kor pulmonal dan aritmia

33
BAB I PENDAHULUAN Kor pulmonale, atau penyakit jantung pulmonalis, adalah penyakit rongga jantung kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit pembuluh darah paru atau parenkim paru. Kor pulmonale dapat terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab akut tersering adalah emboli paru masif dan biasanya terjadi dilatasi ventrikel kanan. Penyebab kronik tersering adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan biasanya terjadi hipertrofi ventrikel kanan. (Kurt.2002). Penyakit cor pulmonale merupakan penyakit paru dengan hipertrofi dan atau dilatasi ventrikel kanan akibat gangguan fungsi dan atau struktur paru (setelah menyingkirkan penyakit jantung kongenital atau penyakit jantung lain yang primernya pada jantung kiri). Cor pulmonale dapat terjadi secara akut maupun kronik penyebab akut tersering adalah emboli paru masif dan biasanya terjadi dilatasi ventrikel kanan. Penyebab kronik tersering adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan biasanya terjadi hipertrofi ventrikel kanan. Insidens diperkirakan 6-7% dari semua penyakit jantung pada orang dewasa disebabkan oleh PPOK. Umumnya pada daerah dengan polusi udara yang tinggi dan kebiasaan merokok yang tinggi dengan prevalensi 1

Upload: stephanie-dian-tanjung

Post on 29-Nov-2015

107 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

nbjbnjbbnbnbnm bnm bn

TRANSCRIPT

Page 1: Kor Pulmonal Dan Aritmia

BAB I

PENDAHULUAN

Kor pulmonale, atau penyakit jantung pulmonalis, adalah penyakit

rongga jantung kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit

pembuluh darah paru atau parenkim paru. Kor pulmonale dapat terjadi secara akut

maupun kronik. Penyebab akut tersering adalah emboli paru masif dan biasanya

terjadi dilatasi ventrikel kanan. Penyebab kronik tersering adalah penyakit paru

obstruktif kronik (PPOK) dan biasanya terjadi hipertrofi ventrikel kanan.

(Kurt.2002).

Penyakit cor pulmonale merupakan penyakit paru dengan hipertrofi dan

atau dilatasi ventrikel kanan akibat gangguan fungsi dan atau struktur paru

(setelah menyingkirkan penyakit jantung kongenital atau penyakit jantung lain

yang primernya pada jantung kiri). Cor pulmonale dapat terjadi secara akut

maupun kronik penyebab akut tersering adalah emboli paru masif dan biasanya

terjadi dilatasi ventrikel kanan. Penyebab kronik tersering adalah penyakit paru

obstruktif kronik (PPOK) dan biasanya terjadi hipertrofi ventrikel kanan.

Insidens diperkirakan 6-7% dari semua penyakit jantung pada orang

dewasa disebabkan oleh PPOK. Umumnya pada daerah dengan polusi udara yang

tinggi dan kebiasaan merokok yang tinggi dengan prevalensi bronchitis kronik

dan emfisema didapatkan peningkatan kekerapan cor pulmonale. Lebih banyak

disebabkan exposure daripada predisposisi dan pria lebih sering terkena daripada

wanita.

Meski prevalensi PPOK di AS mencapai 15 juta jiwa, frekuensi pasti

kor pulmonale sulit ditentukan karena keadaan ini tidak terjadi pada semua kasus

PPOK, selain juga karena pemeriksaan-pemeriksaan rutin relatif tidak sensitif

untuk mendeteksi hipertensi pulmonal. Kor pulmonale diestimasikan terjadi pada

6-7% pada semua bentuk penyakit jantung di AS, dengan PPOK (bronkitis kronis

dan emfisema) sebagai penyebab utama pada lebih dari 50% kasus. Selain itu,

kor pulmonale merupakan 10-30% bentuk dekompensasi kordis di AS

(Khozsnevis, 1999).

1

Page 2: Kor Pulmonal Dan Aritmia

Aritmia ventrikular dan aritmia supraventrikular sering terjadi pada

pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Insidensi yang dilaporkan

oleh seumlah penelitian berbeda-beda karena variasi dalam populasi (pasien

PPOK stabil atau pasien dengan eksaserbasi), ada atau tidaknya gagal ventrikel

atau penyakit jantung yang mendasari, atau pengobatan yang digunakan sebagai

manajemen aritmia (Francis, 2003).

Terjadinya aritmia pada pasien dengan kor pulmonal yang telah

mengalami gagal jantung kanan akan semakin memperburuk angka mortalitas.

Angka mortalitas pasien dengan PPOK yang memiliki komplikasi kor

pulmonalsudah cukup buruk, yakni harapan hidup 5 tahun hanya sebesar 30%.

Timbulnya aritmia akan makin memperburuk survival rate pasien. Penelitian

Hudson et al pada 70 pasien kor pulmonal menunjukkan bahwa terjadi perbedaan

angka mortalitas yang bermakna antara pasien yang tidak menderita aritmia

dengan pasien aritmia dalam 2 tahun periode penelitian. Hudson melaporkan 11

orang pasien kor pulmonal tanpa aritmia mortalitasnya adalah 0%. Tiga belas

pasien dengan takikardi supraventrikuler memiliki angka mortalitas 46%, dan 10

pasien dengan takikardi ventrikular memiliki angka mortalitas 100% (Francis,

2003).

2

Page 3: Kor Pulmonal Dan Aritmia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Pernafasan

Paru-paru mempunyai sumbe suplai darah dari Arteria Bronkialis dan

Arteria pulmonalis. Arteria Bronkialis berasal dari Aorta torakalis dan

berjalan sepanjang dinding posterior bronkus. Vena bronchialis yang besar

mengalirkan darahnya ke dalam sistem azigos, yang kemudian bermuara ke

vena cava superior dan mengembalikan darah ke atrium kanan. Vena

brochialis yang lebih kecil akan mengalirkan darah vena pulmonalis, karena

sirkulasi bronchial tidak berperanan pada pertukaran gas, darah yang tidak

teroksigenasi mengalami pirau sekitar 2-3% curah jantung. Sirkulasi

bronchial menyediakan darah teroksigenisasi dari sirkulasi sistemik dan

berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan paru-paru.

Arteri Pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan mengalirkan

darah vena campuran ke paru-paru dimana darah tersebut mengambil bagian

dalam pertukaran gas. Jalinan kapiler paru-paru yang halus mengitari dan

menutup alveolus, merupakan kontak erat yang diperlukan untuk proses

pertukaran gas antara alveolus dan darah. Darah yang teroksigenasi kemudian

dikembalikan melalui vena pulmonalis ke ventrikel kiri yang selanjutnya

membagikannya kepada sel-sel melalui sirkulasi sistemik.

3

Page 4: Kor Pulmonal Dan Aritmia

2.2 Anatomi Jantung Ventrikel Kanan

Letak ruang ventrikel kanan paling depan di dalam rongga dada

yaitu tepat di bawah manubrium sterni. Sebagian besar ventrikel kanan

berada di kanan depan ventrikel kiri dan medial atrium kiri. Berbentuk bulan

sabit/setengah bulatan berdinding tipis dengan tebal 4-5 mm yang

disebabkan oleh tekanan di ventrikel kiri yang lebih besar.

Dinding anterior dan inferior disusun oleh serabut otot yaitu

trabekula karnae yang sering membentuk persilangan satu sama lain. otot ini

di bagian apikal berukuran besar yaitu trabecula septo marginal (moderator

band). Ventrikel kanan secara fungsional dapat dibagi dua alur ruang yaitu

alur masuk ventrikel kanan (Righ ventricular out flow tract) berbentuk

tabung atau corong, berdinding licin terletak di bagaian superior ventrikel

kanan yaitu infundibulum/conus arteriosus. Alur masuk dan keluar

dipisahkan oleh krista supra ventrikuler yang terletak tepat di atas daun

anterior katup triauspid.

2.3 Kor pulmonale

2.3.1 Definisi

Istilah kor pulmonale, atau penyakit jantung pulmonalis, digunakan

untuk menjelaskan penyakit rongga jantung kanan akibat hipertensi pulmonal

yang disebabkan oleh penyakit pembuluh darah paru atau parenkim paru. Yang

tidak termasuk dalam definisi ini adalah kasus hipertensi pulmonal yang

disebabkan oleh gagal ventrikel kiri atau penyakit primer lain di sisi kiri antung

serta hipertensi pulmonal yang disebebkan penyakit jantung kongenital. Penyakit

paru primer menyebabkan pembesaran ventrikel kanan, mengakibatkan hipertrofi

dan pada akhirnya terjadi gagal ventrikel kanan (Kumar, 2002; Fauci et al, 2008).

Hipertensi pulmonal sekunder akibat penyakit paru kronis terjadi jika

tekanan arteri pulmonal rata-rata saat istirahat lebih dari 20 mmHg. Nilai ini

4

Page 5: Kor Pulmonal Dan Aritmia

sedikit berbeda dengan hipertensi pulmonal primer, pulmonal arterial pressure

(PAP) > 25 mmHg. Pada individu muda (<50 tahun) nilai PAP berkisar antara

10-15 mmHg. Karena proses penuaan terjadi peningkatan PAP, sekitar 1

mmHg/10 tahun. Pada penderita PPOK hampir selalu terjadi peningkatan PAP,

lebih dari 20 mmHg. Nilai ini akan meningkat saar exercise, mencapai 30 mmHg

(Weitzenbaum, 2003).

2.3.2 Epidemiologi

Meski prevalensi PPOK di AS mencapai 15 juta jiwa, frekuensi pasti

kor pulmonale sulit ditentukan karena keadaan ini tidak terjadi pada semua kasus

PPOK, selain juga karena pemeriksaan-pemeriksaan rutin relatif tidak sensitif

untuk mendeteksi hipertensi pulmonal. Kor pulmonale diestimasikan terjadi pada

6-7% pada semua bentuk penyakit jantung di AS, dengan PPOK (bronkitis kronis

dan emfisema) sebagai penyebab utama pada lebih dari 50% kasus. Selain itu,

kor pulmonale merupakan 10-30% bentuk dekompensasi kordis di AS.

Kor pulmonale akut umumnya disebabkan oleh emboli paru masif.

Kasus emboli paru masif akut merupakan kondisi yang paling berbahaya. Terjadi

50.000 kematian per tahun di AS akibat emboli paru dan setengahnya terjadi

pada jam pertama akibat gagal jantung kanan akut. Secara global insidensi kor

pulmonal bervariasi pada beberapa negara, tergantung prevalensi merokok,

polusi udara, dan faktor risiko lain terjadinya bermacam penyakit paru (Sovari,

2011).

2.3.3 Etiologi

Penyebab utama terjadinya kor pulmonal adalah emboli paru, penyakit

paru obstrukif dan restriktif kronik, dan penyakit vaskular paru. Kor pulmonale

akut paling sering disebabkan oleh embolisme paru. Apabila embolus secara akut

menyumbat lebih dari 50% jaringan vaskuler paru, peningkatan beban mendadak

di sisi kanan jantung menyebabkan gagal ventrikel kanan. Ventrikel kanan

biasanya mengalami dilatasi, namun tidak hipertrofi. Penyebab lain dari kor

5

Page 6: Kor Pulmonal Dan Aritmia

pulmonal akut adalah acute respiratory distress syndrome (ARDS), hal ini terjadi

akibat aspek patologik ARDS sendiri atau akibat ventilasi mekanik, khususnya

dengan kebutuhan volume tidal yang lebih tinggi, menyebabkan peningkatan

tekanan transpulmonal (Kumar, 2002; Sovari, 2011)

Kor pulmonale kronis paling sering disebabkan oleh penyakit paru

obstruktif kronik (PPOK). Pada kor pulmonale kronis, berbeda dengan kor

pulmonale akut, hipertensi pulmonal yang menetap memungkinkan terjadinya

hipertrofi ventrikel kanan kompensatorik. Ventrikel kanan kurang mampu

mengakomodasi peningkatan beban tekanan dibanding ventrikel kiri. Seiring

berjalannya waktu, ventrikel kanan secara progresif mengalami dilatasi dan

akhirnya tidak mampu mempertahankan curah jantung pada tingkat normal. Jika

hal ini terjadi, timbul gejala dan tanda khas untuk gagal jantung kongestif sisi

kanan. Dekompensasi akut dapat terjadi setiap saat pada pasien dengan kor

pulmonal kronis (Kumar, 2002).

Terdapat dua mekanisme esensial yang mendasari timbulnya hipertensi

pulmonal yang menyebabkan kor pulmonale. Yang pertama adalah reduksi atau

kerusakan pada sejumlah besar pembuluh darah paru, menyebabkan terjadinya

aliran darah secara paksa ke pembuluh darah yang lebih sedikit, menyebabkan

kongesti dan hipertensi. Yang kedua adalah reflek vasokonstriksi dari arteriol

pulmonal sebagai respon terhadap hipoksia, hiperkapnea, atau asidosis yang

sering terjadi bersamaan dengan penyakit paru (Nowak, 2008)

Tabel. Penyakit yang memudahkan timbulnya kor pulmonale

Penyakit paru Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

Fibrosis interstisium paru difus

Ateletaksis luas persisten

Fibrosis kistik

Penyakit pembuluh darah paru Embolisme paru

Sklerosis primer pembuluh darah paru

Arteritis pulmonalis ekstensif

(granulomatosis Wegener)

Sklerosis pembuluh darah akibat radiasi,

toksin, atau obat

6

Page 7: Kor Pulmonal Dan Aritmia

Penyakit yang mempengaruhi gerakan

dada

Kifoskoliosis

Kegemukan berat (pickwickian syndrome)

Penyakit neuromuskulus

Gangguan yang memicu konstriksi

arteriol paru

Asidosis metabolik

Hipoksemia

Altitude sickness kronis, obstruksi saluran

nafas besar

Tabel. Penyebab kor pulmonale berdasarkan proses akut dan kronis

2.3.4 Patogenesis

Patogenesis Kor Pulmonale

Sejumlah mekanisme patofisiologi berbeda dapat menyebabkan

hipertensi pulmonal dan pada akhirnya kor pulmonal, sebagai berikut : (Sovari,

2011)

7

Page 8: Kor Pulmonal Dan Aritmia

- Vasokonstriksi pulmonar akibat hipoksia, menyebabkan hipertensi

pulmonar dan jika hipertensinya cukup berat, dapat mengakibatkan kor

pulmonale.

- Perubahan anatomi dari pembuluh darah paru sekunder karena penyakit

parenkim atau alveolar paru (seperti emfisema, tromboemboli paru,

penyakit paru interstisial, ARDS, dan penyakit reumatoid). Kondisi-

kondisi ini dapat menyyebabkan peningkatan tekanan darah pulmonar,

yang pada akhirnya juga menyebabkan kor pulmonale.

- Peningkatan viskositas darah sekunder akibat gangguan hematologi

(polisitemia vera, anemia sickle cell).

- Hipertensi pulmonar primer idiopatik.

Akibat dari mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan arteri pulmonar.

Curah jantung dari ventrikel kanan seperti halnya di kiri disesuaikan

dengan preload, kontraktilitas dan afterload. Meski dinding ventrikel kanan tipis,

namun masih dapat memenuhi kebutuhan saat terjadi aliran balik vena yang

meningkat mendadak (seperti saat menarik nafas). Peningkatan afterload akan

menyebabkan perbesaran yang berlebihan. Hal ini terjadi karena tahanan di

pembuluh darah paru sebagai akibat gangguan di pembuluh sendiri maupun akibat

kerusakan parenkim paru. Peningkatan afterload ventrikel kanan dapat terjadi

karena hiperinflasi paru akibat PPOK, sebagai akibat kompresi kapiler alveolar

dan pemanjangan pembuluh darah dalam paru. Peningkatan ini juga dapat terjadi

ketika volume paru turun mendadak akibat reseksi paru demikian pula pada

restriksi paru ketika pembuluh darah mengalami kompresi dan berubah bentuk.

Afterload meningkat pada ventrikel kanan juga dapat ditimbulkan pada

vasokonstriksi dengan hipoksia atau asidosis (Sudoyo,W.2006).

Patologi hipertrofi ventrikel kanan

Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respon adaptif lokal mulai

terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respon tersebut mencakup

8

Page 9: Kor Pulmonal Dan Aritmia

reaksi neurohumoral serta perubahan molekular dan morfologik di dalam

jantung. Salah satu respon neurohumoral yang paling dini terhadap penurunan

curah jantung adalah peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Katekolamin

menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan

peningkatan kecepatan jantung (Kumar, 2002).

Seiring dengan waktu, jantung yang kelebihan beban akan berespon

dengan mengalami berbagai remodelling, termasuk hipertrofi dan dilatasi.

Karena serat otot jantung pada orang dewasa tidak lagi mampu berproliferasi

secara bermakna, adaptasi struktural awal terhadap beban kerja yang terus

menerus tinggi adalah hipertrofi setiap serat otot. Secara morfologi terdapat 2

jenis hipertrofi, yakni :

- Hipertrofi konsentrik. Pola hipertrofi ini terjadi akibat jantung hanya

mendapat beban tekanan (misal, hipertensi, stenosis katup). Hipertrofi

ditandai dengan peningkatan garis tengah setiap serat otot, menyebabkan

ketebalan dinding ventrikel meningkat tanpa peningakatan ukuran rongga

jantung.

- Hipertrofi eksentrik. Pola hipertrofi ini terjadi apabila jantung mendapat

beban volume abnormal, bukan beban tekanan (misal, regurgitasi katup

atau pirau abnornal). Pada keadaan ini panjang setiap serat bertambah,

ditandai dengan peningkatan ukuran jantung serta peningkatan ketebalan

dinding.

Hipertrofi mulanya berfungsi sebagai respon adaptif positif, hampir

sama dengan hipertrofi serat otot rangka yang memungkinkan seorang atlet

mengakomodasi peningkatan beban kerja. Meski memiliki efek hemodinamik

potensial, hipertrofi ini harus dibayar mahal oleh sel. Kebutuhan oksigen

miokardium yang mengalami hipertrofi meningkat, karena massa sel miokard

dan tegangan di dinding ventrikel meningkat. Hal ini pada akhirnya

menyebabkan iskemia miokardium yang akan mengganggu kontraktilitas miosit,

bahkan kematian prematur miosit (Kumar, 2002).

Peningkatan beban kerja jantung memudahkan terjadinya dilatasi

jantung, atau pembesaran rongga. Miokardium menjadi lebih tebal, kurang

elastis, dan tonus normal miokard menurun. Hal inilah yang kemudian

9

Page 10: Kor Pulmonal Dan Aritmia

menyebabkan kardiomegali pada CHF. Saat miokard mengalami dilatasi,

kemampuan miokard untuk berkontraksi secara adekuat juga menurun, yang

kemudian menyebebkan terjadi dekompensasi (Francis, 2003).

Patogenesis gagal jantung

Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan

terganggunya struktur dan atau fungsi jantung, menyebabkan dispnea atau fatik

saat istirahat atau beraktivitas. Keadaan ini terjadi karena jantung tidak mampu

memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme jaringan. Yang tidak termasuk dalam definisi ini adalah kondisi

yang gangguan curah jantungnya terjadi akibat kekurangan darah arau proses lain

yang mengakibatkan gangguan aliran balik darah ke jantung (Nowak, 2004)

Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure,

hampir selalu disertai dengan peningkatan kongsti (bendungan) di sirkulasi vena

(backward failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu menyemprotkan

dalam jumlah normal darah vena yang disalurkan ke dalamnya sewaktu diastol

(Nowak, 2004).

Penyebab tersering gagal jantung sisi kiri adalah hipertensi sistemik,

penyakit katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit

miokardium primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal

ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria

pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal ventrikel

kiri, seperti pada pasien dengan penyakit intrinsik parenkim paru dan / pembuluh

paru (kor pulmonale) dan pada pasien dengan penyakit katup pulmonal atau

trikuspid. Keadaan ini kadang terjadi pada penyakit jantung kongenital.

Faktor-faktor penyebab gagal jantung kongestif (Nowak, 2004) :

1. Kelemahan miokard

Kelemahan miokard terutama disebabkan oleh atherosklerosis dan

stenosis pada arteri koroner. Ketika stenosis mencapai 50-70%, hanya

10

Page 11: Kor Pulmonal Dan Aritmia

kebutuhan oksigen miokard pada istirahat yang dapat dipenuhi.

Atheroskerosis secara progresif akan menyebabkan hipoksia jaringan dan

nekrosis. Miokard yang mengalami nekrosis akan akan digantikan oleh

jaringan ikat fibrosa yang lebih kaku, mengakibatkan penurunan

compliance ventrikular.

Proses lain yang menyebabkan kelemahan miokard adalah

trombosis di arteri koroner, vasospasme yang berkembang pada penderita

infark miokard, miokarditis atau kardiomiopati.

2. Restriksi sistem pompa

Bahkan saat mikardium tidak mengalami kerusakan dan secara

adekuat disuplai oleh oksigen, jantung masih tidak dapat menjalankan

fungsi pompanya secara adekuat karena adanya restriksi pada sistem

pompa. Malfungsi katup jantung adalah salah satu penyebabnya. Katup

yang inkompeten, tidak dapat menutup dengan kuat, akan menyebabkan

aliran balik (backward) dalam sirkulasi jantung atau paru. Jika katup

tidak dapat terbuka secara nomal, penurunan aliran darah menuju jantung

dapat menyebabkan penurunan cardiac output.

Keadaan lain yang dapat mengganggu sistem pompa jantung

antara lain malformasi kongenital, massa intrakardia (tersering adalah

myxoma, tumor endotel pada atrium kiri; 35-50% tumor primer kardia),

atau disritmia. Disritmia dapat disebabkan oleh iskemia, infark, imbalans

elektrolit, atau keadaan lain yang dapat mengganggu sistem konduksi

jantung.

3. Peningkatan afterload

Kegagalan mempertahankan cardiac output juga dapat terjadi akibat

overload. Saat miokardium secara konstan mengalami beban fisik yang

tinggi, volume sekuncup dan kontraktilitas jantung akan menurun secara

bermakna. Penurunan ini terjadi terutama saat terjadi peningkatan

afterload. Keadaan ini dijumpai pada kor pulmonale atau hipertensi

sistemik. Pada kor pulonale, ventrikel kanan dihadapkan pada penyakit

11

Page 12: Kor Pulmonal Dan Aritmia

paru tertentu yang menyababkan hipertensi pulmonal. Pada kasus

hipertensi sistemik, peningkatan tekanan darah akan menyebabkan

peningkatan resistensi yang harus diatasi oleh ventrikel kiri untuk

mempertahankan cardiac output.

Gambar. Ilustrasi penyebab terjadinya gagal jantung kongestif

2.3.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis kor pulmonale umumnya non spesifik. Pasien bisa

asimptomatik, khususnya pada awal perjalanan penyakit, dan sering kali tanda

dan gejala penyakit ditutupi oleh penyakit paru yang mendasari.

Gejala

Pasien dapat mengeluhkan cepat letih, teakipnea, sesak saat beraktivitas

(dyspnea d’effort) dan batuk. Nyeri dada angina juga dapat terjadi dan sering

12

CHFKelemahan miokardium

Atherosklerosis

Kardiomiopati

Vasospasme koroner

Restriksi sistem pompa

Kelainan katup

Obstruksi intrakardia

Disritmia

Peningkatan afterload

Cor pulmonale

Hipertensi sistemik

Defek kongenital

Page 13: Kor Pulmonal Dan Aritmia

disebabkan akibat iskemia ventrikel kanan (biasanya nyeri dada tidak respon

dengan nitrat) atau peregangan arteri pulmonal.

Hemoptosis dapat terjadi akibat ruptur arteri pulmonal yang mengalami

dilatasi atau athrosklerotik. Kondisi lain yang dapat meyebabkan hemoptoe

seperti infark paru, tumor, dan bronkiektasis harus dieksklusikan terlebih dahulu.

Pada sejumlah kecil kasus pasien mengeluhkan suara serak (hoarseness) akibat

kompresi nervus laringeal rekuren kiri akibat dilatasi arteri pulmonal.

Pada kasus yang lanjut, kongesti hepatik sekunder akibat gagal ventrikel

kanan dapat menyebabkan timbulnya anoreksia, rasa tidak enak pada daerah

hipokondrium kanan, dan ikterik. Selain itu, pingsan saat beraktivitas, yang juga

terjadi pada kasus yang berat, menandakan kegagalan dalam meningkatkan COP

selama exercise, menyebabkan hipotensi yang bermakna.

Peningkatan tekanan arteri paru dapat menyebabkan peningkatan

tekanan atrium kanan, vena perifer dan kapiler. Akibat peningkatan gradien

hidrostatik, terjadi transudasi cairan dan terakumulasi menjadi edema perifer.

Selain itu hipoksemia yang sering terjadi pada pasien PPOK juga dapat

menyebabkan penurunan GFR dan retensi garam dan air, sehingga menyebabkan

edema perifer.

Membedakan gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan

Berdasarkan gejala yang timbul, dapat dibedakan sisi jantung yang

mengalami kegagalan (failure), apakah gagal jantung sisi kiri atau sisi kanan.

Atrium kiri menerima oksigen dari paru dan meneruskannya ke ventrikel kiri,

yang kemudian memompanya ke seluruh tubuh. Jika ventrikel kiri tidak

memompa secara efisien, darah akan kembali masuk ke pembuluh darah paru,

dan kadang cairan dapat masuk ke ruang pernafasan, menyebabkan kongesti.

Kongesti paru yang terjadi dapat menyebabkan sesak nafas. Gejala lain dari

gagal ventrikel kiri adalah lemas (fatik), dispnea (orthopnea, paroksismal

nokturnal dispnea), dan produksi sputum (kadang disertai darah) akibat kongesti

paru.

13

Page 14: Kor Pulmonal Dan Aritmia

Gagal jantung kanan terjadi saat resistensi aliran darah dari jantung

kanan (atrium kanan, ventrikel kanan, paru atau arteri pulmonal) menuju paru

atau saat katup trikuspid, yang memisahkan atrium kanan dan ventrikel kanan

tidak berfungsi dengan baik. Hal ini kemudian akan menyebabkan aliran balik

dan peningkatan tekanan jantung kanan. Tekanan juga akan meningkat di hati

dan vena tungkai, menyebabkan pembesaran hati disertai nyeri, asites dan edema

tungkai . Gejala utama dari gagal jantung kanan adalah edema dan nokturia

(buang air kecil berlebihan pada malam hari karena terjadi redistribusi cairan saat

pasien berbaring).

Karena CHF menyebabkan tubuh terisi oleh cairan yang berlebihan,

ginjal mungkin tidak lagi dapat membuang natrium dan air, manimbulkan gagal

ginjal akut (dalam kasus CHF, gagal ginjal dapat besifat sementara dan akan

membaik jika diberikan terapi yang tepat). Natrium yang normalnya dielimansi

melalui urin akan tetap berada dalam tubuh, sehingga menyebabkan semakin

banyak cairan terakumulasi dalam tubuh (Soufer, 2007).

Tabel. Membedakan gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan

14

Page 15: Kor Pulmonal Dan Aritmia

Tanda

Pemeriksaan fisik dapat membrikan gambaran penyakit paru yang

mendasari atau menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kanan.

- Inspeksi : peningkatan diameter dinding dada antero-posterior (barrel

chest), retraksi dinding dada, distensi vena leher, sianosis.

- Perkusi : hipersonor, asites (shifting dullness)

- Auskultasi : wheezing dan crackles dapat terdengar karena penyakit paru

yang mendasari (misal pada PPOK), turbulensi yang terjadi akibat

thromboemboli paru dapat terdengar sebagai bunyi systolic bruits pada

paru, murmur ejeksi sistolik di regio arteri pulmonum, murmur sistolik

pada kusus regurgitasi trikuspid.

2.3.6 Pemeriksaan Penunjang (emedicine)

- Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mengetahui etiologi atau

komplikasi yang ditimbulkan dari kor pulmonale, meliputi :

a. Pemeriksaan hematokrit. Peningkatan hematokrit menandakan

polisitemia, yang menandakan penyakit paru yang mendasari atau

akibat peningkatan tekanan arteri pulmonum akibat peningkatan

viskositas darah.

b. Serum alfa 1-antitrypsin (PPOK) dan antibodi antinuklear (penyakit

kolagen vaskuler) bila diindikasikan.

c. Analisa gas darah. Bertujuan untuk menilai oksigenasi dan

gangguan asam basa.

- Foto rontgen

Hipertensi pulmonum harus dicurigai jika diameter arteri pulmonal kanan

descenden lebih dari 16 mm dan diameter arteri pulmonal kiri lebih dari

18 mm. Pembesaran ventrikel kanan menyebabkan peningkatan diameter

transversum bayangan jantung bagian kanan pada foto PA dan ventrikel

kanan mengisi ruang udara pada foto lateral.

15

Page 16: Kor Pulmonal Dan Aritmia

Gambar. Gambaran foto rontgen kor pulmonale

- EKG

Beberapa gambaran EKG yang dapat ditemukan pada cor pulmonal,

antara lain :

a. Deviasi aksis ke kanan ( ≥ 900 )

b. P pulmonal di lead II, III, AVF

c. Gelombang QRS rendah akibat hiperinflasi paru karena PPOK

d. Hipertrofi ventrikel kanan yang berat dapat menghasilkan

gelombang Q patologis yang sering disalah artikan sebagai infark

miokard anterior. Namun karena aktivitas listrik ventrikel kanan

jauh lebih rendah dari ventrikel kiri, perubahan kecil pada ventrikel

kanan mungkin tidak dapat dideteksi melalui EKG.

Gambar. Gambaran EKG hipertrofi ventrikel kanan

16

Page 17: Kor Pulmonal Dan Aritmia

- Echocardiografi

Menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kanan. Fungsi ventrikel kiri

umumnya normal. tekanan sistolik ventrikel kanan bisa dinilai melalui

Echo Doppler melaui penilaian aliran regurgitan katup trikuspid. Jika

imaging sulit dilakukan karena paru yang terdistensi karena udara, dapat

dinilai ketebalan dinding ventrikel kanan dan volumenya melalui

pemeriksaan MRI (Fauci, 2008)

2.3.7 Diagnosis diferensial

Hipertensi vena pulmonal yang biasanya diderita penderita stenosis katup

mitral.

Gambaran foto toraks berupa pembesaran atrium kiri, pelebaran arteri

pulmonal karena peninggian tekanan aorta yang relatif kecil (pada fase

lanjut), pembesaran ventrikel kanan, pada paru-paru terlihat tanda-tanda

bendungan vena. ( Matsum,2011)

2.3.8 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan kor pulmonal pada PPOK ditinjau dari aspek jantung

sama dengan pengobatan kor pulmonal pada umumnya yaitu untuk : (1)

Mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas; (2) Menurunkan hipertensi pulmonal;

(3) Meningkatkan kelangsungan hidup; (4) Pengobatan penyakit dasar dan

komplikasinya (Sudoyo,W.2006).

Pengobatan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan

hipertensi pulmonal, pengobatan gagal jantung kanan dan meningkatkan

kelangsungan hidup. Untuk tujuan tersebut pengobatan yang dapat dilaksanakan

diawali dengan menghentikan rokok serta tatalaksana lanjut adalah sebagai

berikut (Sudoyo,W.2006).

- Terapi oksigen

Terapi oksigen sangat penting pada pasien dengan PPOK, khususnya

ketika diberikan secara kontinu. Terapi oksigen dapat meredakan

vasokonstriksi paru hipoksemik, yang pada akhirnya dapat meningkatkan

17

Page 18: Kor Pulmonal Dan Aritmia

cardiac output, menurunkan vasokonstriksi simpatetik, dan meningkatkan

perfusi renal.

Secara umum, pada pasien dengan PPOK, terapi oksigen jangka panjang

direkomendasikan jika PaO2 kurang dari 55 mmHg atau saturasi O2

kurang dari 88%. Namun pada keadaan kor pulmonal, terapi oksigen

jangka panjang tetap diindikasikan meski PaO2 lebih dari 55 mmHg atau

saturasi O2 lebih dari 88%.

- Medikamentosa

Diuretik digunakan untuk menurunkan volume pengisian ventrikel

kanan pada pasien dengan kor pulmonum kronik. Calsium channel

blocker merupakan vasodilator arteri pulmonal yang telah terbukti

efikasinya pada penatalaksanaan jangka panjang pasien kor pulmonal

sekunder akibat hipertensi arteri pulmonum primer.

Indikasi utama pemberian antikoagulan oral pada manajemen kor

pulmonal adalah pada kondisi kor pulmonal yang disebabkan oleh

tromboemboli atau hipertensi pulmonal primer. Metilxantin, seperti

halnya teofilin, dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada kor

pulmonal sekunder akibat PPOK. Selain memiliki efek bronkodilator,

golongan ini dapat meningkatkan kontraktilitas miokardium,

menyebabkan efek vasodilatasi paru ringan dan meningkatkan

kontraktilitas diafragma.

1. Vasodilator

Vasodilator telah digunakan sebagai terapi jangka panjang pada kor

pulmonale kronikum dengan hasil yang cukup memuaskan. Golongan

calcium channel blocker, seperti sustained release nifedipine dan

diltiazem, dapat menurunkan tekanan pulmonum, meski obat golongan ini

lebih efektif digunakan pada pasien hipertensi pulmonale primer dibanding

sekunder.

Golongan vasodilator lain, seperti beta agonis, nitrat, dan ACE inhibitor

telah dicoba, namun tidak menunjukkan efek yang menguntungkan pada

pasien PPOK, sehingga tidak digunakan secara rutin (Sovari, 2011).

18

Page 19: Kor Pulmonal Dan Aritmia

2. Diuretika

Diuretik digunakan sebagai terapi kor pulmonale, terutama jika volume

pengisian ventrikel kanan meningkat secara bermakna dan terjadi edema

perifer. Golongan diretik dapat meningkatkan fungsi kedua ventrikel.

Meski demikian, diuretik dapat dapat merugikan status hemodinamik jika

tidak digunakan secara hati-hati. Penurunan volume cairan dalam jumlah

banyak dapat menurunkan cardiac output.

Komplikasi potensial lain dari diuretik adalah terjadinya hipokalemi

disertai alkalosis metabolik. Gangguan elektrolit dan asam basa yang

terjadi juga dapat menyebabkan aritmia jantung, yang pada akhirnya juga

memperburuk cardiac output. Jadi, diuretik dapat digunakan sebagai

manajemen kor pulmonale namun harus digunakan secara hati-hati.

3. Flebotomi

Tindakan flebotomi pada pasien kor pulmonal dengan hematokrit yang

tinggi diindikasikan jika hematokrit > 55%. Sasarannya adalah penurunan

Hct di bawah 50% (Sudoyo,W.2006).

4. Antikoagulan

Pemberian antikoagulan pada kor pulmonal berdasarkan atas kemungkinan

terjadinya tromboemboli akibat pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan

dan adanya faktor imobilisasi pada pasien.

Di samping terapi diatas pasien korpulmonal pada PPOK harus mendapat

terapi standar untuk PPOK, komplikasi dan penyakit penyerta (Sudoyo,W.2006).

2.3.9 Prognosis

Prognosis dari kor pulmonal bervariasi tergantung patologi yang

mendasari. Perkembangan kor pulmonal yang disebabkan penyakit primer pada

paru dapat menimbulkan prognosis yang lebih buruk. Contohnya, pasien dengan

PPOK yang memiliki komplikasi kor pulmonal memiliki angka harapan hidup 5

tahun sebesar 30%. Prognosis pada keadaan akut akibat emboli paru masif atau

19

Page 20: Kor Pulmonal Dan Aritmia

ARDS belum diketahui bersifat dependen atau independen terhadap kor pulmonal.

Namun, sebuah penelitian prospektif oleh Volschan et al mengindikasikan bahwa

pada kasus emboli paru, kor pulmonal dapat meningkatkan mortalitas.

2.1.10 Komplikasi

- Gagal jantung kanan

- Chronic heart failure (CHF)

- Gagal nafas

- Acute Kidney Injury

- Hemoptosis

- Trombosis vena dalam

20

Page 21: Kor Pulmonal Dan Aritmia

DAFTAR PUSTAKA

1. Assayag, P. (1997). Compensated cardiac hypertrophy: arrhythmogenicity

and the new myocardial phenotype. I. Fibrosis. Cardiovascular Mysteri

Series, 34, 439-444.

2. Francis, G., & Tang, W. (2003). Patophysiology of Congestive Heart

Failure. MedReviews, 4.

3. GOLD. (2006). Global Strategy for Diagnosis, Management, and Prevention

of COPD.

4. Kamangar, N. (2010). Chronic Obstructive Pulmonary Disease Retrieved

15 Mei, 2010, from http://www.emedicine.medscape.com/article/297604-

overview

5. Khozhnevis, R., & Massumi, A. (1999). Ventricular Arrythmia in

Congestive Heart Failure. 26.

6. Kumar, V., Cotran, R. S., & Robbins, S. L. (2007). Buku Ajar Patologi (7

ed. Vol. 2).

7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Penyakit Paru Obstruktif

Kronis - Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.

8. SIGN. (2007). Cardiac Arrhytmia in Coronary Heart Disease. NHS.

9. Weitzenbaum, E. (2003). Chronic Cor Pulmonale. BMJ, 89, 225-230.

10. Kurt J. Isselbacher, Eugene Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph & Martin,

Anthony S Fauci, Dennis L Kasper, edis bahasa Indonesia; Ahmad H. Asdie

Prof. dr. Sp.PD, ke : Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, edisi

15, volume 3, 2002, hal. 1222-1226.

11. Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 1. Jakarta.

Media aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

12. Soeparman dan Warpadji Sarwono : Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2, Cetakan

ketiga, FKUI, Jakarta, 1998. Hal. 882-889.

13. Sudoyo, W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta. Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas indonesia.

21

Page 22: Kor Pulmonal Dan Aritmia

14. Matsum. Kor Pulmonale. (Online) http://www.matsum.blogspot.com,

diakses tanggal 4 oktober 2011.

15. Dave, R. Cor Pulmonale. http://www.emedicine.com/article_corpulmonale,

diakses tanggal 4 Oktober 2011

16. Delacretaz, E. Clinical Practice Supraventricular Tachycardia. The New

England Journal of Medicine, 354, 1039-1051.

17. Fox, D., Tischenko, A., Krahn, A., Snakes, A., Gulla, L. J., Yee, R., et al.

(2008). Supraventricular Tachycardia. Mayo Foundation, 83, 1400-1411.

22