revisi baru.docx

Upload: yusuf-widodo

Post on 30-Oct-2015

132 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PELAKSAAN OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA(IMPELEMENTASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG OTONOMI DAERAH SERTA PELAKSANAAN OTONONOMI KHUSUS)

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Kuliah Yang Dibina Oleh Bapak Rozikin

Disusun Oleh :Nurul Solehah( 105030507111029 )Yusuf Widodo( 105030507111031 )Aris Setyo Budi( 105030500111020 )Romy Alfisyahri Dalimunthe( 105030500111013 )PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PEMERINTAHANFAKULTAS ILMU ADMINISTRASIUNIVERSITAS BRAWIJAYA2013BAB IPEDAHULUANA. Latar BelakangNegara Indonesia merupakan negara yang kesatuan yang berbentuk kepulauan yang terdiri dari beberapa wilayah yang memiliki karakteristik sendiri baik itu karakteristik geografis, budaya maupun latar belakang sejarah. Dalam penyelenggraan pemerintahannya Negara Indonesia tentu saja sudah beberapa kali menerapkan sistem pemerintahan yang berbeda mulai dari sistem pemerintahan yang sentralistik sampai dengan sistem pemerintahan yang desentralistik, hal tersebut ditujukan supaya penyelenggaraan pemerintahan dapat mencapai tujuan yang diinginkan yaitu terwujudnya masyarakat yang sejahtera Welfare State. Pergeseran cara pandang akan terselenggaranya pemerintahan yang dapat mengapresiasi seluruh keinginan masyarakat khususnya dalam hal ini adalah masyarakat di daerah yang merupakan pokok bahasan yang sering kali memunculkan perdebatan.Terdapat dua kiblat besar yang dapat digarisbawahi dalam perdebatan tersebut yaitu penyelenggraan pemerintahan yang sentralistik dimana pemerintah pusat memegang kendali pemerintahan nasional secara utuh dan desentralisasi dimana daerah diberikan hak untuk mengelola urusan daerahnya sendiri secara mandiri. Di dalam dua paradigma tersebut menyimpan suatu pemikiran bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien masih dalam perdebatan. Dalam perkembangannya otonomi daerah merupakan kajian yang terletak di tengah Sentralisasi dan Desentralisasi itu sendiri. Otonomi daerah merupakan isu sentral dan strategis dalam tata pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana otonomi daerah sering kali dipandang sebagai kepentingan politis yang dibungkus dalam kajian kebijakan mengenai penyelenggaraan pemerintahan.Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia karena sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah dikenal adanya otonomi daerah yang dipayungi oleh Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 (Haris, 2005). Pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Akan tetapi dalam implementasinya sering kali otonomi daerah dijadikan suatu kerangka strategi politik dalam mendapatkan dan mempertahankan eksistensi politik. Pelimpahan kewenangan, hak, dan kewajiban dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah menjadikan setiap daerah bebas mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat, sehingga pelayanan kepada masyarakat dapat meningkat, terjadi percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat (Said, 2008).Otonomi daerah memiliki sejarah yang panjang dalam sistem tata pemerintahan Negara Indonesia sendiri dimana lahirnya otonomi daerah bukan semata-mata atas bergulirnya reformasi pada tahun 1998. Otonomi daerah lahir jauh sebelum adanya reformasi itu sendiri dimana pada masa penjajahan Belanda otonomi daerah sudah lahir yaitu tepatnya pada tahun 1903 yang dikenal dengan Desentralitatie Wet akan tetapi sifat otonomi daerahnya saja yang masih kabur karena asas dekonsentrasi yang lebih terasa pada waktu itu. Seiring dengan lahirnya kemerdekaan Indonesia pada 17 agustus 1945 otonomi daerah bahkan menjadi isu yang sangat krusial dan kompleks dimana lahirnya kemerdekaan Negara Indonesia juga dimaknai dengan lahirnya kemerdekaan daerah-daerah. Suasana politik yang masih kacau dan ditambah dengan batas wilayah kekuasaan Negara Indonesia yang masih belum jelas membuat daerah-daerah menginginkan kemerdekaannya.Bergulirnya otonomi daerah tidak dapat dimaknai kemerdekaan yang diberikan untuk daerah akan tetapi otonomi daerah merupakan hak daerah untuk mengelola urusan rumah tangganya sendiri namun tetap diawasi oleh pemerintah pusat. Penyelenggaraan otonomi daerah diharapakan memberikan manfaaat yang besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Manfaat ini dapat diperoleh dengan menumbuhkembangkan kehidupan yang demokratis, mendorong upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, memperkuat kedudukan serta kemampuan pemerintah daerah, meningkatkan mutu pelayanan umum, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia juga memperhatikan prinsip-prinsip pengaturan kewenangan pengaturan pemerintahan sebagai berikut:a. Pada dasarnya semua kewenangan pemerintahan diserahkan kepala daerah, kecuali bidang pertahanan dan keamaanan, politik luar negeri, moneter dan fiskal, peradilan, agama, serta kewenangan pemerintahan lainnya yang secara nasional lebih berdayaguna dan berhasilguna jika di urus oleh pemerintah pusat.b. Penyerahan kewenangan di bidang pemerintahan kepada daerah harus disertai dengan pembiayaan, SDM, saran dan prasarana.c. Pelaksanaan kewenangan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah didasarkan pada norma, standar, kriteria, dan prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah.Disamping memperhatikan prinsip-prinsip seperti tersebut diatas, pelaksanaan otonomi daerah agar lebih efektif, juga harus didukung oleh unsur-unsur pokok, yaitu kelembagaan yang demokratis, efektif dan efisien, serta tersedianya sumber daya aparatur daerah yang berkualitas, potensi ekonomi daerah yang dapat digerakkan sebagai sumber pendapatan daerah, pemberian insentif fiskal, dan non fiskal guna menciptakan iklim kondusif bagi dunia usaha di daerah dan pengaturan hubungan keuangan pusat dan daerah yang adil dan proporsional.Keinginan yang kuat untuk melaksanakan otonomi daerah sejak awal dilandasi oleh amanat dalam UUD 1945 pasal 18 dan penjelasannya yang antara lain mengamanatkan sebagai berikut:a. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah-daerah yang lebih kecil;b. Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat administratif belaka sesuai dengan aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang;c. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah.Dengan landasan amanat UUD 1945 tersebut ditetapkan peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaannya, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1945, UU Nomor 2 Tahun 1948 yang selanjutnyya diperbaharui sesuai dengan UUDS RI tahun 1950, kemudian melalui UU Nomor 1 Tahun 1957, PENPRES Nomor 6 Tahun 1959, PENPRES Nomor 5 Tahun 1960 dan setelah kembali pada UUD 1945 diubah lagi dengan UU Nomor 18 Tahun 1965, dan selanjutnya diterbitkan UU Nomor 5 Tahun 1974. Selanjutnya sejalan dengan semangat otonomi daerah di era reformasi lahir UU Nomor 22 Tahun 1999 serta UU Nomor 32 Tahun 2004.Lahirnya peraturan perundang-undangan tersebut diharapkan mampu meningkatkan integrasi bangsa dengan daerah yang mampu mengelola daerahnya secara mandiri. Untuk mengapresiasi keberagaman kultur budaya dan kultur wilayah daerah-daerah di Indonesia maka otonomi daerah itu sendiri dibagi menjadi otonomi umum, otonomi khusus, dan otonomi istimewa sehingga daerah akan mampu mengembangakan wilayahnya berdasarkan karakterisrik latar belakang sejarah dan budayanya.Dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1) disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Tidak sedikit pandangan yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut Indonesia. Eko Prasodjo seperti yang dikutip Edi Toet Hendratno menyatakan bahwa Pasal 18B ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan negara mengakui keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesamaan dengan konsep diversity in unity (keragaman dalam kesatuan) dalam sistem federal. Hal tersebut dianggap bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut di Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Hendratno juga menyatakan bahwa pemberian status otonomi khusus maupun status keistimewaan terhadap daerah-daerah seperti Aceh dan Papua lebih mengarah pada model bentuk susunan negara federal. Pandangan tersebut didasarkan pada berbagai alasan dan argumentasi yang ditemukan dalam undang-undang pemerintahan daerah maupun dalam undang-undang yang menjadi landasan yuridis bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah di kedua daerah otonomi khusus tersebut. Misalnya diberikannya hak bagi masyarakat Aceh untuk membentuk partai politik lokal, maupun disyaratkan bahwa hanya orang asli papua yang dapat mencalaonkan diri sebagai calon gubernur Papua dan sebagainya. Akan tetapi, tidak sedikit juga konsep atau teori hukum tata negara yang dapat dijadikan landasan argumentasi untuk menyatakan bahwa status otonomi khusus atau istimewa bagi daerah-daerah tertentu tetaplah merupakan bagian dari model bentuk susunan negara kesatuan yang dianut Indonesia. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah, kecuali bidang; politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Hal ini menimbulkan peningkatan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan (penyediaan barang publik dan pembangunan ekonomi) di tingkat daerah yang sangat besar. Termasuk bagi daerah dengan status otonomi khusus maupun status istimewa. Penyerahan atau membiarkan mengatur dan mengurus asas dan cara mnjalankan kewenangan pemerintahan di daerah merupakan suatu otonom.

B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan, yaitu:1. Bagaimana model penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia pada setiap peraturan perundang-undangan?2. Bagaimana pelaksanaan otonomi khusus dan perbandingannya dengan otonomi daerah secara umum dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia?

C. Tujuan PenulisanTujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui:1. Model penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia pada setiap peraturan perundang-undangan.2. Pelaksanaan otonomi khusus dan perbandingannya dengan otonomi daerah secara umum dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.3. BAB IIKAJIAN PUSTAKAA. Otonomi Daerah1. Konsep Otonomi DaerahKata otonomi tersebut berasal dari kata Yunani yaitu autos berarti sendiri dan nomos berarti hukum atau aturan. Adapun pengertian otonomi daerah menurut Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 junto Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Berbeda halnya dengan otomi daerah daerah otonom memiki pengertiannya sendiri, menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian kewenangan itu sendiri didasarkan kepada azas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah ini tentunya diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri dan juga didukung oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.Menurut Kaho (1997) bahwa kemampuan daerah dalam bidang keuangan menentukan keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah, karena kemampuan keuangan merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur tingkat otonomi suatu daerah. Adapun prinsip - prinsip pemberian otonomi daerah itu sendiri sebagaimana pada UU Nomor 22 Tahun 1999 junto undang-undang nomor 32 tahun 2004, adalah :1) penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah;2) pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab;3) otonomi daerah yang luas dan utuh tersebut diletakkan pada daerah Kabupaten/Kota;4) pelaksanaannya otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara;5) Otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom;6) Otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi legislatif;7) asas dekosentrasi diletakkan pada daerah propinsi;8) tugas pembantuan dapat dari pemerintah pusat kepada daerah dan dapat juga dari pemerintah daerah kepada desa yang disertai pembiayaannya.Sesuai dengan amanat undang-undang Otonomi daerah UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 dan Nomor 33 Tahun 2004, penyerahan wewenang diikuti dengan penyerahan 3P (Personalia, Pembiayaan dan Prasarana/aset).1) Personalia,Penyerahan atau pengalihan status pegawai pusat menjadi pegawai daerah dimaksudkan dalam rangka mendukung tugas-tugas yang dibebankan kepada daerah sehingga secara teknis tugas-tugas yang dilimpahkan tersebut tidak terhambat pelaksanaanya sebagai akibat dari tidak tersedianya sumber daya manusia.2) Pembiayaan,Dari aspek pembiayaan, pelaksanaan undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan dimaksudkan untuk mendukung terselenggaranya pemerintahan didaerah sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Adapun yang menjadi kompenen dari dana perimbangan yang diterima oleh daerah antara lain sebagai berikut : Dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK).3) Prasarana dan sarana (aset).Dalam mendukung kewenangan yang dilimpahkan ke daerah, maka pemerintah pusat juga menyerahkan berbagai aset sehingga menjadi aset daerah. Beberapa aset tersebut, antara lain berupa gedung-gedung kantor termasuk tanah dan sarana mobilitas. Namun tidak seluruh aset pusat diserahkan kepada daerah, antara lain tempat penginapan dari Departemen Pekerjaan Umum, dan Aset milik Departemen Perhubungan seperti Bandara dan pelabuhan.Hambatan-hambatan dalam implementasi dilihat dari beberapa aspek yaitu diantaranya:1) Aspek Pemerintahan,Pelaksanaan otonomi daerah disatu sisi sangat memberikan harapan untuk cepat-cepat meraih satu kemajuan karena adanya kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur sendiri pemerintahan, disisi lain dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya ditopang oleh Sumber Daya Manusia yang memadai.2) Aspek Keuangan,Pendapatan Asli Daerah rendah, karena sebagian besar daerah kabupaten/kota memiliki pendapatan asli daerah sangat kecil sehingga tidak mampu membiayai pembangunan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan. Dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan daerah-daerah masih sangat tergantung dari kucuran dana pusat, seperti dana DAU,DAK dan lainnya.2. Peraturan Perundangan Yang Berkaitan Dengan Pemerintah Daerah dan Otonomi Daerah1) Undang-Undang No.1 tahun 1945Bila ditinjau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, tampak jelas bobot kekuasaan berada pada pemerintah pusat, sedangkan desentralisai yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah otonom adalah desentralisasi politik, khususnya aspek kekuasaan legislatif lokal. Desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiskal belum diatur sama sekali, bahkan bentuk dan susunan daerah belum ditetapkan termasuk pengaturan daerah istimewa.2) Undang-Undang No. 22 tahun 1948Sejalan dengan tujuan menegakkan kedaulatan rakyat dan untuk berjalan lancarnya roda pemerintahan di daerah, oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diberikan kewenangan sebanyak-banyaknya kepada daerah otonom baik secara penuh (hak otonomi) maupun secara tidak penuh (hak medebewind) guna mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya. Bahkan hak medebewind itu dapat diserahkan lagi oleh pemerintah daerah provinsi kepada daerah otonom yang lebih rendah melalui peraturan daerah. Agar kewenangan yang diserahkan dapat dijalankan dengan baik, kepada daerah otonom diberikan sumber-sumber pendapatan, pajak negara yang diserahkan kepada daerah, dan lain-lain pendapatan seperti pinjaman dan subsidi. Selain itu, daerah-daerah diwajibkan pula memiliki APBD.3) Undang-Undang No. 1 tahun 1957Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, pada dasarnya dikarenakan adanya keragaman pengaturan pemerintahan daerah, terutama Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang diberlakukan di daerah-daerah eks RI dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 yang diberlakukan untuk daerah-daerah Indonesia Timur. Undang-Undang ini adalah hasil kerja DPR pemilu tahun 1955 dengan harapan dapat menanggulangi kemelut politik yang bermuara pada pendemokrasian pemerintahan daerah awal tahun 1950-an.Adanya dualisme penyelenggaraan pemerintahan lokal antara Pemerintahan Daerah dan Pejabat Pamong Praja (dekonsentrasi), dimana masing-masing pihak berusaha mewujudkan kepentingannya sendiri. Dapat dikatakan walau dalam Undang_Undang ini sendi-sendi Desentralisasinya masih ada seperti pemelihan kepala daerah yang langsung dipilih oleh raktat, dan kepala daerah tersebut tidak lagi sebagai alat pusat dan sekaligus menjadi alat daerah namun, tetapi hanya sebagai alat daerah. Namun dalam Undang-Undang ini nuansa Dekonsentrasinya lebih terasa hal ini dibuktikan dengan adanya alat pusat yaitu Pejabat Pamong Praja sebagai unsur penyelenggara pemerintahan umum artinya disini penyelenggaraan pemerintah daerah masih diseting berdasarkan komando dari pusat.4) Penpres No. 6 tahun 1959 dan Penpres No. 5 tahun 1960Setelah berlakunya kembali UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem demokrasi berubah dengan jargon demokrasi terpimpin. Hal ini berdampak kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang berada dibawah bingkai sistem demokrasi liberal, dengan diberlakukannya Penpres Nomor 6 tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960.Penyusunan Penpres Nomor 6 Tahun 1959 berlangsung dengan cepat dan ditetapkan pada tanggal 1 September 1959 oleh Presiden Soekarno, hal ini dimungkinkan karena merupakan produk eksekutif yang tidak memerlukan persetujuan legislatif (DPR) dengan tujuan menarik kembali kewenangan-kewenangan pusat yang banyak diambil daerah. Tujuan tersebut, dikarenakan Presiden Soekarno menganggap otonomi luas mengancam keutuhan bangsa dan karena itu otonomi harus disesuaikan dengan konsepsi demokrasi terpimpin. Dalam Penpres Nomor 6 tidak diatur mengenai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), karena itu untuk melengkapinya Presiden Soekarno mengeluarkan Penpres Nomor 5 Tahun 1960 tentang DPR-GR (parlemen lokal).5) Undang-Undang No.18 tahun 1965Acuan konsep yang dianut dalam Undang-Undang ini adalah konsep demokrasi terpimpin dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum, misinya adalah uniformitas landasan bagi pembentukan dan penyusunan pemerintahan daerah, mengakhiri kelemahan demokrasi liberal dan membagi habis wilayah negara dalam tingkatan daerah otonom.Dikarenakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 seluruhnya mengadopsi Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960, bobot kekuasaan masih dikuasai oleh pusat. Namun ada beberapa hal positif dalam undang-undang ini dalam pengembangan otonomi daerah, antara lain:a. Susunan DPRD mencerminkan kegotongroyongan nasional revolusioner yang terdiri atas partai-partai dan golongan karya, dimana DPRD dipimpin oleh ketuanya sendiri bersama-sama dengan wakil-wakil ketua. (pasal 7-pasal 9).b. Sumber pendapatan daerah ditambah tidak saja dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, pajak negara yang diserahkan, subsidi, dan sumbangan seperti di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, tetapi juga dari bea dan cukai, hasil perusahaan negara dan ganjaran, dan diperbolehkannya daerah melakukan pinjaman untuk menjalankan aktivitas pemerintahan. Adanya tambahan pendapatan daerah tersebut, memudahkan daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah (Pasal 69-Pasal 73).Diberikannya hak Petisi kepada DPRD untuk membela kepentingan daerah dan masyarakat di hadapan pemerintah pusat untuk mencegah kesewenang-wenangan pemerintah atasan (pasal 55).6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974Dalam pelaksanaannya, dominasi pelaksanaan asas dekonsentrasi yang mencerminkan sentralistiknya pemerintahan dengan menarik kembali urusan-urusan daerah menjadi urusan dekonsentrasi tanpa melalui prosedur yang ditetapkan, dan penempatan aparat dekonsentrasi yang semakin banyak di daerah. Hal ini menyebabkan ruang gerak daerah menjadi terbatas, malahan kegiatan dekonsentrasi yang seharusnya dibiayai pemerintah pusat dalam pelaksanaannya dibiayai oleh daerah (APBD) yang menambah beban bagi keuangan daerah.Selama era orde baru, ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat semakin eskalatif, sehingga dapat disimpulkan bahwa salah satu kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah tidak konsisten dan konsekuennya pelaksanaan Undang-Undang tersebut, terutama terjadinya deviasi dan distorsi terhadap pelaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi dikarenakan keinginan pemerintah pusat dalam menjaga stabilitas negara, sehingga menciptakan sentralistik pemerintahan oleh pemerintah pusat.Keadaan tersebut mengakibatkan dominasi pemerintah pusat semakin besar yang menyebabkan ketergantungan daerah ke pusat otomatis menjadi semakin besar pula. Untuk menjaga stabilitas negara, pemerintah orde baru lebih mengedepankan peran militer, dimana peran militer yang sangat besar bahkan di daerah-daerah mengakibatkan masyarakat tidak dapat menggunakan hak-haknya dalam menyatakan pendapat.7) Undang-Undang No.22 tahun 1999Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 di bentuk sebagai jawaban terhadap situasi krisis setelah bergulirnya reformasi dengan adanya tuntutan dari masyarakat dan elit-elit politik lokal yang menyerukan perubahan dalam sistem pemerintahan daerah. Undang-Undang ini melakukan perubahan mendasar dalam pola penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dimana daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus dan mengatur rumah tangga daerah dengan desentralisasi dan otonomi seluas-luasnya yang di titik beratkan pada Kabupatan dan Kota.Pemberian otonomi yang luas diharapkan mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa, menciptakan keadilan, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Namun pada kenyataannya, euforia berlebihan yang timbul setelah sekian lama di kekang mengakibatkan munculnya raja-raja kecil di daerah. Kenyataan tersebut pada dasarnya dikarenakan oleh 3 (tiga) hal, yaitu:a. Tidak ada hubungan hierarkis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.Kelemahan sentral dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah mengenai hubungan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Provinsi selain sebagai daerah otonom juga sebagai wilayah administrasi yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi sebagai perpanjangan tangan wilayah administrasi pemerintah. Selaku perpanjangan tangan pemerintah, Provinsi diharapkan dapat menjadi sarana pengikat dalam menjaga keutuhan negara kesatuan, menyelesaikan masalah lintas daerah Kabupaten/Kota, dan berbagai tugas yang belum dapat dilaksanakan Kabupaten/Kota. Namun dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak mempunyai hubungan hierarkis. Hal ini mangakibatkan Kabupaten/Kota tidak lagi atau kurang menghormati Gubernur sebagai wakil pemerintahan di daerah. Keadaan demikian menyulitkan Gubernur dalam mengkoordinir Bupati/Walikota dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, yang mengakibatkan kesulitan besar dalam keterpaduan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum, dan proses pembangunan daerah.b. Kepala Daerah di pilih oleh DPRD.Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi di pilih oleh DPRD sehingga menimbulkan manufer dan deal-deal politik oleh partai-partai politik yang ada untuk mengukuhkan kekuasaannya.c. Kesalahan persepsi dalam menafsirkan makna desentralisasi.Terjadinya kesalahan persepsi para pejabat di daerah dalam menafsirkan makna desentralisasi dan otonomi daerah yang didistorsikan sekedar sebagai penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, tanpa memahami bahwa membesarnya kewenangan daerah harus diikuti dengan membesarnya tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan dalam mensejahterakan dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.8) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah DaerahLatar belakang terbentuknya undang-undang ini adalah bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran, serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Selain itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti.Secara garis besar, undang-undang ini mengatur tentang pembentukkan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah, penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD, hak dan kewajiban daerah dalam menyelenggarakan otonomi, tugas, wewenang, larangan, pemberhentian, tindakan penyidikan kepala daerah dan wakil kepala daerah, kedudukan, fungsi,wewenang, hak, kewajiban, larangan, pemberhentian, penggantian antar waktu anggota DPRD, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, perangkat daerah, kepegawaian daerah, peraturan daerah, perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah meliputi pendapatan, belanja dan pembiayaan, BUMD, APBD, kawasan kota dan desa, pertimbangan dalam kebijakan otonomin daerah.9) Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah DaerahLatar belakang pembentukkan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 adalah bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya adalahpemerintah pusat dan daerah, dan antar pemerintah daerah perlu diatur secara selaras.Selain itu, untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan pemerintah pusat, desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan perlu diatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasar pembagian kewenangan, tugas, dan tanggungjawab yang jelas antar susunan pemerintahan. Disamping itu, undang-undang nomor 25 tahun 1999 sudah tidak sesuai dan perlu diganti.10) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah DaerahPeraturan pemerintah pengganti undang-undang ini dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa dalam rangka mengantisipasi keadaan genting yang disebabkan oleh bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan lainnya yang terjadi diseluruh atau sebagian wilayah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mengakibatkan pemilihan tidak dapat dilaksanakan sesuai jadwal, sehingga perlu dilakukan pengaturantentang penundaan pelaksanaan pemilihan. Selain itu, dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah harus menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas karena berkaitan dengan pemanfaatan dana, perlengkapan, personil dan keadaan di wilayah pemilihan.Hal tersebut di atas belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sehingga perlu menetapkan Peraturan Pengganti Undang-Undang untuk merubah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004.11) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah DaerahBerdasarkan pertimbangan yang tersebut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa peristiwa bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan dan/atau gangguan lainnya diseluruh atau sebagian wilayah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat mengakibatkan tidak dapat dilaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan jadwal yang belumdiatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, sehingga pemerintah membentuk peraturan untuk mengatur hal tersebut dan menetapkan merasa perlu untuk menetapkan peraturan tersebut yang merupakan landasan hukum yang kuat sehingga menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 sebagai Undang-Undang.12) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah DaerahLatar belakang dibentuknya undang-undang ini adalah dirasa perlu bahwa untuk mewujudkan kepemimpinan daerah yang demokratis yang memperhatikan prinsip persamaan dan keadilan, penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang memenuhi persyaratan sehingga dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah terjadi perubahan, terutama setelah putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum diatur mengenai pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang menggantikan kepaladaerah yang meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum diatur mengenai pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang meninggal dunia, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya. Sehingga, dalam rangka mewujudkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, perlu adanya pengaturan untuk mengintegrasikan jadwal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sehingga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah perlu diubah.B. Otonomi Khusus1. Konsep Otonomi KhususOtonomi khusus merupakan otonomi yang diberikan pada suatu daerah tertentu untuk menjalankan pemerintahan (mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri) dengan pemberian hak-hak khusus yang derajat kemandiriannya lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya.Menurut Kausar AS: Indonesia sebagai Negara Bangsa (nation state), mewadahi banyak keragaman budaya yang tumbuh di dalam masyarakat. Setiap keragaman budaya yang tumbuh di Indonesia terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang yang kemudian melembaga dan diyakini oleh masyarakatnya. Termasuk didalamnya adalah lembaga-lembaga yang berupa institusi pemerintahan yang bercorak khusus di setiap daerah. Oleh karena itu UUD 1945 sebagai konstitusi NKRI mengakui keberadaan dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.[footnoteRef:1] [1: Kausar AS, Jurnal Otonomi Daerah, Vol. VII,No.3, Agustus-September 2007]

Otonomi khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hanya diberikan kepada 2 (dua) daerah, yaitu Provinsi Aceh dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan Provinsi Papua dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.Adanya hak-hak khusus, membedakan sistem pemerintahan daerah yang dijalankan dibandingkan daerah lainnya. Perbedaan tersebut antara lain, seperti di Aceh di bentuk lembaga peradilan sendiri yang bernama Mahkamah Syariah, adanya Lembaga Wali Nanggroe yang merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat, adanya Lembaga Mukim untuk penyelesaian adat di desa yang membawahi sekurangnya 3 (tiga) desa, adanya partai politik lokal, Pemerintah Aceh dapat mengadakan hubungan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri, keikutsertaan Pemerintahan Aceh dalam persetujuan internasional yang berkaitan dengan Pemerintahan Aceh, Pendanaan Pelaksanaan otonomi khusus, tambahan dana perimbangan dan hak-hak lain-lainnya.Bila ditinjau pemberian otonomi khusus terhadap Provinsi Aceh dan Provinsi Papua, terdapat perbedaan mendasar dari perolehan status otonomi khusus tersebut, dimana sifat otonomi khusus untuk Papua didasarkan pada konsekuensi politis yang lebih merupakan tindakan sepihak dari Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua, sedangkan untuk Aceh konsekuensi politis diberikan berdasarkan kesepakatan dari Not Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki (Finlandia).Perolehan otonomi khusus dalam konteks internasional pada umumnya didasarkan pada suatu perjuangan untuk memperoleh status politik dalam suatu negara yang telah merdeka. Hukum Internasional memang secara khusus membatasi hak untuk menentukan nasib sendiri dalam suatu negara pada 3 (tiga) kategori, yaitu:1. Masyarakat yang berada dibawah penguasaan (penjajahan) dari negara lain;2. Masyarakat yang berada dibawah pendudukan pemerintahan asing; dan3. Masyarakat yang masih tertindas oleh suatu pemerintahan yang otoriter.Otonomi khusus dalam hukum internasional telah diakui sebagai salah satu jalan untuk menghindari proses disintegrasi dari suatu negara. Oleh karenanya, hukum internasional memberikan penghormatan terhadap perlindungan dari suatu kelompok bangsa atau etnis untuk mempertahankan identitasnya. Salah satu keuntungan dari penerapan otonomi khusus adalah sebagai sarana penyelesaian konflik.Perkembangan dari prinsip-prinsip otonomi ini sebagai hasil dari perkembangan hukum internasional secara umum, berdasarkan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang secara langsung berdampak pada pemajuan standar umum bagi kepercayaan terhadap demokrasi, dan partisipasi rakyat dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dari suatu negara. Adanya otonomi dalam suatu negara (a self governing intra state region) sebagai mekanisme penyelesaian konflik adalah suatu tindakan pilihan bagi penyelesaian konflik internal, sehingga memaksa pemerintah pusat untuk menciptakan daerah otonomi khusus sebagai suatu intra state region with unique level of local self government. 2. Peraturan Perundangan Yang Berkaitan Dengan Pemerintah Daerah dan Otonomi Khusus1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi PapuaUndang-Undang ini dibentuk dengan latar belakang bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus, dimana penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri. Selain itu, bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua. Sehingga, dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara. Masyarakat Papua merasa perlu untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua. Dan perkembangan situasi dankondisi daerah Irian Jaya, khususnya menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua.Undang-undang ini secara garis besar mengatur tentang lambang-lambang daerah, pembagian daerah yang meliputi distrik-distrik, kewenangan daerah, bentuk dan susunan pemerintahan daerah, Majelis Rakyat Papua, perangkat dan kepegawaian, partai politik, peraturan daerah khusus (perdasus), peraturan daerah propinsi (perdasi), keputusan gubernur, keuangan daerah, perekonomian daerah, perlindungan hak-hak masyarakat adat, Hak Asasi Manusia, kepolisian daerah, kekuasaan peradilan, pengakuan peradilan adat dalam masyarakat hukum adat tertentu, keagamaan, pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup, masalah sosial berkaitan dengan perhatian khusus terhadap suku-suku di propinsi Papua yang terisolasi, terpencil dan terabaikan, pengawasan, kerjasama dan penyelesaian perselisihan.2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi PapuaDilatarbelakangi oleh masalah yang timbul di provinsi Irian Jaya Barat yang kemudian berganti nama menjadi provinsi Papua Barat yang pada kenyataannya telah menjalankan urusan pemerintahan dan pembangunan dan memberikan pelayan masyarakat sejak tahun 2003, namun belum diberlakukan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sehingga dirasa pemberlakuan otonomi khusus bagi provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya dibidang sosial, ekonomi, dan politik serta infrastruktur di provinsi Papua Barat.3) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-UndangUndang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang didasari mengingat bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana seperti yang telah diketahu bahwa di Provinsi Papua Barat belum diberlakukan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang kemudian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua merupakan suatu kebijakan khusus dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papua agar dapat setara dengan daerah lain. Sehingga karena pemberlakuan otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang sosial, ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi Papua Barat, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Maka berdasarkan pertimbangan diatas, pemerintah merasa perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang.

BAB IIIPEMBAHASANA. Implementasi Otonomi Daerah di Indonesia1. Penyelenggaraan Otonomi Pada Masa PenjajahanPenyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum Negara Indonesia merdeka, khususnya pada masa penjajahan Belanda. Pondasi awal desentralisasi pada masa penjajahan belanda diatur dalam Regering Reglement (RR) yang ditetapkan pada tahun 1854. Peraturan ini menegaskan bahwa di Hindia Belanda tidak dikenal adanya desentralisasi karena sistem yang digunakan adalah sentralisasi, namun disamping sentralisasi diperkenalkan juga dekonsentrasi. Dengan adanya dekonsentrasi, kawasan Hindia Belanda di bentuk wilayah-wilayah administratif yang diatur secara hierarkis mulai Gewest (residentie), Afdeling, Distric, dan Onderdistric.Selanjutnya pada tahun 1903, oleh Pemerintah Belanda ditetapkan Decentralisatie Wet pada tanggal 23 Juli 1903 yang diundangkan dalam Staatsblad Tahun 1903 Nomor 329. Decentralisatie Wet pada dasarnya memuat ketentuan dari Regering Reglement tahun 1854 ditambah beberapa pasal baru yang memungkinkan adanya daerah otonom (gewest) yang memiliki kewenangan mengurus keuangan sendiri. Daerah-daerah yang dibentuk dipimpin oleh petinggi-petinggi Belanda yang ditunjuk oleh Pemerintah Belanda.Kemudian pada tahun 1925 Pemerintah Belanda mengeluarkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands-Indie yang biasa disebut Indische Staatsregeling (IS). Aturan ini mulai melibatkan orang Indonesia dalam badan-badan pemerintahan, khususnya para kaum ningrat. Untuk melaksanakan Indische Staatsregeling (IS) tersebut, dikeluarkan dua peraturan baru, yaitu Regentschap ordonatie dan Provincies ordonantie. Melalui kedua peraturan tersebut, kawasan Jawa dan Madura mulai dibagi dalam beberapa Provincies (setara dengan provinsi), Regent (setara dengan karesidenan) dan Stad (setara dengan kabupaten/kotamadya).Kawasan di luar Jawa, pada tahun 1937 diberlakukan Groepgemeenschap ordonantie dan Stadgemeente ordonantie Buittengewesten. Pemerintahan lokal yang dibentuk berdasarkan peraturan sebelumnya tetap dipertahankan tetapi dibawahnya dibentuk beberapa Groeps (setara karesidenan) dan Stad (setara kabupaten/kotamadya). Dalam sistem ini mulai diterapkan konsep desentralisasi yang disebut otonomi daerah. Otonomi dalam konsep ini adalah hak untuk membantu pelaksanaan pemerintah pusat, sementara kepala daerah adalah orang pusat di daerah yang sekaligus memegang jabatan tertinggi di daerah dan diawasi oleh Gubernur Jenderal.Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, konsep yang sudah dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda tidak dipakai lagi. Pemerintah Jepang menghapuskan sistem desentralisasi dengan menerapkan sistem sentralisasi penuh melalui kekuasaan militer sebagai sentralnya.2. Pelaksanaan otonomi Era KemerdekaanProklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, merupakan babak baru bagi terbentuknya negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, memberikan konsekuensi logis bagi negara Indonesia untuk membentuk sistem pemerintahan yang akan di jalankan. Oleh karena itu, pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) disepakati untuk mensahkan UUD yang dikenal dengan UUD 1945. Dalam Konstitusi tersebut diakui adanya otonomi dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, khususnya dalam Pasal 18 UUD 1945, yaitu:Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 18 yang terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu:[footnoteRef:2] [2: Penjelasan UUD ini hanya terdapat di dalam naskah UUD yang asli, sedangkan dalam Amandemen UUD, penjelasan tersebut ditiadakan dengan memasukkan substansi yang penting ke dalam pasal dan ayat tertentu.]

I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek and locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undangundang.II. Dalam territorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.Isi pasal 18 beserta penjelasannya merupakan acuan dan dasar bagi pemerintah untuk mengatur sistem otonomi daerah dengan pola pengaturan yang mensinergikan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, maupun antar pemerintahan daerah.Pada era kemerdekaan (1945-1965) sebagai babak awal baru bagi terbentuknya pemerintahan daerah, oleh pemerintah telah dikeluarkan beberapa kebijakan tentang otonomi daerah yang diawali dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, kemudian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Ketetapan Presiden (PANPRES) Nomor 6 Tahun 1959, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945Sejalan dengan proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia dan ditetapkannya UUD 1945, yang dalam Pasal 18 mengamanahkan pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan Undang-Undang, maka pada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan pembagian daerah Negara Republik Indonesia menjadi 8 (delapan) Provinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur, yaitu:Jawa Barat (Mas Soetardjo Karrohadikusumo), Jawa Tengah (R.P. Soeroso), Jawa Timur (R.M.T.A. Soeryo), Sumatera (Mr. Teuku Muhammad Hasan), Kalimantan (Ir. Pangeran Muhammad Nur), Sulawesi (dr. G.S.S.J. Ratu Langie), Sunda Kecil (Mr. I Gusti Ketut Pudja), dan Maluku (Mr. J. Latuharhary). Daerah Propinsi dibagi lagi dalam Karesidenan yang dikepalai oleh seorang Residen.[footnoteRef:3] [3: Yohanis Anton Raharusun, Op.cit, hlm.130]

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Pasal IV Aturan Peralihan juga mengamanahkan agar dibentuk suatu Komite Nasional sebelum terbentuknya lembaga MPR, DPR, dan DPA guna membantu Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Atas dasar hal tersebut, Wakil Presiden Mohd. Hatta pada tanggal 16 Oktober 1945 mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) diserahi kekuasaan legislatif dan tugasnya sehari-hari dijalankan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP).Dengan dibaginya Negara Republik Indonesia menjadi 8 (delapan) daerah Propinsi dan Karesidenan, maka untuk terselenggaranya penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) yang diundangkan pada tanggal 23 November 1945. Undang-undang ini merupakan kebijakan formal pertama yang melandasi semangat otonomi daerah di Indonesia dengan maksud untuk mengadakan lembaga legislatif lokal yang bernama Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) guna mendampingi Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 menegaskan keberadaan Komite Nasional Daerah yang berkedudukan di Karesidenan (Kabupaten/Kota sekarang) sebagai Badan Permusyawaratan Rakyat Daerah (BPRD) atau pemegang kekuasaan legislatif lokal yang bertugas mengatur urusan rumah tangga daerah bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah.Bila ditinjau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, tampak jelas bobot kekuasaan berada pada pemerintah pusat, sedangkan desentralisai yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah otonom adalah desentralisasi politik, khususnya aspek kekuasaan legislatif lokal. Desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiskal belum diatur sama sekali, bahkan bentuk dan susunan daerah belum ditetapkan termasuk pengaturan daerah istimewa.[footnoteRef:4] [4: Yohanis Anton Raharusun, op.cit, hlm.132]

Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pembentuk undang-undang akan segala kekurangan dan ketidaklengkapan undang-undang tersebut, sebagaimana dinyatakan secara eksplisit di dalam penjelasan umumnya bahwa Peraturan ini tidak sempurna dan tentu tidak akan memberikan kepuasan sepenuhnya, karena harus diadakan dengan cepat sekedar mencegah kemungkinan kekacauan.Selain itu di dalam konsideran juga dinyatakan, kehadiran undang-undang ini hanyalah untuk sementara waktu, terutama sebelum diadakan pemilu. Namun, dapatlah dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun1945 memberikan konstribusi dalam meletakkan fundamen awal terbentuknya badan legislatif lokal dan menanamkan tradisi otonomi daerah.b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang dilakukan secara cepat dengan materi pengaturan yang sangat sederhana (hanya terdiri dalam 6 pasal), menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, terutama karena dominannya peran Kepala Daerah yang tidak saja sebagai kepala pemerintahan akan tetapi juga selaku pimpinan KND (BPRD).Dominannya peran Kepala Daerah, mengakibatkan mandulnya peran KND (BPRD) selaku badan legislatif dan menjadikan kurang harmonisnya hubungan keduanya. Karena itu, pada tanggal 10 Juli 1948 oleh pemerintah ditetapkan Udang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang mengatur pokok-pokok pemerintahan di daerah.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 terdiri atas V Bab dan 47 Pasal yang dilengkapi dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal dengan rincian, Bab I mengatur tentang pembagian daerah otonom, Bab II mengatur tentang bentuk dan susunan pemerintahan daerah, Bab III mengatur tentang kekuasaan dan kewajiban pemerintahan daerah, Bab IV mengatur tentang keuangan daerah, dan Bab V mengatur tentang pengawasan terhadap daerah.Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 ditegaskan bahwa daerah dalam Negara Republik Indonesia tersusun dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu: provinsi, kabupaten (kota besar) dan desa, nagari, marga, gampong dan sebagainya yang disebut swatantra (menyelenggarakan pemerintahan sendiri). Masing-masing daerah tersebut dinamakan Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III. Secara yuridis-fungsional pemerintahan atau wilayah hukum penyelenggaraan administrasi pemerintahan, wilayah nasional Republik Indonesia dibagi secara hierarkis dan horizontal atas wilayah nasional sebagai wilayah hukum pemerintahan pusat, wilayah provinsi sebagai wilayah hukum pemerintahan provinsi, setiap wilayah provinsi dibagi atas wilayah kabupaten (kota besar), dan wilayah kabupaten (kota besar) dibagi atas wilayah yang disebut desa, nagari, marga dan lain-lain.Tingkatan daerah swatantra dilatar belakangi oleh pemikiran pembentuk undang-undang, sebagaimana dimuat dalam penjelasan umum tentang empat persoalan penting. Persoalan pertama mengenai apakah suatu urusan adalah urusan pusat atau urusan daerah, Kedua mengenai keberagaman kesatuan masyarakat hukum dan bahwa urusan otonomi tidak kongruen dengan urusan hukum adat, Ketiga mengenai Kepala Daerah yang harus dipilih secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan, tetapi harus pula mendapat pengesahan dari pemerintah, Keempat mengenai pengawasan, maksudnya bahwa Pemerintah Pusat pada intinya mengawasi DPRD dan DPD baik produk-produk hukumnya maupun tindakan-tindakannya.Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 telah bersifat kolegial, dimana masalah pemerintahan tidak lagi diputuskan secara tunggal oleh BPRD yang dipimpin oleh Kepala Daerah, akan tetapi diputuskan oleh DPRD dan DPD. Pemerintahan daerah terdiri atas DPRD dan DPD, dimana para anggota DPD dipilih oleh dan dari anggota-anggota daerah yang diangkat oleh Presiden untuk Provinsi dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kabupaten (kota besar) atau oleh Kepala Daerah Provinsi untuk desa.Aturan tersebut ditujukan demi tegaknya kedaulatan rakyat dan berjalan lancarnya roda pemerintahan di daerah, selain itu agar dualisme pemerintahan daerah seperti dianut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tidak terjadi lagi dimana pemerintah daerah yang berdasarkan BPRD dan pemerintah daerah yang dijalankan oleh Kepala Daerah sendiri termasuk posisi kepala daerah sebagai pimpinan BPRD.[footnoteRef:5] [5: Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948.]

Sejalan dengan tujuan menegakkan kedaulatan rakyat dan untuk berjalan lancarnya roda pemerintahan di daerah, oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diberikan kewenangan sebanyak-banyaknya kepada daerah otonom baik secara penuh (hak otonomi) maupun secara tidak penuh (hak medebewind) guna mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya. Bahkan hak medebewind itu dapat diserahkan lagi oleh pemerintah daerah provinsi kepada daerah otonom yang lebih rendah melalui peraturan daerah. Agar kewenangan yang diserahkan dapat dijalankan dengan baik, kepada daerah otonom diberikan sumber-sumber pendapatan, pajak negara yang diserahkan kepada daerah, dan lain-lain pendapatan seperti pinjaman dan subsidi. Selain itu, daerah-daerah diwajibkan pula memiliki APBD.Menurut Amarah Muslimin:Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 mengandung prinsip:a. Penghapusan perbedaan cara pemerintahan di Jawa dan Madura dengan daerah luar bisa disatukan, atau uniformitas pemerintahan daerah di seluruh Indonesia;b. Membatasi tingkatan badan-badan pemerintahan daerah sedikit mungkin, yaitu provinsi, kabupaten atau kota besar, dan tingkatan terendah yang belum ditentukan namanya karena namanya berbeda-beda bagi daerah-daerah;c. Penghapusan dualisme pemerintahan daerah; dand. Pemberian hak otonomi dan medebewind seluas-luasnya kepada badan-badan pemerintahan daerah yang tersusun secara demokratis (collegial bestuur) atas dasar permusyawaratan.[footnoteRef:6] [6: Amarah Muslimin, Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah, (Jakarta : Jembatan, 1960). hlm.50]

Bila kita lihat secara eksplisit terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, dapat dikatakan bahwa undang-undang tersebut telah mencakup hampir seluruh segi desentralisasi, baik desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal, walaupun desentralisasi tersebut pengaturannya tidak di jabarkan secara langsung sehingga membingungkan daerah dalam pelaksanaannya.Untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, oleh pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Hatta dan Menteri Dalam Negeri Anak Agung Gede Agung, undang-undang pemerintahan daerah itu coba digulirkan, namun hanya terbatas di daerah eks RI. Bentuknya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang dan Perpu pembentukan daerah otonom provinsi, yaitu Provinsi Jawa Timur (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1950), Provinsi Yogyakarta (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950), Provinsi Jawa Tengah (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950), Provinsi Jawa Barat (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950), Provinsi Sumatera Selatan (Perpu Nomor 3 Tahun 1950), dan Provinsi Sumatera Utara (Perpu Nomor 5 Tahun 1950).[footnoteRef:7] [7: Yohanis Anton Raharusun, op.cit. hlm.142]

Pada tahun 1950 terjadi pergantian konstitusi UUD 1945 dengan UUDS 1950 dan bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara umum UUDS 1950 itu sendiri masih kental dipengaruhi paham liberalisme. Pada masa ini diberlakukan 2 (dua) peraturan pemerintahan yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang diberlakukan di daerah-daerah eks RI dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Indonesia Timur yang diberlakukan untuk daerah-daerah Indonesia Timur (Sunda Kecil, Sulawesi, dan Maluku).c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, pada dasarnya dikarenakan adanya keragaman pengaturan pemerintahan daerah, terutama Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang diberlakukan di daerah-daerah eks RI dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 yang diberlakukan untuk daerah-daerah Indonesia Timur. Undang-Undang ini adalah hasil kerja DPR pemilu tahun 1955 dengan harapan dapat menanggulangi kemelut politik yang bermuara pada pendemokrasian pemerintahan daerah awal tahun 1950-an.Terdapat perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dibandingkan undang-undang sebelumnya, walaupun secara substansial masih mempertahankan format pemerintahan lokal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, antara lain tingkatan daerah otonom masih tetap tiga lapis yaitu Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III, Pemerintah Daerah masih tetap terdiri dari DPRD dan DPD, sumber pendapatan daerah masih tetap, sistem pengawasan preventif dan represif oleh pemerintahan atasan terhadap keputusan-keputusan pemerintah bawahan dan beberapa hal lainnya.Beberapa perubahan mendasar dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 antara lain:a. Sistem pemilihan Kepala Daerah. Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat, berbeda dengan sebelumnya dimana diangkat oleh pejabat pemerintah pusat berdasarkan calon yang diajukan oleh DPRD.b. Keanekaragaman dalam pengaturan pemerintahan daerah secara bertahap dihilangkan, dengan cara mengakui daerah-daerah otonom yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan menerbitkan Undang-Undang pembentukan daerah otonom baru bagi daerah-daerah eks NIT/negara bagian lainnya.c. Kedudukan Kepala Daerah tidak lagi menjadi alat pusat dan sekaligus alat daerah, tetapi hanya sebagai alat daerah saja. Konsekuensinya, diberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD, juga berhak menahan dijalankannya keputusan DPRD dan DPD.d. Otonomi materiil yang dianut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diubah menjadi otonomi riil. Daerah-daerah mengerjakan urusan-urusan pemerintahan menurut bakat, kesanggupan dan kemampuannya. Urusan rumah tangga daerah dapat ditambah dari waktu ke waktu. Bahkan, kepada pemerintah daerah dapat diberikan tugas pembantuan.e. Di daerah-daerah, selain ada lembaga-lembaga DPRD, DPD dan Kepala Daerah (collegial bestuur) yang mengatur dan mengurus rumah tangga daerah dan menjalankan tugas medebewind, juga terdapat penguasa lain (pamong praja) yang menyelenggarakan tugas dekonsentrasi atau pemerintahan umum.[footnoteRef:8] [8: Djohermansyah Djohan, dikutip Yohanis Anton Raharusun, op.cit. hlm.147]

Menurut Soetarjo, Undang-Undang ini mencerminkan negara serikat atau bonstaat karena pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk menjalankan kekuasaannya di daerah. Undang-Undang ini, di satu pihak menganjurkan negara kesatuan, tetapi di pihak lain membentuk negara federasi.[footnoteRef:9] [9: Soetarjo Kartohadikusumo, Kedudukan Pamong Praja, Majalah Swatantra, dikutip Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.403]

Pengaturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 pada dasarnya sudah cukup baik, hanya sayangnya tidak diberlakukan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah pusat, dikarenakan keengganan pemerintah pusat untuk merealisasikan penyerahan urusan-urusan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom sehingga menimbulkan berbagai konflik dalam sistem pemerintahan.Adanya dualisme penyelenggaraan pemerintahan lokal antara Pemerintahan Daerah dan Pejabat Pamong Praja (dekonsentrasi), dimana masing-masing pihak berusaha mewujudkan kepentingannya mengakibatkan koordinasi tidak berjalan dengan baik.d. Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960Setelah berlakunya kembali UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem demokrasi berubah dengan jargon demokrasi terpimpin. Hal ini berdampak kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang berada dibawah bingkai sistem demokrasi liberal, dengan diberlakukannya Penpres Nomor 6 tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960.Penyusunan Penpres Nomor 6 Tahun 1959 berlangsung dengan cepat dan ditetapkan pada tanggal 1 September 1959 oleh Presiden Soekarno, hal ini dimungkinkan karena merupakan produk eksekutif yang tidak memerlukan persetujuan legislatif (DPR) dengan tujuan menarik kembali kewenangan-kewenangan pusat yang banyak diambil daerah. Tujuan tersebut, dikarenakan Presiden Soekarno menganggap otonomi luas mengancam keutuhan bangsa dan karena itu otonomi harus disesuaikan dengan konsepsi demokrasi terpimpin.[footnoteRef:10] Dalam Penpres Nomor 6 tidak diatur mengenai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), karena itu untuk melengkapinya PresidenSoekarno mengeluarkan Penpres Nomor 5 Tahun 1960 tentang DPR-GR (parlemen lokal). Pemberlakuan kedua Penpres ini, menurut The Liang Gie, merubah tujuan desentralisasi dari demokrasi kepencapaian stabilitas dan efesiensi pemerintahan di daerah. Kedua Penpres ini merubah asas-asas pemerintahan daerah dari arah desentralisasi ke sentralisasi. Prajudi menyebutkan, kedua penpres ini memakai sistem dualisme fungsional yaitu sebagai organ pusat dan organ daerah.[footnoteRef:11] [10: Yohanis Anton Raharusun, op.cit, hlm.160] [11: Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.404]

Penetapan Presiden (penpres) Nomor 6 Tahun 1959 bermaksud memulihkan dan bahkan memperkokoh kewibawaan Kepala Daerah sebagai alat pemerintah pusat dengan diberi kedudukan dan fungsi rangkap dekonsentrasi dan sekaligus desentralisasi. Dengan kedudukan dan fungsi rangkap tersebut persoalan di daerah diharapkan dapat ditanggulangi oleh setiap Kepala Daerah, sehingga Kepala Daerah dapat exist sebagai perpanjangan tangan kepemimpinan nasional.[footnoteRef:12] [12: Ibid. hlm.404]

Penpres Nomor 6 Tahun 1959 menimbulkan reaksi hebat dikalangan partai-partai politik, karena kekuasaan mereka dalam penyelenggaraan otonomi daerah dipreteli. Penpres tersebut oleh partai-partai politik dinilai sebagai suatu langkah mundur penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia karena telah menggusur demokrasi pemerintahan dengan sentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat untuk mengatur pemerintahan daerah.[footnoteRef:13] Dikatakan demikian karena: [13: Yohanis Anton Raharusun, op.cit. hlm.151]

a. Pemilihan Kepala Daerah tidak di pilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi diajukan oleh DPRD kepada Presiden. Bahkan pemerintah pusat dapat mengangkat Kepala Daerah di luar calon yang diajukan oleh DPRD.b. Pertanggung jawaban Kepala Daerah kepada Pemerintah Pusat bukan kepada DPRD selaku wakil rakyat (Kedaulatan tidak lagi berada ditangan rakyat). c. Kepala Daerah dapat menangguhkan atau membatalkan keputusan DPRD. d. Kedudukan Kepala Daerah selaku alat pusat sekaligus alat daerah sehingga memungkinkan terjadinya tindakan sewenang-wenang oleh Kepala Daerah selaku penguasa tunggal. Bila dilihat dari sisi bobot kekuasaan, terlihat jelas dalam pelaksanaan Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960, bobot kekuasaan kembali dipegang oleh pemerintah pusat, berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 di mana bobot kekuasaan lebih pada pemerintahan daerah.e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965Pada tanggal 3 Desember 1960, MPRS[footnoteRef:14] mengeluarkan TAP No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Sementara Tahapan Pertama 1961-1969. Salah satu isinya mangamanatkan untuk membentuk satu Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sesuai dengan kegotongroyongan demokrasi terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mencakup segala pokok-pokok (unsur) yang progresif dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1960 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 jo Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1965. [14: MPRS di bentuk Presiden Soekarno dengan Penpres Nomor 2 Tahun 1959 yang keanggotaannya terdiri dari semua anggota DPR-GR ditambah utusan daerah dan wakil-wakil golongan.]

Untuk menindaklanjuti TAP MPR tersebut, Presiden Soekarno menetapkan Keppres Nomor 514 Tahun 1961 (diubah dengan Keppres Nomor 54 Tahun 1961) membentuk Panitia Negara Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan tugas memberikan usul kepada pemerintah tentang pokok-pokok pengaturan pemerintahan daerah.[footnoteRef:15] Atas tugas tersebut, Panitia Negara menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang akhirnya dapat disetujui oleh DPR-GR dan ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 September 1965. [15: Yohanis Anton Raharusun, op.cit, hlm.154]

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah terdiri dari IX Bab dan 90 Pasal. Undang-Undang ini menggantikan posisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan melanjutkan ide Penpres Nomor 6 Tahun 1959, bahkan dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 tahun 1960 seluruhnya diadopsi kedalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.[footnoteRef:16] [16: Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Jakarta, 2003. Lihat pula Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.405]

Acuan konsep yang dianut dalam Undang-Undang ini adalah konsep demokrasi terpimpin dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum, misinya adalah uniformitas landasan bagi pembentukan dan penyusunan pemerintahan daerah, mengakhiri kelemahan demokrasi liberal dan membagi habis wilayah negara dalam tingkatan daerah otonom.Dikarenakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 seluruhnya mengadopsi Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960, bobot kekuasaan masih dikuasai oleh pusat. Namun ada beberapa hal positif dalam undang-undang ini dalam pengembangan otonomi daerah, antara lain:a. Susunan DPRD mencerminkan kegotongroyongan nasional revolusioner yang terdiri atas partai-partai dan golongan karya, dimana DPRD dipimpin oleh ketuanya sendiri bersama-sama dengan wakil-wakil ketua. (pasal 7-pasal 9). b. Sumber pendapatan daerah ditambah tidak saja dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, pajak negara yang diserahkan, subsidi, dan sumbangan seperti di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, tetapi juga dari bea dan cukai, hasil perusahaan negara dan ganjaran, dan diperbolehkannya daerah melakukan pinjaman untuk menjalankan aktivitas pemerintahan. Adanya tambahan pendapatan daerah tersebut, memudahkan daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah (Pasal 69-pasal 73).c. Diberikannya hak Petisi kepada DPRD untuk membela kepentingan daerah dan masyarakat di hadapan pemerintah pusat untuk mencegah kesewenang-wenangan pemerintah atasan (pasal 55).3. Otonomi Daerah di Era Orde BaruPeriode orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto berjalan cukup panjang selama 32 tahun sejak tahun 1966 hingga 1998. Pada era ini ditetapkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dan terus bertahan hingga jatuhnya rezim orde baru melalui reformasi di Indonesia. Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah selama pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah berjalan dengan dimensi yang amat berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Secara kontekstual, selama penerapan Undang-Undang tersebut diperkenalkan dimensi baru menyangkut otonomi daerah, yaitu otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.Sebagai Undang-Undang produk orde baru yang pada prinsipnya mengutamakan pembangunan ekonomi, dimensi perundangan ini tidak bisa lepas dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogy pembangunan, yaitu stabilitas yang semakin mantap, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya, sebagaimana tertuang di dalam penjelasan umum angka 1 huruf i Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.Menurut J. Kaloh:Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah, yang ciri-cirinya meliputi:a. Konsentrasi kekuasaan terletak di lembaga eksekutif (Kepala Daerah).b. Dihapusnya lembaga BPH (Badan Pelaksana Harian) sebagai perwakilan parpol di dalam Pemerintahan Daerah.c. Tidak dilaksanakannya hak angket DPRD yang dapat mengganggu keutuhan Kepala Daerah.d. Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi secara hierarki kepada Presiden.e. Kepala Daerah hanya memberi keterangan kepada DPRD tentang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan sekali dalam setahun.[footnoteRef:17] [17: J. Kaloh, op.cit, hlm.23]

Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 bertitik tolak pada 3 (tiga) prinsip dasar, yaitu desentralisasi berupa penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah, sehingga menjadi urusan rumah tangganya, Dekonsentrasi berupa pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah, dan tugas pembantuan (medebewind) berupa penyerahan tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggung jawabkan kepada yang memberi tugas (Pasal 1 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1974). Ketiga prinsip dasar tersebut pada dasarnya mengatur hubungan kekuasaan pusat dan daerah dalam bobot yang seimbang dalam arti kekuasaan yang dimiliki pusat dan daerah berada dalam titik keseimbangan (balance power sharing). Pada masa itu muncul istilah Pusat adalah pusatnya daerah dan daerah adalah daerahnya pusat. Ini berarti bahwa antara Pusat dan Daerah saling komplementer, saling memerlukan, dan bukan dalam posisi saling berhadapan.[footnoteRef:18] [18: J. Kaloh, op.cit, hlm.65]

Dalam pelaksanaannya, ketiga prinsip dasar tersebut tidak berjalan dengan serasi, karena semakin besar dan dominannya pelaksanaan asas dekonsentrasi yang mencerminkan sentralistiknya pemerintahan dengan menarik kembali urusan-urusan daerah menjadi urusan dekonsentrasi tanpa melalui prosedur yang ditetapkan, dan penempatan aparat dekonsentrasi yang semakin banyak di daerah. Hal ini menyebabkan ruang gerak daerah menjadi terbatas, malahan kegiatan dekonsentrasi yang seharusnya dibiayai pemerintah pusat dalam pelaksanaannya dibiayai oleh daerah (APBD) yang menambah beban bagi keuangan daerah.[footnoteRef:19] [19: Ibid, hal.25]

Kuntjorojakti, menggambarkan desentralisasi pada periode itu sebagai gerak pendulum dari satu kutub ke kutub lainnya. Kehidupan desentralisasi pada masa orde baru cenderung berayun diantara dua kutub, dari kutub desentralisasi dan sisitem demokrasi ke kutub sentralisasi dan autokrasi tetapi lebih berat ke sentralisasi dan autokrasi.[footnoteRef:20] [20: Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.407]

Selama era orde baru, ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat semakin eskalatif, sehingga dapat disimpulkan bahwa salah satu kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah tidak konsisten dan konsekuennya pelaksanaan Undang-Undang tersebut, terutama terjadinya deviasi dan distorsi terhadap pelaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi dikarenakan keinginan pemerintah pusat dalam menjaga stabilitas negara, sehingga menciptakan sentralistik pemerintahan oleh pemerintah pusat.Keadaan tersebut mengakibatkan dominasi pemerintah pusat semakin besar yang menyebabkan ketergantungan daerah ke pusat otomatis menjadi semakin besar pula. Untuk menjaga stabilitas negara, pemerintah orde baru lebih mengedepankan peran militer, dimana peran militer yang sangat besar bahkan di daerah-daerah mengakibatkan masyarakat tidak dapat menggunakan hak-haknya dalam menyatakan pendapat.4. Otonomi Daerah di Era ReformasiReformasi besar-besaran yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 1998 mengakibatkan lengsernya rezim orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Euforia reformasi yang menggulirkan dinamika perubahan, ikut menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat di daerah-daerah, khususnya elit-elit politik daerah untuk menuntut hak dan kewenangan dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah secara demokratis, yang selama masa orde baru selalu dikekang dan diekploitasi oleh Pemerintah Pusat. Isu yang dikembangkan oleh elit-elit politik daerah adalah pembagian kekuasaan/kewenangan yang seimbang antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk perimbangan terhadap eksploitasi sumber daya alam yang selama masa orde baru di monopoli pemerintah pusat. Ketika reformasi dicetuskan, salah satu tuntutan penting reformasi yang disuarakan oleh masyarakat di daerah adalah agar terselenggaranya otonomi daerah secara komprehensif menyentuh rasa keadilan, terutama menyangkut aspek politik, pemerintahan, dan ekonomi. Hal ini oleh berbagai kalangan dan para pakar pemerintahan, politik, dan ekonomi dianggap sebagai masalah utama ketidakpuasan sebagian besar rakyat di daerah. Manifestasi terselenggaranya otonomi daerah adalah terwujudnya pemerintahan daerah yang mampu menjawab berbagai permasalahan masyarakat di daerah, baik menyangkut aspek administrasi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.[footnoteRef:21] [21: J.Kaloh, op.cit.hlm.69]

Reformasi bidang politik dan pemerintahan daerah telah melahirkan agenda dan kesepakatan nasional, yang ditandai dengan diterbitkannya TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI. Tap MPR inilah yang menjadi semangat dan landasan awal pengaturan pemerintahan daerah setelah reformasi, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 di bentuk sebagai jawaban terhadap situasi krisis setelah bergulirnya reformasi dengan adanya tuntutan dari masyarakat dan elit-elit politik lokal yang menyerukan perubahan dalam sistem pemerintahan daerah. Undang-Undang ini melakukan perubahan mendasar dalam pola penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dimana daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus dan mengatur rumah tangga daerah dengan desentralisasi dan otonomi seluas-luasnya yang di titik beratkan pada Kabupatan dan Kota.Pemberian otonomi yang luas diharapkan mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa, menciptakan keadilan, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Namun pada kenyataannya, euforia berlebihan yang timbul setelah sekian lama di kekang mengakibatkan munculnya raja-raja kecil di daerah. Kenyataan tersebut pada dasarnya dikarenakan oleh 3 (tiga) hal, yaitu:1. Tidak ada hubungan hierarkis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kelemahan sentral dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah mengenai hubungan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Provinsi selain sebagai daerah otonom juga sebagai wilayah administrasi yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi sebagai perpanjangan tangan wilayah administrasi pemerintah. Selaku perpanjangan tangan pemerintah, Provinsi diharapkan dapat menjadi sarana pengikat dalam menjaga keutuhan negara kesatuan, menyelesaikan masalah lintas daerah Kabupaten/Kota, dan berbagai tugas yang belum dapat dilaksanakan Kabupaten/Kota. Namun dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak mempunyai hubungan hierarkis. Hal ini mangakibatkan Kabupaten/Kota tidak lagi atau kurang menghormati Gubernur sebagai wakil pemerintahan di daerah. Keadaan demikian menyulitkan Gubernur dalam mengkoordinir Bupati/Walikota dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, yang mengakibatkan kesulitan besar dalam keterpaduan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum, dan proses pembangunan daerah.2. Kepala Daerah di pilih oleh DPRD.Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi di pilih oleh DPRD sehingga menimbulkan manufer dan deal-deal politik oleh partai-partai politik yang ada untuk mengukuhkan kekuasaannya.

3. Kesalahan persepsi dalam menafsirkan makna desentralisasi.Terjadinya kesalahan persepsi para pejabat di daerah dalam menafsirkan makna desentralisasi dan otonomi daerah yang didistorsikan sekedar sebagai penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, tanpa memahami bahwa membesarnya kewenangan daerah harus diikuti dengan membesarnya tanggung jawabpenyelenggaraan pemerintahan dalam mensejahterakan dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.Tidak adanya hubungan hierarkis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, pemilihan Kepala Daerah yang di pilih oleh DPRD, serta kesalahan persepsi para Pejabat daerah dalam menafsirkan makna desentralisasi dan otonomi daerah, mengakibatkan timbulnya raja-raja kecil yang lebih mementingkan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya tanpa memikirkan tujuan utama penyelenggaraan pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.Dalam rangka mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul sebagai akibat kelemahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, sekaligus untuk menyesuaikan pengaturan pemerintahan daerah terhadap Amandemen UUD 1945, dibentuklah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, antara lain soal hubungan antara pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, pemilihan Kepala Daerah, dan pemberhentian Kepala Daerah.Dalam pengaturan hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, sifat hubungan hierarkis dihidupkan kembali yang di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ditiadakan. Dengan dihidupkannya hubungan hierarkis, diharapkan Gubernur dapat mengkoordinir Bupati/Walikota dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur pula dalam Pasal 24 ayat (5), dimana Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di pilih secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan. Dalam proses pelantikan, Gubernur memiliki fungsi yang cukup penting, dimana Gubernur mengajukan pasangan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota terpilih yang diusulkan DPRD untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan kepada Menteri Dalam Negeri (Pasal 109).Terhadap pemberhentian Kepala Daerah, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa pemberhentian Kepala Daerah dilakukan melalui prosedur impeachment ke Mahkamah Agung. Apabila DPRD menganggap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajibannya, maka dapat diusulkan pemberhentiannya dengan terlebih dahulu diajukan Ke Mahkamah Agung untuk memperoleh pembuktian secara hukum. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dimana DPRD dapat memutuskan pemberhentian Kepala Daerah dalam hal melanggar aturan yang telah ditentukan dengan disahkan oleh Presiden (Pasal 49).B. Penyelenggaraan Otonomi Khusus di Indonesia1. Kewenangan Daerah Otonomi KhususSalah satu hasil perubahan UUD NRI Tahun 1945 yaitu dengan dijabarkannya secara lebih rinci mengenai sistem pemerintahan daerah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945. Bagir Manan menyatakan bahwa perubahan Pasal 18 UUD 1945, baik secara struktur maupun substansi perubahan tersebut sangatlah mendasar. Secara struktur, Pasal 18 (lama) sama sekali diganti baru. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa terdapat 4 prinsip yang mendasari ketentuan Pasal 18 UUD 1945, yaitu:1) Prinsip pembagian daerah yang bersifat hirarkis pada Ayat (1);2) Prinsip otonomi dan tugas pembantuan pada Ayat (2);3) Prinsip demokrasi pada Ayat (3) dan Ayat (4); dan4) Prinsip otonomi seluas-luasnaya pada Ayat (5).Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam terbitan resminya mengenai Panduan dalam memasyarakatkan UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa ada 7 prinsip yang menjadi paradigma dan arah politik yang mendasari Pasal 18, 18A dan Pasal 18B UUD 1945, yaitu:1) Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan { Pasal 18 ayat (2) }2) Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya { Pasal 18 ayat (5) }3) Prinsip kekhususan dan keragaman daerah { Pasal 18A ayat (1) }4) Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya { Pasal 18 B ayat (2) }5) Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khsusus dan istimewa { Pasal 18 B ayat (1) }6) Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum { Pasal 18 ayat (3) }7) Prinsip hubungan pusat dan daerah dilaksanakan secara selaras dan adil { Pasal 18A ayat (2) }.Penyelenggaraan pemerintahan daerah tidaklah terlepas dari konsep negara hukum dan demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia. Titik Triwulan Tutik menyatakan bahwa pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat seperti yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Dasar Tahun 1945. Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa suatu negara yang menganut azas kedaulatan rakyat disebut juga sebagai negara demokrasi.Soehino membedakan demokrasi menjadi Demokrasi langsung dan Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat zaman sekarang dilaksanakan melalui sistem perwakilan (representative government). Dalam sistem pemerintahan, demokrasi dimaknai sebagai keterlibatan rakyat untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ikut serta dalam merencanakan, memutuskan maupun menetapkan kebijakan-kebijakan politik yang dilakukan melalui wakilnya yang dipilih secara langsung baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Oleh karena itu, keberadaan lembaga perwakilan rakyat baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah merupakan wujud dari pelaksanaan prinsip demokrasi.a. Kewenangan Daerah Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh DarussalamUU No. 11 Tahun 2006 merupakan undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tidak bisa dipungkiri bahwa undang-undang tersebut dibuat sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dengan GAM pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Agustus 2006, akhirnya UU No. 11 Tahun 2006 tersebut diundangkan.Penggunaan istilah Pemerintahan Aceh sebagai nama dari UU No. 11 Tahun 2006 tersebut merupakan suatu yang tidak lazim dalam sistem perundang-undangan Nasional. Berbeda dengan daerah lainnya yang menggunakan istilah Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Otonomi Khusus Aceh tidak menyebutkan istilah tersebut di dalam penyebutan nama daerahnya. Penggunaan istilah tersebut sangat tidak sesuai dengan UUD 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004.Sama seperti Provinsi Papua yang menggunakan istilah DPRP untuk menyebut dewan perwakilan rakyat tingkat provinsinya, NAD juga menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh DPRA. Sedangkan untuk menyebut DPRD tingkat kabupaten/kotanya, digunakan istilah DPRK atau Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, tanpa menggunakan kata daerah.Istilah berbeda lainnya yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006 dengan undang-undang lainnya misalnya penyebutan Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/ Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di NAD. Daerah-daerah lainnya di Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan Istilah Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD.Aceh juga berhak untuk memiliki bendera, lambang dan hymne daerah sebagaimana yang dimakud dalam ketentuan Pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006. Ketentuan tersebut sama dengan yang terdapat di Papua seperti penjelasan sebelumnya.Ada beberapa kekhususan lainnya yang sangat berbeda dengan daerah lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain sebagai berikut:1) Pembagian daerah di Aceh yang dibagi kedalam kabupaten/kota, kecamatan, mukim, kelurahan dan gampong.[footnoteRef:22] Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong. Sedangkan kelurahan dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim.[footnoteRef:23] [22: Lihat: Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2006] [23: Lihat: Pasal 1 angka 19 dan angka 20 j.o Pasal 114, Pasal 115 UU No. 11 Tahun 2006.]

2) Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.[footnoteRef:24] Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. Dalam naskah kerja sama tersebut dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Serta Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional.[footnoteRef:25] [24: Lihat: Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2006] [25: Lihat: Pasal 9 UU No. 11 Tahun 2006]

3) Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.[footnoteRef:26] [26: Lihat: Pasal 8 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006]

4) Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur.[footnoteRef:27] [27: Lihat: Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006]

5) Penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal yang memiliki hak antara lain; mengikuti Pemilu untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; mengusulkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota di Aceh.[footnoteRef:28] [28: Lihat: Pasal 75 sampai dengan Pasal 88 UU No. 11 Tahun 2006]

6) Di Aceh terdapat pengadilan Syariat Islam yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Syariyah, yang terdiri dari Mahkamah Syariyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syariyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syariat Islam dengan hukum acara yang ditetapkan berdasarkan Qanun.[footnoteRef:29] [29: Lihat: Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU No. 11Tahun 2006]

7) Produk hukum sejenis peraturan daerah (perda) di Aceh disebut dengan istilah Qanun. Terdapat dua macam Qanun, yaitu Qanun Aceh yang disahkan oleh Gubernur setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRA, dan Qanun Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah mendapatkan persetujuan bersama DPRK. Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan.[footnoteRef:30] Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda lebih dari 6 (enam) bulan kurungan dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah). Bahkan Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dapat menentukan jenis dan bentuk ancaman pidana tersendiri.[footnoteRef:31] [30: Lihat: Pasal 232 sampai dengan Pasal 245 UU No. 11 Tahun 2006.] [31: Lihat: Pasal 241 UU No. 11 Tahun 2006 bandingkan dengan ketentuan Pasal 143 UU No. 32 Tahun 2004]