kor pulmonal dan aritmia
DESCRIPTION
nbjbnjbbnbnbnm bnm bnTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Kor pulmonale, atau penyakit jantung pulmonalis, adalah penyakit
rongga jantung kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit
pembuluh darah paru atau parenkim paru. Kor pulmonale dapat terjadi secara akut
maupun kronik. Penyebab akut tersering adalah emboli paru masif dan biasanya
terjadi dilatasi ventrikel kanan. Penyebab kronik tersering adalah penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) dan biasanya terjadi hipertrofi ventrikel kanan.
(Kurt.2002).
Penyakit cor pulmonale merupakan penyakit paru dengan hipertrofi dan
atau dilatasi ventrikel kanan akibat gangguan fungsi dan atau struktur paru
(setelah menyingkirkan penyakit jantung kongenital atau penyakit jantung lain
yang primernya pada jantung kiri). Cor pulmonale dapat terjadi secara akut
maupun kronik penyebab akut tersering adalah emboli paru masif dan biasanya
terjadi dilatasi ventrikel kanan. Penyebab kronik tersering adalah penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) dan biasanya terjadi hipertrofi ventrikel kanan.
Insidens diperkirakan 6-7% dari semua penyakit jantung pada orang
dewasa disebabkan oleh PPOK. Umumnya pada daerah dengan polusi udara yang
tinggi dan kebiasaan merokok yang tinggi dengan prevalensi bronchitis kronik
dan emfisema didapatkan peningkatan kekerapan cor pulmonale. Lebih banyak
disebabkan exposure daripada predisposisi dan pria lebih sering terkena daripada
wanita.
Meski prevalensi PPOK di AS mencapai 15 juta jiwa, frekuensi pasti
kor pulmonale sulit ditentukan karena keadaan ini tidak terjadi pada semua kasus
PPOK, selain juga karena pemeriksaan-pemeriksaan rutin relatif tidak sensitif
untuk mendeteksi hipertensi pulmonal. Kor pulmonale diestimasikan terjadi pada
6-7% pada semua bentuk penyakit jantung di AS, dengan PPOK (bronkitis kronis
dan emfisema) sebagai penyebab utama pada lebih dari 50% kasus. Selain itu,
kor pulmonale merupakan 10-30% bentuk dekompensasi kordis di AS
(Khozsnevis, 1999).
1
Aritmia ventrikular dan aritmia supraventrikular sering terjadi pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Insidensi yang dilaporkan
oleh seumlah penelitian berbeda-beda karena variasi dalam populasi (pasien
PPOK stabil atau pasien dengan eksaserbasi), ada atau tidaknya gagal ventrikel
atau penyakit jantung yang mendasari, atau pengobatan yang digunakan sebagai
manajemen aritmia (Francis, 2003).
Terjadinya aritmia pada pasien dengan kor pulmonal yang telah
mengalami gagal jantung kanan akan semakin memperburuk angka mortalitas.
Angka mortalitas pasien dengan PPOK yang memiliki komplikasi kor
pulmonalsudah cukup buruk, yakni harapan hidup 5 tahun hanya sebesar 30%.
Timbulnya aritmia akan makin memperburuk survival rate pasien. Penelitian
Hudson et al pada 70 pasien kor pulmonal menunjukkan bahwa terjadi perbedaan
angka mortalitas yang bermakna antara pasien yang tidak menderita aritmia
dengan pasien aritmia dalam 2 tahun periode penelitian. Hudson melaporkan 11
orang pasien kor pulmonal tanpa aritmia mortalitasnya adalah 0%. Tiga belas
pasien dengan takikardi supraventrikuler memiliki angka mortalitas 46%, dan 10
pasien dengan takikardi ventrikular memiliki angka mortalitas 100% (Francis,
2003).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Saluran Pernafasan
Paru-paru mempunyai sumbe suplai darah dari Arteria Bronkialis dan
Arteria pulmonalis. Arteria Bronkialis berasal dari Aorta torakalis dan
berjalan sepanjang dinding posterior bronkus. Vena bronchialis yang besar
mengalirkan darahnya ke dalam sistem azigos, yang kemudian bermuara ke
vena cava superior dan mengembalikan darah ke atrium kanan. Vena
brochialis yang lebih kecil akan mengalirkan darah vena pulmonalis, karena
sirkulasi bronchial tidak berperanan pada pertukaran gas, darah yang tidak
teroksigenasi mengalami pirau sekitar 2-3% curah jantung. Sirkulasi
bronchial menyediakan darah teroksigenisasi dari sirkulasi sistemik dan
berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan paru-paru.
Arteri Pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan mengalirkan
darah vena campuran ke paru-paru dimana darah tersebut mengambil bagian
dalam pertukaran gas. Jalinan kapiler paru-paru yang halus mengitari dan
menutup alveolus, merupakan kontak erat yang diperlukan untuk proses
pertukaran gas antara alveolus dan darah. Darah yang teroksigenasi kemudian
dikembalikan melalui vena pulmonalis ke ventrikel kiri yang selanjutnya
membagikannya kepada sel-sel melalui sirkulasi sistemik.
3
2.2 Anatomi Jantung Ventrikel Kanan
Letak ruang ventrikel kanan paling depan di dalam rongga dada
yaitu tepat di bawah manubrium sterni. Sebagian besar ventrikel kanan
berada di kanan depan ventrikel kiri dan medial atrium kiri. Berbentuk bulan
sabit/setengah bulatan berdinding tipis dengan tebal 4-5 mm yang
disebabkan oleh tekanan di ventrikel kiri yang lebih besar.
Dinding anterior dan inferior disusun oleh serabut otot yaitu
trabekula karnae yang sering membentuk persilangan satu sama lain. otot ini
di bagian apikal berukuran besar yaitu trabecula septo marginal (moderator
band). Ventrikel kanan secara fungsional dapat dibagi dua alur ruang yaitu
alur masuk ventrikel kanan (Righ ventricular out flow tract) berbentuk
tabung atau corong, berdinding licin terletak di bagaian superior ventrikel
kanan yaitu infundibulum/conus arteriosus. Alur masuk dan keluar
dipisahkan oleh krista supra ventrikuler yang terletak tepat di atas daun
anterior katup triauspid.
2.3 Kor pulmonale
2.3.1 Definisi
Istilah kor pulmonale, atau penyakit jantung pulmonalis, digunakan
untuk menjelaskan penyakit rongga jantung kanan akibat hipertensi pulmonal
yang disebabkan oleh penyakit pembuluh darah paru atau parenkim paru. Yang
tidak termasuk dalam definisi ini adalah kasus hipertensi pulmonal yang
disebabkan oleh gagal ventrikel kiri atau penyakit primer lain di sisi kiri antung
serta hipertensi pulmonal yang disebebkan penyakit jantung kongenital. Penyakit
paru primer menyebabkan pembesaran ventrikel kanan, mengakibatkan hipertrofi
dan pada akhirnya terjadi gagal ventrikel kanan (Kumar, 2002; Fauci et al, 2008).
Hipertensi pulmonal sekunder akibat penyakit paru kronis terjadi jika
tekanan arteri pulmonal rata-rata saat istirahat lebih dari 20 mmHg. Nilai ini
4
sedikit berbeda dengan hipertensi pulmonal primer, pulmonal arterial pressure
(PAP) > 25 mmHg. Pada individu muda (<50 tahun) nilai PAP berkisar antara
10-15 mmHg. Karena proses penuaan terjadi peningkatan PAP, sekitar 1
mmHg/10 tahun. Pada penderita PPOK hampir selalu terjadi peningkatan PAP,
lebih dari 20 mmHg. Nilai ini akan meningkat saar exercise, mencapai 30 mmHg
(Weitzenbaum, 2003).
2.3.2 Epidemiologi
Meski prevalensi PPOK di AS mencapai 15 juta jiwa, frekuensi pasti
kor pulmonale sulit ditentukan karena keadaan ini tidak terjadi pada semua kasus
PPOK, selain juga karena pemeriksaan-pemeriksaan rutin relatif tidak sensitif
untuk mendeteksi hipertensi pulmonal. Kor pulmonale diestimasikan terjadi pada
6-7% pada semua bentuk penyakit jantung di AS, dengan PPOK (bronkitis kronis
dan emfisema) sebagai penyebab utama pada lebih dari 50% kasus. Selain itu,
kor pulmonale merupakan 10-30% bentuk dekompensasi kordis di AS.
Kor pulmonale akut umumnya disebabkan oleh emboli paru masif.
Kasus emboli paru masif akut merupakan kondisi yang paling berbahaya. Terjadi
50.000 kematian per tahun di AS akibat emboli paru dan setengahnya terjadi
pada jam pertama akibat gagal jantung kanan akut. Secara global insidensi kor
pulmonal bervariasi pada beberapa negara, tergantung prevalensi merokok,
polusi udara, dan faktor risiko lain terjadinya bermacam penyakit paru (Sovari,
2011).
2.3.3 Etiologi
Penyebab utama terjadinya kor pulmonal adalah emboli paru, penyakit
paru obstrukif dan restriktif kronik, dan penyakit vaskular paru. Kor pulmonale
akut paling sering disebabkan oleh embolisme paru. Apabila embolus secara akut
menyumbat lebih dari 50% jaringan vaskuler paru, peningkatan beban mendadak
di sisi kanan jantung menyebabkan gagal ventrikel kanan. Ventrikel kanan
biasanya mengalami dilatasi, namun tidak hipertrofi. Penyebab lain dari kor
5
pulmonal akut adalah acute respiratory distress syndrome (ARDS), hal ini terjadi
akibat aspek patologik ARDS sendiri atau akibat ventilasi mekanik, khususnya
dengan kebutuhan volume tidal yang lebih tinggi, menyebabkan peningkatan
tekanan transpulmonal (Kumar, 2002; Sovari, 2011)
Kor pulmonale kronis paling sering disebabkan oleh penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK). Pada kor pulmonale kronis, berbeda dengan kor
pulmonale akut, hipertensi pulmonal yang menetap memungkinkan terjadinya
hipertrofi ventrikel kanan kompensatorik. Ventrikel kanan kurang mampu
mengakomodasi peningkatan beban tekanan dibanding ventrikel kiri. Seiring
berjalannya waktu, ventrikel kanan secara progresif mengalami dilatasi dan
akhirnya tidak mampu mempertahankan curah jantung pada tingkat normal. Jika
hal ini terjadi, timbul gejala dan tanda khas untuk gagal jantung kongestif sisi
kanan. Dekompensasi akut dapat terjadi setiap saat pada pasien dengan kor
pulmonal kronis (Kumar, 2002).
Terdapat dua mekanisme esensial yang mendasari timbulnya hipertensi
pulmonal yang menyebabkan kor pulmonale. Yang pertama adalah reduksi atau
kerusakan pada sejumlah besar pembuluh darah paru, menyebabkan terjadinya
aliran darah secara paksa ke pembuluh darah yang lebih sedikit, menyebabkan
kongesti dan hipertensi. Yang kedua adalah reflek vasokonstriksi dari arteriol
pulmonal sebagai respon terhadap hipoksia, hiperkapnea, atau asidosis yang
sering terjadi bersamaan dengan penyakit paru (Nowak, 2008)
Tabel. Penyakit yang memudahkan timbulnya kor pulmonale
Penyakit paru Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
Fibrosis interstisium paru difus
Ateletaksis luas persisten
Fibrosis kistik
Penyakit pembuluh darah paru Embolisme paru
Sklerosis primer pembuluh darah paru
Arteritis pulmonalis ekstensif
(granulomatosis Wegener)
Sklerosis pembuluh darah akibat radiasi,
toksin, atau obat
6
Penyakit yang mempengaruhi gerakan
dada
Kifoskoliosis
Kegemukan berat (pickwickian syndrome)
Penyakit neuromuskulus
Gangguan yang memicu konstriksi
arteriol paru
Asidosis metabolik
Hipoksemia
Altitude sickness kronis, obstruksi saluran
nafas besar
Tabel. Penyebab kor pulmonale berdasarkan proses akut dan kronis
2.3.4 Patogenesis
Patogenesis Kor Pulmonale
Sejumlah mekanisme patofisiologi berbeda dapat menyebabkan
hipertensi pulmonal dan pada akhirnya kor pulmonal, sebagai berikut : (Sovari,
2011)
7
- Vasokonstriksi pulmonar akibat hipoksia, menyebabkan hipertensi
pulmonar dan jika hipertensinya cukup berat, dapat mengakibatkan kor
pulmonale.
- Perubahan anatomi dari pembuluh darah paru sekunder karena penyakit
parenkim atau alveolar paru (seperti emfisema, tromboemboli paru,
penyakit paru interstisial, ARDS, dan penyakit reumatoid). Kondisi-
kondisi ini dapat menyyebabkan peningkatan tekanan darah pulmonar,
yang pada akhirnya juga menyebabkan kor pulmonale.
- Peningkatan viskositas darah sekunder akibat gangguan hematologi
(polisitemia vera, anemia sickle cell).
- Hipertensi pulmonar primer idiopatik.
Akibat dari mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan arteri pulmonar.
Curah jantung dari ventrikel kanan seperti halnya di kiri disesuaikan
dengan preload, kontraktilitas dan afterload. Meski dinding ventrikel kanan tipis,
namun masih dapat memenuhi kebutuhan saat terjadi aliran balik vena yang
meningkat mendadak (seperti saat menarik nafas). Peningkatan afterload akan
menyebabkan perbesaran yang berlebihan. Hal ini terjadi karena tahanan di
pembuluh darah paru sebagai akibat gangguan di pembuluh sendiri maupun akibat
kerusakan parenkim paru. Peningkatan afterload ventrikel kanan dapat terjadi
karena hiperinflasi paru akibat PPOK, sebagai akibat kompresi kapiler alveolar
dan pemanjangan pembuluh darah dalam paru. Peningkatan ini juga dapat terjadi
ketika volume paru turun mendadak akibat reseksi paru demikian pula pada
restriksi paru ketika pembuluh darah mengalami kompresi dan berubah bentuk.
Afterload meningkat pada ventrikel kanan juga dapat ditimbulkan pada
vasokonstriksi dengan hipoksia atau asidosis (Sudoyo,W.2006).
Patologi hipertrofi ventrikel kanan
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respon adaptif lokal mulai
terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respon tersebut mencakup
8
reaksi neurohumoral serta perubahan molekular dan morfologik di dalam
jantung. Salah satu respon neurohumoral yang paling dini terhadap penurunan
curah jantung adalah peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Katekolamin
menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan
peningkatan kecepatan jantung (Kumar, 2002).
Seiring dengan waktu, jantung yang kelebihan beban akan berespon
dengan mengalami berbagai remodelling, termasuk hipertrofi dan dilatasi.
Karena serat otot jantung pada orang dewasa tidak lagi mampu berproliferasi
secara bermakna, adaptasi struktural awal terhadap beban kerja yang terus
menerus tinggi adalah hipertrofi setiap serat otot. Secara morfologi terdapat 2
jenis hipertrofi, yakni :
- Hipertrofi konsentrik. Pola hipertrofi ini terjadi akibat jantung hanya
mendapat beban tekanan (misal, hipertensi, stenosis katup). Hipertrofi
ditandai dengan peningkatan garis tengah setiap serat otot, menyebabkan
ketebalan dinding ventrikel meningkat tanpa peningakatan ukuran rongga
jantung.
- Hipertrofi eksentrik. Pola hipertrofi ini terjadi apabila jantung mendapat
beban volume abnormal, bukan beban tekanan (misal, regurgitasi katup
atau pirau abnornal). Pada keadaan ini panjang setiap serat bertambah,
ditandai dengan peningkatan ukuran jantung serta peningkatan ketebalan
dinding.
Hipertrofi mulanya berfungsi sebagai respon adaptif positif, hampir
sama dengan hipertrofi serat otot rangka yang memungkinkan seorang atlet
mengakomodasi peningkatan beban kerja. Meski memiliki efek hemodinamik
potensial, hipertrofi ini harus dibayar mahal oleh sel. Kebutuhan oksigen
miokardium yang mengalami hipertrofi meningkat, karena massa sel miokard
dan tegangan di dinding ventrikel meningkat. Hal ini pada akhirnya
menyebabkan iskemia miokardium yang akan mengganggu kontraktilitas miosit,
bahkan kematian prematur miosit (Kumar, 2002).
Peningkatan beban kerja jantung memudahkan terjadinya dilatasi
jantung, atau pembesaran rongga. Miokardium menjadi lebih tebal, kurang
elastis, dan tonus normal miokard menurun. Hal inilah yang kemudian
9
menyebabkan kardiomegali pada CHF. Saat miokard mengalami dilatasi,
kemampuan miokard untuk berkontraksi secara adekuat juga menurun, yang
kemudian menyebebkan terjadi dekompensasi (Francis, 2003).
Patogenesis gagal jantung
Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan
terganggunya struktur dan atau fungsi jantung, menyebabkan dispnea atau fatik
saat istirahat atau beraktivitas. Keadaan ini terjadi karena jantung tidak mampu
memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan. Yang tidak termasuk dalam definisi ini adalah kondisi
yang gangguan curah jantungnya terjadi akibat kekurangan darah arau proses lain
yang mengakibatkan gangguan aliran balik darah ke jantung (Nowak, 2004)
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure,
hampir selalu disertai dengan peningkatan kongsti (bendungan) di sirkulasi vena
(backward failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu menyemprotkan
dalam jumlah normal darah vena yang disalurkan ke dalamnya sewaktu diastol
(Nowak, 2004).
Penyebab tersering gagal jantung sisi kiri adalah hipertensi sistemik,
penyakit katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit
miokardium primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal
ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria
pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal ventrikel
kiri, seperti pada pasien dengan penyakit intrinsik parenkim paru dan / pembuluh
paru (kor pulmonale) dan pada pasien dengan penyakit katup pulmonal atau
trikuspid. Keadaan ini kadang terjadi pada penyakit jantung kongenital.
Faktor-faktor penyebab gagal jantung kongestif (Nowak, 2004) :
1. Kelemahan miokard
Kelemahan miokard terutama disebabkan oleh atherosklerosis dan
stenosis pada arteri koroner. Ketika stenosis mencapai 50-70%, hanya
10
kebutuhan oksigen miokard pada istirahat yang dapat dipenuhi.
Atheroskerosis secara progresif akan menyebabkan hipoksia jaringan dan
nekrosis. Miokard yang mengalami nekrosis akan akan digantikan oleh
jaringan ikat fibrosa yang lebih kaku, mengakibatkan penurunan
compliance ventrikular.
Proses lain yang menyebabkan kelemahan miokard adalah
trombosis di arteri koroner, vasospasme yang berkembang pada penderita
infark miokard, miokarditis atau kardiomiopati.
2. Restriksi sistem pompa
Bahkan saat mikardium tidak mengalami kerusakan dan secara
adekuat disuplai oleh oksigen, jantung masih tidak dapat menjalankan
fungsi pompanya secara adekuat karena adanya restriksi pada sistem
pompa. Malfungsi katup jantung adalah salah satu penyebabnya. Katup
yang inkompeten, tidak dapat menutup dengan kuat, akan menyebabkan
aliran balik (backward) dalam sirkulasi jantung atau paru. Jika katup
tidak dapat terbuka secara nomal, penurunan aliran darah menuju jantung
dapat menyebabkan penurunan cardiac output.
Keadaan lain yang dapat mengganggu sistem pompa jantung
antara lain malformasi kongenital, massa intrakardia (tersering adalah
myxoma, tumor endotel pada atrium kiri; 35-50% tumor primer kardia),
atau disritmia. Disritmia dapat disebabkan oleh iskemia, infark, imbalans
elektrolit, atau keadaan lain yang dapat mengganggu sistem konduksi
jantung.
3. Peningkatan afterload
Kegagalan mempertahankan cardiac output juga dapat terjadi akibat
overload. Saat miokardium secara konstan mengalami beban fisik yang
tinggi, volume sekuncup dan kontraktilitas jantung akan menurun secara
bermakna. Penurunan ini terjadi terutama saat terjadi peningkatan
afterload. Keadaan ini dijumpai pada kor pulmonale atau hipertensi
sistemik. Pada kor pulonale, ventrikel kanan dihadapkan pada penyakit
11
paru tertentu yang menyababkan hipertensi pulmonal. Pada kasus
hipertensi sistemik, peningkatan tekanan darah akan menyebabkan
peningkatan resistensi yang harus diatasi oleh ventrikel kiri untuk
mempertahankan cardiac output.
Gambar. Ilustrasi penyebab terjadinya gagal jantung kongestif
2.3.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis kor pulmonale umumnya non spesifik. Pasien bisa
asimptomatik, khususnya pada awal perjalanan penyakit, dan sering kali tanda
dan gejala penyakit ditutupi oleh penyakit paru yang mendasari.
Gejala
Pasien dapat mengeluhkan cepat letih, teakipnea, sesak saat beraktivitas
(dyspnea d’effort) dan batuk. Nyeri dada angina juga dapat terjadi dan sering
12
CHFKelemahan miokardium
Atherosklerosis
Kardiomiopati
Vasospasme koroner
Restriksi sistem pompa
Kelainan katup
Obstruksi intrakardia
Disritmia
Peningkatan afterload
Cor pulmonale
Hipertensi sistemik
Defek kongenital
disebabkan akibat iskemia ventrikel kanan (biasanya nyeri dada tidak respon
dengan nitrat) atau peregangan arteri pulmonal.
Hemoptosis dapat terjadi akibat ruptur arteri pulmonal yang mengalami
dilatasi atau athrosklerotik. Kondisi lain yang dapat meyebabkan hemoptoe
seperti infark paru, tumor, dan bronkiektasis harus dieksklusikan terlebih dahulu.
Pada sejumlah kecil kasus pasien mengeluhkan suara serak (hoarseness) akibat
kompresi nervus laringeal rekuren kiri akibat dilatasi arteri pulmonal.
Pada kasus yang lanjut, kongesti hepatik sekunder akibat gagal ventrikel
kanan dapat menyebabkan timbulnya anoreksia, rasa tidak enak pada daerah
hipokondrium kanan, dan ikterik. Selain itu, pingsan saat beraktivitas, yang juga
terjadi pada kasus yang berat, menandakan kegagalan dalam meningkatkan COP
selama exercise, menyebabkan hipotensi yang bermakna.
Peningkatan tekanan arteri paru dapat menyebabkan peningkatan
tekanan atrium kanan, vena perifer dan kapiler. Akibat peningkatan gradien
hidrostatik, terjadi transudasi cairan dan terakumulasi menjadi edema perifer.
Selain itu hipoksemia yang sering terjadi pada pasien PPOK juga dapat
menyebabkan penurunan GFR dan retensi garam dan air, sehingga menyebabkan
edema perifer.
Membedakan gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan
Berdasarkan gejala yang timbul, dapat dibedakan sisi jantung yang
mengalami kegagalan (failure), apakah gagal jantung sisi kiri atau sisi kanan.
Atrium kiri menerima oksigen dari paru dan meneruskannya ke ventrikel kiri,
yang kemudian memompanya ke seluruh tubuh. Jika ventrikel kiri tidak
memompa secara efisien, darah akan kembali masuk ke pembuluh darah paru,
dan kadang cairan dapat masuk ke ruang pernafasan, menyebabkan kongesti.
Kongesti paru yang terjadi dapat menyebabkan sesak nafas. Gejala lain dari
gagal ventrikel kiri adalah lemas (fatik), dispnea (orthopnea, paroksismal
nokturnal dispnea), dan produksi sputum (kadang disertai darah) akibat kongesti
paru.
13
Gagal jantung kanan terjadi saat resistensi aliran darah dari jantung
kanan (atrium kanan, ventrikel kanan, paru atau arteri pulmonal) menuju paru
atau saat katup trikuspid, yang memisahkan atrium kanan dan ventrikel kanan
tidak berfungsi dengan baik. Hal ini kemudian akan menyebabkan aliran balik
dan peningkatan tekanan jantung kanan. Tekanan juga akan meningkat di hati
dan vena tungkai, menyebabkan pembesaran hati disertai nyeri, asites dan edema
tungkai . Gejala utama dari gagal jantung kanan adalah edema dan nokturia
(buang air kecil berlebihan pada malam hari karena terjadi redistribusi cairan saat
pasien berbaring).
Karena CHF menyebabkan tubuh terisi oleh cairan yang berlebihan,
ginjal mungkin tidak lagi dapat membuang natrium dan air, manimbulkan gagal
ginjal akut (dalam kasus CHF, gagal ginjal dapat besifat sementara dan akan
membaik jika diberikan terapi yang tepat). Natrium yang normalnya dielimansi
melalui urin akan tetap berada dalam tubuh, sehingga menyebabkan semakin
banyak cairan terakumulasi dalam tubuh (Soufer, 2007).
Tabel. Membedakan gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan
14
Tanda
Pemeriksaan fisik dapat membrikan gambaran penyakit paru yang
mendasari atau menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kanan.
- Inspeksi : peningkatan diameter dinding dada antero-posterior (barrel
chest), retraksi dinding dada, distensi vena leher, sianosis.
- Perkusi : hipersonor, asites (shifting dullness)
- Auskultasi : wheezing dan crackles dapat terdengar karena penyakit paru
yang mendasari (misal pada PPOK), turbulensi yang terjadi akibat
thromboemboli paru dapat terdengar sebagai bunyi systolic bruits pada
paru, murmur ejeksi sistolik di regio arteri pulmonum, murmur sistolik
pada kusus regurgitasi trikuspid.
2.3.6 Pemeriksaan Penunjang (emedicine)
- Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mengetahui etiologi atau
komplikasi yang ditimbulkan dari kor pulmonale, meliputi :
a. Pemeriksaan hematokrit. Peningkatan hematokrit menandakan
polisitemia, yang menandakan penyakit paru yang mendasari atau
akibat peningkatan tekanan arteri pulmonum akibat peningkatan
viskositas darah.
b. Serum alfa 1-antitrypsin (PPOK) dan antibodi antinuklear (penyakit
kolagen vaskuler) bila diindikasikan.
c. Analisa gas darah. Bertujuan untuk menilai oksigenasi dan
gangguan asam basa.
- Foto rontgen
Hipertensi pulmonum harus dicurigai jika diameter arteri pulmonal kanan
descenden lebih dari 16 mm dan diameter arteri pulmonal kiri lebih dari
18 mm. Pembesaran ventrikel kanan menyebabkan peningkatan diameter
transversum bayangan jantung bagian kanan pada foto PA dan ventrikel
kanan mengisi ruang udara pada foto lateral.
15
Gambar. Gambaran foto rontgen kor pulmonale
- EKG
Beberapa gambaran EKG yang dapat ditemukan pada cor pulmonal,
antara lain :
a. Deviasi aksis ke kanan ( ≥ 900 )
b. P pulmonal di lead II, III, AVF
c. Gelombang QRS rendah akibat hiperinflasi paru karena PPOK
d. Hipertrofi ventrikel kanan yang berat dapat menghasilkan
gelombang Q patologis yang sering disalah artikan sebagai infark
miokard anterior. Namun karena aktivitas listrik ventrikel kanan
jauh lebih rendah dari ventrikel kiri, perubahan kecil pada ventrikel
kanan mungkin tidak dapat dideteksi melalui EKG.
Gambar. Gambaran EKG hipertrofi ventrikel kanan
16
- Echocardiografi
Menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kanan. Fungsi ventrikel kiri
umumnya normal. tekanan sistolik ventrikel kanan bisa dinilai melalui
Echo Doppler melaui penilaian aliran regurgitan katup trikuspid. Jika
imaging sulit dilakukan karena paru yang terdistensi karena udara, dapat
dinilai ketebalan dinding ventrikel kanan dan volumenya melalui
pemeriksaan MRI (Fauci, 2008)
2.3.7 Diagnosis diferensial
Hipertensi vena pulmonal yang biasanya diderita penderita stenosis katup
mitral.
Gambaran foto toraks berupa pembesaran atrium kiri, pelebaran arteri
pulmonal karena peninggian tekanan aorta yang relatif kecil (pada fase
lanjut), pembesaran ventrikel kanan, pada paru-paru terlihat tanda-tanda
bendungan vena. ( Matsum,2011)
2.3.8 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan kor pulmonal pada PPOK ditinjau dari aspek jantung
sama dengan pengobatan kor pulmonal pada umumnya yaitu untuk : (1)
Mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas; (2) Menurunkan hipertensi pulmonal;
(3) Meningkatkan kelangsungan hidup; (4) Pengobatan penyakit dasar dan
komplikasinya (Sudoyo,W.2006).
Pengobatan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan
hipertensi pulmonal, pengobatan gagal jantung kanan dan meningkatkan
kelangsungan hidup. Untuk tujuan tersebut pengobatan yang dapat dilaksanakan
diawali dengan menghentikan rokok serta tatalaksana lanjut adalah sebagai
berikut (Sudoyo,W.2006).
- Terapi oksigen
Terapi oksigen sangat penting pada pasien dengan PPOK, khususnya
ketika diberikan secara kontinu. Terapi oksigen dapat meredakan
vasokonstriksi paru hipoksemik, yang pada akhirnya dapat meningkatkan
17
cardiac output, menurunkan vasokonstriksi simpatetik, dan meningkatkan
perfusi renal.
Secara umum, pada pasien dengan PPOK, terapi oksigen jangka panjang
direkomendasikan jika PaO2 kurang dari 55 mmHg atau saturasi O2
kurang dari 88%. Namun pada keadaan kor pulmonal, terapi oksigen
jangka panjang tetap diindikasikan meski PaO2 lebih dari 55 mmHg atau
saturasi O2 lebih dari 88%.
- Medikamentosa
Diuretik digunakan untuk menurunkan volume pengisian ventrikel
kanan pada pasien dengan kor pulmonum kronik. Calsium channel
blocker merupakan vasodilator arteri pulmonal yang telah terbukti
efikasinya pada penatalaksanaan jangka panjang pasien kor pulmonal
sekunder akibat hipertensi arteri pulmonum primer.
Indikasi utama pemberian antikoagulan oral pada manajemen kor
pulmonal adalah pada kondisi kor pulmonal yang disebabkan oleh
tromboemboli atau hipertensi pulmonal primer. Metilxantin, seperti
halnya teofilin, dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada kor
pulmonal sekunder akibat PPOK. Selain memiliki efek bronkodilator,
golongan ini dapat meningkatkan kontraktilitas miokardium,
menyebabkan efek vasodilatasi paru ringan dan meningkatkan
kontraktilitas diafragma.
1. Vasodilator
Vasodilator telah digunakan sebagai terapi jangka panjang pada kor
pulmonale kronikum dengan hasil yang cukup memuaskan. Golongan
calcium channel blocker, seperti sustained release nifedipine dan
diltiazem, dapat menurunkan tekanan pulmonum, meski obat golongan ini
lebih efektif digunakan pada pasien hipertensi pulmonale primer dibanding
sekunder.
Golongan vasodilator lain, seperti beta agonis, nitrat, dan ACE inhibitor
telah dicoba, namun tidak menunjukkan efek yang menguntungkan pada
pasien PPOK, sehingga tidak digunakan secara rutin (Sovari, 2011).
18
2. Diuretika
Diuretik digunakan sebagai terapi kor pulmonale, terutama jika volume
pengisian ventrikel kanan meningkat secara bermakna dan terjadi edema
perifer. Golongan diretik dapat meningkatkan fungsi kedua ventrikel.
Meski demikian, diuretik dapat dapat merugikan status hemodinamik jika
tidak digunakan secara hati-hati. Penurunan volume cairan dalam jumlah
banyak dapat menurunkan cardiac output.
Komplikasi potensial lain dari diuretik adalah terjadinya hipokalemi
disertai alkalosis metabolik. Gangguan elektrolit dan asam basa yang
terjadi juga dapat menyebabkan aritmia jantung, yang pada akhirnya juga
memperburuk cardiac output. Jadi, diuretik dapat digunakan sebagai
manajemen kor pulmonale namun harus digunakan secara hati-hati.
3. Flebotomi
Tindakan flebotomi pada pasien kor pulmonal dengan hematokrit yang
tinggi diindikasikan jika hematokrit > 55%. Sasarannya adalah penurunan
Hct di bawah 50% (Sudoyo,W.2006).
4. Antikoagulan
Pemberian antikoagulan pada kor pulmonal berdasarkan atas kemungkinan
terjadinya tromboemboli akibat pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan
dan adanya faktor imobilisasi pada pasien.
Di samping terapi diatas pasien korpulmonal pada PPOK harus mendapat
terapi standar untuk PPOK, komplikasi dan penyakit penyerta (Sudoyo,W.2006).
2.3.9 Prognosis
Prognosis dari kor pulmonal bervariasi tergantung patologi yang
mendasari. Perkembangan kor pulmonal yang disebabkan penyakit primer pada
paru dapat menimbulkan prognosis yang lebih buruk. Contohnya, pasien dengan
PPOK yang memiliki komplikasi kor pulmonal memiliki angka harapan hidup 5
tahun sebesar 30%. Prognosis pada keadaan akut akibat emboli paru masif atau
19
ARDS belum diketahui bersifat dependen atau independen terhadap kor pulmonal.
Namun, sebuah penelitian prospektif oleh Volschan et al mengindikasikan bahwa
pada kasus emboli paru, kor pulmonal dapat meningkatkan mortalitas.
2.1.10 Komplikasi
- Gagal jantung kanan
- Chronic heart failure (CHF)
- Gagal nafas
- Acute Kidney Injury
- Hemoptosis
- Trombosis vena dalam
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Assayag, P. (1997). Compensated cardiac hypertrophy: arrhythmogenicity
and the new myocardial phenotype. I. Fibrosis. Cardiovascular Mysteri
Series, 34, 439-444.
2. Francis, G., & Tang, W. (2003). Patophysiology of Congestive Heart
Failure. MedReviews, 4.
3. GOLD. (2006). Global Strategy for Diagnosis, Management, and Prevention
of COPD.
4. Kamangar, N. (2010). Chronic Obstructive Pulmonary Disease Retrieved
15 Mei, 2010, from http://www.emedicine.medscape.com/article/297604-
overview
5. Khozhnevis, R., & Massumi, A. (1999). Ventricular Arrythmia in
Congestive Heart Failure. 26.
6. Kumar, V., Cotran, R. S., & Robbins, S. L. (2007). Buku Ajar Patologi (7
ed. Vol. 2).
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Penyakit Paru Obstruktif
Kronis - Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
8. SIGN. (2007). Cardiac Arrhytmia in Coronary Heart Disease. NHS.
9. Weitzenbaum, E. (2003). Chronic Cor Pulmonale. BMJ, 89, 225-230.
10. Kurt J. Isselbacher, Eugene Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph & Martin,
Anthony S Fauci, Dennis L Kasper, edis bahasa Indonesia; Ahmad H. Asdie
Prof. dr. Sp.PD, ke : Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, edisi
15, volume 3, 2002, hal. 1222-1226.
11. Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 1. Jakarta.
Media aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
12. Soeparman dan Warpadji Sarwono : Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2, Cetakan
ketiga, FKUI, Jakarta, 1998. Hal. 882-889.
13. Sudoyo, W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas indonesia.
21
14. Matsum. Kor Pulmonale. (Online) http://www.matsum.blogspot.com,
diakses tanggal 4 oktober 2011.
15. Dave, R. Cor Pulmonale. http://www.emedicine.com/article_corpulmonale,
diakses tanggal 4 Oktober 2011
16. Delacretaz, E. Clinical Practice Supraventricular Tachycardia. The New
England Journal of Medicine, 354, 1039-1051.
17. Fox, D., Tischenko, A., Krahn, A., Snakes, A., Gulla, L. J., Yee, R., et al.
(2008). Supraventricular Tachycardia. Mayo Foundation, 83, 1400-1411.
22