kasus 2 

Upload: tarikh-azis-kamali

Post on 13-Jan-2016

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kasus

TRANSCRIPT

Kasus 2

KEKERINGAN DI DESA KOLONG

19 Maret 2013

Desa Kolongadalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegoro. Di desa inisebagian besar adalah area persawahan. Sumber ekonomi masyarakat Kolong juga bertumpu pada hasil sawah yang mereka tanami. Jenis tumbuhan yang ditanami juga bersifat musiman.Hasil sawah ini mereka jual ke tengkulak atau pasar sebagai sumber ekonomi mereka.

Permasalahan inti yang sedang dialami sangat berhubungan dengan masalah pertanian yang notabene menjadi sumber ekonomi terbesar seluruh masyarakat Kolong. Masalah-masalah itu yang menjadikan masyarakat Kolong kurang berdaya dalam pengambilan manfaat atas aset yang mereka miliki. Hasil sawah kurang maksimal dan kurang baik terutama padi. Hal yang menjadi pusat masalah adalah produksi padi yang rendah.Terdapat tiga penyebab masalah yang mengakibatkan produksi padi rendah. Baik jangka panjang maupun jangka pendek.

Pengirigasian sawah-sawah di desa ini tidak berjalan maksimal. Hal ini juga berkaitan dengan kondisi alam daerah ini yang termasuk daerah panas. Cuaca yang panas dan kering ini menjadi tidak mendukung untuk dilakukan irigasi. Sawah-sawah desa Kolong masih sangat bergantung pada hujan. Air yang tersedia tidak dapat mencukupi kebutuhan irigasi sawah warga. Meski terdapat sungai, namun tidak dapat menjadi penopang proses pengirigasian. Hal ini dikarenakan keadaan sungai pun masih tergolong sungai tadah hujan. Sungai bisa dialiri air saat musim hujan tiba namun tetap saja tidak dapat mencukupi kebutuhan irigasi karena aliran airnya hanya sedikit dan cepat kering.

Irigasi di Desa Kolong ini tidak bisa mencakup seluruh sawah yang ada, terutama pada daerah dataran tinggi. Pada daerah dataran tinggi, air tidak dapat tersebar ke seluruh sawah.Para petani yang memiliki sawah di daerah dataran tinggi ini hanya dapat mengandalkan hujan, daerah ini sangat kesulitan untuk mendapatkan air untuk irigasi.

Sedangkan pada area sawah yang terletak di dataran rendah cenderung lebih mudah dalam mendapatkan air. Pasalnya, terdapat sungai kecil yang mengalir di daerah itu. Sehingga pada musim kemarau, air itu sedikit mencukupi kebutuhan air untuk irigasi ketimbang sawah di dataran tinggi.

Awalnyasumber-sumber air yang dahulu dibuat pengirigasian sawah masih bisa mencukupi. Namun dari tahun ke tahun kekeringan sumber air dirasa semakin cepat. Hal ini disebabkan karena pohon-pohonan besar dan hutan sudah mulai berkurang karena banyak ditebangi oleh masyarakat sekitar. Keadaan inilah yang mengakibatkan berkurangnya jumlah debit air di hutan. Sehingga sawah-sawah mereka pun menjadi sangat bergantung pada hujan.

Selain permasalahan berkurangnya pohon-pohonan, di Desa Kolong sendiri memang minim sumber air. Hal ini dapat dirasakan saat ada pembangunan tandon air pada tahun 2004. Penandonan air ini hanya bisa berjalan selama 1 tahun. Setelah itu sumber air tiba-tiba menghilang. Padahal, bantuan ini diberikan bertujuan untuk memenuhi kebutuhanair masyarakat Kolong. Kini, sumur-sumur warga hanya bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga saja. Sedangkan pemanfaatan air sumur untuk irigasi sawah tidak bisa mencukupi.Selain itu,yang menjadi penyebab produksi padi rendah adalah angin yang semakin tidak terkendali. Hembusan angin ini seringkali menghantam padi-padi warga sehingga padi tersebut cepat.Kondisi ini akhirnya juga menjadi penyebab produksi padi kurang maksimal. Kualitas padi yang dihasilkan menjadi rendah. Menurut informan, pohon-pohon yang menjadi penahan angin di hutan sudah banyak ditebangi masyarakat. Dahulu, selama hutan masih masih lebat, hembusan angin tidak langsung mengenai padi. Keberadaan pohon-pohon besar itu menjadi penahan angin yang kuat.

Banyak pohon-pohon yang ditebangi secara liar oleh masyarakat. Jenis pohon yang banyak ditebang adalah pohon jati. Pohon-pohon ini ditebang dengan alasan ekonomi. Keadaan seperti membuat sebagian mereka tidak dapat menggantungkan perekonomian mereka pada hasil sawah. Sehingga sebagai jalan pintas, mereka menebang pohon dan mengambil hasilnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Keadaan seperti ini tetap saja terjadi. Menurut salah satu yang peduli dengan kekeringan di Desa Kolong, tidak ada tindakan khusus yang dilakukan perangkat desa untuk pencegahan penebangan liar. Koordinasi antara perangkat desa dan masyarakat sendiri tidak ada. Jika keadaan ini tetap dibiarkan maka dalam jangka panjang dapat memuat kondisi alam desa Kolong semakin tidak bersahabat. Jika keadaan alam semakin tidak bersahabat maka hal itu juga akan semakin merusak pertanian mereka.

Naskah disalin dan disunting sesuai kebutuhan dari:Laporan KKN Transformatif IAIN Sunan Ampel Surabaya (2013)

INFORMASI TAMBAHAN TENTANG KEKERINGAN DI DESA KOLONG

Kekeringan di Bojonegoro Terus Meluas SELASA, 04 SEPTEMBER 2012 | 11:56 WIB

TEMPO.CO, Bojonegoro - Kekeringan dan krisis air di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, meluas ke 17 kecamatan dari total 27 kecamatan di kabupaten tersebut. Kantong-kantong air, seperti Waduk Pacal, diperkirakan tersisa 700 ribu meter kubik dari total kapasitas 33 juta meter kubik.Berdasarkan pantauan Tempo, Selasa, 4 September 2012, dari 17 kecamatan yang mengalami kekeringan, yang meliputi 38 desa, juga mengalami krisis air bersih. Jumlah tersebut bisa jadi akan terus bertambah. Sebab, hingga saat ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Bojonegoro masih terus mengidentifikasi sejumlah desa yang mengalami krisis air bersih pada musim kemarau tahunan ini.Kecamatan yang dilanda kekeringan, di antaranya Kecamatan Sugihwaras, Kedungadem, Sukosewu, Tambakrejo, Balen, Kasiman, Ngasem, Baureno, Trucuk, Kepohbaru, Dander, Ngraho, Bubuan, Malo, Tambakrejo, Margomulyo, dan Kecamatan Kedewan.Kecamatan Sugihwaras, misalnya, meliputi enam desa, seperti Desa Kedungdowo, Kedungrejo, Ngujung, Sugihwaras, Wedoro, dan Desa Alas Agung. Sedangkan di Kecamatan Ngasem terdapat lima desa. Di antaranya Desa Butoh, Tengger, Kolong, Trenggulunan, dan Desa Ngares.Saat ini, sebanyak 86 embung yang tersebar di 27 kecamatan hampir seluruhnya kering. Begitu juga tujuh anak sungai Bengawan Solo, seperti Sungai Semar Mendem, Sungai Pacal, Sungai Kalitidu, Sungai Kening, Sungai Kunci, dan beberapa anak sungai di Kecamatan Kapas dan Baureno.Waduk Pacal di Kecamatan Temayang biasanya mampu mengairi lebih dari 12 ribu hektare sawah. Tapi kini waduk peninggalan Belanda yang aliran airnya melintasi enam kecamatan itu terus mengering. Sebagian waduk sudah kering sejak awal Juli lalu, kata penjaga pintu Waduk Pacal, Jasmani, kepada Tempo.Debit air Sungai Bengawan Solo pun juga sudah mengecil. Biasanya, sungai dengan lebar sekitar 100 meter hingga 130 meter itu terisi penuh. Tapi, pada musim kemarau tahun ini, airnya hanya separuh dan sebagian hanya seperempat dari badan sungai.Untuk mengantisipasi krisis air, pemerintah Bojonegoro telah mengerahkan tim gabungan yang dikoordinasi oleh BPDB. Beranggotakan Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Sosial Pemerintah Bojonegoro dan Perusahan Daerah Air Minum (PDAM), juga perusahaan dari kontraktor minyak untuk melakukan pengiriman air di desa yang mengalami kekeringan dan krisis air bersih. Disediakan sekitar delapan mobil tangki yang bergiliran mendistribusikan air bersih.Kepala Desa Kedungrejo, Kecamatan Sugihwaras, Khoirul Anwar, menjelaskan bahwa warganya sejak Juli lalu terpaksa membeli air bersih Rp 5.000 untuk tiga jeriken. Di desa yang terletak sekitar 28 kilometer dari Kota Bojonegoro tersebut, krisis air bersih dialami 380 kepala keluarga atau 1.300 jiwa. Kantong air, seperti embung, sungai, dan sumur penduduk sudah mengering.Menurut Khoirul, setiap empat hari sekali, warganya mendapat bantuan air bersih sekitar 6.000 liter dari pemerintah Bojonegoro. Namun jumlah tersebut masih kurang. Kondisinya parah, ujarnya kepada Tempo.Staf BPDB Bojonegoro, Muchtar, mengatakan bahwa permintaan air bersih terus meningkat. Bahkan akan terus bertambah karena jumlah wilayah yang mengalami kekeringan terus meluas.