kasus 1
DESCRIPTION
Contoh kasus psikiatriTRANSCRIPT
1
LAPORAN KASUS
Retardasi Mental dengan Komorbiditas Gangguan Psikotik
DEPARTEMEN/UPF KEDOKTERAN JIWAFAKULTAS KEDOKTERAN
2
EVALUASI PSIKIATRIK ANAK DAN REMAJA
I. IDENTITAS PASIEN
• Pasien seorang anak perempuan berinisial GP, berusia 15 tahun, anak
bungsu dari dua bersaudara, pendidikan saat ini SMP kelas 1, suku
Sunda, beragama Islam, tinggal di Banjaran dengan kedua orang tuanya,
datang ke poliklinik Psikiatri pada tanggal 14 November 2011.
• Ayah pasien berinisial W, usia 48 tahun, pendidikan terakhir tamat SD,
tidak bekerja, suku Sunda, Islam.
• Ibu pasien berinisial D, usia 46 tahun, pendidikan terakhir tamat SD, ibu
rumah tangga, suku Sunda, Islam.
• Kakak pasien berinisial D, usia 21 tahun, pendidikan terakhir tamat
SMA, bekerja di pabrik, Islam, suku Sunda, tinggal di Bekasi.
• Pasien datang sendiri dengan orang tuanya atas saran dari guru
sekolahnya.
• Riwayat psikiatri diperoleh dari autoanamnesis dan heteroanamnesis
dengan Ny.D (ibu kandung) dan Tn.W (ayah kandung), kebenaran
anamnesis dapat di percaya.
II. RIWAYAT PASIEN
A. Keluhan Utama
Tidak mau belajar, keluyuran ke kelas lain sehingga mengganggu
pelajaran.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Empat bulan sebelum kunjungan ke poli Psikiatri RSHS, pasien
masuk ke kelas 1 SMP. Pasien tampak senang bersekolah di sekolah
tersebut. Pasien berangkat sekolah sendiri dan tidak mau diantar oleh
ibunya.
3
Dua bulan sebelum kunjungan ke poli Psikiatri RSHS, ibu pasien
sakit sehingga ibunya tidak bisa bangun dari tempat tidur. Hal ini
membuat pasien tampak sedih. Pasien bercerita kepada gurunya.
Satu setengah bulan sebelum kunjungan, pasien yang memiliki sifat
pendiam dan suka melamun tampak semakin sering melamun.
Satu bulan sebelum kunjungan ke poli Psikiatri RSHS, pasien
mulai menampakkan perubahan perilaku. Guru pasien melaporkan bahwa
di sekolah saat pelajaran berlangsung pasien tidak mau belajar. Pasien
sering tiba-tiba pergi keluar dari kelasnya dan masuk ke kelas lain tanpa
ijin sehingga mengganggu jam pelajaran. Guru pasien juga mengatakan
pasien sering mengganggu teman-temannya seperti memukul dan
meludahi temannya sehingga tidak ada yang mau berteman dengan
pasien.
Di rumah, pasien mulai tampak gelisah, sering mondar-mandir
tidak mau diam. Pasien juga menjadi banyak bicara dan kasar. Ibu pasien
pernah melihat pasien berbicara sendiri dan pasien juga pernah
mengatakan bahwa dirinya sering mendengar suara-suara bisikan yang
menyuruh pasien untuk keluyuran. Pasien masih dapat mengurus dirinya
sendiri, tidur cukup namun sering terbangun sebelum subuh lalu mondar-
mandir tidak bisa diam, dan nafsu makan pasien meningkat.
Sekitar dua minggu sebelum kunjungan ke poli Psikiatri RSHS,
pasien pulang ke rumah dengan menangis dan keningnya yang penuh
dengan tip-ex. Ketika ditanya pasien mengatakan bahwa dirinya sering
dijahili oleh teman-temannya. Saat ibu pasien melaporkan kepada guru,
guru tersebut mengatakan bahwa pasien yang sering menganggu teman-
temannya dan pasien sendiri yang melakukan hal tersebut.
Lima hari sebelum kunjungan ke poli Psikiatri RSHS, pasien
dipulangkan dari sekolahnya karena dianggap telah mengganggu jam
pelajaran yang sedang berlangsung. Guru tersebut menyarankan orang
tuanya untuk membawa pasien berobat.
4
Empat hari sebelum kunjungan ke poli Psikiatri RSHS, pasien
mengatakan ke ibunya bahwa pasien tidak mau bersekolah di sekolah
tersebut lagi. Pasien juga mengatakan mau pindah saja ikut tinggal
dengan neneknya di daerah Caringin.
Tiga hari sebelum kunjungan ke poli Psikiatri RSHS, pasien
diantarkan oleh ibunya ke tempat neneknya. Namun keesokan harinya
pasien kabur dari rumah neneknya dan pulang ke rumah. Pasien
mengatakan di rumah tersebut ia melihat kakeknya yang sudah
meninggal sehingga pasien tidak mau tinggal dengan neneknya. Pasien
juga mengatakan dirinya mendengar suara bisikan banyak orang yang
menjelek-jelekkan dirinya. Karena hal ini pasien dibawa berobat ke Poli
Psikiatri RSHS.
C. Riwayat Perkembangan dan Milestone
1. Riwayat Prenatal dan Perinatal.
Pasien merupakan anak yang diharapkan. Ibu tidak mengalami
kelainan fisik dan mental selama waktu mengandung pasien. Pasien
dikandung cukup bulan dan dilahirkan secara spontan dibantu oleh bidan
dengan berat badan lahir 3500gr. Proses persalinan berjalan lama karena
mengalami kesulitan yaitu saat akan dilahirkan pasien terlilit tali pusat.
2. Masa Kanak – kanak Awal ( 0 – 3 tahun ).
Pasien mendapatkan ASI selama 2 tahun. Pasien disusui dengan
cara digendong dan ibu tidak melakukan pekerjaan lain. Tidak ada
kesulitan dalam pemberian ASI. Menurut ibu, pasien sering sakit –
sakitan dan pernah mengalami sakit demam tinggi hingga kejang sampai
pasien berusia 2 tahun. Pasien juga sulit makan sehingga oleh dokternya
sering dikatakan kurang gizi. Pasien mendapat toilet training dari ibunya
tanpa paksaan.
5
3. Milestone
Pasien mulai dapat tengkurap atau membalikkan badan pada usia 6 bulan,
mulai dapat melangkah pada usia 1 tahun, pasien baru dapat berjalan
dengan lancar pada usia 18 bulan. Pasien mulai belajar mengucapkan kata
– kata pada usia 1 tahun, dan baru mulai bisa berbicara saat usia 2 tahun
namun tidak terlalu lancar. Ibu pasien menyatakan bahwa perkembangan
pasien agak terlambat dibandingkan kakak pasien.
D. Riwayat Psikiatrik Terdahulu
- Tidak ada. Pasien baru pertama kali mengalami hal seperti ini.
- Tidak ditemukan adanya riwayat gangguan mental dan emosi
sebelumnya.
E. Riwayat Medis dan Psikiatris yang Lain
1. Kondisi Medik
• Pasien memiliki riwayat sakit kejang demam sebanyak 3 kali
hingga pasien berusia 2 tahun
• Riwayat trauma kepala tidak ada.
• Riwayat penyalahgunaan zatdisangkal
2. Riwayat Imunisasi
Menurut ibu, pasien mendapatkan imunisasi dasar dengan cukup
lengkap .
F. Riwayat Sosial Keluarga dan Pernikahan Orang Tua
Pasien adalah anak bungsu dari dua bersaudara yang dibesarkan
dalam sosiokultural Sunda dan keadaan ekonomi keluarga pas-pasan.
Perekonomian keluarga dibantu dari kakak-kakak ayah pasien serta hasil
panen ladang mereka.
6
Ayah dan ibu pasien berkenalan dengan cara dijodohkan. Satu
bulan setelah perjodohan ayah dan ibu menikah, saat ini usia pernikahan
sudah 22 tahun. Kehidupan pernikahan orang tua pasien kurang harmonis
, hal ini disebabkan karena ayah pasien memiliki keterbatasan dalam
berkomunikasi dan ibu pasien sering menyalahkan kondisi ayah pasien.
Kedua orang tua pasien tidak memiliki hubungan darah.
G. Riwayat Pendidikan dan Fungsi Sekolah Saat Ini
• Pada usia 6 tahun, karena tidak memiliki biaya yang cukup, pasien
langsung masuk ke sekolah dasar. Namun setelah satu minggu
bersekolah pasien tidak mau meneruskan sekolahnya karena pasien
ingin sekolah yang ada tempat bermainnya, karena hal ini pasien tidak
melanjutkan SD nya. Satu tahun kemudian, pasien kembali masuk SD.
Selama 1 tahun bersekolah pasien ditunggui oleh ibunya karena
menurut ibunya, pasien akan menangis bila ditinggal. Kelas 1 SD
pasien tidak naik kelas karena masih belum bisa membaca dan
menulis. Selanjutnya pasien selalu naik kelas dengan prestasi cukup.
• Saat ini pasien duduk di kelas 1 SMP, prestasi di sekolah kurang.
Awal masuk sekolah, pasien tampak senang dan dapat mengikuti
pelajaran namun setelah mengalami gangguan psikiatrik, pasien tidak
dapat mengikuti pelajaran dengan baik.
H. Hubungan Dengan Teman Sebaya
Pasien adalah anak yang pendiam dan kurang bisa bergaul dengan teman-
teman di sekolahnya. Hubungan pasien dengan teman-teman di
lingkungan rumahnya kurang dekat. Pasien lebih senang bermain dengan
anak – anak yang lebih kecil dari usianya.
7
I. Fungsi Keluarga Saat Ini
GENOGRAM
Keterangan :
: laki – laki : gangguan jiwa
: perempuan : Pasien
Struktur keluarga pasien saat ini
No Nama L/P Usia Hubungan Sifat
1 Tn. W L 48 thn Ayah kandung Minder, mudah tersinggung
2. Ny. D P 46 thn Ibu kandung Ramah, Penyayang
3. D L 21 thn Kakak Pendiam, pintar
4. G P 15 thn Pasien Pendiam
Ayah pasien memiliki riwayat sakit kejang dan sering sakit-sakitan saat
kecil, memiliki lidah yang pendek sehingga bila berbicara terdengar kurang
jelas, hal ini membuat ayah pasien memiliki kesulitan dalam mengikuti
pelajaran di sekolah dasar, tetapi ia dapat menyelesaikan pendidikannya di
sekolah dasar berkat bantuan dari gurunya yang masih ada hubungan
keluarga. Saat ini ayah pasien masih kesulitan untuk membaca, menulis,
berhitung dan berbicara sehingga ia merasa minder dengan kondisinya.
46 48
21 15
70 70
Suku SundaTidak percaya diriMudah tersinggung
Suku SundaRamah, penyayang
Pendiam
8
Ibu pasien memiliki sifat yang ramah dan supel. Ibu lebih dominan dalam
mendidik anak-anaknya karena kondisi ayah pasien yang kurang dapat
berkomunikasi dengan anak-anaknya.
Kakak pasien merupakan orang yang pendiam dan menyayangi adiknya.
Hubungan pasien dengan kakaknya cukup dekat. Pasien mengagumi
kakaknya yang pintar dan ingin pintar seperti kakaknya.
Saat ini pasien tinggal hanya dengan ayah dan ibunya saja karena kakak
pasien sudah bekerja dan tinggal di daerah Bekasi.
Hubungan ayah pasien dengan anak-anaknya tidak dekat. Anak- anak lebih
dekat dengan ibunya. Hal ini disebabkan karena ayah pasien yang memiliki
keterbatasan dalam berkomunikasi dan seringkali mengulang-ulang
pembicaraan sehingga anak-anaknya merasa malas untuk mengobrol dengan
ayahnya. Hal ini membuat kurangnya figur ayah dalam mendidik anak –
anaknya.
Persepsi dan Harapan Orangtua Pasien
Orangtua pasien menginginkan pasien cepat sembuh sehingga bisa
bersekolah hingga tingkat yang tinggi agar memperoleh kehidupan yang
lebih baik.
Persepsi Pasien terhadap Orangtuanya
Pada saat ini pasien ingin ibunya selalu sehat.
J. Riwayat Psikiatrik Dan Medik Keluarga
Ayah pasien memiliki riwayat sakit kejang sejak kecil dan kemungkinan
mengalami retardasi mental
K. Pemeriksaan Fisik Saat Ini
Kesadaran : komposmentis
Gizi : cukup (BB; 44 kg, TB; 161 cm)
Status Internus: keadaan umum baik, fungsi saluran cerna, pernapasan
dan kardiovaskular dalam batas normal.
9
III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
Pemeriksaan status mental dilakukan pada tanggal 14 November 2011
A. Deskripsi Umum
Seorang anak perempuan, berpenampilan cukup rapi, berperawakan
sedang dan sesuai usia.
B.Interaksi Orang Tua–Anak
Saat wawancara bersama orang tuanya, pasien sering melihat ke arah
ibunya. Ibu tampak sabar dan cukup perhatian, sedangkan ayah pasien
lebih banyak diam dan menunduk. Pasien lebih banyak berkomunikasi
dengan ibunya dibandingkan dengan ayahnya.
C. Perpisahan dan Pertemuan Kembali
Pada saat orang tuanya diminta untuk meninggalkan ruang periksa,
pasien tidak tampak cemas dan saat orang tuanya kembali masuk ke
ruang periksa, pasien tampak lebih senang.
D. Orientasi
Orientasi tempat, waktu dan orang tidak terganggu.
E.Bicara dan Bahasa
Pasien dalam berbicara cukup jelas meskipun pasien mengatakan bahwa
lidahnya pendek sehingga ia kadang mengalami kesulitan dalam
berbicara. Kemampuan berbahasa pasien cukup baik.
F. Mood dan Afek
1. Mood : senang
2. Afek : sesuai
3. Keserasian : serasi
G. Pikiran
1. Bentuk pikir : tidak realistik
2. Proses berpikir : asosiasi longgar dengan tekanan
3. Isi pikiran : waham tidak ada
10
H. Gangguan Persepsi
Halusinasi dan Ilusi : tidak ada
I. Relasi Sosial
Selama Wawancara, sikap pasien terhadap pemeriksa cukup kooperatif,
kontak mata dengan pemeriksa cukup, rapport cukup adekuat dan pasien
mau menjawab pertanyaan yang diajukan pemeriksa. Pasien dapat
menjawab dengan spontan meskipun kadang jawaban yang diberikan
pasien tidak sesuai dengan yang ditanyakan oleh pemeriksa, volume suara
cukup. Kadang pasien tampak kurang percaya diri dengan mengatakan ia
memiliki lidah yang pendek.
J. Perilaku Motorik
Pada saat wawancara, pasien dapat duduk dengan tenang di kursi.
K. Fungsi Kognitif dan Pengindera
1. Kesadaran : komposmentis
2. Orientasi
Tempat : baik
Waktu : baik
Orang : baik
3. Memori
Immediate : baik
Recent : baik
Recent past : baik
Remote : baik
4. Konsentrasi dan perhatian : cukup
5. Membaca dan menulis : cukup
6. Berpikir abstrak : kurang
7. Intelegensi : kesan tidak sesuai dengan rentang rata-
rata pada umur dan tingkat pendidikan pasien
11
8. Fungsi adaptif
- Komunikasi : cukup
- Keterampilan Hidup sehari-hari : cukup
- Sosialisasi : pasien kurang dapat berinteraksi dengan teman sekolahnya
dan kurang tanggap dalam mengatasi masalahnya.
- Keterampilan Motorik : cukup
L. Penilaian dan Wawasan penyakit
• Kemampuan penilaian pasien kurang.
• Wawasan penyakit pasien parsial.
M. Dekorum
Kebersihan : cukup
Kesopanan : cukup
Cara berpakaian : cukup
IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT
A. Pemeriksaan Psikometrik
Child Depression Inventory : belum dapat dinilai karena pasien sering
kali menjawab tidak sesuai dengan pertanyaan.
B. Fantasi dan Cita-cita
Pada tes tiga keinginan, pasien berkeinginan
1. Ingin selalu senang
2. Ingin selalu gembira
3. Ingin bermain
Pasien bercita-cita menjadi seorang guru
C. Tes Gambar House-Tree-Person
• Rumah
- Rumah tampak tembus pandang. Hal ini dapat dipersepsikan
tentang kenyataan yang kurang tepat, atau mungkin low IQ, atau
mungkin psikotik.
12
- Jendela letak tinggi mencerminkan tidak mau orang lain bisa
melihat ke dalam, bisa kenal dia sedalam-dalamnya.
- Sebuah pohon di halaman menunjukkan orang yang susah terlibat
dalam kehidupan, ia seperti orang yang menonton saja tanpa
berpartisipasi, biasanya karena takut ditolak.
- Garis batasan tanah mengandung makna hubungan pasien dengan
realitas, dengan nilai – nilai yang mesti merupakan fondasi dalam
kehidupan dan pergaulan.
• Pohon
- Pohon yang sudah mati, mungkin ia tidak mau menyesuaikan diri
atau ia merasa tidak ada harapan. Bisa menunjukkan adanya
depresi yang berat.
- Pangkal pohon melebar ke sebelah kanan dan kiri, menunjukkan
adanya hambatan dalam belajar, sukar memahami atau menangkap
hal yang baru, ada hambatan perkembangan atau berfikir.
- Sebuah cabang yang terpotong biasanya menunjukkan sebuah
kehilangan.
- Seperti ada pohon didalam mahkota dan garis mahkota menutupi
menunjukkan bagian dalam merupakan masalah pasien dan ada
banyak penghalang dari luar.
• Orang
- Pasien menggambar orang dengan organ – organ yang tidak
digambarkan, jadi seakan – akan mata, mulut dan sebagainya tidak
tergambar. Hal ini menunjukkan terganggunya kemampuan kontak
dengan orang lain.
- Pasien hanya menggambar 3 orang yaitu dirinya, ayah pasien dan
ibu pasien dengan jarak yang berjauhan. Hal ini mungkin
menunjukkan hubungan pasien dengan orang tuanya yang kurang
dekat.
13
- Gambaran kepala ayahnya yang dibari kepala yang lebih besar
dibandingkan kepala ibu dan kepala pasien mungkin menunjukkan
pasien mengganggap ayahnya merasa lebih pintar dan berwibawa.
D. Tes Berhitung
Pasien dalam mengerjakan tes berhitung masih menggunakan jari-jari
tangannya. Pasien tampak terburu – buru dan kurang fokus dalam
mengerjakan tes berhitung sehingga hasilnya sering salah.
E. Rencana Pemeriksaan / Tes IQ
V. FORMULASI BIOPSIKOSOSIAL
Pasien dengan nama GP, umur 15 tahun datang ke poli psikiatri dengan keluhan
utama tidak mau belajar. Pasien merupakan anak bungsu dari 2 bersaudara. Saat
ini pasien kelas 1 SMP. Prestasi pasien dirasakan kurang karena pada saat kelas 1
SD pasien tidak naik kelas.
Aspek Biologik
Pasien mengalami keterbelakangan atau retardasi mental. Hal ini disebabkan
karena faktor genetik memegang peranan penting di dalam timbulnya retardasi
mental. Ayah pasien kemungkinan mengalami retardasi mental (dengan riwayat
pendidikan tamat SD dan riwayat kejang). Untuk retardasi mental pada pasien
kemungkinan dipengaruhi oleh faktor genetik yang diturunkan dari ayahnya.
Proses persalinan yang lama, dan gizi yang kurang pada saat kecil juga menjadi
faktor resiko dari retardasi mental.
Retardasi mental mempengaruhi perkembangan motorik dan proses belajar pada
pasien sehingga tampak pasien mengalami perkembangan motorik dan
komunikasi yang terlambat. Pada retardasi mental terdapat gangguan pada area
Broca dan area Wernicke.
Aspek Psikososial
Pasien mendapatkan pola asuh yang didapatkan lebih dominan dari ibunya, karena
ayahnya mengalami keterbatasan fisik sehingga tidak dapat berkomunikasi
14
dengan baik. Hal ini menyebabkan pasien menjadi sangat dekat dan tergantung
pada ibunya. Figure ayah yang kurang berperan dan ibu pasien yang seringkali
menyatakan keterlambatan yang dialami anaknya disebabkan oleh ayah pasien
dan membanding – banding pasien dengan kakaknya, membuat pasien kurang
mendapatkan dukungan (support system) yang baik dari kedua orangtuanya.
Kondisi pasien yang mengalami retardasi mental seharusnya memerlukan
stimulus eksternal dalam proses perkembangan. Stimulus dapat berupa metode
belajar atau edukasi dari kedua orangtuanya. Namun kedua orangtua pasien tidak
memberikan support yang baik, sehingga menyebabkan suatu stresor tersendiri
pada pasien dan perkembangan pasien terhambat.
VI. RINGKASAN PENEMUAN
A. Heteroanamnesis
Seorang anak perempuan, berusia 15 tahun, datang ke poliklinik psikiatri
dengan keluhan tidak mau belajar dan keluyuran ke kelas lain. Sejak 1
bulan sebelum kunjungan, pasien tampak adanya perubahan perilaku
menjadi tampak gelisah, tidak bisa diam, banyak bicara, kasar.
B. Pemeriksaan Fisik :
Dalam batas normal
C. Pemeriksaan Psikiatrik
Keadaan umum : tenang
Roman muka : biasa
Kontak/raport : ada/adekuat
Orientasi tempat/waktu/orang : baik
Memori : baik
Perhatian : cukup
Persepsi : halusinasi dan ilusi tidak ada
Pikiran : tidak realistik, asosiasi longgar dengan
tekanan
Emosi : mood senang ; afek sesuai
15
TL/B : normoaktif/spontan
Dekorum : cukup
Tilikan : parsial
D. Pemeriksaan Psikometrik
• Child Depression Inventory : tidak dapat dinilai
• Tes tiga keinginan
Pasien berkeinginan:
1. Ingin selalu senang
2. Ingin selalu gembira
3. Ingin bermain
VII. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Aksis I : Psikotik YTT
DD/ Gangguan Afektif Bipolar episode kini manic dengan
gejala psikotik.
Episode depresi berat dengan gejala psikotik
Aksis II : Retardasi mental ringan
DD/ IQ borderline
Aksis III : Tidak ada diagnosis
Aksis IV : Masalah berkaitan dengan psikososial di sekolah
Aksis V : GAF 1 tahun terakhir 90 – 81 (gejala minimal, berfungsi baik,
cukup puas, tidak lebih dari masalah harian yang biasa)
GAF pada saat pemeriksaan 70 – 61 (Saat ini pasien
mengalami beberapa gejala ringan atau beberapa kesulitan
dalam fungsi sosial, pekerjaan atau sekolah tetapi umumnya
berfungsi cukup baik)
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
16
IX. RENCANA TERAPI MENYELURUH
Psikoterapi:
Psikoterapi suportif individu
Psikoedukasi keluarga
Farmakoterapi: Risperidon 2 x 0,5mg
X. PEMBAHASAN
A. Diagnosis
Pada pasien ditemukan adanya riwayat persalinan yang lama, kejang dan
faktor keturunan dari ayah pasien yang mendukung sebagai faktor predisposisi
dari gangguan retardasi mental.
Berdasarkan DSM-IV, anak dengan retardasi mental adalah anak dengan
fungsi intelektual di bawah rata-rata secara bermakna (dengan IQ sekitar atau
di bawah 70) yang terjadi semasa anak berkembang dan disertai dengan defisit
atau kurang mampu dalam fungsi adaptif (kurang mampu dalam mengatasi
problem sosial secara efektif dan hidup secara mandiri). Retardasi mental dapat
terjadi dengan atau tanpa gangguan psikiatri dan gangguan fisik lainnya.
Hendaya mungkin tidak tampak sama sekali pada penyandang retardasi mental
ringan.(1)
Pedoman Diagnostik:
Intelegensia bukan merupakan karakteristik yang berdiri sendiri,
melainkan harus dinilai berdasar sejumlah besar ketrampilan khusus yang
berbeda. Meskipun ada kecenderungan umum bahwa semua keterampilan ini
akan berkembang ke tingkat yang serupa pada setiap individu, tetapi mungkin
ada diskrepansi luas, terutama pada penyandang retardasi mental. Penilaian
tingkat intelektual harus berdasar informasi yang tersedia, termasuk temuan
klinis, perilaku adaptif dan hasil tes psikometri.(2)
Untuk diagnosis pasti harus ada penurunan tingkat fungsi intelektual yang
mengakibatkan berkurangnya kemampuan adaptif terhadap tuntutan dari
lingkungan sosial normal sehari-hari. Gangguan fisik atau jiwa yang menyertai
17
mempunyai pengaruh besar pada gambaran klinis dan penggunaan dari setiap
ketrampilannya.(2) Oleh karena itu kategori diagnosis yang dipilih harus
didasarkan atas penilaian kemampuan global dan bukan atas suatu hendaya
atau ketrampilan khusus. Tingkat IQ yang ditetapkan hanya sebagai petunjuk
dan seharusnya tidak ditetapkan secara kaku. (3)
Fungsi intelektual(IQ) 90-109 : Normal rata-rata
80-89 : Rata-rata rendah
70-79 : Borderline
50-69 : Retardasi mental ringan
35-49 : Retardasi mental sedang
20-34 : Retardasi mental berat
<20 : Retardasi mental sangat berat
Pada pasien ini didiagnosis sebagai retardasi mental karena adanya
kerterlambatan perkembangan fungsi motorik, bahasa dan akademik.
Menurut teori perkembangan Jean Piaget, berdasarkan usia pasien saat ini,
pasien berada dalam tahap perkembangan operasional formal. Pada masa
operasional formal seorang anak telah memiliki kemampuan berpikir seperti
orang dewasa, anak menggunakan penyelesaian masalah dengan logika dan
berpikir dengan abstrak dibanding dalam sesuatu yang konkret.(1) Hal ini
disebut sebagai Hypothetical thinking, namun pada saat pemeriksaan dan
mengerjakan tes-tes, ditemukan pasien masih menggunakan cara berfikir yang
konkrit, misalnya setiap kali mengerjakan penjumlahan, pasien masih
menggunakan jari – jari tangannya. Dengan demikian dapat disimpulkan,
pasien berada dalam tahap perkembangan operasional konkret.
Pada retardasi mental terdapat deficit atau kurang mampu dalam fungsi adaptif
( komunikasi, keterampilan sehari-hari, sosialisasi, dan perilaku motorik).(1)
Pada pasien ini terdapat kurang mampunya fungsi adaptif sosisialisasi yaitu,
pasien kurang dapat bersosialisasi dengan teman sekolahnya, dan kurang
mampu dalam mengatasi permasalahannya.
18
Informasi yang dibutuhkan untuk mendiagnosis suatu gangguan retardasi
mental masih belum lengkap, yaitu pemeriksaan / tes IQ. Pasien direncanakan
untuk tes IQ apabila sudah realistik.
Pada pasien terdapat gejala psikotik berupa halusinasi dengar dan lihat,
sehingga pasien ini digolongkan kedalam Psikotik YTT.
Kegagalan dalam perkembangan proses berpikir, terutama pada
perkembangan fungsi kognitif akan mengakibatkan keterbatasan kemampuan
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi secara sistematik, efektif dan
efisien. (5)
Pada kasus ini, pasien yang memiliki keterbatasan kemampuan dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapinya, yaitu ketika ibunya mengalami sakit
berat sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur selama dua bulan, sehingga
timbul perubahan perilaku pada pasien. Perubahan perilaku yang tampak pada
pasien adalah pasien tampak sering melamun dan mengatakan kesedihan dan
ketakutannya kepada gurunya. Kemudian pasien menampilkan perilaku tampak
gelisah, sering mondar-mandir tidak mau diam. Pasien juga menjadi banyak
bicara dan kasar, sehingga pasien didiagnosis banding dengan gangguan
episode depresi berat dengan gejala psikotik dan gangguan afektif bipolar I
dengan gejala psikotik.
Gangguan mood dapat terjadi pula pada anak dan remaja. Kondisi ini ditandai
oleh adanya suasana perasaan yang terganggu dan berlangsung lama, seperti
hilangnya minat terhadap hal-hal yang biasanya dilakukan, seperti permainan,
olahraga, berteman atau pergi ke sekolah, dan seringkali disertai dengan
perasaan tidak berharga. Gambaran utama dari gangguan depresi mayor pada
anak dan remaja tergantung dengan usia dan maturitas anak.(1)
Menurut DSM-IV-TR, kriteria diagnostik untuk episode depresi mayor, adalah
adanya paling sedikit lima gejala harus yang terjadi dalam periode waktu 2
minggu, dan disertai oleh hendaya dari fungsi sebelumnya. Gejala-gejala dapat
berupa suatu mood yang depresif atau iritabel atau kehilangan minat atau
19
kesenangan. Gejala-gejala lain adalah kegagalan penambahan berat badan yang
diharapkan, insomnia atau hipersomnia, agitasi atau retardasi psikomotor, rasa
lemas, atau kehilangan energi/mudah lelah, perasaan tidak berharga atau rasa
bersalah, kehilangan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, dan pikiran
berulang tentang kematian. Gejala-gejala ini mengakibatkan hendaya dalam
fungsi sosial atau akademik. Untuk memenuhi kriteria diagnostik gangguan
depresi mayor, maka gejala-gejala tersebut tidak disebabkan oleh efek langsung
dari penyalahgunaan zat atau akibat dari kondisi medis umum. Diagnosis
gangguan depresi mayor tidak dibuat setelah 2 bulan anak kehilangan orang
yang dicintai, kecuali ada hendaya fungsional yang jelas, dan disertai dengan
adanya preokupasi dengan perasaan tidak berharga, ide bunuh diri,gejala-gejala
psikotik, atau retardasi psikomotor yang signifikan. (1)
Pada kasus ini, ketika ibunya mengalami sakit berat sampai tidak bisa bangun
dari tempat tidur selama dua bulan, timbul perubahan perilaku pada pasien.
Perubahan perilaku yang tampak pada pasien adalah pasien tampak sering
melamun dan mengatakan kesedihan dan ketakutannya kepada gurunya.
Kemudian pasien mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi sehingga prestasi
belajarnya menurun. Pasien juga mengatakan bahwa dirinya sering diejek dan
dijahili oleh teman-teman sekolahnya sehingga pasien mengatakan ingin
pindah sekolah, adanya halusinasi dengar berupa suara menyuruh dan
membicarakan pasien, sehingga pasien didiagnosis banding dengan gangguan
episode depresi berat dengan gangguan psikotik.
Pada remaja dengan gangguan bipolar, seringkali suatu episode depresi mayor
mendahului episode manik, kemudian berkembang menjadi gangguan bipolar I.
Episode manik pada seorang remaja, dapat juga dijumpai adanya waham
paranoid dan kebesaran dan juga halusinasi. Menurut DSM-IV-TR, kriteria
diagnostik untuk episode manik pada anak dan remaja sama dengan kriteria
diagnostik untuk orang dewasa. Kriteria diagnostik untuk episode manik
meliputi adanya episode mood yang meningkat, ekpansif atau iritabel yang
berlangsung minimal 1 minggu atau jika hospitalisasi diperlukan maka tidak
20
memperhatikan durasi waktu ini. Disertai dengan setidaknya 3 dari gejala-
gejala berikut yang bermakna dan persisten yaitu; adanya harga diri yang
melambung atau perasaan kebesaran, berkurangnya kebutuhan tidur,
pembicaraan, ide atau pikiran yang berlomba, distraktibilitas, peningkatan
aktivitas bertujuan dan keterlibatan berlebihan pada aktivitas yang dapat
berakibat merugikan bagi dirinya. Gangguan mood ini menimbulkan hendaya
yang jelas, dan hal tersebut bukan merupakan akibat langsung dari suatu zat
atau suatu kondisi medis umum.(1,3)
Ketika episode manik muncul pada seorang remaja, maka insidensi gambaran
psikotik lebih sering ditemukan jika dibandingkan pada orang dewasa, dan
hospitalisasi seringkali dibutuhkan. Isi waham dan halusinasi pada remaja
dengan episode manik seringkali berupa grandiositas akan kekuatan mereka,
harga diri yang melambung, pengetahuan yang erlebih, keluarga atau
hubungan. Waham kejar dan flight of ideas juga sering ditemukan. Secara
keseluruhan, terjadi gangguan dari uji realitas dapat ditemukan pada remaja
dengan episode manik. (1,5)
Dua kriteria untuk gangguan mood pada masa anak dan remaja adalah adanya
gangguan pada suasana perasaan seperti depresi atau elasi atau iritabilitas.
Meskipun kriteria diagnostik untuk gangguan mood dalam DSM-IV-TR hampir
serupa pada semua kelompok usia, namun ekspresi dari mood yang terganggu
tersebut bervariasi pada anak tergantung usia mereka.(1)
Umumnya anak yang didiagnosis dengan gangguan bipolar, mempunyai
hendaya fungsi lebih buruk, dan memerlukan hospitalisasi, mereka juga
seringkali menunjukkan gejala-gejala depresi dan memiliki riwayat gangguan
pemusatan perhatian/hiperaktivitas, sehingga diagnosis gangguan bipolar
menjadi lebih sulit ditegakkan. (1)
Pada kasus ini, ketika ibunya mengalami sakit berat sampai tidak bisa bangun
dari tempat tidur selama dua bulan, sehingga timbul perubahan perilaku pada
pasien. Perubahan perilaku yang tampak awalnya adalah pasien tampak sering
21
melamun dan mengatakan kesedihan dan ketakutannya kepada gurunya,
berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi sehingga prestasi belajarnya
menurun. Kemudian pasien menampilkan perilaku tampak gelisah, sering
mondar-mandir tidak mau diam, menjadi banyak bicara dan kasar. Pasien
didiagnosis banding dengan gangguan afektif bipolar I karena adanya
gambaran mood depresi yang muncul di awal dan kemudian menjadi manik
pada pasien.
B. Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
Pada pasien diberikan terapi antipsikotik atipikal Risperidon dengan doasis 2x
0,5 mg, dengan alasan antipsikotik atipikal saat ini merupakan terapi lini
pertama untuk anak dengan gangguan psikotik, karena efek samping yang
minimal dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Efek samping yang biasa
muncul pada pemakaian antipsikotik atipikal antara lain seperti penambahan
berat badan, gejala ekstra pyramidal, somnolen, sakit kepala, nausea, akatisia,
tremor, insomnia, nasofaringitis dan hiperprolaktinemi. Dosis yang diberikan
adalah dosis rendah karena metabolisme pada anak dengan retardasi mental
berbeda dengan dosis anak.
2. Non-farmakoterapi
Retardasi mental seringkali berko-morbiditas dengan berbagai gangguan
psikiatrik lain dan biasanya mereka membutuhkan banyak dukungan sosial
dari lingkungan. penatalaksanaan individu dengan retardasi mental didasarkan
pada penilaian akan kebutuhan sosial dan terhadap gangguan ko-morbididitas
yang ada. Tatalaksana yang optimal berdasarkan prevensi primer, sekunder
dan tersier. (1)
1. Prevensi Primer
Prevensi primer ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi kondisi-
kondisi yang memungkinan terjadinya gangguan-gangguan lain. Edukasi
untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dan meningkatkan kewaspadaan
22
terhadap isu-isu yang berkaitan dengan retardasi mental. Konseling keluarga
dan genetik akan mengurangi insidensi kasus retardasi mental suatu keluarga
yang mempunyai riwayat gangguan genetik yang terkait dengan retardasi
mental. Untuk anak dan ibu dengan status sosial ekonomi rendah, perawatan
kesehatan yang tepat selama periode pre-natal dan post-natal, serta program
penyediaan makanan tambahan, serta pelayanan sosial ibu dan anak dapat
membantu meminimalisasi komplikasi medis dan psikososial di kemudian
hari.
2. Prevensi Sekunder dan Tersier
Pada saat retardasi mental berko-morbiditas dengan gangguan lainnya,
gangguan tersebut harus ditangani sedini mungkin (prevensi sekunder) dan
untuk meminimalisasi gejala sisa atau dampak yang ditimbulkan (prevensi
tersier). Keterbatasan kemampuan sosial dan kognitif membutuhkan modalitas
tatalaksana dengan pendekatan psikiatrik dan modifikasi juga perlu dilakukan
berdasarkan tingkat kecerdasan mereka.
3. Edukasi untuk anak
Edukasi bagi anak dengan retardasi mental harus berdasarkan program yang
komprehensif dan mencakup pelatihan keterampilan adaptasi, pelatihan
keterampilan sosial, dan vokasional. Perhatian utama difokuskan pada aspek
komunikasi dan usaha untuk memperbaiki kualitas hidup anak. Terapi
kelompok merupakan salah satu teknik yang cukup sukses, anak dengan
retardasi mental mempelajari dan mengaplikasikan berbagai situasi kehidupan
yang sesungguhnya dan menerima umpan balik suportif dari lingkungan.
4. Terapi perilaku, kognitif dan psikodinamik
Terapi perilaku digunakan untuk membentuk perilaku sosial yang lebih dapat
diterima oleh lingkungan, serta dapat meminimalisasi perilaku agresif dan
destruktif.
23
Terapi kognitif dengan memperbaiki persepsi yang keliru dan latihan relaksasi
dengan bimbingan baik untuk individu dengan retardasi mental yang dapat
mengikuti dan memahami instruksi.
Psikoterapi dengan pendekatan psikodinamik digunakan pada anak dan
keluarga dapat menurunkan konflik sehingga dapat menurunkan ambang
kecemasan, kemarahan dan depresi yang persisten.
5. Edukasi Keluarga
Memberikan orang tua semua dasar dan informasi medis saat ini (penyebab,
pengobatan dan daerah terkait lainnya). Salah satu masalah yang paling umum
isolasi sosial dan defisit keterampilan social sehingga meningkatkan kuantitas
dan kualitas kompetensi sosial adalah bagian penting
Pada pasien ini, penatalaksanaan yang sudah diberikan adalah;
i. Psikoterapi suportif individual yang bertujuan untuk memberikan
dukungan, rasa aman dan percaya diri kepada pasien. Memotivasi pasien
untuk kontrol dan minum obat secara teratur.
ii. Psikoedukasi Keluarga yaitu memberikan pemahaman kepada keluarga
mengenai kondisi anaknya. Orang tua harus dapat menerima kondisi anak apa
adanya. Orang tua tidak membandingkan anaknya dengan kakanya dan tidak
memaksa anak untuk belajar melebih kapasitas kemampuan yang dimiliki
anaknya. Orang tua juga harus meberikan dukungan secara moral sehingga
anak dapat lebih percaya diri.
C. Prognosis
Prognosis pada pasien ini :
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
Prognosis terhadap fungsi vital mengarah ke prognosis baik karena pasien tidak
disertai dengan penyakit fisik, sedangkan untuk gangguan intelektual yang
mendasari tidak bisa diperbaiki, tapi tingkat adaptasi dapat dipengaruhi secara
24
positif oleh lingkungan suportif sehingga prognosis fungsi sehari-hari pasien ke
arah dubia ad bonam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock’s synopsis of psychiatric
behavioral sciences / clinical psychiatric. 10th ed. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins ; 2007.
2. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman penggolongan dan
diagnosis gangguan jiwa di Indonesia. Edisi 3. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI ; 1993.
3. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of
mental disorders. 4th ed. Washington DC : American Psychiatric
Association; 2000.
4. Aldrich CK. An introduction to dynamic psychiatry. New York : McGraw-
Hill, Inc; 1966.
5. Cheng K, Myers KM. Child and adolescent Psychiatry the essential. 2nd.
Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins;2011
6. Gabbard GO. Psychodynamic psychiatry in clinical practice. 3 rd ed.
Washington DC : American Psychiatry Press Inc ; 2000.
7. Yusuf I. Komorbiditas pada penyandang Retardasi Mental. Pertemuan
Akeswari. Mei 2011.
8. Power R. General Principles Of Clinical Psychopharmacology For Adult
Persons With Mental Retardation Or Developmental Disabilities
(MR/DD). 2005
9. Shelton J. Treatment of Mentally Retarded. Santa Clar County Medical
Society, on "Treatable Aspects of Mental Retardation",December 5. 1963.
10. Johnson CP, Walker WO. Mental Retardation: Management and
Prognosis. Pediatrics in review: 2006; 27.249-56..
25
Follow up
Kontrol tanggal 19 November 2011
Anamnesis
Setelah mendapatkan terapi selama 5 hari, pasien masih tampak melamun namun
pasien sudah lebih tenang, tidak banyak bicara. Pasien lebih banyak diam di
rumah dan belajar. Pasien ingin kembali bersekolah. Pasien tidur jam 7 malam
dan terbangun saat subuh. Nafsu makan pasien baik.
Status psikiatrikus
Kesadaran : compomentis
Keadaan umum : tenang
Kontak/rapport : ada /cukup
Perhatian : cukup
Pikiran : realistik, koheren
Persepsi : ilusi dan halusinasi tidak ada
Emosi : mood; senang, afek; sesuai
Tingkah laku/bicara :normoaktif/ spontan
Dekorum : baik
Tilikan : parsial
Th/ Risperidon 2 x 1 mg
Psikoterapi supportif individu: Memotivasi pasien untuk kontrol dan minum obat
secara teratur.
PsikoEdukasi keluarga: memberikan pemahaman kepada keluarga mengenai
kondisi anaknya. Orang tua harus dapat menerima kondisi anak apa adanya.
Orang tua tidak membandingkan anaknya dengan kakaknya dan tidak memaksa
anak untuk belajar melebih kapasitas kemampuan yang dimiliki anaknya.
kontrol 1 minggu
26
Follow up
Kontrol tanggal 25 November 2011
Anamnesis
Di sekolah pasien sudah dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Pasien tampak
tenang dan tidak keluyuran ke kelas lain saat jam pelajaran berlangsung. Di
rumah, pasien juga tampak tenang, tidak banyak bicara, dan tidak berbicara
dengan kasar. Pasien tidur jam 7 malam dan bangun pagi saat subuh. Nafsu
makan pasien baik.
Status psikiatrikus
Kesadaran : compomentis
Keadaan umum : tenang
Kontak/rapport : ada /cukup
Perhatian : cukup
Pikiran : realistik, koheren
Persepsi : ilusi dan halusinasi tidak ada
Emosi : mood; senang, afek; sesuai
Tingkah laku/bicara :normoaktif/ spontan
Dekorum : baik
Tilikan : parsial
Th/ Risperidon 2 x 1 mg
Psikoterapi supportif individu:
PsikoEdukasi keluarga:
kontrol 1 bulan