laporan ekstraksi print.doc
TRANSCRIPT
PEROBAAN 5
EKSTRAKSI CAIR CAIR
I. Tujuan Percobaan
1. Mengenal dan memahami prinsip operasi ekstraksi cair-cair
2. Menghitung koefisien distribusi dan yield proses ekstraksi
3. Mengetahui hubungan koefisien distribusi dan yield terhadap rasio solven.
II. Dasar Teori
Ekstraksi cair-cair adalah proses pemisahan solute dari cairan pembawa
(diluen) menggunakan solven cair. Campuran diluen dan solven ini adalah heterogen (
immiscible, tidak saling campur), jika dipisahkan terdapat 2 fase, yaitu fase diluen
(rafinat) dan fase solven (ekstrak). Perbedaan konsentrasi solute di dalam suatu
fasadengan konsentrasi pada keadaan setimbang merupakan pendorong terjadinya
pelarutan (pelepasan) solute dari larutanyang ada. Gaya dorong (driving force) yang
menyebabkan terjadinya proses ekstraksi dapat ditentukan dengan mengukur jarak
sistem dari kondisi setimbang.
Fase rafinat = fase residu, berisi diluen dan sisa solut.
Fase ekstrak = fase yang berisi solut dan solven.
Dalam ekstraksi cair cair, kedua bahan harus dibawa menuju keadaan yang
baik agar transfer material timbul untuk kemudian dipisahakan. Dalam ekstraksi,
kedua fase memiliki densitas yang dapat dibandingkan sehingga energi yang
dibutuhkan untuk pencampuran dan pemisahan (jika aliran gravitasi digunakan) kecil,
lebih kecil jika salah satu fase berada pada pada liquid dan yang lain pada fase gas.
Ekstrak adalah lapisan solven ditambah dengan solut yang terambil/terekstrak
dan rafinat adalah bagian dari solut yang terbuang. Ekstrak mungkin lebih ringan atau
lebih berat dari rafinat, sehingga terkadang ekstrak berada di atas dan dalam beberapa
kasus juga berada di bawah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi antara lain:
a. Preparasi sampel
b. Waktu ektraksi
Lama tidaknya waktu ekstraksi sangat mempengaruhi laju ekstraksi.
c. Jumlah solven
Semakin banyak jumlah solven yang digunakan, maka laju ekstraksi akan.
makin cepat
d. Suhu pelarut
Sebaiknya diatur agar suhu pelarut konstan dibawah titik didih pelarut agar
laju ekstraksi tinggi.
e. Pemilihan solven
Laju reaksi dipengaruhi oleh jenis pelarut yang membawa karakter
masing-masing. Pemilihan solven dalam proses ekstraksi cair-cair
mempertimbangkan beberapa hal berikut:
1. Selektivitas
Ini adalah bagian pertama dalam menentukan penggunaan solven. Hal ini
merujuk pada kemampuan sebuah solven dalam mengekstrak satu
komponen dalam larutan yang diinginkan. Dalam hal ini, solven yang
paling diperlukan akan larut maksimal dalam suatu komponen dan
minimal dalam komponen lain.
2. Koefisien distribusi
Solvent yang dipilih harus memiliki koefisien distribusi yang besar
sehingga jumlah solvent yang digunakan lebih sedikit.
3. Kemampuan untuk dimurnikan
Dalam semua proses ekstraksi cair-cair, dibutuhkan pemisahan solven dari
produknya. Hal ini penting tidak hanya menghindarkan produk dari
kontaminasi solven, tetapi juga penggunaan kembali solven dalam proses
sehingga menghemat biaya.
4. Densitas
Perbedaan densitas dari fase yang dikontakkan secara alami harus sebesar
mungkin. Tidak hanya laju pemisahan dari lapisan yang tidak saling larut
tercapai, tetapi juga kapasitas dari contacting equipment akan meningkat.
5. Tegangan antar muka
Tegangan antar muka antara fasa tidak saling larut menyebabkan
penggabungan lebih mudah daripada pemisahan. Kemudahan
penggabungan lebih dipilih sehingga mencari pelarut dengan tegangan
antar muka yang besar.
6. Reaktivitas kimia
Reaksi kimia antara solven dengan komponen larutan hasil produk yang
tidak berhubungan dengan proses adalah tidak diinginkan. Karena jika
reaksi tersebut tidak terjadi maka akan menghasilkan yield yang lebih
besar dan pengembalian solven dapat dilakukan untuk menghemat biaya.
7. Korosi
Untuk mengurangi biaya peralatan, maka solven seharusnya tidak
menyebabkan korosi pada material konstruksi.
8. Viskositas
Power untuk memompa kecil, laju perpindahan panas tinggi, laju ekstraksi
tinggi, dan perlakuan ringan secara umum adalah akibat dari viskositas
solven yang rendah.
9. Tekanan uap
Tekanan uap dari solven yang diusulkan seharusnya cukup rendah
sehingga penyimpanan dan proses ekstraksi dimungkinkan dalam keadaan
atmosferik.
10. Titik beku
Solven seharusnya memiliki titik beku yang cukup rendah sehingga
penyimpanan mudah dalam musim dingin
11. Inflammabilty
Inflammability rendah diinginkan demi alasan keamanan. Apabila solven
dapat terbakar, solven harus memiliki flash point yang tinggi dan batas
konsentrasi minimal menimbulkan ledakan jika bercampur dengan udara.
12. Toxicity
Tingginya bahan yang mengandung racun akan menyulitkan perlakuan
industri. Sehingga bahan-bahan tersebut akan dihindari.
13. Harga
Harga murah dan siap pakai dalam jumlah memadai menjadi salah satu
pertimbangan dalam pemilihan solven.
Ada beberapa faktor penting yang berpegaruh dalam peningkatan hasil dalam
ekstraksi cair-cair, yaitu (Martunus dkk., 2006; Martunus & Helwani, 2004; 2005;
2006):
1. Perbandingan pelarut-umpan (S/F).
Kenaikan jumlah pelarut (S/F) yang digunakan akan meningkatan hasil
ekstraksi tetapi harus ditentukan titik (S/F) yang minimum agar proses
ekstraksi menjadi lebih ekonomis.
2. Waktu ekstraksi.
Ekstraksi yang efisien adalah maksimumnya pengambilan solut dengan
waktu ekstraksi yang lebih cepat.
3. Kecepatan pengadukan.
Untuk ekstraksi yang efisien maka pengadukan yang baik adalah yang
memberikan hasil ekstraksi maksimum dengan kecepatan pengadukan
minimum, sehingga konsumsi energi menjadi minimum.
III. ALAT DAN BAHAN
a. Alat
1. Shaker bath 8. Labu takar
2. Erlenmeyer 9. Corong pemisah
3. Corong kaca 10. Termometer
4. Beaker glass 11. Spektrofotometer UV-Vis
5. Pipet ukur 12. Kuvet
6. Ball filler 13. Klem dan statif
7. Gelas Ukur 14. Neraca Analitik
b. Bahan 1. Kresol 2. Kerosen3. Metanol4. Aquades
c. Skema Kerja+ +
+
Larutan Sampel Larutan Solven
Dibuat Rasio 1:1, 1:2, 1:3. Kemudian dimasukkan ke dalam shaker bath dengan frekuensi putaran 100 dan 125 rpm.
Dipisahkan dalam corong pemisah
Didiamkan selama 1 jam, ditimbang dan diukur volumenya, dianalisa dengan Spektofotometer UV-Vis
92% Kerosen (46ml)
8% Kresol (4ml)
80% Metanol (80ml)
20% Aquades
(20ml)
Hasil ekstraksi (minyak dan air )
Ekstrak (bagian bawah)
Rafinat (bagian atas)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Hasil
Tabel 1.1 Data Pengamatan
No Perlakuan Pengamatan
1. Membuat larutan solute dengan mengambil
larutan kresol sebanyak 4ml dan larutan
kerosene sebanyak 46ml menggunakan
pipet ukur, campurkan dalam labu takar
50ml
- Terbentuk larutan kresol 50 ml
berwarna kuning bening.
2. Membuat larutan solven dengan mengambil
larutan methanol 80 ml menggunakan pipet
ukur dan diencerkan dengan aquades 20 ml,
campurkan dalam labu takar 100 ml.
- Terbentuk larutan methanol 100
ml berwarna putih bening.
3. Pindahkan masing-masing larutan kresol
dan methanol tersebut kedalam beaker
glass.
- Larutan kresol dan larutan
methanol didalam beaker glass
100 ml.
4. Membuat campuran solute dan solven untuk
variable pertama, dengan perbandingan 1:1,
1:2, 1:3. Ambil masing-masing larutan
kresol dan methanol sesuai dengan rasio.
Masukkan masing-masing campuran
tersebut dalam Erlenmeyer 50 ml.
- Rasio 1:1, Solute 10 ml Solven
10 ml
Rasio 1:2 Solute 10 ml Solven 20
ml
Rasio 1:3 Solute 5 ml Solven 15
ml
5. Pasang Erlenmeyer diatas shaker bath dan
setting waktu serta frekuensi
pengadukannya. Erlenmeyer berisi
campuran solven-solute di kocok dengan
frekuensi 100 rpm selama 30 menit.
- Terbentuk campuran solven-
solute yang immiscible (tidak
saling larut).
6. Campuran tersebut kemudian dipindahkan - Terbentuk 2 lapisan:
ke dalam corong pemisah dan didiamkan
selama 1 jam.Rasio 1:1 dan Rasio 1:3, lapisan
atas berwarna kuning bening,
lapisan bawah berwarna putih
bening
Rasio 1:2, lapisan atas berwarna
kuning bening, lapisan bawah
putih sedikit keruh
7. Pisahkan kedua fase tersebut dan masing-
masing masukkan ke dalam gelas ukur,
catat volumenya dan timbang kemudian
catat massanya.
- Didapatkan volume dan massa
masing-masing fase yaitu fase
ekstrak dan fase rafinat. (Lihat
Tabel 1.2)
8. Selanjutnya mengukur adsorbansi
menggunakan spektofotometri UV-VIS.
Ukur semua adsorbansi fase ekstrak
maupun fase rafinatnya.
- Didapatkan nilai adsorbansi fase
ekstrak dan fase rafinat. (Lihat
Tabel 1.2)
9. Dengan proses yang sama, lakukan
percobaan variable kedua dengan frekuensi
pengadukan 125 rpm.
- Didapatkan data volume, massa,
dan adsorbansi
Tabel 1.2 Data Percobaan Ekstraksi
Frekuensi Pengadukan 100 rpm
Volume (ml) Massa (gr) Adsorbansi
Rasio 1:1 (10ml:10ml)
Ekstrak 10.5 7.503 2.477
Rafinat 9 6.976 2.498
Rasio 1:2 (10ml:10ml)
Ektrak 15.5 12.854 2.632
Rafinat 8.4 5.301 2.524
Rasio 1:3 (7ml:15ml)
Ekstrak 16.5 14.942 2.407
Rafinat 6.2 6.119 2.546
Frekuensi Pengadukan 125rpm
Volume (ml) Massa (gr) Adsorbansi
Rasio 1:1 (8ml:8ml)
Ekstrak 8.5 6.709 2.552
Rafinat 5.8 4.534 2.534
Rasio 1:2 (8ml:16ml)
Ektrak 14.5 13.510 2.429
Rafinat 7.8 6.183 2.530
Rasio 1:3 (4ml:12ml)
Ekstrak 11.8 12.101 2.528
Rafinat 4.4 3.331 2.550
Menghitung Koefisien Distribusi (Ki)
Frekuensi 100rpm, Rasio 1:1
Konsentrasi Kresol (Fase Ekstrak)
Konsentrasi Kerosene (Fase Rafinat)
Ki = Fraksi mol solute pada fase ekstrak
Fraksi mol solute pada fase rafinat
Menghitung Yield
Ye,i = Massa ekstrak
Massa umpan
Rasio 1:1, Frekuensi 100 rpm
Volume kresol = % volume ekstrak x volume ekstrak
Massa kresol di ekstrak = ρ kresol x volume kresol
Volume kresol dalam rafinat = %volume rafinat x volume rafinat
Massa kresol rafinat = ρ kresol x volume rafinat
Massa umpan = massa kresol dalam ekstrak + massa kresol dalam rafinat
gr
Yield = massa kresol dalam ekstrak
Massa umpan
Dengan perhitungan yang sama diperoleh hasil percobaan sebagai berikut:
Tabel 1.3 Hasil Perhitungan Nilai Ki dan Yield
Rasio Ki Ye,i
Frekuensi 100rpm
Rasio 1:1 0.939 51.22 %
Rasio 1:2 1.298 79.47 %
Rasio 1:3 0.638 62.62 %
Frekuensi 125rpm
Rasio 1:1 1.048 62.44 %
Rasio 1:2 0.726 58.07 %
Rasio 1:3 0.942 70.04 %
b. PEMBAHASAN
Pada percobaan ekstraksi cair-cair dilakukan pencampuran solute dengan cairan
pembawa (diluen) yang selanjutnya dipisahkan menggunakan solven cair. Pertama adalah
pencampuran solute (kresol) dan diluen (kerosene) dengan perbandingan 8% kresol dan 92%
kerosene sebanyak 50ml. Kresol sebanyak 4ml dimasukkan kedalam labu takar 50ml,
selanjutnya ditambahkan kerosene sebanyak 46ml, pencampuran dilakukan di dalam lemari
asam karena sifat bahan yang mudah terbakar, pencampuran dalam lemari asam bertujuan
agar saat terjadi kebocoran maka gas dapat langsung keluar melalui cerobong asap dari
lemari asam, jadi tidak menyebar. Kemudian membuat larutan solven dengan perbandingan
80% methanol dan 20% aquades sebanyak 100ml. Mengambil methanol sebanyak 80ml dan
dimasukkan dalam labu takar 100ml dan kemudian diencerkan menggunakan aquades. Kedua
larutan tersebut, yaitu larutan kresol dan larutan methanol masing-masing dipindahkan ke
dalam beaker glass berukuran 100ml agar mudah untuk diambil menggunakan pipet ukur.
Selanjutnya mengambil masing-masing larutan kresol dan larutan methanol untuk
percobaan pertama dengan variabel frekuensi pengadukan 100rpm selama 30 menit. Untuk
rasio 1:1 larutan kresol yang diambil adalah sebanyak 10ml dan larutan methanol 10ml,
dicampur didalam erlenmeyer 100ml. Rasio 1:2, larutan kresol yang diambil adalah 10ml dan
larutan methanol 20ml, dicampur dalam erlenmeyer 100ml. Rasio 1:3, larutan kresol yang
diambil adalah 7ml dan larutan methanol 15ml. Selanjutnya ketiga campuran tersebut
diletakkan pada shaker bath, dan disetting frekuensi pengadukan 100rpm selama 30 menit.
Pada rasio 1:1 dan rasio 1:2 masing-masing pada menit 5 dan menit 11 terbentuk buih-buih
sedangkan pada rasio 1:3 tidak berbuih. Hal ini disebabkan karena pada saat pencampuran
terjadi perpindahan massa, yaitu ekstrak meninggalkan pelarut yang pertama (media
pembawa) dan masuk ke dalam pelarut kedua (media ekstraksi). Sebagai syarat ekstraksi ini,
bahan ekstraksi dan pelarut tidak. saling melarut (atau hanya dalam daerah yang sempit).
Agar terjadi perpindahan masa yang baik yang berarti performansi ekstraksi yang besar
haruslah diusahakan agar terjadi bidang kontak yang seluas mungkin di antara kedua cairan
tersebut. Untuk itu salah satu cairan distribusikan menjadi tetes-tetes kecil (seperti berbuih).
Turbulensi pada saat mencampur tidak perlu terlalu besar. Yang penting perbedaan
konsentrasi sebagai gaya penggerak pada bidang batas tetap ada. Hal ini berarti bahwa bahan
yang telah terlarutkan sedapat mungkin segera disingkirkan dari bidang batas. Pada saat
pemisahan, cairan yang telah terdistribusi menjadi tetes-tetes harus menyatu kembali menjadi
sebuah fasa homogen dan berdasarkan perbedaan kerapatan yang cukup besar dapat
dipisahkan dari cairan yang lain. Sedangkan pada rasio 1:3 tidak berbuih karena
perbandingan solute yang lebih kecil, sehingga pendistribusian dalam tetes-tetes kecil
tersebut tidak terlihat, terjadi perpindahan massa yang lebih cepat. Setelah proses shaker
selama 30 menit, ketiga campuran tersebut dipindahkan kedalam corong pemisah dan
didiamkan selama 1 jam. Saat pemisahan, rasio 1:1 berwarna kuning emas bening, rasio 1:2
terbentuk 2 lapisan, lapisan atas berwarna kuning emas, sedangkan lapisan bawah berwarna
putih sedikit keruh. Rasio 1:3 terbentuk dua lapisan, lapisan atas berwarna kuning emas,
sedangkan lapisan bawah putih bening. Lapisan atas pada masing-masing campuran tersebut
merupakan rafinat atau sisa ekstraksi, dan lapisan bawah adalah ekstrak (hasil ekstraksi).
Rafinat atau hasil ekstraksi mengandung cairan pembawa atau diluen yang pada percobaan
ini diluennya adalah kerosene, sedangkan ekstrak mengandung solven dan solute dimana
solvennya adalah methanol-aquades dan solutenya adalah kresol. Dari segi warna juga dapat
diketahui komposisi fase ekstrak dan fase rafinat. Pada lapisan bawah yang berwarna putih
bening seperti air fase ekstrak yang komposisinya adalah solven-solute, maka larutan ini
adalan larutan kresol-methanol memiliki warna putih bening seperti air. Lapisan atas
berwarna kuning bening, fase rafinat, yaitu larutan kerosene yang berwarna kuning bening.
Masing-masing hasil ekstraksi dan rafinat dari rasio yang berbeda tersebut dipisahkan dan
dimasukkan kedalam gelas ukur.
Setelah proses pemisahan diketahui volume masing-masing ekstrak dan rafinat,
kemudian ditimbang massanya dengan menggunakan neraca digital. Perlakuan berikutnya
adalah menghitung adsorbansi ekstrak dan rafinat pada spektofotometri UV-VIS. Keenam
sampel dianalisis besar adsorbansinya menggunakan spektofotometer, dicatat besar
adsorbansinya. Kemudian lakukan tahap yang sama untuk percobaan dengan variabel
frekuensi pengadukan 125pm. Perbandingan volume campuran larutan kresol dan larutan
methanol untuk rasio 1:1 sebanyak 8 ml:8 ml, rasio 1:2 sebanyak 8 ml:16 ml dan rasio 1:3
sebanyak 4 ml:12 ml.
Saat semua sample yaitu 12 sample telah diketahui besar adsorbansinya, kemudian
dihitung besar koefisien distribusi (Ki), koefisien distribusi (Ki) adalah konsentrasi solute
dalam fase ekstrak dibagi konsentrasi solute pada fase rafinat setelah keseimbangan tercapai
pada kontak satu tahap. Nilai Ki setelah dihitung untuk frekuensi 100rpm rasio 1:1, rasio 1:2
dan rasio 1:3 berturut-turut adalah 0.939; 1,298; dan 0,638. Sedangkan untuk frekuensi 125
rpm rasio 1:1, rasio 1:2, dan rasio 1:3 berturut-turut adalah 1,048; 0,726; dan 0.942. Nilai Ki
pada masing-masing frekuensi cenderung naik-turun, hal ini disebabkan karena perbandingan
rasio solute dan solven, serta konsentrasi dari solute tersebut. Pada frekuensi 100 rpm rasio
1:1 dan rasio 1:2 terjadi kenaikan nilai Ki karena rasio solven lebih besar sehingga solute
yang terdistribusi kedalam solven jauh lebih besar, dan Ki lebih besar. Kemudian jika dilihat
rasio 1:3 memiliki nilai Ki yang lebih rendah karena jika dilihat dari data yang ada, pada
rasio 1:2 frekuensi 100 rpm adalah kondisi optimum ekstraksi sehingga nilai Ki pada rasio ini
menurun. Pada frekuensi 125 rpm, Ki juga mengalami naik turun, pada rasio 1:1 dan rasio 1:2
mengalami penurunan, karena perbedaan konsentrasi pada rasio 1:1 lebih besar daripada
konsentrasi pada rasio 1:2. Sedangkan pada rasio 1:2 lebih kecil dari rasio 1:3 karena
perbandingan rasio volume solven pada 1:3 lebih besar, sehingga solute akan terdistribusi
lebih banyak kedalam solven dan Ki lebih besar. Berikut adalah grafik hubungan rasio solute-
solven dengan nilai Ki pada frekuensi 100 rpm dan frekuensi 125 rpm.
Grafik IV.1
Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi optimum dicapai pada frekuensi
100 rpm di rasio 1:2. Pada rasio 1:3 dapat dilihat bahwa grafik mengalami penurunan nilai
Ki, begitu juga dengan frekuensi 125 rpm, nilai Ki mengalami naik turun tetapi tidak
melebihi besar nilai Ki pada rasio 1:2 frekuensi 100 rpm. Jadi ekstraksi dengan hasil ekstraksi
yang maksimal dapat dicapai pada frekuensi 100 rpm dan rasio 1:2.
Proses selanjutnya setelah menghitung Ki, adalah menghitung nilai yield. Yield
adalah parameter untuk mengetahui berapa banyak komponen senyawa yang berpindah ke
fase ekstrak selama ekstrasi berlangsung. Setelah dihitung didapatkan nilai yield untuk
frekuensi 100 rpm rasio 1:1 sebesar 51.22 %, rasio 1:2 79,47 %, rasio 1:3 62.62%. Sedangkan
untuk frekuensi 125 rpm rasio 1:1 sebesar 62.44%, rasio 1:2 sebesar 58.07%, rasio 1:3
sebesar 70.04%. Nilai yield pada frekuensi 100 rpm pada rasio 1:1 dan rasio 1:2 naik,
kemudian pada rasio 1:3 turun. Kenaikan yield dipengaruhi oleh konsentrasi dan frekuensi
pengadukan yang optimum, disini frekuensi 100 rpm adalah frekuensi optimum karena
didapatkan yield terbesar pada rasio 1:2 yaitu 79.47%. Pada rasio 1:3 mengalami penurunan
karena kesalahan teknis dalam memipet larutan sehingga rasio 1:3 tidak terpenuhi. Frekuensi
125 rpm yield mengalami penurunan kemudian mengalami kenaikan. Namun nilai yield
maksimum dalam frekuensi 125 rpm tidak lebih besar dari frekuensi 100 rpm, karena
frekuensi optimum pengadukan terjadi pada frekuensi 100 rpm. Berikut adalah grafik
hubungan yield dengan rasio solven-solute.
Grafik IV.2
Dari rafik diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi optimum dicapai pada frekuensi
100 rpm dan rasio 1:2. Nilai yield pada rasio 1:3, dan nilai yield pada frekuensi 125 rpm
memiliki nilai yield yang naik turun tetapi tidak melebihi nilai yield pada kondisi
optimumnya. Rasio 1:2 pada frekuensi 100 rpm memiliki nilai yield tertinggi yaitu 79,47 %
dan dapat melebihi target yield yang ingin dicapai yaitu 65 % tetapi pada rasio 1:3 frekuensi
125 rpm juga dapat melebihi target yield yang ingin dicapai yaitu sebesar 70,04 %. Namun
tetap dipilih kondisi operasi ekstraksi yang optimum, karena semakin besar nilai yieldnya
semakin banyak solute yang teresktrak dalam solven sehingga hasil ekstraksi juga dapat
maksimal.
V. Simpulan dan Saran
A. Simpulan
1. Prinsip operasi ekstraksi cair-cair adalah pemisahan solute dari diluen (cairan
pembawa) menggunakan pelarut (solven) cair.
2. Koefisien distribusi pada frekuensi 100 rpm dan rasio 1:2 merupakan kondisi
optimum dengan nilai koefisien distribusi terbesar yaitu 1,298. Yield pada
frekuensi 100 rpm dan rasio 1:2 merupakan kondisi optimum dengan nilai yield
terbesar yaitu 79,47 %.
3. Semakin besar nilai rasio solven akan meningkatkan nilai Ki dan yield sampai
batas kondisi optimumnya.
B. Saran
1. Mencermati pengambilan volume larutan kresol dan larutan methanol yang
dibutuhkan agar perbandingan rasionya pas.
2. Menghitung semua properti yang dibutuhkan (massa, volume, adsorbansi ekstrak
dan rafinat) sehingga dapat memudahkan dalam perhitungan.
3. Mencermati setiap parameter proses seperti waktu pengadukan, frekuensi
pengadukan, an waktu pemisahan serta fenomenanya agar didapatkan data yang
valid untuk perhitungan.
DAFTAR PUSTAKA
Petunjuk Praktikum OTK 1 Lab. Teknik Kimia, Ekstraksi Cair-Cair, Semarang.
Robert E. Treybal, Liquid Extraction, Mc. Graw Hill Book Company, 1st Edition, 1951.
Warren L. Mc. Cabe, Unit Operation of Chemical Engineering, Mc. Graw Hill Book
Company, 5th Edition, 1993.
Robert E. Treybal, Mass Transfer Operations, Mc. Graw Hill Book Company, 1981.
Perry, R.H. 1978. “Chemical Engineers Handbook”. Mc Graw Hill. Kogakusha. Tokyo.
Japan.
Kasmiyatun, Mega. 2010. Ekstraksi Asam Sitrat dan Asam Oksalat : Pengaruh Konsentrasi
Solut Terhadap Koefisien Distribusi. Seminar Rekayasa Kimia Dan Proses: 4-5.