jurnal baru.docx
DESCRIPTION
asdTRANSCRIPT
Faktor – faktor yang mendasari keberhasilan pembedahan trabeculectomy dengan penggunaan
mitomycin C pada pasien Africa-carabian
Abstrak
Pendahuluan
Untuk mengetahui faktor – faktor dasar yang mempengaruhi keberhasilan dari
trabekulektomi dengan penggunaan mitomycin c pada rentetan kasus pada pasien ras afrika –
carabian.
Desain penelitian
Desain penelitian ini bersifat prospektif, observatif, dan comparative kohort studi
Partisipan
47 pasien ras afrikan – carabian secara berturut – turut dengan diagnosa glaucoma
Metode
Metode yang diterapkan menggunakan perhimpunan antara sisa trabekulektomi dan
faktor penelitian yang diperiksa menggunakan test exact fisher dan test hitungan tingkat
wilcoxon pada bulan 12, 24, dan 36 setelah trabeculektomi. Regresi logistic digunakan untuk
membentuk kombinasi dari faktor – faktor terbaik demi kelangsungan hidup.
Hasil Pemeriksaan
Keberhasilan tindakan bedah berdasarkan kepada penurunan tekanan intraocular hingga ≤
21 mmHg, ≤ 18 mmHg, dan ≤ 15 mmHg tanpa pengobatan galukoma sebelumnya (kriteria 1),
atau terjadi penurunan tekanan intraocular hingga ≤ 21 mmHg, ≤ 18 mmHg, dan ≤ 15 mmHg
dengan atau tanpa pengobatan glaucoma.(kriteria 2)
Hasil
Setelah 36 bulan Terjadi penurunan signifikan dari sisa trabekulektomi dengan
penggunaan acetazolamide sebelum tindakan operatif, status pseudopakik dan tingginya tekanan
intraokuler preoperative. Pada mata dengan pseudopakik, terdapat laju yang lebih rendah dari
keberhasilan untuk kriteria 2 ketika dipilih pada tekanan intraocular ≤ 15 mmHg setelah 2 tahun
post trabekulektomi, odd rasio menjadi 12
Kesimpulan
Faktor resiko utama yang ditemukan bahwa terdapat pengaruh kegagalan trabekulektomi
setelah 3 tahun pada ras afrikan – carabbean: sebelum preoperasi pasien diberikan
acetazolamide, penilaian pseudopakik status, dan tingginya tekanan intraocular. Dari ketiga
faktor ini lah para dokter spesialis lebih agresif dalam penanganan dan penggunaan regimen post
operasi untuk meningkatkan tingkat survival pada populasi ini.
Kata pengantar
Sejak pengenalan sebelumnya oleh cairns pada tahun 1968, tindakan trabekulektomi
masih dianggap sebagai gold standar dalam pengobatan berbagai jenis glaucoma. Dalam
meningkatkan tekhnik trabekulektomi, termasuk diantaranya penggunaan agen – agen
antiproliveratif seperti 5-fluorouracil dan mitomycin C (MMC), penggunaan MMC untuk
drainase daerah posterior, lysis suture pasca tindakan laser, telah efektif dalam mengatur tekanan
intraocular jangka panjang. Namun, meskipun begitu, faktor resiko, termasuk pada ras African –
carrabian, diabetes mellitus, riwayat laser argon trabekuloplasti dan semakin tingginya IOPs
preoperative, berlanjut hingga batasan sisa trabekulektomi.
Perbedaan sosial dan biologis antara ras AFCs dan caucasian diperkirakan berkontribusi
terhadap resiko yang lebih tinggi dari kegagalan dari kegagalan trabekulektomi antara AFCs.
Biopsy konjungtiva intraoperatif dan kegagalan trabekulektomi telah menunjukkan konsentrasi
yang lebih tinggi dari fibroblast dan makrofag pada AFCs yang di bandingkan dengan ras
kaukasian, sehingga member kesan respon penyembuhan yang lebih cepat. Penemuan ini, sama
seperti episeral fibrosis, ketebalan kapsula tenon, dan faktor – faktor sosialekonomi, yang
menjelaskan tingkatan keberhasilan yang rendah dari tindakan pembedahan pada pasien AFCs.
Kurangnya data baru – baru ini mengenai faktor – faktor prognosis yang berhubungan
dengan keberhasilan pembedahan glaucoma diantara pasien AFCs. Proyek “ReGAE”
brimingham merupakan pusat penelitian dengan multidisiplin, multiphase, dan berfokus pada
berbagai etnic yang bertujuan untuk menghindari kebutaan diantara populasi etnic di inggris.
Faktor – faktor yang mendasari dan mempengaruhi keberhasilan pembedahan disebagian besar
jenis kasus konsekutif dari pasien – pasien African – karabian yang sedang menjalani
pembedahan trabekulektomi dengan MMC telah dipelajari pada makalah ini.
METODE
Pemilihan pasien
Penelitian ini bersifat prospektif, konsekutif, dan merupakan jenis kasus perbandingan. Yang
termasuk didalamnya yaitu 47 tindakan trabekulektomi dari 47 pasien AFCs dengan sekurang –
kurang nya 24 bulan follow up. Pada pasien yang sedang menjalani pembedahan trabekulektomi
dikedua mata, salah satu mata secara random akan dieksklusi. Persetujuan etis didapatkan dari
komite penelitian etik local Staffordshire selatan. Penentuan pasien – pasien pasien AFCs di
identifikasi melalui kuisioner.
Tekhnik pembedahan
Pembedahan trabekulektomi dilakukan oleh dokter spesialis mata atau PPDS ( Profesi
Pendidikan Dokter Spesialis ) dibawah pengawasan dokter spesialis. Penjelasan lebih detail dari
pendekatan ini telah dijabarkan baru – baru ini. Namun poin penting dari dari tekhnik ini akan
diuraikan kemudian. Seluruh pasien akan menjalani trabekulektomi fornix berbasis flap dan
menerima dosis obat MMC 0,4 mg/ml selama 3 menit, kecuali pada pasien pasien – pasien
preoperative yang beresiko tinggi hipotoni akan mendapatkan dosis obat MMC 0,2 mg/ml
selama 3 menit. MMC digunakan sebelum dilakukan pembedahan dan bekerja keseluruh area
yang disusul pembedahan sub tenon poket yang besar. Dibuat luka dengan ukuran 4,5 x 3,0 mm
berbentuk trapezoid kedalaman 50% lamellar sclera. Dua pertiga bagian ditanamkan jahitan
nilon 10 – 0 sebelum ditempatkan ditepi sclera. Dengan menggunakan tekhnik titrasi IOP,
jahitan nilon 10 – 0 diperketat, dan jahitan tambahan di bagian flap sclera ditempatkan sebagai
kebutuhan untuk menjaga ruangan bagian depan tetap stabil dengan menjaga aliran aquous
humor tetap adekuat dan pembedahan IOP pun dapat dilaksanakan. Kedua mata mendapatkan
cefuroxime dan betametason 0,1% yang dilanjutkan dengan penutupan konjungtiva dengan
menggunakan nylon 10 – 0.
Perawatan pascaoperasi
Pasien – pasien ini diberikan obat tetes mata prednisolon acetat 1% 2 jam sekali selama 3 bulan,
tetes mata attrophine 1% satu kali dalam sehari selama 3 minggu dan tetes mata kloramfenikol
0,5% empat kali sehari selama 4 minggu. Pasien – pasien ini difollow up sekali dalam seminggu
selama 2 minggu pertama, dengan frekuensi follow up tergantung bergantung kepada kemajuan
individual setelah pembedahan.
Disetiap kunjungan, keadaan mata postoperasi diperiksa keadaan dan fungsi dengan melepaskan
jahitan skleral flap. Pada kasus – kasus dengan vaskularisasi dan fibrosis, diberikan injeksi
subkonjungtiva 5-fluororacil 50 mg/ml dan betametason 0,1 %. Jika fibrosis atau vaskularisasi
terjadi bersamaan dengan IOP yang tidak diterima atau bleb takberkapsul, maka bleb
membutuhkan tindakan pembedahan perbaikan yang dilaksanakan dengan injeksi 5-fluororacil
dan betametason 0,1% subkonjungtiva secara simultan. Tujuan dari perawatan postoperative ini
adalah untuk menyediakan aliran cairan aquous humor tetap tinggi dengan mengoptimalkan
morfologi dari bleb. Hal ini didapatkan pada awal follow up ketika jahitan skleral flap dilepas.
Pengumpulan data dan analisis
Faktor – faktor potensial yang mendasari dan mempengaruhi keberhasilan yaitu diantaranya usia
saat pembedahan, jenis kelamin, lateralisasi, diagnose glaucoma, jumlah obat – obatan topical
yang diterima sebelum pembedahan, penggunaan acetazolamide sebelum pembedahan, derajad
pembedahan, perbandingan lingkaran, ketajaman penglihatan, konsentrasi dan lamanya MMC
intraoperatif. Data IOP preoperative termasuk diantaranya catatan terbaik dari IOP preoperative
tiap pasien, rerata dari penilaian 3 kali IOPs prioritas.
Kriteria hasil
Dua tingkatan dari keberhasilan pembedahan diantaranya kriteria 1 – keberhasilan sempurna,
IOP ≤ 21 mmHg, ≤ 18 mmHg, ≤ 15 mmHg tanpa pengobatan glaucoma, dan kriteria 2 –
keberhasilan berkualitas, IOP ≤ 21 mmHg, ≤ 18 mmHg, ≤ 15 mmHg dengan atau tanpa
pengobatan glaucoma. Beberapa kasus dikatakan gagal bila nilai TIO turun hingga dibawah 6
mmHg. Definisi keberhasilan yang digunakan dalam penelitian ini masih tetap berdasarkan
Asosiasi glaucoma dunia tentang “definisi untuk keberhasilan pembedahan”. Pasien dengan IOP
> 21 mmHg atau yang sedang membutuhkan pembedahan tambahan glaucoma, termasuk diluar
dari BNR dipertimbangkan sebagai suatu kegagalan.
Metode Statistik
Suatu kegagalan terjadi jika IOP tidak terpenuhi kriterianya pada dua kali kunjungan berturut –
turut selama 3 bulan. pada kasus ini, kegagalan pengobatan terjadi pada saat kriteria IOP pertama
berada diatas rata – rata yang telah ditentukan. Jika kriteria atau nilai IOP diatas nilai limit pada
kunjungan akhir, juga dianggap sebagai suatu keagagalan pengobatan. Agar kriteria keberhasilan
dianggap sukses melalui BNR, maka harus ada penurunan IOP setidaknya selama 4 bulan pasca
pembedahan. Nilai IOP sebelum dan sesudah pembedahan dibandingkan dengan menggunakan
metode student’s t-test. Hubungan antara kemampuan bertahan (survival) dan masing – masing
faktor penelitian diperiksa menggunakan uji eksak fisher untuk kategori berbagai faktor dan
wilcoxon rank sum test untuk faktor kuantitatif. Tidak terdapat tambahan test dari setiap
pengujian tersebut karena penelitian ini dikerjakan atas keinginan sendiri dari pasien. Regresi
logistic digunakan untuk membentuk kombinasi dari berbagai faktor yang terbaik untuk
memprediksi tingkat survival hingga 12,24 dan 36 bulan pasca pembedahan. Analisis statistic
menggunakan STATA 11.0 yang dipertimbangkan nilai statistic secara signifikan. Suatu statistic
analisis yang dapat melakukan analisis faktor resiko.
Hasil
Karakteristik preoperative dan intraoperatif
Tabel 1 merupakan kumpulan dari berbagai faktor – faktor yang mendasari sampel penelitian
kami. Usia rata – rata yaitu 55 ± 17 tahun. dari 47 mata pasien AFCs, 19 diantaranya merupakan
primary open-angel glaukoma, 10 mata pasien AFCs dengan juvenile open-angel glaucoma, dan
8 mata pasien lainnya dengan diagnose uveitis glaucoma. Semua pasien mendapatkan
pengobatan topical, dan 9 diantaranya mendapatkan pengobatan oral acetazolamid. Dari 9 pasien
dengan pengobatan oral acetazolamid, 6 diantaranya didiganosa sebagai uveitis glaucoma. 11
pasien diantaranya merupakan pseudophakic, dan terdapat 2 pasien dengan riwayat pernah
mendapatkan pembedahan trabekulektomi sebelumnya. Dosis MMC yang digunakan adalah 0,2
mg/ml pada 27 pasien dan 0,4 mg/ml pada 20 pasien. Dari 47 kasus tersebut, 35 pasien ditangani
oleh dokter spesialis mata dan 12 pasien ditangani oleh PPDS mata dibawah supervise dokter
spesialis mata.
Seluruh pasien difollow up selama 24 bulan, dan dari keseluruhan ini 35 pasien diantaranya
mendapatkan follow up hingga 36 bulan. 2 pasien diantaranya mendapatkan pembedahan kedua,
satu pasien membutuhkan implant seton pada 42 bulan postoperasi, dan jumlah pasien
selebihnya menjalani pengobatan laser cyclodiode 58 bulan posoperasi. Dengan tujuan utama
untuk pembedahan trabkulektomi, 2 pasien diantaranya sudah pernah mendapatkan vitrectomy,
terdapat salah satu pasien pernah mengalami ablasio retina, dan yang lain sebagai komplikasi
diabetic retinopati. Dikarenakan hal ini dapat mengganggu fungsi konjungtiva, kedua pasien ini
dikeluarkan dari sampel penelitian ketika didapatkan data pembedahan sebelumnya sebagai
marker sebelum dilaksanakan pembedahan trabekulektomi.
Analisis univariat
Fisher’s exact tes digunakan sebagai analisis univariat dari hubungan individual antara kategori
faktor penelitian dan daya tahan, sebagai hasil, ditunjukkan pada tabel 2. Pada penelitian
sebelumnya penggunaan acetazolamid, status preoperative pseudopakhik, pertambahan usia,
BCVA ≤ 6/12 dan nilai IOPs preoperative yang tinggi digunakan sebagai faktor – faktor
individual yang berhubungan dengan kegagalan dengan menggunakan kriteria 1 dan 2 pada
tingkatan IOP sebelumnya. Sebagai contoh, berdasarkan kriteria 1 pada IOP ≤ 18 mmHg 12
bulan postoperasi, 36 dari 37 pasien dengan BCVA ≤ 6/12 bertahan, dibandingkan dengan hanya
5 dari 10 pasien dengan BCVA ≤ 6/12 (P<0,001). Status pseudophakic mata, penggunaan
acetazolamide postoperasi dan tingginya IOP secara signifikan dapat terjadi kegagalan pada
12,24, dan 36 bulan postoperasi.
Penilaian IOP preoperasi dapat menjadi salah satu faktor IOP yang berhubungan dengan tingkat
kegagalan berdasarkan dari ketiga variable IOP yang diperiksa setiap kriteria tersebut. Ketika
nilai IOP ≤ 18 mmHg, pada 24 bulan postoperasi nilai rata-rata survival preoperative IOP pada
mata tersebut 21,2 mmHg, dibandingkan dengan 37,8 mmHg pada mata yang dikatergorikan
sebagai suatau kegagalan. Variable – variable yang mendasari tersebut tidak berdasarkan kepada
jenis kelamin, lateralisasi, jumlah pengobatan preoperative, ratio cup:disc, dosis MMC dan
derajat keparahan.
regresi logistic multivariabel
Faktor potensial dari regresi logistic multivariable untuk terjadinya kegagalan dikerjakan
menggunakan variable – variable yang signifikan dari berbagai kriteria yang berasal dari analisis
univariat. Untuk keperluan analisis IOP praoperatif, hanya IOP preoperative secara langsung
yang digunakan, karena variable ini secara konsisten sebagai penanda sebuah kegagalan dalam
analisis univariat. Pada 24 bulan pasca pembedahan penggunaan kriteria 1 dan 2, tingginya IOP
preoperative secara langsung dan adanya riwayat pembedahan katarak sebelumnya berhubungan
dengan resiko tinggi terjadinya kegagalan ketika nilai IOP ≤ 18 mmHg dan ≤ 15 mmHg. Sebagai
contoh, immidiet IOP preoperative dan pembedahan katarak preoperative berhubungan secara
signifikan dengan tingkat kegagalan yang didefinisikan sebagai nilai IOP ≤ 18 mmHg
berdasarkan kriteria 1. Peningkatan usia pada saat pembedahan juga di identifikasi sebagai faktor
terjadinya kegagalan ketika tingkatan nilai IOP ≤ 15 mmHg berdasarkan kriteria 1. Tidak
terdapat kombinasi secara signifikan untuk faktor – faktor tersebut yang ditemuakn untuk tingkat
survival pasca pembedahan atau kegagalan setelah 12 atau 36 bulan postoperasi.
Diskusi
Pasien dari afrika-carabian dan afrika – amerika telah diketahui menjadi faktor resiko tertinggi
dari kegagalan pembedahan glaucoma. Meskipun begitu, tidak terdapat data consensus mengenai
faktor – faktor penentu kesuksesan setelah pembedahan trabekulektomi dengan MMC pada ras
AFCs di inggris. Penelitian ini menyediakan kesempatan pertama kali untuk mengevaluasi
berbagai macam faktor resiko yang mempengaruhi keberhasilan tindakan termasuk didalamnya
populasi yang beresiko tinggi. Kami juga telah mengungkapkan bahwa penggunaan
acetazolamid preoperative, status pseudopakic, peningkatan usia saat pembedahan, BCVA ≤
6/12 dan tingginya nilai IOP preoperative secara signifikan merupakan faktor resiko yang
mempengaruhi kegagalan filtrasi hingga 36 bulan pasca pembedahan.
Kami juga baru – baru ini telah melaporkan keberhasilan secara keseluruhan melalui metode
cross sectional dari tindakan pembedahan trabekulektomi dengan penggunaan MMC pada pasien
AFCs. Saat 36 bulan postoperasi, 92,6% berhasil secara kualitas, dan 59,3% berhasil secara
sempurna untuk jenis IOP ≤ 21 mmHg. Rasio survival 96%, 90%, dan 86% pada saat 12,24, dan
36 bulan pasca pembedahan, dengan waktu kelangsungan hidup rata – rata 97,4 bulan. hipotoni
dini postoperasi membutuhkan intervensi bedah terjadi pada empat pasien.
Keadaan konjungtiva dan jaringan tenon preoperative, serta stabilitas dari aliran darah sebagai
pertahanan aqueous humor telah terlibat dalam hasil pembedahan trabekulektomi. Brodway at al,
melaporkan jumlah penggunaan obat – obatan preoperative berhubungan dengan kegagalan
pembedahan trabekulektomi. Tanda ini meningkat ketika jumlah makrofag dan fibroblast seperti
penurunan signifikan dari sel goblet yang telah di diamati pada pasien dengan pengobatan topical
jangka panjang. Hal ini mendalilkan bahwa peradangan konjungtiva dan episeral, hingga regulasi
aktifitas fibroblast dan termasuk fibrosis yang disebabkan oleh pengobatan topical yang
berkontribusi terhadap kegagalan filtrasi. Meskipun sejumlah obat topical preoperative bukan
merupakan faktor untuk bertahan hidup, penggunaan acetazolamid secara signifikan
meningkatkan kemungkinan kegagalan sampai dengan 36 bulan pasca pembedahan. Pada pasien
ini, pemberian terapi topical maksimal sering habis, sebelum menyiapkan mata untuk melihat
respon fibroblastic sebagai tindak lanjut lebih jauh seperti pembedahan filtrasi. Dalam penelitian
ini, dua pertiga pasien menggunakan acetazolamid untuk pengobatan uveitis glaucoma. Hal ini
telah diakui bahwa pasien dengan uveitis memiliki jumlah yang lebih tinggi dari fibroblast
konjungtiva dan makrofag yang menghasilkan respon penyembuhan yang berlebihan. Selain itu,
kerusakan pada sawar darah memungkinkan mediator proinflamasi kedalam aquous humor, dan
dengan demikian menghasilkan IOP yang tak terkontrol serta peradangan konjungtiva yang
berlebihan.
Intervensi sebelumnya, termasuk ekstraksi/lensa aspirasi katarak, operasi filtrasi glaucoma dan
trabekuloplasti laser, dikenal sebagai faktor resiko utama untuk terjadinya kegagalan
trabekulektomi. Hasil penelitian ini sejalan dengan temua ini, identifikasi pembedahan katarak
sebelumnya sebagai faktor resiko independen untuk terjadinya kegagalan. Namun, peningkatan
resiko ini hanya berlaku bila tingkatan dari nilai IOP ≤ 18 mmHg, menunjukkan bahwa
peningkatan respon fibrotic yang disebabkan pembedahan katarak adalah faktor resiko terjadinya
kegagalan yang hanya ketika sasaran lebih rendah dari nilai IOP. Sebagai contoh, ketika tujuan
untuk keberhasilan dari nilai IOP ≤ 15 mmHg pada 24 bulan pasca operasi, rencana pembedahan
katarak secara signifikan meningkatkan kemungkinan kegagalan dengan faktor 1 2. Penelitian ini
juga memfokuskan bahwa status pseudophakik, dosis MMC dan durasi secara signifikan tidak
mempengaruhi terhadap tingkat survival pasca pembedahan. Antifibrotic dan apoptosis fibroblast
sebagai efek dari mitomycin mungkin tidak menetralkan efek sekunder pada inflamasi sel, yang
menyebabkan respon yang persisten dan kegagalan jangka panjang dalam AFCs. Sebelumnya hal
ini telah menunjukkan bahwa bahkan setelah operasi katarak rutin, terdapat kerusakan
berkepanjangan dari barier sawar darah, dimana secara signifikan lebih lama dari pada yang
terlihat dimata yang menjalani trabekulektomi saja. Kegagalan persisten dari barir sawar darah
dengan komposisi cair diubah untuk mengurangi sitotoksisitas MMC untuk fibroblast.
Tingginya IOP selama perjalanan penyakit dan/ pada saat operasi ditemukan merugikan hasil
trabekulektomi, yang merupakan penemuan dengan penelitian sebelumnya pada peserta yang
didominasi ras Caucasian. Ketika tingkatan IOP ≤ 18 mmHg pada 24 bulan pasca pembedahan,
peningkatan sekitar 5 mmHg pada IOP preoperative meningkatkan kemungkinan kegagalan
sebesar 3,8. Bertambahnya usia pasien AFCs juga diidentifikasikan sebagai faktor resiko
terjadinya kegagalan trabekulektomi pada kadar IOP ≤ 15 mmHg setelah 24 bulan pasca
pembedahan. Kemungkinan kegagalan yang terjadi meningkat sebesar 5 untuk setiap kenaikan
usia 20 tahun. hal ini berbeda dengan orang – orang Caucasian yang lebih muda telah di
identifikasi sebagai faktor resiko terjadinya kegagalan trabekulektomi, karena berpotensi
terhadap respon penyembuhan yang lebih kuat dan ketebalan kapsula tenon pada pasien yang
lebih muda. Namun pada pasien AFCs, penggunaan pengobatan topical preoperative jangka
panjang, keparahan penyakit lebih besar dan kepatuhan makan obat pasca pembedahan yang
rendah dapat memberikan penjelasan yang masuk akal sebagai resiko yang lebih besar terhadap
usia.
Sebagai kesimpulan, hasil penelitian prospektif ini telah mengidentifikasi tiga faktor utama yang
mempengaruhi kegagalan pembedahan trabekulektomi selama 3 tahun pada populasi afrika –
karabian di inggris; penggunaan acetazolamid preoperative, status pseudopakik, dan IOP
preoperative yang lebih tinggi. Kehadiran dari berbagai faktor ini mungkin masih memerlukan
pendekatan yang lebih agresif, beragam tekhnik intraoperatif dan manajemen pasca pembedahan
secara intensif, regimen obat yang digunakan untuk meningkatkan survival pasca pembedahan
pada populasi dengan resiko tinggi.