patofisiologi sistem pulmonal
DESCRIPTION
patologiTRANSCRIPT
SISTEM PULMONAL
KOMPONEN SISTEM PULMONAL
Paru-paru melakukan oksigenasi darah dan mengeliminasi karbon
dioksida dari dalam darah. Paru-paru memiliki dua komponen dasar: sistem
trakeo-bronko-alveolar (yaitu jalan napas serta alveoli) dan -pembuluh
darah.
Gambar 2-1 A. Skema komponen paru. Unit fungsional paru
berupa alveoli dan kapilernya. Pada dasarnya alveoli paru merupakan
kantung.yang berisi udara ketika seseorang menghirup napas dan
membiarkan udara mengalir lewat membran ke dalam pembuluh darah
(kapiler, alveoli). Kemudian alveoli berkontraksi balik seperti balon yang
kempis untuk membuat karbon dioksida mengalir keluar dan memulai siklus
yang baru lagi. Alveoli merupakan cabang akhir jalan napas (trakea →
bronkus → bronkiolus → alveoli). Apa yang menyebabkan sistem ini gagal
bekerja? Suatu gangguan pada kantung udara (alveoli paru), jalan napas
(trakea/bronkus/bronkiolus), membrannya atau pembuluh darah.
Kantung Alveoli/Jalan Napas
Semua alveoli harus terisi dengan oksigen dan semua jalan napas
harus bekerja sebagai saluran bagi udara pernapasan
yangdihirup/dihembuskan keluar. Gangguan apakah yang dapat
mempengaruhi kantung alveoli dan/atau jalan napas?
Kantung sudah terisi dengan substansi lain yang bukan udara
pernapasan (Gambar 2-1B).
Kantung tidak terbuka secara memadai (Gambar 2-1C).
Kantung tidak dapat melakukan ekspirasi secara memadai karena
terdapat obstruksi dalam jalan napas atau penurunan rekoiling
kantung alveoli itu sendiri (Gambar 2-1D).
Gambar 2-1B. Kantung alveoli sudah terisi dengan sesuatu yang bukan
udara pernapasan. Apa yang dapat mengisi kantung alveoli? Pus (pneumonia) atau
cairan (edema atau darah). Setiap proses yang menyumbat alveoli akan mengurangi
kemampuannya untuk menahan oksigen (dan dengan demikian menurunkan kemampuan
melakukan oksigenasi darah dalam pembuluh kapilernya). Salah satu penyebab terisinya
alveoli adalah edema pulmonal kardiogenik: ketika jantung mengalami kegagalan dan
darah mengalir balik ke dalam paru-paru, maka kenaikan tekanan menyebabkan
transudasi cairan ke dalam kantung alveoli sehingga kantung ini tidak dapat terisi
oksigen secara memadai. Penyebab edema pulmonal non-kardiogenik adalah sindrom
distres akut pernapasan (ARDS; acute respirator}' distress syndrome) yang dapat terjadi
pada syok septik, trauma dan lain-lain. Pada ARDS, inflamasi menyebabkan kapiler
pulmonal mengalami kebocoran sehingga terjadi edema pulmonal. Di samping pus dan
cairan edema, darah dapat mengisi alveoli jika terdapat perdarahan pulmonal. Keadaan
ini dapat terjadi pada sindrom Goodpasture atau terjadi sekunder karena misalnya
kanker paru.
Gambar 2-1C. Kantung alveoli tidak dapat terbuka secara memadai.
Kantung alveoli tidak dapat terbuka secara memadai apabila menghadapi restriksi
tertentu yang menghalangi terbukanya kantung tersebut {penyakitparu restriktif) atau
jika otak tidak memberitahukan alveoli agar terbuka [sleep apnea sentral). Penyakit
paru restriktif dapat disebabkan oleh paru-paru yang kaku, dinding dada yang kaku
atau kelemahan otot pernapasan. Salah satu dari penyebab restriksi ini menghasilkan
suatu situasi di mana jalan napas tidak dapat terbuka di seluruh jalan tersebut dan
sulit membiarkannya terbuka sehingga terjadi kolaps dengan cepat. Penyakit paru
restriktif akan dibahas kemudian dalam Bab ini.
Apabila Anda menghembuskan keluar semua udara yang ada di dalam paru-paru
dan kemudian menahan napas Anda untuk waktu yang benar-benar lama, maka akhirnya
Anda akan terengah-engah mencari udara atau Anda akan meninggal. Keadaan ini
terjadi karena otak mendeteksi penurunan kadar oksigen (hipoksia) serta peningkatan
karbon dioksida (biperkarbid) dan membutuhkan suatu tarikan napas. Jadi salah satu
penyebab mengapa kantung alveoli tidak- akan terbuka adalah apabila otak tidak
melaksanakan kerjanya. Pada sleep apnea sentral diperkirakan terjadi penurunan
sensitivitas reseptor sentral di dalam otak terhadap keadaan hipoksia/hiperkarbia ini di
samping penurunan respons terhadap stimulus tersebut. Pusat- pusat dalam batang otak
yang “'menyuruh paru untuk bernapas" kadang-kadang berhenti bekerja seperti pada
keadaan tidur, pasien ini biasanya berhenti bernapas. Keadaan ini berbeda dengan sleep
apnea obstruktij di mana terjadi kolaps jalan napas bagian atas yang disebabkan
olehkelainan struktural. Akibat dari kedua tipe slcep apnea tersebut adalah
rasa mengantuk pada siang hari karena sering terbangun di malam yang
disebabkan oleh apnea.
Gambar 2-1D. Kantung alveoli tidak dapat menghembuskan
udara keluar secara memadai. Misalkan kantung itu terbuka, menghirup
oksigen dan mengalirkan oksigen lewat membran ke' dalam darah tanpa
permasalahan. Tetapi kemudian misalkan saja ketika kantung tersebut akan
menghembuskan udara napas yang berisi limbah karbon dioksida dan
menghirup kembali udara napas yang berisi oksigen, lalu entah bagaimana
kantung ini tidak dapat melakukannya. Bagaimana keadaan ini dapat
terjadi? Bisa karena obstruksi jalan napas atau rekoiling elastik
alveoli yang tidak memadai. Alveoli merupakan cabang akhir suatu
percabangan jalan napas yang dimulai dengan trakea. Trakea bercabang
dua menjadi dua buah bronkus yang kemudian bercabang lagi menjadi
bronkiolus yang selanjut bercabang menjadi alveoli paru. Obstruksi pada
salah satu tempat dalam jalan napas akan membuat alveoli tidak dapat
kembali kepada keadaan kempis (deflasi) dan dengan demikian terjadi
retensi karbon dioksida serta ketidakmampuan memulai sebuah siklus
pernapasan yang baru.
Bagaimana jalan napas dapat tersumbat? Benda asing (seperti sebutir
kacang yang terhirup ke dalam jalan napas pada anak-anak), tumor atau
pembentukan sumbat mukus yang kronis [bronkitis kronis atau kistik
fibrosis) semuanya dapat menimbulkan obstruksi mekanis. Di samping itu,
obstruksi jalan napas dapat terjadi jika jalan napas menjadi biper-reaktif
(yang membuatnya berkonstriksi dalam merespons udara dingin dan/atau
exercise dan/atau alergen . seperti pada asn\a) atau jika kerusakan pada
parenkim paru menyebabkan peningkatan kolapsnya jalan napas
(emfisema). Pada emfisema, kerusakan arsitektur paru juga menyebabkan
penurunan rekoiling elastik alveoli sehingga kekuatan ekspirasi paksa
berkurang. Masing-masing proses terjadinya penyakit ini akan dibahas
dengan lebih rinci di bawah judul penyakit paru obstruktif.
Membran
Membran alveoli memungkinkan O2 melintasi darah dan CO2 keluar
dari dalam darah. Setiap penyakit yang menyebabkan destruksi aiau
penebalan membran ini dapat mengurangi difusi oksigen lewat membran
tersebut. Destruksi bagian membran alveoli dapat terjadi pada emfisema
sehingga luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas menjadi
berkurang. Penebalan membran alveoli terjadi pada penyakit yang
menyebabkan fibrosis paru-paru (misalnya penyakit jaringan penyambung;
hipersensitivitas: penyakit pajanan seperti silikosis, beriliosis, asbestosis dan
lain-lain). Penyakit ini juga menyebabkan penyakit pulmonal restriktif
karena penebalan fibrotik akan menimbulkan restriksi yang membatasi
ekspansi paru yang normal.Kecuali jika terdapat penebalan membran
yang sangat berat. maka dilusi oksigen biasanya masih memadai untuk
memenuhi kebutuhan tubuh yang melakukan aktivitas. Keadaan ini
hanya menimbulkan dispnea eksersional (sesak napas pada saat
beraktivitas). Keadaan apa lagi yang dapat menyebabkan dispnea
eksersional? Angina akibat penurunan perfusi jantung yang disebabkan
oleh aterosklerosis pada arteria koronaria. Jadi, ketika Anda berpikir
tentang dispnea eksersional, paru dan jantung keduanya merupakan
penyebab patofisiologis yang potensial.
Pembuluh Darah
Gambar 2-1E. Tujuan yang hendak dicapai oleh vaskulatur pulmonal
adalah membawa darah ke dalam paru-paru untuk mengambil oksigen dan
melepaskan karbon dioksida. Obstruksi pembuluh darah (yaitu akibat
emboli pulmonal) dapat menghalangi pengangkutan darah ke dalam paru-
paru untuk pertukaran gas. Penyakit pembuluh darah pulmonal yang lain
adalah hipertensi pulmonal yaitu kenaikan tekanan dalam sistem vaskular
pulmonal.
Bagaimana jika perubahan terjadi dalam darah itu sendiri? Sebagai
contoh, apabila kapasitas darah untuk membawa oksigen mengalami
penurunan, maka seberapa baiknya paru-paru bekerja dalam melakukan
oksigenasi darah tidak akan menimbulkan pengaruh apa pun mengingat
darah itu sendiri tidak dapat menerima oksigen secara memadai. Jadi,
keadaan anemia dapat menurunkan kemampuan tubuh untuk memberikan
oksigen kepada jaringan. Jika kapasitas darah untuk mengangkut oksigen
mengalami penurunan, bagaimana tubuh akan mengimbanginya? Tubuh
akan mencoba mendapatkan lebih banyak oksigen dengan bernapas lebih
dalam serta lebih cepat dan dengan membuat sirkulasi volume darah yang
tersedia berlangsung lebih cepat untuk menempuh jarak sejauh mungkin.
Keadaan ini dapat menyebabkan sesak napas dan takikardia. Jadi penyebab
sesak napas bukan hanya mencakup permasalahan jantung dan paru-paru
tetapi juga permasalahan darah itu sendiri.
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF DANRESTRIKTIF
Suatu konsep yang penting dalam patofisiologi pulmonal adalah
perbedaan antara penyakit paru obstruktif dan restriktif. Jika terdapat
obstruksi di mana saja dalam jalan napas, maka keadaan ini membuat
udarapernapasan sulit dihembuskan keluar. Penyebab obstruksi
meliputi:
1. Obstruksi mekanis jalan napas (misainya benda asing, tumor,
penyumbatan mukus yangkronis pada bronkitis kronis).
2. Peningkatan resistensi jalan napas (misalnya penebalan jalan napas
karena inflamasi pada bronkitis kronis).
3. Peningkatan tendensikearah penutupan jalan napas (suatu
komponen pada asma dan emfisema).
Penyakit paru restriktif membuat udara pernapasan sulit dihirup ke
dalam paru-paru. Penyakit paru restriktif dapat disebabkan oleh:
1.Paru-paru yang kaku (misalnya penyakit paru interstisialis).
2. Dinding dada yang kaku (misalnya kifoskoliosis, spondilitis ankilosing,
obesitas).
3. Kelemahan otot pernapasan (penyakit neurologi atau neuromuskular).
Mnemonic (jembatan keledai): obstruction makes it hardto get
theairout, restriction makes it hard to get the in.
Penyakit Paru Obstruktif
Emfisema
Di bawah mikroskop, paru-paru terlihat seperti sarang lebah: rongga-
rongga udara yang kosong dengan dikelilingi oleh membran alveoli. Ketika
menghirup udara pernapasan ke dalam paru, membran ini yang bersifat
lentur (fleksibel) akan meregang sehingga udara tersebut dapat mengalir
masuk ke dalam alveoli dan kemudian ketika melemas, membran ini
mendorong udara untuk kembali keluar.
Jika kita mengambil arsitektur paru yang mirip sarang lebah ini dan
mulai merobek sebagian membran alveoli, maka yang tertinggal adalah
alveoli dan bronkiolus yanglebih besar dan lebih terkulai (berbeda
dengan yang berukuran lebih kecil dan lebih kencang dalam paru-paru yang
normal). Ada dua konsekuensi dari keterkulaian ini: alveoli paru
mengalami penurunan daya rekoiling elastik dan bronkiolus lebih
cenderung kolaps. Karena berkurangnya daya rekoiling elastik pada
alveoli yang terkulai ini, maka kekuatan alveoli paru tersebut untuk meng-
hembuskan udara pernapasan keluar menjadi lemah dibandingkan dengan
alveoli normal yang masih “lebih kencang” (bayangkan balon baru yang
masih kencang akan lebih sulit ditiup dibandingkan dengan balon bekas
yang sudah tua). Penurunan rekoiling elastik ini bersama dengan
bertambahnya bronkiolus yang kolaps akan membuai udara pernapasan
sulit dihembuskan keluar. Jika paru-paru mengalami kesulitan dalam
melakukan ekspirasi, maka keadaan ini akan menyebabkan biperinjlasi
dan terperangkapnya udara. Di samping itu, destruksimembran alveoli
akan mengurangi luas permukaan alveoli yang tersedia untuk pertukaran
gas. Keadaan ini merupakan emfisema yaitu salah satu tipe penyakit paru
obstruktif yang kronis (PPOK/COPD [chronic obstructive pulmonary disease]).
Pada emiisema, dinding alveoli mengalami penghancuran secara progresif
(misalnya dengan merokok atau lewat defisiensi antitripsin a-1) sehingga
terjadi dilatasi rongga-rongga udara di sebelah distal. Alveoli yang menjadi
seperti kantung yang kendur dan terkulai tidak akan mampu melakukan
pekerjaan ekspirasi danbronkiolus juga mudah menjadi kolaps sehingga
timbul obstruksi jalan napas.
Tanda dan Gejala Emfisema . Pasien emfisema akan menghirup
napas dalam dan kemudian mengalami fase ekspirasi yang memanjang
karena adanya obstruksi yang menghalangi ekspirasi. Paru-parunya bisa
begitu parah ketika harus menghembuskan udara pernapasan sehingga
otot-otot aksesoiis (misalnya otot-otot interkosta, otot-otot abdomen dan
lain-lain.) harus dilibatkan untuk membantu ekspirasi ini. Apa yang Anda
dengar ketika udara pernapasan berupaya meninggalkan paru-paru melalui
jalan napas yang tersumbat? Jika Anda menghembuskan udara lewat mulut
yang terbuka lebar, bunyinya terdengar seperti aliran udara yang
menghembus. Untuk mengeluarkan bunyi seperti bunyi pluit, Anda harus
membuat lubang yang sangat kecil dengan merapatkan kedua bibir Anda
agar udara yang dihembuskan mengalir keluar lewat celah ini. Jadi, sebuah
lubang yang kecil dengan udara yang dipaksa mengalir melintasinya akan
memberikan bunyi bernada-tinggi. Demikian pula, jalan napas yang
tersumbat akan memperdengarkan bunyi wheezing pada pemeriksaan.
Jika Anda menghirup napas semaksimal mungkin, tahan dan kemudian
mencoba menarik napas lagi sementara dada Anda masih berada dalam
keadaan ekspansi. maka perasaan yang akan Anda peroleh sama seperti
perasaan seseorang yang menderita penyakit paru obstruktif kronis/PPOK
atau serangan asma (asthma flare). Selama terjadinya serangan asma,
pasien bernapas dengan volume paru yang tinggi sehingga melelahkan
samp.u pada titik dapat terjadinya gagal napas. Bernapas dengan volume
paru yang tinggi dapat pula menyebabkan hiper-ekspansi yang terlihat pada
foto rontgen toraks yaitu: paru-paru akan terlihat sangat besar (terutama
pada poros superior-inferior) dan diafragma tampak datar. Seorang pasien
emfisema dapat pula memiliki bentuk dada seperti tong (barrel chest).
Tes Fungsi Paru
Tes fungsi paru yang digunakan untuk membedakan penyakit paru
obstruktif dengan penyakit paru restriktif adalah rasio FEVl/FVC(volume
ekspirasi paksa [lorced expiratory volume) dalamsatu detik yang dibagi
dengan kapasitas vital paksa [forced vital capacity]). FVC merupakan jumlah
udara yang diekspirasikan secara paksa sesudah inspirasi maksimal. FEV1
menyatakan berapa banyak udara pernapasan yang dapat dihembuskan
keluar dalam waktu satu detik pertama saat melakukan tugas ini. Jika
seseorang yang normal mencoba memaksakan semua udara dalam- paru-
parunya untuk terhembus keluar, maka tidak mungkin semua udara itu
mengalir keluar terlepas seberapa kuat orang itu sudah mencobanya, udara
yang tertinggal disebut volume residual. Keadaan ini terjadi karena pada
suatu titik tertentu di sepanjang ekspirasi, tekanan intratorakal melampaui
tekanan dalam jalan napas dan dengan demikian jalan napas akan kolaps.
Kolapsnya jalan napas ini menyebabkan sejumlah volume residual tertinggal
di dalam paru-paru.
Tes Fungsi Paru (PFTfpulmonary function test) pada Emfisema
Gambar 2-2. Rasio FEV1/FVC pada penyakit paru obstruktif.
Dengan paru-paru emfi- sematous yang kendur, seorang pasien emfisema
tidak dapat menghembuskan udara napas dalam satu detik pertama dengan
volume sebanyak volume udara napas yang dihembuskan oleh orang
normal. Jadi, nilai FEV1 mengalami penurunan. Meskipun terdapat
peningkatan volume residual pada penyakit obstruktif karena gangguan
menghembuskan udara napas keluar, namun sebagian besar udara tersebut
pada akhirnya akan dapat diekspirasikan tetapi dengan sangat sangat
lambat. Jadi, jika angka yang ada di atas dalam sebuah pecahan menurun
sedangkan angka yang ada di bawahnya tetap, maka rasio FEV1/FVC akan
mengalami penurunan. Pada emfisema, nilai .FEVl mengalami
penurunan sementara nilai FVC tetap atau menurun (kendati
penurunannya lebih hecil daripada nilai FEVl) sehingga terjadi
penurunan rasio FE 1 ’l/FVC. Penurunan rasio FEVl/FVC merupakan tanda
utama gambaran tes lungsi paru pa#da penyakit paru obstruktif.
Destruksi dinding alveoli paru pada emfisema menyebabkan
penurunan luas permukaan alveoli untuk ambilan oksigen. Sebuah tes yang
dinamakan pemeriksaan kapasitas difusi paru-paru untuk karbon
monoksida (diffusion capacity ofthe lungs ior carbon monoxide/DLCO)
mengukur difusi gas karbon monoksida lewat membran alveoli dengan
menilai keseluruhan kapasitas difusi pada paru-paru. DLCO mengalami
penurunan pada penyakit emfisema. Perhatikan bahwa penyakit paru
obstruktif yang lain tanpa adanya destruksi alveoli (seperti misalnya pada
penyakit asma), maka hasil DLCO tidak akan menurun. Penurunan rasio
FEV1/FVC hanya ditemukan pada semua penyakit paru obstruktif.
Merokok merupakan penyebab emfisema yang paling sering.
Penyebab genetik yang lebili langka, yaitu defisiensi α-1 antitripsin ,
harus dipertimbangkan pada pasien bukan-perokok yang mengalami
emfisema. Penyakit hati (sirosis) juga dapat menimbulkan defisiensi a-1
antitripsin. Berikut ini sebuah logika untuk mengingat perbedaan gambaran
patologis antara emfisema a-1 antitripsin dan emfisema yang ditimbulkan
oleh merokok: jika sebuah gen tidak terdapat dalam setiap sel di dalam
paru-paru seperti pada kasus defisiensi a-1 antitripsin, apakah Anda
memperkirakan bahwa paru-paru akan mengalami destruksi lokal atau
destruksi menyeluruh? Jawabannya menyeluruh. Keadaan ini dikenal sebagai
emfisema panlobular (panasinar) yang terlihat pada emfisema yang
ditimbulkan oleh defisiensi a-1 antitripsin. Emlisema akibat merokok paling
sering menimbulkan destruksi bagian paru yang letaknya lebib dekat
dengan tempat masuknya asap rokok (yaitu di dekat jalan napas yang
mengalirkan asap rokok tersebut); dengan demikian, emfisema
sentrilobular merupakan gambaran patologis yang khas pada emfisema
yang berkaitan dengan merokok.
Bronkitis Kronis
Pada bronkitis kronis terjadi penyumbatan jalan napas oleh mukus
sehingga timbul resistensi terhadap aliran udara pernapasan. Bayangkan
jika Anda meniup udara lewat tabung gulungan toilet paper: mudahkan! Kini
bayangkan jika saluran dalam tabung tersebut terisi gumpalan toilet paper
yang basah sehingga lumennya pada hakekatnya sudah tersumbat:
sukarkan! Keadaan inilah yang terjadi pada paru-paru pasien bronkitis
kronis. Jalan napasnya terisi dengan mucus plug yang menghalangi
ekspirasi. Karena proses patofisiologi yang utama di sini berupa obstruksi,
maka FEV1 akan menurun dan demikian pula rasio FEVl/FYC juga akan
mengalami penurunan seperti pada penyakit emfisema. Emfisema dan
bronkitis kronis keduanya disebut obstruktif dan keadaan ini dicerminkan
lewat hasil PFT yang serupa.
Merokok merupakan penyebab utama bronkitis kronis. Sebagian
pasien memiliki gambaran bronkitis kronis maupun emlisema. Pasien-pasien
ini biasanya mengalami sesak napas dalam derajat tertentu pada saat
beraktivitas karena fungsi parunya terganggu. Namun demikian,infeksi
pernapasan dapat menyebabkan serangan akui PPOKdi mana keadaan
umum pasien mengalami penurunan yang akut. Keadaan ini terjadi karena
peningkatan obstruksi yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan
bernapas.
Penyakit Asma
Pada penyakit asma bronkiale, yaitu tipe penyakit paru obstruktif yang
lain, jalan napas bersifat hiper-reaktif.Pemicu yang mungkin menimbulkan
respons hiper-reaktif meliputi alergen, udara dingin dan aktivitas fisik. Kata
hiper-rcaktivitas mengacu kepada kenyataan bahwa jalan napas lebih
cenderung melakukan konstriksi sebagai respons terhadap stimulus ini.
Sama seperti penyebab obstruksi yang lain, pasien akan memperlihatkan
hiper-ekspansi dada, bunyi mengi (wheezing), fase ekspirasi yang
memanjang, penggunaan otot-otot aksesoris saat bernapas dan penurunan
FEV1. Perbedaan antara penyakit asma dan PPOK adalab bahwa
asma merupakan keadaan bronkokonstriksiyang reversibel. pasien
dan hasil PFT akan membaik ketika serangan eksaserbasi itu berakhir
(biasanya sesudah dilakukan terapi), dan pasien akan bernapas secara
normal kembali. Pada penyakit paru obstruktif yang lain (yaitu bronkitis
kronis dan emfisema) terdapat penurunan kronisfungsi paru yang akan
menjadi lebih buruk lagi pada eksaserbasi berikutnya. Seperti halnya pada
emfisema, pasien eksaserbasi asma akan bernapas dengan volume paru
yang tinggi sebagai akibat dari obstruksi, dan dengan demikian dapat
mengalami kelelahan otot-otot pernapasan hingga taraf gagal napas;
keadaan gagal napas kadang-kadang memerlukan intubasi dan ventilasi
mekanis.
Ketika memeriksa pasien dengan serangan akut asma mungkin
ditemukan pulsusparadoksus.Selama serangan, peningkatan volume paru
membuat tekanan negatil yang sangat tinggi di dalam dada sehingga lebih
banyak alir balik vena (venous return) yang akan “terisap” ke dalam jantung.
Peningkatan venous return ini dapat membawa akibat yang cukup dramatis
karena membuat distensi ventrikel kanan hingga taraf yang menyebabkan
kompresi ventrikel kiri dan dengan demikian akan mempengaruhi aliran-
keluar ventrikel kiri. Aliran-keluar ventrikel kiri merupakan sumber sirkulasi
darah perifer (dan dengan demikian denyut nadi atau pulsus). Jadi ketika
meraba denyut nadi seorang pasien yang sedang mengalami serangan
asma, kita dapat merasakan penurunan denyut nadi perifer pada saat
inspirasi (pulsus paradoksus). Pulsus paradoksus juga dapat terjadi pada
tamponade jantung.
Penanganan Serangan Akut Asma dan PPOK . Bagaimana
Anda akan membantu seorang pasien PPOK (atau asma) pada saat
mengalami serangan akut atau flarer Ada dua proses yangdapat Anda
koreksi: jalan napas yang tersumbat dan inflamasi. Untuk membuka jalan
napas, Anda harus mempengaruhi sistem simpatik pulmonal dan/atau sistem
parasimpatiknya.
Sistem saraf simpatik berfungsi untuk reaksi fight or fligbt, sedangkan
sistem saraf parasimpatik untuk istirahat dan mencerna makanan. Jika Anda
akan berkelahi dengan seekor harimau (atau lari dari harimau), Anda
memerlukan jantung yang berdenyut cepat untuk memompa darah ke dalam
otot-otot Anda sehingga Anda memiliki kekuatan untuk berkelahi (atau untuk
lari), kemudian jalan napas harus terbuka lebar sehingga Anda dapat
memperoleh cukup oksigen, dan kedua pupil Anda akan terbuka lebar
(dilatasi pupil) agar Anda dapat melihat harimau itu dengan jelas, dan usus
serta kandung kemih Ajida akan berhenti bekerja untuk sementara waktu
(karena Anda tidak mungkin berhenti dan mampir di toilet ketika Anda
sedang berlari).
Sistem saraf parasimpatik melakukan hal sebaliknya: memperlambat
denyut jantung, menimbulkan konstriksi jalan napas, menimbulkan konstriksi
pupil dan menstimulasi proses pencernaan, defekasi serta urinasi. Meskipun
tidak pas dengan kerangka kerja logika kita, namun sistem parasimpatik
mengantarai (memediasi) ereksi penis sementara sistem saraf simpatik
memediasi eyakulasi.
Gambar 2-3. Bronkodilatasi. Kembali kepada jalan napas: Sistem saraf
simpatik membuka jalan napas sedangkan sistem saraf parasimpatik
menyempitkan jalan napas. Jadi pada serangan akut asma dan PPOK di mana
kita ingin membuka jalan napas, kita harus menstimulasi sistem saraf
simpatik dan/atau menghambat sistem saraf parasimpatik. Stimulasi
simpatik dalam paru- paru bekerja lewat reseptor β-2 sehingga Anda
memerlukan preparat agonis reseptor ini seperti misalnya albuterol. Sistem
parasimpatik dalam paru-paru bekerja lewat asetilkolin sehingga Anda akan
menghambat kerja reseptor ini dengan preparat antikolinergik seperti
ipratropium.
Kapan ketika Anda tidak ingin menggunakan β-agonis untuk membuka
jalan napas? Ingat preparat β-blockerdigunakan untuk mengatasi serangan
aritmia tertentu dan juga memperlambat denyut jantung sehingga
kebutuhan kalorinya akan berkurang ketika pasien sedang, dalam serangan
angina. Dengan memberikan β-agonist kepada pasien yang memerlukan
βblocker jelas merupakan gagasan yang buruk karena preparat β-agonis ini
dapat meningkatkan lrekuensi jantung sehingga memperparah serangan
angina.
Seperti dalam pengobatan untuk inflamasi, preparat steroid seperti
prednison dapat mengurangi komponen serangan akut ini. Karena infeksi
dianggap turut menyebabkan serangan akutpada pasien-pasien PPOK,
maka antibiotik kadang-kadang diberikan dalam penanganan serangan
akut PPOK.
Kistik Fibrosis
Kistik fibrosis merupakan penyebab penyakit paru obstruktif yang lain. Kistik fibrosis
disebabkan oleh mutasi dalam protein CFTR (cystic fibrosis transmembrane conductance
regulator) yang merupakan transporter klorida sel epitel di dalam kelenjar eksokrin. Gen
yang cacat diwariskan dengan pola autosomal resesif. Permasalahan pada transportasi
klorida menyebabkan kelainan aliran air sehingga sekret menjadi lebih kental. Sekret dalam
paru-paru yang kental dapat menimbulkan obstruksi yang merupakan predisposisi terjadinya
inieksi paru. Infeksi yang berulang dan inflamasi yang diakibatkan akan menyebabkan PPOK.
Mukus yang kental pada kistik fibrosis juga mengakibatkan insufisiensi pankreas (yang
menimbulkan malabsorpsi dan pada sebagian kasus, diabetes), obstruksi empedu dan
obstruksi intestinal.
Tanda/gejalanya dapat meliputi pelambatan lintasan mekonium (feses pertama pada
bayi), feses yang berbau busuk dan mengapung, (akibat malabsorpsi lemak), kegagalan
tumbuhkembang. batuk-batuk, infeksi pulmonal yang rekuren dan dispnea.
Diagnosis dipastikan lewat tes klorida keringat yang akan memperlihatkan kenaikan
kadar klorida dalam air keringat. Terapi meliputi obat-obat yang menguraikan mukus yang
kental(enzim DNAase yang dinamakan domase atau Pulmozyme),
bronkodilator, perkusi teratur bagian punggung dan dada untuk membantu
mengeluarkan sekret, terapi antibiotik untuk infeksi, penggantian enzim
pankreas dan suplemen gizi untuk mengatasi malabsorpsi. Jika paru-paru
sudah mengalami kerusakan yang berat, maka transplantasi paru mungkin
perlu dilakukan.
Bronkiektasis
Bronkiektasis yang merupakan dilatasi abnormal bronkus dapat terjadi
sebagai kelainan kongenital atau terjadi sekunder karena infeksi yang
menyebabkan inflamasi serta destruksi jalan napas. Infeksi kistik fibrosis
yang rekuren merupakan penyebab bronkiektasis yang sering ditemukan.
Jalan napas yang melebar mudah mengalami kolaps dan dengan demikian
bronkiektasis dapat dianggap sebagai penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
Pasien bronkiektasis dapat asimtomatik atau memperlihatkan gejala
intermiten yang berkaitan dengan infeksi termasuk batuk-batuk, produksi
sputum yang purulen serta berbau busuk dan/atau hemoptisis (batuk darah).
Antibiotik digunakan untuk mengatasi infeksi, dan tindakan bedah reseksi
lobus paru yang sakit mungkin diperlukan pada kasus-kasus tertentu jika
pengobatan antibiotik tidak berhasil atau bila terdapat hemoptisis yang
berlebihan.
Penyakit Paru Restriktif
Penyakit paru restriktif dapat terjadi jika paru-paru menjadi kaku
(penyakit fibrosis), jika dinding dada menjadi kaku atau jika otot-otot
pernapasan menjadi lemah. Setiap keadaan ini dapat menghalangi ekspansi
paru yang adekuat. Penyebab paru restriktif meliputi:
1. Paru-paru yang kaku yaitu penyakit paru interstisial yang terjadi
karena
pneumokoniosis misalnya akibat asbes, berilium, silikon dan lain-lain.
pneumonitis hipersensitif (“farmer’s lungs,” “bird breeder’s lungs,”
pajanan kimia)
kelainan jaringan penyambung: skleroderma, artritis rcumatoid, lupus,
miositis
intoksikasi obat: amiodaron, bleomisin, metotreksat, radiasi
lain-lain: fibrosis pulmonal idiopatik, sarkoid, BOOP (bronehiolitis
obliterans organizing pneumonia), granuloma eosinofilik
2. Dinding dada yang kaku: kifoskoliosis. spondilitis ankilosing,
obesitas.
3. Kelemahan olot pernapasan : Guillain-Barre, amio.trofik lateral sklerosis
(ALS), multipel sklerosis, distroli muskular, miastenia gravis, cedera medula spinalis.
Pada penyakit paru restriktif karena paru-paru yang kaku terdapat
dinding alveoli yang teba1 dan tidak fleksibel (berbeda dengan dinding
alveoli yang menjadi lemah dan tipis seperti pada emfisema). Keadaan apa
yang terjadi pada aliran udara akibat dari penyakit paru restriktif? (1) Alveoli
yang kaku berkontraksi lebih cepat dan lebih kuat, dan (2) jalan napas yang
kaku lebih jarang kolaps. Jadi, paru-paru yang restriktif “terlalu baik” untuk
menghembuskan keluar udara karena alveoli parunya kaku dan akan
memegas balik ke bentuk semula ketimbang melemas ke bentuk asalnya.
Berbeda dengan peningkatan volume residual pada pasien PPOK, pasien
penyakit paru restriktif umumnya memiliki volume residual yang berkurang.1
Pada awalnya keadaan ini tidak terlihat begitu parah tetapi jika paru-paru
menjadi terlampau kaku, pasien akan sulit menghirup napas dalam dengan
baik (atau bahkan tidak dapat bernapas secara normal).
Tes Fungsi Paru pada Penyakit Paru Restriktif
Gambar 2-4. Rasio FEV1/FVC pada penyakit paru restriktif.
Restriksi paru akan menurunkan kapasitas total paru (TLC; total lung
capacity) sehingga baik FEV1 maupun FVC akan mengalami penurunan pada
penyakit paru restriktif. Jika baik FEV1 maupun FVC mengalami penurunan
secara proporsional, maka rasio FEV1/FVC akan tetap normal. Namun
demikian, pada beberapa kasus penyakit paru restriktif, penurunan FEV 1
dapat lebih sedikit daripada penurunan FVC karena peningkatan rekoiling
elastik paru-paru yang kaku atau dinding dada yang kaku dapat menyimpan
1Ada pengecualian pada keadaan ini: pada penyakit restriktif yang disebabkan oleh kelemahan otot pernapasan, maka otot-otot ekspirasi dapat terkena. Jika otot-otot ekspirasinya menjadi lemah, ekshalasi penuh tidak dapat terjadi danvolume residual akan meningkat.
sebagian kekuatan FEV1. Apabila penurunan FEV1 kurang dari FVC, maka
rasio FEV1/FVC dapat menjadi lebih besar daripada nilai normalnya. Jadi,
rasio FEV 1/FVC pada penyakit paru restriktif dapat meningkat atau tetap
normal.
Jika penyakit paru restriktif terjadi karena fibrosis pulmonal (libat
penyebab di atas), keadaan ini menimbulkan membran alveoli yang tebal
sehingga terdapat defek difusi. Pada saat istirahat mungkin keadaan ini tidak
menjadi masalah tetapi pada keadaan exercise atau bahkan aktivitas yang
ringan, pasien dapat mengalami penurunan oksigenasi jaringan yang berat
bergantung pada intensitas penyakitnya. Fibrosis pulmonal menyebabkan
penurunan difusi yang nyata. Penurunan DLCO merupakan petanda utama
adanya penyakit fibrotik pulmonal.
Tanda dan Gejala Penyakit Paru Restriktif
Pasien penyakit paru restriktif dapat mengalami sesak napas yang
berat karena peningkatan beban kerja untuk membuka paru-paru. Otot-otot
aksesoris (misalnya muskulus sternoklei- domastoideus) dapaf direkruit
untuk membantu inspirasi. Apa yang mungkin terdengar pada auskultasi
seorang pasien penyakit paru restriktif? Crackles (ronki kasar) merupakan
bunyi yang terdengar ketika alveoli yang kaku meledak untuk terbuka.
Peristiwa ini menghasilkan bunyi gemeretak seperti velkro (semacam kain
kasar) di bawah stetoskop.
Penanganan Penyakit Paru Restriktif
Penanganan penyakit paru restriktif ditujukan kepada etiologi yang
melatari. Pada fibrosis yang terjadi karena penyakit paru inflamatorik
biasanya diberikan preparat steroid untuk mengurangi inflamasi.
Tinjauan tentang Penyakit Paru Obstruktif dan Restriktif
Dimulai dari pemahaman anatomi yang sederhana bahwa paru-paru
memiliki jalan napas yang berakhir pada alveoli. membran alveoli dan
pembuluh darah, kita dapat mengembangkan suatu kerangka kerja untuk
berpikir tentang kelainan patologi paru dengan mempertimbangkan
bagaimana komponen yang berbeda ini terkena. Peranan alveoli paru adalah
untuk mengisi O2 (yang melintas lewat membran alveoli) dan melepaskan
CO2. Jika alveoli tersumbat dengan pus, darah atau pun cairan, maka
fungsinya akan menurun.
Apabila jalan napas tersumbat, alveoli tidak dapat berkontraksi dengan
baik sehingga sukar untuk mendesak udara keluar. Keadaan ini membuat
paru mengalami hiper-ekspansi dengan retensi CO2 Obstruksi dapat terjadi
karena benda asing, serangan asma (pada kasus ini, obstruksinya
reversibel), penvumbatan mukus yang kronis (pada bronkitis kronis, kistik
fibrosis) atau karena destruksi membran alveoli yang membuat jalan napas
menjadi terkulai dandapat kolaps (emfisema). Bronkitis kronis dan emfisema
dikenal sebagai PPOK dan dapat terjadi secara terpisah atau bersama-sama;
kedua penyakit ini sering ditemukan pada perokok. Emfisema dapat pula
terjadi pada keadaan defisiensi a-1 antitripsin. (Kelainan patologi pada
defisiensi α-1 antitripsin berupa emfisema panlobular yang berbeda dengan
tipe sentrilobular pada emfisema yang ditimbulkan oleh merokok). Pada
PPOK, PFT akan memperlihatkan penurunan FEV1 (jumlah udara yang
dapat dihembuskan keluar dari dalam paru selama 1 detik—pikirkan bahwa
alveoli yang terkulai akan berkontraksi dengan sangat lambat melawan jalan
napas yang kolaps/yang memiliki resistensi tinggi tetapi dengan FVC yang
normal atau menurun. Keadaan ini menyebabkan penurunan rasio
FEV1/FVC pada penyakit paru obstruk- tif. Pasien-pasien ini akan bernapas
dengan volume paru yang tinggi, dapat berakhir dengan retensi C03, serta
dapat memperlihatkan gejala wheezing, fase ekspirasi yang memanjang
dan/atau penggunaan otot aksesoris pada pemeriksaan fisik serta hiper-
ekspansi pada foto toraks. Obstruksi pulmonal juga terjadi pada asma
sehingga timbul gejala, tanda-tanda dan hasil PFT yang serupa. Akan tetapi,
perubahan fungsi pulmonal pada asma bersilat reversibel.
Pada penyakit paru restriktif, udara sukar dihirup masuk ke dalam
paru-paru. Penyebabnya meliputi penyakit paru intrinsik, setiap keadaan
yang menyebabkan dinding dada yang kaku atau kelemahan otot
pernapasan. Penyakit paru restriktif menimbulkan penurunan kapasitas total
paru (TLC) akan tetapi FEV1 dapat mengalami penurunan yang lebih sedikit
daripada penurunan FVC sehingga terjadi rasio FEVl/FVC yang
meningkat atau normal. Apabila penyebabnya fibrosis pulmonal, maka
defek difusi dapat terjadi sebagai akibat dari penebalan membran alveoli.
Keadaan ini bermanifestasi sebagai penurunan DLCO dan dapat menyebab-
kan oksigenasi darah yang tidak mencukupi pada saat exercise atau bahkan
saat melakukan aktivitas fisik yang ringan menurut taraf penyakitnya.
Terbukanya kantung alveoli yang kaku akan memperdengarkan bunyi
crackles pada auskultasi.
HIPERTENSI PULMONAL
Hipertensi pulmonal merupakan keadaan meningkatnya tekanan
dalam vaskulatur pulmonal.
Penyebab Hipertensi Pulmonal
Gambar 2-5. Penyebab hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal
dapat timbul akibat permasalahan dalam jantung kiri, jantung kanan atau
pun dalam vaskulatur pulmonal itusendiri .Jantung kiri dapat mengalami
penurunan aliran darah ke depan sehingga terjadi aliran darah balik ke
dalam sistem pulmonal misalnya pada gagal jantung, disfungsi valviilar,
kardiomiopati, aritmia. Untuk jantung kanan yang bertanggung jawab atas
peningkatan tekanan pulmonal harus terdapat peningkatan aliran darab
dan jantung kanan, seperti misalnya pada ventrikular septal defek (lihat
Bab 1) atau pirau kiri-ke-kanan yang signifikan lainnya. Permasalahan pada
vaskulatur pulmonal itu sendiri (misalnya pada vaskulitis, hipertensi
pulmonal primer) atau permasalahan yang mengenai arsitektur paru seperti
pembuluh darah yang mengalami kompresi sekunder (misalnya pada
penyakit paru interstisial) dapat pula menimbulkan hipertensi pulmonal.
Di samping itu, vasokonstriksi hipoksia dapat menyebabkan
hipertensi pulmonal. Jika terdapat suatu bagian paru yang tidak
mendapatkan cukup oksigen (misalnya bagian paru yang terisi pus pada
pneumonia), maka demi kepentingan paru, darah akan dipintas menjauhi
bagian yang tidak cukup oksigen untuk dialirkan ke bagian paru yang lebih
cenderung teroksigenasi. Vasokonstriksi hipoksia akan menyelesaikan
pekerjaan ini: Di bagian paru yang tekanan oksigennya rendah, pembuluh
darah akan mengatup sehingga darah akan mengalir ke bagian lain. Ketika
terdapat satu bagian paru yang mengalami hipoksia, Anda dapat melihat
bagaimana mekanisme ini sangai membantu. Akan tetapi, apabila seluruh
paru mengalami hipoksia (misalnya karena berada di tempat tinggi, pada
PPOK, hipoventilasi karena penyakit restriktif pada paru/dinding dada/otot
dada), maka semua pembuluh darah pulmonal akan mengalami hipoksia
sehingga semuanya akan mengatup. Keadaan ini jelas merupakan adaptasi
yang abnormal dan dapat menimbulkan hipertensi pulmonal.
Jadi penyebab hipertensi pulmonal bisa dan paru-parunya itu
sendiri (yaitu akibat penyakit pada pembuluh darah pulmonal itu
sendiri atau akibat penyakit paru yang secara sekunder mengenai
pembuluh darah) atau dari jantung. Penyebab kardiak hipertensi
pulmonal berupa aliran darah balik dari jantung kiri atau
peningkatan aliran darah dari jantung kanan.
Hipertensi pulmonal menciptakan tahanan ekstra untuk jantung
kanan karena jantung kanan memompa darah ke dalam sistem
vaskular pulmonal. Jika tidak dikoreksi, keadaan ini dapat menimbulkan
hipertrofi dan gagal jantung kanan (korpulmonale).
INFEKSI RESPIRATORIUS
Merokok menyebabkan inflamasi dan penurunan fungsi mukosilia
di dalam traktus respiratorius. Perbuatan ini menjadi predisposisi salah
satu infeksi yang tercantum di bawah ini, dan berhenti merokok turut
mempercepat kesembuhan infeksi tersebut.
Gambar 2-6. Tempat-tempat infeksi pernapasan.
Rinitis
Rinitis yang merupakan inflamasi mukosa nasal dapat bersifat
alergik (“hay fever” sebagai respons terhadap tepung sari bunga,
debu, bulu binatang) atau infeksius (“demam selesma atau common
cold” yang biasanya disebabkan oleh adenovirus, rhinovirus).
Tanda/gejalanya meliputi hidung yang tersumbat, pilek (“runny nose”
atau rinore), bersin-bersin, batuk, sakit menelan (sore throat) dan lain-
lain. Karena rinitis infeksiosa bersifat sembuh sendiri, terapinya
umumnya ditujukan kepada pengurangan gejala (misalnya pemberian
antihistamin, pseudoefedrin, preparat steroid nasal). Rinitis alergika
juga ditangani secara simtomatik bersama dengan pengurangan
pajanan dengan alergen. Pada kasus-kasus rinitis alergika yang berat,
tindakan desensitisasi lewat imunoterapi (“suntikan alergi”) dapat
dipertimbangkan.
Sinusitis
Sinusitis merupakan inflamasi sinus paranasal. Jika aliran keluar
mukus dari sinus-sinus tersebut terganggu, maka mukus yang
terperangkap dalam rongga sinus dapat menciptakan suatu lingkungan
yang mempermudah penumbuhan bakteri sehingga terjadi sinusitis.
Aliran keluar mukus paling sering terganggu oleh proses inflamasi dan
pembengkakan akibat infeksi saluran napas atas. Namun demikian,
predisposisi terjadinya sinusitis dapat .timbul pada setiap penyebab
inflamasi sinus (misalnya rinitis alergika) dan/atau obstruksi (misalnya
pemasangan pipa nasogastrik/nasotrakeal), polip nasi, kelainan
anatomi seperti deviasi septum). Penyebab sinusitis yang paling sering
adalah Streptococcus pneumoniae, Hemopbilus influenzae, dan
Branhamella (Moraxella) catarrhalis. Gejalanya mencakup gejala
rinitis (yang dapat kambuhan), mukus yang berbau, rasa nyeri/tekanan
di sekitar mata dan pipi (khususnya ketika pasien membungkuk karena
gerakan ini akan meningkatkan tekanan pada sinus) dan sakit kepala.
Terapinya ditujukan untuk menghilangkan obstruksi dengan nasal
spray dekongestan (misalnya oksimetazolin atau fenilefrin),
pengobatan infeksi dengan antibiotik, dan penanganan alergi jika
terdapat. Pada sinusitis kronis (yang diderita lebih dari 3 bulan)
mungkin diperlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan
obstruksi apabila terapi lainnya tidak berhasil menyembuhkan.
Faringitis
Faringitis yang merupakan inflamasi laring dapat disebabkan oleh virus
(adenovirus, rhinovirus, virus parainfluenza dan banyak lagi lainnya) atau
bakteri (.Streptococcus β-hemolyticus Group A, N. gonorrhoeae, C.
diphtheriae, H. Influenzae , Moraxella catarrhalis). Gejalanya meliputi
sakit menelan atau sore throat, demam dan tanda-tanda infeksi lainnya
(meriang/malaise, menggigil dan lain-lain). Tanda-tandanya dapat mencakup
adenopati senakal, pembesaran tonsil dengan atau tanpa eksudat, dan
eritema faring. Meskipun eksudat pada tonsil (bercak- bercak putih pada
tenggorok) secara popular dianggap dapat membedakan faringitis virus
dengan bakteri, namun tanda ini dapat ditemukan pada kedua etiologi
tersebut. Mikroorganisme penyebab ditentukan lewat pemeriksaan kultur
tenggorok, dan terapi dengan antibiotik yang tepat untuk mikroorganisme
penyebabnya segera dimulai. Faringitis oleh Streptococcus β-
hemolyticus Group A yang tidak diobati dapat menyebabkan demam
reumatik (lihat Bab 1).
Laringitis
Laringitis yang merupakan inflamasi laring, dapat disebabkan
oleh strain pita suara (akibat penggunaan suara yang berlebihan),
GERD (gastroesophageal reflux disease; penyakit refluks
gastroesofagus) atau infeksi virus (rhinovirus, adenovirus, virus
influenza dan banyak lagi lainnya). Gejalanya meliputi suara yang
menjadi parau (disfonia) dan gejala infeksi saluran napas atas. Kasus-
kasus akibat infeksi virus akan sembuh sendiri; strain pita suara
memerlukan istirahat pita suara; dan faringitis yang ditimbulkan oleh
GERD membutuhkan terapi GERD. Suara parau yang berkepanjangan
dengan sendirinya memerlukan penyelidikan lebih lanjut untuk
mencari penyebab yang melatari seperti kelainan
neurologi/neuromuskular atau neoplasia yang menekan nervus
laringeus rekuren (misalnya kanker kepala/leher atau polip pita suara).
Epiglotitis
Epiglotitis merupakan inflamasi epiglotis. Sebagian besar inflamasi ini
disebabkan infeksi Hemophilus influenzae; epiglotitis sudah jarang
ditemukan di Amerika Serikat saat ini berkat vaksinasi yang dilakukan
terhadap mikroorganisme tersebut. Epiglotitis paling sering terjadi pada
anak kecik Epiglotis yang mengalami inflamasi dapat menyebabkan gejala
air liur atau sekret yang terus menetes (karena tidak bisa mengeluarkan
sekretnya), distres pernapasan, stridor (bunyi inspirasi bernada tinggi). suara
yang tidak jelas dan postur tubuh yang klasik yaitu duduk dengan
membungkukkan badan sementara leher diekstensikan untuk memudahkan
bernapas (“tripoding”). Pemeriksaan faring harus dihindari pada pasien
suspek epiglotitis karena dapat menimbulkan spasme sehingga terjadi
penutupan mendadak jalan napas. Antibiotik digunakan untuk mengobati
inleksi. Pasien epiglotitis harus dipantau dengan ketat: intubasi trakeal dapat
diperlukan jika gagal napas menjadi ancaman.
Bronkitis
Bronkitis merupakan inflamasi bronkus. Bronkitis kronis yang
merupakan salah satu tipe PPOK sudah dibahas di atas. Bronkitis akut
secara tipikal disebabkan oleh virus (rhinovirus, respiratory syncitial virus,
adenovirus, virus influenza, virus parainfluenza). Batuk dan gejala infeksi
saluran napas atas secara tipikal ditemukan. Walaupun bronkitis virus bisa
sembuh spontan, namun batuknya sendiri dapat dikurangi dengan obat anti-
tusif (misalnya Robitussin) dan/atau bronkodilator.
Bronkiolitis
Bronkiolitis merupakan inflamasi bronkiolus. Keadaan ini secara tipikal
terjadi pada bayi dan paling sering disebabkan oleh respiratory syncytial
virus (RSV). Bronkiolitis dapat pula disebabkan oleh adenovirus, virus
influenza dan virus parainfluenza. Gejalanya dapat berkisar dari gejala
saluran napas atas yang khas hingga gejala distres pernapasan (wheezing,
pernapasan cuping hidung, takipnea, takikardia dan lain-lain). Terapinya
bersifat suportif dan bergantung pada beratnya penyakit (oksigen, infus
cairan dan/atau ventilasi mekanis jika diperlukan). Terapi dengan antivirus
ribavirin masih menjadi masalah yang kontroversial.
Pneumonitis
Pneumonitis mengacu kepada inflamasi paru-paru dan bukan infeksi.
Inflamasi semacam ini dapat disebabkan oleh radiasi, inhalasi zat kimia
(misalnya dalam pabrik atau akibat inhalasi klorin, pestisida dan lain-lain),
atau oleh hipersensitivitas terhadap suatu antigen lingkungan (misalnya
“farmer’s lungs” akibat serbuk jerami yang berjamur, “bird breeder’s lungs
dan lain-lain). Pneumonitis hipersensitivitas yang akut dapat ditemukan
dalam bentuk gejala batuk- batuk, dispnea, malaise dan/atau demam yang
timbul 4-6 jam sesudah terpajan. Pajanan kronis dan/atau rekuren terhadap
toksin dapat pula menimbulkan fibrosis pulmonal yang menyebabkan
penyakit paru restriktif.
Pneumonia
Pneumonia merupakan infeksi parenkim paru dan penyebabnya dapat berupa virus,
bakteri atau fungus. Mikroorganisme patogen dapat mencapai paru-paru melalui inhalasi/aspirasi
atau lewat penyebaran hematogen dari lokasi inieksi yang lain di dalam tubuh.
Pneumoniaaspirasi terjadi ketika muntahan atau partikel makanan terhirup ke
dalam paru-paru seperti misalnya pada intoksikasi alkohol/obat, trauma,
serangan kejang atau bangkitan epilepsi, stroke atau pun kehilangan
kesadaran lainnya. Aspirasi dapat pula menyebabkan pembentukan abses
pulmonal (bercak nekrosis dalam paru) subakut atau empiema (pus dalam
kavum pleura).
Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling sering
pneumonia kendati banyak bakteri lainnya (termasuk Stapbylococcus
aureus, Hemopbilus influenzae, Chlamydia pneumoniae, Moraxella
catarrhalis, Legionella pneumophila, Klebsiella pneumoniae,
Mycoplasma pneumoniae, Coxiella bumetii) dan virus (termasuk RSV,
parainfluenza dan influenza) dapat pula menyebabkan pneumonia.
Pneumonia fungal (misalnya Pneumocystis carinii, Cryptococcus
neoformans, Aspergillus fumigatus) dapat terjadi pada pasien-pasien
yang sistem imunnya terganggu (misalnya pada pasien infeksi HIV, pasien
yang menjalani kemoterapi).
Tanda/gejala pneumonia meliputi demam, batuk-batuk (biasanya
produktif dengan mengeluarkan sputum), nyeri dada dan/atau abdomen, dan
jika terdapat daerah konsolidasi (yang paling sering terjadi pada pneumonia
bakterialis) akan ditemukan bunyi yang pekak pada perkusi paru-paru,
egofonia serta berkurangnya bunyi pernapasan.
Gambaran foto toraks pada pneumonia . Pneumonia
bakterialis cenderung mengenai satu lobus paru sehingga terbentuk
gambaran sebagai suatu bercak konsolidasi pada foto toraks sementara
pneumonia viral dan fungal cenderung menghasilkan pola interstisial yang
lebih difus.
Penanganan pneumonia meliputi pemberian antibiotik untuk
mikroorganisme penyebabnya dan dukungan respiratorik jika diperlukan.
Tuberkulosis (TB)
Mycobacterium tuberculosis dapat mengenai setiap sistem organ
dengan menimbulkan pneumonia, osteomielitis tuberkulosis (TB), meningitis
TB, perikarditis "IB, tuberkulosis adrenal dan/atau tuberkulosis renal. TB
milier merupakan infeksi TB yang menyebar luas di seluruh paru. Pajanan
TB umumnya terjadi lewat inhalasi. Butir-butir dahak yang terhirup dapat
menyebabkan infeksi primer yang ditemukan sebagai misalnya pneumonia
pada anak-anak, manuia dan pasien-pasien yang sistem imunnya terganggu
(misalnya pasien infeksi HFV/AIDS). Infeksi awal lebih sering terjadi secara
asimtomatik; bakteri tuberkulosis terdapat dalam granuloma di dalam paru-
paru (tuberkel) yang dapat mengalami kalsifikasi (fokus Ghon). Kompleks
Ghon merupakan keadaan terdapatnya fokus Ghon plus granuloma yang
mengalamikalsifikasi dalam limfonodi perihilar. Gambaran ini dapat terlihat
pada foto rontgen. Di samping tanda-tanda radiologi, infeksi TB yang laten
dapat diidentifikasi lewat pemeriksaan PPD (purified protein derivative). PPD
merupakan suntikan antigen protein yang berasal dari kuman TB yang sudah
mati. Jika seseorang pernah terpajan kuman TB, maka akan timbul respons
imun yang menyebabkan suatu daerah indurasi pada tempat suntikan.
Begitu mengalami kontak dengan kuman TB, pasien mungkin masih tidak
memperlihatkan gejala (asimtomatik) dalam periode waktu yang lama
dengan sekitar 5% peluang per tahunnya untuk terjadinya perkembangan ke
arah reaktivasi atau TB sekunder (risiko pada pasien yang sistem imunnya
terganggu adalah sekitar 10% per tahun). Gejala reaktivasi TB meliputi
batuk-batuk, hemoptisis dan gejala konstitusional seperti demam, penurunan
berat badan, dan/atau keringat malam. Di samping itu, setiap sistem organ
yang disebutkan di atas dapat pula terkena. Terapinya meliputi pemberian
isoniazid, rifampin, etambutol dan pirazinamid.
KANKER PARU
Penyakit kanker paru umumnya disebabkan oleh kebiasaan
merokok kendati radiasi dan pajanan lingkungan yang lain (misalnya
asbes) dapat pula meningkatkan risiko untuk terkena kanker paru.
Secara patologis kanker paru dibagi menjadi kanker paru small cell
dan non-small cell (karsinoma sel besar, karsinoma sel skuamosa
serta adenokarsinoma). Kanker paru tipe small cell atau sel kecil
membentuk kategonnya sendiri karena jenis ini umumnya lebih agresif
kendati lebih responsif terhadap kemoterapi, dan berkaitan dengan
sindrom paraneoplastik tertentu. Sindrom paraneoplastik terjadi
ketika sebuah tumor menyebabkan tanda/gejala yang tidak
berhubungan dengan efek langsung tumor itu sendiri atau
metastasenya.
Kanker paru dapat menimbulkan gejala pulmonal (yaitu batuk-
batuk, dispnea, hemoptisis), gejala konstitusional (demam, penurunan
berat badan, keluhan mudah lelah/fatigue, keringat malam), gejala
yang berkaitan dengan kompresi struktur di sekitarnya seperti
esofagus (dis- fagia), nervus laringeus rekuren (suara yang parau),
ganglion servikalis superior (sindrom Horner: ptosis, miosis,
anhidrosis), vena kava superior (sindrom vena kava superior:
pembengkakan wajah/lengan, sakit kepala, ortopnea, distensi vena
jugulans) dan gejala yang berkaitan dengan sindrom paraneoplastik.
Sindrom paraneoplastik yang paling sering terkait dengan kanker paru
small cell meliputi syndrome of inappropriate anti-diuretic hormone
secretion (SIADH) (yang dibahas dalam Bab 3), produksi ACTH
(adrenocorticotropic hormone) ektopik (yang dibahas dalam Bab 5),
dan sindrom Lambert-Eaton yaitu suatu sindrom yang menyerupai
penyakit miastenia gravis (yang dibahas dalam Bab 7). Karsinoma sel
skuamosa paru dapat melepaskan protein yang terkait-hormon
paratiroid (PTHrP) sehingga terjadi hiperkalsemia. Karsinoma sel
skuamosa lainnya pada kepala dan leher dapat juga melepaskan PTHrP
dan ini akan dibahas dalam Bab 5.
Terapi kanker paru meliputi pembedahan, kemoterapi serta
radiasi, dan bergantung pada stadium penyakit yang ditentukan oleh
ukuran tumor, penyebaran lokal, keterlibatan limfonodi dan metastase
ke tempat yang jauh.
PENYAKIT PADA PLEURA DAN KAVUM PLEURA
Paru-paru dibungkus oleh membran tipis yaitu pleura yang
memiliki dua lapisan: lapisan yang satu membungkus paru-paru
sedangkan lapisan lainnya melapisi dinding dalam dada sehingga di
antara kedua lapisan tersebut terdapat sebuah rongga yang
dinamakan rongga pleura (kavum pleura). Secara patologis, pleura
dapat mengalami inflamasi (pleuritis/ pleurisi) dan dapat timbul efusi
dalam kavum pleura (efusipleura).
Pleuritis (Pleurisi)
Pleuritis (yang juga disebut pleurisi) merupakan inflamasi pleura.
Pleuritis dapat disebabkan oleh infeksi pulmonal, penyebaran
hematogen infeksi pada pleura, trauma tembus dada, ruptur esofagus,
asbestosis, sel-sel neoplastik atau penyakit inflamatori.
Nyeri pleuritik merupakan nyeri yang menusuk, tajam dan
menjadi semakin parah ketika menarik napas'atau batuk. Keadaan ini
disebabkan bagian pleura yang mengalami inflamasi saling bergesek.
Meskipun menjadi ciri khas inflamasi pleura, nyeri pleuritik dapat pula
disebabkan oleh kelainan patologi pulmonal yang lain seperti emboli
pulmonal, pneumonia atau kanker paru. Kendati jarang terdengar pada
auskultasi paru, pleuralfrietion rub merupakan petanda diagnostik
untuk pleuritis. Pleural lriction rub merupakan bunvi gesekan yang
terus terdengar selama keseluruhan siklus pernapasan.
Meskipun aspirin dapat meredakan nyeri pada pleuritis, namun
penanganan penyebab yang melatari juga diperlukan.
Inflamasi pada pleura biasanya menyebabkan efusi pleura yaitu
adanya cairan dalam rongga pleura.
Efusi Pleura
Efusi pleura diklasifikasikan menjadi transudat atau eksudat.
Transudat (hidrotoraks) merupakan keadaan bertumpuknya cairan
yang timbul dari kelebihan cairan saja tanpa perubahan pada
permeabilitas vaskular sementara eksudat disebabkan oleh keadaan
inflamasi yang meningkatkan permeabilitas vaskular. Jadi, eksudat
cenderung memiliki kandungan protein, sel dan/ atau material padat
yang lebili tinggi daripada transudat. Transudat dapat disebabkan oleh
gagal jantung kongestif, sirosis, sindrom nefrotik atau
hipoalbuminemia. Eksudat dapat disebabkan oleh salah satu penyebab
pleuritis (misalnya infeksi, neoplasia, penyakit inflamasi, asbestosis) di
samping oleh uremia atau pankreatitis. Kriteria Ligbt menyatakan
bahwa cairan tersebut berupa eksudat jika dipenuhi salah satu dari
sejumlah kriteria berikut ini: rasio protein cairan pleura/ protein serum
> 0,5; LDH cairan pleura/LDH serum > 0,6; atau kadar LDH cairan
pleura >2/3 batas aias kadar LDH serum. Kriteria pertama
memperlihatkan sifat inflamasi pada eksudat, karena peningkatan
permeabilitas vaskular menyebabkan kadar protein yang tinggi dalam
cairan pleura dibandingkan dengan yang disebabkan oleh transudat.
LDH merupakan indikator inflamasi dan dengan demikian mengalami
kenaikan yang lebih tinggi di dalam eksudat.
Empiema yaitu pus di dalam kavum pleura dapat menjadi
komplikasi pada pneumonia atau keadaan ini dapat disebabkan oleh
trauma tembus dada atau ruptur esofagus.
Efusi pleura dapat menyebabkan dispnea, nyeri dada yang
bersifat pleuritik, dan/atau pleural friction rub. Akumulasi cairan di
antara paru dan dinding dada menyebabkan bunyi pekak pada perkusi
dan berkurangnya/tidak terdengarnya bunyi napas. Foto rontgen dada
akan memperliharkan gambar opasitas yang dapat menutupi sudut
diafragma (penumpulan sudut kostofrenika).
Torakosentesis untuk mengeluarkan cairan diperlukan bagi
penegakan diagnosis dan sebagai tindakan terapi. Cairan tersebut
dapat dianalisis untuk menemukan mikroorganisme penyebab infeksi,
sel-sel malignan, sel-sel inflamasi dan berbagai petanda lainnya yang
menunjukkan etiologi di baliknya.
Kilotoraks, Hemotoraks dan Pneumotoraks
Cairan limle dalam kavum pleura (kilotoraks) dapat disebabkan
oleh trauma atau obstruksi duktus torasikus. Darah dalam kavum
pleura (hemotoraks) dapat terjadi karena trauma atau ruptur
aneurisma aorta.
Pneumotoraks merupakan keadaan terdapatnya udara dalam
kavum pleura dan keadaan ini dapat terjadi spontan, iatrogenik atau
pun traumatik. Pneumotoraks spontan terjadi karena ruptur alveoli
paru. Keadaan ini dapat terjadi sekunder karena penyakit pulmonal
yang melatari atau terjadi secara idiopatik. Pneumotoraks spontan
yang idiopatik lebih sering ditemukan pada orang muda yang bertubuh
tinggi. Pneumotoraks iatrogenik mengacu kepada masuknya udara ke
dalam kavum pleura pada saat ventilasi mekanis atau karena tindakan
seperti torakosentesis, pemasangan kateter vena sentral atau pun
biopsi paru di mana paru mungkin tertusuk oleh jarum. Pneumotoraks
traumatik dapat terjadi karena luka tembus dada atau fraktur kosta
yang menusuk paru.
Pneumotoraks dapat menimbulkan nyeri dada dan/atau dispnea,
atau keadaan ini bisa asimtomatik jika ukurannya kecil. Pemeriksaan
fisik dapat mengungkapkan penurunan bunyi napas dan peningkatan
resonansi terhadap perkusi. Pada foto rontgen toraks, pneumotoraks
terlihat sebagai sebuah garis atau kantung radiolusensi (gambaran
gelap) antara paru dan dinding dada. Pneumotoraks yang berukuran
kecil dapat menghilang secara spontan sementara pneumotoraks yang
berukuran besar mungkin memerlukan pengeluaran udara dari dalam
kavum pleura lewat aspirasi jarum suntik atau pemasangan selang
dada.
Tension pneumotoraks terjadi ketika udara yang masuk ke
dalam kavum pleura tidak dapat mengalir keluar seperti misalnya pada
luka tembus dada. Tension pneumotoraks dapat membuat kolaps paru
pada sisi yang terkena dan menyebabkan kompresi struktur dalam
mediastinum yarig dapat membawa kematian. Tanda dan gejalanya
serupa dengan yang dibahas di atas untuk pneumotoraks, dan juga
dapat meliputi tidak terdengarnya bunyi napas pada sisi yang terkena,
hipotensi serta distensi vena jugularis. Pengeluaran udara dengan
cepat lewat jarum suntik yang berkaliber besar biasanya akan
menyembuhkan keadaan ini.
PEMERIKSAAN FISIK PARU
Perkusi
Ketuklah sebuah tong dan Anda akan mendengar bunyi bergaung
yang resonan (sonor) dan indah. Ketuklah sebuah batu bata dan Anda
akan mendengar bunyi ketukan yang pekak. Melalui analogi ini, apabila
Anda mengetuk sebuah paru yang berisi udara (sebagaimana
seharusnya demikian), maka Anda akan mendengar bunyi bergaung
yang resonan. Jika Anda mengetuk paru yang berisi cairan atau pus,
maka Anda akan mendengar bunyi ketukan yang pekak. Apa yang
membuat paru mengeluarkan bunyi hiper-resonan (lebih resonan
daripada biasanya) pada perkusi? Hiper-resonan pada perkusi harus
diartikan bahwa ada udara dalamjumlah yang Iebih banyak daripada
keadaan biasa. Keadaan ini dapat terjadi pada penyakit asma atau
PPOK akibat hiperekspansi atau terperangkapnya udara. Hiper-resonan
juga dapat terjadi pada pneumotoraks karena toraks terisi dengan
udara yang membungkus paru.
Fremitus, Egofonia dan Pektoriloqui
Material yang padat dan cair akan menghantarkan bunyi lebih
cepat daripada udara. Fremitus, egofonia dan pektoriloqui bisikan
(whisper pectoriloquy) memanfaatkan fenomena ini. Taktil fremitus
terjadi ketika seseorang merasa getaran pada punggung pasien ketika
pasien berbicara. Untuk menilai egofonia, kita dapat meminta pasien
untuk mengucapkan bunyi “i” (seperti ketika melafalkan kata Inggeris
“eat [iet]”) dan melakukan auskultasi lewat stetoskop untuk
mendengar apakah bunyinya mirip bunyi “e”-(seperti ketika melafalkan
kata Inggeris “say [sei]” atau “bay [bei]”). Pektoriloqui bisikan terjadi
ketika kita meminta pasien untuk membisikkan suatu kata dan
mendengarkan lewat stetoskop yang diletakkan pada punggung
pasien. Kelebihan apakah yang sama-sama dimiliki oleh kedua tes ini?
Semua tes ini menguji seberapa baik paru dan dinding dada
menghantarkan bunyi. Karena paru yang normal berisikan udara dan
karena udara tidak menghantarkan bunyi dengan baik, maka bisikan
maupun bicara masing-masing harus terdengar secara samar-samar
dan getarannya ketika diraba juga terasa samar-samar, dan bunyi “i”
yang diucapkan harus terdengar “i.” Jika terdapat cairan edema atau
konsolidasi (misalnya pus pada pneumonia), bagian paru tersebut akan
menjadi lebih padat daripada bagian paru yang berisi udara, dan
dengan demikian akan menghantarkan bunyi dengan lebih baik . Jika
paru terisi sesuatu yang bukan udara, maka pada perkusi akan
dihasilkan bunyi pekak, pada pemeriksaan taktil fremitus akan
terasa getaran yang bertambah, dan pada pektoriloqui bisikan
akan tei'dengar bunyi bisikan yang lebih jelas serta terdapat
perubahan bunyi dari “i”menjadi “e”(pada egofonia).
Clubbing
Clubbing (jari tabuh) merupakan pembesaran ujung-ujung jari
tangan yang membuat sudut antara kuku dan dasar kuku (nail bed)
berkurang. Clubbing atau jari tabuh dapat disebabkan oleh banyak
penyakit pulmonal. Kita tidak tahu dengan pasti mengapa hal ini
terjadi. Penyebab clubbing yang lain dapat meliputi penyakit jantung
sianotik, malignansi, penyakit usus inflamatori dan kelainan clubbing
primer yang bersifat genetik (misalnya pada pakidermoperio- stosis,
familial clubbing).