lap.geh kel 10

47
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir-akhir ini persoalan yang paling sering dijumpai di lapangan yaitu bayi dengan ikterus. Karena banyaknya kasus ini yang masih belum diketahui penyebab yang pasti dalam ilmu Kedokteran, maka kami sangat tertarik untuk mempelajar yang lebih lanjut secara mendetail tentang ikterus pada bayi Bayi dengan Ikterus bila dalam penanganannya kurang tepat dan benar bisa mengakibatkan kejang, kerusakan otak seumur hidup bahkan sampai terjadi kematian. Prinsip dasar Ikterus pada bayi baru lahir terdapat pada 25% - 50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan. Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan suatu gejala fisiologi atau dapat merupakan hal yang pathologis, misalnya pada Inkomptibilitas Rhesus dan Abo, Sepsis, Penyumbatan Saluran empedu, dan sebagainya. Ikterus baru dapat dikatakan fisiologi apabila sesudah pengamatan dan pemeriksaan. Selanjutnya tidak nenunjukkan dasar pathologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern-ikterus. . 1

Upload: rahma-larasati-syaheeda

Post on 25-Jun-2015

563 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lap.GEH KEL 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada akhir-akhir ini persoalan yang paling sering dijumpai di

lapangan yaitu bayi dengan ikterus. Karena banyaknya kasus ini yang masih

belum diketahui penyebab yang pasti dalam ilmu Kedokteran, maka kami 

sangat tertarik untuk mempelajar yang lebih lanjut secara mendetail tentang

ikterus pada bayi

Bayi dengan Ikterus bila dalam penanganannya kurang tepat dan

benar bisa mengakibatkan kejang, kerusakan otak seumur hidup bahkan

sampai terjadi kematian. Prinsip dasar Ikterus pada bayi baru lahir terdapat

pada 25% - 50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus

kurang bulan. Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan suatu gejala

fisiologi atau dapat merupakan hal yang pathologis, misalnya pada

Inkomptibilitas Rhesus dan Abo, Sepsis, Penyumbatan Saluran empedu, dan

sebagainya.

Ikterus baru dapat dikatakan fisiologi apabila sesudah pengamatan dan

pemeriksaan. Selanjutnya tidak nenunjukkan dasar pathologis dan tidak

mempunyai potensi berkembang menjadi  kern-ikterus.

Problem Base Learning (PBL) merupakan salah satu metode

pembelajaran dasar yang menggunakan problem sebagai titik tolak

pendekatan secara integral dari suatu ilmu yang sedang dipelajari. Dengan

metode tersebut, mahasiswa diharapkan mampu berpikir dan menyelesaikan

suatu kasus secara ilmiah dan sistematis serta terintegrasi.

Pada PBL sistem GEH kali ini, kasus yang dibahas adalah mengenai

“Ikterus” yang memang banyak sekali kasus-kasusnya kita jumpai, di negeri

tercinta ini, tidak saja pada anak-anak, tetapi sampai kaum dewasa tua pun

masih banyak kita jumpai menderita gejala tersebut.

. 1

Page 2: Lap.GEH KEL 10

Dari pembahasan modul/kasus tersebut, diharapkan mahasiswa

mampu mengusai sistem Hematologi memecahan masalah dengan

menggunakan 7 langkah, sebagai berikut:

1. menentukan kata/kalimat kunci dari skenario

2. mengidentifikasi problem dasar skenario dengan membuat

beberapa pertanyaan penting

3. menganalisa prolem dengan menjawab pertanyaan

4. klarifikasi jawaban atas pertanyaan tersebut

5. menentukan tujuan pembelajaran yang akan dicapai atas kasus

tersebut

6. mencari informasi tambahan

7. melaporkan hasil diskusi dan informasi yang baru ditemukan

dengan tutor.

1.2 Skenario

Seorang bayi perempuan berusia 1,5 bulan berat lahir 3250 gram diantar

orang tuanya ke klinik dengan keluhan utama tampak kuning sejak usia 2 hari

dan tidak pernah hilang sampai saat ini bayi mendapat ASI eksklusif sampai

saat ini. Pasien tidak demam dan tampak aktif. Buang air kecil seperti teh dan

buang air besar biasa. Pasien lahir seksio sesaria karena KPD > 24 jam

1.3 Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Setelah selesai mempelajari modulini, maka siswa diharapkan

dapat menjelaskan tentang patogenesa penyakit dengan gejala kuning,

klasifikasi, agen penyebab, diagnostik, penatalaksanaan, komplikasi,

pencegahan, dan pengendaliannya.

1.4 Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah selesai mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :

1. Menjelaskan patomekanisme ikterus

1.1 Anatomi dan fisiologi hepar dan empedu

. 2

Page 3: Lap.GEH KEL 10

1.2 Fisiologi sekresi dan ekskresi bilirubin

1.3 Bilirubin direct dan indirect

1.4 Pengelompokan ikterus berdasarkan mekanisme terjadinya

2. Menjelaskan agent penyebab infeksi pada ikterus parenkimatous

2.1 Klasifikasi, morfologi, daur hidup dan distribusi virus

2.2 Klasifikasi, morfologi, daur hidup dan distribusi bakteri

2.3 Klasifikasi, morfologi, daur hidup dan distribusi parasit

3 Menjelaskan patogenesa dan gejala klinis penyakit dengan ikterus

parenkimatous

4 Menjelaskan patogenesa dan gejala klinis penyakit dengan ikterus

cholestatis

5 Menjelaskan patogenesa dan gejala klinis penyakit dengan ikterus

hemolitik

6 Menjelaskan langkah-langkah diagnosis untuk penyakit dengan

gejala ikterus

7 Menjelaskan penatalaksanaan untuk penyakit dengan gejala ikterus

8 Menjelaskan epidemiologi dan pencegahan dari penyakit dengan

gejala ikterus

. 3

Page 4: Lap.GEH KEL 10

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Histologi

2.1.1 Anatomi Hati

Hati terbungkus oleh sebuah kapsul fibroelastik yang disebut kapsul

Glisson dan secara kasar dipisahkan menjadi lobus kiri dan kanan. Kapsul

Glisson mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Kedua

lobus hati tersusun oleh unit – unit yang lebih kecil yang disebut lobulus.

Lobulus terdiri dari sel – sel hati, disebut hepatosit, yang menyatu dalam

suatu lempeng – lempeng. Hepatosit dan jaringan hati mudah mengalami

regenerasi.

Hati menerima suplai darahnya dari dua sumber yang berbeda.

Sebagian besar aliran darah hati, sekitar 1000 ml per menit, adalah darah

vena yang berasal dari lambung, usus halus dan usus besar, pankreas, dan

limpa. Darah ini mengalir ke hati melalui vena porta. Darah vena ini

kurang mengandung oksigen tetapi kaya akan zat – zat gizi. Darah ini juga

mungkin mengandung toksin dan bakteri. Sumber lain pendarahan hati

adalah arteri hepatika yang mengalirkan darah sekitar 500 ml per menit.

Darah arteri ini memiliki saturasi oksigen yang tinggi. Kedua sumber

darah tersebut mengalir ke dalam kapiler hati yang disebut sinusoid. Dari

sinusoid darah mengalir ke vena sentralis di setiap lobulus, dan dari semua

lobulus ke vena hepatika. Vena hepatika mengosongkan isinya ke dalam

vena kava inferior.

Tekanan darah di sistem vena porta sangat rendah, sekitar 3 mmHg.

Darah dari hati mengalir dengan mudah ke dalam vena kava, tempat

tekanan hampir 0 mmHg. Karena hamper tidak ada resistensi terhadap

. 4

Page 5: Lap.GEH KEL 10

aliran melalui vena porta atau melalui vena kava, maka dalam keadaan

normal darah mudah masuk dan keluar hati.

2.1.2 Histologi Hati

Dalam sajian yang dilihat dengan pembesaran kecil, hati terlihat

tersusun oleh massa epithelial, sel – sel parenkim (hepatosit) yang tersusun

berupa lempeng – lempeng yang saling berhubungan dan bercabang,

membentuk anyaman tiga dimensi. Di antara lempeng – lempeng ada

sinusoid darah. Gambaran tersebut memperlihatkan struktur menyerupai

kelenjar endokrin. Juga terdapat daerah – daerah yang disebut daerah

portal atau kanal portal, yang masing – masing mengandung sedikit

jaringan ikat, cabang – cabang vena porta, arteri hepatika dan duktus

biliaris, sering kali juga pembuluh limf. Daerah portal tersusun sedemikian

rupa sehingga seakan – akan membatasi lobulus hati. Lobulus seperti itu,

lobulus klasik (atau lobulus hati), mempunyai beberapa kanal portal di

tepinya, dan vena sentralis di tengahnya, yang merupakan cabang vena

kava inferior. Dari vena sentralis lempeng – lempeng sel parenkim

memancar seperti ruji roda dengan sumbu di tengah. Struktur unit ini

berulang beribu kali. Dengan pembuluh aferen (cabang vena porta dan

arteri hepatika) di bagian perifer lobulus dan pembuluh efferen (vena

sentralis) di tengah lobulus, jelaslah bahwa aliran darah adalah dari tepi

melalui sinusoid di antara lempeng sel hati menuju ke vena sentralis. Di

pihak lain, sekresi empedu dari sel hati masuk ke duktus biliaris kecil di

tepi lobulus. Penelitian lebih lanjut dengan pembesaran kuat terlihat pada

sajian bahwa masing – masing lempeng sel hati tersusun oleh sau atau dua

deretan sel hati. Di antara sel – sel tersebut terdapat saluran sempit yaitu

kanalkuli biliaris, yang mengalir ke tepi lobulus ke dalam duktus biliaris.

Kanalikuli biliaris itu merupakan suatu celah di antara dua sel hati yang

berdekatan dan tidak dibatasi oleh epitel khusus. Ruang sinusoid antara

lempeng hati dibatasi sel retikulum endotelial yang terletak dalam

anyaman serat retikulin halus. Jadi, di dalam lobulus hati terdapat sel

. 5

Page 6: Lap.GEH KEL 10

parenkim hati, sel yang membentuk dinding sinusoid hati, dan sel darah

yang terdapat di dalam lumen sinusoid.

Lobulus klasik atau Lobulus hati telah dijelaskan di atas. Lobulus

klasik merupakan prisma poligonal dengan ukuran lebih kurang 1 – 2 mm,

dan biasanya terlihat heksagonal pada potongan melintang dengan vena

sentralis di tengah dan kanal portal di tepian pada sudut – sudutnya. Pada

manusia lobulus klasik tidak banyak dibatasi oleh jaringan ikat, walaupun

terdapat pada beberapa mamalia tertentu, misalnya babi. Pada manusia

jarang ditemukan kanal portal sekaligus pada keenam sudut heksagonal.

Jelas bahwa lobulus klasik tidak sama dengan lobulus suatu kelenjar

eksokrin yang lobulusnya merupakan kumpulan jaringan yang

menyalurkan sekretnya ke dalam suatu saluran, atau yang jelas dibatasi

oleh jaringan fibrosa. Walaupun demikian, lobulus klasik mempunyai

makna fungsional yaitu merupakan suatu unit struktural dengan

pendarahan yang mengalirkan darah ke vena lobular (vena sentralis).

Karena morfologi hati di sini ditentukan oleh cara pendarahannya, maka

jelaslah bagi mahasiswa bahwa bagian perifer lobulus, yaitu yang

berdekatan dengan cabang vena porta dan arteri hepatika, akan mendapat

makanan dan oksigen yang lebih baik dibandingkan dengan daerah pusat.

Ada patokan lain untuk satuan (unit) fungsional dalam hati. Suatu

lobules portal mempunyai kanal portal sebagai pusatnya, dan terdiri dari

jaringan yang menyalurkan empedu ke dalam duktus biliaris di daerah

portal tersebut. Unit ini pada potongan melintang berbentuk segitiga,

mengandung bagian – bagian dari tiga lobules klasik yang berdekatan dan

vena sentralis terletak di perifer pada masing – masing sudutnya. Dalam

keadaan patologis, kerusakan hati biasanya berhuhubungan dengan

pendarahannya dan suatu susunan unit yang labih kecil sekarang dikenal

atas dasar itu, yaitu asinus hati atau unit fungsional. Seperti yang telah

dijelaskan, jarang ditemukan kanal portal pada setiap sudut lobulus klasik.

Kekurangan itu diperdarahi oleh cabang – cabang pembuluh darah dari

daerah di dekatnya yang meninggalkan pembuluh induk pada sudut tegak

. 6

Page 7: Lap.GEH KEL 10

lurus dan berjalan di sepanjang batas antara lobulus klasik yang

berdekatan. Pembuluh darah mendatangkan makanan dan saluran empedu

mengangkut empedu dari derah berbentuk “ belah ketupat” pada potongan

melintang itu dengan dua vena sentralis pada kedua sudut yang letaknya

berhadapan, dan k anal portal bercabang – cabang berjalan transversal di

antaranya.

2.1.3 Anatomi dan Histologi Kandung Empedu

Kandung empedu berbentuk buah alpukat, berujung buntu,

merupakan divertikulum dari duktus hepatikus komunis yang dihubungkan

dengan duktus sistikus. Kandung empedu panjangnya kurang lebih 8 cm dan

garis tengahnya 4 cm tetapi dapat sangat membesar. Dindingnya terdiri atas

3 lapisan :

1. Membran mukosa

2. Muskularis

3. Adventisia (serosa)

Membran Mukosa

Bila kosong, mukosa membentuk banyak lipatan atau “rugae” jadi

dalam potongan tampak tidak teratur, seringkali tampak kelenjar simpleks.

Semua sel epitel serupa, selnya silindris tinggi, dengan inti terletak di basal.

Dengan mikroskop elektron tampak mikrovili halus di bagian apikal sel. Sel

– sel epitel ditunjang oleh lamina basal yang halus dan lamina propria terdiri

. 7

Page 8: Lap.GEH KEL 10

atas jaringan retikular halus dengan banyak pembuluh darah kecil. Kadang –

kadang terdapat noduli limfatisi kecil dan sedikit kelenjar mukosa di bagian

leher kandung empedu.

Muskularis

Tidak terdapat submukosa dalam kandung empedu, dan di sebelah

luar mukosa ada lapisan serat otot polos, yang tebal dan susunan serat –

seratnya tidak teratur. Pada tiap sajian, serat otot pols akan terpotong dalam

beberapa macam bidang, karena tunika muskularis merupakan jala yang

terdiri atas gabungan serat otot polos yang terjalin sebagai anyaman dengan

di antaranya terdapat kolagen, retikulin dan elastin.

Adventisia (serosa)

Kandung empedu terletak pada permukaan bawah hati, dan

selubung luarnya yang terdiri atas jaringan ikat pada kolagen bersatu pada

beberapa tempat dengan simpai Glisson. Di tempat lain adventisia diliputi

oleh peritoneum.

Leher kandung empedu melanjutkan diri dengan duktus sistikus

dan di sini membran mukosa membentuk lipatan spiral dengan serat otot

polos sebagai pusatnya. Ini disebut katub spiral Heister dan dianggap

berfungsi untuk mencegah perubahan mendadak pada kaasitas kandung

empedu yang disebabkan oleh perubahan tekanan. Kandung empedu sendiri

berfungsi sebagai tempat penampungan (“reservoir”) empedu yang

dihasilkan terus – menerus oleh hati, tetapi dikeluarkan sedikit demi sedikit

ke dalam usus akibat kontraksi setelah dirangsang oleh kolesistokinin. Di

dalam kandung empedu, empedu dikentalkan karena cairannya diabsorpsi

oleh epitel.

2.2 Fisiologi Hepar dan Empedu

Hepar adalah kelenjar besar berwarna merah gelap terletak di bagian atas

abdomen sisi kanan (Dorland, 2006).

. 8

Page 9: Lap.GEH KEL 10

Secara mikroskopik, Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang

berbentuk silindris dengan panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8

sampai 2 milimeter. Hati manusia berisi 50.000 sampai 100.000 lobulus. Lobulus

sendiri dibentuk terurama dari banyak lempeng sel hepar (hepatosit). Masing-

masing lempeng hepar tebalnya satu sampai dua sel, dan diantara sel yang

berdekatan terdapat kanakuli biliaris kecil yang mengalir ke duktus biliaris di

dalam septum fibrosa yang memisahkan lobulus hati yang berdekatan. (; Guyton,

1998)

Fungsi utama hepar adalah membentuk dan mengeksresikan empedu, saluran

empedu mengangkat empedu sedangakan kandung empedu menyimpan dan

mengeluarkan empedu kedalam usus halus sesuai kebutuhan.

Fungsi dasar hati dapat dibagi menjadi

1) Fungsi vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah.

Dalam fungsi vaskularnya hati adalah sebuah tempat mengalir darah yang

besar. Hati juga dapat dijadikan tempat penimpanan sejumlah besar darah.

Hal ini diakibatkan hati merupakan suatu organ yang dapat diperluas.

Aliran limfe dari hati juga sangat tinggi karena pori dalam sinusoid hati

sangat permeable. Selain itu di hati juga terdapat sel Kupffer (derivat

sistem retikuloendotelial atau monosit-makrofag) yang berfungsi untuk

menyaring darah. (Guyton, 1998)

2) Fungsi metabolisme yang berhubungan dengan sebagian besar sistem

metabolisme tubuh.

Fungsi metabolisme hati dibagi menjadi metabolisme karbohidrat, lemak,

protein, dan lainnya.

Dalam metablosime hepar fungsi hati :

(1) menyimpan glikogen;

(2) me-ngubah galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa;

(3) glukoneogenesis;

(4) membentuk senyawa kimia penting dari hasil perantara metabolisme

karbohidrat.

. 9

Page 10: Lap.GEH KEL 10

Dalam metabolisme lemak fungsi hati :

(1) kecepatan oksidasi beta asam lemak yang sangat cepat untuk

mensuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain;

(2) pembentukan sebagian besar lipoprotein;

(3) pembentukan sejumlah besar kolesterol dan fosfolipid, dan

(4) penguraian sejumlah besar karbohidrat dan protein menjadi lemak.

Dalam metabolisme protein hati berfungsi :

(1) deaminasi asam amino;

(2) pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari dalam tubuh;

(3) pembentukan protein plasma;

(4) interkonversi diantara asam amino yang berbeda. (Guyton, 1998)

3) fungsi sekresi yang berperan membentuk empedu yang mengalir melalui

saluran empedu ke saluran pencernaan.

Fungsi sekresi hati membentuk empedu juga sangat penting. Salah satu zat

yang dieksresi ke empedu adalah pigmen bilirubin yang berwarna kuning-

kehijauan. Bilirubin aadalah hasi akhir dari pemecahan hemoglobin.

Bilirubin merupakan suatu alat mendiagnosis yang sangat bernilai bagi

para dokter untuk mendiagnosis penyakit darah hemolitik dan berbagai

tipe penyakit hati. (Guyton, 1998)

Fungsi hepar lainnya :

Detoksifikasi atau degenerasi zat – zat sisa dan hormon serta obat dan

senyawa asing lainnya.

Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein – protein yang penting

untuk pembekuan darah serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid,

dan kolestrol dalam darah

Pengaktifkan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati bersama dengan

ginjal

. 10

Page 11: Lap.GEH KEL 10

Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang, berkat adanya

makrofag residen

KANDUNG EMPEDU

Kandung empedu merupakan kantong berongga berbentuk pir yang terletak tepat

dibawah lobus kanan hati. Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar

7-10 cm dan berwarna hijau gelap - bukan karena warna jaringannya, melainkan

karena warna cairan empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan

Fungsi kandung empedu adalah untuk mengentalkan dan menyimpan empedu

yang dibawa kepadanya dari hati melalui duktus cysticus, diantara waktu makan

dan melepaskan empedu ke dalam usus lewat duktus cysticus selama makan.

Dalam vesika fellea, empedu dipekatkan oleh absorpsi air dan pengasaman

empedu. Memekatkan empedu dengan penyerapan selektif daripada air, garam

organik dan sedikit garam empedu, sehingga volumenya menjadi 1/5 – 1/10

daripada volume yang disekresikan oleh hati. Empedu mengalir dari hati melalui

duktus hepatikus kiri dan kanan, yang selanjutnya bergabung membentuk duktus

hepatikus umum. Saluran ini kemudian bergabung dengan sebuah saluran yang

berasal dari kandung empedu (duktus sistikus) untuk membentuk saluran empedu

umum.

Empedu memiliki 2 fungsi penting :

1. Membantu pencernaan dan penyerapan lemak

2. Berperan dalam pembuangan limbah tertentu, terutama hemoglobin yang

berasal dari pengahancuran sel darah merah dan kelebihan kolestrol.

Secara spesifik empedu berperan dalam berbagai proses berikut :

1. Garam empedu meningkatkan kelarutan kolestrol, lemak, dan vitamin

yang larut dalam lemak untuk membantu proses penyerapan.

2. Garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk

membantu menggerakkan isinya

. 11

Page 12: Lap.GEH KEL 10

3. Bilirubin (pigmen utama) dibuang ke dalam empedu sebagai limbah dar

sel darah merah yang dihancurkan

4. Obat dan limbah lainnya dibuang dalam empedu sebagai limbah tubuh

5. Barbagai protein yang berperan dalam fungsi empedu dibuang di dalam

empedu.

2.3 Metabolisme Bilirubin Normal

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus

dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari

degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau proses

eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan

proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain.

Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau

bilirubin IX α. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak,

karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah

melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak.

Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan

dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga

bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam

hepar. Segera setelah ada dalam sel hepar terjadi persenyawaan ligandin

(protein Y), protein Z dan glutation hepar lain yang membawanya ke

retikulum endoplasma hepar, tempat terjadinya konjugasi. Proses ini timbul

berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan

bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada

kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang

terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran

pencernaan dan selanjutnya menjadi urubilinogen dan keluar dengan tinja

sebagai sterkobilin. Dalam usus, sebagian di absorpsi kembali oleh mukosa

usus dan terbentuklah proses absorpsi entero hepatik.

. 12

Page 13: Lap.GEH KEL 10

2.4 Definisi Ikterus dan Penyakit yang Disertai Gejala Ikterus

2.5 Mekanisme Terjadinya Ikterus

Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan

ikterus dapat terjadi :

1.Pembentukan bilirubin secara berlebihan.

2.Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati.

3. Gangguan konjugasi bilirubin.

4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat

faktor intra hepatik yang bersifat opbtruksi fungsional atau mekanik.

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga

mekanisme yang pertama,sedangkan mekanisme yang keempat terutama

mengakibatkan terkonjugasi.

PEMBENTUKAN BILIRUBIN SECARA BERLEBIHAN

Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah

merah merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang

berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi

dan transfer pigmen empedu berlangsungnormal, tetapi suplai bilirubin tak

terkonjugasi melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus hemolitik

yang sering adalah hemoglobin abnormal ( hemoglobin S pada animea sel

sabit), sel darah merah abnormal ( sterositosis herediter ), anti body dalam

serum ( Rh atau autoimun ), pemberian beberapa obat-obatan, dan beberapa

limfoma atau pembesaran ( limpa dan peningkatan hemolisis ). Sebagaian

kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan destruksi sel

darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang ( talasemia, anemia

persuisiosa, porviria ). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif

Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg / 100 ml pada bayi

dapat mengakibatkan Kern Ikterus.

GANGGUAN PENGAMBILAN BILIRUBIN

Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh

sel-sel hati dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan

. 13

Page 14: Lap.GEH KEL 10

mengikatkan pada protein penerima. Hanya beberapa obat yang telah

terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel

hati, asam flafas pidat ( di pakai untuk mengobati cacing pita ), nofobiosin,

dan beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi

dan Ikterus biasanya menghilang bila obat yang menjadi penyebab di

hentikan. Dahulu Ikterus Neonatal dan beberapa kasus sindrom Gilbert

dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam

pengambilan oleh hati. Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di

temukan defisiensi glukoronil tranferase sehingga keadaan ini terutama

dianggap sebagai cacat konjugasi bilirubin.

GANGGUAN KONJUGASI BILIRUBIN

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml )

yang mulai terjadi pada hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus

Fisiologis pada Neonatus. Ikterus Neonatal yang normal ini disebabkan oleh

kurang matangnya enzim glukoronik transferase. Aktivitas glukoronil

tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar

minggu ke dua, dan setelah itu Ikterus akan menghilang.

Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan

Bilirubin tak terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak.

Bila keadaan ini tidak di obati maka akan terjadi kematian atau kerusakan

Neorologik berat tindakan pengobatan saat ini dilakukan pada Neonatus

dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi.

Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau

( gelombang yang panjangnya 430 sampai dengan 470 nm ) pada kulit bayi

yang telanjang. Penyinaran ini menyebabkan perubahan struktural Bilirubin

( foto isumerisasi ) menjadi isomer-isomer yang larut dalam air, isomer ini

akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di konjugasi

terlebih dahulFemobarbital ( Luminal ) yang meningkat aktivitas glukororil

transferase sering kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini.

PENURUNAN EKSKRESI BILIRUBIN TERKONJUGASI

. 14

Page 15: Lap.GEH KEL 10

Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor

Fungsional maupun obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia

terkonjugasi .Karena bilirubin terkonjugasi latut dalam air,maka bilirubin ini

dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin dan

kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering

berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi

dapat di sertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti

peningkatan kadar fostafe alkali dalam serum, AST, Kolesterol, dan garam-

garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam darah

menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh

hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning di bandingkan

dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari

kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total

aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik,

yang merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat

intrahepatik ( mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra

hepatik ( mengenai saluran empedu di luar hati ). Pada ke dua keadaan ini

terdapat gangguan niokimia yang sama

2.5.1 Proses Perkembangan Hati dan Hubungannya dengan Kejadian

Ikterus

2.5.2 Disfungsi Enzim Glukorinil Transferase dan Hubungannya

dengan Kejadian Ikterus

2.5.3 Gangguan Metabolik Hati dan Hubungannya dengan Kejadian

Ikterus

2.5.4 Proses Inflamasi pada Hati dan Hubungannya dengan Kejadian

Ikterus

Pada ikterus kholestatik, inflamasi terjadi adanya kerusakan dari sel

parenkim hati yang menyebabkan gangguan aliran dari garam bilirubin

dalam hati akibatnya bilirubin tidak sempurna dikeluarkan kedalam duktus

. 15

Page 16: Lap.GEH KEL 10

hepatikus,sehingga terjadi penyumbatan, dan penyumbatan tersebut

menyebabkan ikterus.

HBV : Virus masuk kedalam tubuh, kemudian ia me-replikasi terutama

dihati tetapi dapat juga dalam limfosit, limpa, ginjal dan pankreas.

Kemudian terjadi proses inflamasi berbentuk infiltrat panlobuler dengan

sel mononukleus, nekrosis sel hati, hiperplasia sel kuffer, dan berbagai

macam derajat kolestatis. Terdapat regenerasi sel hati, seperti mitosis, sel

multinukleus, dan pembentukan “rosette”\”pseudoasiner”. Sehingga terjadi

kerusakan parenkim hati yang menyebabkan kesukaran pengangkutan

bilirubin tersebut didalam hati, selain itu juga terjadi kesulitan konjugasi.

Dari semua kejadian yang telah disebutkan diatas dapat menyebabkan

ikterus.

2.5.5 Apa Saja yang Terjadi pada Bayi Lahir KPD > 24 jam dan

Hubungannya dengan Kejadian Ikterus

2.5.6 Gangguan Ambilan Bilirubin dan Hubungannya dengan

Kejadian Ikterus

2.5.7 Gangguan Proses Eritropoiesis dan Hubungannya dengan

Kejadian Ikterus

Sumsung tulang dalam keadaan normal menghasilkan sel darah

merah dengan kecepatan luar biasa 2 – 3 juta per detik untuk

mengimbangi musnahnya sel-sel tua, proses ini disebut eritropoiesis.

Eritropoeisis adalah proses terbentuknya eritrosit. Proses ini telah

dimulai sejak masa fetus dan merupakan bagian dari proses

hematopoeisis atau pembentukan sel darah manusia secara

keseluruhan, yang mencakup eritropoeisis, megakaryopoeisis,

granulopoeisis, limfopoeisis, monositopoeisis dan plasmapoeisis.

Selama perkembangan masa janin, eritrosit mula-mula dibentuk

di yolc sac. Ketika lahir pembentukan terjadi di hati dan limpa,

ketika dewasa beralih ke sumsum tulang. Dalam keadaan normal

. 16

Page 17: Lap.GEH KEL 10

eritropoeisis pada orang dewasa terutama terjadi di sum-sum tulang

pipih, tulang vertebra dan bagian proksimal tulang panjang (sumsum

merah). Di dalam sumsum merah terdapat sel bakal pluripoten yang

terus berdiferensiasi menjadi berbagai sel darah

Sel pertama yang dikenali dari rangkaian sel darah merah adalah

proeritroblas. Kemudian membelah beberapa kali menjadi eritroblas

basofil. Sel ini merupakan sel generasi pertama yang sudah dapat

dipulas dengan zat warna basa namun masih menampung sedikit Hb.

Eritroblas basofil berdiferensiasi menjadi seritroblas polikromatofil

kemudian menjadi eritroblas ortokromatik. Pada tingkat retikulosit

muda, eritrosit ini telah kehilangan daya adhesifnya, sehingga mudah

masuk ke dalam jaringan sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam

aliran darah lalu masuk ke pembuluh darah. Eritrosit ini jumlahnya

mencapai 5 juta/mm kubik, dan mempunyai jangka waktu hidup

selama 120 hari.

Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada bagan berikut:

Seiring dengan berjalannya waktu, eritrosit yang sudah tua, akan

dihancurkan oleh sistem retikuloendothelial (hati, limpa, sumsum tulang).

Protein yang dihasilkan akan dipecah menjadi asam amino yang dapat

dipergunakan lagi. Sedangkan bagian heme dari Hb dipecah menjadi  Fe dan

. 17

Page 18: Lap.GEH KEL 10

biliverdin, yang nantinya diekskresikan melalui saluran empedu sebagai

bilirubin.

 Sebagian besar eritrosit mengakhiri hidupnya di limpa

dikarenakan jaringan kapiler organ ini sempit sehingga sel menjadi rapuh.

Cara lain adalah dengan pengeluaran eritrosit usang pada hati oleh

mekanisme makrofag. Dalam limpa, sebelum eritrosit masuk ke dalam sinus

limpa, eritrosit harus melewati bagian pulpa limpa dan akan diperas

sehingga sel-sel eritrosit tersebut akan rapuh karena trauma tersebut. Proses

destruksi eritrosit terjadi secara normal setelah masa hidup eritrosit habis

(sekitar 120 hari). Proses ini terjadi melalui mekanisme yang terdiri dari:

1. Fragmentasi

Mekanisme fragmentasi terjadi apabila kehilangan beberapa bagian

membran eritrosit sehingga menyebabkan isi sel keluar termasuk

hemoglobin.

2. Lisis Osmotik

Tekanan osmotik plasma merupakan gambaran terjadinya

kecenderungan mendorong air dan Na dari daerah konsentrasi tinggi di

interstisium ke daerah dengan konsentrasi air rendah di plasma (atau

konsentrasi protein plasma lebih tinggi). Sehingga protein plasma dapat

dianggap “menarik air” ke dalam plasma. Hal ini dapat mengakibat

lisis eritrosit yang disebabkan oleh efek osmotik.

3. Eritrofagositosis

Mekanisme destruksi eritrosit ini melalui fagositosis yang dilakukan

oleh monosit, neutrofil, makrofag. Fagositosis eritrosit ini terutama

terjadi pada eritrosit yang dilapisi antibody. Mekanisme ini

meruapakan salah satu indikator adanya AutoImun Hemolitic Anemia

(AIHA).

4. Sitolisis

Sitolisis biasanya dilakukan oleh komplemen (C5, C6, C7, C8, C9).

Sitolisis ini meruapakan indikator Peroxysimal Nocturnal

Haemoglobinuria (PNH).

5. Denaturasi Hemoglobin

. 18

Page 19: Lap.GEH KEL 10

Hemoglobin yang terdenaturasi akan mengendap menbentuk Heinz

bodies. Eritrosit dengan Heinz bodies akan cepat didestruksi oleh

limpa. Heinz bodies melekat pada membran permeabilitas membesar

sehingga mengakibatkan lisis osmotik juga.

Destruksi yang terjadi karena proses penuaan disebut proses

senescence, sedangkan destruksi patologis disebut hemolisis.

Hemolisis dapat terjadi intravaskuler dapat juga terjadi ekstravaskuler,

terutama dalam sistem RES (reticuloendotelial system) yaitu lien

(limpa) dan hati.

Hemolisis yang terjadi pada eritrosit akan mengakibatkan terurainya

komponen-komponen hemoglobin menjadi :

1. Komponen protein yaitu globin yang akan dikembalikan ke pool

protein

dan dapat dipakai kembali.

2. Komponen heme akan pecah menjadi 2 :

a. Besi : yang akan dikembalikan ke pool protein dan dapat

dipakai kembali.

b. b. Bilirubin : yang akan diekskresikan melalui hati dan

empedu.

Produk akhir dari pemecahan sel darah merah salah satunya

adalah bilirubin. Maka kemungkinan yang bisa terkait dengan

timbulnya ikterus adalah proses hemolisa yang berlebih atau

pemecahan ertrosit muda akibat eritropoiesis inefektif di

sumsum tulang. Proses hemolisa berlebih salah satunya

terjadi pada anemia hemolitik.

IKTERUS HEMOLITIK

Ikterus hemolitik merupakan suatu penyakit karena peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah yang penyebab utamanya dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan. Beberapa

. 19

Page 20: Lap.GEH KEL 10

penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah abnormal (sterositosis herediter), anti body dalam serum (Rh atau autoimun), pemberian beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa dan peningkatan hemolisis). Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan destruksi sel darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang (talasemia, anemia persuisiosa, porviria). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif. Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg / 100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern Ikterus.

Ikterus Hemolitik pada umumnya merupakan suatu golongan penyakit yang disebut Erythroblastosis foetalis atau Morbus Haemolitik Neonatorum (Hemolytic disease of the new born). Penyakit hemolitik ini biasanya disebabkan oleh Inkompatibilitas golongan darah dan bayi.

a) Inkompatibilitas Rhesus

Penyakit ini terutama terdapat di negeri barat karena 15 % Penduduknya mempunyai golongan darah Rhesus negatif. Di Indonesia, dimana penduduknya hampir 100% Rhesus positif, terutama terdapat dikota besar, tempat adanya pencampuran penduduk dengan orang barat. Walaupun demikian, kadang-kadang dilakukan tranfusi tukar darh pada bayi dengan ikterus karena antagonismus Rhesus, dimana tidak didapatkan campuran darah dengan orang asing pada susunan keluarga orang tuanya.

Bayi Rhesus positif dari Rhesus negatif tidak selamanya menunjukkan gejala klinik pada waktu lahir, tetapi dapat terlihat ikterus pada hari pertama kemudian makin lama makin berat ikterusnya, disertai dengan anemia yang makin lama makin berat pula. Bila mana sebelum kelahiran terdapat hemolisis yang berat maka bayi dapat lahir dengan oedema umum disertai ikterus dan pembesaran hepar dan lien ( hydropsfoetalis ). Terapi ditujukan untuk memperbaiki anemia dan mengeluarkan bilirubin yang berlebihan dalam serum, agar tidak terjadi Kern Ikterus.

b) Inkompatibilitas ABO

Penderita Ikterus akibat hemolisis karena inkompatibilitas golongan darah ABO lebih sering ditemukan di Indonesia daripada inkompatibilitas Rh. Transfusi

. 20

Page 21: Lap.GEH KEL 10

tukar darah pada neonatus ditujukan untuk mengatasi hiperbilirubinemia Inkompatibilitas ABO.

Ikterus dapat terjadi pada hari pertama dan ke dua yang sifatnya biasanya ringan. Bayi tidak tampak sakit, anemianya ringan, hepar dan lien tidak membesar, ikterus dapat menghilang dalam beberapa hari. Kalau hemolisisnya berat, sering kali diperlukan juga transfusi tukar darah untuk mencegah terjadinya Kern Ikterus. Pemeriksaan yang perlu dilakukan ialah pemeriksaan kadar bilirubin serum sewaktu-waktu.

c) Ikterus hemolitik karena incompatibilitas golongan darah lain.

Selain inkompatibilitas darah golongan Rh dan ABO, hemolisis dapat pula terjadi bila terdapat inkompatibilitas darah golongan Kell, Duffy, MN, dan lain-lain. Hemolisis dan ikterus biasanya ringan pada neonatus dengan ikterus hemolitik, dimana pemeriksaan kearah inkimpatibilitas Rh dan ABO hasilnya negatif, sedang coombs test positif, kemungkinan ikterus akibat hemolisis inkompatibilitas golongan darah lain.

d) Penyakit hemolitik karena kelainan eritrosit kongenital.

Golongan penyakit ini dapat menimbulkan gambaran klinik yang menyerupai erytrhoblasthosis foetalis akibat isoimunisasi. Pada penyakit ini coombs test biasanya negatif. Beberapa penyakit lain yang dapat disebut ialah sperositosis kongenital, anemia sel sabit ( sichle – cell anemia ), dan elyptocytosis herediter.

e) Hemolisis karena diferensi enzyma glukosa-6-phosphat dehydrogenase ( G-6-PD defeciency ).

Penyakit ini mungkin banyak terdapat di indonesia tetapi angka kejadiannya belum di ketahui dengan pasti defisiensi G-6-PD ini merupakan salah satu sebab utama icterus neonatorum yang memerlukan transfusi tukar darah. Icterus walaupun tidak terdapat faktor oksigen, misalnya obat-obat sebagai faktor pencetusnya walaupun hemolisis merupakan sebab icterus pada defesiensi G-6-PD, kemungkinan besar ada faktor lain yang ikut berperan, misalnya faktor kematangan hepar.

2.5.8 Gangguan respon Imun dan Hubungannya dengan Kejadian Ikterus

. 21

Page 22: Lap.GEH KEL 10

Antigen mula-mula ditangkap oleh APC dan dipresentasikan ke sel T. pada

waktu yang bersamaan sel APC melepas IL-1 yang mengaktifkan sel T. sel T

yang diaktifkan melepas berbagai interleukin.

Dalam respon terhadap kebanyakan antigen (kecuali antigen sel T

independen) antigen pelru diproses dahulu oleh sel APC. Hal ini disebabkan oleh

karena sel T yang merupakan regulator dari respons imun, hanya mengenal

antigen melalui molekul MHC kelas II (MHC restricted). Sel-sel yang memiliki

permukaan MHC kelas II dan berfungsi sebagai APC adalah makrofag, sel

dendritik, sel langerhans di kulit, sel kupffer di hati, sel microglia di susunan saraf

pusat, sel B dan sekitar 1% dari semua sel monosit perifer.

Sebagai regulator respons imun, sel Th mengaktifkan limfosit lainnya dari

sistim imun seperti sel B, sel Te dan sel Tdh. Aktivasi sel Th tersebut memerlukan

2 signal, yang pertama berasal dari ikatan antara reseptor antigen pada permukaan

sel T dengan kompleks antigen MHC kelas II pada sel APC dan kedua berasal

dari interleukin-1 (protein larut yang diproduksi sel APC). Kedua signal bersama-

sama akan meningkatkan reseptor/ekspresi permukaan untuk limfokin lain, IL-2

serta produksi factor pertumbuhan dan diferensiasi antara lain untuk sel B dan

makrofag. IL-2 meningkatkan pertumbuhan sel yang memiliki ekspresi IL-2

termasuk sel Th sendiri dan sel Tc. Jadi fungsi utama IL-2 ialah meningkatkan

respon imun.

Sel B menjadi sel plasma yang memproduksi antibody. Sel B yang relevan

juga mengikat antigen melalui reseptornya (berupa antibody yang diikat pada

permukaan selnya dan sama dengan jenis antibody yang akan disekresinya

kemudian). Ikatan tersebut merupakan signal aktivasi awal. Untuk aktivasi

lengkap dari sel B masih diperlukan signal dari sel Th berupa B cell growth factor

(BCGF) dan sel B cell differentiating factor (BCDF).

BCGF merangsang proliferasi sel B dan BCDF merangsang sel B untuk

diferensiasi menjadi plasma dan membentuk antibody. Antibody tersebut akan

membentuk kompleks imun dan menyebabkan inflamasi

Mekanisme ikterus akibat virus

. 22

Page 23: Lap.GEH KEL 10

Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh

infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia.

Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobul dan unit ini unik karena memiliki

suplai darah sendiri. Sering dengan berkembangnya inflamasi pada hepar, pola

normal pada hepar terganggu. Gangguan suplay darah normal pada sel-sel hepar

ini menyebabkan nekrosis dan kerusakan sel-sel hepar. Karena adanya kerusakan

sel hati dan duktuli empedu intrahepatik, maka terjadi kesukaran pengangkutan

billirubin tersebut didalam hati. Selain itu juga terjadi kesulitan dalam hal

konjugasi. Akibatnya billirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui duktus

hepatikus, karena terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi

pada duktuli, empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun

bilirubin yang sudah mengalami konjugasi (bilirubin direk). Jadi ikterus yang

timbul disini terutama disebabkan karena kesukaran dalam pengangkutan,

konjugasi dan eksresi bilirubin.

Karena bilirubin konjugasi larut dalam air, maka bilirubin dapat dieksresi

ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin urine dan kemih berwarna

gelap. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai peningkatan garam-

garam empedu dalam darah yang akan menimbulkan gatal-gatal pada ikterus.

2.5.9 Obat Hepatotoksik yang Dapat Menyebabkan Kejadian Ikterus

2.5.10 Hubungan Riwayat Diabetes dengan Kejadian Ikterus

3. Hubungan riwayat diabetes dengan ikterus neonatorum tidak dapat dikaitkan secara langsung, mekanisme mengenai hubungan ini masih dalam proses penelitian. Secara tidak langsung, keterkaitan antara kedua hal ini dapat dikaitkan dalam hal sebagai berikut :

Pada suatu penelitian yang dilakukan di Harvard Medical School, Boston Amerika serikat, dalam jurnal yang berjudul :” Diabetes causes inhibition of glucose-6-phosphate dehydrogenase via activation of PKA, which contributes to oxidative stress in rat kidney cortex”.

4. Dalam jurnal tersebut, diterangkan bahwa hyperglikemi kronis akibat diabetes dapat mengakibatkan adanya penurunan aktivitas enzim G6PD pada kortex ginjal. Dimana defisiensi enzim ini suatu kelainan enzim yang terkait kromosom sex (x-linked), yang diwariskan. Sehingga dalam kata lain seorang anak yang lahir dari

. 23

Page 24: Lap.GEH KEL 10

seorang ibu dengan defisiensi G6PD dapat mewariskan defisiensi G6PD kepada anaknya. Enzim G6PD berperan dalam mempertahankan keutuhan sel darah merah serta menghindarkan kejadian hemolitik, Pada defisiensi G6PD kadar NADPH berkurang, sehingga adanya paparan terhadap stress oksidan akan mempengaruhi pembentukan ikatan disulfide, mengakibatkan hemoglobin mengalami denaturasi dan membentuk partikel kental (Heinz bodies). Heinz bodies akan berikatan dengan membran sel, menyebabkan perubahan isi, elastisitas, dan permeabilitas sel.

5. Sel darah merah pada kondisi tersebut dikenali sebagai sel darah merah yang rusak dan akan dihancurkan oleh sistem retikulo-endotelial (lien, hepar dan sumsum tulang) proses hemolitik.proses hemolitik diawali dari dilepaskan heme dari hemoglobin sel darah merah yang mengalami hemolisis di sel-sel retikuloendothelial dan dari hemoprotein lain, seperti mioglobin, katalase,peroksidase, sitokrom dan nitrit oksida sintase, yang terdapat pada berbagai organ dan jaringan. Selanjutnya, globin akan diuraikan menjadi unsur-unsur asam amino pembentuk semula untuk digunakan kembali, zat besi dari heme akan memasuki depot zat besi yang juga untuk pemakaian kembali, sedangkan heme akan dikatabolisme melalui serangkaian proses enzimatik. Bagian porfirin tanpa besi pada heme juga diuraikan, terutama di dalam sel-sel retikuloendotelial pada hati, limpa dan sumsum tulang.

6. Heme yang dilepaskan dari hemoglobin akan didegradasi oleh suatu proses enzimatis di dalam fraksi mikrosom sel retikuloendetelial. Proses ini dikatalisir oleh enzim heme oksigenase, yaitu enzim pertama dan enzyme pembatas-kecepatan (a rate-limiting enzyme) yang bekerja dalam suatu reaksi dua tahap dengan melibatkan Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH) dan oksigen. Sebagaimana dilukiskan dalam gambar 1, heme akan direduksi oleh NADPH, dan oksigen ditambahkan pada jembatan α-metenil antara pirol I dan II porfirin. Dengan penambahan lebih banyak oksigen, ion feri

. 24

Page 25: Lap.GEH KEL 10

(Fe+++) dilepaskan, kemudian dihasilkan karbon monoksida dan biliverdin IX-α dengan jumlah ekuimolar dari pemecahan cincin tetrapirol. Metalloporfirin, yaitu analog heme sintetis, dapat secara kompetitif menginhibisi aktivitas heme oksigenase (ditunjukkan oleh tanda X pada gambar) Karbon monoksida mengaktivasi GC (guanylyl cyclase) menghasilkan pembentukan cGMP (cyclic guanosine monophosphate). Selain itu dapat menggeser oksigen dari oksi hemoglobin atau diekshalasi. Proses ini melepaskan oksigen dan menghasilkan karboksi hemoglobin. Selanjutnya karboksi hemoglobin dapat bereaksi kembali dengan oksigen, menghasilkan oksi hemoglobin dan karbon monoksida yang diekshalasi. Jadi rangkaian reaksi ini sebenarnya merupakan reaksi dua arah 6. Biliverdin dari hasil degradasi heme selanjutnya direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase di dalam sitosol. Bilirubin disebut sebagai bilirubin indirek (unconjugated bilirubin), yang terbentuk dalam jaringan perifer akan diikat oleh albumin, diangkut oleh plasma ke dalam hati. Peristiwa metabolisme ini dapat dibagi menjadi tiga proses : (1) pengambilan bilirubin oleh sel parenkim hati, (2) konjugasi bilirubin dalam reticulum endoplasma halus, dan (3) sekresi bilirubin terkonjugasi ke dalam empedu. Jadi percepatan hemolisis dapat mempercepat terjadinya pembentukan bilirubin. Jika percepatan proses pembentukan ini tidak dibarengi dengan jumlah sel darah merah, maka akan terjadi hiperbilirubinemia, yang mengakibatkan terjadinya ikterus.

2.6 Mengapa Pada Bayi Buang Air Kecil Kuning Seperti Teh namun Buang

Air Besar Normal

2.7 Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Ikterus

. 25

Page 26: Lap.GEH KEL 10

2.8 Faktor Risiko yang Dapat Menyebabkan Ikterus

2.9 Langkah Diagnosa Pada Pasien Ikterus

2.10 Epidemiologi dan Pencegahan pada Pasien Ikterus

2.11 Penatalaksanaan Pasien Ikterus

Berdasarkan pada penyebabnya maka manajemen bayi dengan hiperbilirubinemia

diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari hiperbilirubinemia.

Pengobatan mempunyai tujuan :

1. Menghilangkan anemia

2. Menghilangkan antibody maternal dan eritrosit teresensitisasi

3. Meningkatkan badan serum albumin

4. Menurunkan serum bilirubin

Metode terapi hiperbilirubinemia meliputi : fototerapi, transfuse pangganti, infuse

albumin dan therapi obat.

a. Fototherapi

Fototerapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse

pengganti untuk menurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada

cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a bound of fluorescent light bulbs

or bulbs in the blue light spectrum) akan menurunkan bilirubin dalam

kulit. Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi

ekskresi bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang

diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer

yang disebut fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke

pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah fotobilirubin

berikatan dengan albumin dan di kirim ke hati. Fotobilirubin kemudian

bergerak ke empedu dan di ekskresikan kedalam duodenum untuk di

. 26

Page 27: Lap.GEH KEL 10

buang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh hati. Hasil fotodegradasi

terbentuk ketika sinar mengoksidasi bilirubin dapat dikeluarkan melalui

urine.

Fototerapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar

bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis

dapat menyebabkan anemia.

Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5

mg/dl. Noenatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram

harus difototerapi dengan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa

ilmuwan mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksasi pada 24

jam pertama pada bayi resiko tinggi dan berat badan lahir rendah.

b. Transfusi Pengganti

Ialah suatu tindakan mengganti darah bayi yang mengandung kadar

bilirubin yang sangat tinggi (lebih dari 20 mg/dl pada bayi usia 2 hari,

lebih dari 25 mg/dl pada bayi usia lebih dari 2 hari) dengan darah donor

yang sesuai dengan darah bayi.

Transfuse pengganti atau imediat didindikasikan adanya faktor-faktor :

1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu

2. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir

3. Penyakit hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama

4. Kadar bilirubin direk labih besar 3,5 mg/dl di minggu pertama

5. Serum bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl pada 48 jam pertama

6. Hemoglobin kurang dari 12 gr/dl

. 27

Page 28: Lap.GEH KEL 10

7. Bayi pada resiko terjadi kern Ikterus

Transfusi pengganti digunkan untuk:

1. Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible (rentan)

terhadap sel darah merah terhadap antibody maternal

2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang tersensitisasi (kepekaan)

3. Menghilangkan serum ilirubin

4. Meningkatkan albumin bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatan

dangan bilirubin

Pada Rh Inkomptabilitas diperlukan transfuse darah golongan O segera

(kurang dari 2 hari), Rh negative whole blood. Darah yang dipilih

tidak mengandung antigen A dan antigen B. setiap 4 -8 jam kadar

bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai

stabil.

c. Therapi Obat

Phenobarbital dapat menstimulus hati untuk menghasilkan enzim yang

meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini

efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa

minggu sebelum melahirkan. Penggunaan Phenobarbital pada post natal

masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin

dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga

menurunkan siklus enterohepatika

d. Pemberian ASI (Air Susu Ibu)

Pada bayi yang kuning sebagian ibu-ibu menghentikan pemberian

ASI. Justrupemberian ASI tidak boleh dihentikan, bahkan harus

ditingkatkan (lebih kurang 10-12 kali sehari)3. Banyak minum ASI dapat

membantu menurunkan kadar bilirubin, karena bilirubin dapat dikeluarkan

. 28

Page 29: Lap.GEH KEL 10

melalui air kencing dan kotoran bayi4. Sedangkan pemberian banyak air

putih tidak akan  menurunkan kadar bilirubin.

e. Terapi dengan sinar matahari

Terapi dengan sinar matahari saat ini masih menjadi perdebatan. Dasar

pemberian sinar matahari karena sinar matahari mempunyai panjang

gelombang sekitar 450-460 nm. Sinar yang mempunyai spektrum emisi

pada panjang gelombang tersebut (warna biru, putih dan sinar matahari),

akan memecah bilirubin menjadi zat yang mudah larut dalam air.

Bayi yang kuning dengan kadar fisiologis, dapat dijemur di bawah sinar

matahari pagi antara pukul 07.00 sampai 09.00, adalah merupakan waktu

yang paling efektif, jadi tidak dapat sepanjang waktu, serta belum terlalu

panas. Penjemuran biasanya diberikan  selama lebih kurang 15 hingga 30

menit3. Bayi dijemur tanpa busana, lindungi mata dan kemaluan bayi dari

sorot sinar matahari secara langsung4.

Beberapa ahli yang tidak setuju dengan penjemuran, berpendapat bahwa

meletakkan bayi dibawah sinar matahari tidak akan menurunkan kadar

bilirubin dalam darah. Malahan sinar matahari tersebut akan menyebabkan

luka bakar pada kulit. Selain itu bayi akan kedinginan. Oleh karena itu

yang terpenting ialah memberikan ASI secara cukup dan teratur pada bayi-

bayi yang kuning, bahkan dengan frekuensi yang lebih ditingkatkan3.

Kuning ialah suatu pertanda, merupakan proses alamiah walaupun  dapat

pula menjadi sesuatu yang patologis. Yang penting diperhatikan

ialahkuning harus dapat dikendalikan sehingga tidak menjadikan bahaya.

Penjemuran dengan sinar matahari masih dapat dilakukan dengan

memperhatikan kondisi-kondisi yang menjadi kontra indikasi3. 

. 29

Page 30: Lap.GEH KEL 10

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran dan Kritik

. 30

Page 31: Lap.GEH KEL 10

DAFTAR PUSTAKA

Supandiman, Imam. Hematologi Klinik Edisi ke 2. bandung : P.T.

ALUMNI.1997.

Guyton. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi 3. Jakarta : EGC.

1992.

A. Price, sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4

buku. Jakarta : EGC. 1994.

FKUI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 3 Jilid II. Jakarta : Balai Penerbit

FKUI. 2001.

Bahan- bahan Kuliah Sistem Hematologi. Jakarta. 2005.

K. Murray, Robert dkk. Biokimia Harper Edisi 25. Jakarta : EGC.2003

. 31