krisis tiroid
TRANSCRIPT
KRISIS TIROID
Krisis tiroid adalah penyakit yang jarang terjadi, yaitu hanya terjadi sekitar 1-
2% pasien hipertiroidisme. Sedangkan insidensi keseluruhan hipertiroidisme sendiri
hanya berkisar antara 0,05-1,3% dimana kebanyakan bersifat subklinis. Namun,
krisis tiroid yang tidak dikenali dan tidak ditangani dapat berakibat sangat fatal.
Angka kematian orang dewasa pada krisis tiroid mencapai 10-20%. Bahkan
beberapa laporan penelitian menyebutkan hingga setinggi 75% dari populasi pasien
yang dirawat inap. Dengan tirotoksikosis yang terkendali dan penanganan dini krisis
tiroid, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 20%. Diagnosis krisis
tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Hal lain
yang penting diketahui adalah bahwa krisis tiroid merupakan krisis fulminan yang
memerlukan perawatan intensif dan pengawasan terus-menerus. Dengan diagnosis
yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan baik. Oleh
karena itu, diperlukan pemahaman yang tepat tentang krisis tiroid, terutama
mengenai diagnosis dan penatalaksaannya.
DEFINISI
Krisis tiroid merupakan komplikasi hipertiroidisme yang jarang terjadi tetapi
berpotensi fatal. Krisis tiroid harus dikenali dan ditangani berdasarkan manifestasi
klinis karena konfirmasi laboratoris seringkali tidak dapat dilakukan dalam rentang
waktu yang cukup cepat. Pasien biasanya memperlihatkan keadaan hipermetabolik
yang ditandai oleh demam tinggi, takikardi, mual, muntah, agitasi, dan psikosis. Pada
fase lanjut, pasien dapat jatuh dalam keadaan stupor atau komatose yang disertai
dengan hipotensi. Awalnya, timbul hipertiroidisme yang merupakan kumpulan gejala
akibat peningkatan kadar hormon tiroid yang beredar dengan atau tanpa kelainan
fungsi kelenjar tiroid. Ketika jumlahnya menjadi sangat berlebihan, terjadi kumpulan
gejala yang lebih berat, yaitu tirotoksikosis. Krisis tiroid merupakan keadaan dimana
terjadi dekompensasi tubuh terhadap tirotoksikosis tersebut. Tipikalnya terjadi pada
pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terobati atau tidak tuntas terobati yang
dicetuskan oleh tindakan operatif, infeksi, atau trauma.
ETIOLOGI
Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter multinodular toksik,
nodul toksik, tiroiditis Hashimoto, tiroiditas deQuevain, karsinoma tiroid folikular
metastatik, dan tumor penghasil TSH. Etiologi yang paling banyak menyebabkan
krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik). Meskipun tidak biasa terjadi,
krisis tiroid juga dapat merupakan komplikasi dari operasi tiroid. Kondisi ini
diakibatkan oleh manipulasi kelenjar tiroid selama operasi pada pasien
hipertiroidisme. Krisis tiroid dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah operasi.
Operasi umumnya hanya direkomendasikan ketika pasien mengalami penyakit
Graves dan strategi terapi lain telah gagal atau ketika dicurigai adanya kanker tiroid.
Krisis tiroid berpotensi pada kasus-kasus seperti ini dapat menyebabkan kematian.
Faktor pencetus lain termasuk:
Trauma dan tekanan
Infeksi, terutama infeksi paru-paru
Pembedahan tiroid pada pasien dengan overaktivitas kelenjar tiroid
Mengentikan obat-obatan yang diberikan pada pasien hipertiroidisme
Dosis penggantian hormone tiroid yang terlalu tinggi
Pengobatan dengan radioaktif yodium
Kehamilan
Serangan jantung atau kegawatdaruratan jantung
PATOFISIOLOGI
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone
(TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-
stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid
melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone
thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi
bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1)
bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat
pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat
sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar
hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar
pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini
melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari
kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH.
Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit
ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor
TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid.
Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1.
Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai
oleh 3,5-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga
merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon
hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak
sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis
berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring
meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau
meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon
sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan
menyebabkan kematian. Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan
kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan
kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin
maupun norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini
telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki
kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa
komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor
adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar
tiroid dan katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan
hormon tiroid meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga
menamnah efek katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-
blockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti
pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau
normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini
tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid
pada tirotoksikosis.
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat
patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat
terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon
tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika
kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai
rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah
diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat
mirip katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung
dari hormon tiroid sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.
GAMBARAN KLINIS DAN KRITERIA DIAGNOSIS
Tidak ada kriteria diagnosis yang absolut. Diagnosis didasarkan atas riwayat
penyakit (tanda-tanda tiroksikosis yang berat: berdebar-debar, keringat berlebihan,
berat badan turun drastis, diare, sesak nafas, gangguan kesadaran).
Pada anamnesis biasanya penderita akan mengeluh adanya kehilangan berat
badan sebesar 15% dari berat badan sebelumnya, nyeri dada, menstruasi yang tidak
teratur pada wanita, sesak nafas, mudah lelah, banyak berkeringat, gelisah dan
emosi yang tidak stabil. Dapat juga menimbulkan keluhan gastrointestinal seperti
mual, muntah, nyeri perut.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur konsisten
melebihi 38,5°C. Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia hingga melebihi
41°C dan keringat berlebih. Tanda-tanda kardiovaskular yang ditemukan antara lain
hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar atau hipotensi pada fase berikutnya
dan disertai syok. Takikardi terjadi tidak bersesuaian dengan demam. Tanda-tanda
gagal jantung antara lain aritmia (paling banyak supraventrikular, seperti fibrilasi
atrium, tetapi takikardi ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan tanda-tanda
neurologik mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan tanda piramidal
transien, tremor, kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis mencakup tanda
orbital dan goiter.
Karena tingkat mortalitas krisis tiroid amat tinggi, maka kecurigaan krisis saja
cukup menjadi dasar mengadakan tindakan agresif. Kecurigaan akan terjadi krisis
apabila terdapat triad :
Menghebatnya tanda tirotoksikosis
Kesadaran menurun
Hipertermia
Apabila terdapat triad, maka kita dapat meneruskan dengan menggunakan
skor indeks klinis krisis tiroid dari Burch-Wartosky. Skor menekankan 3 gejala pokok,
yaitu: hipertermia, takikardi, dan disfungsi susunan saraf:
KRITERIA DIAGNOSIS UNTUK KRISIS TIROID
Disfungsi pengaturan panas (suhu)
99-99.0 5
100-100.9 10
101-101.9 15
102-102.9 20
103-103.9 25
> 104.0 30
Efek pada susunan saraf pusat
Tidak ada 0
Ringan (agitasi) 10
Sedang (delirium, psikosis, letargi berat) 20
Berat (koma, kejang) 30
Disfungsi gastrointestinal-hepar
Tidak ada 0
Ringan (diare, nausea/muntah/nyeri perut) 10
Berat (ikterus tanpa sebab yang jelas) 20
Disfungsi kardiovaskular (takikardi)
99-109 5
110-119 10
120-129 15
130-139 20
> 140 25
Gagal jantung
Tidak ada 0
Ringan (edema kaki) 5
Sedang (ronki basal) 10
Berat (edema paru) 15
Fibrilasi atrium
Tidak ada 0
Ada 10
Riwayat pencetus
Ada 0
Tidak ada 10
Keterangan: pada kasus toksikosis pilih angka tertinggi.
> 45 Highly Suggestive (sangat mungkin krisis tiroid)
25-44 Suggestive of Impending Storm (ancaman krisis tiroid)
< 25 Kemungkinan kecil
GAMBARAN LABORATORIUM
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran
laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh
ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium atas
tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid, biasanya akan ditemukan konsisten
dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat hanya jika pasien belum
terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan mungkin tidak akan didapat dengan
cepat dan biasanya tidak membantu untuk penanganan segera. Temuan biasanya
mencakup:
T3 dan FT4 meningkat
TSH rendah
Bisa ditemukan anemia normositik normokrom dengan limfositosis relative
Hiperglikemia sering ditemukan
Enzim transaminase hati meningkat
Azotemia prarenal akibat gagal jantung dan dehidrasi
PENATALAKSANAAN
Pengobatan harus segera diberikan,jangan tunda pengobatan jika dicurigai
terjadinya krisis tiroid. Kalau mungkin dirawat di Intensiv Care Unit untuk
mempermudah pemantauan tanda vital, untuk pemasangan monitoring invasive,
pemberian obat-obat inotropik jika diperlukan. Penatalaksanaan krisis tiroid:
Perawatan suportif
Atasi factor pencetus segera
Koreksi gangguan cairan dan elektrolit
Kompres atau pemberian antipiretik, asetaminofen lebih dipilih
Atasi gagal jantung dengan oksigen, diuretik, dan digitalis.
Mengoreksi hipertiroidisme dengan cepat
Penatalaksanaan: Menghambat Sintesis Hormon Tiroid
Senyawa anti-tiroid seperti propylthiouracil (PTU) dan methimazole (MMI)
digunakan untuk menghambat sintesis hormon tiroid. PTU juga menghambat
konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer dan lebih disukai daripada MMI pada
kasus-kasus krisis tiroid. Sedangkan MMI merupakan agen farmakoogik yang umum
digunakan pada keadaan hipertiroidisme. Keduanya menghambat inkorporasi iodium
ke TBG dalam waktu satu jam setelah diminum. Riwayat hepatotoksisitas atau
agranulositosis dari terapi tioamida sebelumnya merupakan kontraindikasi kedua
obat tersebut. PTU diindikasikan untuk hipertiroidisme yang disebabkab oleh
penyakit Graves. Laporan penelitian yang mendukungnya menunjukkan adanya
peningkatan risiko terjadinya toksisitas hati atas penggunaan PTU dibandingkan
dengan metimazol. Kerusakan hati serius telah ditemukan pada penggunaan
metimazol pada lima kasus (tiga diantaranya meninggal). PTU sekarang
dipertimbangkan sebagai terapi obat lini kedua kecuali pada pasien yang alergi atau
intoleran terhadap metimazol atau untuk wanita dengan kehamilan trimester
pertama. Penggunaan metimazol selama kehamilan dilaporkan menyebabkan
embriopati, termasuk aplasia kutis, meskipun merupakan kasus yang jarang ditemui.
PTU dosis besar (loading dose 400-600mg) diikuti dosis 200 mg PTU tiap 4
jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg, atau dengan metimazol dosis 20 mg
tiap 4 jam bisa tanpa atau dengan dosis inisial 60-100 mg.
Penatalaksanaan: Menghambat Sekresi Hormon Tiroid
Setelah terapi anti-tiroid dimulai, hormon yang telah dilepaskan dapat
dihambat dengan sejumlah besar dosis iodium yang menurunkan uptake iodium di
kelenjar tiroid. Cairan lugol atau cairan jenuh kalium iodida dapat digunakan untuk
tujuan ini. Terapi iodium harus diberikan setelah sekitar satu jam setelah pemberian
PTU atau MMI. Perlu diketahui bahwa iodium yang digunakan secara tunggal akan
membantu meningkatkan cadangan hormon tiroid dan dapat semakin meningkatkan
status tirotoksik. Pasien yang intoleran terhadap iodium dapat diobati dengan litium
yang juga mengganggu pelepasan hormon tiroid. Pasien yang tidak dapat
menggunakan PTU atau MMI juga dapat diobati dengan litium karena penggunaan
iodium tunggal dapat diperdebatkan. Litium menghambat pelepasan hormon tiroid
melalui pemberiannya. Solusio lugol ( 10 tetes tiap 6-8 jam) atau SSKI ( Larutan
Iodida jenuh, 5 tetes setiap 6 jam), diberikan 2 jam setelah pemberian PTU. Apabila
ada, berikan endoyodin (NaI) IV, kalau tidak solusio lugol/SSKI tidak memadai.
Penatalaksanaan: Menghambat Aksi Perifer Hormon Tiroid
Propranolol adalah obat pilihan untuk melawan aksi perifer hormon tiroid.
Propranolol menghambat reseptor beta-adrenergik dan mencegah konversi T4
menjadi T3. Obat ini menimbulkan perubahan dramatis pada manifestasi klinis dan
efektif dalam mengurangi gejala. Namun, propranolol menghasilkan respon klinis
yang diinginkan pada krisis tiroid hanya pada dosis yang besar. Pemberian secara
intravena memerlukan pengawasan berkesinambungan terhadap irama jantung
pasien.
Sekarang, esmolol merupakan agen beta-blocker aksi ultra-cepat yang
berhasil digunakan pada krisis tiroid. Agen-agen beta-blocker non-selektif, seperti
propranolol maupun esmolol, tidak dapat digunakan pada pasien dengan gagal
jantung kongestif, bronkospasme, atau riwayat asma. Untuk kasus-kasus ini, dapat
digunakan obat-obat seperti guanetidin atau reserpin. Pengobatan dengan reserpin
berhasil pada kasus-kasus krisis tiroid yang resisten terhadap dosis besar
propranolol. Namun, guanetidin dan reserpin tidak dapat digunakan dalam keadaan
kolaps kardiovaskular atau syok. Pemberian propanolol 60-80mg tiap 6 jam per oral
atau 1-3 mg IV. Pemberian hidrokortison dosis stress (100mg tiap 8 jam atau
deksametason 2mg tiap 6 jam). Rasional pemberiannnya adalah karena defisiensi
steroid relative akibat hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer T4
KOMPLIKASI
Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara lain
hipoparatiroidisme, kerusakan nervus laringeus rekurens, hipotiroidisme pada
tiroidektomi subtotal atau terapi RAI, gangguan visual atai diplopia akibat oftalmopati
berat, miksedema pretibial yang terlokalisir, gagal jantung dengan curah jantung
yang tinggi, pengurangan massa otot dan kelemahan otot proksimal. Hipoglikemia
dan asidosis laktat adalah komplikasi krisis tiroid yang jarang terjadi. Sebuah kasus
seorang wanita Jepang berusia 50 tahun yang mengalami henti jantung satu jam
setelah masuk rumah sakit dilakukan pemeriksaan sampel darah sebelumnya. Hal
yang mengejutkan adalah kadar plasma glukosa mencapai 14 mg/dL dan kadar
asam laktat meningkat hingga 6,238 mM. Dengan demikian, jika krisis tiroid yang
atipik menunjukkan keadaan normotermi hipoglikemik dan asidosis laktat, perlu
dipertimbangkan untuk menegakkan diagnosis krisis tiroid lebih dini karena kondisi
ini memerlukan penanganan kegawatdaruratan. Penting pula untuk menerapkan
prinsip-prinsip standar dalam penanganan kasus krisis tiroid yang atipik.
PROGNOSIS
Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka kematian
keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-20% tetapi terdapat
laporan penelitian yang menyebutkan hingga 75%, tergantung faktor pencetus atau
penyakit yang mendasari terjadinya krisis tiroid. Dengan diagnosis yang dini dan
penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan baik.