wates dvt print.doc

36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler termasuk arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi. Menurut Robert Virchow, terjadinya trombosis adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran darah dan komponen pembekuan darah (Virchow triat). Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trombus vena, membentuk emboli yang dapat menimbulkan kematian mendadak apabila sumbatan terjadi pada arteri di dalam paru-paru (emboli paru). Insidens trombosis vena di masyarakat sangat sukar diteliti, sehingga tidak ada dilaporkan secara pasti. Banyak laporan-laporan hanya mengemukakan data-data penderita yang di rawat di rumah sakit dengan berbagai diagnosis. Di Amerika Serikat, dilaporkan 2 juta kasus trombosis vena dalam yang di rawat di rumah sakit dan di perkirakan pada 600.000 kasus terjadi emboli paru dan 60.000 kasus meninggal karena proses penyumbatan pembuluh darah. Pada kasus-kasus yang mengalami trombosis vena perlu pengawasan dan pengobatan yang tepat terhadap trombosisnya dan melaksanakan pencegahan terhadap meluasnya trombosis dan

Upload: atmihadji

Post on 24-Dec-2015

267 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler

termasuk arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi. Menurut Robert Virchow,

terjadinya trombosis adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran darah

dan komponen pembekuan darah (Virchow triat).

Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trombus vena, membentuk emboli yang

dapat menimbulkan kematian mendadak apabila sumbatan terjadi pada arteri di dalam

paru-paru (emboli paru). Insidens trombosis vena di masyarakat sangat sukar diteliti,

sehingga tidak ada dilaporkan secara pasti. Banyak laporan-laporan hanya

mengemukakan data-data penderita yang di rawat di rumah sakit dengan berbagai

diagnosis.

Di Amerika Serikat, dilaporkan 2 juta kasus trombosis vena dalam yang di rawat

di rumah sakit dan di perkirakan pada 600.000 kasus terjadi emboli paru dan 60.000

kasus meninggal karena proses penyumbatan pembuluh darah. Pada kasus-kasus yang

mengalami trombosis vena perlu pengawasan dan pengobatan yang tepat terhadap

trombosisnya dan melaksanakan pencegahan terhadap meluasnya trombosis dan

terbentuknya emboli di daerah lain, yang dapat menimbulkan kematian.

DVT merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah penyakit

koroner arteri dan stroke (Patterson, 2011). DVT terjadi pada kurang lebih 0,1%

orang/tahun. Insidennya meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang lalu. Insiden

tahunan DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50/100.000 populasi/tahun

(JCS Guidelines, 2011). Faktor resiko DVT antara lain faktor demografi/lingkungan (usia

tua, imobilitas yang lama), kelainan patologi (trauma, hiperkoagulabilitas

kongenital, antiphospholipid syndrome, vena varikosa ekstremitas bawah, obesitas,

riwayat tromboemboli vena, keganasan), kehamilan, tindakan bedah, obat-obatan

(kontrasepsi hormonal, kortikosteroid) (JCS Guidelines, 2011; Goldhaber, 2010; Sousou,

2009; Bailey, 2009). Meskipun DVT umumnya timbul karena adanya faktor resiko

tertentu, DVT juga dapat timbul tanpa etiologi yang jelas (idiopathic DVT) (Bates, 2004;

Hirsh, 2002). Untuk meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli paru diagnosis dan

panatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan. Kematian dan kecacatan dapat terjadi

sebagai akibat kesalahan diagnosa, kesalahan terapi dan perdarahan karena penggunaan

antikoagulan yang tidak tepat, oleh karena itu penegakan diagnosa dan penatalaksanaan

yang tepat sangat diperlukan (Bates, 2004; Hirsh, 2002). 

B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi,

patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, terapi dan komplikasi dari Deep vein Thrombosis

(DVT).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen

vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan

jaringan perivena (Wakefield, 2008). DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh

darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan

trias virchow (JCS Guidelines, 2011; Bailey, 2009; Hirsh, 2002).

B. PATOGENESIS

Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang berperan dalam

patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu kelainan dinding pembuluh

darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah. Trombosis vena adalah

suatu deposit intra vaskuler yang terdiri dari fibrin, sel darah merah dan beberapa

komponen trombosit dan lekosit.

Patogenesis terjadinya trombosis vena adalah sebagai berikut :

1. Stasis vena.

2. Kerusakan pembuluh darah.

3. Aktivitas faktor pembekuan.

Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena adalah

statis aliran darah dan hiperkoagulasi.

1. Statis Vena

Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama

pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama.

Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat

menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan

darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.

2. Kerusakan pembuluh darah

Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena,

melalui :

a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.

b. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan

jaringan dan proses peradangan.

Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Endotel

yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa

substansi seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan

trombo-modulin, yang dapat mencegah terbentuknya trombin.

Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan

terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan

trombosir akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran

basalis dan mikro-fibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin

difosfat dan tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain yang masih

beredar untuk berubah bentuk dan saling melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga

akan mengaktifkan sistem pembekuan darah.

3. Perubahan daya beku darah

Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah

dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas

pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun.

Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan

darah meningkat, seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi

protein C, defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.

C. FAKTOR RESIKO

Faktor utama yang berperan terhadap terjadinya trombosis vena adalah status

aliran darah dan meningkatnya aktifitas pembekuan darah. Faktor kerusakan dinding

pembuluh darah adalah relatif berkurang berperan terhadap timbulnya trombosis vena

dibandingkan trombosis arteri. Sehingga setiap keadaan yang menimbulkan statis aliran

darah dan meningkatkan aktifitas pembekuan darah dapat menimbulkan trombosis vena.

Faktor resiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut :

1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.

Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak di

netralisir sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.

2. Tindakan operatif

Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi

dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah. Pada

operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan

pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.

Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan

operatif, adalah sebagai berikut :

a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma pada

waktu di operasi.

b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preperatif, operatif dan

post operatif.

c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.

d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di

daerah tersebut.

3. Kehamilan dan persalinan

Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis

vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX. Pada

permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang menimbulkan lepasnya

plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi peningkatkan

koagulasi darah.

4. Infark miokard dan payah jantung

Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan

jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah

dan adanya statis aliran darah karena istirahat total. Trombosis vena yang mudah

terjadi pada payah jantung adalah sebagai akibat statis aliran darah yang terjadi

karena adanya bendungan dan proses immobilisasi pada pengobatan payah jantung.

5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.

Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang

mempermudah timbulnya trombosis vena.

6. Obat-obatan konstrasepsi oral

Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi vena,

menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya faktor

pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis vena.

7. Obesitas dan varices

Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan

aktifitas fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.

8. Proses keganasan

Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan “tissue thrombo plastin-

like activity” dan “factor X activiting” yang mengakibatkan aktifitas koagulasi

meningkat. Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik dan

infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan

operasi terhadap penderita tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali

lipat dibandingkan penderita biasa.

D. MANIFESTASI KLINIK

Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena

tungkai superfisialis, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti v poplitea, v

femoralis dan viliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain relatif jarang di

kenai.

Trombosis v.superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi varikositis dan gejala

klinisnya ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosi v tungkai

superfisialis ini menyebar ke vena dalam dan dapat menimbulkan emboli paru yang tidak

jarng menimbulkan kematian.

Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang timbul

tidak selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya trombosis.

Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis yang

terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang hebat.

Sebagian besar trombosis di daerah betis adalah asimtomatis, akan tetapi dapat

menjadi serius apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke lebih proksimal.

Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila menimbulkan :

- bendungan aliran vena.

- peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.

- emboli pada sirkulasi pulmoner.

Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa :

1. Nyeri

Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis

vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke

bagian medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik,

bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat.

Nyeri akan berkurang kalau penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi

tungkai ditinggikan.

2. Pembengkakan

Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal

dan peradangan jaringan perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh

sumbatan maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri,

sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler maka bengkak timbul

pada daerah trombosis dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau

penderita berjalan dan akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan posisi

kaki agak ditinggikan.

3. Perubahan warna kulit

Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada

trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena perubahan

warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah

pucat dan kadang-kadang berwarna ungu. Perubahan warna kaki menjadi pucat dan

pada perabaan dingin, merupakan tanda-tanda adanya sumbatan vena yang besar

yang bersamaan dengan adanya spasme arteri, keadaan ini di sebut flegmasia alba

dolens.

4. Sindroma post-trombosis.

Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai

konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini

mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis

sehingga terjadi imkompeten katup vena dan perforasi vena dalam.

Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam akan

membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi edema,

kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena

yang di kenai.

Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada daerah

betis yang timbul/bertambah waktu penderitanya beraktivitas (venous claudicatio), nyeri

berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul pigmentasi dan indurasi

pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah.

E. DIAGNOSIS

Diagnosis trombosis vena dalam berdasarkan gejala klinis saja kurang sensitif dan

kurang spesifik karena banyak kasus trombosis vena yang besar tidak menimbulkan

penyumbatan dan peradangan jaringan perivaskuler sehingga tidak menimbulkan keluhan

dan gejala.

Ada 3 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan diagnosis trombosis vena

dalam, yaitu:

1. Venografi

Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk

trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan bisa

menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak menyenangkan

penderitanya.

Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah

dorsum pedis dan akan kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal

sampai ke proksimal ke v iliaca.

2. Flestimografi impendans

Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada

tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoralis dan iliaca

dibandingkan vena di betis.

3. Ultra sonografi (USG) Doppler

Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat, sehingga

adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama USG Doppler.

Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 60,6% dan spesifity 93,9%. Metode ini

dilakukan terutama pada kasus-kasus trombosis vena yang berulang, yang sukar di

deteksi dengan cara objektif lain.

DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT) dan

tipe perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala dan tanda

klinis serta derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT akut dan kronis.

Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang ditemukan

pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor resiko (Bates, 2004). Tanda dan gejala

DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk

leg, phlegmasia cerulea dolens/blue leg) (JCS Guidelines, 2011). Skor dari Wells (tabel

1) dapat digunakan untuk stratifikasi (clinical probability) menjadi kelompok resiko

ringan, sedang atau tinggi (JCS Guidelines, 2011; Hirsh, 2002).

Tabel-1. Skor Wells (Hirsh, 2002)

Pasien dengan DVT dapat memiliki gejala dan tanda yang minimal dan tidak khas

karenanya pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk menegakkan diagnosa

(Hirsh, 2002). Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT.

Nilai prediktif negatif pemeriksaan D-dimer pada DVT lebih dari 95%, pemeriksaan ini

bersifat sensitif tapi tidak spesifik, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk

diagnosis DVT (Adam, 2009; Wolberg, 2009). Angiografi (venografi atau flebografi)

merupakan pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard), namun

pemeriksaan non invasive ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran

angiografi pada kondisi tertentu. USG Doppler memberikan sensitivitas 95% dan

spesifisitas 96% untuk mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak pada bagian

proksimal akan tetapi pada isolated calf vein thrombosis sensitivitasnya hanya 60% dan

spesifisitasnya kurang lebih 70% (JCS Guidelines, 2011; Righini, 2007; Hirsh, 2002:

Ramzi, 2004). Jika dengan metode pemeriksaan USG doppler dan D-dimer diagnosis

DVT belum dapat ditegakkan maka magnetic resonance venography (MRV) harus

dilakukan (JCS Guidelines, 2011). Algoritme diagnosis DVT dapat dilihat sebagai

berikut :

Algoritme diagnosis DVT  (Hirsh, 2002)

F. PENATALAKSANAAN

Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya sudah

pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan yang

diberikan mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius.

Berbeda dengan trombosis arteri, trombosis vena dalam adalah suatu keadaan

yang jarang menimbulkan kematian.

Oleh karena itu tujuan pengobatan adalah :

1. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru.

2. Mengurangi morbiditas pada serangan akut.

3. Mengurangi keluhan post flebitis

4. Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses trombo emboli.

a. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru

Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah dengan

pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan ini di

usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin. Pemberian anti

koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli paru, obat yang biasa di pakai

adalah heparin.

Prinsip pemberian anti koagulan adalah Save dan Efektif. Save artinya anti

koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan trombus

dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian heparin perlu

dipantau waktu trombo plastin parsial atau di daerah yang fasilitasnya terbatas, sekurang-

kurangnya waktu pembekuan.

b. Pemberian Heparin standar

Heparin 5000 ini bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips konsitnus

1000 – 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drips selanjutnya tergantung hasil APTT. 6 jam

kemudian di periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 – 2,5 kontrol.

1. Bila APTT 1,5 – 2,5 x kontrol dosis tetap.

2. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150 iu/jam.

3. Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.

Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6 jam, hari ke 2

tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam pertama hanya 38% yang

mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%. Heparin dapat diberikan 7–10

hari yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000

iu/subkutan, 2 kali sehari atau pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3 bulan.

Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana penghentian

heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.

c. Pemberian Low Milecular Weight Heparin (LMWH)

Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan

pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan heparin. Saat ini

preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan (Nandroparin

Fraxiparin). Pada pemberian heparin standar maupun LMWH bisa terjadi efek samping

yang cukup serius yaitu Heparin Induced Thormbocytopenia (HIT).

d. Pemberian Oral Anti koagulan oral

Obat yang biasa di pakai adalah Warfarin Cara. Pemberian Warfarin di mulai

dengan dosis 6 – 8 mg (single dose) pada malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di

kurangi tergantung dari hasil INR (International Normolized Ratio). Target INR : adalah

2,0 – 3,0

e. Cara penyesuaian dosis

INR

Penyesuaian

1,1 – 1,4 hari 1, naikkan 10%-20% dari total dosis mingguan.

Kembali : 1 minggu

1,5 – 1,9 hari 1, naikkan 5% – 10% dari total dosis mingguan.

Kembali : 2 minggu

2,0 – 3,0 tidak ada perubahan.

Kembali : 1 minggu

3,1 – 3,9 hari : kurang 5% – 10% dari dosis total mingguan.

Mingguan : kurang 5 – 150 dari dosis total mingguan

Kembali : 2 minggu

4,0 – 5,0 hari 1: tidak dapat obat

Mingguan : kurang 10%-20% TDM

kembali : 1 minggu

> 50 :

Stop pemberian warfarin.

Pantau sampai INR : 3,0

Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%.

kembali tiap hari.

Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila

trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible. Sedangkan

kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti koagulan oral selama 3-

6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi apabila ditemukan abnormal inherited mileculer.

Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :

1. Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.

2. Perdarahan yang baru di otak.

3. Alkoholisme.

4. Lesi perdarahan traktus digestif.

Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan heparin,

akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya pemberian heparin

tunggal. Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini,

terutama sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue plasminogen activator

(TPA).

TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin, sehingga

efek samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn pemberian TPA dengan

dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam dan Streptokinase diberikan 1,5 x

106 unit intra vena kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik ini memberikan

hasil yang cukup memuaskan. Efek samping utama pemberian heparin dan obat-obatan

trombolitik adalah perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan serebral.

Untuk mencegah terjadinya efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor yang

ketat terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu protombin, jangan melebihi 2,5

kali nilai kontrol.

1. Mengurangi Morbiditas pada serangan akut.

Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena dilakukan.

- Istirahat di tempat tidur.

- Posisi kaki ditinggikan.

- Pemberian heparin atau trombolitik.

- Analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.

- Pemasangan stoking yang tekananya kira-kira 40 mmHg.

Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 – 48 jam

serangan trombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens di

anjurkan tindakan embolektomi.

Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan pengangkatan thrombus atau

emboli, biasanya tidak di anjurkan.

2. Pencegahan Sindroma post-flebitis.

Sindroma post flebitis disebabkan oleh inkompeten katup vena sebagai akibat

proses trombosis. Biasanya terjadi pada trombosis di daerah proksimal yang

eksistensif seperti vena-vena di daerah poplitea, femoral dan illiaca. Keluhan biasanya

panas, edema dan nyeri terjadinya trombosis. Sindroma ini akan berkurang derajatnya

kalau terjadi lisis atau pengangkatan trombosis.

3. Pencegahan terhadap adanya hipertensi pulmonal.

Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang tidak sering dari emboli paru.

Keadaan ini terjadi pada trombosis vena yang bersamaan dengan adanya emboli paru,

akan tetapi dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan trombolitik, terjadinya

hipertensi pulmonal ini dapat di cegah.

Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang

makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan

dan terjadinya sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral

merupakan terapi inisial dan drug of choice DVT (Key, 2010; Scarvelis , 2006; Ramzi,

2004; Bates, 2004).

Unfractionated Heparin (UFH)

Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi harus

diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan meningkatkan

kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan trombin (Mackman, 2010; Deitcher,

2009). Dosis Unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dititrasi sesuai

kadar activated partial-thromboplastin time (APTT). Dosis heparin yang disesuaikan

berdasarkan berat badan dan APTT dapat dilihat pada tabel-2. Target APTT yang

diinginkan adalah antara 1,5 sampai 2,3 kali kontrol. Respon antikoagulan dari UFH

berbeda pada tiap-tiap individu karena obat ini berikatan secara nonspesifik dengan

plasma dan protein sel. Efek samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada

terapi inisial resiko terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada dosis,

usia, penggunaan bersama dengan antitrombotik atau trombolitik. Trombositopeni

transien terjadi pada 10-20% pasien. Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5 hari setelah

penggunaanya bersama warfarin jika target  International Normalized Ratio (INR) 

dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0 (Ramzi, 2004; Bates, 2004).

Low Molecular Weight heparin (LMWH)

Low Molecular Weight Heparin (LMWH)   bekerja dengan cara menghambat

faktor Xa melalui ikatan dengan antitrombin (Mackman, 2011). LMWH merupakan

antikoagulan yang memiliki beberapa keuntungan dibanding UFH antara lain respon

antikoagulan yang lebih dapat diprediksi, waktu paruh yang lebih panjang, dapat

diberikan sub kutan satu sampai dua kali sehari, dosis yang tetap, tidak memerlukan

monitoring laboratorium. LMWH banyak menggantikan peranan UFH sebagai

antikoagulan (Deitcher, 2009; Hirsh, 2002).

Tabel-2. Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT

                                 (Ramzi, 2004)

Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi

dibanding penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan

darah, riwayat stroke perdarahan, metastase ke central nervous system (CNS), kehamilan

peripartum, operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan

gastrointestinal. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan aman dan efektif terutama

jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor. Penggunaan LMWH pada pasien

rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan trombosis masif, memiliki

kecenderungan perdarahan yang tinggi seperti usia tua, baru saja menjalani pembedahan,

riwayat penyakit ginjal dan liver  serta memiliki penyakit penyerta yang berat (Hirsh,

2002; Bates, 2004; Ramzi, 2004). LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu

pada penderita ganguan fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH (Mackman,

2011; Key, 2010).

Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama

empat sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama

warfarin mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang

dikeluarkan oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan

dosis 1 mg/kgBB, dua kali sehari. Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan untuk terapi

profilaksis dengan dosis 200 IU/kgBB/hari  dalam dosis terbagi dua kali sehari.

Tinzaparin (Innohep) diberikan dengan dosis 175 IU/kgBB/hari (Ramzi, 2004). Pilihan

lain adalah penggunaan fondaparinux (Arixtra). Fondaparinux adalah pentasakarida

sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan trombin (Mackman, 2011). Dapat

digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi akut dengan dosis 5 mg (BB <50

kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg),  atau 10 mg (BB >100 kg) secara subkutan, satu kali perhari

(Mackman, 2011; Buller, 2004).

  

TERAPI JANGKA PANJANG

Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan dilanjutkan

dengan pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis sekunder untuk mencegah

kekambuhan (Bates, 2004). Warfarin adalah obat yang paling sering diberikan. Warfarin

adalah antagonis vitamin K yang menghambat vitamin K-dependent clotting factor(faktor

II, VII, IX, X) melalui hambatan terhadap enzim vitamin K epoxide reductase(Dietrich,

2009). Dosis awal yang diberikan adalah 5 mg pada hari pertama sampai hari keempat,

dosis dititrasi tiap 3 sampai 7 hari dengan target kadar INR berkisar 2,0 sampai 3,0. Dosis

yang lebih kecil (2-4 mg) diberikan pada usia tua, BB rendah dan kondisi malnutrisi

(Bates, 2004; Hirsh, 2002).

Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring INR secara

berkala diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan efek samping perdarahan.

INR sebaiknya diperiksa 2 kali per minggu selama 1 sampai 2 minggu awal penggunaan,

diikuti 1 kali perminggu untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2 minggu sekali untuk 1

bulan berikutnya dan akhirnya tiap sebulan sekali jika target INR tercapai dan pasien

dalam kondisi optimal (Bates, 2004; Hirsh, 2002). Penggunaan LMWH sebagai terapi

alternatif jangka panjang sedang dievaluasi. LMWH memiliki beberapa keuntungan

dibanding warfarin yaitu tidak memerlukan monitoring INR sehingga cost effective dan

dapat digunakan jika ada kesulitan akses laboratorium, LMWH juga

memiliki onset dan offset of action yang lebih cepat daripada warfarin, lebih efektif pada

trombosis pasien kanker dan kasus rekurensi trombosis pada penggunaan warfarin jangka

lama. Akan tetapi kelemahan LMWH adalah penggunaannya yang tidak nyaman bagi

pasien karena harus diberikan subkutan disamping harganya yang mahal (Hirsh, 2002:

Bates, 2004).

Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak kelemahan antara

lain onset of action yang lambat, dosis yang bervariasi antar individu, interaksi dengan

banyak jenis obat dan makanan, therapeutic window yang sempit sehingga membutuhkan

monitoring ketat. Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral yang baru dan lebih

baik untuk menggantikannya. Ada beberapa macam antikoagulan baru yang telah banyak

dipakai sebagai profilaksis DVT seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa), apixaban

(inhibitor faktor Xa) dan dabigatran etexilate (inhibitor trombin) tetapi belum ada yang

digunakan sebagai terapi pada DVT akut. Secara teori obat antikoagulan baru memiliki

kelebihan dibanding warfarin antara lain onset of action yang cepat dan tidak

membutuhkan terapi inisial dengan antikoagulan parenteral, tapi belum ada penelitian

tentang hal ini. Kekurangan obat antikoagulan baru adalah tidak adanya antidotum yang

spesifik terehadap efek samping perdarahan sehingga penggunaan obat-obat ini masih

memerlukan penelitian lebih lanjut, selain itu harganya jauh lebih mahal dari warfarin

(Key, 2010; Garcia, 2010; Mackman, 2010).

Obat antikoagulan baru dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan target

tempat bekerja

1. Inhibitor langsung thrombin (atau faktor IIa), seperti dabigatran etexilate (Pradaxa)

dan AZD0837.

2. Oral inhibitor faktor Xa, meliputi Rivaroxaban (Xarelto, apixaban, betrixaban,

edoxabandan eribaxaban).

3. Inhibitor factor Xa parenteral, yang meliputi idrabiotaparinux (idraparinux

terbiotinilasi, turunan dari fondaparinux dan semuloparin).

DURASI PENGGUNAAN ANTIKOAGULAN

Durasi penggunaan antikoagulan tergantung pada resiko terjadinya perdarahan

dan rekurensi dari trombosis. Resiko perdarahan selama terapi inisial dengan UFH atau

LMWH kurang lebih 2-5%, sedangkan pada penggunaan warfarin kurang lebih 3%

pertahun. Annual case fatality rate pada penggunaan antikoagulan adalah 0,6%. Case

fatality rate rekurensi DVT kurang lebih 5% (Hirsh, 2002). Banyak studi

membandingkan keuntungan dan kekurangan pemberian oral vitamin K antagonis jangka

panjang (>3 bulan) karena adanya fakta bahwa kejadian DVT sebenarnya merupakan

kasus kronik dengan angka rekurensi jangka panjang yang cukup signifikan (<50%

setelah 10 tahun penghentian antikoagulan) (Key, 2010; Zhu, 2009). Terapi antikoagulan

yang inadekuat dapat meningkatkan resiko terjadinya rekurensi dan sindroma post

trombotik (Zhu, 2009).

Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien dengan

faktor resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah terapi antikoagulan

selama 3 bulan, sebaliknya pada pasien DVT idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi

selama 3 bulan memiliki resiko rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian

prospektif dan ekstrapolasi dari penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal

trombosis, pasien dapat diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah, sedang, tinggi

dan sangat tinggi (Bates, 2004; Hirsh, 2002)

Tabel-4. Kategori resiko rekurensi dan rekomendasi durasi terapi (Hirsh, 2002)

TERAPI TROMBOLITIK

Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan

patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan (Bates, 2004). Trombolitik dapat

diberikan secara sistemik atau lokal dengan catheter-directed thrombolysis (CDT). Terapi

trombolitik pada episode akut DVT dapat menurunkan resiko terjadinya rekurensi

dan post thrombotic syndrome (PTS) (Key, 2010; Kahn, 2009). Serine protease

inhibitor endogen seperti urokinase dan rekombinan tissue plasminogen activator (r-

TPA) menggantikan fungsi streptokinase sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik

sistemik dengan efek samping yang lebih minimal, akan tetapi banyak pusat-pusat

kesehatan lebih memilih menggunakan alteplase (Patterson, 2010). Trombolitik sistemik

dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi resiko perdarahan juga tinggi.

Penggunaan trombolitik dengan CDT akan menghasilkan konsentrasi lokal yang lebih

tinggi daripada secara sistemik dan secara teori seharusnya dapat meningkatkan

efikasinya dan menurunkan resiko perdarahan (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates,

2004).

Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding

penggunaan heparin (Bates, 2004; Patterson, 2010). Indikasi dilakukan trombolisis antara

lain trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal,threatened

limb viability, adanya predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik (usia

18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada

kontraindikasi dilakukan trombolisis (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006). Kontraindikasi

trombolisis antara lain bleeding diathesis/trombositopeni, resiko perdaraham spesifik

organ (infark miokard akut, trauma serebrovaskular, perdarahan gastrointestinal,

pembedahan, trauma), gagal hati atau gagal ginjal, keganasan (metastase otak),

kehamilan, stroke iskemi dalam waktu 2 bulan, hipertensi berat yang tidak terkontrol

(SBP>180 mmHg, DBP>110 mmHg) (JCS Guiedelines, 2011; Patterson, 2010).

CDT dilakukan dengan tuntunan ultrasound sehingga dapat meminimalkan

terjadinya komplikasi dan punksi multipel pembuluh darah (Patterson, 2010). Protokol

tindakan trombolisis dapat dilihat pada tabel 3.

Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen trombolitik,

penggunaan venous stenting tambahan dan inferior vena cava filter (IVC) berbeda-beda

pada tiap pusat kesehatan. IVC tidak rutin dilakukan dan umumnya hanya dipakai

sementara, penggunaannya dilakukan pada kondisi tertentu seperti adanya kontraindikasi

penggunaan antikoagulan dan timbulnya DVT pada penggunaan rutin antikoagulan.

Penggunaanya harus melalui diskusi tim multidisiplin dan kasus per kasus (Patterson,

2010; Scarvelis, 2006; Bates, 2004). Pemasangan stent endovaskular  pada saat dilakukan

CDT dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang

mendasari timbulnya DVT (May-Thurner syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka

komunis ditekan oleh arteri iliaca komunis sehingga terjadi tekanan dan kerusakan

pembuluh darah. Penyebab lain yaitu kompresi oleh tumor daerah pelvis, osteofit, retensi

urin kronik, aneurisma arteri iliaka, endometriosis, kehamilan, tumor uterus (Patterson,

2010). Aspiration thrombectomy juga dapat dilakukan bersama CDT pada kasus tertentu.

Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah tindakan trombolisis untuk mencegah

progresivitas dan munculnya kembali trombus (JCS Guidelines, 2011; Patterson, 2010).

Tabel-3. Protokol  trombolisis pada DVT (Patterson, 2010)

TERAPI NON FARMAKOLOGIS

Terapi non farmakologis/physical therapy  hanya sedikit evidence based nya.

Latihan dan compression  dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta mengurangi

insiden terjadinya post thrombotic syndrome (PTS). Penggunaan compression

stockings selama kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3 minggu ketika diagnosa DVT

ditegakkan menurunkan resiko timbulnya PTS.

Peranan compression stockings atau intermitten pneumatic

compression (IPC) dalam mencegah PTS belum sepenuhnya dimengerti, namun

penggunaannya telah digunakan secara luas. Compression stockingssebaiknya digunakan

pada pasien dengan gejala berat dan mereka yang memiliki fungsi vena yang jelek (JCS

Guidelines, 2011; Kahn, 2009; Bates, 2004).

TROMBEKTOMI

Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi

terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupun mechanical

thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar

dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Trombus

divena iliaka komunis dipecah dengan kateter embolektomi fogarty dengan anestesi

lokal. Trombus pada daerah perifer harus dihilangkan dengan cara antegrade

menggunakan teknik milking dan esmarch bandage. Kompresi vena iliaka harus diatasi

dengan dilatasi balon dan atau stenting. Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan

selama 5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan

dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang maksimal tindakan

pembedahan sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset DVT. Pasien dengan

phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi kompartemen dan

perbaikan sirkulasi (JCS Guidelines, 2011).

Daftar Pustaka

1. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and antithrombotic in

women. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-88

2. Bates S, Ginsberg G (2004). Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J Med, 351:268-

77.

3. Buller H, Davidson B, Decousus H, Gallus A, Gent M (2004). Fondaparinux or enoxaparin

for the initial treatment of symptomatic deep vein thrombosis. Ann Intern Med, 140:867-73

4. Garcia D, Libby E, Crowther M (2010). The new oral anticoagulants. Blood, 115:15-20

5. Goldhaber S (2010). Risk factors for venous thromboembolism. Journal of the American

College of Cardiology, 56:1-7

6. Hirsh J, Lee A (2002). How we diagnose and treat deep vein thrombosis.Blood, 99: 3102-

3110

7. JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of

pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis (JCS 2009). Circ J; 75: 1258-1281