan resolusi tinggi dan
waktu yang relative singkat.
HPLC atau KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara
luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel
pada sejumlah bidang, antara lain: farmasi; lingkungan; bioteknologi; polimer;
dan industri- industri makanan. Pada praktikum ini akan dilakukan analisis
kadar kafein dengan menggunakan metode HPLC atau KCKT.
II.2 Maksud dan Tujuan
II.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara melakukan analisis suatu senyawa
yang terkandung dalam suatu sampel sediaan farmasi dengan menggunakan
metode tertentu.
II.2.2 Tujuan Percobaan
Mengetahui cara melakukan analisis senyawa kofein yang terdapat
dalam sediaan tablet Bodrex®, kopi toraja, dan minuman energy Hemaviton®
dengan menggunakan metode HPLC.
II.2.3 Prinsip Percobaan
Melakukan analisis senyawa kafein yang terdapat dalam suatu sampel
tablet Bodrex®, kopi toraja, dan minuman energy Hemaviton® dengan
menggunakan metode HPLC pada panjang gelombang 272 nm dengan
menggunakan metode kromatografi fase terbalik yaitu fase geraknya polar,
maka untuk analit yang kepolarannya lebih tinggi akan terelusi terlebih
dahulu, sehingga waktu retensinya pendek. Hal ini didasarkan prinsip “Like
dissolves like”, yaitu senyawa yang sifatnya sama akan saling berinteraksi
lebih kuat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani
Rusia Michael Tswett pada tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna
dalam tanaman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom
gelas yang berisi kalsium karbonat (CaCO3). Saat ini kromatografi
merupakan teknik pemisahan yang paling umum dan paling sering digunakan
dalam bidang kimia analisis dan dapat dimanfaatkan untuk melakukan
analisis, baik analisis kualitatif, kuantitatif, atau preparatif dalam bidang
farmasi, lingkungan, industri, dan sebagainya. Kromatografi merupakan suatu
teknik pemisahan yang menggunakan fase diam dan fase gerak. (11)
Teknik kromatografi telah berkembang dan telah digunakan untuk
memisahkan dan mengkuantifikasi berbagai macam komponen yang
kompleks, baik komponen organik maupun komponen anorganik. (11)
HPLC (High Performance Liquid Chromatography) atau biasa juga
disebut dengan Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dikembangkan pada
akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Saat ini, HPLC merupakan
teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis bahan obat, baik
dalam bulk atau dalam sediaan farmasetik. (11)
Adapun klasifikasi teknik kromatografi dapat dilihat pada tabel berikut :
Teknik Fase diamFase
gerakbentuk
Mekanisme sorpsi
yang utama
Kromatografi
kertas
Kertas
(selulosa)
Cair Planar Partisi (adsorpsi,
pertukaran ion,
ekslusi)
Kromatografi
lapis tipis (KLT)
Silika, selulosa,
resin penukar
ion, padatan
yang porosnya
dikendalikan
Cair Planar Partisi (adsorpsi,
pertukaran ion,
ekslusi)
Kromatografi gas
Kromatografi gas-
cair (KCG)
Cair Gas Kolom Partisi
Kromatografi gas-
padat (KGP)
Padat Gas Kolom Adsorpsi
Kromatografi cair
Kromatografi cair
kinerja tinggi
(KCKT)
Padatan atau
fase terikat
Cair Kolom Partisi yang
dimodifikasi
Kromatografi cair Padatan dengan
porositas yang
Cair Kolom Ekslusi
Kromatografi
eksklusi ukuran
dikendalikan
Kromatografi cair
Kromatografi
penukar ion
Resin penukar
ion atau fase
terikat
Cair Kolom Pertukaran ion
Kromatografi cair
Kromatografi kiral
Pemilih kiral
padat
Cair Kolom Adsorpsi secara
selektif
Sistem Peralatan HPLC
Instrumentasi HPLC pada dasarnya terdiri atas: wadah fase gerak,
pompa, alat untuk memasukkan sampel (tempat injeksi), kolom, detektor,
wadah penampung buangan fase gerak, dan suatu komputer atau integrator
atau perekam. Diagram skematik sistem kromatografi cair seperti ini :
1. Wadah Fase gerak dan Fase gerak. Wadah fase gerak harus bersih dan
lembam (inert). Wadah pelarut kosong ataupun labu laboratorium dapat
digunakan sebagai wadah fase gerak. Wadah ini biasanya dapat
menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut(1).
Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat
bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan
resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan
pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel.
Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak),
kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut.
Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase
gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas
pelarut.
Fase gerak sebelum digunakan harus disaring terlebih dahulu untuk
menghindari partikel-partikel kecil ini. Selain itu, adanya gas dalam fase
gerak juga harus dihilangkan, sebab adanya gas akan berkumpul dengan
komponen lain terutama di pompa dan detektor sehingga akan
mengacaukan analisis.
Elusi dapat dilakukan dengan cara isokratik (komposisi fase gerak tetap
selama elusi) atau dengan cara bergradien (komposisi fase gerak
berubah-ubah selama elusi) yang analog dengan pemrograman suhu
pada kromatografi gas. Elusi bergradien digunakan untuk meningkatkan
resolusi campuran yang kompleks terutama jika sampel mempunyai
kisaran polaritas yang luas. (2)
Fase gerak yang paling sering digunakan untuk pemisahan dengan fase
terbalik adalah campuran larutan bufer dengan metanol atau campuran air
dengan asetonitril. Untuk pemisahan dengan fase normal, fase gerak
yang paling sering digunakan adalah campuran pelarut-pelarut
hidrokarbon dengan pelarut yang terklorisasi atau menggunakan pelarut-
pelarut jenis alkohol. Pemisahan dengan fase normal ini kurang umum
dibanding dengan fase terbalik.(3)
2. Pompa. Pompa yang cocok digunakan untuk HPLC adalah pompa yang
mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni: pompa
harus inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa
adalah gelas, baja tahan karat, Teflon, dan batu nilam. Pompa yang
digunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan
mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 mL/menit. Untuk
tujuan preparatif, pompa yang digunakan harus mampu mengalirkan fase
gerak dengan kecepatan 20 mL/menit.
Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak adalah
untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara
tepat, reprodusibel, konstan, dan bebas dari gangguan. Ada 2 jenis
pompa dalam HPLC yaitu: pompa dengan tekanan konstan, dan pompa
dengan aliran fase gerak yang konstan. Tipe pompa dengan aliran fase
gerak yang konstan sejauh ini lebih umum dibandingkan dengan tipe
pompa dengan tekanan konstan.(4)
3. Tempat penyuntikan sampel. Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan
secara langsung ke dalam fase gerak yang mengalir di bawah tekanan
menuju kolom menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga
tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel
(sample loop) internal atau eksternal
4. Kolom dan Fase diam. Ada 2 jenis kolom pada HPLC yaitu kolom
konvensional dan kolom mikrobor. Kolom merupakan bagian HPLC yang
mana terdapat fase diam untuk berlangsungnya proses pemisahan
solut/analit.
Kolom mikrobor mempunyai tiga keuntungan yang utama dibanding
dengan kolom konvensional, yakni:
Konsumsi fase gerak kolom mikrobor hanya 80% atau lebih kecil
dibanding dengan kolom konvensional karena pada kolom mikrobor
kecepatan alir fase gerak lebih lambat (10 -100 μl/menit).
Adanya aliran fase gerak yang lebih lambat membuat kolom mikrobor
lebih ideal jika digabung dengan spektrometer massa.
Sensitivitas kolom mikrobor ditingkatkan karena solut lebih pekat,
karenanya jenis kolom ini sangat bermanfaat jika jumlah sampel
terbatas misal sampel klinis.
Meskipun demikian, dalam prakteknya, kolom mikrobor ini tidak setahan
kolom konvensional dan kurang bermanfaat untuk analisis rutin.(5)
Kebanyakan fase diam pada HPLC berupa silika yang dimodifikasi secara
kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren dan
divinil benzen. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena
adanya residu gugus silanol (Si-OH).
Silika dapat dimodifikasi secara kimiawi dengan menggunakan reagen-
reagen seperti klorosilan. Reagen-reagen ini akan bereaksi dengan gugus
silanol dan menggantinya dengan gugus-gugus fungsional yang lain.
Oktadesil silika (ODS atau C18) merupakan fase diam yang paling banyak
digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan
kepolaran yang rendah, sedang, maupun tinggi. Oktil atau rantai alkil yang
lebih pendek lagi lebih sesuai untuk solut yang polar. Silika-silika
aminopropil dan sianopropil (nitril) lebih cocok sebagai pengganti silika
yang tidak dimodifikasi. Silika yang tidak dimodifikasi akan memberikan
waktu retensi yang bervariasi disebabkan karena adanya kandungan air
yang digunakan.
5. Detektor HPLC. Detektor pada HPLC dikelompokkan menjadi 2 golongan
yaitu: detektor universal (yang mampu mendeteksi zat secara umum,
tidak bersifat spesifik, dan tidak bersifat selektif) seperti detektor indeks
bias dan detektor spektrometri massa; dan golongan detektor yang
spesifik yang hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan selektif,
seperti detektor UV-Vis, detektor fluoresensi, dan elektrokimia.
Idealnya, suatu detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reprodusibel.
2. Mempunyai sensitifitas yang tinggi, yakni mampu mendeteksi solut
pada kadar yang sangat kecil.
3. Stabil dalam pengopersiannya.
4. Mempunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan
pelebaran pita.
5. Signal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi solut
pada kisaran yang luas (kisaran dinamis linier).
6. Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak.
(3)
Migrasi dan Retensi Solut (11)
Kecepatan migrasi solut melalui fase diam ditentukan oleh
perbandingan distribusinya (D), dan besarnya D ditentukan oleh afinitas
relatif solut pada kedua fase (fase diam dan fase gerak). Dalam konteks
kromatografi, nilai D didefinisikan sebagai perbandingan konsentrasi solut
dalam fase diam (Cs) dan dalam fase gerak (Cm)
D= CsCm
Jadi semakin besar nilai Dmaka migrasi solut semakin lambat, dan semakin
kecil nilai D maka migrasi solut semakin cepat. Solut akan terelusi menurut
perbandingan distribusinya. Jika perbedaan perbandingan distribusi solut
cukup besar maka campuran-campuran solut akan mudah dan cepat
dipisahkan.
Puncak Asimetris (11)
Profil konsentrasi solut yang bermigrasi akan simetris jika rasio
dsitribusi solut (D) konstan selama di kisaran konsentrasi keseluruhan
puncak, sebagaimana ditunjukkan oleh isoterm sorpsi yang linier yang
merupakan plot konsentrasi solut dalam fase diam (Cs) terhadap konsentrasi
solut dalam fase gerak (Cm). meskipun demikian, kurva isoterm akan
berubah menkadi 2 jenis puncak asimetris yakni membentuk puncak yang
berekor (tailing) dan adanya puncak pendahulu (fronting) jika ada perubahan
rasio distribusi solut ke arah yang lebih besar.
Baik tailing maupun fronting tidak dikehendaki karena dapat
menyebabkan pemisahan kurang baik dan data retensi kurang treprodusibel.
Jika keduanya terjadi, maka pengurangan jumlah solut yang akan dilakukan
kromatografi akan memperbaiki bentuk puncak akan tetapi adanya desorpsi
yang lambat masih dapat menyebabkan tailing.
Adanya puncak, yang asimetri dapat disebabkan oleh hal-hal berikut :
1. Ukuran sampel yang dianalisis terlalu besar. Jika sampel terlalu besar
maka fase gerak tidak mampu membawa solut dengan sempurna
karenanya akan terjadi pengekoran atau tailing.
2. Interaksi yang kuat antara solut dengan fase diam dapat menyebabkan
solut sukar terelusi sehingga dapat menyebabkan terbentuknya puncak
yang mengekor.
3. Adanya kontaminan dalam sampel yang dapat muncul terlebih dahulu
sehingga menimbulkan puncak mendahului (fronting).
Untuk menentukan tingkat asimetri puncak dilakukan dengan menghitung
faktro asimetris atau disebut juga dengan tailing factor (TF) yang
dinyatakan dengan rasio antara lebar setengah tinggi puncak.
Profil Puncak dan pelebaran Puncak (11)
Selama pemisahan kromatografi, solut individual kan membentuk profil
konsentrasi yang simetri atau dikenal juga dengan profil Gaussian dalam
arah aliran fase gerak. Profil, dikenal juga dengan puncak atau pita, secara
perlahan-lahan akan melebar dan sering juga membentuk profil yang
asimetrik karena solut-solut melanjutkan migrasinya ke fase diam. Prinsip
yang mendasari alasan-alasan bentuk puncak dan pelebaran puncak dapat
diringkas sebagai berikut :
- Sorpsi dan desorpsi solut yang terus-menerus antara fase diam dan fase
gerak, secara inheren akan menghasilkan profil konsentrasi Gaussian
yang akan melebar karena solut bermigrasi lebih lanjut.
- Perjalanan solut melalui partikel fase diam sedikit berbeda, sehingga
menyebabkan profil konsentrasinya melebar secara simetris. Keadaan
seperti ini disebut dengan pengaruh lintasan ganda (multiple-path effect)
- Spesies solut menyebar ke segala arah dengan difusi ketika berada di
dalam fase gerak. Difusi terjadi dengan arah yang sama dan berlawanan
dengan aliran fase gerak (longitudinal or axial difussion) karenanya akan
berkontribusi terjadinya pelebaran pita secara simetris.
- Sorpsi dan desorpsi, atau transfer massa antara fase diam dan fase
gerak, bukanlah suatu proses yang instan dan terkadang proses tersebut
terjadi secara lambat secara kinetika. Karena fase gerak berjalan secara
terus-menerus, maka distribusi kesetimbangan solut yang sebenarnya
tidak pernah terjadi. Profil konsentrasi dalam fase diam tertinggal sedikit
dibanding profil konsentrasi dalam fase gerak yang akan mengakibatkan
adanya pelebaran puncak lebih lanjut. Desorpsi yang lambat dapat juga
menghasilkan puncak yang asimetris atau condong.
- Adanya variasi rasio distribusi solut dengan total konsentrasinya juga
berperan terjadinya puncak yang asimetris atau condong.
Resolusi Kromatogram, Jumlah Lempeng (N), Efisiensi, dan Tailing
Faktor (11)
Resolusi didefinisikan sebagai perbedaan antara waktu retensi 2
puncak yang saling berdekatan (tR = tR2 – tR1) dibagi dengan rata-rata lebar
puncak (W1 + W2) / 2
Rs= 2∆ tR(W 1+W 2)
Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa yang sangat berpengaruh
terhadap pemisahan suatu komponen adalah waktu retensi masing-masing
solut (tR2 dan tR1) serta lebar puncak masing-masing komponen yang
dipisahkan (W1 dan W2). Nilai Rs harus mendekati 1,5 karena akan
memberikan pemisahan puncak yang baik
Tujuan umum pada kromatografi adalah pemisahan yang cukup dari
suatu campuran yang akan dipisahkan. Ada 2 parameter yang digunakan
untuk menilai kualitas pemisahan kromatografi yakni ukuran banyaknya
pelebaran puncak dari masing-masing puncak solut (efisiensi) dan tingkat
pemisahan puncak-puncak yang berdekatan (resolusi).
Untuk kolom kromatografi, jumlah lempeng atau plate number (N)
yang didasarkan pada konsep lempeng teoritis pada distilasi kolom
digunakan sebagai ukuran efisiensi. Selain dengan N, efisiensi kolom dalam
kromatografi secara umum berkaitan dengan waktu retensi, yakni lamanya
waktu komponen atau molekul yang akan dianalisis dalam kolom.
Tailing faktor (TF) dinyatakan dengan rasio antara lebar setengah
tinggi puncak. Kromatogram yang memberikan harga TF = 1 menunjukkan
bahwa kromatogram tersebut bersifat setangkup atau simetris. Harga TF > 1
menunjukkan bahwa kromatogram mengalami pengekoran (tailing). Semakin
besar harga TF maka kolom yang dipakai semakin kurang efisien. Dengan
demikian harga TF dapatr digunakan untuk melihat efisiensi kolom
kromatografi.
Pendekatan Analisis Kualitatif dan Kuantitatif (11)
Ada 3 pendekatan untuk analisis kualitatif yakni :
1. Perbandingan antara data retensi solut yang tidak diketahui dengan data
retensi baku yang sesuai (senyawa yang diketahui) pada kondisi yang
sama.
Untuk kromatografi planar (kromatografi kertas dan kromatografi lapis
tipis), faktor retardasi (nilai Rf) baku dan senyawa yang tidak diketahui
dibandingkan dengan cara kromatografi secara bersama-sama untuk
menghilangkan adanya variasi kondisi bahan yang digunakan dan
laboratorium.
Untuk kromatografi yang menggunakan kolom (seperti KCKT dan KG),
waktu retensi (tR) atau volume retensib (VR) senyawa baku dan senyawa
yang tidak diketahui dibandingkan dengan cara kromatografi secara
berurutan dalam kondisi alat yang stabil dengan perbedaan waktu
pengoperasian antar keduanya sekecil mungkin.
2. Dengan cara spiking
Untuk kromatografi yang melibatkan kolom, spiking dilakukan dengan
menambah sampel yang mengandung senyawa tertentu yang akan
diselidiki dengan senyawa baku pada kondisi kromatografi yang sama.
Hal ini dilakukan dengan cara: pertama, dilakukan proses kromatografi
sampel yang tidak dispiking. Kedua, sampel yang telah dispiking dengan
senyawa baku dilakukan proses kromatografi. Jika pada puncak tertentu
yang diduga mengandung senyawa yang diselidiki terjadi peningkatan
tinggi puncak/luas puncak setelah dispiking dibandingkan dengan tinggi
puncak/luas puncak yang tidak dilakukan spiking maka dapat
diidentifikasi bahwa sampel mengandung senyawa yang kita selidiki.
3. Menggabungkan alat kromatografi dengan spektrometer massa
Pada pemisahan dengan menggunakan kolom kromatografi, cara ini
akan memberikan informasi data spektra massa solut dengan waktu
retensi tertentu. Spektra solut yang tidak diketahui dapat dibandingkan
dengan spektra yang ada di database komputer atau diinterpretasi
sendiri. Cara ini dapat dilakukan untuk solut yang belum ada baku
murninya.
Untuk menjamin kondisi yang digunakan dalam analisis kuantitatif
stabil dan reproduksibel, baik pada penyiapan sampel atau proses
kromatografi, berikut beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam analisis
kuantitatif :
- Analit (solut) harus telah diketahui dan terpisah sempurna dari
komponen-komponen lain dalam kromatogram
- baku dengan kemurnian yang tinggi dan telah diketahui harus tersedia
- prosedur kalibrasi yang sudah diketahui harus digunakan.
Untuk kromatografi planar, luas bercak (spot) atau kerapatan bercak
dapat diukur secara in situ atau dapat juga dilakukan dengan cara : bercak
dikerok, dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, dan ditentukan konsentrasinya
dengan menggunakan teknik yang lain seperti dengan spektrofotometri UV,
KCKT, dsb
Sementara untuk kromatografi yang melibatkan kolom, kuantifikasi
dapat dilakukan dengan : luas puncak atau dengan tinggi puncak. Tinggi
puncak atau luas puncak berbanding langsung dengan banyaknya solut yang
dikromatografi, jika dilakukan pada kisaran detektor yang linier.
Keterbatasan dan Kelebihan Metode HPLC (11)
Keterbatasan metode KCKT adalah untuk identifikasi senyawa, kecuali
jika KCKT dihubungkan dengan spektrometer massa (MS). Keterbatasan
lainnya adalah jika sampelnya sangat kompleks, maka resolusi yang baik
sulit diperoleh.
KCKT merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan
baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif. KCKT paling sering
digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti asam-
asam amino, asam-asam nukleat, dan protein-protein dalam cairan fisiologis,
menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat, produk hasil samping proses
sintetis, atau produk-produk degradasi dalam sediaan farmasi, memonitor
sampel-sampel yang berasal dari lingkungan, memurnikan senyawa dalam
suatu campuran, memisahkan polimer dan menentukan distribusi berat
molekulnya dalam suatu campuran, kontrol kualitas, dan mengikuti jalannya
reaksi sintetis.
II.2 Uraian Bahan
1. Air suling (6)
Nama resmi : Aqua destillata
Nama lain : Aquades, air suling
RM/BM : H2O/18,02
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai pelarut
2. Metanol (7)
Nama Lain : Metil Alkohol
RM/BM : CH3OH / 32,04
Pemerian : Cairan jernih, mudah menguap
Kegunaan : Murni Pereaksi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
3. Kofein (6)
Nama Resmi : Coffeinum
Nama Lain : Kofein
RM/BM : C8H10N4O2 / 194,19
RB :
Pemerian : Serbuk atau hablur bentuk jarum mengkilat,
biasanya menggumpal putih ; tidak berbau ; rasa
pahit
Kelarutan : Agak sukar larut dalam air dan dalam etanol (95%)
P; mudah larut dalam kloroform P ; sukar larut
dalam eter P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
II.3 Uraian Sampel
1. Bodrex® (8)
Komposisi : Parasetamol 600 mg, kofein 50 mg.
Indikasi : Meringankan sakit kepala, pusing, pening berat, sakit
gigi dan menurunkan demam.
Kontraindikasi : Hipersensitif, penderita dengan gangguan fungsi hati.
Kemasan : 2 blister x 10 tablet
II.4 Prosedur Preparasi
1. Tablet Kofein
a. Larutkan lebih kurang 5 mg dalam 1 ml HCl P dalam cawan porselin,
tambahkan 50 mg kalium klorat P, uapkan di atas tangas uap hingga
kering. Balikkan cawan di atas bejana berisi beberapa tetes NH4OH
6N. Sisa berwarna lembayung yang hilang dengan penambahan
larutan alkali larut. (7)
b. Ekstraksi dengan larutan kloroform dari campuran aspirin, fenasetin,
dan kafein dengan larutan NaHCO3; aspirin akan berada dalam larutan
basa. Pada larutan kloroform terdiri dari fenasetin dan kofein diuapkan.
Residu yang dikeringkan ditimbang. Residu dicampur dengan air dan
difiltrasi, fenasetin tidak larut. (9)
c. Campuran dari asam encer dan aspirin, fenasetin dipisahkan dari
kofein dengan ekstraksi eter. Kofein dipisahkan dari larutan asam
dengan ekstraksi kloroform. Aspirin dipisahkan dari fenasetin dengan
ekstraksi dengan larutan NaHCO3. (9)
II.4 Prosedur Kerja
1. Pembuatan Larutan baku Kofein. Baku kofein pro analisis ditimbang 50,0
mg secara seksama, dilarutkan dengan metanol dalam labu takar 100,0
ml. kemudian ditambahkan aquades sampai batas atas.
Pembuatan Fase Gerak
Metanol : air = 1 : 4
Metanol : air = 3 : 7
Panjang gelombang maksimum 275 nm
Pembuatan Kurva Kalibrasi. Membuat seri pengenceran dari larutan baku
dengan konsentrasi 500 ppm, 400 ppm, 200 ppm, 100 ppm, dan 50 ppm.
(10)
BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan antara lain : baskom, botol semprot, buret,
Erlenmeyer, gelas ukur, labu tentukur, pipet skla, pipet tetes, plat tetes,
seperangkat alat UV, seperangkat alat densitometer, statif dan klem, sendok
tanduk, dan timbangan analititk.
III.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan antara lain : aluminium foil, aquabidest,
metanol pa dan sampel sediaan tablet Bodrex®, kopi toraja dan minuman
berenergi Hemaviton®.
III.2 Cara Kerja
1. Penyiapan Larutan Baku
a. Disiapkan alat dan bahan
b. Dibuat larutan baku kofein dengan melarutkan kafein 50 mg dalam
labu takat 50 ml, dicukupkan hingga batas tanda dengan pelarut
aquabidest dan metanol (3:2).
c. Dibuat pengenceran baku kofein 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm,
dan 100 ppm, dengan melarutkan 0,5 ml; 1 ml; 1,5 ml; 2 ml; 2,5 ml; 3
ml larutan induk, masing-masing ke dalam labu takar 10 ml yang
dicukupkan dengan pelarut aquabidest dan metanol (3:2).
d. Disaring larutan kofein murni dengan menggunakan filter 0,2 mikro
meter, lalu diinjeksikan ke dalam sistem UFLC.
2. Penyiapan Larutan Sampel
1) Hemaviton®
a. Disiapkan alat dan bahan
b. Dipipet sampel sebanyak 1 ml larutan sampel ke dalam labu takar 10
ml dan cukupkan volume dengan pelarut aquabidest dan metanol
(3:2).
c. Dipipet 1 ml larutan stock lalu dimasukkan ke dalam tabung khusus
injeksi dengan menggunakan filter 0,2 mikro meter.
3. Uji identitas dengan ULFC
a. Disiapkan alat dan bahan
b. Diset alat UFLC pada panjang gelombang 272 nm, laju alliran 1
ml/menit, fase gerak aquabidest dan metanol (3:2) pada suhu 30o.
c. Disuntikan larutan kafein murni ke dalam sistem UFLC, dapatkan
kromatogram dan catat waktu retensi serta nilai area puncak.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
IV.1 Data Pengamatan
Konsentrasi (bpj) Peak Area20 416334640 500640060 526040480 4197864
100 5055517
Sampel Peak AreaBodrex 50792963Hemaviton 1931459Kopi Toraja 1291106
IV.2 Perhitungan
y = a + bx
y = 4443964,4 + 4879,03x
r = 0,2986
- Kopi toraja
Area (y) = 1291106
y = a + bx
1291106 = 4443964,4 + 4879,03x
3152858,4 X = -
4879,03
= -646,20 ppm dalam 20 L
- Hemaviton
Area (y) = 1931459
y = a + bx
1931459 = 4443964,4 + 4879,03x
2512505 X = -
4879,03
= -514,95 ppm dalam 20 L
50 mg 150 ml (333,33 ppm)
1 ml 10 ml (33,33 ppm)
- Bodrex
Area (y) = 50792963
y = a + bx
50792963 = 4443964,4 + 4879,03x
50348566,6 x = -
4879,03
= 10319,38 ppm dalam 20 L
100 mg 10 ml (10000 ppm)
B. sampel x = x 100%
B. teori
10319,38 = x 100%
10000 = 103,19%
BAB V
PEMBAHASAN
Dalam percobaan ini dilakukan analisis kafein pada berbagai sampel
dengan menggunakan metode HPLC. Sebelum pengukuran dan identifikasi
dilakukan dahulu penyiapan larutan baku kafein dan preparasi sampel
lainnya.
Pada pembuatan larutan baku kafein, dibuat dengan melarutkan kafein
baku dan dilarutkan dengan pelarut akua bidestillata dan metanol for HPLC
(60:40). Dari larutan stok, diencerkan baku tersebut dengan konsentrasi 20
ppm, 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm, dan 100 ppm. Tiap 1 ml di konsentrasi
tersebut dimasukkan ke dalam vial namun sebelumnya disaring dengan filter
m.
Digunakan kolom ODS (Oktadesil silika) atau C18 karena ODS
merupakan fase diam yang paling banyak digunakan karen amampu
memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah, sedang,
maupun tinggi.
Digunakan detektor PDA (photodiode-array) karena detektor PDA
merupakan detektor UV-Vis dengan berbagai keistimewaan. Detektor ini
mampu memberikan kumpulan kromatogram secara simultan pada panjang
gelombang yang berbeda dalam sekali proses (single run). Selama proses
berjalan, suatu kromatogram pada panjang gelombang yang diinginkan dapat
ditampilkan. Dengan demikian PDA memberikan lebih banyak informasi
komposisi sampel dibanding dengan detektor Uv-Vis. Dengan detektor ini,
juga diperoleh spektrum UV tiap puncak yang terpisah sehingga dapat
dijadikan sebagai alat yang penting untuk memilih panjang gelombang
maksimal untuk sistem KCKT yang digunakan. Dan akhirnya dengan detektor
ini pula, dapat dilakukan uji kemurnian puncak dengan membandingkan
spektra analit dengan spektra senyawa yang sudah diketahui.
-
DAFTAR PUSTAKA
1. Settle, F (Editor). 1997. Handbook of Instrumental Techniques for
Analytical Chemistry. New Jersey, USA: Prentice Hall PTR.
2. Kenkel, J. 2002. Analytical Chemistry for Technicians, 3th. Edition.
USA: CRC Press.
3. Meyer, F.R. 2004. Practical High-Performance Liquid
Chromatography, 4th Ed. New York: John Wiley & Sons.
4. Snyder, L. R., Kirkland, S.J., and Glajch, J.L. 1997. Practical HPLC
Method Development. New York: John Wiley & Son.
5. Kealey, D and Haines, P.J. 2002. Instant Notes: Analytical Chemistry.
New York: BIOS Scientific Publishers Limited.
6. Dirjen, POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Depkes
RI.
7. Dirjen, POM. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta : Depkes
RI.
8. IAI. 2011. ISO Indonesia Volume 46.Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
9. Higuchi, Takeru. 1990. Phamaceutical Analysis. New York : A Wiley-
Interscience Publication.
10.Hartono, Elina. 2009. Skripsi. Penetapan Kadar Kafein dalam Biji Kopi
Secara KLTP. Surakarta: Universitas Setia Budi.
11.Gandjar, I.G dan Rohman A. 2009. Kimia Farmasi Analisis.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar