jamur tiram
TRANSCRIPT
POTENSI LIGNINOLITIK JAMUR PELAPUK KAYU KELOMPOK Pleurotus
ELIS NINA HERLIYANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: “Potensi
Ligninolitik Jamur Pelapuk Kayu Kelompok Pleurotus” adalah gagasan atau
hasil penelitian disertasi karya saya sendiri dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi
manapun. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas
dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Oktober 2007
ELIS NINA HERLIYANA
NRP. E061020031/IPK
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar untuk IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
RINGKASAN
ELIS NINA HERLIYANA. Potensi Ligninolitik Jamur Pelapuk Kayu Kelompok Pleurotus. Dibimbing oleh DODI NANDIKA, ACHMAD, LISDAR I. SUDIRMAN dan ARIEF BUDI WITARTO.
Jamur diketahui mampu menguraikan substrat menjadi bahan-bahan organik sederhana melalui proses hidrolisis enzimatik, sehingga dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme lain termasuk tumbuhan. Beberapa jamur pelapuk kayu seperti jamur kelompok Pleurotus berpotensi dalam proses biodelignifikasi, yang dapat dimanfaatkan oleh industri pulp dan kertas. Meskipun demikian kajian lebih mendalam belum banyak dilakukan terhadap jamur kelompok Pleurotus khususnya yang berasal dari Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian dasar yang menyeluruh tentang jamur pelapuk kayu kelompok Pleurotus asal Bogor.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi ligninolitik jamur pelapuk putih dari kelompok Pleurotus asal Bogor. Penelitian ini dimulai dengan eksplorasi jamur kelompok Pleurotus di lapangan, isolasi, karakterisasi fisiologi dan ligninolitik pada beberapa chip kayu bahan baku pulp yaitu kayu akasia, pinus dan sengon dan media serbuk gergajian kayu sengon, pengukuran aktivitas enzim ligninase (manganese peroksidase/MnP, lignin peroksidase/LiP dan lakase) dan purifikasi MnP serta terakhir adalah identifikasi secara morfologi yang ditunjang dengan karakter kultur dan fisiologi.
Hasil eksplorasi jamur di berbagai wilayah di Bogor menunjukkan bahwa jenis jamur pelapuk kayu kelompok Pleurotus hanya ditemukan di areal kebun dan tempat penggergajian kayu di kecamatan Ciherang, Bogor (+ 501 m dpl). Sebanyak 24 isolat kelompok Pleurotus yang berhasil diisolasi dari lapangan dan 17 isolat diantaranya kemudian dikultivasi pada media serbuk gergajian kayu sengon. Sebanyak 6 isolat diantaranya dapat membentuk tubuh buah yaitu Pleurotus EB9 (pink), Pleurotus EB14-2 (cokelat-muda), Pleurotus EB24 (cokelat keabu-abuan), Pleurotus EA4 (cokelat muda), Pleurotus EAB7 (cokelat keabu-abuan), dan Pleurotus EB6 (cokelat keabu-abuan).
Hasil penelitian terhadap penampakan koloni jamur kelompok Pleurotus pada berbagai media kultur, suhu dan pH media optimum menunjukkan adanya perbedaan dalam laju pertumbuhan koloni. Semua isolat dapat tumbuh pada media MPA, MEA dan PDA, serta tumbuh optimal pada suhu media sekitar 19-30oC dengan pH media antara pH 6-7. Reaksi oksidasi yang positif pada media AAG dan AAT menunjukkan semua isolat merupakan jamur pelapuk putih. Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 merupakan jamur pelapuk putih potensial karena mempunyai reaksi oksidasi pada media AAG dan AAT yang cukup kuat. Isolat kelompok Pleurotus menunjukkan variasi yang besar terhadap rata-rata bobot basah total (34,8-142,4 gram), efisiensi biologis (EB) (29,1-119,0%), lama fase vegetatif (14,0-83,0 hari), lama fase reproduktif (112,5-199,0 hari) dan jumlah panen (4,0-6,0 kali). Pleurotus EB9 mempunyai lama fase vegetatif yang paling singkat. Analisis kelompok isolat berdasarkan karakterisasi fisiologi menunjukkan bahwa Pleurotus EB9 berbeda dengan kelima isolat lainnya, dan lebih dekat dengan P. ostreatus HO.
Hasil penelitian terhadap tingkat degradasi dan laju dekomposisi menunjukkan bahwa isolat yang paling tinggi tingkat degradasinya adalah Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO. Hasil penelitian terhadap laju dekomposisi menunjukkan bahwa P. ostreatus HO merupakan isolat yang paling tinggi laju dekomposisinya kemudian diikuti Pleurotus EB9.
Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan bahwa pada tahap awal kolonisasi oleh jamur pada chip, diketahui miselium mendiami saluran resin dan jari-jari kayu pinus. Hasil pengamatan terhadap kayu akasia terlihat bahwa miselium mendiami pembuluh dan jari-jari. Umumnya miselium melakukan penetrasi melalui noktah-noktah sebagai salah satu cara penyebaran ke sel-sel kayu yang lain. Proses pelapukan selanjutnya terlihat pada kerusakan dan perubahan bentuk pada lamela tengah dan dinding sel sekunder.
Kadar zat-zat ekstraktif total secara umum meningkat setelah diinokulasi oleh masing-masing isolat kelompok Pleurotus baik pada fase vegetatif maupun reproduktif. Setiap isolat kelompok Pleurotus yang diuji menunjukkan variasi rata-rata penurunan kadar lignin (10,7-89,7%) dan selulosa (18,9-87,4%). Pleurotus EB9 mempunyai kemampuan menurunkan kadar lignin substrat terbesar (89,7%) dan kadar selulosa terbesar (87,4%). Antar satu isolat dengan isolat lainnya mempunyai karakter ligninolitis yang berbeda. Diantara isolat yang diuji, Pleurotus EB9 merupakan satu isolat kandidat yang baik untuk agens biopulping dan biobleaching.
Selanjutnya ekspresi MnP setelah 6 hari menunjukkan bahwa Pleurotus EB9 memproduksi MnP paling tinggi pada substrat kayu sengon. Pleurotus EB9 juga memproduksi lakase, sementara produksi LiP tidak terdeteksi. SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar ion (DEAE-Sepharose) terhadap isolat Pleurotus EA4 dengan pemekatan 40% amonium sulfat, ternyata tidak diperoleh pita-pita yang menunjukkan keberadaan MnP. Hal ini menunjukkan bahwa Pleurotus EA4 tidak memproduksi MnP.
SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar ion pada contoh Pleurotus EB9 dengan pemekatan 40% amonium sulfat, diperoleh pita dengan bobot molekul 43 kDa. Hasil pemurnian dengan kolom kromatografi gel diperoleh puncak pada fraksi ke 96. SDS PAGE hasil kromatografi kolom gel terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9 dipastikan bahwa Pleurotus EB9 menghasilkan MnP yang telah berhasil dimurnikan. Hasil rangkuman data pemurnian MnP dari Pleurotus EB9 menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan pemurnian masih sangat rendah dengan tingkat kemurnian 3,8. Aktivitas spesifik MnP yang diperoleh adalah sebesar 4,133 U/mg protein.
Hasil identifikasi terhadap enam isolat yang dapat membentuk tubuh buah diketahui lima isolat (Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7 dan EB6) adalah Hohenbuehelia petaloides dan satu isolat (Pleurotus EB9) adalah Pleurotus djamor EB9. Analisis kelompok isolat berdasarkan karakterisasi fisiologi dan morfologi menunjukkan bahwa P. djamor EB9 berbeda dengan kelima isolat H. petaloides tersebut. Produksi enzim ligninase khususnya MnP P. djamor EB9 dan H. petaloides EA4 juga berbeda.
Kata-kata Kunci: Jamur pelapuk kayu, kelompok Pleurotus, biodegradasi, kayu
akasia, pinus dan sengon, P. djamor EB9, H. petaloides, morfologi, ligninolitik, manganese peroksidase, lignin peroksidase dan lakase
SUMMARY
ELIS NINA HERLIYANA. Ligninolytic Potency of Wood Rot Fungi of Pleurotus Groups. Under Supervision of DODI NANDIKA, ACHMAD, LISDAR I. SUDIRMAN and ARIEF BUDI WITARTO.
Pleurotus groups of white rot fungi are wood decaying fungi, which able to decompose wood substrate into simple organic materials through enzymatic hydrolytic. This can be used by other microorganisms including plants. They are also potential used in biodelignification process, especially for pulp and paper industry. So far, study on Pleurotus groups especially from Indonesia in detail has not been done. The present study is a comprehensive basic research for white-rot fungi Pleurotus groups especially from Bogor.
The purpose of this research is to examine the ligninolytic potency of Pleurotus groups from District and City of Bogor. The research activities were started with exploration of Pleurotus in the field, isolation, physiological characterization test, ligninolytic activity, measurement and purification of enzyme produced by Pleurotus groups and finally, identification of isolated Pleurotus groups morphologically and physiologically. The physiological characterization was done based on the growth rate, oxidation reaction, vegetative and reproductive phases, total biomass and biological efficiency. The ligninolytic character of these six fungi isolates was measured based on biodegradation of sengon sawdust substrate by the fungi and degradation value on acacia, pine and sengon wood. The ligninolytic characterization also was identified through enzyme activity of manganese peroxidase (MnP), laccase and lignin peroxidase (LiP). Furthermore, MnP enzyme from isolate represented Bogor was isolated and purified.
The results of field observation showed that Pleurotus groups were found only in garden and sawmill of sub-district Ciherang (+ 501 m asl). Twenty four isolates of Pleurotus groups were isolated, and 17 of those isolates were cultivated on sengon sawdust media. Among them, six isolates are able to form fruit bodies, namely: Pleurotus EB14-2 (light brown), Pleurotus EB24 (gray brown), Pleurotus EA4 (light brown), Pleurotus EAB7 (gray brown), Pleurotus EB6 (gray brown) and Pleurotus EB9 (pink).
The results showed that performance of colony of Pleurotus groups on various culture media, temperatures and pH as variables were varies. Positive oxidation reaction on AAG and AAT media showing that all isolates including white-rot fungi. Pleurotus EB9 and Pleurotus EA4 were potentially white-rot fungi with moderately strong reaction on media AAG and AAT. Wild Pleurotus group also showed wide variation in terms of total biomass (34,8-142,4 gram), biological efficiency (29,1-119,0%), average time of vegetative phase (14,0-83,0 days), reproductive phase (112,5-199,0 days) and harvest frequency (4,0-6,0 times). Vegetative phase period of Pleurotus EB9 is the shortest. Analysis cluster of the isolates based on physiological characterization showed that Pleurotus EB9 was different with five other isolates, but closer to P. ostreatus HO.
Degradation level of the isolates showed that the highest level of degradation was Pleurotus EB9 and P. ostreatus HO. The highest decomposition rate was P. ostreatus HO and followed by Pleurotus EB9. Microscopic analysis showed that in the early stage of fungi invasion on pine, mycelium lived in resin tunnel and xyllary rays, while on acacia they lived in vessels and xyllary rays. In general, penetration of mycelium through nocti was as a way to spread further in another of wood cells. On the advanced decay process, there were changes in form and cells damage of middle lamella and secondary cell wall.
Having applied of each wild Pleurotus group isolates resulted in increasing of extractives total compounds both in vegetative and reproductive phases. Each wild Pleurotus group isolates shows variation in decreasing average of lignin content (10,7-89,7%) and cellulose content (18,9-87,4%). Pleurotus EB9 are able to decrease the highest lignin (89,7%) and cellulose (87,4%) content of substrate. Classification based on ligninolytic character is different with classification based on morphological and physiological characters. Pleurotus EB9 seems to be separated from other isolates. This shows that there was different ligninolytic character among the isolates. The best isolate for biopulping and biobleaching agent is Pleurotus EB9 on vegetative phase.
The expression of MnP (U/ml) after six days showed that, extracellularly, Pleurotus EB9 was the highest in producing MnP on sengon-wood substrate in swing medium condition. Pleurotus EB9 was also produced laccase, while LiP was not detected. The SDS-PAGE chromatography result of ionic exchange column (DEAE-Sepharose) of Pleurotus EA4 sample with 40% solid concentration of ammonium sulphate did not produce ribbons that indicate the presence of MnP. Its activity did not produce good result too. This fact proves that Pleurotus EA4 did not produce MnP.
The SDS-PAGE chromatography result of ionic exchange column of Pleurotus EB9 sample with 40% solid concentration of ammonium sulphate produced a ribbon with 43 kDa molecule weight. Furthermore, the purification result using high resolution HiPrep 16/60 Sephacryl s-200 gel chromatography column (GE Biosciences) with flow rate of 0.3 ml/min and fractionation rate of 1.5, and using buffer solution of 10mM potassium phosphate pH 7.0 and HPLC AKTA Purifier (GE Biosciences), reached a peak at 96th fraction. The SDS PAGE gel column chromatography result of Pleurotus EB9 sample with 40% solid concentration of ammonium sulphate proved that Pleurotus EB9 produced MnP which has been purified with a molecule weight of 43 kDa. The summary result of MnP purification data of Pleurotus EB9 showed that the success level of purification is still low with purification rate of 3.8. The specific activity of MnP obtained is 4.133 U/mg of protein.
The identification result of six isolates that were able to form fruit body are five isolates of Hohenbuehelia petaloides, which are EB14-2, EB24, EA4, EAB7 and EB6, and also Pleurotus djamor EB9. The analysis result of isolate group based on physiological and morphological characters showed that P. djamor EB9 is different with H. petaloides. The production of ligninase enzyme, especially MnP, of P. djamor EB9 and H. petaloides EA4 are also different.
Keywords: Wood rot fungi, Pleurotus groups, biodegradation, acacia, pine and sengon
wood, P. djamor EB9, H. petaloides, morphology, ligninolytic, manganese peroxidase, lignin peroxidase and laccase
POTENSI LIGNINOLITIK JAMUR PELAPUK KAYU KELOMPOK Pleurotus
ELIS NINA HERLIYANA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudohadi
2. Dr. Siswanto, D.E.A
PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, berkah dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan studi hingga tahap penyusunan disertasi ini.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, M.S., Dr. Ir. Achmad, M.S., Dr. Ir. Lisdar Manaf I. Sudirman dan Dr. Ir. Arief Budi Witarto, M.Eng. atas bimbingan, kesabaran, pengkayaan wawasan, kritik, saran dan dukungan moril yang sangat besar peranannya dalam penyelesaian penulisan disertasi ini.
Rasa hormat yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda Atjeng Kamaludin dan ibunda Imas Maryani, juga kepada ayahanda mertua H. Kusno dan ibunda H. Hindun dan keluarga ayahanda Mu’zi (Alm.), yang telah memberi dukungan do’a dan kasih sayangnya. Terima kasih yang mendalam penulis haturkan kepada suami tercinta Dr. Ir. Abdul Munif, M.Sc.Agr. serta ananda tersayang Muhammad Hidayatul Mustofa, Abdullah Fathan Taufik dan Ziyad Muhammad Imani, atas do’a, kasih sayang, pengertian, kesabaran dan pengorbanan serta semua dukungan yang sangat berarti hingga terselesaikannya studi doktor ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan untuk adik-adik, Kompol Asep Hendradiana, dr, Sp.An., M.Kes., Dewi Pudjiati, S.I.P., Ir. Deden Hidayatullah, Rita Yustika, Amd, Nizar Budiaji, Amd dan Nando Sugawa, S.T., Ir. Rohmad Mu’zi, Masruroh Mu’zi, Umdzatull Millah Mu’zi, Imron Mudzakir Mu’zi, SE, Sri Rahayu dan Khoiron, SE atas dorongan semangat, pengertian dan do’anya.
Penghargaan dan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, yang bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudohadi dan Dr. Siswanto, D.E.A., yang bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka dan Pimpinan Sekolah Pasca Sarjana, Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB, Departemen Manajemen Hutan, Departemen Silvikultur, yang telah memberi kesempatan studi. Disampaikan juga ucapan terimakasih kepada tim manajemen BPPS Dikti yang telah memberikan dukungan dana selama perkuliahan dan penelitian.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Soetrisno Hadi, Dr. Yudiwanti, Dr. Irdika Mansur, Dr. Fauzi Febriyanto, Dr. Lailan Syaufina, Dr. Iskandar Zulkarnaen, Dr. Lina Zulkarnaen, Prof. Dr. Mien A. Rifai, Prof.
x
Finkeldey, Ir. Deded Nawawi, M.Si., dan Prof. Dr. Sipon Mulyadi yang telah bersedia memberikan saran. Ucapan terimakasih juga kepada Dr. Lee Su She dan Dr. Sri Rahayu di UPM Malaysia, serta Dr. Dewi Siti Latifah dan Sarah Reinecke selama di Jerman atas saran dan pustaka-pustaka yang sangat berharga.
Penghargaan dan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Iwa dari Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, Pusat Studi Ilmu Hayat, Bapak Engkus dari Rumah Jamur Laboratorium Mikologi di Tajur, Departemen Biologi, Bapak Atien dari Laboratorium Kimia Kayu dan Esti, Amd., S.Si. dari Laboratorium Kayu Solid, Fakultas Kehutanan, IPB; Atie Sunarti, S.T.P., M.S. dan Ir. Desriyani, M.Si. dari Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein, Pusat Penelitian Bioteknologi dan Dra. Endang dari Laboratorium Anatomi dan SEM, Pusat Penelitian Zoologi, serta Dra. Atik Retnowati, M.Sc. dari Herbarium Bogoriense, LIPI; Ir. Alina, M.Si. dari Laboratorium Protein dan Enzim, Balitbiogen, Bogor; Taufan, Amd. dan Riana dari Laboratorium Bioteknologi dan Biologimolekuler, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Bogor; Ir. Farid, M.Si. dari Dept. Statistik, FMIPA; Bapak Dr. Widodo beserta staf di Laboratorium Mikologi dan Damayanti, S.P. di Laboratorium Nematologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian; Ibu Pepi, Ibu Emi dan Ibu Ika di PAU Bioteknologi; Tutin Suryatin, B.Sc.F., M. Alam F., S.Hut., M.Si dan alumni serta anggota Mushroom Studies, Luci Andini, S.Hut., Anang P.H., S.Hut., Osica Ayu, S.Hut., Jenal Mutaqin, S.Hut., Wartaka, S.Hut., Lendi F., S.Hut., Fiki R, S.Hut., Deka F., S.Hut., Alwiah, Ope P., S.Hut., Reni M., S.Hut., Resa, Indah D.P. dan Desti di Laboratorium Penyakit Hutan; Ir. Dorli, M.Si. di Laboratorium Anatomi dan Morfologi Tumbuhan, Departemen Biologi, FMIPA, dan Ir. Noverita, M.Si., Ir. Trisna Priyadi, M.Sc., serta Oemi Fadhillah, S.P., selama pengumpulan data, serta kepada Bapak Sapri, Sukaesih dan keluarga Yuli atas bantuan dan kerjasamanya kepada penulis dan keluarga. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan sehingga penelitian dan penyusunan disertasi ini terwujud. Semoga Allah SWT selalu memberikan ampunan dan maghfirah-Nya kepada kita semua, amien.
Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan yang telah diberikan dan semoga disertasi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan pembaca yang memerlukannya.
Bogor, Oktober 2007
Elis Nina Herliyana
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 21 April 1967, sebagai anak
pertama dari tujuh bersaudara dari pasangan Atjeng Kamaludin dan Imas
Maryani. Penulis menikah dengan Dr. Ir. Abdul Munif, MSc.Agr. pada tahun
1990, dan telah dikaruniai tiga orang putra bernama Muhammad Hidayatul
Mustofa (tahun 1991), Abdullah Fathan Taufik (tahun 1996) dan Ziyad
Muhammad Imani (tahun 2002).
Pada tahun 1986, penulis menempuh pendidikan sarjana di Institut Pertanian
Bogor pada Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, lulus
pada tahun 1990. Pada tahun 1993, penulis melanjutkan pendidikan Magister di
Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Entomologi/Fitopatologi Program
Pascasarjana dan menamatkannya pada tahun 1997. Pada tahun 1998, penulis
menjadi peneliti tamu di Institut Planzenkrankheiten, Faculty of Agriculture,
University of Bonn, Germany. Pada tahun 2000-2001, penulis mengambil
program khusus pada the Faculty of Agriculture, University of Bonn, Germany.
Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu
Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana program Doktor di Sekolah
Pascasarjana IPB. Penulis memperoleh beasiswa BPPS dari Ditjen Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar dengan spesialisasi bidang Penyakit
Hutan dan Jasad Renik Hutan di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor sejak tahun 1991. Penulis pada 2004 sampai sekarang
dipercaya sebagai kepala Laboratorium Patologi Hutan. Pada tahun 1992 - 1997
penulis pernah menjadi dosen luar biasa di Fakultas Kehutanan Universitas
Winayamukti Jatinangor. Selama menyelesaikan kegiatan akademik, penulis tetap
melaksanakan tugas sebagai pengajar di Departemen Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan IPB, yang kemudian pada tahun 2006 Departemen ini dipecah menjadi
Departemen Manajemen Hutan dan Departemen Silvikultur, dan selanjutnya
penulis menjadi pengajar di Departemen Silvikultur. Penulis menjadi anggota
Masyarakat Bioteknologi Indonesia sejak 2003, Himpunan Protein Indonesia
sejak tahun 2006 dan Masyarakat Peneliti Kayu sejak 2007.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………....
DAFTAR GAMBAR …………………………………………….……..
PENDAHULUAN
Latar Belakang …..…………………………………….…............. Perumusan Masalah ……………………………………….…...… Tujuan Penelitian ………………………………………………… Manfaat Penelitian ………………………………………..…..….. Hipotesis Penelitian ………………………………………..….…. Kebaruan Penelitian ………………………………………………
TINJAUAN PUSTAKA
Bahan Lignoselulolitik dan Gambaran Umum Tiga Jenis Kayu … Penguraian Komponen Kayu Secara Enzimatik oleh Jamur Pelapuk Putih ………………………………………………….…. Jamur Pelapuk Putih Kelompok Pleurotus ………………………
1. EKSPLORASI JAMUR PELAPUK PUTIH KELOMPOK Pleurotus DARI DAERAH BOGOR
Abstrak ………………………………………………………….... Abstract ………………………………………………………….. Pendahuluan ……………………………………………………... Bahan dan Metode ……………………………………………..… Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian …………………………………………..… Pembahasan ………………………………………………...
Simpulan ……………………………………………………….....
2. KARAKTER FISIOLOGIS JAMUR PELAPUK PUTIH KELOMPOK Pleurotus ASAL BOGOR
Abstrak …………………………………………………………... Abstract …………………………………………………………... Pendahuluan …………………………………………………….... Bahan dan Metode …………………………………………..…… Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian ………………………………………..…… Pembahasan ……………………………………………..….
Simpulan ……………………………………………………….…
xvxvii
135556
7
916
18181919
213740
41424343
485669
xiii
3. KARAKTER LIGNINOLITIK KELOMPOK Pleurotus BERDASARKAN BIODEGRADASI PADA TIGA JENIS KAYU BAHAN PULP
Abstrak ……………………………………………………..…….. Abstract ………………………………………………………....... Pendahuluan ……………………………………………………… Bahan dan Metode …………………………………………....….. Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian …………………………………………...... Pembahasan …………………………………………..….…
Simpulan ……………………………………………………...…..
4. KARAKTER LIGNINOLITIK KELOMPOK Pleurotus BERDASARKAN BIODEGRADASI SUBSTRAT GERGAJIAN KAYU SENGON
Abstrak …………………………………………………….……. Abstract ………………………………………………………….. Pendahuluan ……………………………………………………… Bahan dan Metode ……………………………………………….. Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian …………………………………………….. Pembahasan ………………………………………………...
Simpulan …………………………...……………………………..
5. EKSPRESI ENZIM LIGNINOLITIK KELOMPOK Pleurotus PADA SUBSTRAT CAIR KAYU SENGON SERTA PEMURNIAN PARSIAL MANGANESE PEROKSIDASE
Abstrak ………………………………………………………….... Abstract ……………………………………………………….….. Pendahuluan ……………………………………………………… Bahan dan Metode ……………………………………………….. Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian ………………………………..…………... Pembahasan …………………………………………..….…
Simpulan …………………………………………………..……..
6. IDENTIFIKASI BERDASARKAN KARAKTER FISIOLOGIS, LIGNINOLITIK DAN MORFOLOGIS ENAM ISOLAT KELOMPOK Pleurotus ASAL BOGOR
Abstrak ……………………………………………………….…. Abstract ………………………………………………….………. Pendahuluan ………………………………………………….….. Bahan dan Metode ……………………………………………….. Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian ……………………………………….….... Pembahasan …………………………………………..……
Simpulan ………………………………………………….…..….
70717273
759195
979899
100
107114118
119120121122
127141147
149150151152
157195200
xiv
PEMBAHASAN UMUM …………………………………………......
SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………..…..
LAMPIRAN ……………………………………………………….…..
202
214
219
231
DAFTAR TABEL
Halaman
1
1.1 1.2
2.1 2.2 2.3 2.4
2.5
3.1
3.2 3.3 3.4
3.5
3.6
4.1
Tinjauan Pustaka Persentase kadar selulosa, hemiselulosa, lignin dan pektin serta pati kayu berdasarkan bobot kering ................................................
Penelitian 1 Beberapa genus jamur pleurotoid pada beberapa lokasi di Kabupaten dan Kota Bogor pada bulan Mei 2004 .......................... Isolat kelompok Pleurotus yang ditemukan di daerah Ciherang Bogor ..............................................................................................
Penelitian 2
Media, suhu dan pH optimum, serta reaksi pada AAG dan AAT ketujuh isolat kelompok Pleurotus ................................................. Bobot basah tubuh buah hasil panen jamur ketujuh isolat kelompok Pleurotus ........................................................................ Nilai rata-rata total panen tubuh buah pada ketujuh isolat jamur isolat jamur Pleurotus ..................................................................... Perbandingan nilai EB jamur pada ketujuh isolat kelompok Pleurotus ......................................................................................... Fase vegetatif, fase reproduktif dan jumlah panen jamur isolat kelompok Pleurotus .......................................................................
Penelitian 3
Tingkat degradasi pada kayu bahan pulp pinus, akasia dan sengon setelah diinokulasi oleh isolat kelompok Pleurotus ....................... Rata-rata tingkat degradasi berdasarkan lama inkubasi ................. Rata-rata tingkat degradasi berdasarkan isolat .............................. Rata-rata tingkat degradasi berdasarkan jenis kayu dan lama inkubasi .......................................................................................... Laju dekomposisi pada kayu bahan pulp pinus, akasia dan sengon setelah diinokulasi oleh isolat kelompok Pleurotus ....................... Tanda-tanda kerusakan kayu secara mikroskopis pada kayu pinus, akasia dan sengon setelah diinokulasi dengan isolat kelompok Pleurotus ........................................................................................
Penelitian 4 Kadar air dan kadar zat-zat ekstraktif substrat (%) setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus .....
7
23
28
49
52
53
53
54
767778
78
81
82
108
xvi
4.2
4.3
5.1
5.2 5.3
5.4
5.5
5.6 5.7
5.8
6.1 6.2 6.3
6.4
6.5
6.6
Kadar lignin, holoselulosa, selulosa dan hemiselulosa substrat (%) setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus ........................................................................................ Peningkatan zat ekstraktif, penurunan bobot kering, kadar lignin, selulosa dan hemiselulosa pada fase vegetatif dan reproduktif setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus ........................................................................................
Penelitian 5
Ekspresi enzim MnP (U/ml) isolat-isolat jamur kelompok Pleurotus secara ekstraseluler …………………………………… Ekspresi MnP (U/ml) setelah 6 hari inkubasi secara ekstraseluler Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) oleh isolat Pleurotus EB9 secara ekstraseluler pada substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor ……………………………….. Ekspresi enzim MnP, LiP dan Lakase (U/ml) secara ekstraseluler oleh isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 yang sudah dipekatkan dengan amonium sulfat (As) ………………………… Lama penyimpanan enzim dari mulai panen sampai analisis ekspresi enzim Pleurotus EB9, Pleurotus EA4, Pleurotus EB6, P. chrysosporium PC dan P. ostreatus HO ……………………….. Lama penyimpanan enzim kasar dari mulai panen sampai analisis ekspresi enzim Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 ……………… Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) Pleurotus EB9 dengan substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor dengan Pleurotus EB9-AS, Pleurotus EB9-F dan isolat Pleurotus EA4-AS ……………………………………………… Aktivitas enzim MnP dari Pleurotus EB9 pada tahapan pemurnian parsial ……………………………………………….
Penelitian 6
Komposisi masing-masing larutan Johansen dan lama perendaman pada metode parafin tahap dehidrasi dan penjernihan Isolat-isolat jamur kelompok Pleurotus yang ditemukan di daerah Ciherang, Bogor ............................................................................. Tipe koloni kultur ketujuh isolat kelompok Pleurotus pada beberapa jenis media ..................................................................... Pola kunci H. petaloides (H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7, H. petaloides EB6), P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO pada media MEA ...... Ekspresi enzim MnP, LiP dan Lakase (U/ml) secara ekstraseluler oleh isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 yang sudah dipekatkan dengan amonium sulfat (As) ……………………….. Rata-rata jumlah tangkai jamur kelompok Pleurotus pada panen pertama, kedua, ketiga dan keempat …………………………….
110
112
127128
129
130
131
134
137
140
157
158
159
163
164
181
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 2
1.1
1.2 1.3 1.4 1.5 1.6
1.7
1.8
1.9
1.10
1.11
1.12 1.13
2.1
2.2
2.3
2.4
Tinjauan Pustaka
A. Pelapukan kayu spruce (Picea abies) oleh jamur pelapuk putih.. B. Bagan kemungkinan jalur pertumbuhan hifa................ Mekanisme degradasi selulosa ....................................................
Penelitian 1 Denah lokasi eksplorasi jamur pleurotoid (huruf hitam) dan jenis jamur yang ditemukan (huruf merah)................................. Kondisi tempat ditemukannya jamur kelompok Pleurotus......... Penampakan tubuh buah Schizophillum spp. di lapangan .......... Penampakan tubuh buah Lentinus spp. di lapangan ................... Penampakan tubuh buah Panellus spp. di lapangan .................. Penampakan tubuh buah Crepidotus spp. di lapangan asal hutan Gunung Luhur Cisarua, Bogor ................................................... Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EA1 sampai EA6 di lapangan ....................................................................................... Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EB6 sampai EA10 di lapangan ....................................................................................... Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EA11 sampai EB16 di lapangan ...................................................................................... Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EB17 sampai EBB28 di lapangan ................................................................................... Kultur murni kelompok Pleurotus setelah inkubasi 10 hari pada media MEA ................................................................................ Tubuh buah kelompok Pleurotus di lapangan ........................... Isolat kelompok Pleurotus yang berhasil membentuk tubuh buah seperti Pleurotus ...............................................................
Penelitian 2 Penampakan kultur keenam isolat kelompok Pleurotus dan P. ostreatus HO .............................................................................. Laju pertumbuhan koloni rata-rata isolat kelompok Pleurotus pada media, suhu dan pH optimum ............................................ Penampakan visual uji reaksi oksidasi isolat kelompok Pleurotus setelah tujuh hari inkubasi pada media AAG (atas) dan AAT (bawah) ........................................................................ Pleurotus EB24, Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO pada media serbuk gergajian kayu sengon ...........................................
910
22
22242526
27
30
32
33
34
3536
36
44
48
49
50
xviii
2.5 2.6 2.7
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8 3.9 3.10
3.11
3.12
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
Tahap-tahap perkembangan Pleurotus EB6 ................................ Tahap-tahap perkembangan Pleurotus EB9 .............................. Dendogram berdasarkan karakter fisiologis dari tujuh isolat kelompok Pleurotus asal Bogor..................................................
Penelitian 3
A.Kayu yang digunakan. a. Pinus. b. Akasia. c. Sengon. B. Pengujian biodegradasi kayu pinus ............................................ Pengaruh jenis isolat yang berbeda terhadap rata-rata tingkat degradasi kayu pinus dan akasia ................................................. Bobot kering sisa kayu pinus setelah diinokulasi dengan isolat kelompok Pleurotus .................................................................... Bobot kering sisa kayu akasia setelah inokulasi oleh tujuh isolat kelompok Pleurotus .................................................................... Bobot kering sisa kayu sengon setelah inokulasi oleh Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO ............................................................ A. Bidang transversal kayu pinus kontrol ... B. Bidang radial kayu pinus setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO. Mikrograf cahaya dan SEM ....................................................... Bidang transversal dan tangensial kayu pinus setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO. Mikrograf SEM ............... Bidang transversal kayu akasia.... Mikrograf cahaya ................. Bidang tangensial kayu akasia.. Mikrograf cahaya dan SEM .... Bidang radial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO .... Mikrograf SEM ............................................... Bidang radial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO. Mikrograf SEM ................................................... Bidang transversal dan tangensial kayu sengon ... Mikrograf cahaya .........................................................................................
Penelitian 4
Bobot kering substrat setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus ............................................ Kadar zat-zat ekstraktif total substrat setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus ................................ Penurunan kadar lignin substrat setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus …………………… Dendogram karakter ligninolitik dari tujuh isolat kelompok Pleurotus asal Bogor yaitu Pleurotus EB6, P. ostreatus HO, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EB14-2, Pleurotus EAB7 dan Pleurotus EB9 …………………………………….. Dendogram karakter ligninolitik dari tujuh isolat kelompok Pleurotus asal Bogor yaitu Pleurotus EB14-2, P. ostreatus HO, Pleurotus EB6, Pleurotus EAB7, Pleurotus EA4, Pleurotus EB9 dan Pleurotus EB24 ………………………………………
5151
56
73
77
79
79
80
85
868788
89
90
91
109
111
111
113
114
xix
5.1
5.2 5.3
5.4
5.5
5.6 5.7
5.8
5.9
6.1
6.2
6.3 6.4 6.5 6.6 6.7 6.8 6.9 6.10 6.11 6.12
6.13
Penelitian 5 Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) oleh isolat Pleurotus EB9 secara ekstraseluler dengan substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor…………………..... Reaksi secara visual pada uji aktivitas MnP (A), LiP (B) dan lakase (C) pada Pleurotus EB9 setelah inkubasi satu sampai 6 hari (H0 sampai H6) dibandingkan dengan kontrol (K)……….. Ekspresi MnP, LiP dan lakase isolat Pleurotus EB9 (A) dan Pleurotus EA4 (B)…………………………………………….. Tingkat ekspresi MnP (A), LiP (B) dan lakase (C) Pleurotus EB6, P. chrysosporium PC dan P. ostreatus HO ……………… Tingkat ekspresi MnP (A), LiP (B) dan lakase (C), serta bobot kering miselium (D) Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 ……… SDS-PAGE hasil kromatografi kolom gel hidrofobik (Phenyl-Sepharose) terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat isolat Pleurotus EA4 ………………………………………….. SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar anion (DEAE-Sepharose) terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat isolat Pleurotus EB9 ………………………………………….. Kromatogram pemurnian protein sampel Pleurotus EB9-amonium sulfat 40% dengan gel kromatografi……………….. SDS-PAGE hasil kromatografi kolom gel terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9 ………….
Penelitian 6 Penampakan dan tipe koloni kultur. A. H. petaloides EB14-2, B. H. petaloides EB24, C. H. petaloides EA4, D. H. petaloides EAB7, E. H. petaloides EB6, F. P.djamor EB9, G. P. ostreatus HO................................................................................................. Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) secara ekstraseluler oleh isolat P. djamor EB9 dengan substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor................................... H. petaloides EB14-2. Line drawing .......................................... H. petaloides EB24. Line drawing ............................................. H. petaloides EA4. Line drawing ............................................. H. petaloides EAB7. Line drawing ............................................. H. petaloides EB6. Line drawing ............................................. P. djamor EB9. Line drawing .................................................. P. ostreatus HO. Line drawing .................................................. Berbagai penampakan tubuh buah kelompok Pleurotus ........... Jumlah tangkai rata-rata tujuh isolat kelompok Pleurotus ........ Tangkai terpendek dan terpanjang rata-rata tujuh isolat kelompok Pleurotus ................................................................... Diameter pileus terbesar dan terkecil rata-rata tujuh isolat kelompok Pleurotus ...................................................................
129
130
132
133
135
138
138
139
140
161
164166168170172174176178180182
182
183
xx
6.14
6.15 6.16 6.17
6.18 6.19
6.20 6.21
6.22
6.23 6.24
Penampakan mikroskopik. A. H. petaloides EB14-2. B. H. petaloides EB24. C. H. petaloides EA4. D. H. petaloides EAB7. E. H. petaloides EB6. F. P. djamor EB9. G. P. ostreatus HO .... Sistidia berdinding tipis pada P. djamor EB9 (A) dan Sistidia berdinding tebal (metuloid) pada H. petaloides (B) ................... Karakter morfologi pada irisan melintang tudung ..................... Sistidia pada lapisan gelatin (A dan B) dan Sistidia pada pileipelis H. petaloides EB6 (C dan D) ..................................... Plot antara panjang dengan lebar basidiospora ketujuh isolat .... Panjang dan lebar basidiospora rata-rata dari tujuh isolat jamur kelompok Pleurotus .................................................................... Plot antara panjang dengan lebar basidia ketujuh isolat ............ Lebar dan panjang basidia rata-rata dari tujuh isolat jamur kelompok Pleurotus ................................................................... Panjang sistidia rata-rata dari tujuh isolat jamur kelompok Pleurotus .................................................................................... Plot antara panjang dengan lebar sistidia ketujuh isolat ............ Dendogram berdasarkan karakter morfologis dari tujuh isolat jamur ...........................................................................................
186
187188
189190
191192
192
193193
194
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industri pulp dan kertas Indonesia memiliki prospek yang cerah dan
Indonesia dinilai potensial menjadi salah satu negara produsen terbesar pulp dan
kertas dunia. Permintaan pulp dan kertas di tingkat Nasional maupun dunia terus
meningkat baik dari segi kualitas produk maupun kuantitasnya. Data Asosiasi
Pulp dan Kertas Indonesia (APKI 2006 dalam Tambunan 2006) menunjukkan
kapasitas produksi pulp Indonesia tercatat 6,4 1 juta ton per tahun, 45% di
antaranya diekspor, sedangkan kapasitas produksi kertas Indonesia
tercatat 10,3 juta ton, 30% di antaranya diekspor ke luar negeri.
Produksi pulp di sebagian besar negara di dunia saat ini masih merupakan
pulp kimia yang dihasilkan melalui proses sulfatisasi. Cara kimia tersebut
dianggap memberikan banyak keuntungan, diantaranya waktu pemasakan yang
relatif singkat dan kualitas pulp yang dihasilkan relatif tinggi. Namun pada saat ini
pulp dengan proses sulfat kurang diminati oleh masyarakat, selain karena besar
investasi awal dan warna gelap pulp yang dihasilkan, juga karena bahaya
pencemaran lingkungan yang dapat ditimbulkan terutama polusi udara. Gas
berbau belerang berupa hidrogen sulfida (H2S), metil merkaptan (CH3SH), dimetil
sulfida (CH3SCH3) dan dimetil disulfida (CH3SSCH3) mendominasi bagian dari
limbah yang dihasilkan dan dapat menyebabkan terjadinya hujan asam (Casey
1980). Proses pulping konvensional baik dengan cara mekanik maupun cara kimia
juga membutuhkan energi yang sangat tinggi (Higley dan Dashek 1998).
Industri kertas menghasilkan limbah cair utama berupa black liquor dan
senyawa klorin sisa pemutihan yang mengandung senyawa yang bersifat toksik,
mutagenik, persisten dan bioakumulasi, yang dapat mengganggu lingkungan
khususnya lingkungan perairan, dan resiko terpaparnya masyarakat oleh buangan
zat kimia berbahaya. Diantara zat kimia berbahaya tersebut adalah hasil reaksi
klorin dengan senyawa organik dalam kayu yang disebut dioksin, furan,
1 Bilangan dengan angka desimal diantarai tanda koma. Misalnya 2,3 untuk dua koma tiga
2
polychlorinated biphenyls (PCBs) dan yang paling toksik 2,3,7,8-
tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD). Organoklorin dapat menimbulkan berbagai
gangguan kesehatan seperti kanker, cacat lahir, endometriosis, penurunan jumlah
spermatozoa dan gangguan perkembangan janin, juga dapat menyebabkan
kerusakan genetis dan penurunan daya tahan ikan (Muladi 2000; Rini 2002).
Kini sejumlah besar perusahaan di dunia sedang mengupayakan
keuntungan melalui suatu pendekatan pencegahan lingkungan yang dikenal
sebagai produksi bersih. Sebagai salah satu pendekatan dalam pengelolaan
lingkungan, penerapan produksi bersih masih baru di Indonesia. Dari sisi proses
produksi, ternyata pelaksanaan produksi bersih pada industri pulp dan kertas
banyak terkait dengan upaya recovery bahan kimia pemasak serta penggunaan
bahan pemutih yang aman bagi lingkungan, disamping upaya konservasi bahan
baku, air, dan energi (Hasibuan 2007). Oleh karena itu berbagai upaya untuk
mengurangi dampak negatif proses-proses tersebut perlu terus diusahakan.
Penerapan bioteknologi yaitu dengan memanfaatkan proses biologi menggunakan
jamur pendegradasi lignin dalam proses teknologi biobleaching dan biopulping,
merupakan salah satu alternatif dan terobosan besar yang perlu dikaji (Oriaran et
al. 1990; Higley dan Dashek 1998).
Penelitian pembuatan pulp dengan agen biologi (biopulping) saat ini
mengikuti dua langkah. Pertama, menggunakan organisme pelapuk putih sebagai
agen perlakuan pendahuluan pada bagian pembuatan pulp mekanik. Kedua,
menggunakan ligninase yang telah diisolasi untuk digunakan langsung sebagai
bahan pembuat pulp. Untuk kasus pertama, pencarian masih pada organisme yang
optimal pada perlakuan kayu dan juga mengurangi waktu perlakuan. Untuk kasus
kedua, penelitian mengarah pada produksi enzim melalui teknik rekombinan DNA
dan menyusun kembali sistem enzim yang akan menjadi duplikat in vivo pada
degradasi lignin (Trotter 1990). Jamur pendegradasi lignin umumnya merupakan
kelompok saprofit kayu (Dix dan Webster 1995). Oriaran et al. (1990)
mengemukakan bahwa Phanerochaete chrysosporium yang ditumbuhkan pada
serpih kayu aspen yang ditambah glukosa selama 0, 10, 20 dan 30 hari, telah
meningkatkan hasil pulp sekitar 3 sampai 6%, menurunkan bilangan kappa, dan
meningkatkan respon terhadap pukulan (beating). Nilai retensi air dan volume
3
endapan meningkat, kekuatan regang, pecah dan lipat lembaran meningkat dan
nilai sobek menurun dengan peningkatan lama inkubasi. Keadaan di atas, menurut
Oriaran et al. (1990) disebabkan proses biodegradasi oleh jamur yang
menghasilkan penurunan biomassa kayu dan struktur pori tambahan pada dinding
sel yang mempertinggi penetrasi cairan pemasak dan meningkatkan nisbah
holoselulosa terhadap lignin (H/L). Oriaran (1989 dalam Oriaran et al. 1990)
mengemukakan bahwa produksi ligninase jamur dapat meningkatkan nisbah H/L
pada kayu. Hal ini disebabkan penurunan kandungan lignin serpih kayu yang
didegradasi jamur. Namun Oriaran et al. (1990) mengemukakan adanya
penurunan derajat putih pulp dengan meningkatnya lama inkubasi jamur.
Yuliansyah et al. (2007) juga mengemukakan hasil pemutihan dengan jamur yaitu
bilangan kappa menurun namun rendemen dan kekuatan kertas juga menurun
drastis. Ho et al. (1990) mengemukakan bahwa penambahan 0,25% pulp pada
media mendorong kecepatan pertumbuhan Coriolus versicolor dengan
memperpendek periode lag bleaching dari 2 hari menjadi 1 hari dan mempertinggi
proses rangkaian pemutihan pulp.
Pleurotus ostreatus diduga berpotensi untuk industri pulp karena diketahui
mendegradasi lignin lebih efisien dibanding P. chrysosporium (Kerem et al. 1992;
Hadar et al. 1993). Beberapa aktivitas enzim ekstraseluler Pleurotus spp. telah
dipelajari, diantaranya MnP (Kerem et al. 1992). Mekanisme degradasi lignin oleh
Pleurotus belum banyak dipelajari seperti pada P. chrysosporium. Namun dari
beberapa studi yang dilakukan, terlihat enzim yang bertanggungjawab untuk
degradasi lignin dalam Pleurotus cukup bervariasi.
Perumusan Masalah
Sampai saat ini penelitian mengenai jamur pelapuk kayu kelompok
Pleurotus asal Indonesia masih sangat terbatas meskipun jamur ini sudah dikenal
dan dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai keperluan (Gunawan 1997).
Demikian juga penelitian tentang jamur genus Hohenbuehelia, yang sering juga
dimasukkan ke dalam kelompok Pleurotus, di Indonesia belum pernah dilakukan,
baik tentang morfologi maupun tentang potensinya.
4
Sebagai langkah awal diperlukan suatu penelitian untuk mencari isolat
jamur dari kelompok Pleurotus lokal yang unggul sebagai pendegradasi lignin.
Isolat lokal merupakan plasma nutfah kekayaan alam Indonesia yang harus digali
potensi ligninolitiknya. Preservasi plasma nutfah dan pendekatan genetik serta
pemanfaatan isolat-isolat lokal ini adalah dasar untuk pengembangan industri
jamur di sejumlah negara dan juga di Indonesia sehingga layak menjadi prioritas
dalam menghadapi persaingan bebas dalam era globalisasi saat ini
Dalam penelitian ini dilakukan eksplorasi dan isolasi jamur kelompok
Pleurotus di lapangan di sekitar Bogor. Isolasi dilakukan dengan teknik kultur
jaringan dari daging tubuh buah jamur dengan media MEA. Kultivasi dengan
media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong dilakukan untuk mengetahui
pembentukkan tubuh buah. Isolat-isolat kelompok Pleurotus yang dapat
membentuk tubuh buah pada media serbuk gergajian kayu sengon, kemudian
dipelajari karakter fisiologisnya, karakter ligninolitiknya pada jenis kayu yang
berbeda, aktivitas ligninolitiknya pada media serbuk gergajian kayu sengon,
aktivitas enzim ligninasenya yaitu manganese peroksidase (MnP), lignin
peroksidase (LiP) dan lakase. Selanjutnya enzim MnP dari dua isolat yang
mewakili asal Bogor dipurifikasi. Terakhir, jamur pelapuk putih kelompok
Pleurotus tersebut diidentifikasi. Sebagai pembanding standar digunakan
P. ostreatus HO yang telah banyak digunakan. Identifikasi dilakukan berdasarkan
karakter fisiologi, ligninolitik dan morfologi. Karakter fisiologi meliputi tipe
koloni kultur dan laju pertumbuhan koloni pada media PDA, MEA dan MPA,
serta reaksi oksidasi dengan menggunakan media malt yang mengandung asam
galat (AAG) dan asam tanat (AAT). Karakter ligninolitik mencakup produksi
enzim ligninase khususnya MnP. Karakter morfologis secara makroskopis dan
mikrokopis meliputi penampakan tubuh buah secara visual, jumlah tangkai,
ukuran pileus dan tangkai, panjang dan lebar basidiospora, sistidia dan basidia,
dengan menggunakan SEM dan teknik mikrotom.
5
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan jamur
kelompok Pleurotus di lapangan di sekitar Bogor dan mempelajari potensi
ligninolitiknya dengan melakukan eksplorasi dan isolasi, karakterisasi fisiologis,
ligninolitik dan morfologis serta identifikasi. Aktivitas ligninolitik jamur diukur
berdasarkan pada daya degradasinya pada beberapa jenis kayu bahan baku pulp
yaitu kayu akasia, pinus dan sengon dan biodegradasi media serbuk gergajian
kayu sengon. Potensi ligninolitik juga diamati dengan melihat aktivitas MnP, LiP
dan lakase kemudian memurnikan enzim MnP dari isolat yang mewakili asal
Bogor.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi ilmiah yang
menyeluruh mengenai karakter fisiologi dan morfologi jamur kelompok Pleurotus
asal Bogor dan potensinya dalam mendegradasi lignin, yang diharapkan dapat
menjadi landasan pengetahuan untuk memanfaatkan potensi jamur tersebut
sebagai agen biobleaching dan biopulping, khususnya potensinya sebagai
penghasil enzim ligninase seperti MnP, LiP dan lakase.
Hipotesis Penelitian
1. Isolat spesies jamur yang berbeda memiliki karakter fisiologi yang berbeda
2. Isolat spesies jamur yang berbeda memiliki kemampuan yang berbeda dalam
mendegradasi satu jenis media
3. Isolat spesies jamur yang sama memiliki kemampuan yang berbeda dalam
mendegradasi jenis kayu yang berbeda
4. Isolat spesies jamur yang berbeda memiliki aktivitas enzim ligninase yang
berbeda
5. Morfologi isolat jamur yang berbeda menunjukkan spesies yang berbeda
6
Kebaruan Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian dasar yang menyeluruh
tentang jamur pelapuk putih kelompok Pleurotus asal Bogor dari mulai eksplorasi,
isolasi, karakterisasi fisiologi, karakterisasi potensi ligninolitiknya pada chip kayu
bahan baku pulp dan media serbuk gergajian kayu sengon, sampai pengukuran
aktivitas enzim ligninase (MnP, LiP dan lakase) serta purifikasi MnP dari isolat
yang mewakili asal Bogor. Terakhir adalah identifikasi secara morfologi baik
makroskopik maupun mikroskopik yang ditunjang dengan karakter kultur dan
fisiologi. Kajian mendalam ini belum pernah dilakukan terhadap jamur kelompok
Pleurotus khususnya yang berasal dari Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
Bahan Lignoselulolitik dan Gambaran Umum Tiga Jenis Kayu
Bahan lignoselulolitik merupakan selulosa yang berasosiasi secara erat
dengan lignin dan hemiselulosa (Enari 1983). Perbandingan komponen selulosa,
hemiselulosa dan lignin pada kebanyakan padatan selulosa secara kasar adalah
4:3:3 (Kollmann dan Cote 1968 dalam Haygreen dan Bowyer 1993) (Tabel 1).
Tabel 1 Persentase kadar selulosa, hemiselulosa, lignin dan pektin serta pati kayu
berdasarkan bobot kering
Tipe kayu Selulosa Hemiselulosa Lignin Pektin dan pati
Kayu daun jarum
Kayu daun lebar
40-44
40-44
20-32
15-35
25-35
18-25
6
6
Sumber: Kollman dan Cote (1968) dalam Haygreen dan Bowyer (1993)
Wenzl (1970) menyatakan kandungan zat ekstraktif kayu daun lebar
(hardwood) lebih tinggi dibanding kayu daun jarum (softwood). Komponen zat
ekstraktif terdiri atas resin, terpen, asam lemak, fenol dan tannin, yang tersusun
dari senyawa asam-asam resin, asam-asam lemak, ester-ester lemak dan bahan
yang tidak tersabunkan. Scheffer (1973 dalam Tambunan dan Nandika 1989)
menyatakan zat ekstraktif berfungsi sebagai bahan pengawet alami kayu dan
keberadaannya mempengaruhi ketahanan kayu terhadap deteriorasi oleh jamur.
Kayu Pinus. Pinus merkusii Jungh. et de Vriese (pinus/damar/tusam)
termasuk jenis kayu daun jarum. Kayu pinus ini mempunyai kayu teras berwarna
coklat kuning muda dengan pita dan gambar yang berwarna putih/kekuning-
kuningan dan tekstur kayu yang halus, permukaan kayunya licin serta
mengandung damar dan berbau terpentin. Rata-rata bobot jenisnya adalah 0,55
(0,40-0,75) dan termasuk kelas awet IV dan kelas kuat III (Pandit dan Ramdan
2002), bobot jenisnya adalah 0,44-0,59 dan termasuk kelas awet IV dan kelas kuat
II-III (Abdurahim et al. 1989). Berdasarkan sifat kimianya, kayu pinus
8
mengandung selulosa 54,9%, lignin 24,3%, pentosa 14,0%, abu 1,1% dan silika
0,2% (Abdurahim et al. 1989).
Kayu Akasia. Acacia mangium Willd (mangium/akasia) termasuk jenis
kayu daun lebar yang cepat tumbuh (fast growing species). Kayu dengan pori tata
lingkar ini mempunyai warna kayu teras dan gubal yang dapat dilihat jelas; bagian
teras berwarna lebih gelap, sedangkan gubalnya berwarna putih dan lebih tipis.
Kayu teras berwarna agak kecoklatan, hampir mendekati kayu jati, kadang-kadang
mendekati warna jati gembol. Arah seratnya terlihat lurus sampai berpadu
(Ginoga et al. 1999 dan Ginoga 1997 dalam Malik et al. 2007).
Kayu ini mempunyai bobot jenis antara 0,46 sampai 0,54 (Ginoga 1997
dalam Malik et al. 2007). Kayu akasia dari hutan tanaman (asal Jawa Barat) relatif
memiliki sifat keawetan lebih buruk (kelas awet II – III) dibanding kayu akasia
dari hutan alam (asal Maluku). Berdasarkan bobot jenis, keteguhan lentur statis
dan tekan sejajar arah serat, maka kayu akasia ini termasuk kelas kuat II – III.
Menurut klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia (Deptan 1976 dalam
Malik et al. 2007), kayu akasia ini termasuk kelompok sedang (40–44 %) dalam
hal kandungan selolusa, kadar lignin sedang (18–32 %), kadar pentosan, silika dan
abu termasuk rendah dan zat ekstraktif termasuk tinggi. Menurut Siagian et al.
(1999 dalam Malik et al. 2007) menyatakan bahwa kayu akasia ini baik dijadikan
sebagai bahan baku pulp karena memiliki kadar selulosa tinggi, lignin sedang,
pentosan rendah, ekstraktif tinggi dan abu sedang. Akan tetapi pembuatan pulp
dari kayu akasia ini perlu diperhatikan karena kadar ekstraktifnya tinggi.
Perbedaan umur pohon memberikan pengaruh yang berbeda terhadap
komposisi kimia kayu. Kadar selulosa, lignin, kelarutan dalam alkohol-benzena
dan air dingin, secara umum menunjukkan kecenderungan menurun dengan
bertambahnya umur pohon sedangkan kadar pentosan cenderung meningkat.
Untuk kadar abu, silika, kelarutan dalam NaOH 1% dan air panas, memberikan
respon yang berfluktuatif dengan bertambahnya umur tanaman (Malik et al. 2007).
Kayu Sengon. Kayu sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen)
merupakan kayu daun lebar tropis yang mempunyai warna kayu teras hampir
putih sampai coklat muda dan warna kayu gubalnya tidak berbeda dengan warna
9
kayu terasnya, mempunyai tekstur kayu yang agak kasar dan merata, arah serat
yang lurus, bergelombang lebar atau terpadu. Kayu sengon memiliki bobot jenis
yang rendah yaitu berkisar antara 0,24-0,49 dengan rata-rata 0,33. Kekuatannya
digolongkan sebagai kayu kelas kuat IV-V dan keawetannya digolongkan sebagai
kayu kelas IV-V (Widarmana 1984). Kayu sengon mempunyai kadar selulosa
48,33%, lignin 27,28% dan pentosan 16,34%, dengan nisbah C/N 53,17/0,25
(Nurhayati 1988).
Penguraian Komponen Kayu Secara Enzimatik oleh Jamur Pelapuk Putih
Jamur pelapuk putih (white-rot fungi) merombak lignin dan polisakarida.
Kayu yang terdegradasi menjadi putih, kuning atau coklat terang dan lunak.
Umum menyerang kayu daun lebar. Kerugian lain adalah keuletan kayu dan
derajat polimerasi menurun, namun pengerutan, pulp yang dihasilkan, kualitas
serat serta kelarutan dalam alkali hampir sama dengan kayu yang normal (Fengel
dan Wegener 1989; Tambunan dan Nandika 1989). Contoh penampakan sel kayu
yang lapuk oleh jamur pelapuk putih ditunjukkan pada Gambar 1A. Miselium
tumbuh dan menyebar di dalam kayu dengan bantuan enzim-enzimnya
kemungkinan melalui beberapa jalur seperti lumina, noktah atau langsung
menembus dinding sel (Gambar 1B) (Fengel dan Wegener 1989).
Sumber: Foto 1A (von Aufsess dalam Fengel dan Wegener 1989) dan Foto 1B (Fengel dan Wegener 1989)
Gambar 1 A. Pelapukan kayu spruce (Picea abies) oleh jamur pelapuk putih. a,b.
Degradasi oleh Heterobasidium annosum, mikrograf cahaya. c. Degradasi oleh Peniophora gigantea, mikrograf SEM. B. Bagan kemungkinan jalur pertumbuhan hifa. 1. lumina sel parenkim. 2. lumina sel pembuluh. 3. Jalur sederhana, noktah setengah berbatas dan noktah berbatas. 4. Melalui dinding-dinding sel. 5. lamela tengah majemuk dan dinding-dinding sel.
A B
10
Enzim-enzim perombak selulosa dan lignin pada umumnya merupakan
enzim adaptif yaitu enzim-enzim yang dihasilkan hanya pada suatu substrat
tempat dia aktif.
Mekanisme Degradasi Selulosa. Degradasi pada selulosa kristal oleh
jamur pelapuk putih P. chrysosporium, mirip pada selulase-selulase jamur lainnya,
yaitu dilakukan oleh sebuah kompleks enzim multikomponen dimana tiap-tiap
komponen berinteraksi secara sinergi untuk mendegradasi selulosa menjadi
glukosa. Endoglukanase (EGs) bekerja secara acak pada permukaan luar
mikrofibril selulosa, yaitu dengan membuka ujung non-reduksi yang kemudian
oleh cellobiohidrolase (CBHs) dihidrolisis dan menghasilkan selobiose. Selobiose
dipotong oleh β-glukosidase, menghasilkan glukosa. Selobiose, suatu produk dari
kerja selulase, dapat menginduksi dan juga menginhibisi selulase pada P.
chrysosporium (Eriksson dan Hamp 1978 dalam Highley dan Dashek 1998)
(Gambar 2).
Sumber: Eriksson dan Hamp 1978 dalam Highley dan Dashek 1998
Gambar 2 Mekanisme degradasi selulosa.
Degradasi Hemiselulosa. Hemiselulosa secara struktur lebih kompleks
dibanding selulosa, yang mengandung hanya ikatan 1,4-β-glikosidik.
11
Hemiselulosa adalah sebuah grup homopolimer dan heteropolimer yang
mengandung sebagian besar ikatan-ikatan utama anhidro–β-(1→4)D-
xylopyranosa, mamnopiranosa, glukopiranosa dan galaktopiranosa. Enzim-enzim
yang mendegradasi hemiselulosa juga kompleks yang umum disebut hemiselulase.
Hemiselulase menunjukkan sebagai agen bleaching yang menjanjikan dalam
produksi pulp dan kertas. Degradasi hemiselulosa oleh jamur pelapuk putih
kemudian dianalogikan secara kasar dengan selulosa, tetapi mekanisme
serangannya telah dipelajari secara lebih detail oleh Kirk dan Cowling (1984).
Ikatan hemiselulosa diserang pertamakali oleh endoenzim-endoenzim (mannanase
dan xilanase) yang menghasilkan secara intensif ikatan-ikatan pendek yang
dihidrolisis menjadi gula sederhana oleh glukosidase (mannosidase, xilosidase dan
glukosidase). Sejauh ini belum diketahui jenis eksoenzim yaitu enzim-enzim yang
dapat mengendalikan sisi-ikatan substitusi (arabinosa, asam uronik dan asetil)
yang terlibat (Kirk dan Cowling 1984). Seperti dengan selulase, gula-gula
sederhana membatasi produksi sebagian besar enzim-enzim pendegradasi
hemiselulosa oleh jamur pelapuk putih. Selulosa diduga menjadi sumber karbon
penting untuk mendorong terbentuknya enzim-enzim pendegradasi hemiselulosa
oleh jamur.
Degradasi Lignin. Tidak seperti selulosa dan hemiselulosa, lignin
prinsipnya tidak berikatan linear tetapi merupakan senyawa kompleks. Polimer
heterogen, dengan senyawa aromatik non-stereoregular yang disusun oleh unit
fenilpropanoid. Jamur pelapuk putih adalah satu-satunya organisme yang dikenal
mampu mendegradasi lignin secara sempurna menjadi karbondioksida dan air.
Perkembangan terbaru saat ini telah menunjukkan kaitannya dengan biokimia dan
genetik molekuler biodegradasi lignin yang umumnya menggunakan penelitian
jamur pelapuk putih P. chrysosporium (Buswell dan Odier 1987, Alic dan Gold
1991, Kuan et al. 1991 dalam Highley dan Dashek 1998; Cullen dan Kersten 1992
dan 1996).
Ligninolitik berhubungan dengan produksi enzim ekstraseluler
pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih. Dua enzim yang
berperan dalam proses tersebut adalah fenol oksidase (lakase) dan peroksidase
12
(lignin peroksidase (LiP) dan manganese peroksidase (MnP)) (Howard et al.
2003; Kirk et al. 1980).
Lakase merupakan enzim multi-copper yang dapat mengkatalis reaksi
oksidasi beberapa substrat seperti polifenol, substituen penol, diamin dan
beberapa senyawa anorganik (Thurston 1994). Enzim ini pertama kali ditemukan
dalam getah pohon pernis Jepang Rhus vernicifera pada tahun 1988 dan pada
umumnya banyak ditemukan pada jamur dan tanaman tingkat tinggi (Anonim
2006; Thurston 1994; Palonen 2004).
Lakase (E.C.1.10.3.2; benzendiol: oksigen oksidoreduktase) sebagian
besar merupakan glikoprotein ekstraseluler yang mengandung atom tembaga
dengan bobot molekul antara 60-80 kDa dan juga merupakan salah satu grup
terkecil enzim yang dinamakan oksidase tembaga biru (Thurston 1994). Lakase
mengandung empat atom protein pada tiap molekulnya (Palonen 2004).
Mekanisme reaksi enzimatik yang terjadi oleh lakase adalah reaksi
oksidasi satu elektron. Dibutuhkan peranan molekul oksigen sebagai penerima
elektron dan kemudian membentuk molekul air. Ketika reaksi oksidasi
berlangsung, substrat kehilangan satu elektronnya dan biasanya terbentuk radikal
fenoksi bebas (Thurston 1994) yang berperan sebagai intermediet. Radikal bebas
yang tidak stabil tersebut dapat melangsungkan reaksi oksidatif enzimatik
selanjutnya atau reaksi non-enzimatik seperti hidrasi, disproporsionasi dan
polimerisasi (Thurston 1994).
Lakase telah banyak menjadi subyek penelitian untuk dimanfaatkan secara
luas oleh karena lakase sifat spesifiknya yang rendah terhadap substrat-
substratnya (Cavallazzi et al. 2004; Thurston 1994). Hidrokuinin, katekol,
guaiakol, 2,6-dimetoksifenol, p-fenildiamin dan siringaldazin merupakan substrat-
substrat yang cukup bagus bagi lakase. Substrat tiruan lakase seperti ABTS (2,2-
azinobis-3-etilbenzthiazolin-6-sulfonat) dapat berperan sebagai mediator yang
memungkinkan oksidasi komponen non fenolik pada lignin yang tidak dapat
dioksidasi oleh lakase sendiri (Bourbonnais dan Paice 1990).
Pada jamur, lakase berperan dalam proses degradasi lignin (Hatakka 1994)
dan beberapa fungsi lain diantaranya pigmentasi, pembentukan badan buah,
sporulasi dan patogen (Thurston 1994). Lakase yang dihasilkan organisme yang
13
berbeda memiliki perbedaan yang sangat nyata pada substrat spesifik, bobot
molekul, pH optimumnya seperti yang dihasilkan oleh beberapa jamur yakni
Panaeolus sphinctrinus, Panaeolus papilionaceus, Coprinus friesii (Heinzkill et
al. 1998), Lepista sordida (Cavallazzi et al. 2004), Trametes versicolor (Han et al.
2004), Pycroporus cinnabarinus (Eggert et al. 1996), Pleurotus eringii (Muñoz et
al. 1997) dan Coriolopsis gallica (Pickard et al. 1999).
Pemanfaatan lakase sangat luas diterapkan dalam berbagai bidang antara
lain dalam proses bioremediasi dan biodegradasi polutan organik pada tanah
seperti klorofenol (Ahn et al. 2002), dan polisiklik aromatik hidrokarbon (Han et
al. 2004), pada proses dekolorisasi dan detoksifikasi pada pewarna tekstil
(Abadulla et al. 2000) serta digunakan sebagai bleaching pada proses
biodelignifikasi pada pulp industri kertas (Bourbonnais dan Paice 1990).
Lignin peroksidase (EC.1.11.1.14; diarilpropan: oksigen, hidrogen
peroksida oksidoreduktase; bobot molekul antara 38 dan 43 kDa) dan MnP
(EC.1.11.1.13; Mn(II): H2O2 oksidoreduktase; bobot molekul antara 43 dan 49
kDa) merupakan glikoprotein yang memiliki sebuah protoporfirin IX sebagai
gugus prostetik dan membutuhkan hidrogen peroksida sebagai oksidan (Hatakka
1994; Tien dan Kirk 1984; Gold dan Alic 1993).
Enzim ekstraseluler LiP dan MnP memiliki peranan yang sangat penting
dalam proses biodelignifikasi. LiP memiliki kemampuan mengkatalis beberapa
reaksi oksidasi antara lain pemecahan ikatan Cα-Cβ rantai samping propil non
fenolik komponen aromatik lignin, oksidasi benzil alkohol, oksidasi fenol,
hidroksilasi benzylic methylene groups dan pemecahan cincin aromatik komponen
non phenolik senyawa lignin (Tien dan Kirk 1984). Sedangkan MnP diketahui
memiliki kemampuan mengoksidasi baik komponen fenolik maupun non fenolik
senyawa lignin.
Seperti enzim peroksidase lainnya, LiP memiliki siklus katalitik yang
dinamakan mekanisme ping-pong. Reaksi yang terjadi yakni H2O2 mengoksidasi
enzim pada keadaan awal (resting enzyme) dengan dua elektron membentuk
senyawa intermediet I, senyawa tersebut kemudian mengoksidasi substrat
aromatik dengan menggunakan satu elektron membentuk senyawa intermediet II
dan produk radikal bebas. Senyawa intermediet II yang dihasilkan dapat kembali
14
mengoksidasi substrat lainnya sehingga terbentuk enzim awal dan produk radikal
bebas (Cullen dan Kersten 1992). Terbentuknya radikal bebas secara spontan atau
bertahap inilah yang mengakibatkan lepasnya ikatan antar molekul dan beberapa
inti pada cincin aromatik.
Prinsip fungsi MnP adalah bahwa enzim tersebut mengoksidasi Mn2+
membentuk Mn3+ dengan adanya H2O2 sebagai oksidan. Aktivitasnya dirangsang
oleh adanya asam organik yang berfungsi sebagai pengkelat atau penstabilkan
Mn3+. Mekanisme reaksi yakni MnP pada keadaan awal dioksidasi oleh H2O2
membentuk MnP-senyawa I yang dapat direduksi oleh Mn2+ dan senyawa fenol
membentuk MnP-senyawa II. Senyawa tersebut kemudian direduksi kembali oleh
Mn2+ tetapi tidak oleh fenol membentuk enzim keadaan awal dan produk
(Wariishi et al. 1989). Adanya Mn2+ bebas sangat penting untuk menghasilkan
siklus katalitik yang sempurna.
MnP + H2O2 MnP-senyawa I + H2O
MnP-senyawa I + Mn2+ MnP-senyawa II + Mn3+
MnP-senyawa I + AH MnP-senyawa II + A- + H+
MnP-senyawa II + Mn2+ MnP + Mn3+
Manganese peroksidase dihasilkan oleh P. ostreatus (Sarkar et al. 1997)
dan juga oleh P. crysosporium (Brown et al. 1990) dan oleh Phlebia radiata
(Vares et al. 1995). Masing-masing jamur menghasilkan kombinasi enzim yang
berbeda-beda, misalnya ada yang hanya menghasilkan LiP dan MnP, MnP dan
lakase, atau jamur yang menghasilkan LiP dan lakase (Kerem dan Hadar 1998).
Aktivitas ligninolitik jamur pelapuk putih seperti pada T. versicolor dan P.
chrysosporium meningkat pada media tumbuh yang kandungan karbon sederhana
dan nitrogennya rendah (Eaton dan Hale 1993; Katagiri et al. 1995). Menurut
Leatham et al. (1983) dan Griffin (1994), penambahan asam glutamat, glutamin,
histidin dan sikloheksimida akan menekan aktivitas ligninolitiknya. Menurut
Heinzkill dan Messner (1997), jamur pelapuk putih yang mendegradasi lignin
tidak dapat menggunakan lignin sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi.
Namun berdasarkan hasil penelitian Sugipriatini (1998) diketahui bahwa
penambahan glukosa dapat menekan pertumbuhan maupun aktivitas ligninolitik
salah satu jamur pelapuk putih Ganoderma spp.. Beberapa jamur liar diketahui
15
memiliki kemampuan mendegradasi lignin yang tinggi dan dalam
pertumbuhannya menggunakan lignin sebagai sumber karbon (Artiningsih et al.
2000).
Sampai saat ini isolat jamur pelapuk putih P. chrysosporium banyak
menjadi obyek para peneliti dikarenakan menghasilkan aktivitas LiP dan MnP
yang tinggi. Seperti halnya pada lakase selain potensi dalam proses
biodelignifikasi, lignin peroksidase dan mangan peroksidase berpotensi dalam
proses biobleaching dan biopulping pulp serta proses degradasi senyawa-senyawa
berbahaya.
Aktivitas suatu enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, pH, suhu dan beberapa faktor lain.
Karakteristik dari reaksi yang dikatalisis enzim yakni pada konsentrasi enzim
yang digunakan, laju awal reaksi akan meningkat sebanding dengan peningkatan
konsentrasi substrat sampai mencapai harga tertentu. Mula-mula laju naik dengan
pesat, namun pada konsentrasi substrat yang tinggi laju reaksi menjadi tidak
berpengaruh dan relatif konstan. Hal ini disebabkan adanya interaksi sistem yang
dideteksi oleh substrat yakni pada konsentrasi substrat yang besar, substrat dapat
mengihibisi reaksinya sendiri.
Enzim-enzim dengan derajat kemurnian yang tinggi dalam batas-batas
tertentu, memiliki suatu hubungan linier antara konsentrasi enzim dan taraf
aktivitasnya. Hubungan tersebut menjelaskan bahwa aktivitas enzim merupakan
ukuran hilangnya reaktan atau terbentuknya produk dari reaksi yang dikatalisis.
Aktivitas enzim bertambah dengan naiknya suhu sampai aktivitas optimumnya
tercapai. Kenaikan suhu lebih lanjut berakibat dengan berkurangnya aktivitas dan
pada akhirnya terjadi kerusakan enzim (terdenaturasi). Demikian juga halnya
untuk pH, ada pH tertentu yang memberikan aktivitas optimum, di atas atau di
bawah pH tersebut aktivitas enzim akan menjadi berkurang.
Aktivitas enzim yang dihasilkan P. chrysosporium pada kultur awal
lambat (Kirk 1988 dalam Trotter 1990), tetapi setelah diperoleh strain yang cukup
baik dan optimalisasi parameter kultur, aktivitas enzim telah diperbaiki sampai
200 kalinya (Asther 1987 dalam Trotter 1990).
16
Jamur Pelapuk Putih Kelompok Pleurotus
Beberapa jamur pleurotoid adalah jamur pelapuk kayu yang diketahui
mempunyai kemampuan sebagai pendegradasi lignin. Jamur pleurotoid
merupakan salah satu dari spesies yang dibedakan berdasarkan stature types yang
memudahkan dalam identifikasi jamur di lapangan, yang ciri-ciri pentingnya
adalah: a) keberadaan cincin, b) keberadaan volva, c) konsistensi tangkai,
d) attachment tangkai, e) attachment lamela, f) bentuk (shape) dari pileus
(tudung) dan g) tipe pinggiran pileus. Spesies berdasarkan tipe stature lainnya
diantaranya adalah Amanitoid, Vaginatoid, Lepiotoid, Pluteotoid, Tricholomatoid,
Naucoroid, Clitocyboid, Almillarioid, Mycenoid dan Collibioid (Largent 1973).
Jamur pleurotoid umumnya mempunyai ciri-ciri di lapangan: bentuk
tudung agak membulat, lonjong dan melengkung seperti cangkang tiram, jamur
berlamella melanjut (deccurent), berukuran kecil sampai besar, berwarna
bervariasi (putih, krem, abu-abu, violet, sampai hitam), lunak, licin, daging
basidiokarp tebal, berbau sedap; tangkai pendek atau absen (pinggir, kurang dari
2 cm), eksentrik atau lateral; spora bulat-elips, mempunyai dinding tipis dan halus,
spora non-amiloid, jejak spora umumnya putih; kadang-kadang jamur ini dapat
tumbuh tunggal, biasanya ditemukan banyak tubuh buah pada satu kali
pengamatan, berkelompok, berkerumun, bersusun seperti rak; habitatnya
umumnya pada kayu konifer dan kayu daun lebar; dan diketahui beberapa
spesiesnya bersifat edible, diantaranya yang terkenal adalah kelompok Pleurotus
(Brown 1981; Largent 1973). Hohenbuehelia termasuk kelompok Pleurotus,
karena ada yang mempunyai nama sinonim Pleurotus, juga belum banyak
dilaporkan dan diduga mempunyai potensi mendegradasi lignin karena di alam
banyak tumbuh pada substrat kayu. Terdapat lebih kurang 67 spesies kelompok
Pleurotus yang berhasil dikumpulkan dan dilaporkan oleh para peneliti seluruh
dunia, sejak Roussel (1805) pertama kali memberi nama Pleurotus (LR 2004).
Jamur Pleurotus diklasifikasikan oleh beberapa peneliti dalam
Alexopoulos et al. (1996) dan Chang dan Miles (1989) adalah sebagai berikut:
Super Kingdom: Eukariota; Kingdom: Mycetes (Fungi); Divisi: Mycota;
Sub Divisi: Eumycotina; Phylum: Basidiomycota; Kelas: Hymenomycetes
17
(Basidiomycetes); Sub Klas: Holobasidiomycetidae; Ordo: Agaricales; Famili:
Tricholomataceae; Genus : Pleurotus; Species: Pleurotus spp..
Menurut Segedin et al. (1995), Pleurotus diklasifikasikan ke dalam famili
tersendiri yaitu Pleurotaceae. Menurut Moncalvo et al. (2002), Hohenbuehelia
juga mempunyai famili yang sama dengan Pleurotus yaitu Pleurotaceae. Dalam
famili ini hanya ada dua genus yaitu Pleurotus dan Hohenbuehelia, hal ini
berdasarkan penelitian terbaru dengan menggunakan uji genetik molekuler RNA.
Di lapangan, keduanya sulit dibedakan dan dapat dikelompokkan menjadi
kelompok Pleurotus.
1. EKSPLORASI JAMUR PELAPUK PUTIH KELOMPOK Pleurotus DARI DAERAH BOGOR
(Exploration of White-rot Fungi Pleurotus Group from Bogor)
Abstrak
Eksplorasi jamur pelapuk putih lokal kelompok Pleurotus telah dilakukan pada bulan Mei 2004 dari berbagai wilayah di Kabupaten dan Kota Bogor. Kondisi iklim saat ekplorasi adalah akhir musim hujan dengan suhu rata-rata minimum dan maksimum berturut-turut 18,3 dan 26,3oC, kelembaban nisbi rata-rata 85%, hari hujan 17 hari dan curah hujan 245 mm/bulan. Isolasi jamur dilakukan dengan teknik kultur jaringan dari daging tubuh buah jamur dengan media MEA. Kultivasi dilakukan pada media serbuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dalam kantong untuk mengetahui pembentukkan tubuh buah.
Jenis jamur pleurotoid yang umum ditemukan di lapangan yaitu Schizophillum spp., Lentinus spp. dan Crepidotus spp., sedangkan kelompok Pleurotus dan Panellus spp. hanya ditemukan dari satu daerah yaitu di areal kebun dan tempat penggergajian kayu di kecamatan Ciherang (+ 501 m dpl). Sebanyak 24 isolat jamur kelompok Pleurotus telah diisolasi dan 17 isolat diantaranya dikultivasi pada media serbuk gergajian kayu sengon. Enam isolat diantaranya dapat membentuk tubuh buah.
Kata-kata Kunci : Jamur kelompok Pleurotus, Bogor
Abstract
Exploration of white-rot fungi of wild Pleurotus group was conducted in May 2004 from 13 places in District and City of Bogor. The climatic condition at that time of exploration was the end of rainy season with minimum and maximum temperatures of 18.3 and of 26.3oC respectively, relative humidity of 85%, 17 rainy days and rainfall of 245 mm/month. Isolation was carried out using tissue culture method of fruiting bodies of the fungi on MEA medium. Cultivation treatments using sengon (P. falcataria) sawdust media was conducted to know formation of fruiting bodies .
Results showed pleurotoid fungi that commonly found were Schizophillum spp., Lentinus spp. and Crepidotus spp., whereas Pleurotus group and Panellus spp. were found only in garden and sawmill of sub-district Ciherang (+ 501 m asl). Twenty four isolates of Pleurotus group were isolated, and 17 of those isolates were cultivated on sengon wood sawdust media. Among them, six isolates are able to form fruit bodies.
Keywords : Pleurotus group, Pleurotoid fungi, Bogor
19
Pendahuluan
Penerapan bioteknologi melalui pemanfaatan jamur pendegradasi lignin
dalam proses biobleaching dan biopulping, merupakan salah satu alternatif dan
terobosan besar yang perlu dikaji (Higley dan Dashek 1998). Penelitian dimulai
dengan proses eksplorasi pada organisme yang potensial sehingga diperoleh agen
yang maksimal. Beberapa jamur pleurotoid adalah jamur pelapuk kayu yang
diketahui mempunyai kemampuan sebagai pendegradasi lignin. Jamur yang
termasuk pleurotoid diantaranya adalah Schizophyllum, Pleurotus, Panus,
Lentinus, Plicatura, Hohenbuehelia, Claudotus, Paxillus dan Crepidotus (Largent
1973). Lebih kurang 67 spesies Pleurotus yang berhasil dikumpulkan dan
dilaporkan oleh para peneliti seluruh dunia, sejak Roussel (1805) pertama kali
memberi nama Pleurotus (LR 2004). Penelitian ini lebih difokuskan pada
kelompok Pleurotus dan Hohenbuehelia yang sebelumnya mempunyai nama
sinonim Pleurotus yang diduga mempunyai potensi mendegradasi lignin.
Sampai saat ini penelitian mengenai jamur pleurotoid kelompok Pleurotus
asal Indonesia masih sangat terbatas meskipun jamur ini sudah dikenal oleh
masyarakat untuk berbagai keperluan. Oleh karena itu penelitian mengenai
keberadaan jamur pleurotoid kelompok Pleurotus merupakan data dasar yang
sangat berharga untuk potensi dan pemamfaatannya. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui keberadaan jamur pleurotoid kelompok Pleurotus dari
lapangan di sekitar Bogor.
Bahan dan Metode
Eksplorasi jamur pleurotoid kelompok Pleurotus dimulai dengan
melakukan survei di beberapa wilayah di Kabupaten dan Kota Bogor yang diduga
terdapat populasi jamur. Wilayah yang dikunjungi meliputi daerah pegunungan,
hutan, perkebunan dan bekas tegakan kayu dan sampai ke daerah sentra
penggergajian kayu dan perkampungan. Kegiatan survei dan eksplorasi jamur
dilaksanakan sejak bulan Maret hingga Juni 2004. Jamur kelompok Pleurotus
yang ditemukan kemudian dicatat morfologinya secara makroskopik dan diambil
20
gambarnya. Deskripsi dan kondisi iklim pada saat jamur ditemukan juga dicatat.
Selanjutnya jamur dikoleksi dan diambil dengan menggunakan plastik untuk
dibawa ke Laboratorium untuk keperluan isolasi. Selanjutnya jamur diidentifikasi
mengacu pada Brown (1981).
Isolasi Basidiokarp Jamur Dari Lapang
Basidiokarp atau tubuh buah jamur yang diperoleh diambil gambarnya dan
dibersihkan dari kotoran. Jamur selanjutnya ditelungkupkan di atas kertas
berwarna gelap dan kertas berwarna putih dan dimasukkan ke dalam wadah
plastik berbentuk nampan tertutup untuk mendapatkan jejak sporanya. Tubuh
buah dalam wadah tersebut kemudian dibawa ke Laboratorium dengan hati-hati
untuk keperluan isolasi.
Tubuh buah jamur diisolasi dengan metode kultur jaringan dengan
menanam jaringan daging (contex) basidiokarp pada medium agar. Permukaan
basidiokarp yang baru diambil dari lapangan disemprot dengan alkohol 70%
kemudian dipotong melintang menjadi dua bagian. Selanjutnya bagian daging
basidiokarp tanpa lamela dan jaringan epidermis luar tudung tersebut diambil
secara aseptik dengan bantuan pinset. Potongan tersebut kemudian diinokulasikan
pada medium MEA (Malt Extract Agar) yang telah diberi antibiotik
kloramfenicol/ kemisitin 250 mg/l dalam cawan Petri berdiameter 9 cm dan agar
miring pada botol vilial 20 ml dan diinkubasikan pada 29(±1)oC selama 10 hari.
Miselium yang telah tumbuh dimurnikan dan diberi kode isolatnya sesuai dengan
kelompok basidiokarp yang diisolasi. Untuk melihat apakah isolat benar-benar
dari kelompok Basidiomiset maka diamati adanya sambungan apit pada miselium.
Kultivasi Pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon
Untuk memastikan bahwa yang diisolasi tersebut adalah pleurotoid
kelompok Pleurotus, selanjutnya biakan jamur tersebut dibuat bibit dengan cara
menumbuhkan miselium ukuran 100 mm2 pada media bibit dalam botol yang
berisi jewawut 23%, dedak 3%, kapur 0,4% dan serbuk gergajian 73,6% serta air.
Selanjutnya biakan tersebut diinkubasi di tempat gelap pada suhu kamar sampai
miselium telah tumbuh memenuhi media bibit dalam botol. Kemudian diambil
21
sebanyak satu sendok teh dari bibit (+ 10 gram) tersebut untuk diinokulasikan
pada media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong. Serbuk gergajian kayu
sengon diperoleh dari tempat penggergajian kayu di daerah Ciherang Bogor, tanpa
diketahui asal usul kayu, dan disimpan lebih kurang satu minggu sebelum dipakai
dalam penelitian.
Media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong terdiri atas 82,5%
serbuk gergajian yang ditambah 15% dedak, 1,5% gips, dan 1,0% kapur serta air
secukupnya. Tiap kantong plastik diisi sekitar 400 gram media dan disterilisasi
dalam drum kukus selama 7 jam. Media serbuk gergajian kayu sengon yang sudah
diinokulasi dengan bibit disimpan di ruang inkubasi. Kantong yang sudah
dipenuhi dengan miselium selanjutnya disimpan di ruang pemeliharaan/ruang
produksi sampai keluar tubuh buah. Percobaan ini dilakukan dengan 4-10
ulangan.
Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Eksplorasi Jamur Pleurotoid Kelompok Pleurotus
Hasil eksplorasi dan survei jamur selama bulan Mei 2004 di 14
wilayah/lokasi di Bogor disajikan dalam Tabel 1.1. Lokasi eksplorasi jamur dan
denahnya disajikan di Gambar 1.1. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan
jenis jamur pleurotoid yang umum ditemukan adalah genus Schizophillum,
Lentinus dan Crepidotus, kelompok Pleurotus dan genus Panellus hanya
ditemukan di kecamatan Ciherang (+ 501 m dpl). Sebanyak 24 isolat jamur
kelompok Pleurotus telah diisolasi (Tabel 1.2).
Kondisi umum areal di kecamatan Ciherang, dimana jamur kelompok
Pleurotus ditemukan merupakan areal kebun bekas areal penggergajian kayu yang
sudah ditinggalkan sekitar dua tahun sebelumnya. Tumpukan serbuk gergajian
sudah melapuk tersebut banyak ditanami dengan vegetasi pertanian, seperti pisang
dan ketela pohon (Ciherang A) dan areal penggergajian kayu campuran yang
masih aktif (Ciherang B) (Gambar 1.2).
22
Sumber:Bakosurtanal 2007 Keterangan: huruf merah: S=Schizophyllum; Pl=Pleurotus; Pa=Panellus; L=Lentinus; dan C=Crepidotus; huruf hitam: A. Kampus Darmaga IPB. B. Hutan CIFOR. C. lokasi penggergajian kayu di Ciampea. D. Areal perkampungan di Gunung Batu. E. Areal sekitar Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. F. Kebun Raya Bogor. G. Areal sekitar Biotrop. H. Kampung Muara. I. Gang Gudang Garam, Ciawi. J. Areal pedesaan dan tempat penggergajian kayu di Ciherang A. K. Ciherang B. L. Batu Kasur Taman Safari. M. Areal hutan di Gunung Luhur Cisarua. Gambar 1.1 Denah lokasi eksplorasi jamur pleurotoid (huruf hitam) dan jenis jamur
yang ditemukan (huruf merah).
Gambar 1.2 Kondisi tempat ditemukannya jamur kelompok Pleurotus. A. Ciherang A, areal bekas gergajian kayu yang sudah melapuk yang ditumbuhi dengan vegetasi tanaman pertanian. B. Ciherang B, tempat penggergajian yang masih aktif.
A B
SKALA 1:25 000
SKALA 1:25.000
SKALA 1:25.000
A
B
C
D
E F
S, L, C
S, C
S, C
S,
S, L, S, L,
SKALA 1:25.000
SKALA 1:25.000
SKALA 1:25.000
G H
I
J K
L
M
S, S, L
L
S, Pl, Pa, C
S, Pl, Pa
S, L, C
S, L
23
Tabel 1.1 Beberapa genus jamur pleurotoid pada beberapa lokasi di Kabupaten dan Kota Bogor pada bulan Mei 2004
Jamur pleurotoid yang ditemukan
No. Nama tempat Ketinggian
dpl Schizophyllum Pleurotus Panellus Lentinus Crepidotus
1. Kebun Raya Bogor 250 m dpl √ - - √ √
2. Hutan CIFOR 176 m dpl √ - - - √
3. Wilayah Ciomas 252 m dpl √ - - √ √
4. Haur Bentes, Jasinga 242 m dpl √ - - √ √
5. Gunung Batu 226 m dpl √ - - √ -
6. BIOTROP-Ciawi 392 m dpl √ - - √ -
7. Muara -Tajur 398 m dpl √ - - √ -
8. Ciawi 430 m dpl - - - √ -
9. Gunung Luhur Cisarua
1702 mdpl √ - - √ √
10. Taman-Safari, Cisarua 920 m dpl √ - - √ -
11. Ciampea 226 m dpl √ - - - √
12. Ciherang A 501 m dpl √ √ √ - √
13. Ciherang B 500 m dpl √ √ √ - -
14. Kampus IPB,
Darmaga
177 m dpl √ - - √ √
Deskripsi Umum Jamur Pleurotoid Selain Kelompok Pleurotus Yang Ditemukan di Daerah Bogor
Jamur pleurotoid selain kelompok Pleurotus di lapangan yang umum
ditemukan di daerah Bogor adalah Schizophillum spp., Lentinus spp., Panellus
spp., dan Crepidotus spp., deskripsi umum disertai gambar di lapangan dapat
dilihat pada Gambar 1.3, 1.4, 1.5 dan 1.6.
Schizophillum spp. Pileus seperti kipas. -Permukaan bagian tengah
berlekuk (depressed), di tengah sedikit berbulu (canescent). -Warna: abu-abu
(grey)-putih keruh (off white). –Diameter 1-4 cm. -Konsistensi lunak (muda)
dan kenyal (tua) berdaging. -Pinggiran (margin) menggulung ke arah himenium
(inrolled), dinding ruang antar lamela menonjol keluar, lamela yang lebih tua
tumbuh memanjang yang diikuti oleh lamela yang baru, bila pileus meluas oleh
pertumbuhan marjinal, ruang antar lamelanya secara berangsur-angsur melebar,
24
dan bila ruang telah mencapai luas tertentu pileus akan terbagi dua di tengah,
disebabkan oleh pembentukan lamela yang baru di dalamnya. Lamela (gills)
melanjut (decurrent) turun ke arah dasar tangkai, tidak seragam (Buller 1909;
Alexopoulos et al. 1996). -Spasi antar lamela dekat (close) + 20-40
lamela/tudung. -Warna lamela putih (whitish)–krem (creamy). –Anak lamela
(Serie of lamellulae) 3-5. -Tangkai (stipe) di sisi (lateral), pendek, berbulu. -
Warna tangkai pangkal-ujung krem-putih keruh (off white). -Panjang +0,3 cm,
diameter +0,5 cm. -Menempel pada substrat dengan rizomorf (rhizomorph). -Bau
(odor) tepung (meal). -Rasa (taste) hambar (mild). -Edibilitas, diketahui
edibel ketika masih muda. Jejak spora putih.
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 1.3 Penampakan tubuh buah Schizophillum spp. di lapangan. A. Asal Gunung Batu. B. Asal Kampus IPB Darmaga. Skala ( : 1 cm).
Lentinus spp. Pileus seperti kipas, sepert payung. -Permukaan bagian
tengah berlekuk, di tengah sedikit berbulu. -Warna: cokelat-krem, dengan bintik-
bintik teratur berwarna abu-abu atau hitam. –Diameter 3-8 cm. -Konsistensi
lunak (muda) dan kenyal (tua), berdaging putih, kenyal dan elastis. -Pinggiran
menggulung ke arah himenium (muda), lurus (tua), rata. Lamela melanjut turun
ke arah dasar tangkai, sempit (tidak lebar). -Spasi antar lamela dekat-sangat
rapat (very crowded) + 50-200 lamela/tudung. -Warna lamela putih –krem. -
Anak lamela 3-5. -Tangkai di sisi, tidak di tengah (eksentrik), padat,
panjang, halus, berbulu. -Warna tangkai pangkal-ujung cokelat-putih keruh. -
Panjang 1-4 cm, diameter +0,5-1,2 cm.
A B
25
-Menempel pada substrat dengan rhizomorph. -Bau tepung. -Rasa
hambar. -Edibilitas, diketahui edibel ketika muda. Jejak spora putih.
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 1.4 Penampakan tubuh buah Lentinus spp. di lapangan. A. Asal Ciawi. B. Asal Hutan Gunung Luhur. C. Asal Kebun Raya Bogor. D. Asal Gunung Batu. Skala ( : 1 cm).
Panellus spp. Pileus seperti kipas, seperti tiram. -Permukaan bagian
tengah berlekuk, di tengah sedikit berbulu. -Warna: cokelat warna kulit (ocker)-
abu-abu muda. –Diameter 1-4 cm. -Konsistensi lunak (muda) dan kenyal
(tua) berdaging putih-kuning pucat, kenyal dan elastis. -Pinggiran menggulung
ke arah himenium, rata. Lamela melanjut turun ke arah dasar tangkai,. -Spasi
antar lamela dekat-sangat rapat + 40-150 lamela/tudung. -Warna lamela
merah. - Anak lamela 3-5. -Tangkai di sisi, tidak di tengah, padat, pendek,
berbulu, berbatas jelas. -Warna tangkai pangkal-ujung lebih muda dari pileus
krem-putih keruh. -Panjang +0,3-2 cm, diameter +0,5 cm.
A B
DC
26
-Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -Rasa sangat
pahit. -Edibilitas, tidak diketahui edibel. Jejak spora putih.
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 1.5 Penampakan tubuh buah Panellus spp. di lapangan. A. Asal CiherangA. B. Asal CiherangB. Skala ( : 1 cm).
Crepidotus spp. Pileus seperti kipas, lonceng, ginjal dan tiram. -
Permukaan bagian tengah berlekuk, basah-gelatinous, di tengah sedikit berbulu. -
Warna: beige-putih keruh, ocker-abu cokelat. –Diameter 1-4 cm. -
Konsistensi lunak (muda) dan berdaging kenyal, tipis . -Pinggiran
menggulung ke arah himenium, rata. Lamela melanjut turun ke arah dasar
tangkai,. -Spasi antar lamela dekat + 20-40 lamela/tudung. -Warna
lamela putih–krem. Anak lamela 3-5. -Tangkai di sisi, sangat pendek, tidak
nampak. -Warna tangkai krem-putih keruh. -Panjang +0,3 cm, diameter +0,3
cm. -Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -Rasa tidak
diketahui. -Edibilitas, tidak diketahui edibel. Jejak spora cokelat.
A B
27
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 1.6 Penampakan tubuh buah Crepidotus spp. di lapangan asal hutan
Gunung Luhur Cisarua, Bogor. Skala ( : 1 cm).
Deskripsi Umum Jamur Kelompok Pleurotus Yang Ditemukan di Daerah Bogor
Sebanyak 24 isolat Jamur kelompok Pleurotus telah berhasil ditemukan di
daerah Bogor. Ciri-ciri makroskopis dari kelompok Pleurotus yang ditemukan
secara ringkas dijelaskan pada Tabel 1.2 dan pemberian nama isolat menggunakan
kode, Pleurotus EA1, Pleurotus EA2 dan seterusnya.
Gambar 1.7 memperlihatkan penampakan isolat-isolat Pleurotus EA1,
Pleurotus EA2, Pleurotus EA3, Pleurotus EA4, Pleurotus EA5. Penampakan
tubuh buah Pleurotus EB6, Pleurotus EAB7, Pleurotus EA8, Pleurotus EA9, dan
Pleurotus EA10 disajikan pada Gambar 1.8. Penampakan tubuh buah Pleurotus
EA11, Pleurotus EA12, Pleurotus EAB13, Pleurotus EB14-2 dan Pleurotus EB15
disajikan pada Gambar 1.9. Penampakan tubuh buah Pleurotus EB21, Pleurotus
EB24, Pleurotus EB27 dan Pleurotus EB28 disajikan pada Gambar 1.10. Isolat-
isolat kelompok Pleurotus mempunyai ciri-ciri makroskopis hampir sama kecuali
pada ukuran diameter tudung dan warna pileus segar ketika masih kecil/muda.
Namun, Pleurotus EB9 mempunyai banyak perbedaan terutama warnanya yang
merah muda, Pleurotus EB16, Pleurotus EB17 dan Pleurotus EB18 mempunyai
warna pileus merah muda dan jejak spora cokelat. Deskripsi isolat kelompok
Pleurotus secara makroskopis pada Pleurotus EA1, Pleurotus EB9 dan Pleurotus
EB16 diuraikan lebih rinci.
28
Tabel 1.2 Isolat kelompok Pleurotus yang ditemukan di daerah Ciherang Bogor
No. Kode Keterangan Ciri-ciri tudung: bentuk, warna, diameter terkecil-terbesar (cm). Konsistensi. Pinggiran. Tekstur daging. Panjang dan diameter tangkai (cm). Jejak spora
1. Pleurotus EA1 Lokasi A 1) Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,2)-(2-3,5). Lunak, tipis. Bergelombang. Daging tudung rapuh. (0,6-1), (0,9-1,0). Putih.
2. Pleurotus EA2 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,7)-(2-2,3). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,3). Putih.
3. Pleurotus EA3 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,6)-(3-4,8). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,6). Putih.
4. Pleurotus EA4* Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,4)-(2,5-3,2). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1,2), (0,6-1,6). Putih.
5. Pleurotus EA5 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal, seperti sendok sepatu. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,6)-(3-4,3). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-1),(0,9-1,3). Putih.
6. Pleurotus EA6 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat-putih keruh, (1-1,7)-(2,3-5,2). Keras, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,9). Putih
7. Pleurotus EB6* Lokasi B 2) Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan-putih keruh, (0,5-2,0)-(3-4,3). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-1,2),(1,1-1,4). Putih.
8. Pleurotus EAB7* Lokasi A Seperti tiram, sendok, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan -putih keruh, (0,7-1,2)-(1,6-2,8). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-0,9), (0,6-1,3). Putih.
9. Pleurotus EA8 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,3)-(3-4,5). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,7). Putih.
10. Pleurotus EA9 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,7)-(2,7-3,0). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,8-1,3). Putih.
11. Pleurotus EB9* Lokasi B Seperti tiram, kipas, ginjal. Merah muda (pink)-putih keruh, (1,4-2,8)-(3-4). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (1,45-2), (0,38-1,2). Merah muda.
12. Pleurotus EA10 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat-putih keruh, (1-1,7)-(2,7-4,0). Keras, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-0,8),(0,8-1,6). Putih.
13. Pleurotus EA11 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat-putih keruh, (1-1,7)-(2-2,8). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-0,8), (0,8-1). Putih.
14. Pleurotus EA12 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,1)-(1,2-1,5). Lunak, tipis. Rata. Daging tudung rapuh. (0,6-0,7), (0,9-1,0). Putih.
29
Tabel 1.2 (lanjutan)
No. Kode Keterangan Ciri-ciri tudung: bentuk, warna, diameter terkecil-terbesar (cm). Konsistensi. Pinggiran. Tekstur daging. Panjang dan diameter tangkai (cm). Jejak spora
15. Pleurotus EAB13 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,5)-(2-3,5). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,3). Putih.
16. Pleurotus EB14-2* Lokasi B Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,6)-(3-6). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,5). Putih.
17. Pleurotus EB15 Lokasi B Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,2)-(2-4,5). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,3). Putih.
18. Pleurotus EB16 Lokasi B Seperti payung. Merah muda-putih keruh, (1-1,5)-(2,2-2,3). Lunak, tipis. Rata. Daging tudung rapuh. (1,45-2), (0,4-0,6). Cokelat.
19. Pleurotus EB17 Lokasi B Seperti payung. Merah muda-putih keruh, (1-1,5)-(2,2-2,7). Lunak, tipis. Rata. Daging tudung rapuh. (1,5-1,7), (0,3-0,6). Cokelat.
20. Pleurotus EB18 Lokasi B Seperti payung. Putih keruh, (1-1,1)-(1,2-1,4). Lunak, tipis. Rata. Daging tudung rapuh. (1,5-2), (0,3-0,6). Cokelat.
21. Pleurotus EB21 Lokasi B Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1,5-1,7)-(2-4,5). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1,2), (0,8-1,4). Putih.
22. Pleurotus EB24* Lokasi B Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan-putih keruh, (1,4-2,4)-(2,5-3). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-2,5), (1-1,8). Putih.
23. Pleurotus EAD27 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan-putih keruh, (0,5)-(3,3). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,3-0,5), (1). Putih.
24. Pleurotus EBB28 Lokasi B Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan-putih keruh, (1,4-1,5)-(3-5,5). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,5). Putih.
1) Areal pedesaan dan tempat penggergajian kayu di Ciherang A 2) Areal pedesaan dan tempat penggergajian kayu di Ciherang B * Yang berhasil membentuk tubuh buah seperti Pleurotus
Pleurotus EA1. Pileus seperti tiram, seperti kipas-ginjal. -Permukaan
bagian tengah berlekuk, basah-gelatinous tapi tidak lengket (ketika basah), di
tengah sedikit berbulu. -Warna: cokelat muda (pale brown)-putih keruh. –
Diameter terkecil 1-1,2 cm dan terbesar 2-3,5 cm. -Konsistensi lunak. -
Pinggiran menggulung ke arah himenium (inrolled) (muda) lurus (tua),
bergelombang (wavy)–bergaris (strite-slighly) (tua). -Daging tudung putih,
tipis, rapuh (tua). -Lamela melanjut turun ke arah dasar tangkai, menyempit
30
(narrow). -Spasi antar lamela dekat–sangat rapat + 20-140 lamela/tudung. -
Warna lamela putih–krem (creamy). - Anak lamela 2-6. -Tangkai di sisi,
tidak di tengah, padat, pendek, halus, berbulu. -Warna tangkai pangkal-ujung
krem-putih keruh. -Panjang 0,6-1 cm, diameter 0,9-1,0 cm. -Menempel pada
substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -Rasa hambar. -Edibilitas, tidak
diketahui. Jejak spora putih.
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 1.7 Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EA1 sampai EA6 di
lapangan. A. Pleurotus EA1. B. Pleurotus EA2. C. Pleurotus EA3. D. Pleurotus EA4. E. Pleurotus EA5. F. Pleurotus EA6. Skala ( : 1 cm).
A B
C D
1 cm 1 cm
1 cm 1 cm
E
1 cm
F
1 cm
31
Pleurotus EB9. Pileus seperti tiram, seperti kipas -ginjal. -Permukaan
bagian tengah berlekuk, tidak ada ornamentasi (glabrus). –Warna merah muda
(pink)-putih keruh, kuning (tua). -Diameter terkecil 1,4-2,8 cm dan terbesar 3-4
cm. -Konsistensi lunak dan berdaging. -Pinggiran menggulung ke arah
himenium (muda), lurus (tua), bergelombang–bergaris (tua). -Daging tudung
putih, tebal, kenyal (tua). -Lamela melanjut turun ke arah dasar tangkai. -Spasi
antar lamela dekat–sangat rapat, +40-150 lamela/tudung. –Warna lamela
putih–krem. - Anak lamela 2-7. -Tangkai di sisi, tidak di tengah, melancip ke
bawah, padat, pendek-panjang, halus, tak ada ornamentasi. -Warna pangkal-
ujung, krem-putih keruh. -Panjang 1,45-2 cm. -Diameter 0,38-1,2 cm.
Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -Rasa hambar. –
Edibilitas, dimakan oleh masyarakat sekitar Ciherang Kabupaten Bogor.
Jejak spora putih-merah muda.
Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok atau serumpun
(caespitose) pada serbuk gergajian kayu campuran seperti akasia, jeunjing, kayu
merah, karet dan sebagainya yang sudah lapuk di tempat penggergajian, Bogor.
Koleksi –oleh Elis Nina Herliyana: -Indonesia, Jawa-Barat, desa
Ciherang, Kabupaten Bogor, Mei 2004.
Pleurotus EB16. Pileus seperti payung. -Permukaan bagian tengah
berlekuk, tidak ada ornamentasi (glubrus). –Warna merah muda (pink)-putih
keruh. -Diameter terkecil 1,0-1,5 cm dan terbesar 2,2-2,3 cm. -
Konsistensilunak dan berdaging. -Pinggiran menggulung ke arah himenium
(muda), lurus (tua), bergelombang–bergaris (tua). -Daging tudung putih, tipis,
rapuh (tua). -Lamela melanjut turun ke arah dasar tangkai. -Spasi antar
lamela dekat–sangat rapat, +40-70 lamela/tudung. –Warna lamela putih–
krem. - Anak lamela 2-4. -Tangkai di tengah, silinder, padat, panjang, halus,
tak ada ornamentasi. -Warna pangkal-ujung, krem-putih keruh. -Panjang 1,45-2
cm. -Diameter 0,38-0,6 cm. Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau
tepung. -Rasa hambar. –Edibilitas, tidak dketahui. Jejak spora cokelat.
32
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 1.8 Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EB6 sampai EA10 di
lapangan. A. Pleurotus EB6. B. Pleurotus EAB7. C. Pleurotus EA8. D. Pleurotus EA9. E. Pleurotus EB9. F. Pleurotus EA10. Skala ( : 1 cm).
A B
C D
E F
1 cm 1 cm
1 cm 1 cm
1 cm 1 cm
33
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 1.9 Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EA11 sampai EB16 di
lapangan. A. Pleurotus EA11. B. Pleurotus EA12. C. Pleurotus EAB13. D. Pleurotus EB14-2. E. Pleurotus EB15. F. Pleurotus EB16. Skala ( : 1 cm).
C
A B
D
E F
1 cm 1 cm
1 cm 1 cm
1 cm 1 cm
34
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 1.10 Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EB17 sampai EBB28 di
lapangan. A. Pleurotus EB17. B. Pleurotus EB18. C. Pleurotus EB21. D. Pleurotus EB24. E. Pleurotus EAD27. F. Pleurotus EBB28. Skala ( : 1 cm).
Hasil Isolasi Kelompok Pleurotus Dari Basidiokarp
Hasil isolasi pada media menunjukkan jamur seperti kelompok Polypore
yang berwarna kuning dan juga Schyzophyllum spp., sering menjadi penyebab
tidak berkembangnya jamur liar di dalam media buatan. Hal tersebut diduga
karena miselium jamur seperti kelompok Polypore dan Schyzophyllum spp.
mempunyai laju pertumbuhan yang lebih cepat (+1,0 cm/hari) dibanding jamur
liar kelompok Pleurotus (+0,1 cm/hari) (Gambar 1.11).
A B
C
D
E F
1 cm 1 cm
1 cm 1 cm
1 cm 1 cm
35
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 1.11 Kultur murni kelompok Pleurotus setelah inkubasi 10 hari pada
media MEA. A. Isolat yang membentuk tubuh buah seperti Pleurotus: 1. Pleurotus EB14-2. 2. Pleurotus EB24. 3. Pleurotus EA4. 4. Pleurotus EB9. 5. Pleurotus EB6. 6. Pleurotus EAB7; B. Isolat yang membentuk tubuh buah seperti kelompok Polypore: 1. Pleurotus EB15. 2. Pleurotus EA2. 3. Pleurotus EA3. 4. Pleurotus EA5. 5. Pleurotus EA9. 6. Pleurotus EA8.
Kemungkinan terjadinya mating di lapang antara kelompok Pleurotus
dengan kelompok Polypore cukup besar. Hal ini karena miselium yang mampu
melakukan plasmogami dan pertukaran inti dengan jenis miselium lainnya yang
berbeda secara genetik namun bersifat kompatibel. Jamur yang telah melakukan
mating (kawin) di lapang mepunyai sifat dominan atau resesif, sehingga pada
kondisi tertentu yang muncul adalah salah satu jenis induknya. Sebanyak 11 isolat
yaitu: Pleurotus EA2, Pleurotus EA3, Pleurotus EA5, Pleurotus EA8, Pleurotus
EA9, Pleurotus EA11, Pleurotus EAB13, Pleurotus EB15, Pleurotus EB21,
Pleurotus EAD27 dan Pleurotus EBB28 menghasilkan tubuh buah seperti
kelompok Polypore. Karakter miseliumnya dalam kultur berbeda-beda dan dapat
menjadi indikasi bahwa isolat berbeda secara genetik (Gambar 1.11 bagian B).
Kesulitan dalam mengisolasi jamur liar di lapangan selain jamur yang
memerlukan adaptasi dan belum diketahui media optimumnya, juga kemungkinan
disebabkan kontaminasi oleh jamur lain (Gambar 1.12).
Sebanyak 17 isolat dikulturkan dan ditumbuhkan pada media serbuk
gergajian kayu sengon untuk diamati pembentukan tubuh buahnya. Pemilihan
ketujuh-belas isolat berdasarkan pada ukuran tubuh buah sedang – besar,
penampilan menarik untuk edible. Ketujuh-belas isolat tersebut adalah Pleurotus
EA2, Pleurotus EA3, Pleurotus EA4, Pleurotus EA5, Pleurotus EB6, Pleurotus
EAB7, Pleurotus EA8, Pleurotus EA9, Pleurotus EB9, Pleurotus EA11,
B
A 1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6
36
Pleurotus EAB13, Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB15, Pleurotus EB21,
Pleurotus EB24, Pleurotus EAD27 dan Pleurotus EBB28.
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 1.12 A. Tubuh buah kelompok Pleurotus di lapangan bersamaan
tumbuh dengan jamur kelompok polypore berwarna kuning (tanda panah putih). B. Pleurotus EA5 yang membentuk tubuh buah seperti kelompok polypore. Skala ( : 1 cm).
Sebanyak enam isolat dari 17 isolat tersebut berhasil membentuk tubuh
buah yaitu Pleurotus EB9, Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4,
Pleurotus EAB7, dan Pleurotus EB6 (Tabel 1.2 dan Gambar 1.13).
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 1.13 Isolat kelompok Pleurotus yang berhasil membentuk tubuh buah
seperti Pleurotus. A. Pleurotus EB14-2. B. Pleurotus EB24. C. Pleurotus EA4. D. Pleurotus EAB7. E. Pleurotus EB6. F. Pleurotus EB9.
A B C
D E F
A B
1 cm
37
Pembahasan
Jamur pleurotoid umumnya dibedakan berdasarkan stature types yang
memudahkan dalam identifikasi jamur di lapangan. Kedua puluh empat isolat
kelompok Pleurotus yang ditemukan di lapang di areal Bogor mempunyai ciri-ciri
penting jamur pleurotoid yaitu : a) tidak mempunyai cincin, b) tidak mempunyai
volva, c) konsistensi tangkai padat, d) attachment tangkai, pendek atau absen
(pinggir, kurang dari 2 cm), eksentrik atau lateral, e) attachment lamela, melanjut
(deccurent), f) bentuk (shape) pileus (tudung) agak membulat, lonjong dan
melengkung seperti cangkang tiram dan g) tipe pinggiran pileus inrolled (muda)
dan lurus (straight) (tua) dan bergelombang (wavy)–bergaris (strite-slighly) (tua)
(Largent 1973).
Bentuk pileus agak membulat, lonjong dan melengkung seperti cangkang
tiram merupakan karakter penting untuk membedakan kelompok Pleurotus ini.
Warna pileus umumnya adalah putih keruh- coklat, ada juga yang berwarna abu-
abu, dan merah muda (pink). Warna pileus merupakan penciri yang penting pada
tingkat spesifik dan intraspesifik, seperti dalam Methuen handbook of Color
(1984) (Kornerup dan Wanscher 1967 dalam Alexopoulos et al. 1996).
Lamela jamur kelompok Pleurotus berkembang dengan baik. Lamela
menempel pada tangkai dengan cara melanjut. Spasi lamela dibedakan
berdasarkan jumlah lamela lengkap dan anak lamela. Jumlah lamela berkisar
antara + 20-200 lamela per tudung, dengan spasi antar lamela dekat–sangat rapat
dan mempunyai anak lamela 2-7 seri. Pada umumnya, anak lamela terdapat pada
Agaricales, walaupun seringkali tidak berkembang dengan sempurna
(Alexopoulos et al. 1996). Lamela berwarna putih–krem sama dengan warna tepi
lamela (non-marginate). Lebar lamela kelompok Pleurotus antara agak lebar
sampai lebar (0,5-1,5 mm).
Bentuk tangkai isolat-isolat yang ditemukan ada yang berbentuk silinder
atau mengecil ke bawah (Pleurotus EA9). Letak (attachment) tangkai di pinggir,
eksentrik atau lateral, dengan ukuran pendek atau absen (kurang dari 2 cm). Besar
kecilnya ukuran tangkai tergantung pada setiap marga. Letak tangkai ini
merupakan tipe stature terpenting bagi jamur pleurotoid (Largent 1973). Sifat
permukaan tangkai, merupakan karakter penting untuk membedakan taksa. Hiasan
38
pada tangkai berhubungan erat dengan ada tidaknya karakter mikroskopik. Variasi
hiasan yang pada umumnya berada di bagian bawah, tengah atau atas pada
tangkai seperti gundul (glubrus), menyerbuk es, membeledu, berbulu sikat atau
fibrilose (Largent 1973). Pada isolat-isolat yang ditemukan, permukaan
tangkainya tidak mempunyai variasi pada tangkai, halus (smooth) dan juga ada
yang berbulu. Warna tangkai dari pangkal sampai ke ujung adalah krem-off white.
Cara menempel pada substrat atau media tumbuh secara insititious, yaitu dengan
rhizomorph atau modifikasi miselium. Rizomorf biasanya tumbuh dekat tangkai,
umumnya rizomorf tebal, berwarna gelap. Marasmius crinis-equi,
M. nigrobrunneus (Pat.) Sacc., Micromphale brevipes (Berk. & Rav.) Sing., dan
Crinipellis spp. membentuk hubungan rhizomorphs di bawah tajuk yang
merangkap dan mendekomposisi bagian serasah yang jatuh secara nyata (Pegler
1983).
Menurut Brown (1981), spesies Crepidotus, yang mirip pleurotoid, tidak
termasuk jamur pleurotoid, karena mempunyai jejak spora berwarna coklat.
Dalam penelitian ini pada beberapa tempat ditemukan Crepidotus, seperti di
Kebun Raya Bogor, Kampus IPB Darmaga dan juga di sekitar Gunung Luhur
Cisarua. Jejak spora jamur kelompok Pleurotus dalam penelitian ini umumnya
berwarna putih, namun setelah diamati lebih teliti ternyata jejak spora Pleurotus
EB9 berwarna putih-pink muda. Menurut Brown (1981), spesies pleurotoid
mempunyai jejak spora yang umumnya putih tetapi Phyllotopsis nidulans
mempunyai jejak spora dengan warna light cinnamon reddish atau pinkish,
P. longinquus mempunyai spora berwarna dingy yellow-cream, H. tessellatus
mempunyai jejak spora berwarna buff, Panellus serotinus mempunyai jejak spora
kuning dan spesies kompleks P. ostreatus mungkin mempunyai jejak spora yang
berwarna lilac-tinged. Basidiospora dari Hohenbuehelia, Ossicaulis,
Pleurocybella, Pleurotus, Panus, Phyllotopsis, dan Resupinatus adalah non-
amyloid, sedangkan basidiospora dari Cheimonophyllum dan Panellus adalah
amyloid.
Beberapa isolat Pleurotus juga biasa dimakan oleh masyarakat sekitar
areal tersebut terutama yang tumbuh pada serbuk gergajian kayu campuran seperti
akasia, sengon, kayu merah dan karet. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa
39
jamur kelompok Pleurotus banyak tumbuh di areal konifer dan kayu daun lebar
dan diketahui beberapa spesiesnya bersifat edible, diantaranya yang terkenal
adalah Pleurotus spp. (Brown 1981; Largent 1973). Selain kelompok Pleurotus,
jenis lain seperti Schizophyllum spp., Lentinus spp. juga biasa dimakan khususnya
yang masih muda, karena setelah tua akan menjadi kenyal atau liat.
Media tumbuh jamur merupakan karakter penting untuk membedakan
beberapa marga. Jamur dapat tumbuh pada habitat spesifik, beberapa jenis dapat
tumbuh pada beberapa macam media tumbuh, seperti daun, kayu atau tanah.
Jamur dapat tumbuh dimana-mana. Pada umumnya jamur tumbuh di tanah, kayu
yang lapuk ataupun masih hidup, daun yang lapuk atau ranting secara
bergerombol (gregarious), tersebar atau hidup sendiri (solitary). Sebagai
organisme heterotrof, jamur dapat mengambil bahan organik yang diperlukan
untuk pertumbuhannya dari organisme lain. Selama bahan-bahan organik tersedia
di suatu tempat, jamur akan tumbuh dengan baik (Alexopoulos et al. 1996).
Isolat-isolat jamur kelompok Pleurotus yang ditemukan di lapang
umumnya ditemukan tubuh buah yang berkelompok, berkerumun, bersusun
seperti rak, jarang ditemukan secara tunggal. Habitatnya umumnya pada serbuk
gergajian kayu campuran yang sudah lapuk di tempat penggergajian kayu, Bogor.
Kelompok Pleurotus bersama spesies-spesies lainnya Trechispora dan
Leptosporomyces, Caripi, Deflexula, Fistulina, Polyporus, dan Porodisculus
merupakan jamur pendegradasi kayu dengan tubuh buah yang mudah rusak atau
busuk dalam beberapa jam dan mudah ditumbuhi oleh jamur lainnya (ephemeral)
(Watling dan Gregory 1989).
Jamur ephemeral memerlukan penanganan segera baik untuk koleksi
kering maupun untuk diisolasi pada media buatan. Oleh karena itu, ketika
eksploitasi, pemotretan di lapangan (habitat asli), kemudian pengukuran dan
pencatatan karakter makroskopik dilakukan pada saat jamur dalam kondisi masih
segar. Jejak spora dilakukan sejak di lapangan segera setelah dicabut. Selama di
perjalanan menuju Laboratorium di IPB, tubuh buah jamur tersebut disimpan
dalam kotak bertutup rapat, agar kelembaban tubuh buah tetap terjaga dan spora
akan jatuh pada kertas berwarna tersebut. Biasanya dalam beberapa jam sampai
40
satu hari (+ 5 -24 jam) jejak spora akan terlihat pada kertas berwarna gelap
tersebut.
Isolat-isolat kelompok Pleurotus liar tersebut lebih sulit diisolasi dan
mempunyai laju pertumbuhan miselium pada media agar yang lambat. Namun
pada kultivasi dengan media serbuk gergajian kayu, isolat-isolat tersebut dapat
tumbuh relatif baik dan cepat. Pengambilan bahan untuk kultur berupa daging
buah, untuk memperoleh isolat yang sama dengan induk. Kesulitan lainnya dalam
mengisolasi jamur kelompok Pleurotus liar di lapangan selain jamur yang
memerlukan adaptasi dan belum diketahui media optimumnya, juga kemungkinan
disebabkan persaingan oleh jamur lain seperti jenis Polypore yang juga tumbuh di
lapangan. Di lapangan, jamur kelompok polypore hidup bersama-sama dengan
jamur kelompok Pleurotus.
Simpulan
Beberapa jenis jamur pleurotoid yang ditemukan adalah Schizophillum
spp., Lentinus spp., Panellus spp., Crepidotus spp.. Kelompok Pleurotus hanya
ditemukan dari satu daerah yaitu di areal kebun dan tempat penggergajian kayu di
kecamatan Ciherang (+ 501 m dpl). Sekitar 24 isolat jamur pelapuk putih
pleurotoid kelompok Pleurotus telah diisolasi dan 17 isolat diantaranya dikultivasi
pada media serbuk gergajian kayu sengon. Enam isolat kelompok Pleurotus
diantaranya dapat membentuk tubuh buah seperti Pleurotus pada media serbuk
gergajian kayu sengon, yaitu Pleurotus EB9, Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24,
Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7 dan Pleurotus EB6. Isolat jamur kelompok
Pleurotus dari lapangan relatif sulit diisolasi dan mempunyai laju pertumbuhan
miselium pada media agar yang lambat.
2. KARAKTER FISIOLOGIS JAMUR PELAPUK PUTIH KELOMPOK Pleurotus ASAL BOGOR
(Physiological Characters of White-rot Fungi of Pleurotus Group from Bogor)
Abstrak
Beberapa isolat kelompok Pleurotus liar telah diisolasi dari beberapa lokasi di Bogor. Enam isolat diantaranya yaitu Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB9 diteliti lebih jauh untuk mengetahui karakter fisiologisnya. Pleurotus ostreatus HO digunakan sebagai pembanding standar. Karakterisasi fisiologi mencakup laju pertumbuhan koloni, reaksi oksidasi, bobot basah total, efisiensi biologi, lama fase vegetatif dan reproduktif. Laju pertumbuhan koloni diamati pada media PDA, MEA, MPA, pada suhu media 10(+1)oC, 20(+1)oC, 29(+1)oC dan 35(+1)oC, dan dengan pH media 5, 6 dan 7. Reaksi oksidasi diuji dengan menggunakan media malt yang mengandung asam galat (AAG) dan asam tanat (AAT). Bobot basah hasil panen total, efisiensi biologi, lama fase vegetatif dan reproduktif diamati pada media serbuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dalam kantong dengan bobot sekitar 400 gram.
Penampakan koloni pada media kultur, suhu media dan pH media optimum sebagai variabel menunjukkan perbedaan dalam laju pertumbuhan koloni ketujuh isolat. Laju pertumbuhan koloni kelima isolat yaitu Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, dan EB6 termasuk lambat (kurang dari 2,0 mm/hari). Laju pertumbuhan koloni Pleurotus EB9 termasuk sedang (2,3-3,4 mm/hari) dan laju pertumbuhan koloni P. ostreatus HO termasuk cepat (6,1-7,9 mm/hari). Seluruh isolat dapat tumbuh pada media MPA, MEA dan PDA, serta tumbuh optimal pada temperatur sekitar 20-29(+1)oC dengan pH media antara pH 6-7. Reaksi oksidasi yang positif pada media AAG dan AAT menunjukkan semua isolat merupakan jamur pelapuk putih. Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 merupakan jamur pelapuk putih potensial karena mempunyai reaksi oksidasi pada media AAG dan AAT yang cukup kuat.
Isolat kelompok Pleurotus liar juga menunjukkan variasi yang lebar dalam rata-rata bobot basah hasil panen total (34,8-142,4 gram), efisiensi biologis (EB) (29,1-119,0%), lama fase vegetatif (14,0-83,0 hari), lama fase reproduktif atau lama panen (112,5-199,0 hari), dan jumlah panen (4,0-6,0 kali). Pleurotus EB9 mempunyai lama fase vegetatif yang paling singkat.
Analisis kelompok isolat berdasarkan karakterisasi fisiologi menunjukkan bahwa Pleurotus EB9 berbeda dengan kelima isolat lainnya, dan lebih dekat dengan P. ostreatus HO.
Kata-kata Kunci: Bogor, kelompok Pleurotus, karakter fisiologi.
42
Abstract
In Bogor, isolates of wild Pleurotus group were isolated from various regions. Six isolates among them, namely: Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 and Pleurotus EB9, were characterized physiologically including the growth rate colony, oxidation reaction, total biomass, biological efficiency, vegetative and reproductive phases by using isolate of P. ostreatus HO as a standard comparison. The growth rate of the fungi was observed on media PDA, MEA, MPA with temperatures of 10(+1)oC, 20(+1)oC, 29(+1)oC and 35(+1)oC, and media pH of 5, 6 and 7. The oxidation reaction was conducted using malt media with galat acids (AAG) and tannic acid (AAT). Total fresh weight, biological efficiency, vegetative and reproductive phases were observed on sengon (P. falcataria) wood sawdust media with weight about 400 gramm.
Performance of colony on optimum culture media, temperatures and pH as variables varies, showing differences in growth rate colony of the seven isolates. Growth rate colony of five isolates of Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7 and EB6 were slow (less of 2,0 mm/days). Those of Pleurotus EB9 was moderate (2,3-3,4 mm/days) and those of P. ostreatus HO was fast (6,1-7,9 mm/days). Positive oxidation reaction on AAG and AAT media showing that all isolates including white-rot fungi. Pleurotus EB9 and Pleurotus EA4 were potentially white-rot fungi with moderatelly strong reaction on media AAG and AAT.
Wild Pleurotus group also showed wide variation in terms of total biomass (34,8-142,4 gram), biological efficiency (29,1-119,0%), average time of vegetative phase (14,0-83,0 days), reproductive phase (112,5-199,0 days) and harvest frequency (4,0-6,0 times). Vegetative phase period of Pleurotus EB9 is the shortest.
Analysis cluster of the isolates based on physiological characterization showed that Pleurotus EB9 was different with five other isolates, but closer to P. ostreatus HO.
Keywords: Bogor, Pleurotus group, physiology character.
43
Pendahuluan
Saat ini penelitian untuk menemukan isolat unggul jamur baru yang dapat
dikembangkan untuk berbagai keperluan terus dilakukan oleh para peneliti.
Pengetahuan dasar mengenai fisiologi tiap jenis jamur merupakan langkah yang
penting yang harus dilakukan untuk mendapatkan isolat yang paling efisien.
Salah satu jamur pelapuk kayu yang berpotensi mendegradasi lignin adalah
kelompok Pleurotus. P. ostreatus diketahui mendegradasi lignin lebih efisien
dibanding Phanerochaete chrysosporium dan berpotensi besar untuk industri pulp
(Kerem et al. 1992; Hadar et al. 1993).
Jamur pelapuk kayu untuk perkembangannya selain dipengaruhi oleh
struktur dan komposisi kimia kayu, juga dipengaruhi oleh faktor nutrisi dan
faktor-faktor lingkungan lainnya seperti suhu, pH dan kelembaban serta karbon
(C) dalam bentuk senyawa organik. Karbon dibutuhkan oleh jamur sebagai
penyusun senyawa-senyawa yang ada di dalam sel. Proses degradasi lignin oleh
jamur pelapuk kayu tidak akan terjadi tanpa ketersediaan karbon dalam jumlah
yang cukup dan lignin merupakan salah satu sumber karbon (Highley dan Kirk
1979). Degradasi lignin oleh jamur pelapuk putih terjadi secara oksidatif, dengan
O2 sebagai sumber energi oksidasi (Kirk dan Farre 1987 dalam Reid et al. 1990).
Pada penelitian sebelumnya, enam isolat yang ditemukan dapat
membentuk tubuh buah pada media serbuk gergajian kayu sengon. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mempelajari sifat-sifat fisiologi enam isolat kelompok
Pleurotus tersebut.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2004 sampai Januari 2006 di
Laboratorium Patologi Hutan, Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan,
Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, Pusat Studi Ilmu Hayat, Laboratorium
Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, dan di Rumah
Jamur Departemen Biologi FMIPA, IPB.
44
Uji Pertumbuhan Isolat Kelompok Pleurotus pada Media Agar
Jenis Media. Keenam isolat kelompok Pleurotus diperbanyak pada media
MEA untuk selanjutnya digunakan dalam pengujian sifat-sifat fisiologi ini.
P. ostreatus HO digunakan sebagai pembanding standar (Gambar 2.1). Koloni
miselium isolat uji dipotong dengan cork borer (diameter 7 mm) dan dikulturkan
pada media Potato Dextrose Agar (PDA), Malt Extract Agar (MEA) 1,5% dan
Malt Peptone Agar (MPA) 1,5%. Formula media PDA: 30 gram Potato Dektrose
Agar dan 1 liter air destilata. Formula MEA: 15 gram malt ekstrak, 16 gram agar
batang dan 1 liter air destilata. Formula MPA: 15 gram malt ekstrak, 20 gram D
(+) Glucose (Monohydrat), 5 gram Bacteriological Pepton, 16 gram agar batang
dan 1 liter air destilata. Medium PDA, MEA dan MPA dibuat dengan melarutkan
semua bahan ke dalam 1 liter air destilata, kemudian diaduk rata dan dipanaskan
sampai mendidih. Larutan media kemudian diautoklaf pada tekanan 15 psi, suhu
121oC selama 15 menit. Setelah larutan media agak dingin, sebanyak 16 ml
ditempatkan dalam cawan Petri steril berdiameter 90 mm.
Selanjutnya isolat jamur tersebut diinkubasi pada suhu kamar 29(+1)oC.
Laju pertumbuhannya diukur berdasarkan diameter koloni miseliumnya setiap
hari selama sepuluh hari inkubasi.
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 2.1 Penampakan kultur isolat-isolat kelompok Pleurotus. a. Pleurotus
EB14-2. b. Pleurotus EB24. c. Pleurotus EA4. d. Pleurotus EAB7. e. Pleurotus EB6. f. Pleurotus EB9. g. P. ostreatus HO pada media MEA umur 10 hari.
a b c
d e f g
45
Suhu Media. Masing-masing isolat kelompok Pleurotus ditumbuhkan
pada media optimum dengan perlakuan suhu, yaitu: 10(+1)oC, 20(+1)oC,
29(+1)oC dan 35(+1)oC.
Nilai pH Media. Potongan koloni isolat Pleurotus dari masing-masing
isolat diinokulasikan pada media optimum, yang diberi perlakuan pH yang
berbeda, yaitu pH 5, 6 dan 7. Nilai pH ditentukan dengan menambahkan NaOH
0,1 M dan HCL 0,1 M. Nilai pH media sebelum disterilisasi telah ditetapkan yaitu
pH 5, 6 dan 7, namun setelah sterilisasi terjadi penurunan masing-masing secara
berurutan menjadi pH 5,0, pH 5,9 dan pH 6,8. Selanjutnya masing-masing isolat
jamur tersebut diinkubasi pada suhu optimal dan diukur laju pertumbuhannya
berdasarkan diameter koloni miselium setiap hari selama sepuluh hari inkubasi.
Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak 3 ulangan.
Reaksi Oksidasi pada Media AAG dan AAT. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui adanya produksi enzim ekstraseluler oksidase oleh isolat
kelompok Pleurotus. Reaksi oksidasi dilakukan dengan menumbuhkan setiap
isolat pada medium agar 0,5% asam galat (AAG) dan medium agar 0,5% asam
tanat (AAT). Reaksi yang terbentuk diamati secara visual dengan menggunakan
deskripsi Davidson et al. (1938 dalam Nobles 1948).
Formula media AAG atau AAT: 15 gram ekstrak malt, 20 gram agar, 1000
ml air destilata dan 5 gram asam galat atau asam tanat (Nobles, 1948). Medium
AAG dan AAT dibuat dengan melarutkan semua bahan ke dalam 850 ml air
destilata kecuali asam galat dan asam tanat, kemudian diaduk rata dan dipanaskan
sampai mendidih. Larutan MEA 1,5 % ini kemudian diautoklaf pada tekanan 15
psi, suhu 121oC selama 15 menit. Lima gram asam galat atau asam tanat
dilarutkan secara terpisah ke dalam 150 ml air destilata steril yang masih dalam
keadaan panas. Setelah larutan MEA agak dingin, larutan asam galat/asam tanat
dicampurkan dan dikocok sebanyak 16 ml ditempatkan dalam cawan Petri steril
berdiameter 90 mm, selanjutnya potongan koloni miselium masing-masing isolat
kelompok Pleurotus yang berumur 8 hari dikulturkan pada medium AAG dan
AAT, kemudian diinkubasi pada suhu kamar 29(+1)oC. Setiap perlakuan
dilakukan dengan 3 ulangan.
46
Pengamatan untuk perlakuan oksidasi pada medium AAG dan AAT
meliputi pertumbuhan diameter koloni dengan mengukur diameter koloni (mm)
pada hari ke-7 dan reaksi oksidasi yang dicirikan dengan terbentuknya zona
cokelat di sekitar koloni. Metode ini disebut juga uji Bavendamm. Warna cokelat
yang tampak pada medium di sekitar tempat tumbuh jamur menunjukkan adanya
enzim ekstraseluler oksidase yang dikeluarkan oleh jamur tersebut. Uji
Bavendamm merupakan salah satu uji biokimia yang disebut juga uji
fenoloksidase atau reaksi oksidasi. Terjadinya reaksi biasanya menunjukkan sifat
jamur dari golongan jamur pelapuk putih.
Uji Pertumbuhan Isolat Kelompok Pleurotus pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon
Percobaan ini bertujuan untuk melihat bobot basah hasil panen total,
efisiensi biologi, lama fase vegetatif dan reproduktif diamati pada media serbuk
gergajian kayu sengon. Kultivasi dengan media serbuk gergajian kayu ini
dilakukan seperti pada Chapter 1. Media serbuk gergajian kayu sengon yang
sudah diinokulasi dengan bibit disimpan di ruang inkubasi, kemudian yang sudah
penuh dengan miselium disimpan di ruang pemeliharaan atau ruang produksi
sampai keluar tubuh buah. Setiap perlakuan dilakukan dengan 4-10 ulangan.
Tubuh buah yang sudah matang petik kemudian dipanen dan ditimbang bobot
basah tubuh buahnya. Media serbuk gergajian kayu sengon yang telah dipanen
tubuh buahnya disimpan kembali di ruang pemeliharaan, dan disiram secara rutin
sampai tubuh buahnya muncul dan siap dipanen kembali. Tahapan selanjutnya
seperti pada panen pertama dan pemanenan dilakukan sampai panen terakhir. Saat
kultivasi kondisi iklim menunjukkan musim kemarau yaitu bulan Agustus sampai
Oktober 2004 dengan suhu rata-rata minimum dan maksimum berturut-turut 15,0-
15,8oC, dan 27,8-29,4oC, kelembaban nisbi rata-rata 77-85%, lama penyinaran
5,5-6,7 jam, 4-14 hari hujan dan curah hujan 8-155 mm/ bulan.
Lama fase vegetatif adalah lama waktu inkubasi dari awal inokulasi
sampai kantong penuh dengan miselium sampai bawah (kolonisasi penuh). Dalam
jangka waktu tersebut akan terlihat miselia yang berwarna putih menutupi seluruh
permukaan media. Lama fase reproduktif adalah lama waktu inkubasi terhitung
47
setelah fase vegetatif selesai sampai beberapa kali panen tubuh buah sampai bahan
substrat habis dan tidak terbentuk lagi tubuh buah, umumnya sampai 8 kali panen
bahkan lebih. Jumlah panen adalah berapa kali suatu isolat jamur menghasilkan
tubuh buah selama fase reproduktif. Panen pertama dimulai setelah fase vegetatif
selesai sampai panen ke-1. Panen kedua dimulai setelah panen ke-1 selesai.
Bobot basah tubuh buah total adalah bobot yang diperoleh merupakan
hasil penimbangan semua bagian tubuh buah yang ada dalam media produksi
berupa tudung (pileus), batang (stipe) beserta akar-akarnya (rhizomorf) yang telah
dibersihkan. Efisiensi Konversi Biologis (BCE/EB=efisiensi biologi) adalah bobot
basah tubuh buah jamur segar total dibagi bobot kering substrat dikali 100 persen
(Madan et al. 1987). Efisiensi biologi 100 % berarti 1 kg massa tubuh buah jamur
setara dengan 1 kg massa kering substrat (Quimio 1985). Kadar air substrat rata-
rata pada penelitian ini sekitar 70,1%. Bobot basah substrat rata-rata adalah 400
gram, dengan bobot kering rata-rata 119,6 gram. Menurut Wuest (1983) dalam
Quimio (1985) yang dimaksud dengan EB yang dinyatakan dalam persen adalah :
EB = Bobot basah tubuh buah jamur segar
Bobot kering substrat x 100 %
Analisis Data
Analisis statistik bertujuan untuk menguji pertumbuhan isolat jamur pada
berbagai medium, suhu maupun pH terhadap laju pertumbuhan koloni pada cawan
Petri. Di samping itu untuk menguji pengaruh jenis isolat terhadap peubah-
peubah: lama fase vegetatif, lama fase reproduktif, jumlah panen, bobot basah
total serta Efisiensi Biologi. Rancangan percobaan yang digunakan adalah
rancangan acak lengkap (RAL). Pada beberapa perlakuan dengan rancangan
faktorial dengan rancangan lingkungan RAL untuk analisis diameter koloni isolat
Pleurotus spp. Pengolahan data analisis ragam menggunakan SAS9 dan analisis
kelompok menggunakan aplikasi SPSS13.
48
10,9a
5,7b
3,3d1,1g 1,1g 1,0g 0,7gh
0.02.04.06.08.0
10.012.0
Jenis Isolat
Laju
Per
tum
buha
n K
olon
i (m
m/h
ari)
1. P. ostreatus HO 2. Pleurotus EB9 3. Pleurotus EAB74. Pleurotus EB6 5. Pleurotus EB14-2 6. Pleurotus EB247. Pleurotus EA4
1 75432 6
Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Pertumbuhan Isolat Kelompok Pleurotus pada Media Agar Secara fisiologis, laju pertumbuhan koloni kelima isolat asal Bogor yaitu
Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7 dan EB6 termasuk lambat (0,3-3,3
mm/hari) atau baru dapat menutupi cawan Petri dengan diameter 90 mm setelah
5-6 minggu. Laju pertumbuhan koloni Pleurotus EB9 termasuk sedang (2,3-
5,7mm/hari) atau dapat menutupi cawan setelah 2-4 minggu. Laju pertumbuhan
koloni P. ostreatus HO termasuk cepat (6,1-10,9 mm/hari) atau dapat menutupi
cawan setelah 1-2 minggu. Seluruh isolat dapat tumbuh pada media MPA, MEA
dan PDA, serta tumbuh optimal pada temperatur sekitar 20-29(+1)oC dengan pH
media antara pH 6-7 (Gambar 2.2).
Ket: Media optimum: PDA untuk Pleurotus EB6 dan EB14-2; MEA untuk, Pleurotus EA4, EAB7 dan EB24; MPA untuk P. ostreatus HO dan Pleurotus EB9. Suhu optimum: 20(+1)oC untuk Pleurotus EB14-2, EA4 dan EB6; 29(+1)oC untuk Pleurotus EAB7, EB24, EB9 dan P. ostreatus HO. Nilai pH optimum: pH 6 untuk Pleurotus EB9, EB14-2 dan EB6; pH 7 untuk P. ostreatus HO, Pleurotus EA4, EAB7 dan EB24
Gambar 2.2 Laju pertumbuhan koloni rata-rata isolat kelompok Pleurotus pada
media, suhu dan pH optimum.
Pada Tabel 2.1 terlihat isolat dengan pertumbuhan optimal pada PDA
adalah Pleurotus EB6 dan EB14-2; pada MEA adalah Pleurotus EA4, EAB7 dan
EB24; dan pada MPA adalah P. ostreatus HO dan Pleurotus EB9. Isolat dengan
laju pertumbuhan rata-rata optimal pada suhu 20(+1)oC adalah Pleurotus EB14-2,
49
EA4 dan EB6; pada 29(+1)oC adalah Pleurotus EAB7, EB24, EB9 dan P.
ostreatus HO. Isolat dengan pertumbuhan optimal pada media dengan pH 6
adalah Pleurotus EB9, EB14-2 dan EB6; pada media dengan pH 7 adalah P.
ostreatus HO, Pleurotus EA4, EAB7 dan EB24.
Semua isolat jamur menunjukkan reaksi positif pada medium asam tanat
(AAT) dan asam galat (AAG). Hal ini ditandai dengan terbentuknya zona cokelat
terang sampai cokelat gelap pada medium AAT dan AAG di sekitar miselium
koloni isolat (Gambar 2.3). Intensitas reaksi oksidasi dari isolat kelompok
Pleurotus pada media AAG dan AAT menunjukkan adanya perbedaan dari mulai
sangat lemah sampai sangat kuat. Isolat P. ostreatus HO menunjukkan intensitas
reaksi oksidasi yang paling kuat kemudian diikuti oleh isolat Pleurotus EA4 dan
Pleurotus EB9 (Tabel 2.1 dan Gambar 2.3). Tabel 2.1 Media, suhu dan pH optimum, serta reaksi pada AAG dan AAT ketujuh
isolat kelompok Pleurotus
Isolat
Media optimum
Suhu optimum (+1)oC
pH optimum
AAG AAT
Pleurotus EB14-2 Pleurotus EB24 Pleurotus EA4 Pleurotus EAB7 Pleurotus EB6 Pleurotus EB9 P. ostreatus HO
PDA MEA MEA MEA PDA MPA MPA
20 29 20 29 20 29 29
6 7 7 7 6 6 7
++ +++ +++ +++ +++ +++
++++
+ +
+++ + +
++ +++
Ket: +: sangat lemah; ++: lemah; +++: cukup kuat; ++++: kuat
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 2.3 Penampakan visual uji reaksi oksidasi isolat kelompok Pleurotus
setelah tujuh hari inkubasi pada media AAG (atas) dan AAT (bawah). (a) Pleurotus EB14-2, (b) Pleurotus EB24, (c) Pleurotus EA4, (d) Pleurotus EAB7, (e) Pleurotus EB6, (f) Pleurotus EB9, (g) P. ostreatus HO, dan (h) Zona reaksi.
h
a b c d e f g
h
50
Pertumbuhan Isolat Kelompok Pleurotus pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon
Beberapa isolat dalam kondisi kolonisasi penuh pada media serbuk
gergajian kayu sengon disajikan pada Gambar 2.4. Pada penelitian ini, pemanenan
jamur dilakukan setelah pertumbuhan tubuh buah jamur mencapai tingkat yang
optimal, yaitu cukup besar tetapi belum mekar penuh. Pemanenan tubuh buah
dilakukan pada semua jamur yang tumbuh pada permukaan substrat sekaligus,
sehingga ada sebagian tubuh buah yang masih kecil juga ikut dipanen. Hal
tersebut menyebabkan bobot basah hasil panen per kantong substrat yang didapat
tidak semua tubuh buahnya mekar secara sempurna. Tahap-tahap perkembangan
tubuh buah dua isolat kelompok Pleurotus dari mulai primordial sampai yang
sudah matang untuk dipanen terlihat pada Gambar 2.5 dan 2.6.
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 2.4 Pleurotus EB24, Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO pada media serbuk gergajian kayu sengon pada kondisi kolonisasi penuh dibandingkan dengan kontrol (tidak diinokulasi).
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa bobot basah hasil panen semua
isolat kelompok Pleurotus per kantong substrat berfluktuasi (Tabel 2.2). Sebagai
contoh pada Pleurotus EB24 dari 4 ulangan, bobot basah hasil panen per kantong
substrat pada panen pertama berkisar antara 5,0 gram sampai 24,9 gram, sehingga
rata-rata bobot basah hasil panen per kantong substrat sebesar 14,7 gram. Kondisi
tersebut juga terlihat di antara ulangan untuk bobot basah hasil panen per kantong
substrat pada panen kedua sampai panen terakhir pada semua isolat kelompok
Pleurotus yang berfluktuasi kecuali Pleurotus EB9, yang relatif stabil. Tidak
semua kantong substrat mencapai panen ketujuh. Pada Tabel 2.2, terlihat
kecenderungan menurunnya rata-rata bobot basah hasil panen per kantong substrat
ketujuh isolat kelompok Pleurotus dari panen pertama ke panen-panen
Pleurotus EB24 Kontrol Pleurotus EB9 P. ostreatus HO
51
selanjutnya. Hal ini mungkin karena substrat sudah banyak termanfaatkan oleh
jamur di panen-panen awal sehingga pada panen-panen terakhir tubuh buah yang
terbentuk berukuran kecil.
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 2.5 Tahap-tahap perkembangan Pleurotus EB6. A. Primordial (tanda panah). B.Tubuh
buah yang masih kecil. C. Tubuh buah yang sudah matang dan siap panen.
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 2.6 Tahap-tahap perkembangan Pleurotus EB9. a. Primordial (tanda panah). b,c,d. Tubuh
buah yang masih muda. e. Tubuh buah matang dan siap panen. d. Tubuh buah yang mulai menguning dan mengering serta sudah terlambat panen.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor isolat berpengaruh nyata
terhadap rata-rata bobot basah hasil panen per kantong substrat. Isolat P. ostreatus
HO memberikan respon yang paling tinggi dan berbeda nyata dibanding
perlakuan lainnya dan yang paling rendah ditunjukkan oleh isolat Pleurotus
EB14-2 (Tabel 2.2).
Pada Tabel 2.3, fluktuasi juga terlihat di antara ulangan untuk total bobot
basah hasil panen per kantong substrat pada semua isolat kelompok Pleurotus.
Efisiensi biologi (EB) adalah prosentase efiensi jamur dalam
menggunakan substrat untuk membentuk tubuh buah. Nilai EB yang tinggi
menunjukkan kemampuan jamur yang baik dalam menggunakan media
produksinya (Madan et al. 1987). Nilai EB ketujuh isolat kelompok Pleurotus
sangat berfluktuasi. Isolat P. ostreatus HO menunjukkan efisiensi biologi yang
paling tinggi dan yang paling rendah adalah Pleurotus EB14-2 (Tabel 2.4).
a b c d e f
B C A
52
Tabel 2.2 Bobot basah tubuh buah hasil panen jamur ketujuh isolat kelompok Pleurotus
Panen ke- (gram) Isolat Ulangan
I II III IV V VI VII
Total panen
per kantong EB (%)
Pleurotus EB14-2 1 4,3 6,9 7,7 6,9 2,3 - - 28,1 23,5 2 9,2 1,5 3,0 9,0 2,5 6,3 1,3 32,7 27,4 3 12,9 7,0 6,0 10,0 1,0 - - 37,0 30,9 4 4,7 9,8 10,2 3,0 1,4 8,9 3,4 41,4 34,6
X Rata- rata 7,8 6,3 6,7 7,2 1,8 7,6 2,3 34,8 29,1
Pleurotus EB24 1 21,0 6,2 6,6 16,0 2,2 2,6 0,2 54,7 45,7 2 24,9 15,7 0,7 8,9 10,6 4,9 - 65,7 55,0 3 5,0 3,6 12,8 13,4 7,5 2,3 - 44,6 37,3 4 7,8 14,1 3,8 6,0 - - - 31,6 26,4
X Rata- rata 14,7 9,9 6,0 11,1 6,7 3,3 0,2 49,1 41,1
Pleurotus EA4 1 18,6 10,3 12,3 1,3 - - - 42,4 35,5 2 27,0 4,4 5,5 1,6 0,3 - - 38,8 32,4 3 4,2 8,2 3,5 15,2 4,2 - - 35,3 29,5 4 14,5 19,3 7,6 18,3 1,2 - - 60,9 50,9
X Rata- rata 16,1 10,6 7,2 9,1 1,9 - - 44,3 37,1
Pleurotus EAB7 1 30,3 19,8 5,0 4,4 2,0 10,3 - 71,8 60,1 2 6,2 6,9 9,6 7,2 1,3 - - 31,3 26,2
3 11,1 10,2 3,1 2,0 - - - 26,4 22,1 4 25,0 4,8 4,0 4,4 - - - 38,1 31,9
X Rata- rata 18,2 10,4 5,4 4,5 1,6 10,3 - 41,9 35,0
Pleurotus EB6 1 13,3 10,5 5,6 7,7 2,7 - - 39,8 33,2 2 22,6 4,0 3,1 7,5 - - - 37,3 31,1 3 7,3 4,5 19,0 5,2 - - - 36,0 30,1
X Rata- rata 14,4 6,4 9,3 6,8 2,7 - - 37,7 31,5
Pleurotus EB9 1 40,0 30,0 30,0 5,3 - - - 105,3 88,1 2 30,0 30,0 12,3 10,0 - - - 82,3 68,8 3 40,0 30,0 20,0 8,8 - - - 98,8 82,6 4 46,5 27,2 23,8 5,3 - - - 102,8 85,9
X Rata- rata 39,1 29,3 21,5 7,4 - - - 97,3 81,4
P.ostreatus HO 1 50,0 55,0 15,0 3,9 - - - 123,9 103,6 2 72,0 30,0 5,3 1,4 - - - 108,7 90,9 3 72,9 59,0 25,0 11,3 - - - 168,2 140,6 4 120,0 30,0 13,7 5,0 - - - 168,7 141,1
X Rata- rata 78,7 43,5 14,7 5,4 - - - 142,4 119,0
Keterangan: X= rata-rata; Kadar air substrat rata-rata 70,1%; 400 g bobot basah substrat rata-rata = 119,6 g bobot kering; cara menghitung EB: bobot basah total dibagi bobot kering substrat dikali 100%
53
Tabel 2.3 Nilai rata-rata total panen tubuh buah pada ketujuh isolat jamur isolat jamur Pleurotus
Total panen per kantong substrat
(gram) Isolat 1 2 3 4
Bobot jamur dari 4 ulangan
(gram)
Rata-rata total Panen per
kantong substrat Pleurotus EB14-2 28,1 32,7 37,0 41,4 139,2 34,8 c Pleurotus EB24 54,7 65,7 44,6 31,6 196,6 49,1 c Pleurotus EA4 42,4 38,8 35,3 60,9 177,4 44,3 c Pleurotus EAB7 71,8 31,3 26,4 38,1 167,6 41,9 c Pleurotus EB6 39,8 37,3 36,0 37,7 150,8 37,7 c Pleurotus EB9 105,3 82,3 98,8 102,8 389,2 97,3 b P.ostreatus HO 123,9 108,7 168,2 168,7 569,5 142,4 a
Keterangan: Nilai EB: merupakan rata-rata dari 3-4 kali ulangan; Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P<0,05).
Tabel 2.4 Perbandingan nilai EB jamur pada ketujuh isolat kelompok Pleurotus
Efisiensi Biologi per kantong substrat (%) Isolat
1 2 3 4
EB dari 4 ulangan
(%)
Rata-rata EB per kantong
substrat Pleurotus EB14-2 23,5 27,4 30,9 34,6 116,4 29,1 c Pleurotus EB24 45,7 55,0 37,3 26,4 164,4 41,1 c Pleurotus EA4 35,5 32,4 29,5 50,9 148,3 37,1 c Pleurotus EAB7 60,1 26,2 22,1 31,9 140,3 35,0 c Pleurotus EB6 33,2 31,1 30,1 - 94,4 31,5 c Pleurotus EB9 88,1 68,8 82,6 85,9 325.4 81,4 b P.ostreatus HO 103,6 90,9 140,6 141,1 476,2 119,0 a
Keterangan: 1, 2, …4 = ulangan; Huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
Fase vegetatif per kantong substrat atau per ulangan dari isolat kelompok
Pleurotus yang diuji berfluktuasi. Sebagai contoh pada Pleurotus EB14-2 dari 4
ulangan, fase vegetatif per kantong substrat berkisar antara 70,0 hari sampai 91,0
hari, sehingga rata-rata fase vegetatif per kantong substrat sebesar 80 hari. Hasil
yang berfluktuasi juga terlihat pada fase reproduksi per kantong substrat pada
panen pertama sampai panen terakhir (Tabel 2.5). Fluktuasi ini kemungkinan
disebabkan oleh penyiraman yang kurang teratur.
Pada Tabel 2.5 juga terlihat kecenderungan semakin cepatnya fase
reproduksi per kantong substrat. Sebagai contoh, rata-rata lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk panen ke-6 dari panen ke-5 pada Pleurotus EB14-2 adalah 15,0
hari, sedangkan rata-rata lamanya waktu yang dibutuhkan untuk panen ke-7 dari
panen ke-6 adalah 14,0 hari.
54
Tabel 2.5 Fase vegetatif, fase reproduktif dan jumlah panen jamur isolat kelompok Pleurotus
Lama panen ke... (hari) Isolat
Ulangan
Fase
Vegetatif (hari) I II III IV V VI VII
Fase reproduktif
(hari)
Jumlah panen
Pleurotus EB14-2 1 70.0 22.0 12.0 17.0 86.0 9.0 - - 146.0 5.0
2 91.0 33.0 53.0 13.0 11.0 28.0 17.0 24.0 179.0 7.0
3 83.0 29.0 12.0 10.0 11.0 24.0 - - 86.0 5.0
4 76.0 37.0 13.0 79.0 5.0 8.0 13.0 4.0 159.0 7.0 X Rata-rata 80.0a 30.3 22.5 29.8 28.3 17.3 15.0 14.0 142.5ab 6.0a
Pleurotus EB24 1 70.0 72.0 88.0 3.0 8.0 13.0 18.0 9.0 211.0 7.0
2 70.0 31.0 15.0 85.0 4.0 17.0 25.0 - 177.0 6.0
3 91.0 100.0 3.0 13.0 8.0 15.0 10.0 - 149.0 6.0
4 80.0 110.0 28.0 12.0 10.0 - - - 160.0 4.0 X Rata-rata 77.8a 78.3 33.5 28.3 7.5 15.0 17.7 9.0 174.3ab 5.8a
Pleurotus EA4 1 82.2 39.6 80.0 26.0 19.0 - - - 164.6 4.0
2 95.5 119.6 5.0 8.0 32.0 9.0 - - 173.6 5.0
3 66.6 132.6 22.0 5.0 8.0 4.0 - - 171.6 5.0
4 70.0 130.0 30.0 19.0 19.0 88.0 - - 286.0 5.0 X Rata-rata 78.6a 105.5 34.3 14.5 19.5 33.7 - - 199.0a 4.8ab
Pleurotus EAB7 1 64.8 64.8 49.5 7.0 38.0 14.0 25.0 53.0 186.5 6.0
2 70.0 70.0 31.5 36.0 24.0 33.0 44.0 - 168.5 5.0
3 86.9 86.9 169.5 7.0 3.0 5.0 - - 184.5 4.0
4 73.0 73.0 29.0 42.0 29.0 44.0 - - 144.0 4.0 X Rata-rata 73.7a 73.7 69.9 23.0 23.5 24.0 34.5 53.0 170.9ab 4.8ab
Pleurotus EB6 1 83.0 87.0 8,0 6.0 77.0 8.0 - - 186.0 5.0
2 83.0 47.0 13.0 46.0 63.0 - - - 169.0 4.0
3 83.0 58.0 3.0 47.0 15.0 - - - 123.0 4.0 X Rata-rata 83.0a 64.0 8.0 33.0 51.7 8.0 - - 159.3ab 4.3b
Pleurotus EB9 1 14.0 3.0 120.0 23.0 23.0 - - - 169.0 4.0
2 14.0 4.0 120.0 21.0 2.0 - - - 147.0 4.0
3 14.0 10.0 20.0 4.0 3.0 - - - 37.0 4.0
4 14.0 10.0 39.0 7.0 41.0 - - - 97.0 4.0 X Rata-rata 14.0b 6.8 74.8 13.8 17.3 - - - 112.5b 4.0b
P.ostreatus HO 1 19.0 27.0 137.0 21.0 38.0 - - - 223.0 4.0
2 17.0 32.0 25.0 20.0 61.0 - - - 138.0 4.0
3 21.0 71.0 19.0 18.0 55.0 - - - 163.0 4.0
4 21.0 35.0 24.0 31.0 10.0 - - - 100.0 4.0 X Rata-rata 19.5a 41.3 51.3 22.5 41.0 - - - 156.0ab 4.0b
Keterangan: Fase vegetatif: terhitung mulai inokulasi bibit sampai kolonisasi penuh; Panen I: terhitung setelah fase vegetatif selesai sampai panen ke-1; Panen II: terhitung setelah panen I selesai; Panen III: terhitung setelah panen II selesai; Panen IV: terhitung setelah panen III selesai; Panen V: terhitung setelah panen IV selesai; Panen VI: terhitung setelah panen V selesai; Panen VII: terhitung setelah panen VI selesai; Huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
55
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor isolat berpengaruh nyata
terhadap lama fase vegetatif dan jumlah panen, tapi tidak berbeda nyata terhadap
lama fase reproduktif. Rata-rata lama panen paling lama adalah pada jamur isolat
Pleurotus EA4 yaitu 199,0 hari (Tabel 2.8). Rata-rata jumlah panen paling banyak
adalah pada jamur isolat Pleurotus EB14-2 yaitu 6,0 kali. Sedangkan rata-rata
jumlah panen paling sedikit adalah pada Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO yaitu
4,0 kali. Rata-rata lama fase vegetatif jamur isolat Pleurotus EB14-2 paling lama
yaitu 80,0 hari. Pleurotus EB9 mempunyai lama fase vegetatif paling singkat
yaitu 14,0 hari.
Analisis Kelompok Isolat Kelompok Pleurotus Berdasarkan Karakter Fisiologis
Hasil analisis kelompok berdasarkan karakter morfologis memperlihatkan
Pleurotus EB6, Pleurotus EAB7 dan Pleurotus EB24 sangat dekat (kelompok
pertama) dengan persamaan 98%, dan bergabung dengan Pleurotus EA4 menjadi
kelompok kedua dengan persamaan 97%. Selanjutnya kelompok kedua ini
bergabung dengan Pleurotus EB14-2 membentuk kelompok ketiga dengan
persamaan 96%. Kelompok keempat yaitu antara Pleurotus EB9 dengan
P. ostreatus HO dengan persamaan 95%. Kelompok ketiga ini mempunyai
hubungan dengan kelompok keempat walaupun dengan jarak yang cukup besar
yaitu persamaan 75%, oleh karena itu kedua kelompok ini dapat dipisah menjadi
kelompok yang berbeda, pada Gambar 2.7 diberi pemisah garis patah-patah,
menunjukkan dugaan dua spesies yang berbeda dengan adanya dua kelompok
besar dari enam isolat jamur asal Bogor. Hal ini sesuai dengan Hipotesis pertama
yaitu karakter fisiologi yang berbeda dapat menunjukkan spesies yang berbeda,
yaitu Pleurotus EB9 dengan kelima isolat lain yaitu Pleurotus EB14-2, EB24,
EA4, EAB7 dan EB6. Pleurotus EB9 mempunyai kekerabatan lebih dekat dengan
P. ostreatus HO dibanding dengan isolat kelompok Pleurotus lainnya.
56
Gambar 2.7 Dendogram berdasarkan karakter fisiologis dari tujuh isolat kelompok
Pleurotus asal Bogor dengan pembanding P. ostreatus HO.
Pembahasan
Pertumbuhan Isolat Kelompok Pleurotus pada Media Agar 1. Pengaruh Jenis Media
Laju pertumbuhan koloni isolat-isolat jamur dipengaruhi jenis media dan
lingkungan pertumbuhannya. Laju pertumbuhan koloni isolat-isolat jamur yaitu
Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus
EB6 dan Pleurotus EB9 dengan P. ostreatus memperlihatkan kecepatan yang
berbeda. Hasil pengamatan menunjukkan media optimal untuk pertumbuhan isolat
Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB14-2 adalah PDA; untuk Pleurotus EA4,
Pleurotus EAB7 dan Pleurotus EB24 adalah MEA; dan untuk Pleurotus EB9 dan
P. ostreatus HO adalah MPA. Jenis isolat dan faktor media serta interaksi antara
jenis isolat dengan faktor media berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan
koloni tiap isolat. Tiap isolat kelompok Pleurotus yang diuji berbeda dalam
menyerap nutrisi yang dikandung oleh media yang berbeda pula. Beberapa elemen
nutrisi dibutuhkan oleh semua jamur, beberapa elemen hanya dibutuhkan oleh
spesies tertentu. Menurut Chang dan Miles (1989), beberapa elemen dibutuhkan
oleh spesies tertentu yang akan tumbuh pada medium yang memiliki kandungan
nutrisi dalam jumlah yang spesifik.
Jamur tiram putih setelah terbentuk tubuh buah mendegradasi fraksi
holoselulosa, α-selulosa dan lignin sampai kira-kira 80% (Chang dan Hayes
Jarak antar kelompok
57
1978). Hasil dekomposisi komplek lignoselulosa oleh P. osteratus adalah 50%
substrat dibebaskan sebagai gas CO2 dan 20% sebagai air, residu kompos 20%,
dan tubuh buah 10%. Hasil akhir menunjukkan kandungan nitrogen dan mineral
meningkat selama pertumbuhan (Zadrazil 1975 dalam Chang dan Hayes 1978).
Ketiga media yang diuji semuanya merupakan media yang kaya akan
nutrisi esensial yang dibutuhkan jamur untuk hidupnya. Media PDA memiliki
kandungan nutrisi karbohidrat, air, protein yang berasal dari substrat kentang,
glukosa dan agar. Media MEA memiliki komposisi nitrogen, karbohidrat, sodium
klorida yang berasal dari malt ekstrak dan agar, dan MPA memiliki kandungan
nutrisi nitrogen, karbohidrat, sodium klorida, yang berasal dari malt ekstrak, agar,
pepton dan glukosa. Sumber nutrisi karbon berasal dari ekstrak kentang, glukosa,
ekstrak malt mempengaruhi pertumbuhan koloni jamur, pembentukan struktur dan
keperluan energi bagi sel jamur. Sumber nutrisi nitrogen diperoleh dari ekstrak
malt, ekstrak kentang dan pepton yang mempengaruhi sintesis protein, purine,
pirimidin dan komponen kitin pada dinding sel jamur (Chang dan Miles 1989).
Selain itu, malt ekstrak dan ekstrak kentang juga dapat menjadi sumber mineral
dan vitamin. Mineral berfungsi sebagai aktivator enzim dan vitamin berfungsi
sebagai katalisator di dalam sel yaitu sebagai koenzim atau merupakan bagian
yang menyusun ko-enzim (Chang dan Miles 1989; Hadi 1999).
Untuk kelima isolat kelompok Pleurotus liar seperti Pleurotus EB14-2,
Pleurotus EB24, Pleurotus EB6, Pleurotus EA4 dan Pleurotus EAB7 optimum
pada PDA atau MEA, tetapi tidak menunjukkan belum mempunyai laju
pertumbuhan koloni pada tahap awal perlakuan uji media seperti yang diharapkan.
Hal ini diduga karena kelima isolat merupakan spesies jamur yang membutuhkan
elemen nutrisi tertentu untuk pertumbuhannya, yang tidak tercukupi oleh media-
media yang digunakan dalam penelitian ini. Selain itu, diduga kelima isolat
tersebut masih melakukan penyesuaian terhadap media kaya yang digunakan
tersebut, karena isolat-isolat tersebut baru diisolasi dari alam. Sedangkan
P. ostreatus HO yang sudah dibudidayakan cukup lama sudah menunjukkan
pertumbuhan koloni pada awal pengamatan. Namun demikian, isolat Pleurotus
EB9 yang juga baru diisolasi dari alam menunjukkan tingkat penyesuaian yang
cepat dan mempunyai laju pertumbuhan koloni yang lebih cepat dibanding kelima
58
isolat pertama, walaupun belum secepat pertumbuhan P. ostreatus HO. Ketujuh
isolat jamur yang diujikan pada ketiga media tersebut mempunyai kecepatan laju
pertumbuhan koloni yang berbeda yaitu lambat, sedang dan cepat. Namun sangat
dimungkinkan untuk lebih meningkatkan laju pertumbuhan koloni-nya dengan
memberi perlakuan tertentu seperti penambahan bahan-bahan nutrisi tertentu dan
komposisi tertentu, atau dengan manipulasi faktor-faktor lingkungan.
Pertumbuhan jamur dapat dilihat antara lain dari peningkatan jumlah dan ukuran
sel. Griffin (1994) dan Moore dan Landecker (1996) melaporkan bahwa kurva
pertumbuhan mikrob terdiri atas lima fase, yaitu (1) fase pertumbuhan awal yang
merupakan fase adaptasi jamur terhadap lingkungannya dan umumnya belum
memperlihatkan adanya pertumbuhan, (2) fase eksponensial memperlihatkan
pertumbuhan cepat dan pembelahan selnya terjadi dengan laju yang konstan, (3)
fase perlambatan yang menunjukkan terjadinya penurunan pembelahan sel
disebabkan mulai terbatasnya nutrien yang dibutuhkan, (4) fase stasioner, dimana
fase ini jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati sehingga
jumlah sel yang hidup relatif tetap, dan (5) fase kematian yang menunjukkan
penurunan secara tajam jumlah sel yang hidup karena autolisis.
2. Pengaruh Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan jamur pelapuk. Hasil pengamatan terhadap laju pertumbuhan
diameter koloni isolat jamur pada beberapa jenis suhu menunjukkan bahwa suhu
optimal untuk beberapa isolat yang diuji berbeda, walaupun masih dalam kisaran
sekitar 20-29(+1)oC. Suhu optimal untuk laju pertumbuhan diameter koloni pada
Pleurotus EA4, Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB14-2 adalah 20(+1)oC; pada
Pleurotus EAB7, Pleurotus EB24, Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO adalah
29(+1)oC.
Suhu optimal untuk pertumbuhan Pleurotus spp. berkisar antara 25(+1)oC
dan 28(+1)oC (Chang dan Miles 1982), namun P. flabellatus membutuhkan suhu
optimal untuk pertumbuhan lebih rendah yaitu antara 20(+1)oC dan 29(+1)oC
yaitu (Chang dan Quimio 1989). Suhu 30oC merupakan suhu optimum bagi jamur
pelapuk kayu pada umumnya dan suhu optimum bagi jamur pelapuk di daerah
59
tropis pada khususnya (Highley dan Kirk 1979; Rayner dan Boddy 1988). Suhu
yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan jamur,
karenanya pada suhu 10(+1)oC dan 35(+1)oC isolat-isolat kelompok Pleurotus
yang diuji menyebabkan pertumbuhan koloninya terhambat. Hal ini diduga karena
kerja enzim pada suhu tersebut ikut terhambat. Setelah dipindahkan ke suhu
ruang, pertumbuhan koloni isolat dapat tumbuh kembali dengan baik karena kerja
enzim kembali maksimal.
Koloni pada media kultur sebagai variabel menunjukkan perbedaan dalam
laju pertumbuhan koloni (cepat, sedang, lambat). Pada suhu optimum, laju
pertumbuhan koloni kelima isolat Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus
EA4, Pleurotus EAB7, dan Pleurotus EB6 termasuk lambat (0,3-0,8 mm/hari).
Pleurotus EB9 termasuk sedang (2,3 cm/hari) dan P. ostreatus HO tergolong
cepat (8,3 mm/hari). Hal tersebut menunjukkan bahwa masing-masing isolat
diduga mempunyai sifat genetik tertentu sehingga pada suhu berapapun
pertumbuhannya mempunyai laju pertumbuhan koloni yang khas.
Ketujuh isolat jamur yang diuji dapat digolongkan sebagai jamur mesofil
yang dapat hidup pada rentang suhu 15-40(+1)oC, dengan suhu minimal 0(+1)oC
dan maksimal 50(+1)oC (Chang dan Miles 1989; Alexopoulos et al. 1996). Hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa faktor isolat, faktor suhu maupun interaksi
antara faktor isolat dan faktor suhu berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan
diameter koloni isolat jamur. Hal tersebut menunjukkan bahwa spesies yang
berbeda membutuhkan kondisi yang berbeda untuk pertumbuhannya termasuk
kondisi lingkungan, diantaranya adalah suhu.
Fungsi suhu bagi jamur adalah mempengaruhi aktivitas enzim, organisasi
dan komposisi organel-organel sel fungi, komposisi plasmalema dan jumlah lipid
(Griffin 1994). Aktivitas enzim dapat meningkat dua kali lipat setiap kenaikan
10(+1)oC. Enzim yang teraktivasi pada suhu tinggi mempengaruhi kemampuan
mensintesis komponen-komponen yang dibentuk seperti vitamin, asam amino atau
metabolik lainnya (Imam 2000). Suhu optimal untuk pertumbuhan dapat
menentukan pertumbuhan miselia atau bibit jamur (spawn), dan juga untuk
produksi optimal produk metabolik jamur yang berfungsi sebagai obat seperti
lentinan oleh jamur Lentinus edodes (Chang dan Miles 1989).
60
3. Pengaruh pH Media
Laju pertumbuhan diameter koloni isolat-isolat jamur yaitu Pleurotus
EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan
Pleurotus EB9 serta P. ostreatus memperlihatkan kecepatan yang berbeda pada
pH yang berbeda. Nilai pH juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan jamur. Hampir semua isolat terlihat dapat tumbuh pada kisaran pH
5-6, kecuali Pleurotus EB14-2 dan Pleurotus EB6, yang pertumbuhannya
terhambat pada pH 5. Hal ini sesuai dengan pendapat Kollman (1968) yang
melaporkan bahwa suasana asam (pH 4,5 – 5,5) baik untuk pertumbuhan jamur.
Kirk et al. (1978) juga mengemukakan bahwa laju pertumbuhan jamur pelapuk
putih berlangsung cepat pada pH sekitar 5. Pertumbuhan diameter koloni jamur
pelapuk kayu Schizophyllum commune dan P. chrysosporium optimal pada media
PDA juga terjadi pada suasana asam (pH 4,7 – 5,9) (Herliyana 1997).
Setiap jenis jamur mempunyai toleransi tertentu terhadap kemasaman
substrat tanah maupun kompos. Beberapa strain jamur mempunyai pH optimum
yang berbeda, juga antar galur dan spesies (Gerraway dan Evans 1984). Nilai pH
optimum pada saat pertumbuhan miselium berbeda dengan nilai pH optimum
pada saat pembentukan tubuh buah. Miselium Pleurotus spp. tumbuh optimal
pada pH 5,5-6,5 (Chang dan Miles 1989).
Nilai pH dapat mempengaruhi sistem kerja enzim. Nilai pH optimum
untuk sebagian besar enzim adalah 6-8 dengan beberapa pengecualian, seperti
pepsin, enzim pencernaan dalam lambung yang bekerja optimal pada pH 2
(Campbell et al. 2002). Nilai pH juga mempengaruhi ketersediaan ion dalam suatu
media. Pada kisaran pH tertentu, ion-ion logam dapat membentuk kompleks yang
tidak larut air. Ion Mg dan P dapat tetap berada dalam bentuk bebasnya pada pH
rendah, tetapi pada pH tinggi membentuk kompleks tidak larut air sehingga dapat
menyebabkan ketersedian ion-ion tersebut berkurang bagi jamur (Chang dan
Miles 1989). Selain itu pH juga mempengaruhi permeabilitas sel yang berubah
pada pH yang berbeda. Pada pH yang rendah, membran protoplasmik menjadi
jenuh dengan ion H+ sehingga lalu lintas kation esensial terbatas. Sebaliknya, pada
pH tinggi membran protoplasmik menjadi jenuh dengan ion OH- yang
menyebabkan anion terbatas (Moore dan Landecker 1996; Carlile et al. 2001).
61
4. Reaksi Oksidasi pada Media AAG dan AAT
Hasil penelitian menunjukkan semua isolat jamur mempunyai reaksi
positif pada medium asam tanat (AAT) dan asam galat (AAG). Reaksi oksidasi
yang positif pada media AAG dan AAT menunjukkan semua isolat merupakan
jamur pelapuk putih. Isolat kelompok Pleurotus yang diujikan pada media AAG
dan AAT diduga mengeluarkan enzim ektraseluler oksidase dengan terjadinya
reaksi oksidasi dengan asam galat ataupun asam tanat. Untuk mengetahui suatu
jenis jamur termasuk ke dalam jenis pelapuk putih atau bukan dapat dilihat dari
reaksi yang terjadi pada media AAG. Suatu isolat yang bereaksi positif terhadap
AAG maka isolat tersebut termasuk ke dalam jenis pelapuk putih walaupun isolat
tersebut bereaksi negatif terhadap AAT (Noubles 1948).
Uji reaksi oksidasi dengan menggunakan media AAG dan AAT dilakukan
pertama kali oleh Bavendamm pada tahun 1928 terhadap jamur penyebab busuk
pangkal batang pada tanaman berkayu (Davidson 1938 dalam Noubles 1948).
Jamur kelompok pelapuk putih hampir semuanya mengeluarkan enzim
ekstraseluler oksidase. Enzim ini diduga dapat mendegradasi asam galat sehingga
sifat racun dari asam ini berkurang atau hilang sama sekali (Dharmaputra et al.
1989). Pertumbuhan koloni ketujuh isolat kelompok Pleurotus pada media AAG
dan AAT lebih lambat dibandingkan tanpa perlakuan AAG dan AAT, diduga hal
tersebut disebabkan AAG dan AAT mempunyai daya racun bagi isolat-isolat
jamur tersebut. Dihidroksifenol sebagai penyusun asam galat atau tanin yang tidak
berwarna akan membentuk kuinon yang berwarna cokelat gelap apabila
teroksidasi secara enzimatis (Bell dalam Abadi 1987).
Sudiasto (2001) mengungkapkan bahwa tanin biasanya mengingatkan
orang kepada asam tanat (tannic acid). Tanin banyak terkumpul pada bagian
tanaman yang sedang aktif tumbuh, misalnya buah muda, bunga, tunas dan paru.
Tanin yang dapat dihidrolisis atau pyrogallol tannin dikenal juga sebagai asam
galat (gallic acid). Asam tanat merupakan bubuk putih kekuningan sampai coklat
muda. Bahan ini tidak berbau, rasanya ”sepet” dan sangat larut dalam air, alkohol
dan gliserin. Menurut Fengel dan Wegener (1984) tanin merupakan salah satu
jenis senyawa fenolik pada zat ekstraktif di sel-sel kayu. Tanin mudah
terhidrolisis dengan air menjadi glukosa dan asam fenolat (asam galat dan asam
62
elagat). Hara (1993) dalam Harismah (2002) menyatakan bahwa senyawa tanin
dapat dipakai sebagai antimikroba (bakteri dan virus). Menurut Ikigai et al. serta
Shimamura dalam Harismah (2002) antimikroba disebabkan oleh terdapatnya
gugus pirogalol dan gugus galoil. Menurut teori warna, struktur tanin dengan
ikatan rangkap dua yang terkonjugasi pada polifenol sebagai kromofor
(pengemban warna) dan adanya gugus (OH) sebagai auksokrom (pengikat warna)
dapat menyebabkan warna coklat. Tanin juga mampu menggumpalkan protein.
Tanin dapat berikatan dengan protein, sehingga menjadi kompleks yang
tidak larut. Tanin juga dapat menghambat penyerapan zat besi, salah satu
komponen mikro bagi jamur (Wibisana 2000). Menurut Davidson (1993) dalam
Wibisana (2000) komponen fenolik telah lama dikenal sebagai komponen
antimikroba. Tanin sebagai komponen polifenol alami yang banyak terdapat pada
tumbuhan, memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba dengan
mekanisme: 1) bereaksi dengan membran sel; 2) menginaktivasi enzim-enzim
esensial dan 3) destruksi/inaktivasi fungsional terhadap material genetik.
Pertumbuhan dan Perkembangan Isolat-isolat Kelompok Pleurotus pada Substrat Serbuk Gergajian Kayu Sengon
1. Total Bobot Basah Hasil Panen dan Nilai Efisiensi Biologi
Dewasa ini proses perkembangan teknologi budidaya jamur (kultivasi)
seperti jamur tiram semakin meningkat. Keberhasilan budidaya jamur ditentukan
oleh kualitas media tanam, proses budidaya, faktor lingkungan dan kualitas bibit
yang digunakan (Chang dan Miles 1989; Royse 2000). Selain itu, keberhasilan
budidaya jamur khususnya jamur tiram ditentukan oleh persiapan bahan baku
media termasuk kualitas serbuk gergajian kayu yang digunakan, pencampuran
bahan-bahan tambahan, pemasukan ke dalam kantong plastik, teknik penanaman,
pemeliharaan hingga penanganan pada saat masa panen dan pascapanen
(Kushendrarini 2003; Suprapti, 2000).
Substrat pertumbuhan kelompok Pleurotus yang digunakan dalam
penelitian ini adalah serbuk gergajian kayu sengon. Kayu ini banyak digunakan
oleh masyarakat untuk bahan perumahan berupa balok, tiang, papa, dan kaso.
Namun limbah penggergajian kayu sengon ini sampai sekarang belum banyak
63
dimanfaatkan secara optimal. Kayu tropis ini mempunyai kadar selulosa 48,33
persen, lignin 27,28 persen dan pentosan 16,34 persen, dengan nisbah C/N
53,17/0,25 (Nurhayati 1988). Kayu sengon memiliki bobot jenis yang rendah
yaitu berkisar antara 0,24-0,49 dengan rata-rata 0,33 (Widarmana 1984).
Substrat serbuk gergajian ini kemudian diperkaya dengan gips dan kapur
serta dedak/bekatul padi yang merupakan hasil samping penggilingan padi.
Mineral kalsium yang ditambahkan ke dalam substrat adalah gips (CaSO4) dan
kalsium karbonat (CaCO3). Tujuannya adalah untuk memperbaiki pH, struktur
atau permeabilitas media produksi. Total mineral kalsium yang ditambahkan
berkisar 0,5-1% dari total media tanam, dapat berasal dari satu jenis mineral
kalsium atau bersama-sama (Priyadi dan Akhmadi 2000).
Bekatul (polish) bagian luar dari butiran beras setelah kulit padi (sekam)
dan kulit ari (Soemardi 1975), terdiri atas perikarp, lapisan aleuron, embrio dan
sebagian endosperm serta mengandung sebagian besar vitamin dari biji. Dari
gabah kering giling setelah mengalami pengupasan kulit dan penyosohan
dihasilkan bekatul 8%, sekam 20%, beras 65% dan hilang 7% (Grist 1965).
Komposisi kimia bekatul adalah kadar air 9,7%, kadar protein 13,3%, kadar lemak
15,8%, kadar abu 10,4%, karbohidrat 39%, serat kasar 11,8% (Houston dan
Kohler 1970).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor isolat, faktor panen
maupun interaksi antara faktor isolat dan faktor panen berpengaruh nyata terhadap
total bobot basah hasil panen isolat jamur. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa faktor isolat berpengaruh nyata terhadap nilai EB isolat jamur. Isolat P.
ostreatus HO memberikan respon yang paling tinggi dan berbeda nyata dibanding
perlakuan lainnya pada nilai rata-rata total bobot basah hasil panen per kantong
substrat 142,4 gram. Nilai rata-rata total bobot basah hasil panen per kantong
substrat terendah pada Pleurotus EB14-2 sebesar 34,8 gram
Isolat P. ostreatus HO juga memberikan respon yang paling tinggi dan
berbeda nyata dibanding perlakuan lainnya yaitu dengan nilai EB 119,0%. Nilai
EB terendah pada Pleurotus EB14-2 sebesar 29,1%. Nilai EB Pleurotus spp. pada
media serbuk gergajian kayu sengon dapat mencapai 52,6% (Gunawan 1997),
pada media campuran serbuk gergajian kayu sengon dengan limbah kertas
64
mencapai 126% (Widiastuti dan Gunawan 1991), pada media jerami padi dengan
waktu 30-45 hari dapat mencapai 100% (Chang dan Miles 1989). Pada industri
jamur nilai EB ini berkisar antara 40-90% dan merupakan parameter keberhasilan
budidaya jamur.
Dari data di atas berarti P. ostreatus HO sebagai standar pembanding
dapat menghasilkan nilai EB yang tertinggi yaitu di atas 90%. Sedangkan dari
isolat uji, Pleurotus EB9 menghasilkan nilai EB yang cukup tinggi yaitu di atas
40%. Namun untuk kelima isolat lainnya yaitu Pleurotus EB24, Pleurotus EA4,
Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB14-2 menghasilkan nilai EB
yang masih rendah yaitu masih di bawah 40%.
Dari penelitian ini, terlihat kecenderungan menurunnya rata-rata bobot
basah hasil panen per kantong substrat dari panen pertama ke panen-panen
selanjutnya. Hal ini kemungkinan disebabkan bahwa pada panen pertama nutrisi
yang tersedia pada media produksi masih cukup banyak sehingga jamur dapat
tumbuh dengan optimal dan menghasilkan bobot basah hasil panen per kantong
substrat yang besar. Sedangkan pada panen berikutnya terjadi penurunan bobot
basah hasil panen per kantong substrat, yang disebabkan nutrisi yang terkandung
dalam substrat semakin berkurang dan adanya metabolit-metabolit sekunder yang
dihasilkan jamur yang mungkin bersifat racun bagi miselium jamur sendiri.
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa pada media yang sama
kelompok Pleurotus mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memanfaatkan
nutrisi yang tersedia. Pleurotus EB9 mampu memanfaatkan nutrisi yang tersedia
secara optimal, walaupun masih lebih rendah dibanding P. ostreatus HO.
Sedangkan isolat-isolat Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7,
Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB14-2 belum optimal dalam memanfaatkan nutrisi
yang tersedia. Hal ini diduga karena isolat tersebut merupakan isolat liar yang
memerlukan adaptasi dengan lingkungan baru. Berdasarkan nilai EB isolat liar
tersebut belum cukup memuaskan jika akan dibudidayakan. Kelima isolat tersebut
diduga juga memerlukan pengujian berupa penambahan faktor nutrisi dengan
komposisi tertentu seperti suplemen untuk dapat memicu pertumbuhannya. Selain
itu, faktor lingkungan seperti RH dan suhu juga mempengaruhi pertumbuhan
jamur, sehingga dapat menjadi faktor untuk meningkatkan petumbuhannya.
65
Pada pengukuran kelembaban (RH) dan suhu ruangan yang dilakukan di
rumah tanam cukup bervariasi. Bulan Agustus tahun 2004 merupakan waktu hari
hujan paling sedikit pada tahun tersebut di Bogor. Pada saat substrat produksi
mulai dipindahkan ke ruang pemeliharaan sampai akhir pengamatan, terlihat
kisaran suhu dan kelembaban adalah 26-28oC (suhu pagi), 50-68% (pagi), 26-
28oC (suhu sore) dan 50-78% (sore). Menurut Oei (2003) kelembaban yang
dibutuhkan untuk pemunculan primordia adalah 90%, sedangkan pada saat tubuh
buah mulai berkembang kelembaban yang dibutuhkan lebih rendah yaitu berkisar
antara 80-85% dengan suhu sekitar 25-28oC. Dari data di atas dapat kita lihat
bahwa kisaran kelembaban pada ruang pemeliharaan belum sesuai dengan kondisi
untuk pertumbuhan jamur yang optimum. Hal ini kemungkinan disebabkan karena
ruang pemeliharaan yang digunakan masih menggunakan cara konvensional atau
manual sehingga sulit untuk mengatur dan mempertahankan kelembaban dan suhu
yang diinginkan. Selama ini untuk mengatur dan mempertahankan kelembaban
dilakukan dengan cara menyirami lantai ruang pemeliharaan yang juga diberi
karung basah, dan penyiraman air dengan menggunakan sprayer tiga kali sehari
terhadap kantung substrat produksi.
2. Fase Vegetatif, Fase Reproduktif dan Jumlah Panen
Lama fase vegetatif sampai reproduktif waktunya sangat beragam dan
relatif lama. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor isolat berpengaruh
nyata terhadap lama fase vegetatif jamur. Sedangkan faktor isolat tidak
berpengaruh nyata terhadap lama fase reproduktif jamur. Demikian juga dengan
faktor isolat tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah panen.
Lama Fase Vegetatif. Pertumbuhan miselium jamur dimulai dari bibit
(spawn) yang berkembang menjadi hifa yang berwarna putih, yang akan
menghasilkan enzim yang akan mendegradasi senyawa kompleks seperti selulosa,
lignin dan hemiselulosa menjadi fraksi-fraksi yang lebih sederhana (Oei 2003).
Pada umumnya pertumbuhan miselia menyebar menutupi permukaan atas media
terlebih dahulu, kemudian baru bergerak ke bawah dan akhirnya menutupi seluruh
permukaan. Pengamatan lama fase vegetatif atau pertumbuhan miselium masing-
66
masing isolat dilakukan saat media diinokulasikan dengan bibit yang dihitung
sebagai hari ke-nol. Pada semua isolat, ternyata membutuhkan lama inkubasi
(lama fase vegetatif) yang berbeda pada isolat yang berbeda untuk mencapai
kondisi kolonisasi penuh sampai bawah dengan miselia yang berwarna putih.
Rata-rata lama fase vegetatif jamur isolat Pleurotus EB14-2 paling lama
yaitu 80,0 hari, dan Pleurotus EB9 mempunyai rata-rata lama fase vegetatif paling
singkat yaitu 14,0 hari. Lamanya fase vegetatif pada kelima isolat yaitu Pleurotus
EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 diduga
karena jenis-jenis ini belum dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru,
karena merupakan jenis liar yang belum pernah dibudidayakan sebelumnya. Hal
ini berbeda dengan P. ostreatus HO, yang sudah lazim dibudidayakan. Dalam
penelitian ini, P. ostreatus HO mengalami lama fase vegetatif yang relatif pendek
yaitu 19,5 hari.
Jamur P. ostreatus biasanya memerlukan lama fase vegetatif antara 39-45
hari (Kartika 1992; Herliyana 2004). Menurut Wulansari (2001), dengan
perlakuan serbuk gergajian sengon yang diberi suplemen bekatul padi (dedak),
pollard gandum dan kapur-gips dengan masing-masing bobot media produksi
1100 gram, jamur P. ostreatus memerlukan lama fase vegetatif berkisar antara 42
sampai 49 hari.
Isolat Pleurotus EB9 yang mempunyai lama fase vegetatif yang sangat
pendek. Diduga isolat ini mempunyai kelebihan dalam mendegradasi bahan
lignoselulosa dengan cepat. Dibandingkan dengan laju pertumbuhan isolat ini
pada media agar, ternyata Pleurotus EB9 dapat tumbuh pula pada media produksi
dengan lama fase vegetatif yang sangat pendek dan bahkan lebih cepat dibanding
P. ostreatus HO. Perbedaan waktu dan kecepatan untuk mencapai pertumbuhan
maksimum dari ketujuh isolat selain dipengaruhi oleh jenis sumber karbon dan
nitrogen yang dimiliki oleh substrat, juga dipengaruhi oleh kemampuan genetik
masing-masing isolat dalam hal menghasilkan enzim-enzim untuk memecah
struktur suatu senyawa karbon dan nitrogen, sehingga pada satu isolat
memerlukan waktu yang lebih lama untuk memecah senyawa tersebut. Sesuai
dengan pendapat Higley dan Dashek (1998) bahwa sebagian besar jamur pelapuk
putih menggunakan selulosa dan hemiselulosa mendekati kecepatan yang relatif
67
sama, dimana lignin biasanya digunakan pada beberapa jenis jamur dengan
kecepatan yang relatif lebih tinggi. Beberapa jamur pelapuk putih mengubah
lignin dan hemiselulosa secara memilih, tetapi pada prinsipnya mereka
mendegradasi seluruh komponen dinding sel kayu.
Perbedaan waktu dan kecepatan laju pertumbuhan pada media agar dan
media produksi selain dipengaruhi oleh kemampuan menghasilkan enzim-enzim
masing-masing isolat, juga diduga diakibatkan oleh perbedaan sumber-sumber
karbon dan nitrogen yang dimiliki oleh kedua jenis media tersebut. Media yang
memiliki kadar karbon dan kadar nitrogen yang lebih besar memerlukan waktu
yang lebih lama oleh enzim untuk memecah senyawa yang lebih kompleks
tersebut.
Lama Fase Reproduktif. Lama fase reproduktif diawali dengan
berakhirnya fase vegetatif dan mulai dibukanya kantong substrat dilanjutkan
munculnya pertama kali primordial, kemudian sampai panen pertama, kedua dan
seterusnya sampai panen terakhir. Primordial merupakan miselium yang
membentuk gumpalan-gumpalan kecil seperti simpul benang yang bertambah
besar dan membentuk struktur bulat. Gumpalan miselium yang dibentuk ini
memberikan tanda awal pembentukan tubuh buah (Gunawan 2000). Menurut
Wulansari (2001), P. ostreatus dengan perlakuan serbuk gergajian sengon yang
diberi suplemen 15% bekatul padi (dedak) dan 1,5% gips-kapur waktu panen
pertama paling cepat dibanding perlakuan lainnya yaitu 61,4 hari. Komposisi
media produksi dalam penelitian ini mendekati perlakuan terbaik tersebut,
sehingga diharapkan masing-masing isolat dapat tumbuh dengan baik.
Rata-rata lama fase reproduktif atau lama panen dari mulai panen pertama
sampai panen terakhir paling lama adalah pada jamur isolat Pleurotus EA4 yaitu
199,0 hari dan paling singkat yaitu 112,5 hari untuk isolat Pleurotus EB9.
Perbedaan yang cukup besar pada lama fase vegetatif dan reproduktif pada isolat-
isolat jamur yang diuji menunjukkan tiap-tiap isolat memiliki karakteristik yang
berbeda-beda dalam mengambil nutrisi untuk pertumbuhannya. Perbedaan
kecepatan untuk lama fase reproduktif dari ketujuh isolat dipengaruhi juga
kemampuan genetik masing-masing isolat dalam hal menghasilkan enzim-enzim
untuk memecah struktur suatu senyawa karbon dan nitrogen.
68
Dari penelitian ini, terlihat kecenderungan semakin cepatnya lama panen
per kantong substrat dari panen-panen sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan
proses degradasi substrat oleh jamur yang semakin sempurna menjelang panen
terakhir, sehingga pada panen-panen terakhir jamur tidak membutuhkan waktu
lama untuk membentuk tubuh buah, oleh karena itu pula pada panen-panen
terakhir produksi tubuh buah semakin menurun.
Jumlah Panen. Rata-rata jumlah panen paling banyak adalah pada isolat
jamur Pleurotus EB14-2 yaitu 6,0 kali. Sedangkan rata-rata jumlah panen paling
sedikit adalah pada Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO yaitu 4,0 kali.
Pleurotus spp. dapat dipanen sebanyak 10-12 kali dari setiap media
produksi pada satu periode penanaman selama 6-7 bulan. Dalam kondisi yang
baik, Pleurotus spp. dapat dipanen sampai 16 kali. Setelah media produksi hanya
menghasilkan tubuh buah yang berukuran kecil sebaiknya diganti dengan bibit
yang baru dari hasil pembiakan yang baik dan mutunya terjamin (Djarijah dan
Djarijah 2001). P. ostreatus yang dibudidayakan dalam substrat serbuk gergajian
dengan suplement bekatul, kapur, gips dan biji jagung dapat dipanen sebanyak
empat hingga lima kali dalam jangka waktu 3-5 bulan (Priyadi dan Akhmadi
2000).
Pleurotus spp. membutuhkan suhu optimal untuk pertumbuhan miselium
dan tubuh buahnya berkisar antara 26(+1)oC dan 28(+1)oC (Chang dan Miles
1989), temperatur optimum untuk pertumbuhan miselium ialah 25-30 0C dan
temperatur optimum untuk pembentukan tubuh buah adalah 20-25 0C dengan
kelembaban 80-85% agar pertumbuhan miselium dan tubuh buah optimal
(Suprapti 1987). Pertumbuhan jamur tiram dalam media produksi dipengaruhi
oleh suhu, kelembaban, kandungan O2 dan CO2, imbangan C/N, mineral, jumlah
substrat dan populasi awal inokulum (Royse 2000) terutama jumlah substrat dan
populasi awal inokulum (Daru 1999).
Analisis Kelompok Berdasarkan Karakter Fisiologis
Dari analisis kelompok berdasarkan karakter fisiologis ini dapat diduga
terdapat dua spesies yang berbeda yang digambarkan dengan adanya dua
69
kelompok besar dari enam isolat jamur asal Bogor di atas. Hal ini sesuai dengan
hipotesis kedua yaitu karakter fisiologi yang berbeda dapat menunjukkan spesies
yang berbeda, yaitu isolat Pleurotus EB9 berbeda dengan kelima isolat lain yaitu
Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, dan EB6. Pleurotus EB9 mempunyai
kekerabatan lebih dekat dengan P. ostreatus HO dibanding dengan isolat-isolat
kelompok Pleurotus lainnya.
Simpulan
Dari hasil penelitian ini diharapkan Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4
sebagai jamur pelapuk putih potensial karena mempunyai reaksi pada AAG dan
AAT yang cukup kuat, terutama Pleurotus EB9 yang mempunyai lama fase
vegetatif yang lebih singkat dibanding isolat yang lain termasuk P. ostreatus HO.
Karakter fisiologi yang berbeda dapat menunjukkan spesies yang berbeda,
yaitu isolat Pleurotus EB9 berbeda dengan kelima isolat lain yaitu Pleurotus
EB14-2, EB24, EA4, EAB7, dan EB6. Pleurotus EB9 mempunyai kekerabatan
lebih dekat dengan P. ostreatus HO dibanding dengan isolat-isolat kelompok
Pleurotus lainnya.
3. KARAKTER LIGNINOLITIK KELOMPOK Pleurotus BERDASARKAN BIODEGRADASI PADA TIGA JENIS KAYU
BAHAN PULP
(Ligninolytic Characters of Pleurotus Group Based on The Biodegradation of Three Wood of Pulp)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakter ligninolitik berdasarkan tingkat degradasi isolat-isolat kelompok Pleurotus yaitu Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, EB6 dan EB9, dengan P. ostreatus HO sebagai pembanding standar pada kayu Acacia mangium (akasia), Pinus merkusii (pinus) dan P. falcataria (sengon). Tingkat degradasi diperoleh dari penurunan bobot kering kayu. Pengamatan mikroskopik dilakukan pada kayu yang telah didegradasi tersebut. Bahan yang digunakan adalah kayu berbentuk serpih (chip) berukuran (2,5x2,0x0,5)-(3,0x2,5x0,5) cm, dengan bobot kering 1,05-2,34 gram. Delapan potong chip masing-masing kayu diberi 10 ml media Malt Ekstrak cair dan dikocok sampai menyerap di dalam kantong plastik, kemudian dimasukkan ke dalam botol gelas berukuran 214 ml (diameter 5,5 cm dan tinggi 9 cm) dan selanjutnya disterilisasi. Setelah steril, kedelapan potong chip kayu dalam botol tersebut diinokulasi dengan cara ditaburi satu gram bibit jamur yang ditumbuhkan pada media jagung pecah. Satu chip kayu per botol diambil untuk pengamatan bobot kering dan satu chip kayu dari botol yang berbeda untuk pengamatan secara mikroskopik. Untuk pengamatan secara mikroskopik, dari contoh chip kayu tersebut, kemudian dibuat preparat mikrotom menggunakan metode Sarajar (1975). Pelunakan contoh kecil kayu dilakukan dengan alkohol dan gliserin. Pembuatan sayatan tipis setebal 15-20 mikron secara radial, tangensial maupun longitudinal dilakukan dengan bantuan alat Sliding Microtome. Pewarnaan dilakukan dengan pemberian lactophenol blue. Observasi sifat mikroskopik dilakukan dengan bantuan Fluorescens Microscope Olympus type Bx 51. Untuk sifat mikroskopik beberapa contoh uji dibuat preparat SEM dengan metode Slayter dan Slayter (1992). Pengamatan terhadap bobot kering chip kayu dan pengamatan secara mikroskopik dilakukan tiap dua minggu selama 8 minggu.
Tingkat degradasi pada kayu bahan pulp tersebut antara 0,4 sd 40,1%. Laju dekomposisi kayu oleh kelompok Pleurotus tersebut antara 1,8 sd 92,3 mg/minggu. Isolat paling tinggi tingkat degradasinya adalah Pleurotus EB9 pada kayu pinus (40,1%) pada minggu ke-6, dan tetap tinggi pada kayu akasia (38,1%) pada minggu ke-6. Isolat paling tinggi ke-2 adalah P. ostreatus HO pada akasia (31,8%) pada minggu ke-6. Rata-rata tingkat degradasi oleh Pleurotus EB9 dan P.ostreatus HO pada kayu sengon adalah yang tertinggi, kemudian kayu akasia dan kayu pinus. Isolat paling tinggi laju dekomposisinya adalah P.ostreatus HO pada kayu sengon (92,3 mg/minggu) pada minggu ke-2. Isolat paling tinggi ke-2 adalah Pleurotus EB9 pada kayu sengon (90,7 mg/minggu) pada minggu ke-2. Isolat paling tinggi ke-3 adalah Pleurotus EB9 pada pinus (86,3 mg/minggu) pada minggu ke-6.
71
Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan bahwa pada tahap awal kolonisasi oleh jamur, miselium mendiami saluran resin dan jari-jari pada kayu pinus. Pada kayu akasia terlihat bahwa miselium mendiami pembuluh dan jari-jari. Pada umumnya miselium melakukan penetrasi melalui noktah-noktah sebagai salah satu cara penyebaran ke sel-sel kayu yang lain. Pada proses pelapukan selanjutnya terlihat kerusakan dan perubahan bentuk pada lamela tengah dan dinding sel sekunder.
Kata-kata Kunci: Kelompok Pleurotus, biodegradasi, kayu pinus, akasia dan
sengon
Abstract
The purpose of this research was to examine ligninolytic characterization of Pleurotus group from Bogor district based on degradation value of A. mangium, P. merkusii and P. falcataria by means of wood dry weight and microscopic analysis on wood destruction. The isolates were Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, EB6 and EB9 in which P. ostreatus HO was used as standard comparison. Materials used are chips of acasia, pine and sengon (2,5x2,0x0,5)-(3,0x2,5x0,5) cm, with dry weight of 1,05-2,34 gram. Eight chips of each wood species were mixed with 10 ml medium Malt Extract liquid and shacked until penetrated. They were then rained into glass bottle with size 213 ml to be sterilized. After sterilized, the chips were inoculated with 1 gram spawn which are grown on corn medium. One chip per bottle was taken for dry weight observation, and other chip per bottle from different bottle was taken for microscopic analysis. For microscopic analysis, microtome slide of chips were prepared using Sarajar method (1975). Chips were maserated with alcohol and gliserine, and then collorated with lactophenol blue. Observation on microscopic character was conducted by using Fluorescens Microscope Olympus type Bx 51 and SEM preparate with Slayter dan Slayter method (1992). Examination of dry weight and microscopic observation were conducted in every 2 weeks for 2 months period.
Wild Pleurotus group showed wide variation in terms of degradation level (0,4-40,1%). Wood decomposition rate of the group ranged from 1,8-92,3 mg/week. Degradation level of Pleurotus EB9 on pine wood was the highest (40,1%) on the 6th weeks. Second’s isolat was Pleurotus EB9 on acacia wood (38,1%) on the 6th weeks. Wood decomposition rate of P.ostreatus HO on sengon wood was highest (92,3 mg/week) on the 2nd weeks. The second highest wood decomposition rate was isolat of Pleurotus EB9 on sengon wood (90,7 mg/week) on the 2nd weeks. Rate of degradation level of Pleurotus EB9 and P.ostreatus HO on sengon wood was the highest, followed by on acacia and pine wood.
Microscopic analysis showed that in the early stage of fungi invasion on pine, mycelium lived in resin tunnel and xyllary rays, while on acasia they lived in vessels and xyllary rays. In general, mycelium was penetrated through nocti as a means to spread further in another of wood cells. On the advanced decay process, there were changes in form and cells damage of middle lamella and secondary cell wall. Keywords: Pleurotus group, biodegradation, pine, acacia and sengon wood
72
Pendahuluan
Jamur adalah organisme eukariotik, uniseluler atau multiseluler yang
mempunyai dinding sel berupa khitin atau selulosa sebagai komponen utamanya.
Jamur pelapuk putih lebih menyerang lignin dan meninggalkan warna putih pada
kayu (Fengel dan wegener 1984). Berdasarkan kemampuannya dalam
mendegradasi lignin, jamur pelapuk putih dapat dibedakan atas dua tipe yaitu
simultan dan preferensi. Tipe simultan mendegradasi semua komponen dinding
sel (lignin, hemiselulosa dan selulosa) secara simultan sedangkan tipe preferensi
umumnya mendegradasi lignin (Eriksson et al. 1990). Jamur Phanerochaete
chrysosporium yang banyak diuji potensinya untuk proses biopulping adalah salah
satu contoh jamur pelapuk putih tipe preferensi karena lebih menyerang lignin
(Eaton dan Hale 1993). P. ostreatus diduga berpotensi untuk industri pulp karena
diketahui mendegradasi lignin lebih efisien dibanding P. chrysosporium (Kerem
et al. 1992; Hadar et al. 1993).
Mekanisme degradasi lignin oleh kelompok Pleurotus belum banyak
dipelajari seperti pada P. chrysosporium. Beberapa aktivitas enzim ekstraseluler
kelompok Pleurotus telah dipelajari, diantaranya manganese peroksidase (MnP)
(Kerem et al. 1992). Namun dari beberapa studi yang dilakukan, terlihat enzim
yang bertanggungjawab untuk degradasi lignin dalam kelompok Pleurotus cukup
bervariasi.
Hasil karakterisasi fisiologis terhadap isolat kelompok Pleurotus asal
Bogor yaitu Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 menunjukkan reaksi oksidasi yang
positif pada media AAG dan AAT. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka
perlu dilakukan penelitian karakterisasi secara ligninolitis isolat kelompok
Pleurotus tersebut berdasarkan tingkat degradasi dan laju dekomposisi pada kayu
bahan pulp.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi ligninolitik enam isolat
kelompok Pleurotus yang ditemukan berdasarkan tingkat degradasi dan laju
dekomposisi pada jenis kayu bahan pulp yaitu A. mangium (akasia) dan
P. merkusii (pinus). Isolat Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO diujikan juga pada
kayu P. falcataria (sengon).
73
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2004 sampai Januari 2006 di
Laboratorium Patologi Hutan, Departemen Silvikultur dan Laboratorium Kimia
Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Laboratorium Mikrobiologi
dan Biokimia, Pusat Studi Ilmu Hayat, Laboratorium Mikologi, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, dan di Rumah Jamur Departemen Biologi
FMIPA, IPB, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong.
Uji Tingkat Degradasi Oleh Isolat Kelompok Pleurotus Pada Kayu Bahan Pulp
Isolat yang digunakan adalah jamur pelapuk putih Pleurotus EB14-2,
EB24, EA4, EAB7, EB6 dan EB9, dengan P. ostreatus HO sebagai pembanding
standar. Bahan yang digunakan adalah kayu akasia, pinus dan sengon yang
berbentuk serpih (chip) berukuran (2,5x2,0x0,5)-(3,0x2,5x0,5) cm, dengan bobot
kering 1,05-2,34 gram.
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 3.1 A. Kayu yang digunakan. a. Pinus. b. Akasia. c. Sengon. B.
Pengujian biodegradasi kayu pinus oleh Pleurotus EA4. a Kayu dalam botol yang telah dikolonisasi miselium. b dan c. Kolonisasi miselium pada kayu contoh.
a b c
A
a b c
B
74
Chip kayu yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari lingkungan
Cangkurawok, IPB, yaitu pinus (umur 30 tahun dengan diameter 40 cm), akasia
(umur 14 tahun dengan diameter 35 cm) dan sengon (umur 8 tahun dengan
diameter 35 cm). Chip kayu diambil dari bagian kayu gubal dan teras, 1 meter dari
pangkal dan disimpan lebih kurang dua minggu sebelum diperlakukan.
Delapan potong chip masing-masing kayu diberi 10 ml media Malt Ekstrak
cair dan dikocok sampai menyerap di dalam kantong plastik, kemudian
dimasukkan ke dalam botol gelas berukuran 214 ml (diameter 5,5 cm dan tinggi 9
cm) secara tidak beraturan dan selanjutnya disterilisasi. Setelah disterilisasi,
kedelapan potong chip kayu dalam botol tersebut diinokulasi dengan cara ditaburi
satu gram bibit jamur yang ditumbuhkan pada media jagung pecah. Satu chip
kayu per botol diambil untuk pengamatan bobot kering dan satu chip kayu dari
botol yang berbeda untuk pengamatan secara mikroskopik. Pengamatan terhadap
bobot kering chip kayu dilakukan tiap dua minggu selama 8 minggu pada suhu
ruang. Tiap perlakuan dilakukan dua ulangan.
Perhitungan Tingkat Degradasi Berdasarkan Persentase Kehilangan Bobot dan Pendugaan Laju Dekomposisi Kayu
Persentase kehilangan bobot adalah salah satu ukuran adanya biodegradasi
oleh isolat kelompok Pleurotus yang disebut juga tingkat degradasi. Bobot kering
oven (BKO) kayu pada awal dan akhir pengujian diukur, kemudian dihitung
persentase kehilangan bobot kering kayu yang diinokulasikan tersebut setiap 2
minggu sekali menggunakan rumus berikut: Persentase kehilangan bobot kayu minggu ke-t = BKO minggu ke-0 – BKO minggu ke-t x 100% BKO minggu ke-0
Laju dekomposisi kayu diperoleh dengan menggunakan rumus Olson (1963)
berikut: Xt = X0. e –kt
ln (Xt/X0) = -k.t dengan pengertian: Xt = bobot kering kayu setelah waktu pengamatan ke- t (g)
X0 = bobot kering kayu awal (g) k = laju dekomposisi kayu e = bilangan logaritma natural (2,72) t = waktu pengamatan (minggu)
75
Analisis Data
Rancangan perlakuan yang diterapkan adalah Rancangan Faktorial dengan
RAL dengan faktor-faktornya adalah jenis kayu, jenis isolat dan waktu
pengamatan. Pengolahan data analisis ragam menggunakan SAS.
Pengamatan Secara Mikroskopik Jaringan Kayu Yang Terserang
Untuk pengamatan secara mikroskopik, dari contoh chip kayu tersebut,
kemudian dibuat preparat mikrotom menggunakan metode yang umum dipakai di
Laboratorium Kayu Solid Fakultas Kehutanan IPB (Sarajar 1975). Sebelum
pengirisan dengan mikrotom, kayu dibuat lunak dengan perendaman contoh kayu
dalam campuran alkohol 96% dan gliserin (perbandingan 1:1 v/v).
Pembuatan sayatan tipis setebal 15-20 mikron menurut bidang transversal
(melintang/cross), radial maupun tangensial dilakukan dengan bantuan alat
Sliding Microtome. Hasil pengirisan ditetesi dengan zat pewarna lactofenol blue
dan diamati dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 100 sampai
1000 kali. Observasi sifat mikroskopik dilakukan dengan bantuan Fluorescens
Microscope Olympus type Bx 51. Untuk sifat mikroskopik beberapa contoh uji
dibuat preparat SEM dengan metode Slayter dan Slayter (1992), pemotretan tipe
JSM-5000 dan ACCV 20kV, pembesaran 100 sampai dengan 2000 kali dan width
yang berbeda-beda. Pengamatan secara mikroskopik dilakukan tiap dua minggu
selama 8 minggu pada suhu ruang. Tiap perlakuan dilakukan dua ulangan.
Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Tingkat Degradasi Oleh Isolat Kelompok Pleurotus Pada Kayu Bahan Pulp
Degradasi kayu diukur dari persen tingkat degradasi berdasarkan
pengurangan bobot kering awal kayu oleh bobot kering akhir kayu dibagi bobot
kering awal kayu dikali 100%. Degradasi kayu juga dapat dilihat dari laju
dekomposisi kayu dengan menggunakan persamaan Olson (1963).
76
Tingkat Degradasi Kayu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat degradasi isolat-isolat
kelompok Pleurotus pada kayu bahan pulp berkisar antara 0,4 sampai dengan
40,1%. Isolat Pleurotus EB9 yang memiliki tingkat degradasi yang paling tinggi.
Pada kayu pinus yaitu 40,1% dan Pleurotus EB9 pada kayu akasia (38,1%). Isolat
paling tinggi ke-2 adalah P. ostreatus HO pada akasia (31,8%) (Tabel 3.1).
Tingkat degradasi paling rendah adalah Pleurotus EB9 pada kayu akasia
(0,4%). Rata-rata tingkat degradasi Pleurotus EB9 dan P.ostreatus HO yang
paling tinggi pada kayu sengon, kemudian kayu akasia dan diikuti kayu pinus.
Tabel 3.1 Tingkat degradasi pada kayu bahan pulp pinus, akasia dan sengon
setelah diinokulasi oleh isolat kelompok Pleurotus
Jenis isolat Lama inkubasi (minggu) Tingkat degradasi (%) pinus akasia sengon
Pleurotus EB14-2 2 0.9 2.3 -1) 4 3.2 5.2 - 6 3.6 4.0 - Rata-rata 2.6 3.8 - Pleurotus EB24 2 0.9 2.1 - 4 1.5 5.5 - 6 4.9 3.0 - Rata-rata 2.4 3.5 - Pleurotus EA4 2 1.1 2.3 - 4 3.2 7.5 - 6 5.9 2.3 - Rata-rata 3.4 4.0 - Pleurotus EAB7 2 1.0 1.3 - 4 2.3 6.6 - 6 4.2 3.2 - Rata-rata 2.5 3.7 - Pleurotus EB6 2 0.7 2.4 - 4 1.3 4.0 - 6 3.3 3.0 - Rata-rata 1.8 3.1 - Pleurotus EB9 2 1.3 0.4 16.6 4 12.7 12.2 19.7 6 40.1 38.1 24.7 Rata-rata 18.1 16.9 20.3 P. ostreatus HO 2 1.6 0.6 16.8 4 2.9 3.9 23.5 6 24.3 31.8 19.0 Rata-rata 9.6 12.1 19.8
Keterangan: bobot kering kayu awal pada ketiga jenis kayu dikonversi menjadi 1,5 gram yang dihitung berdasarkan rata-rata bobot kering awal ketiga jenis kayu; 1) Tidak dianalisis
77
17.5 a
10.8 b
3.7 c 3.2 c 3.1 c 3.0 c 2.4 c
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
16.0
18.0
20.0
Jenis Isolat
Ting
kat D
egra
dasi
(%)
1. Pleurotus EB9 2. P. ostreatus HO 3. Pleurotus EA4 4. Pleurotus EB14-25. Pleurotus EAB7 6. Pleurotus EB24 7. Pleurotus EB6
1 765432
Rata-rata tingkat degradasi ketujuh isolat kelompok Pleurotus pada kayu
pinus dan akasia pada penelitian ini dirangkum pada Gambar 3.2. Pleurotus EB9
mempunyai kemampuan mendegradasi kayu terbesar dan berbeda nyata dibanding
kemampuan mendegradasi kayu oleh isolat standar pembanding P. ostreatus HO
dan kelima isolat liar lainnya.
Gambar 3.2 Pengaruh jenis isolat yang berbeda terhadap rata-rata tingkat
degradasi kayu pinus dan akasia.
Hasil analisis ragam tingkat degradasi oleh kedua isolat Pleurotus EB9
dan P. ostreatus HO pada kayu pinus, akasia dan sengon menunjukkan bahwa
lama inkubasi, jenis kayu, jenis isolat, dan interaksi antara jenis kayu dan lama
inkubasi berpengaruh nyata terhadap tingkat degradasi kayu.
Tabel 3.2 Rata-rata tingkat degradasi berdasarkan lama inkubasi
Lama Inkubasi (Minggu) Rata-rata tingkat degradasi
(%)1) 2 4 6
4,1 c 2) 11,1 b 30,7 a
1)Diperoleh dari rata-rata tingkat degradasi pada ketiga jenis kayu (pinus, akasia dan sengon) oleh masing jenis jamur (Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO) 2)Nilai yang diikuti huruf yang sama tiap lajur tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Tingkat degradasi setelah masa inkubasi 8 minggu kembali menurun.
Penurunan ini diduga karena penempatan contoh uji yang tidak teratur sehingga
contoh uji yang diambil paling akhir adalah yang berada paling bawah. Contoh uji
yang di bawah diduga terdegradasi tidak secepat yang bagian di atasnya,
dikarenakan faktor lingkungan yaitu aerasi yang kurang.
78
Dilihat dari jenis isolatnya, Pleurotus EB9 mampu mendegradasi ketiga
jenis kayu paling besar bahkan dibanding dengan P. ostreatus HO (Tabel 3.3).
Tabel 3.3 Rata-rata tingkat degradasi berdasarkan isolat
Jenis Isolat Rata-rata tingkat degradasi (%)1)
Pleurotus EB9 P. ostreatus HO
17,5 a2) 13,8 b
1)Diperoleh dari rata-rata tingkat degradasi pada ketiga jenis kayu (pinus, akasia dan sengon) untuk masing-masing lama inkubasi 2)Nilai yang diikuti huruf yang sama tiap lajur tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Berdasarkan jenis kayunya, secara statistik kedua isolat Pleurotus EB9 dan
P. ostreatus HO dengan masa inkubasi 2, 4 dan 6 minggu menunjukkan rata-rata
tingkat degradasi paling tinggi pada kayu sengon dibanding pada kayu akasia dan
pinus (Tabel 4.4). Interaksi antara jenis kayu dan lama inkubasi menunjukkan
rata-rata tingkat degradasi Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO pada kayu pinus,
akasia dan sengon pada 2, 4 dan 6 minggu inkubasi bervariasi. Pada kayu pinus
dan akasia, terlihat tingkat degradasi dengan masa inkubasi 6 minggu
menunjukkan angka yang paling besar dan berbeda nyata dibanding masa
inkubasi 2 dan 4 minggu. Namun pada kayu sengon, tingkat degradasi oleh kedua
isolat tersebut tidak berbeda nyata (Tabel 3.4).
Tabel 3.4 Rata-rata tingkat degradasi berdasarkan jenis kayu dan lama inkubasi
Tingkat Degradasi Rata-rata (%)1) Minggu ke- Jenis Kayu
2 4 6
Rata-rata tingkat degradasi (%)3)
Pinus Akasia Sengon
1,5 c2) 0,5 c
16,8 b
7,8 c 8,1 c
23,5 b
32,2 a 34,9 a 19,0 b
13,8 b 14,5 b 19,8 a
1) Diperoleh dari rata-rata tingkat degradasi oleh masing-masing jenis jamur (Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO)
2)Nilai yang diikuti huruf yang sama tiap lajur tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
3)Diperoleh dari rata-rata tingkat degradasi oleh masing-masing jenis jamur (Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO) untuk masing-masing lama inkubasi
Bobot Kering Sisa Kayu
Bobot kering sisa kayu pinus yang diperoleh dari nilai tingkat degradasi,
setelah diinokulasikan dengan isolat Pleurotus cenderung menurun seiring dengan
lamanya masa inkubasi. Sebagai contoh pada bobot kering sisa kayu oleh
79
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
Bob
ot K
erin
g Si
sa K
ayu
(Gra
m)
1) 0 minggu 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500
2) 2 minggu 1.486 1.486 1.483 1.485 1.489 1.480 1.477
3) 4 minggu 1.452 1.478 1.451 1.465 1.480 1.309 1.456
4) 6 minggu 1.445 1.427 1.412 1.436 1.451 0.898 1.135
Pleurotus EB14-2
Pleurotus EB24
Pleurotus EA4
Pleurotus EAB7
Pleurotus EB6
Pleurotus EB9
P. ostreatus HO
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
Bob
ot K
erin
g Si
sa K
ayu
(Gra
m)
1) 0 minggu 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500
2) 2 minggu 1.465 1.469 1.466 1.481 1.465 1.495 1.492
3) 4 minggu 1.422 1.417 1.387 1.402 1.440 1.317 1.441
4) 6 minggu 1.440 1.455 1.466 1.452 1.456 0.929 1.023
Pleurotus EB14-2
Pleurotus EB24
Pleurotus EA4
Pleurotus EAB7
Pleurotus EB6
Pleurotus EB9
P. ostreatus HO
Pleurotus EB9 yang semakin menurun setelah masa inkubasi minggu ke-6
(Gambar 3.3).
Gambar 3.3 Bobot kering sisa kayu pinus setelah diinokulasi dengan isolat kelompok Pleurotus.
Demikian juga bobot kering sisa kayu akasia setelah diinokulasi dengan
Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO. Terlihat kecenderungan menurun seiring
lamanya waktu inkubasi. Pada Gambar 3.4, terlihat kecenderungan menurunnya
bobot kering sisa kayu akasia setelah inokulasi oleh kelima isolat lainnya, namun
pada minggu ke-6 terlihat bobot kering sisa kayu kembali meningkat. Sebagai
contoh pada bobot kering sisa kayu setelah diinokulasi dengan Pleurotus EA4
semakin menurun sampai minggu ke-4, namun pada minggu ke-6 terlihat bobot
kering sisa kayu yang kembali meningkat.
Gambar 3.4 Bobot kering sisa kayu akasia setelah inokulasi oleh tujuh isolat
kelompok Pleurotus.
80
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
Bob
ot K
erin
g Si
sa K
ayu
(Gra
m)
1) 0 minggu 1.500 1.500
2) 2 minggu 1.251 1.247
3) 4 minggu 1.205 1.148
4) 6 minggu 1.130 1.216
Pleurotus EB9 P. ostreatus HO
Pada kayu sengon, bobot kering sisa kayu diperoleh dari nilai tingkat
degradasi, terlihat kecenderungan menurun setelah diinokulasi oleh Pleurotus
EB9 sampai minggu ke-4, dan kembali meningkat pada minggu ke-6 (Gambar
3.5). Pada Gambar 4.5 juga terlihat kecenderungan menurunnya bobot kering sisa
kayu sengon setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO sampai minggu ke-6.
Gambar 3.5 Bobot kering sisa kayu sengon setelah inokulasi oleh Pleurotus EB9
dan P. ostreatus HO.
Laju Dekomposisi Kayu
Laju dekomposisi kayu oleh kelompok Pleurotus bervariasi antara 1,8
sampai dengan 92,3 mg/minggu. Isolat paling tinggi laju dekomposisinya adalah
P.ostreatus HO pada kayu sengon (92,3 mg/minggu) pada minggu ke-2, kemudian
paling tinggi ke-2 diikuti oleh Pleurotus EB9 pada kayu sengon (90,7 mg/minggu)
pada minggu ke-2, kemudian Pleurotus EB9 pada pinus (86,3 mg/minggu) pada
minggu ke-6. Isolat paling rendah laju dekomposisinya adalah Pleurotus EB9
pada kayu akasia yaitu sebesar 1,2 mg/minggu pada masa inkubasi 8 minggu
(Tabel 3.5).
81
Tabel 3.5 Laju dekomposisi pada kayu bahan pulp pinus, akasia dan sengon setelah diinokulasi oleh isolat kelompok Pleurotus
Jenis isolat Lama inkubasi (minggu) k (laju dekomposisi)
(mg/minggu) pinus akasia sengon
Pleurotus EB14-2 2 4.6 11.7 -1) 4 8.1 13.4 - 6 6.2 6.8 - Rata-rata 6.3 10.6 - Pleurotus EB24 2 4.7 10.5 - 4 3.7 14.2 - 6 8.4 5.1 - Rata-rata 5.6 9.9 - Pleurotus EA4 2 5.7 11.6 - 4 8.2 19.6 - 6 10.1 3.8 - Rata-rata 8.0 11.7 - Pleurotus EAB7 2 5.0 6.3 - 4 5.9 17.0 - 6 7.2 5.5 - Rata-rata 6.0 9.6 - Pleurotus EB6 2 3.7 11.9 - 4 3.3 10.1 - 6 5.6 5.0 - Rata-rata 4.2 9.0 - Pleurotus EB9 2 6.7 1.8 90.7 4 34.1 32.9 54.8 6 86.3 80.4 47.2 Rata-rata 42.4 38.4 64.2 P. ostreatus HO 2 7.9 2.8 92.3 4 7.4 10.0 67.0 6 46.5 64.3 35.0 Rata-rata 20.6 25.7 64.8
Keterangan: bobot kering kayu awal pada ketiga jenis kayu dikonversi menjadi 1,5 gram yang dihitung berdasarkan rata-rata bobot kering awal ketiga jenis kayu; 1) Tidak dianalisis
Pengamatan Secara Mikroskopik Jaringan Kayu Pada Tabel 3.6 terlihat secara ringkas hasil pengamatan mikroskopis
jaringan kayu setelah diinokulasi oleh kelompok Pleurotus. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ketujuh isolat kelompok Pleurotus dapat mengkolonisasi dan
mendegradasi kedua jenis kayu tersebut yaitu pinus (Gambar 3.6 dan 3.7) dan
akasia (Gambar 3.8, 3.9 dan 3.11). Hanya Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO,
yang juga diinokulasikan pada kayu sengon dan kedua isolat tersebut juga dapat
mengkolonisasi dan mendegradasi kayu sengon (Gambar 3.12).
82
Tabel 3.6 Tanda-tanda kerusakan kayu secara mikroskopis pada kayu pinus, akasia dan sengon setelah diinokulasi dengan isolat kelompok Pleurotus
Jenis isolat Kerusakan kayu secara mikroskopis
Lama inkubasi (minggu) pinus akasia sengon
Pleurotus EB14-2 2 Kolonisasi miselium
pada saluran resin, jari-jari Kolonisasi miselium pada
pembuluh, jari-jari -1)
4
Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (parenkim, trakeid dsb).
Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (serat, parenkim) -
6
Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan lamela
tengah terdegradasi
Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan
lamela tengah terdegradasi -
Pleurotus EB24 2 Kolonisasi miselium
pada saluran resin, jari-jari Kolonisasi miselium
pada pembuluh, jari-jari -
4
Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (parenkim, trakeid dsb).
Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (serat, parenkim) -
6
Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan lamela
tengah terdegradasi
Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan
lamela tengah terdegradasi -
Pleurotus EA4 2 Kolonisasi miselium
pada saluran resin, jari-jari Kolonisasi miselium
pada pembuluh, jari-jari -
4
Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (parenkim, trakeid dsb).
Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (serat, parenkim) -
6
Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan lamela
tengah terdegradasi
Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan
lamela tengah terdegradasi -
Pleurotus EAB7 2 Kolonisasi miselium
pada saluran resin, jari-jari Kolonisasi miselium
pada pembuluh, jari-jari -
4
Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (parenkim, trakeid dsb).
Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (serat, parenkim) -
6
Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan lamela
tengah terdegradasi
Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan
lamela tengah terdegradasi -
Pleurotus EB6 2 Kolonisasi miselium pada
saluran resin, jari-jari Kolonisasi miselium
pada pembuluh, jari-jari -
4
Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (parenkim, trakeid dsb).
Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (serat, parenkim) -
6
Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan lamela
tengah terdegradasi
Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan
lamela tengah terdegradasi -
Pleurotus EB9 2 Kolonisasi miselium
pada saluran resin, jari-jari Kolonisasi miselium
pada pembuluh, jari-jari Kolonisasi miselium
pada pembuluh,jari-jari
4
Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (parenkim, trakeid dsb).
Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (serat, parenkim)
Miselium menyebar melalui noktah sel ke
sel lainnya (serat, parenkim)
6
Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan lamela
tengah terdegradasi
Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan
lamela tengah terdegradasi
Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan
lamela tengah terdegradasi
P. ostreatus HO 2 Kolonisasi miselium
pada saluran resin, jari-jari Kolonisasi miselium
pada pembuluh, jari-jari Kolonisasi miselium
pada pembuluh,jari-jari
4
Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (parenkim, trakeid dsb).
Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (serat, parenkim)
Miselium menyebar ke sel lainnya (serat, parenkim) melalui
noktah
6
Dinding sel sekunder berlubang-lubang
dan lamela tengah terdegradasi
Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan
lamela tengah terdegradasi
Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan
lamela tengah terdegradasi
2) Tidak dianalisis
83
Hasil pengamatan pada kayu pinus dengan bantuan mikroskop cahaya
maupun SEM, pada minggu ke-2, terlihat miselium jamur Pleurotus mengkoloni
sel jari-jari dan saluran resin, menyebar melalui noktah dan masuk ke dalam
lumen trakeid. Pada minggu ke-4, miselium terlihat menyebar ke sel-sel lain di
sekitarnya seperti lumen trakeid dan parenkim melalui noktah sel. Pada minggu
ke-6, miselium sudah mengkoloni jari-jari, lumen sel-sel parenkim dan trakeid
serta saluran resin dengan lebih merata, dan dinding sel dan jari-jari telah
terdegradasi dan ada yang sudah terlepas (Gambar 3.7). Miselium sudah
mengkoloni noktah, lumen trakeid, sel jari-jari dan sel trakeid dan sudah nampak
dinding sel sekunder dan lamela tengah terdegradasi. Pada minggu ke-8, dinding
sel sekunder dan lamela tengah sudah terdegradasi (Gambar 3.7). Isolat-isolat
kelompok Pleurotus mendegradasi kayu secara enzimatik yang menyebabkan
kayu terlihat semakin rapuh dan terjadi perubahan warna seiring dengan
bertambahnya waktu inkubasi.
Pengamatan pada bidang transversal kayu, sudah terlihat terjadinya
degradasi secara enzimatik pada minggu ke-2, terutama pada dinding sel dan
lamela tengah sel-sel kayu. Dinding sel dan lamela tengah sel-sel jari-jari, sel-sel
parenkim dan trakeid serta saluran resin tampak mengembang, berlubang-lubang
bahkan ada yang robek dan selnya terlepas. Hal ini berbeda dibanding sel-sel kayu
tanpa perlakuan (kontrol), tampak utuh dan teratur. Secara umum dapat dilihat
bahwa pada minggu ke-6 dan ke-8, sel-sel kayu yang terdegradasi lebih banyak
dibandingkan minggu-minggu sebelumnya.
Hasil pengamatan pada kayu akasia, pada minggu ke-2, terlihat miselium
jamur Pleurotus mengkoloni sel jari-jari dan pembuluh, menyebar melalui noktah
dan masuk ke dalam lumen serat. Pada minggu ke-4, miselium terlihat menyebar
ke sel-sel lain di sekitarnya seperti serat dan parenkim melalui noktah sel. Pada
minggu ke-6, miselium sudah mengkoloni jari-jari, lumen sel-sel serat dan
parenkim serta saluran pembuluh dengan lebih merata dan dinding sel dan jari-jari
sudah terdegradasi dan ada yang terlepas. Pada minggu ke-8, dinding sel sekunder
dan lamela tengah sudah terdegradasi. Isolat-isolat Pleurotus mendegradasi kayu
secara enzimatik yang menyebabkan kayu terlihat semakin rapuh seiring dengan
bertambahnya waktu inkubasi.
84
Pengamatan pada bidang transversal kayu, sudah terlihat terjadinya
degradasi secara enzimatik pada minggu ke-2, terutama pada dinding sel dan
lamela tengah sel-sel kayu. Dinding sel dan lamela tengah sel-sel jari-jari, sel-sel
serat dan parenkim serta saluran pembuluh tampak mengembang, berlubang-
lubang bahkan ada yang robek dan selnya terlepas. Hal ini berbeda dibanding sel-
sel kayu tanpa perlakuan (kontrol), tampak utuh dan teratur. Warna dinding
sekunder sel-sel yang terdegradasi nampak terang. Perubahan warna tersebut
diduga karena degradasi bahan-bahan polimer penyusun kayu terutama pada
ligninnya sehingga warnanya menjadi lebih terang. Secara umum dapat dilihat
bahwa pada minggu ke-6 dan ke-8, sel-sel kayu yang terdegradasi lebih banyak
dibandingkan minggu-minggu sebelumnya.
Dalam penelitian ini, kayu sengon diujikan terhadap dua isolat Pleurotus
EB9 dan P. ostreatus HO. hasil pengamatan menunjukkan bahwa isolat tersebut
dapat mengkoloni dan mendegradasi kayu sengon. Hasil pengamatan pada kayu
sengon dengan bidang radial dan tangensial baik dengan bantuan mikroskop
cahaya, menunjukkan bahwa pada minggu ke-2 mengkoloni sel jari-jari dan pori,
menyebar melalui noktah dan masuk ke dalam lumen serat. Pada minggu ke-4,
miselium menyebar ke sel-sel lain di sekitarnya seperti lumen serat dan parenkim
melalui noktah sel. Pada minggu ke-6, miselium sudah mengkoloni jari-jari,
lumen sel-sel parenkim dan serat serta pori dengan merata serta dinding sel sudah
terdegradasi. Isolat jamur Pleurotus mendegradasi kayu secara enzimatik yang
menyebabkan kayu terlihat semakin rapuh dan terjadi perubahan warna seiring
dengan bertambahnya waktu inkubasi.
85
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 3.6 A. Bidang transversal kayu pinus kontrol (1 dan 2). a. Saluran resin, b. Jari-jari, c. Sel
parenkim yang nampak lebih persegi dan berdinding tipis dan d. Trakeid yang nampak bulat dan berdinding tebal. (3) kayu pinus setelah diinokulasi dengan Pleurotus EB9 setelah inkubasi 6 minggu, dinding sel sekunder mengembang dan berlubang-lubang dan lamela tengah rusak (tanda panah). B. Bidang radial kayu pinus setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah inkubasi 2 minggu (1), Pleurotus EB9 setelah inkubasi 4 minggu (2) dan 6 minggu (3). Mikrograf cahaya. 1(a) dan 2(a). Miselium menyebar melalui noktah. 1(b). Miselium di dalam sel jari-jari. 3(a). Miselium di dalam lumen sel trakeid. C. Bidang transversal kayu pinus setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah inkubasi 8 minggu (1 dan 2). Mikrograf SEM. 1(a). Lumen sel trakeid. 1(b). Lamela tengah yang berwarna gelap. 1(c). dinding sel yang terdegradasi dan terlepas. 2(a). Miselium dalam lumen trakeid. 2(b). Sel trakeid yang dinding sekundernya terdegradasi.
2 10 µm 3 10 µm
a
b c d
50 µm 1
A
2
a
10 µm 3
a
10 µm 1
a
b
10 µm
B
2
a
b
10 µm 1
a
b c
10 µm
C
86
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 3.7 A. Bidang transversal kayu pinus setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah
inkubasi 6 minggu (1 dan 2). 1(a). Lumen saluran resin. 1(b) dan 2(b). Sel parenkim. 1(c) dan 2(a). Miselium dalam saluran resin. 1(d) dan 2(d). Sel trakeid. 2(c). Jari-jari yang terdegradasi dan terlepas. B. Bidang tangensial kayu pinus setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah inkubasi 6 minggu (1 dan 2). 1(a). Saluran resin. 1(b). Sel trakeid yang terlepas. 1(c). Jari-jari. 2(a). Miselium yang mengkolonisasi sel jari-jari. 2(b). Koloni miselium. 2(c). Sel jari-jari. C. Bidang tangensial kayu pinus setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah inkubasi 6 minggu (1 dan 2). Mikrograf SEM. 1(a). Miselium yang menyebar melalui noktah sel. 1(b). Miselium dalam lumen trakeid. 1(c) Miselium yang mengkolonisasi sel jari-jari. 2(a). Koloni miselium yang menebal dan mengkoloni sel trakeid dan jari-jari. 2(b). Miselium dalam lumen sel trakeid.
A
a
b c
d
10 µm
e
2
a
b
d
c
10 µm
1
1
a
b
c
50 µm 2
a b
10 µm
c
B
1
a
b c
10 µm
2
a b
10 µm
C
87
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 3.8 A. Bidang transversal kayu akasia kontrol (1) dan (2). 1(a). Pembuluh (pori), (b). Jari-
jari, (c). Sel parenkim nampak lebih persegi dan berdinding tipis dan (d). Serat nampak bulat dan berdinding tebal. 3. Bidang transversal kayu akasia setelah diinokulasi dengan Pleurotus EA4 setelah 4 dan (4) 8 minggu inkubasi, dinding sel sekunder nampak mengembang dan berlubang-lubang serta lamela tengah terdegradasi (tanda panah). B. Bidang transversal kayu akasia kontrol (1) dan bidang transversal kayu akasia setelah diinokulasi dengan Pleurotus EAB7 setelah 8 minggu inkubasi (2), dinding sel sekunder nampak mengembang dan berlubang-lubang serta lamela tengah terdegradasi (tanda panah). C. Bidang transversal kayu akasia setelah diinokulasi dengan Pleurotus EB9 setelah 2 (1), 4 (2), 6 (3) dan 8 minggu inkubasi (4), dinding sel sekunder terlihat mengembang dan berlubang-lubang serta lamela tengah terdegradasi (tanda panah). D. Bidang transversal kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 (1, 2, 3 dan 4), dan 8 minggu inkubasi (5), dinding sel sekunder nampak mengembang dan berlubang-lubang serta lamela tengah terdegradasi (tanda panah). Mikrograf cahaya.
1 10 µm 2 10 µm
3 10 µm 4 10 µm
3 2 10 µm 10 µm 4 10 µm
B
a
b
c d
50
A
1
1 2 10 µm 10 µm
B
C
1 10 µm 2 10 µm 3 10 4 10 µm 5 10
D
88
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 3.9 A. Bidang tangensial kayu akasia setelah diinokulasi dengan Pleurotus EB14-2
setelah 2 (1), 4 (2) dan 8 minggu inkubasi (3). 1(a). Miselium menyebar melalui noktah. 1(b). 3(b). Miselium di dalam jari-jari. 2(c). Miselium di dalam lumen serat. B. Bidang radial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 (1) dan 8 minggu inkubasi (2). Mikrograf cahaya. (a). Miselium menyebar melalui noktah. (b). Miselium di dalam jari-jari. (c). Miselium di dalam lumen serat. C. Bidang transversal kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi (1 dan 2). Mikrograf SEM. 1(a). Terlihat serat yang dinding sekundernya terdegradasi. 1(b), 2(b). Lamela tengah yang juga terdegradasi. 2(c). Jari-jari berlubang dan lepas.
1 2 3
a
b b
c
10 µm 10 µm 10 µm
ab
b
c
1 2
10 µm
10 µm
a
a b
b
1
c
10 µm
b
b
2c
10
A
B
C
89
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 3.10 A. Bidang radial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6
minggu inkubasi (1 dan 2). 1(a). Jari-jari, dan sel jari-jari yang lepas 1(a1) dan miselium dalam jari-jari 2(a). 2(b). Miselium dalam lamela tengah sel serat. 2(c). Noktah sel. B. Bidang tangensial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi (1 dan 2). 1(a) dan 2(a). Jari-jari, dan miselium dalam sel jari-jari 2(a). 2(b). Lumen sel serat (tanda panah). C. Bidang transversal kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi (1 dan 2). Mikrograf SEM. 1(a). Pori (saluran pembuluh) yang dikolonisasi oleh miselium. 1(b). Sel parenkim. 2(a1). Miselium yang mengkolonisasi pori. 2(b). Noktah sel. 2(c). Dinding sel sekunder yang telah terdegradasi. 2(d). Lamela tengah yang telah terdegradasi.
b c
a
2
10 µm
a
a
1 50 µm
A
1
a 10 µm
2
b
a
10 µm
B
2
a1
b
c
d
10 µm
a
1 10 µm b
C
90
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 3.11 Bidang radial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi (A, B, C dan D). Mikrograf SEM. A(1a). Sel jari-jari, A(1b). Pori (saluran pembuluh) yang dikolonisasi oleh miselium. A(2a). Sel Serat yang terlepas. B(1a). Miselium yang mengkolonisasi pori dan menyebar masuk melalui noktah, dinding sel sekitar noktah terlihat berwarna putih karena terdegradasi. B(1b). Koloni miselium. B(2a). B(2b). Miselium yang mengkolonisasi lubang pori. B(2c). B(2d). Dinding sel pori yang terdegradasi dan robek. C(1a). Noktah sel serat. C(1b). Lubang sel parenkim. C(2a). Sel serat yang terlepas. C(2b). Diduga struktur dari bakal tubuh buah jamur. D(1a) dan D(2a). Miselium yang masuk melalui noktah, dinding sel sekitar noktah nampak berwarna putih karena terdegradasi. D(2b). Sambungan apit miselium.
a
1 b 50 µm
a
2
10 um
1
a
b
10 µm
2
a
b10 µm
1
a
b
10 µm
a
b
c
2 d10 µm
1
a
10 µm 2
a
b
10 µm
A
B
C
D
91
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 3.12. A. Bidang transversal kayu sengon kontrol terlihat sel-selnya utuh (1) dan bidang transversal kayu sengon setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi (2 dan 3). A(1a). Pembuluh (pori), A(1b). Jari-jari. A(1c). Sel parenkim nampak lebih persegi dan berdinding tipis. A(1d). Serat nampak bulat dan berdinding tebal. A(2a) dan A(3a). Miselium mengkoloni pembuluh. A(2b). Jari-jari terdegradasi jamur dan menipis dinding sel sekundernya. A(2c) dan A(3c). Dinding sel sekunder dan lamela tengah terdegradasi. A(3b). Dinding sel sekunder mengembang dan nampak lamela tengah berwarna gelap. B. Penampakan irisan tangensial kayu sengon setelah inokulasi dengan Pleurotus EB9 setelah 2 minggu inkubasi (1 dan 2). B(1a). Miselium mengkolonisasi jari-jari. B(2a). Miselium di dalam lumen serat. B(2b) dan B(2c). Miselium menyebar melalui noktah. B(2d). Miselium menembus dinding sel serat (tanda panah). Mikrograf cahaya.
Pembahasan
Tingkat Degradasi dan Laju Dekomposisi Isolat Kelompok Pleurotus Pada Kayu Bahan Pulp, Serta Bobot Kering Sisa Kayu
Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan bahwa ke tujuh isolat
kelompok Pleurotus yaitu Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, EB6 dan EB9,
dengan P. ostreatus HO sebagai isolat pembanding dapat mengkolonisasi dan
mendegradasi kayu pinus dan akasia. Sedang untuk kayu sengon, hanya isolat
Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO, yang dapat mengkolonisasi dan
1
ab c
d
10 µm 3
a
b c
10 µm 2
c
a
b
10 µm
1 a
a
b
c
2
d
10 µm
50 µm
A
B
92
mendegradasinya, untuk lima isolat kelompok Pleurotus lainnya terhadap kayu
sengon tidak tercatat. Rata-rata tingkat degradasi oleh Pleurotus EB9 dan
P.ostreatus HO pada kayu sengon adalah yang tertinggi, kemudian diikuti kayu
akasia dan kayu pinus.
Laju dekomposisi kayu oleh kelompok Pleurotus tersebut adalah antara
1,8 sampai dengan 92,3 mg/minggu. Isolat paling tinggi laju dekomposisinya
adalah P.ostreatus HO pada kayu sengon (92,3 mg/minggu) pada minggu ke-2.
Isolat paling tinggi ke-2 adalah Pleurotus EB9 pada kayu sengon (90,7
mg/minggu) pada minggu ke-2. Isolat paling tinggi ke-3 adalah Pleurotus EB9
pada pinus (86,3 mg/minggu) pada minggu ke-6.
Isolat paling rendah laju dekomposisinya adalah Pleurotus EB9 pada kayu
akasia sebesar 1,2 mg/minggu pada lama inkubasi 8 minggu. Penurunan bobot
kering kayu berbanding lurus dengan tingkat degradasi maupun dengan laju
dekomposisi. Tingkat degradasi dan laju dekomposisi kayu pinus dan akasia
cenderung meningkat seiring dengan lamanya masa inkubasi. Namun tingkat
degradasi dan laju dekomposisi pada minggu ke-8 tampak menurun. Hal ini
diduga disebabkan oleh bobot kering awal kayu yang berbeda, tidak meratanya
penempatan sampel di dalam botol dan dimulainya inokulasi oleh isolat jamur
yang tidak seragam.
Bobot kering awal kayu yang berbeda diduga menyebabkan tidak
meratanya degradasi pada contoh uji. Namun, dilihat dari tingkat degradasi,
perbedaan tersebut pengaruhnya sedikit, oleh karena itu bobot kering awal dalam
perhitungan selanjutnya dikonversi menjadi 1,5 gram, yang merupakan rata-rata
bobot kering awal ketiga jenis kayu. Tingkat degradasi tidak berubah, namun laju
dekomposisi ada yang berubah. Pada Pleurotus EA4, terlihat laju dekomposisi
pada bobot kering kayu awal yang dikonversi sama dengan laju dekomposisi pada
bobot kering kayu awal yang tidak dikonversi.
Satu isolat jamur pada satu jenis kayu, yang mempunyai tingkat degradasi
yang rendah belum tentu mempunyai laju dekomposisi yang rendah ataupun
sebaliknya, Satu isolat jamur pada satu jenis kayu yang mempunyai tingkat
degradasi yang tinggi juga belum tentu mempunyai laju dekomposisi yang tinggi.
93
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kayu pinus secara keseluruhan
lebih sukar mengalami biodegradasi dibanding kayu sengon dan akasia. Hal ini
diduga disebabkan adanya suatu zat ekstraktif yang sangat penting pada pinus,
yaitu resin yang dihasilkan pada saluran resin. Saluran resin adalah suatu ruang
antar sel yang dikelilingi oleh sel-sel parenkim khusus yang mengeluarkan resin
ke dalam saluran tersebut. Resin ini diduga mempunyai peranan penting dalam
menolak serangan serangga ataupun penyerang-penyerang lain (Haygreen dan
Bowyer 1986). Zat ekstraktif mempunyai nilai yang penting, antara lain: kayu
menjadi tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa dan
warna pada kayu. Ekstraktif terkonsentrasi dalam saluran resin dan sel-sel
parenkim jari-jari. Sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa yang dapat
diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah bakteri, jamur dan rayap. Tiap jenis
kayu memiliki ekstraktif yang berbeda-beda, baik dalam hal sifat maupun daya
racunnya (Fengel dan Wegener 1984).
Struktur dan komposisi lignin juga mempengaruhi tingkat degradasi suatu
isolat jamur. Lignin pada kayu daun jarum berbeda dibandingkan lignin pada kayu
daun lebar, struktur maupun komposisinya. Hal ini berpengaruh terhadap sifat-
sifat seperti ketahanan terhadap serangan mikroorganisme, degradasi dan juga
dalam teknologi pengolahannya dan sebagainya. Lignin kayu daun lebar disusun
oleh koniferil alkohol dan sinafil alkohol dengan suatu perbandingan tertentu
tergantung pada faktor tempat tumbuh dan spesies yang secara umum lebih
mudah diuraikan oleh jamur pelapuk putih dibanding lignin pada kayu daun jarum
yang hanya disusun oleh koniferil alkohol dan sangat sedikit sinafil alkohol (Faix
et al. 1985 dalam Reid et al. 1990). Selain itu, selulosa pada kayu akasia dan
sengon (kayu daun lebar) mempunyai derajat polimerisasi (DP) yang lebih kecil
(serat pendek), sedangkan pada pinus (kayu daun jarum) mempunyai DP yang
lebih besar (serat panjang). Serat yang pendek akan lebih mudah terurai dibanding
serat panjang. Namun demikian, suatu jenis jamur pelapuk putih relatif berbeda
dalam kecepatan meniadakan komponen utama kayu dengan jenis jamur pelapuk
putih yang lain. Perbedaan tersebut dengan jelas mencerminkan perbedaan dalam
kegiatan enzim-enzimnya (Nicholas 1987).
94
Pengamatan Secara Mikroskopik Jaringan Kayu Pengamatan kayu pada bidang radial dan tangensial dengan menggunakan
mikroskop cahaya maupun SEM, miselium isolat Pleurotus terlihat mengkoloni
sel jari-jari kemudian pada minggu ke-4 menyebar ke sel-sel lain di sekitarnya
melalui noktah sel dan pada minggu ke-6, miselium sudah mengkoloni jari-jari,
lumen sel-sel parenkim dan trakeid serta saluran resin.
Struktur kayu akasia dan sengon (kayu daun lebar) berbeda dengan kayu
pinus (kayu daun jarum). Kayu daun lebar tersusun atas jenis-jenis sel yang
berbeda dengan variasi proporsi yang luas dan terlihat lebih kompleks. Namun
cara serangan isolat-isolat jamur yang diinokulasikan pada kayu akasia dan
sengon hampir mirip dengan pada pinus. Pada tahap awal pelapukan yaitu minggu
ke-2, miselium isolat kelompok Pleurotus terlihat mengkoloni sel jari-jari, dan
pada minggu ke-4, melalui noktah-noktah, miselium masuk dan menyebar ke
struktur kayu. Pada minggu ke-6 dan ke-8 noktah-noktah dan sel-sel terlihat rapuh
akibat pengikisan oleh enzim-enzim yang dihasilkan miselium jamur, sebagian
susunannya sudah tidak teratur dan beberapa ikatan penyusunnya sudah terlepas.
Pada kayu sengon, pada minggu ke-2 miselium Pleurotus EB9 menembus dinding
sel secara langsung tanpa melalui noktah.
Hasil pengamatan mikroskopik pada kayu pinus oleh P. ostreatus HO,
memperlihatkan adanya dua tipe pelapukan yang berbeda, yaitu dinding sel
sekunder terdegradasi lebih dulu dibanding lamela tengahnya, serta yang kedua,
lamela tengah dan dinding sel sekunder terdegradasi secara bersamaan.
Berbagai spesies kayu mempunyai ciri-ciri khas yang unik yang
memungkinkan satu spesies berbeda dari lainnya, demikian pula halnya dengan
mikroorganisme yang mengkoloni dan mendegradasi kayu. Bentuk degradasi ini
merupakan sesuatu yang dihasilkan dari kombinasi struktur dan komposisi kayu
serta sifat-sifat mikroorganisme penyerang, dalam hal ini jamur pelapuk putih
kelompok Pleurotus.
Kayu tersusun atas beberapa tipe sel yang berbeda. Struktur kayu akasia
dan sengon (kayu keras) lebih kompleks dibandingkan dengan struktur kayu pinus
(kayu lunak). Menurut Wilcox (1987), satu ciri struktural dinding-dinding semua
sel kayu yang mempunyai arti sangat penting dalam degradasi adalah noktah.
95
Pada umumnya noktah itu terdiri atas sebuah lubang lewat dinding sel yang
sebagian tersumbat oleh suatu selaput. Noktah-noktah itu menyediakan jalan
untuk penyebaran antar sel bagi organisme yang mempunyai kemampuan terbatas
untuk melakukan penetrasi langsung di dinding sel. Karena kayu pada dasarnya
adalah sistem tertutup, miselium jamur harus masuk lewat dinding sel atau
selaput-selaput noktah agar dapat secara sempurna merembes ke struktur kayu.
Sifat dinding miselium yang kaku di bagian belakang ujung miselium dan
sistem percabangan miselium yang kompleks memungkinkan miselium yang lebih
tua umurnya akan melekat erat pada substrat. Dengan demikian secara desakan
mekanis ujung miselium dapat memanjang ke depan. Kemampuan tersebut
ditambah dengan dihasilkannya enzim ekstraselular yang menguraikan substrat
kayu mengakibatkan miselium mampu membuat lubang kecil menembus dinding
sel kayu. Sistem percabangan miselium yang menyebar memungkinkan miselium
menguasai substrat jaringan kayu secara menyeluruh.
Pengaruh-pengaruh anatomik yang dihasilkan oleh isolat-isolat jamur yang
diujikan tampak seragam. Pada tahap awal penyerangan oleh jamur, terlihat
bahwa miselium jamur pelapuk putih mendiami saluran resin dan jari-jari pada
kayu pinus. Pada kayu akasia terlihat bahwa miselium jamur mendiami pembuluh-
pembuluh dan jari-jari. Penelitian ini memperkuat simpulan Wilcox (1987),
bahwa jari-jari dalam struktur kayu daun jarum penting dalam degradasi kayu. Sel
jari-jari menjadi jalan bagi distribusi transversal bahan-bahan simpanan, dan juga
dapat menjadi jalan menyebarnya miselium ke sel-sel lain disekitarnya. Jamur
pelapuk putih sering mendegradasi lignin dan selulosa secara progresif terhadap
serat kayu daun lebar dan trakeid kayu daun jarum yaitu dari lumen dan maju ke
luar ke arah lamela tengah yang mengakibatkan penipisan dinding, walaupun
kecepatan dekomposisi kedua komponen itu mungkin berbeda.
Simpulan
Isolat paling tinggi tingkat degradasinya adalah Pleurotus EB9 pada kayu
pinus (40,1%) dan pada kayu akasia (38,1%). Isolat paling tinggi ke-2 adalah P.
ostreatus HO pada akasia (31,8%) pada minggu ke-6. Rata-rata tingkat degradasi
96
oleh Pleurotus EB9 dan P.ostreatus HO pada kayu sengon adalah yang tertinggi,
kemudian diikuti kayu akasia dan pinus.
Hasil analisis ragam ketujuh isolat kelompok Pleurotus pada kayu pinus
dan akasia menunjukkan bahwa lama inkubasi, jenis isolat, dan interaksi antara
jenis isolat dan lama inkubasi berpengaruh nyata terhadap tingkat degradasi kayu.
Besar penurunan bobot kering kayu berbanding lurus dengan tingkat
degradasi maupun dengan laju dekomposisi. Cara serangan isolat-isolat jamur
yang diinokulasikan pada kayu akasia dan sengon hampir mirip dengan cara
serangannya pada pinus.
4. KARAKTER LIGNINOLITIK KELOMPOK Pleurotus BERDASARKAN BIODEGRADASI SUBSTRAT GERGAJIAN
KAYU SENGON
(Ligninolytic Characters of Pleurotus Group Based on the Biodegradation of Sengon-wood Sawdust Substrate)
Abstrak
Jamur pelapuk putih mulai dikembangkan untuk mengembangkan industri
berbasis jamur di banyak negara diantaranya dalam proses teknologi biobleaching dan biopulping yang berwawasan lingkungan. Di Bogor, enam isolat kelompok Pleurotus liar sudah diisolasi dari beberapa lokasi yaitu Pleurotus EAB7, EB24, EB14-2, EB6, EA4 dan EB9, dan dipelajari karakter ligninolitiknya. Pleurotus ostreatus HO digunakan sebagai pembanding standar.
Aktivitas ligninolitik keenam isolat jamur ini diukur setelah ditumbuhkan pada media serbuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dalam kantong dengan bobot sekitar 400 gram, bahan tambahan lain adalah dedak, gips dan kapur serta rata-rata kadar air 70,1%. Pengamatan dilakukan pada fase vegetatif, tepatnya saat miselium memenuhi media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong dan pada fase reproduktif (pada saat panen 1, 2, 3 dan 4). Contoh uji, yaitu media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong tersebut, dibuka dan dihancurkan dengan menggunakan blender khusus (Hammer Mill), kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 40oC selama 4-6 hari sampai kadar air sekitar 15% dan ditimbang sekitar 30 gram untuk bahan analisis. Analisis dilakukan dengan mengukur kadar zat ekstraktif larut dalam air (Standar TAPPI T 207 om-88), kadar zat ekstraktif larut dalam NaOH 1% (Standar TAPPI T 212 om-88), kadar zat ekstraktif larut dalam alkohol-Benzena (Standar TAPPI T 204 om-88), analisis kadar lignin (Standar TAPPI T 13 os-54), dan analisis kadar holoselulosa dengan metoda browning (Standar TAPPI T 211 m) dan analisis kadar selulosa Cross dan Bevan (Meulenhoff et al. 1977; TAPPI 1996).
Kadar zat-zat ekstraktif total secara umum meningkat setelah diinokulasi oleh masing-masing isolat kelompok Pleurotus baik pada fase vegetatif maupun reproduktif. Masing-masing isolat kelompok Pleurotus liar menunjukkan variasi dalam rata-rata penurunan kadar lignin (10,7-89,7%) dan selulosa (18,9-87,4%). Pleurotus EB9 mempunyai kemampuan menurunkan kadar lignin substrat terbesar (89,7%) dan kadar selulosa terbesar (87,4%). Antar isolat mempunyai karakter ligninolitis yang berbeda. Isolat yang paling baik untuk agens biopulping dan biobleaching adalah Pleurotus EB9 pada fase vegetatif.
Kata-kata Kunci: Kelompok Pleurotus, karakter ligninolitik, substrat serbuk
gergajian kayu sengon
98
Abstract
White-rot fungi has been started to be developed for enhancing the mushroom based industry in many countries including in environmentally sound of biobleaching and biopulping technological process. Six isolates of wild Pleurotus group were isolated from various location in Bogor, namely Pleurotus EAB7, EB24, EB14-2, EB6, EA4 and EB9 of which were studied of their ligninolytic character. P. ostreatus HO was used as standard comparison.
The ligninolytic character of these six fungi isolates was measured after inoculation into sengon (P. falcataria) wood sawdust substrate inside plastic bag with substrate weight of about 400 gramm, other additional substances were paddy scalp, gypsum, calcium and water. Observation was done on sengon wood sawdust substrate since vegetative phase until reproductive phase. Samples were opened, destructed with Hammer Mill, and then dried with oven on temperature of 40oC in 4-6 days until water content reach 15%, and weigh about 30 gram for analyses. Analyses were done by measuring water soluble extractive substance (TAPPI T 207 om-88 Standar), NaOH 1% soluble extractive substance (TAPPI T 212 om-88 Standar), alkohol-Benzena soluble extractive substance (TAPPI T 204 om-88 Standar), lignin content (TAPPI T 13 os-54 Standar), holocellulose content with methode browning (TAPPI T 211 m Standar), and cellulose content with methode Cross and Bevan (Meulenhoff et al. 1977; TAPPI 1996).
Having applied of each wild Pleurotus group isolates resulted in increasing of extractives total compounds both in vegetative and reproductive phases. Each wild Pleurotus group isolates shows variation in decreasing average of lignin content (10,7-89,7%) and cellulose (18,9-87,4%). Pleurotus EB9 are able to decrease the highest lignin (89,7%) and cellulose (87,4%) content of substrate. Classification based on ligninolytic character is different with classification based on morphological and physiological characters. Pleurotus EB9 seems to be separated from other isolates. This shows that there was different ligninolytic character among the isolates. The best isolate for biopulping and biobleaching agent is Pleurotus EB9 on vegetative phase.
Keyword: Pleurotus group, ligninolytic characters, sengon sawdust substrate
99
Pendahuluan
Penerapan bioteknologi yaitu dengan memanfaatkan proses biologi
menggunakan jamur pendegradasi lignin dalam proses teknologi biobleaching dan
biopulping, merupakan salah satu alternatif dan terobosan besar yang perlu dikaji.
Beberapa spesies pleurotoid adalah jamur pelapuk kayu yang dapat mendegradasi
substrat kayu menjadi bahan-bahan organik sederhana melalui proses hidrolisis
enzimatis, sehingga dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme lain termasuk
tumbuh-tumbuhan dan tanaman kehutanan. Diketahui beberapa spesiesnya
bersifat edible, diantaranya yang terkenal adalah kelompok Pleurotus yang telah
diketahui berpotensi mendegradasi lignin.
Enzim yang berperan dalam proses degradasi adalah enzim ekstraseluler.
Jamur yang hidup pada bahan lignoselulosa, mengeluarkan enzim yang dapat
mendegradasi bahan tersebut sebagai nutrisinya. Bahan lignoselulosa yang terdiri
atas selulosa, hemiselulosa dan lignin merupakan bahan polimer sehingga enzim
yang disekresikan jamur akan mengubah bahan lignoselulosa menjadi
monomernya agar mudah masuk ke dalam sel. Ligninolitik berhubungan dengan
produksi enzim ekstraseluler pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh jamur
pelapuk putih. Dua enzim yang berperan dalam proses tersebut adalah fenol
oksidase (lakase) dan peroksidase (lignin peroksidase/LiP dan manganese
peroksidase/MnP).
Mekanisme degradasi lignin oleh Pleurotus belum banyak dipelajari
seperti pada P. chrysosporium. Namun dari beberapa studi yang dilakukan,
terlihat enzim yang bertanggungjawab untuk degradasi lignin dalam Pleurotus
cukup bervariasi.
Terdapat lebih kurang 67 spesies kelompok Pleurotus yang berhasil
dikumpulkan dan dilaporkan oleh para peneliti seluruh dunia, sejak Roussel
(1805) pertama kali memberi nama Pleurotus (LR 2004). Sampai saat ini
penelitian mengenai jamur pleurotoid kelompok Pleurotus asal Indonesia masih
sangat terbatas meskipun jamur ini sudah dikenal dan dikumpulkan serta
dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai keperluan (Gunawan 1997).
Hasil karakterisasi fisiologis terhadap isolat kelompok Pleurotus asal
Bogor yaitu Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 menunjukkan reaksi oksidasi yang
100
positif pada media AAG dan AAT. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka
perlu dilakukan penelitian karakterisasi secara ligninolitis isolat kelompok
Pleurotus tersebut berdasarkan tingkat degradasi dan laju dekomposisi pada kayu
bahan pulp.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat/kemampuan
biodegradasi melalui kadar zat ekstraktif larut dalam air, kadar zat ekstraktif larut
dalam NaOH 1%, kadar zat ekstraktif larut dalam alkohol-benzena, kadar lignin,
kadar holoselulosa dan kadar selulosa pada fase vegetatif dan reproduktif.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2004 sampai Januari 2006 di
Laboratorium Patologi Hutan, Departemen Silvikultur dan Laboratorium Kimia
Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Laboratorium Mikrobiologi
dan Biokimia, Pusat Studi Ilmu Hayat, Laboratorium Mikologi, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, dan di Rumah Jamur Departemen Biologi
FMIPA, IPB, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan
Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI), Bogor.
Degradasi Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon
Karakter ligninolitik keenam isolat kelompok Pleurotus asal Bogor yaitu
Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, EB6 dan EB9, dengan P. ostreatus HO
sebagai pembanding standar pada media serbuk gergajian kayu sengon dalam
kantong dengan bobot sekitar 400 gram (kultivasi dengan media serbuk gergajian
kayu sengon). Kultur agar ketujuh isolat kelompok Pleurotus selanjutnya dibuat
bibit dengan cara menumbuhkan miselium ukuran 100 mm2 pada media bibit
dalam botol (jewawut 23%, dedak 3%, kapur 0,4% dan serbuk gergajian 73,6%
serta air secukupnya), kemudian diinkubasi di tempat gelap pada suhu kamar. Jika
miselium telah tumbuh memenuhi media bibit dalam botol dengan baik, baru
kemudian sebanyak satu sendok teh bibit (+ 10 gram) tersebut diinokulasikan
pada media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong.
101
Media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong terdiri atas 82,5%
serbuk gergajian yang ditambah 15% dedak (bekatul padi), 1,5% gips, dan 1,0%
kapur serta air secukupnya, tiap kantong plastik diisi sekitar 400 gram media dan
kemudian disterilisasi dalam drum kukus selama 7 jam. Media serbuk gergajian
kayu sengon yang sudah diinokulasi dengan bibit disimpan di ruang inkubasi,
kemudian yang sudah penuh dengan miselium disimpan di ruang pemeliharaan
atau ruang produksi sampai keluar tubuh buah. Uji ini dilakukan dengan 4-10
ulangan. Pengamatan dilakukan pada fase vegetatif dan pada fase reproduktif.
Fase vegetatif adalah waktu inkubasi dari awal inokulasi sampai kantong penuh
dengan miselium. Fase reproduktif adalah dimulai setelah fase vegetatif sampai
membentuk tubuh buah dan berlanjut sampai beberapa kali panen tubuh buah
sampai bahan substrat habis dan tidak terbentuk lagi tubuh buah, hal tersebut bisa
sampai 8 kali panen bahkan lebih. Dalam penelitian ini yang diamati
biodegradasinya dibatasi hanya sampai 4 kali panen tubuh buah.
Prosedur Penetapan Contoh Uji
Contoh uji, yaitu media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong
tersebut, dibuka dan dihancurkan dengan menggunakan blender khusus (Hammer
Mill), kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 40oC selama 4-6 hari
sampai kadar air sekitar 15%. Contoh uji tersebut kemudian ditimbang sekitar 30
gram untuk bahan analisis.
Analisis dilakukan dengan mengukur kadar zat ekstraktif larut dalam air
(Standar TAPPI T 207 om-88), kadar zat ekstraktif larut dalam NaOH 1%
(Standar TAPPI T 212 om-88), kadar zat ekstraktif larut dalam alkohol-Benzena
(Standar TAPPI T 204 om-88), analisis kadar lignin (Standar TAPPI T 13 os-54),
dan analisis kadar Holoselulosa dengan metoda browning (Standar TAPPI T 211
m) dan analisis kadar selulosa Cross dan Bevan. Analisis dengan menggunakan
metode yang diacu dari Meulenhoff et al. (1977) dan TAPPI (1996).
1. Kadar Air (Moisture Content)
Untuk penentuan kadar air, substrat disimpan paling sedikit selama 24 jam
dalam botol-botol yang tertutup rapat, agar tercapai distribusi kelembaban yang
seragam. Satu gram substrat di dalam botol ditimbang dan dikeringkan dalam
102
oven (tanur) pada suhu 105 +30C, selama dua jam, kemudian didinginkan dalam
desikator selama 20 menit. Pengeringan dilanjutkan selama satu jam, didinginkan
kembali dan kemudian ditimbang kembali, pekerjaan ini diulang-ulang sampai
tercapai bobot tetap (standar Tappi T12 os-75). Kadar air dinyatakan dalam persen
terhadap substrat kering udara dan kering tanur, dengan rumus berikut: Kadar air (%) = Bobot awal-bobot kering oven x 100%
bobot kering oven
2. Kadar Larut Dalam Air Dingin (KDAD)
Substrat kering udara sebanyak 2 gram yang telah ditentukan kadar airnya,
dimasukkan ke dalam gelas piala 400 ml dan ditambahkan air destilata sebanyak
300 ml. Campuran tersebut dibiarkan mencernak (digest) selama 48 jam pada
suhu kamar dengan seringkali diaduk. Campuran ini selanjutnya dipindahkan ke
dalam sebuah cawan berpori, sambil dicuci dengan air destilata dingin, dan
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C kira-kira selama 4 jam, lalu
didinginkan di dalam sebuah eksikator dan ditimbang sampai bobot tetap.
Perhitungan KDAD yaitu jumlah zat yang larut, dihitung sebagai persentase dari
bobot substrat kering udara awal dan bobot kering oven akhir, dengan rumus
berikut: Kelarutan (KDAD)*= Bobot awal _ Bobot akhir oven X 100% Konversi dengan KA Bobot awal Konversi dengan KA
* rumus ini sama untuk perhitungan KDAP, KDNaOH1% dan KDEB
3. Kadar Larut Dalam Air Panas (KDAP)
Sebanyak 2 gram substrat uji kering udara yang telah ditentukan kadar
airnya, dicernakan dengan 100 ml air destilata dalam sebuah gelas piala 400 ml,
labu merunjung 250 ml, yang diperlengkapi dengan pendingin tegak, dan
dipanaskan dalam penangas air, yang permukaannya diatur tetap di atas larutan
dalam labu merunjung. Setelah pemanasan selama tiga jam, isi labu dipindahkan
ke dalam cawan berpori, dan dicuci dengan air panas, lalu dikeringkan dalam
oven pada suhu 105°C, didinginkan dalam sebuah eksikator dan ditimbang.
103
Perhitungan KDAP yaitu jumlah zat yang larut dihitung sebagai persentase dari
bobot substrat kering udara awal dan bobot kering oven akhir.
4. Kadar Larut Dalam NaOH 1% (KDNaOH1)
Cara ini dipergunakan untuk mengetahui daya tahan larut substrat terhadap
alkali encer yang panas. Untuk menentukan kadar persen NaOH, larutan tersebut
dititer dengan asam baku. Sebagai indikator, pertama-tama dipergunakan
fenolftalein, kemudian titrasi dilanjutkan dengan indikator metil jingga. Perbedaan
volumina asam, yang dibutuhkan untuk mencapai titik akhir titrasi dengan
indikator fenolftalein dan metil jingga, adalah banyaknya asam yang dibutuhkan
untuk setengahnya jumlah Na2CO3 yang terdapat dalam larutan tersebut. Dengan
mengurangi perbedaan volumina asam ini, dari volumina asam yang dibutuhkan
untuk mencapai titik akhir titrasi dengan indikator fenoftalein, maka diperoleh
voluminan asam yang dibutuhkan untuk menetralisir NaOH. Selanjutnya dari
volumina ini, dapat diketahui kadar/konsentrasi NaOH yang harus berada antara
0,9 dan 1,1%.
Dua contoh serbuk substrat yang telah diayak dengan ayakan dari 40 dan
60 mesh ditimbang, masing-masing banyaknya sama dengan 2 gram serbuk
substrat kering oven. Tiap contoh dimasukkan ke dalam sebuah gelas piala 250 ml
dan ditambahkan 100 ml NaOH 1%. Setelah diaduk dengan baik, kedua contoh
tersebut diletakkan dalam sebuah penangas air, dipanaskan perlahan-lahan setelah
ditutup dengan gelas arloji selama 1 jam, selama pemanasan diaduk 3 kali, yaitu
setelah 10, 15, dan 25 menit. Setelah pemanasan tersebut, isi gelas piala disaring
secara pengisapan dengan cawan berpori, kemudian dicuci dengan air panas dan
selanjutnya dengan 50 ml asam asetat 10% dan akhirnya dengan air panas
secukupnya.
Cawan dengan isi dikeringkan hingga bobotnya tetap dalam oven pada
suhu 105±3°C, kemudian didinginkan dalam sebuah desikator dan ditimbang
dalam sebuah botol timbang tertutup. Perhitungan KDNaOH1 adalah hasil-hasil
dinyatakan dalam persen bobot substrat kering oven yang larut, dihitung dari
kehilangan bobot substrat contoh kering oven.
104
5. Kadar Larut Dalam Etanol-Benzena (KDEB)
Kadar larut substrat (bahan-bahan kayu atau material-material
lignoselulosa) yang larut dalam alkohol-benzena (1:2) adalah suatu ukuran
mengenai kadar zat-zat seperti malam, lemak, resin dan komponen-komponen lain
yang tidak larut dalam eter termasuk juga apa yang dinamakan gom-gom kayu
(wood-gums).
Serbuk substrat 60-80 mesh dalam sebuah cawan penyaring ditimbang
sebanyak 2 gram yang kadar airnya telah ditetapkan. Cawan penyaring dengan isi
kemudian dimasukkan dalam tabung ekstraksi yang diatur sedemikian rupa hingga
tabung reaksi telah berisi penuh dengan pelarut, cawan penyaring terendam dalam
pelarut tersebut. Ekstraksi dilakukan selama 6-8 jam. Pemanasan diatur agar
kecepatan keluar dan masuknya pelarut dari dan ke dalam cawan penyaring adalah
sama. Setelah ekstraksi selesai, cawan dikeluarkan, dan pelarut dikeluarkan
dengan pengisapan, dicuci perlahan-lahan dengan 50 ml, dan diisap selama 5
menit untuk menguapkan alkohol. Substrat dalam cawan penyaring dikeringkan
dalam oven pada suhu 105±2°C, hingga bobot tetap. Kadar ekstraksi dihitung
dalam persen terhadap bobot substrat kering oven. Ini dilakukan dengan
menguapkan pelarut di atas pengangas air panas, lalu mengeringkan labu selama 1
jam pada suhu 105°C. Serbuk substrat yang telah diekstraksi dapat dipergunakan
untuk analisa selanjutnya.
6. Penentuan Kadar Lignin
Lignin adalah bagian dari kayu (bebas zat-zat ekstraksi) yang bukan
karbohidrat. Lignin dapat diisolasi dari kayu dengan cara melarutkan atau
menghidrolisis bagian karbohidratnya dengan asam-asam tertentu atau sebaliknya
lignin yang dilarutkan dan kemudian diendapkan. Isolasi kuantitatif lignin untuk
tujuan analisis pada umumnya dilakukan dengan cara melarutkan dan
menghidrolisis karbohidrat-karbohidrat dengan H2SO4 (asam sulfat) menurut cara-
cara tertentu. Pekerjaan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Ekstraksi dengan
alkohol untuk memisahkan tanin katechol terutama dari jenis-jenis kayu yang
tinggi kadar taninnya; 2) Ekstraksi dengan alkohol benzene guna memisahkan
105
lemak-lemak, malam-malam, resin-resin dan minyak-minyak; 3) Ekstraksi dengan
air panas, guna memisahkan gula-gula yang larut, gum-gumn dan garam-garam.
Contoh uji substrat dikeringkan dan dicerna dengan asam sulfat 72%, dan
setelah beberapa waktu, hidrolisis disempurnakan dengan pemasakan larutannya
yang telah diencerkan hingga konsentrasi asam sulfat 3%. Hasil residu ditetapkan
sebagai lignin. Ekstraksi dengan alkohol diperlukan untuk analisis jenis-jenis kayu
yang tinggi kadar taninnya. Bila kadar tanin tidak diketahui, ekstraksi sebaiknya
dilakukan.
Contoh uji substrat 40 mesh kering udara yang telah ditentukan kadar
airnya dalam cawan penyaring ditimbang dalam duplo sekitar 1 gram. Kemudian
cawan penyaring yang berisi substrat dimasukkan ke dalam tabung ekstraksi
Soxhlet, cawan ditutup dengan kawat kasa/kertas saring.
Ekstraksi dilakukan dengan etanol 95% selama empat jam, kecuali bila
diketahui bahwa substrat tidak seberapa banyak kadar taninnya (katechol).
Kemudian substrat diekstraksi dengan alkohol-benzena. Setelah ekstraksi, pelarut
dikeluarkan sebanyak mungkin dengan pengisapan, dan dicuci dengan 50 ml
ethanol guna mengeluarkan benzena, dan akhirnya kelebihan alkohol dikeluarkan
dengan pengisapan. Contoh uji substrat setelah ekstraksi dengan alkohol-benzena
dipindahkan dengan teliti dalam sebuah piala (1000 ml) dan dicernakan dengan
400 ml air panas di atas penangas air suhu 100°C selama 8 jam. Kemudian
substrat disaring dengan cawan penyaring, dicuci dengan 100 ml air panas dan
akhirnya dicuci dengan 50 ml alkohol guna memudahkan pengeluaran substrat
dari cawan penyaring. Substrat dikeringkan dalam udara, kemudian dipindahkan
dengan teliti ke dalam gelas piala kecil dan ditutup dengan gelas arloji. Substrat
ditambahkan 15 ml 72% H2SO4 dingin (12-15°C) dengan perlahan-lahan dan
sambil diaduk.
Substrat supaya tercampur dengan sempurna diaduk sekurang-kurangnya
selama 1 menit, kemudian didiamkan selama 2 jam dengan seringkali diaduk dan
suhu tetap dijaga antara 18-20°C (bagian luar gelas piala didinginkan guna
mencapai suhu ini). Substrat dicuci dalam sebuah piala erlenmeyer dari 1 liter dan
diencerkan hingga mencapai konsentrasi asam 3% dengan 560 ml air destilata dan
dididihkan di bawah pendingin tegak selama 4 jam, diusahakan agar volume tetap
106
dengan cara menambahkan air panas sewaktu-waktu. Setelah bahan-bahan yang
tidak larut mengendap, substrat disaring dengan kertas saring, kemudian dicuci
dengan air panas hingga bebas dari asam, dan dikeringkan dalam oven suhu
105°C, selanjutnya didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar lignin
dihitung dalam persen, dari kayu kering oven -yang tidak diekstraksi. Bila
diperlukan koreksi abu, maka lignin dipindahkan dalam cawan porselen dan abu
ditetapkan menurut TAPPI standard T 211 m. Rumus perhitungan kadar lignin
sebagai berikut: Kadar Lignin*= Bobot akhir oven X 100% Bobot awal Konversi dengan KA
* rumus ini sama untuk perhitungan kadar selulosa dan holoselulosa
7. Penentuan Kadar Holoselulosa
Holoselulosa merupakan fraksi polisakarida total dari jaringan dinding sel.
Warnanya putih (hampir putih) dan merupakan zat yang tertinggal setelah kayu
bebas dari zat ekstraksi dan telah didelignifikasi. Bagian yang berwarna putih
tersebut semua (atau hampir semuanya) terdiri atas fraksi selulosa dan
hemiselulosa. Metode yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah menurut
van Beekman dan Ritter (TAPPI – Standard T 9 m3).
Mula-mula 2 gram substrat yang kadar airnya telah ditentukan sebelumnya
dalam cawan penyaring (dalam duplo) ditimbang dengan teliti. Substrat
diekstraksi dalam Soxhlet selama 4 jam dengan larutan alkohol 95%, kemudian
dengan alkohol-benzena (33:67). Residu substrat dicuci dengan alkohol untuk
mengeluarkan benzena dan kemudian diekstraksi dengan 400 cc air panas dalam
sebuah labu erlenmeyer selama tiga jam, di atas sebuah penangas air, kemudian
disaring dan dicuci dengan air panas dan selanjutnya dengan air dingin dan
kelebihan air dibuang dengan cara pengisapan. Klorinasi dilakukan dengan cara
menghisap Cl2 melalui sebuah corong dan cawan yang berisi substrat, sambil
didinginkan dalam es. Klorinasi dilakukan selama tiga menit, substrat diaduk
kemudian klorinasi dilanjutkan selama dua menit (3 + 2 = 5 menit).
107
Alkohol ditambahkan untuk melarutkan kelebihan Cl dan HCl, kemudian
setelah 1 menit dikeluarkan dengan pengisapan. Setelah vakum dihentikan dan air
pendingin dikeluarkan, alkohol monoethanol aminu panas ditambahkan sampai
serbuk tergenang sambil diaduk dan setelah 2 menit dikeluarkan dengan
pengisapan. Pelarutan diulangi sekali lagi. Pelarutan yang masih tertinggal dicuci
2 kali dengan alkohol 95% dan 2 kali dengan air dingin dan yang terakhir ini
dikeluarkan dengan pengisapan.
Klorinasi (selama tiga menit) dan pencucian diulangi berkali-kali hingga
residu substrat menjadi putih, dan air pencuci tidak lagi berwarna. Pelarut alkohol
monoethanol amine yang terakhir dicuci dua kali dengan alkohol dan dua kali
dengan air dingin, dan sekali dengan alkohol hingga residu memberi reaksi netral
dengan lakmus. Akhirnya substrat dicuci dengan eter untuk memudahkan
pengeringan. Holoselulosa dikeringkan di udara agar sisa eter dapat menguap dan
akhirnya dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 2,5 jam. Kadar
holoselulosa dihitung berdasarkan substrat kering oven, yang bebas dari ekstraksi.
Waktu yang diperlukan untuk melakukan percobaan ini adalah sekitar tiga jam.
Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL). Pengolahan data analisis ragam menggunakan SAS9 dan analisis
kelompok menggunakan aplikasi SPSS13.
Hasil dan Pembahasan
Degradasi Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon
Hasil penelitian menunjukkan kelarutan ekstraktif substrat baik KDAD,
KDAP, KDNaOH1 dan KDEB cenderungan meningkat setelah diinokulasi oleh
masing-masing isolat kelompok Pleurotus baik pada fase vegetatif maupun
reproduktif. KDNaOH1 yang meningkat mengindikasikan adanya sejumlah
polisakarida yang juga degradasi oleh jamur (Standar TAPPI T 212 om-88).
Kelarutan zat ekstraktif tampak menurun seiring masa inkubasi (Tabel 4.1).
108
Tabel 4.1 Kadar air dan kadar zat-zat ekstraktif substrat (%) setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus
Isolat Waktu pengamatan
bobot kering KA KDAD KDAP KDNaOH1 KDEB
Kontrol1) 119.6 9.0 5.4 10.0 24.1 3.8 Pleurotus EAB7 Fase Vegetatif 109.1 8.9 12.1 12.5 31.5 6.0 Panen 1 85.9 8.1 8.1 10.5 24.6 3.2 Panen2 85.4 7.3 10.0 12.4 26.4 3.9 Panen 3 83.1 7.6 12.0 13.3 29.9 3.3 Panen 4 87.9 7.9 11.5 12.7 30.9 2.2 Pleurotus EB24 Fase Vegetatif 77.3 7.2 7.9 10.8 27.0 4.4 Panen 1 76.8 6.2 8.7 11.6 30.7 4.7 Panen2 68.6 5.9 9.3 12.0 23.7 3.0 Panen 3 -2) - - - - - Panen 4 64.7 5.5 9.1 11.1 22.0 3.8 Pleurotus EB14-2 Fase Vegetatif 74.3 7.2 11.4 12.1 28.7 2.2 Panen 1 85.9 6.0 10.3 13.6 29.1 4.3 Panen2 94.6 8.7 9.8 12.4 29.8 4.1 Panen 3 64.2 7.0 8.1 8.7 21.2 3.0 Panen 4 60.5 5.7 6.9 8.7 18.2 2.0 Pleurotus EB6 Fase Vegetatif 91.6 7.9 7.0 8.6 23.0 3.4 Panen 1 87.5 7.4 9.4 11.6 23.2 4.7 Panen2 86.7 6.6 8.8 12.5 23.7 4.7 Panen 3 78.4 7.3 5.6 8.6 20.6 2.9 Panen 4 60.4 4.0 6.7 7.3 16.1 2.4 Pleurotus EA4 Fase Vegetatif 97.3 8.4 9.4 11.8 27.8 3.3 Panen 1 78.3 5.5 7.6 10.1 24.3 3.7 Panen2 53.9 4.5 5.3 6.8 17.8 1.9 Panen 3 69.2 6.0 9.3 11.5 23.4 2.8 Panen 4 77.1 7.2 9.3 10.0 23.4 2.6 P.ostreatus HO Fase Vegetatif 81.3 6.6 9.8 12.9 27.1 3.6 Panen 1 97.1 8.4 11.6 13.5 34.3 4.0 Panen2 78.8 5.8 11.2 13.3 28.3 4.3 Panen 3 69.1 5.0 10.1 11.9 23.6 2.6 Panen 4 80.3 6.1 10.7 12.7 20.0 3.1 Pleurotus EB9 Fase Vegetatif 118.4 9.0 11.0 13.6 30.0 4.1 Panen 1 70.7 5.1 5.6 7.3 19.0 3.1 Panen2 114.5 9.4 9.6 11.9 32.2 3.6 Panen 3 68.1 6.5 6.5 7.3 15.5 1.6 Panen 4 18.4 1.8 2.0 2.2 5.3 0.5
Keterangan: KA: Kadar air; KDAD: Kelarutan dalam air dingin; KDAP: Kelarutan dalam air panas; KDNaOH1: Kelarutan dalam NaOH 1%; KDEB: Kelarutan dalam etanol benzena; 1) Kontrol: Substrat yang belum diinokulasi isolat jamur; 2) tidak teramati.
KDAD terbesar diperoleh setelah diinokulasi oleh Pleurotus EB7 pada
saat fase vegetatif. KDAP terbesar diperoleh setelah diinokulasi oleh Pleurotus
EB9 pada saat fase vegetatif. KDNaOH1 terbesar diperoleh setelah diinokulasi
oleh P. ostreatus HO pada saat panen ke-1. KDEB terbesar diperoleh setelah
109
diinokulasi Pleurotus EB7 pada saat fase vegetatif. Jenis isolat, fase pertumbuhan
dan interaksi antara jenis isolat dan fase pertumbuhan tidak berpengaruh nyata
terhadap kadar zat-zat ekstraktif substrat.
Hasil penelitian menunjukkan kandungan polimer kayu baik lignin,
selulosa dan hemiselulosa substrat cenderungan menurun setelah diinokulasi oleh
masing-masing isolat kelompok Pleurotus baik pada fase vegetatif maupun
reproduktif. Hemiselulosa yang meningkat mengindikasikan adanya sejumlah
bahan penyusun kayu yang tidak terukur terdegradasi oleh jamur (Tabel 4.2).
Kadar lignin, selulosa dan hemiselulosa terkecil diperoleh setelah diinokulasi oleh
Pleurotus EB9 pada saat panen ke-4. Jenis isolat, fase pertumbuhan dan interaksi
antara jenis isolat dan fase pertumbuhan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar
lignin substrat. Fase pertumbuhan berpengaruh nyata terhadap kadar selulosa dan
hemiselulosa substrat, namun jenis isolat dan interaksi antara jenis isolat dan fase
pertumbuhan tidak berpengaruh secara nyata.
Penurunan kandungan polimer kayu yang cukup besar juga ditunjukkan
oleh adanya penurunan bobot kering substrat setelah diinokulasi isolat kelompok
Pleurotus. Bobot kering substrat terkecil juga diperoleh setelah diinokulasi oleh
Pleurotus EB9 pada saat panen ke-4 (Gambar 4.1).
1) tidak teramati. Gambar 4.1 Bobot kering substrat setelah diinokulasi dengan masing-masing
isolat kelompok Pleurotus
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
140.0
Bob
ot K
erin
g (G
ram
)
Kontrol 119.6 119.6 119.6 119.6 119.6 119.6 119.6
fase vegetatif 109.1 77.3 74.3 91.6 97.3 81.3 118.4
panen 1 85.9 76.8 85.9 87.5 78.3 97.1 70.7
panen2 85.4 68.6 94.6 86.7 53.9 78.8 114.5
panen 3 83.1 64.2 78.4 69.2 69.1 68.1
panen 4 87.9 64.7 60.5 60.4 77.1 80.3 18.4
Pleurotus EAB7
Pleurotus EB24
Pleurotus EB14-2
Pleurotus EB6
Pleurotus EA4
P.ostreatus HO
Pleurotus EB9
- 1)
110
Tabel 4.2 Kadar lignin, holoselulosa, selulosa dan hemiselulosa substrat (%) setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus
Isolat Waktu pengamatan Lignin Holoselulosa Selulosa Hemiselulosa
Kontrol1) 23.0 64.6 47.4 17.2 Pleurotus EAB7 Fase Vegetatif 20.5 62.1 38.5 23.6 Panen 1 17.8 47.8 29.4 18.3 Panen2 18.9 45.9 28.1 17.8 Panen 3 13.4 45.1 27.0 18.1 Panen 4 14.9 44.9 27.5 17.5 Pleurotus EB24 Fase Vegetatif 11.9 37.9 19.5 18.4 Panen 1 13.4 37.5 20.5 17.0 Panen2 13.2 36.1 24.6 11.5 Panen 3 -2) - - - Panen 4 12.6 34.3 23.5 10.8 Pleurotus EB14-2 Fase Vegetatif 14.6 35.7 24.8 10.9 Panen 1 12.3 42.4 23.9 18.5 Panen2 20.5 54.0 31.4 22.6 Panen 3 9.7 32.5 20.8 11.7 Panen 4 12.0 33.1 20.1 13.0 Pleurotus EB6 Fase Vegetatif 12.7 46.0 27.4 18.6 Panen 1 13.3 44.1 27.6 16.5 Panen2 13.8 44.1 26.1 18.0 Panen 3 17.0 45.1 26.7 18.5 Panen 4 10.4 31.3 20.7 10.7 Pleurotus EA4 Fase Vegetatif 14.6 51.3 28.7 22.6 Panen 1 12.6 42.4 23.7 18.7 Panen2 9.2 28.1 16.7 11.4 Panen 3 14.2 37.9 23.8 14.1 Panen 4 10.4 38.7 22.7 16.0 P.ostreatus HO Fase Vegetatif 13.2 40.3 23.8 16.5 Panen 1 17.2 48.1 28.8 19.3 Panen2 13.5 39.1 22.2 16.9 Panen 3 10.5 34.6 20.0 14.5 Panen 4 13.1 42.1 25.7 16.3 Pleurotus EB9 Fase Vegetatif 18.2 67.2 37.9 29.3 Panen 1 10.3 36.0 21.7 14.3 Panen2 19.1 57.9 33.6 24.3 Panen 3 9.3 37.4 23.9 13.5 Panen 4 2.4 8.8 6.0 2.8
1) Kontrol: Substrat yang belum diinokulasi isolat jamur; 2) tidak teramati.
Kadar zat-zat ekstraktif total secara umum meningkat setelah diinokulasi
oleh masing-masing isolat kelompok Pleurotus baik pada fase vegetatif maupun
reproduktif (Gambar 4.2).
111
1) tidak teramati;
Gambar 4.2 Kadar zat-zat ekstraktif total substrat setelah diinokulasi dengan
masing-masing isolat kelompok Pleurotus Kadar lignin substrat yang rendah setelah diinokulasi isolat-isolat jamur
tersebut, menunjukkan isolat-isolat mempunyai potensi ligninolitik yang cukup
besar. Penurunan kadar lignin substrat terbesar juga diperoleh setelah diinokulasi
oleh Pleurotus EB9 pada saat panen ke-4 (Gambar 4.3).
1) tidak teramati;
Gambar 4.3 Penurunan kadar lignin substrat setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus.
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
Kad
ar z
at e
kstr
aktif
(%)
Kontrol 43.3 43.3 43.3 43.3 43.3 43.3 43.3
fase vegetatif 62.0 50.1 54.3 42.0 52.3 53.4 58.7
panen 1 46.5 55.7 57.3 48.9 45.7 63.4 35.1
panen2 52.8 47.9 56.2 49.8 31.9 57.1 57.3
panen 3 58.5 41.0 37.6 47.0 48.2 30.8
panen 4 57.4 46.0 35.9 32.5 45.4 46.6 10.0
Pleurotus EAB7
Pleurotus EB24
Pleurotus EB14-2
Pleurotus EB6
Pleurotus EA4
P.ostreatus HO
Pleurotus EB9
- 1)
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
Penu
runa
n K
adar
Lig
nin
(%)
fase vegetatif 10.7 48.5 36.4 44.6 36.7 42.7 20.8
panen 1 22.8 41.5 46.3 42.1 45.4 25.3 55.4
panen2 17.7 42.5 11.1 40.2 59.9 41.2 17.1
panen 3 41.6 57.7 26.0 38.3 54.6 59.7
panen 4 35.4 45.1 47.7 54.9 55.0 43.0 89.7
Pleurotus EAB7
Pleurotus EB24
Pleurotus EB14-2
Pleurotus EB6
Pleurotus EA4
P.ostreatus HO
Pleurotus EB9
- 1)
112
Tabel 4.3 Peningkatan zat ekstraktif, penurunan bobot kering, kadar lignin, selulosa dan hemiselulosa pada fase vegetatif dan reproduktif setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus
Peningkatan Penurunan (%)
Isolat Waktu
pengamatan zat
ekstraktif Bobot kering
Kadar lignin
Kadar selulosa
Kadar hemiselulosa
Pleurotus EB7 Fase Vegetatif 30.2 8.8 10.7 18.9 -37.5 3) Panen 1 6.8 28.2 22.8 37.9 -6.6 Panen2 18.0 28.6 17.7 40.7 -3.4 Panen 3 26.0 30.5 41.6 43.0 -5.4 Panen 4 24.6 26.5 35.4 42.1 -1.5 Pleurotus EB24 Fase Vegetatif 13.7 35.4 48.5 58.9 -7.1 Panen 1 22.3 35.8 41.5 56.7 1.1 Panen2 9.7 42.6 42.5 48.1 32.9 Panen 3 -1) - - - - Panen 4 5.8 45.9 45.1 50.4 37.1 Pleurotus EB14-2 Fase Vegetatif 20.3 37.9 36.4 47.8 36.3 Panen 1 24.4 28.2 46.3 49.6 -7.8 Panen2 23.0 20.9 11.1 33.7 -31.2 Panen 3 -5.62) 46.3 57.7 56.2 31.9 Panen 4 -20.5 49.4 47.7 57.6 24.5 Pleurotus EB6 Fase Vegetatif -3.0 23.4 44.6 42.3 -8.4 Panen 1 11.5 26.8 42.1 41.8 4.0 Panen2 13.0 27.5 40.2 44.9 -4.5 Panen 3 -15.0 34.5 26.0 43.8 -7.4 Panen 4 -33.4 49.5 54.9 56.4 38.1 Pleurotus EA4 Fase Vegetatif 17.2 18.7 36.7 39.4 -31.2 Panen 1 5.2 34.5 45.4 50.0 -8.9 Panen2 -35.6 54.9 59.9 64.7 33.8 Panen 3 7.8 42.1 38.3 49.9 18.0 Panen 4 4.6 35.5 55.0 52.1 6.8 P.ostreatus HO Fase Vegetatif 18.9 32.0 42.7 49.7 4.3 Panen 1 31.8 18.9 25.3 39.1 -12.0 Panen2 24.2 34.1 41.2 53.2 1.5 Panen 3 10.2 42.2 54.6 57.7 15.4 Panen 4 7.0 32.8 43.0 45.7 5.1 Pleurotus EB9 Fase Vegetatif 26.2 1.0 20.8 20.1 -70.6 Panen 1 -23.2 40.9 55.4 54.2 17.0 Panen2 24.4 4.3 17.1 29.1 -41.1 Panen 3 -40.4 43.1 59.7 49.7 21.4 Panen 4 -334.3 84.7 89.7 87.4 83.5
Keterangan: Nilai peningkatan zat ekstraktif substrat dibandingkan zat ekstraktif substrat kontrol (43,3%); Nilai penurunan bobot kering substrat dibandingkan bobot kering substrat kontrol (119,6 g); Nilai penurunan kadar lignin substrat dibandingkan kadar lignin substrat kontrol (23,0%); Nilai penurunan kadar selulosa substrat dibandingkan kadar selulosa substrat kontrol (47,4%); Peningkatan kadar hemiselulosa substrat dibandingkan kadar hemiselulosa substrat kontrol (17,2%); 1) Tidak teramati; 2) Nilai negatif pada lajur ini berarti ada penurunan; 3) Nilai negatif pada lajur ini berarti ada peningkatan.
113
Penurunan kadar lignin oleh isolat-isolat jamur tersebut berkisar antara
10,7 sampai dengan 89.7%. Pleurotus EB9 mempunyai kemampuan menurunkan
kadar lignin sampai 89,7%. Penurunan kadar selulosa oleh isolat-isolat jamur
tersebut berkisar antara 18,9 sampai dengan 87,4%. Pleurotus EB9 juga dapat
menurunkan kadar selulosa tertinggi yaitu 87,4%. Kadar hemiselulosa tampak
menunjukkan fluktuatif, ada yang meningkat ada yang menurun. Hal ini diduga
disebabkan adanya sejumlah bahan penyusun kayu yang tidak terukur terdegradasi
oleh jamur seperti kadar zat ekstraktif (Tabel 4.3).
Analisis Kelompok Berdasarkan Karakter Ligninolitis Biodegradasi Substrat oleh Kelompok Pleurotus
Hasil analisis kelompok berdasarkan penurunan kadar lignin, selulosa dan
hemiselulosa pada fase vegetatif memperlihatkan Pleurotus EB9 dan Pleurotus
EAB7 (EB7) sangat dekat dengan persamaan 94% dan membentuk kelompok
sendiri. Sedangkan P. ostreatus HO berada dengan isolat lainnya dalam kelompok
yang berbeda (Gambar 4.4).
Gambar 4.4 Dendogram karakter ligninolitik dari tujuh isolat kelompok
Pleurotus asal Bogor yaitu Pleurotus EB6, P. ostreatus HO, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EB14-2, Pleurotus EAB7 dan Pleurotus EB9.
Hasil analisis kelompok berdasarkan penurunan kadar lignin, selulosa dan
hemiselulosa pada fase reproduktif memperlihatkan Pleurotus EB9 dan Pleurotus
EA4 sangat dekat dengan persamaan 95% dan dengan Pleurotus EB24
EAB7
Jarak Antar Kelompok
114
membentuk kelompok besar kedua. Sedangkan P. ostreatus HO berada dengan
isolat lainnya dalam kelompok yang berbeda (Gambar 4.5).
Gambar 4.5 Dendogram karakter ligninolitik dari tujuh isolat kelompok Pleurotus asal Bogor yaitu Pleurotus EB14-2, P. ostreatus HO, Pleurotus EB6, Pleurotus EAB7, Pleurotus EA4, Pleurotus EB9 dan Pleurotus EB24.
Hasil analisis klaster berdasarkan kadar komponen kayu ini, baik pada fase
vegetatif maupun fase reproduktif ketujuh isolat kelompok Pleurotus
menunjukkan bahwa antar isolat mempunyai karakter ligninolitis yang berbeda.
Pembahasan
Dari sisi pandangan untuk proses biopulping dan biobleaching, isolat
jamur yang diharapkan adalah yang dapat meningkatkan kelarutan zat ekstraktif
dan menurunkan kadar lignin, namun sedikit menurunkan kadar selulosa dan
hemiselulosa (rendemen). Rendemen dapat ditunjukkan secara praktis dengan
melihat bobot kering sisa degradasi. Lama fase vegetatif dan reproduktif dapat
dilihat pada penelitian 2 tentang karakter fisiologi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada fase vegetatif, Pleurotus EB9
merupakan isolat yang mempunyai kemampuan meningkatkan kelarutan zat
ekstraktif cukup tinggi (26,2%) dan menurunkan kadar lignin cukup besar
(20,8%), dan menurunkan kadar selulosa (20,1%) serta tampak ada peningkatan
kadar hemiselulosa (70,6%). Isolat Pleurotus EB9 tersebut mempunyai fase
Jarak Antar Kelompok
115
vegetatif yang sangat singkat yaitu 14 hari dan menyebabkan penurunan bobot
kering sisa degradasi yang paling kecil yaitu 1,0%.
Isolat Pleurotus EAB7, pada fase vegetatif meningkatkan kelarutan zat
ekstraktif cukup tinggi (30,2%) dan menurunkan kadar lignin (10,7%), dan
menurunkan kadar selulosa (18,9%) dan tampak ada peningkatan kadar
hemiselulosa (37,55). Namun isolat tersebut mempunyai fase vegetatif yang
cukup panjang (73,7 hari) dengan menyebabkan penurunan bobot kering sisa
degradasi sebesar 8,8%.
Isolat Pleurotus EA4, pada fase vegetatif mempunyai kemampuan
meningkatkan kelarutan zat ekstraktif (17,2%) dan menurunkan kadar lignin
cukup tinggi (36,7%), dan menurunkan kadar selulosa cukup besar (39,4%) dan
tampak ada peningkatan kadar hemiselulosa (31,2%). Namun isolat tersebut
mempunyai fase vegetatif yang cukup panjang (78,6 hari) dengan menyebabkan
penurunan bobot kering sisa degradasi sebesar 18,7%.
Isolat P. ostreatus HO mempunyai kemampuan meningkatkan kelarutan
zat ekstraktif (18,9%) dan menurunkan kadar lignin cukup tinggi (42,7%), dan
menurunkan kadar selulosa cukup besar (49,7%) dan tampak ada peningkatan
kadar hemiselulosa (4,3%). Isolat tersebut mempunyai fase vegetatif yang cukup
pendek (19,5 hari) dengan menyebabkan penurunan bobot kering sisa degradasi
sebesar 32,0%. Padahal P. ostreatus diketahui merupakan jamur pelapuk putih
yang lebih selektif terhadap lignin dibanding P. chrysosporium (Kerem et al.
1992).
Isolat Pleurotus EB24, EB14-2 dan EB6, pada fase vegetatif mempunyai
kemampuan menurunkan kadar lignin yang cukup tinggi, namun pada aspek-
aspek lain dalam kriteria sebagai agens biopulping dan biobleaching mempunyai
kelemahan seperti sedikit menurunkan kelarutan zat ekstraktif, menurunkan juga
rendemen bahan pulp serta mempunyai fase vegetatif yang cukup lama. Hal ini
menunjukkan bahwa isolat spesies jamur yang berbeda memiliki kemampuan
yang berbeda dalam mendegradasi satu jenis media (substrat gergajian kayu
sengon).
116
Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat yang paling baik untuk agens
biopulping dan biobleaching adalah Pleurotus EB9 pada fase vegetatif. Walaupun
isolat tersebut pada fase reproduktif, mempunyai kemampuan menurunkan kadar
lignin sampai 89,7%, namun mempunyai kelemahan terutama masa inkubasi yang
cukup lama dan juga rendemen berupa selulosa dan hemiselulosa yang rendah
karena semakin besar terdegradasi. Menurut Chang dan Hayes (1978), setelah
terbentuk tubuh buah (basidiokarp) fraksi holoselulosa, α-selulosa dan lignin
direduksi kira-kira mencapai 80%. Zadrazil (1975 dalam Chang dan Hayes 1978)
mengatakan bahwa hasil dekomposisi kompleks lignoselulosa oleh P. osteratus
adalah 50% menjadi substrat yang dibebaskan sebagai gas CO2, 20% sebagai air,
20% sebagai residu kompos, dan 10% menjadi tubuh buah. Hasil akhir
menunjukkan kandungan nitrogen dan mineral meningkat selama pertumbuhan.
Menurut Herliyana (1997), setelah 6 minggu inkubasi pada kultivasi media padat
dengan kondisi diberi aerasi, pemberian Schizophillum commune dapat
menurunkan kadar lignin pada pulp kayu Acacia mangium (69,3%) dan pada pulp
kayu Pinus merkusii (10%), dan pemberian P. chrysosporium dapat menurunkan
kadar lignin pada pulp kayu A. mangium (41,8%) dan pada pulp kayu P. merkusii
(75,9%).
Kelompok ekstraktif pada substrat kayu mempunyai kadar yang sedikit,
namun terdiri atas pelbagai senyawa kimia. Komponen utama yang larut air
adalah terdiri atas karbohidrat, protein, dan garam-garam anorganik. Ekstraksi
pelarut dapat dilakukan dengan berbagai pelarut organik seperti eter, aseton,
benzena, etanol, diklorometana atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak,
asam resin, lilin, tanin dan zat warna adalah bahan penting yang dapat diekstrak
dengan pelarut organik. Dalam kasus manapun tidak ada perbedaan yang tegas
antara komponen ekstraktif yang dipisahkan dengan pelarut yang berbeda,
misalnya, tanin larut dalam air panas, tetapi juga ditemukan dalam ekstrak alkohol
(Achmadi 1988).
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kelarutan dalam NaOH
1% (KDNaOH1) yang mengindikasikan adanya polisakarida yang terdegradasi.
Isolat Pleurotus EB9 pada fase vegetatif mempunyai peningkatan KDNaOH1
yang cukup rendah (19,7%), hal tersebut menunjukkan rendahnya degradasi pada
117
selulosa maupun hemiselulosa. Peningkatan KDNaOH1 tertinggi diperoleh pada
masa panen ke-4 oleh Pleurotus EB9. Pada kondisi ini ternyata menunjukkan
adanya penurunan kadar selulosa dan juga hemiselulosa yang tertinggi. Untuk
kepentingan biopulping dan biobleaching, maka dapat direkomendasikan untuk
memanfaatkan isolat Pleurotus EB9 pada fase vegetatif yang mempunyai
peningkatan KDNaOH1 yang cukup rendah (19,7%), hal tersebut menunjukkan
rendahnya degradasi pada selulosa maupun hemiselulosa.
Kelompok Pleurotus merupakan dekomposer bahan organik utama yang
dapat secara efisien dan selektif menguraikan lignoselulosa tanpa perlakuan
pendahuluan secara kimia atau biologi, dan dapat menggunakan variasi besar
dalam bahan lignoselulosa. Beberapa contoh bahan lignoselulosa adalah jerami
padi, ampas tebu, sisa gergajian, kulit coklat, pulp kopi dan batang-batang kapas.
Hadar et al. (1993) menemukan bahwa selama 4 minggu proses kultivasi padat,
kadar lignin menurun secara nyata. Pleurotus spp., diketahui mempunyai daya
delignifikasi yang selektif dibanding P. chrysosporium (Kerem et al. 1992).
Analisis kelompok karakter ligninolitis menunjukkan pengelompokkan
berdasarkan karakter ligninolitis berbeda dengan pengelompokkan berdasarkan
karakter fisiologis. Hal tersebut menunjukkan, antar isolat mempunyai karakter
ligninolitis yang berbeda.
Penurunan kadar zat ekstraktif, lignin, selulosa dan peningkatan
hemiselulosa substrat oleh isolat jamur kelompok Pleurotus secara statistik tidak
berbeda nyata. Padahal P. ostreatus diketahui merupakan jamur pelapuk putih
yang lebih selektif terhadap lignin dibanding P. chrysosporium (Kerem et al.
1992). Penelitian ini menunjukkan bahwa masing-masing isolat mempunyai
kemampuan mendegradasi substrat berbeda.
Peningkatan kadar hemiselulosa pada substrat diduga disebabkan oleh
terjadinya degradasi lignin dan selulosa atau bahan penyusun kayu yang lain oleh
satu isolat jamur pada satu masa inkubasi yang lebih cepat sehingga kadar
hemiselulosa relatif meningkat dan rasio holoselulosa/lignin (H/L) substrat serbuk
gergajian kayu meningkat. Selain mendegradasi lignin, jamur kelompok Pleurotus
juga menghasilkan enzim lain, diantaranya selulase dan protease (Hong dan
Namgung 1975 dalam Chang dan Quimio 1982), hemiselulase (Hong dalam
118
Chang dan Quimio 1982), aminopeptidase (Blaich 1973 dalam Chang dan Quimio
1982).
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada fase vegetatif, Pleurotus EB9
merupakan isolat yang mempunyai kemampuan meningkatkan kelarutan zat
ekstraktif cukup tinggi (26,2%) dan menurunkan kadar lignin cukup besar
(20,8%), dan menurunkan kadar selulosa (20,1%) serta tampak ada peningkatan
kadar hemiselulosa (70,6%). Isolat Pleurotus EB9 tersebut mempunyai fase
vegetatif yang sangat singkat yaitu 14 hari dan menyebabkan penurunan bobot
kering sisa degradasi yang paling kecil yaitu 1,0%. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa isolat yang paling baik untuk agens biopulping dan biobleaching adalah
Pleurotus EB9 pada fase vegetatif. Isolat Pleurotus EB9 pada fase vegetatif juga
yang mempunyai peningkatan KDNaOH1 yang cukup rendah (19,7%), hal
tersebut menunjukkan rendahnya degradasi pada selulosa maupun hemiselulosa.
Analisis kelompok menunjukkan pengelompokkan berdasarkan karakter
ligninolitis yang berbeda dengan pengelompokkan berdasarkan karakter fisiologis.
Hal tersebut menunjukkan isolat spesies jamur yang berbeda memiliki
kemampuan yang berbeda dalam mendegradasi satu jenis media.
Isolat Pleurotus EB24, EB14-2 dan EB6, pada fase vegetatif mempunyai
kemampuan menurunkan kadar lignin yang cukup tinggi, namun pada aspek-aspek
lain dalam kriteria sebagai agens biopulping dan biobleaching mempunyai
kelemahan seperti sedikit menurunkan kelarutan zat ekstraktif, menurunkan juga
rendemen bahan pulp serta mempunyai fase vegetatif yang cukup lama.
5. EKSPRESI ENZIM LIGNINOLITIK JAMUR KELOMPOK Pleurotus PADA SUBSTRAT CAIR KAYU SENGON SERTA PEMURNIAN
PARSIAL MANGANESE PEROKSIDASE
(The Expression of Ligninolytic Enzyme of Pleurotus Group Fungi on Sengon-Wood Liquid Substrate and Partial Purification of Manganese peroxidase)
Abstrak
Jamur kelompok Pleurotus adalah jamur pelapuk kayu yang potensial digunakan dalam proses biodelignifikasi, khususnya untuk industri pulp dan kertas. Karakterisasi ligninolitik jamur kelompok Pleurotus asal Bogor telah dikaji. Untuk melihat kemampuan biodegradasinya, maka dipelajari aktivitas enzim ligninasenya yaitu manganese peroksidase (MnP), lignin peroksidase (LiP) dan lakase. Selanjutnya MnP dari dua isolat yang mewakili asal Bogor diisolasi dan dipurifikasi. Isolasi enzim menggunakan kolom kromatografi cair dan kromatografi gel.
Ekspresi MnP (U/ml) setelah 6 hari secara ekstraseluler menunjukkan bahwa Pleurotus EB9 paling tinggi menghasilkan MnP dalam substrat kayu sengon dengan kondisi media yang digoyang. Pleurotus EB9 juga memproduksi lakase, sementara LiP tidak terdeteksi.
SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar ion (DEAE-Sepharose) sampel Pleurotus EA4 dengan pemekatan 40% amonium sulfat, tidak diperoleh pita-pita yang menunjukkan keberadaan MnP. Aktivitasnya juga tidak diperoleh hasil yang bagus. Hal ini menunjukkan bahwa Pleurotus EA4 tidak menghasilkan MnP.
SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar ion pada sampel Pleurotus EB9 dengan pemekatan 40% amonium sulfat, diperoleh pita dengan bobot molekul 43 kDa. Selanjutnya, hasil pemurnian dengan kolom kromatografi gel HiPrep 16/60 Sephacryl S-200 resolusi tinggi (GE Biosciences) dengan flow rate 0,3 ml/min dan volume fraksinasi 1,5 ml/fraksi, dengan larutan penyangga 10 mM potasium fosfat pH 7,0 dan HPLC AKTA Purifier (GE Biosciences), diperoleh puncak pada fraksi ke 96. SDS PAGE hasil kromatografi kolom gel terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9 diyakini bahwa Pleurotus EB9 menghasilkan MnP yang telah berhasil dimurnikan dan menunjukkan bobot molekul 43 kDa.
Hasil rangkuman data pemurnian MnP dari Pleurotus EB9, menunjukkan tingkat keberhasilan pemurnian masih sangat rendah dengan tingkat kemurnian 3,8. Aktivitas spesifik MnP yang diperoleh sebesar 4,133 U/mg protein.
Kata-kata Kunci: Kelompok Pleurotus, Pleurotus EB9, Pleurotus EA4, MnP, LiP
dan lakase
120
Abstract
Pleurotus is a wood-decaying fungi group that has great potention to be used in bio-delignification process, especially in pulp and paper industry. The ligninolytic characterization of Pleurotus, which mainly grows in Bogor, has been carefully studied. In order to discover its biodegradation capability, it is necessary to study its ligninase enzymes, i.e. manganese peroxidase (MnP), lignin peroxidase (LiP) and laccase. Furthermore, the MnP enzyme of two isolates which represented Bogor type were isolated and purified. The enzyme isolation was done by using liquid and gel chromatography columns.
The expression of MnP (U/ml) after six days showed that, extracellularly, Pleurotus EB9 was the highest in producing MnP on sengon-wood substrate in swing medium condition. Pleurotus EB9 was also produced laccase, while LiP was not detected.
The SDS-PAGE chromatography result of ionic exchange column (DEAE-Sepharose) of Pleurotus EA4 sample with 40% solid concentration of ammonium sulphate did not produce ribbons that indicate the presence of MnP. Its activity did not produce good result too. This fact proves that Pleurotus EA4 did not produce MnP.
The SDS-PAGE chromatography result of ionic exchange column of Pleurotus EB9 sample with 40% solid concentration of ammonium sulphate produced a ribbon with 43 kDa molecule weight. Furthermore, the purification result using high resolution HiPrep 16/60 Sephacryl s-200 gel chromatography column (GE Biosciences) with flow rate of 0.3 ml/min and fractionation rate of 1.5, and using buffer solution of 10mM potassium phosphate pH 7.0 and HPLC AKTA Purifier (GE Biosciences), reached a peak at 96th fraction. The SDS PAGE gel column chromatography result of Pleurotus EB9 sample with 40% solid concentration of ammonium sulphate proved that Pleurotus EB9 produced MnP which has been purified with a molecule weight of 43 kDa.
The summary result of MnP purification data of Pleurotus EB9 showed that the success level of purification is still low with purification rate of 3.8. The specific activity of MnP obtained is 4.133 U/mg of protein.
Keywords: Pleurotus group, Pleurotus EB9, Pleurotus EA4, MnP, LiP, and
laccase.
121
Pendahuluan
Beberapa jamur kelompok Pleurotus adalah jamur pelapuk putih, yang
memiliki kemampuan dalam mendegradasi lignin. Kemampuan tersebut
disebabkan jamur pelapuk putih menghasilkan multi enzim ekstraseluler (Kirk
dan Chang 1990; Basuki 1994). Penetrasi hifa jamur pelapuk putih akan
menghancurkan lignin dan membentuk rongga dengan meninggalkan warna putih.
Salah satu multi enzim ekstraseluler yang sangat bertanggungjawab dalam
permulaan proses depolimerisasi lignin yaitu enzim ligninolitik yang terdiri atas
lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP) dan lakase (Lac) (Kirk et al.
1978).
Selain mampu mendegradasi lignin, jamur pelapuk putih diketahui
memiliki kemampuan mendegradasi beberapa polutan-polutan yang bersifat
persisten terhadap lingkungan seperti senyawa-senyawa aromatik golongan
klorida, hidrokarbon heterosiklik aromatik, zat warna dan polimer sintetik
(Bumpus et al. 1985). Kemampuan jamur pelapuk putih dalam pendegradasian
tersebut diperkirakan berhubungan dengan tingginya aktivitas oksidatif enzim
ligninolitik dan sifat kurang spesifiknya terhadap suatu substrat (Moriya et al.
2001). Oleh karena itu, jamur pelapuk putih dan enzim yang dihasilkannya
tersebut sangat bermanfaat tidak hanya bagi proses industri seperti biopulping dan
biobleaching tetapi juga bagi proses bioremediasi.
Enzim yang berperan dalam proses degradasi adalah enzim ekstraseluler.
Jamur yang hidup pada bahan lignoselulosa, mengeluarkan enzim yang dapat
mendegradasi bahan tersebut sebagai nutrisinya. Bahan lignoselulosa yang terdiri
atas selulosa, hemiselulosa dan lignin merupakan bahan polimer sehingga enzim
yang disekresikan jamur akan mengubah bahan lignoselulosa menjadi
monomernya agar mudah masuk ke dalam sel.
Ligninolitik berhubungan dengan produksi enzim ekstraseluler
pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih. Dua enzim yang
berperan dalam proses tersebut adalah fenol oksidase (lakase) dan peroksidase
(lignin peroksidase (LiP) dan manganese peroksidase (MnP)) (Howard et al.
2003; Kirk et al. 1978). P. ostreatus diduga berpotensi untuk industri pulp karena
122
diketahui mendegradasi lignin lebih efisien dibanding P. chrysosporium (Kerem
et al. 1992; Hadar et al. 1993).
Mekanisme degradasi lignin oleh kelompok Pleurotus belum banyak
dipelajari seperti pada P. chrysosporium. Beberapa aktivitas enzim ekstraseluler
kelompok Pleurotus telah dipelajari, diantaranya manganese peroksidase (MnP)
(Kerem et al. 1992). Namun dari beberapa studi yang dilakukan, terlihat enzim
yang bertanggungjawab untuk degradasi lignin dalam kelompok Pleurotus cukup
bervariasi.
Hasil karakterisasi fisiologis terhadap isolat kelompok Pleurotus asal
Bogor yaitu Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 menunjukkan reaksi oksidasi yang
positif pada media AAG dan AAT. Hasil karakterisasi secara ligninolitis isolat
kelompok Pleurotus tersebut juga menunjukkan kemampuan degradasi pada kayu
bahan pulp yang cukup tinggi, serta mempunyai kemampuan dalam proses
delignifikasi material lignoselulosa yaitu substrat gergajian kayu sengon.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang
kelompok Pleurotus lokal yang unggul sebagai pendegradasi lignin dengan cara
karakterisasi enzim ligninolitiknya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mempelajari karakteristik ligninolitik atau kemampuan biodegradasi berdasarkan
potensi enzim ligninolitik kelompok Pleurotus asal Bogor,
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2004 sampai Januari 2007 di
Laboratorium Patologi Hutan, Departemen Silvikultur dan Laboratorium Kimia
Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Laboratorium Mikrobiologi
dan Biokimia, Pusat Studi Ilmu Hayat, Laboratorium Mikologi, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, dan di Rumah Jamur Departemen Biologi
FMIPA di Tajur, IPB, Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein Pusat
Penelitian Bioteknologi,Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong
dan Laboratorium Bioteknologi dan Biologimolekuler, Lembaga Riset
Perkebunan Indonesia (LRPI), Bogor.
123
Isolat Uji
Pada penelitian ini dilakukan uji pendahuluan untuk melihat adanya
aktivitas ligninolitik dari filtrat enam isolat kelompok Pleurotus, yaitu Pleurotus
EB9, Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7 dan
Pleurotus EB6. Isolat P. ostreatus HO dan P. chrysosporium PC digunakan
sebagai pembanding standar. Isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4, diketahui
memiliki karakter reaksi oksidasi yang cukup kuat dan juga mempunyai
kemampuan dalam proses degradasi dan delignifikasi material lignoselulosa.
Kultur Jamur Untuk Induksi Enzim
Untuk penelitian induksi enzim, dipilih dua isolat yaitu Pleurotus EB9 dan
Pleurotus EA4 dan kemudian satu isolat saja untuk dipurifikasi MnP-nya. Kedua
jamur tersebut dipelihara dan diperbanyak pada agar cawan berisi MEA yang
diberi serbuk sengon 8 gram per liter. Kedua isolat tersebut kemudian dikulturkan
pada media jagung sebagai bahan starter.
Sebanyak 10 gram isolat jamur berupa starter diinokulasikan pada satu
liter medium mengandung mangan. Medium mengandung mangan yang
digunakan mengandung komposisi sebagai berikut: Malt Ekstrak 15 g, asam
tartrat 0.11 g/l, MnSO4.H2O 180µl/l (2 mM), aquades 1 liter, Kloramfenikol 250
mg/l dan serbuk gergajian kayu sengon 8 g/l. Stok MnSO4.H2O dibuat dengan
melarutkan 0,59 g dalam 10 ml akuades (modifikasi Brown et al. 1990). Kultur
skala kecil dilakukan di dalam botol gelas berukuran 214 ml (diameter 5,5 cm dan
tinggi 9 cm) dengan media cair sebanyak 100 ml, dengan substrat lignin alami
berupa serbuk jerami, serbuk gergajian kayu pinus atau sengon pada suhu 28oC
dalam inkubator, dengan cara digoyang dengan kecepatan 120 rpm atau tidak
digoyang. Pengambilan sampel dilakukan setiap hari, yaitu sebanyak 2-10 ml
untuk pengukuran aktivitas enzim. Pengambilan dilakukan dari hari ke-1 sampai
ke-11. Selain itu, untuk mengetahui bobot kering miselium, pengamatan
dilakukan tiap 3 hari sekali selama 30 hari. Miselium jamur disaring
menggunakan kertas saring yang sudah diketahui bobot keringnya, kemudian
dikeringkan dan selanjutnya ditimbang. Filtrat biakan jamur tersebut kemudian
dianalisis lakase, MnP dan LiP-nya.
124
Kultur skala besar dilakukan di dalam bioreaktor dengan substrat lignin
alami berupa serbuk gergajian kayu sengon. Bioreaktor tersebut berupa fermentor
dengan suhu 30oC, agitasi 150 rpm dan aerasi 0,5 ppm. Filtrat biakan jamur
tersebut kemudian dianalisis MnP-nya. Setiap hari filtrat kultur diambil sebanyak
2 ml dan dimasukkan ke dalam botol secara aseptik. Pemeliharaan dan
pengambilan filtrat kultur ini dilakukan mulai hari pertama sampai hari ke enam
untuk uji aktivitas dan juga untuk pengukuran pH filtrat. Setelah inkubasi selama
6 hari, semua filtrat sisa dipanen sebagai enzim kasar. Enzim kasar tersebut
kemudian diendapkan dengan (NH4)2SO4 atau amonium sulfat 40% (1,8 M),
kemudian sampel tersebut disentrifus dengan kecepatan 7 000 rpm selama 15
menit pada suhu 8-16oC untuk kemudian diambil peletnya. MnP yang terdapat
pada pelet tersebut kemudian disuspensi dengan buffer potassium fosfat 10 mM
pH 7,0 dan disimpan di dalam botol pada suhu -20oC sebelum dipurifikasi.
Uji Aktivitas MnP, LiP dan Lakase Serta Kadar Protein
Aktivitas MnP diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 465 nm (Kofujita et. al. 1991 dalam Hammel et al. 1993). Sebanyak
0,1 mL buffer Na-laktat 50 mM; 0,1 mL guaiakol 4mM; 0,2 mL MnSO4 1mM; 0,1
mL H2O2 1 mL dan akuades 0,3 mL dimasukkan ke dalam kuvet kemudian
dikocok. Sebanyak 0,2 mL filtrat enzim yang akan diuji ditambahkan ke dalam
campuran tersebut (A), kemudian dikocok dan absorbansinya dibaca pada
spektrofotometer selama satu menit. Aktivitas MnP didapat dengan mengulang
reaksi tanpa MnSO4 dengan penambahan akuades menjadi 0,3 mL (B). Masing-
masing volume total campuran adalah 1 mL.
(At-A0)x Vtot (mL)x 109 Aktivitas enzim (U/mL) = εmax x d x volume enzim (mL) x t εmax = absorpsivitas molar guaiakol (12100 M-1 cm-1) d = tebal kuvet (cm) Aktivitas enzim MnP setiap unit = A(U) – B(U) Satu unit MnP didefinisikan sebagai banyaknya enzim yang mengoksidasi 1 nmol substrat per menit.
125
Aktivitas lakase diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 420 nm mengikuti metode Buswell et al. (1996). Sebanyak 0,5 mL
buffer asetat pH 5 dengan konsentrasi 0,5 M dan 0,1 mL 1 mM ABTS dimasukan
ke dalam kuvet, kemudian sebanyak 0,4 mL filtrat enzim yang diuji ditambahkan
sehingga volume total campuran adalah 1 mL. Selanjutnya campuran dikocok dan
absorbansinya dibaca pada spektro fotometer selama 0-30 menit.
(At-A0)x Vtot (mL)x 109 Aktivitas enzim (U/mL) = εmax x d x volume enzim (mL) x t εmax = absorpsivitas molar ABTS (36000 M-1 cm-1) d = tebal kuvet (cm) Satu unit aktivitas lakase didefinisikan sebagai terbentuknya 1 nmol produk per menit.
Aktivitas LiP diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 310 nm (Tien dan Kirk 1984). Sebanyak 0,1 mL veratril alkohol 8
mM; 0,05 M buffer asetat pH 3 0,2 mL; akuades 0,45 mL; dan 0,005 mL H2O2 5
mM dimasukkan ke dalam kuvet kemudian ditambahkan 0,2 mL filtrat enzim
yang diuji dan absorbansinya dibaca pada spektrofotometer selama satu menit.
(At-A0)x Vtot (mL)x 109 Aktivitas enzim (U/mL) = εmax x d x volume enzim (mL) x t εmax = absorpsivitas molar veratril alkohol (9300 M-1 cm-1) d = tebal kuvet (cm) Satu unit aktivitas LiP didefinisikan sebagai banyaknya enzim yang mengoksidasi 1 nmol substrat per menit.
Analisis kadar protein dengan menggunakan metode Lowry et al. (1951).
Pereaksi yang digunakan adalah Lowry A, B, C dan D. Lowry A dibuat dengan
melarutkan 6% (b/v) Na2CO3 dalam NaOH 0,2M. Lowry B dibuat dengan
melarutkan 1,5% (b/v) CuSO4.5H2O dalam 3% (b/v) Natrium sitrat. Komposisi
Lowry C terdiri dari Lowry A dan Lowry B (50:1) dan komposisi Lowry D adalah
pereaksi Folin Ciocalteau dan akuades (3:1). Pembuatan larutan Lowry C dan D
dilakukan in situ.
126
Sebanyak 10-50 µL enzim ditambah dH2O hingga volume 1,6 mL dan
ditambahkan ke dalam 600 µL Lowry C, dikocok dengan vorteks dan didiamkan
selama 10 menit. Selanjutnya sebanyak 200 µL larutan Lowry D ditambahkan dan
dikocok dengan vorteks dan didiamkan selama 30 menit. Serapannya diukur pada
panjang gelombang 750 nm. Pada kurva standar protein, enzim digantikan dengan
stok Bovine serum Albumin (BSA) 200 µg/mL. Standar BSA dibuat dengan
berbagai konsentrasi 0; 12,5; 25; 50; 100 dan 2000 µg/mL, dan diencerkan dengan
akuades sampai volume total 1,6 mL. Perlakuan selanjutnya sama seperti prosedur
pada enzim.
Isolasi dan Purifikasi MnP Dari Filtrat Kultur Jamur Dengan Kolom Kromatografi Cair dan Kromatografi Gel
Proses purifikasi dilakukan dua tahap. Tahap pertama dengan
menggunakan kromatografi kolom cair dengan matriks penukar anion DEAE-
Sepharose dan matriks hidrofobik Phenyl-Sepharose dengan bed-volume masing-
masing 2 ml dan 1 ml mengikuti metode Witarto (2000). Tahap kedua dengan
menggunakan gel kromatografi HiPrep 16/60 Sephacryl S-200 High Resolution
(GE Bioscences) dan HPLC AKTA Purifier (GE Bioscences).
Aplikasi sampel enzim kasar MnP dilakukan dengan cara memasukkan
sebanyak 15-30ml dalam kolom DEAE-Sepharose. MnP merupakan enzim
bermuatan negatif pada pH 7 sehingga enzim tersebut terikat dalam matriks
penukar anion ini. Sebelum aplikasi, kolom yang terisi matrik diekuilibrasi
dengan buffer potassium fosfat 10 mM pH 7,0. Setelah aplikasi sampel, kolom
dicuci (washing) dengan 30 ml buffer yang sama. Elusi dilakukan dengan
menambahkan sebanyak 1 mL buffer potassium fosfat 10 mM pH 7 yang
mengandung 0,1 M, 0,2 M, 0,3 M, 0,4 M, 0,5 M, 0,6 M, 0,7 M, 0,8 M, 0,9 M dan
1,0 M NaCl secara berturut-turut dan bertahap dan hasilnya ditampung dalam tube
masing-masing 1 sampai 3 ml.
Dalam penelitian ini juga dilakukan aplikasi sampel ke dalam kolom
hidrofobik Phenyl-Sepharose. Ekuilibrasi kolom menggunakan buffer potassium
fosfat 10 mM pH 7 yang mengandung 40% ammonium sulfat. Untuk elusi, ke
dalam kolom ditambahkan potassium fosfat 10 mM pH 7 yang mengandung
127
ammonium sulfat dengan konsentrasi berturut-turut 40%, 36%, 32%, 28%, 24%,
20%, 16%, 12%, 8%, 4% dan 0% secara bertahap masing-masing sebanyak 1 ml.
Purifikasi MnP dilakukan dengan flow rate 0,3 ml/min dan fraksinasi 1,5
ml/fraksi, buffer 10 mM potasium fosfat pH 7,0 dan HPLC AKTA Purifier (GE
Bioscences). Setelah dilakukan purifikasi, hasil fraksi purifikasi dan enzim kasar
dianalisis menggunakan SDS PAGE.
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Uji Pendahuluan dan Produksi Skala Kecil untuk Melihat Ekspresi MnP
Hasil dari uji pendahuluan menunjukkan bahwa isolat Pleurotus EA4,
Pleurotus EB6, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB24 dan P. ostreatus HO tidak
menghasilkan MnP secara signifikan. Sementara Pleurotus EB9 menghasilkan
MnP paling tinggi dalam substrat serbuk gergajian kayu sengon (Tabel 5.1).
Tabel 5.1 Ekspresi enzim MnP (U/ml) isolat-isolat jamur kelompok Pleurotus secara ekstraseluler
JENIS ISOLAT Lama
Inkubasi (hari)
Pleurotus EA4-S1
Pleurotus EA4-P1
Pleurotus EB6-S1
Pleurotus EB6-P1
Pleurotus EB9-S1*1)
Pleurotus HO-S11
Pleurotus EAB7-P11
Pleurotus EB24-J1
Pleurotus EB24-P1
H-0 -2) - - - 0.041 - - - -
H-1 - - - - 0.050 0.000 0.000 - 0.000
H-2 0.138 0.000 0.007 0.000 0.048 0.000 - 0.034 0.000
H-3 0.000 0.000 0.007 0.034 0.083 0.083 0.048 0.000 0.000
H-4 0.000 0.000 0.021 0.000 0.117 0.000 0.055 0.000 0.000
H-5 0.103 0.000 0.000 0.000 0.124 0.028 0.000 0.000 0.000
H-6 0.000 0.048 0.000 0.000 0.213 0.000 0.041 0.103 0.090
H-7 0.062 0.000 0.000 0.000 - - 0.103 0.000 -
H-8 - - - - - - - - -
H-9 - - - - - - - - -
H-10 - - 0.000 0.062 - - - 0.083 -
H-11 - - 0.000 0.014 - - - 0.055 - Keterangan: 1) Kultur pada bioreaktor skala besar; 2) tidak teramati; Substrat kayu pinus (P), kayu
sengon (S) atau jerami (J) pada perlakuan penggoyangan (1) dan tanpa penggoyangan (11)
128
Penelitian yang sama dilakukan dengan tujuh isolat lainnya dengan
penentuan aktivitas ligninolitik MnP ekstrak pada saat 6 hari inkubasi. Isolat
Pleurotus EB9 menghasilkan MnP paling tinggi dalam substrat kayu sengon.
Kondisi media yang digoyang dengan shaker dapat lebih meningkatkan produksi
MnP (0,241 U/ml) (Tabel 5.2). Ekspresi MnP pada substrat kayu sengon yang
tidak digoyang untuk Pleurotus EB9 adalah 0,135 U/ml dan untuk P. ostreatus
HO, MnP tidak terdeteksi (Tabel 5.2).
Tabel 5.2 Ekspresi MnP (U/ml) setelah 6 hari inkubasi secara ekstraseluler
Substrat dan Perlakuan Jenis Isolat P (sh) P (n-sh) S (sh) S (n-sh) J (sh) J (n-sh)
Pleurotus EB14-2 - - - 0.000 0.000 0.000 Pleurotus EB24 0.090 - - 0.000 0.103 0.000 Pleurotus EA4 0.048 - 0.000 0.117 - - Pleurotus EAB7 - 0.041 0.000 0.000 0.000 0.131 Pleurotus EB6 0.000 0.000 0.000 - 0.000 0.000 Pleurotus EB9 0.034 0.165 0.241 0.135 0.000 0.041 P. ostreatus HO - - 0.014 0.000 0.069 0.000 P. chrysosporium PC - - - 0.152 - 0.048 kontrol 0.028 - 0.021 - 0.000 -
Keterangan: Substrat pinus (P), sengon (S) atau jerami (J): Kondisi media digoyang dengan shaker (sh) atau tanpa digoyang (n-sh); Ekspresi MnP oleh Pleurotus EB9 pada skala besar adalah 0, 213 U/ml
Penambahan sumber lignin alami diharapkan dapat meningkatkan aktivitas
enzim, karena sumber lignin alami serbuk gergajian kayu sengon ini juga dapat
memperbaiki pertumbuhan jamur liar yang diuji.
Produksi Enzim Skala Besar Pada Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4
Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat Pleurotus EB9 menghasilkan
MnP dan lakase yang signifikan, sementara produksi LiP tidak terlalu signifikan.
Aktivitas MnP mulai muncul pada hari ke-3 inkubasi, dan semakin meningkat
seiring masa inkubasi sampai hari ke enam. Demikian juga aktivitas lakase, yang
mulai muncul sejak satu hari inkubasi, walaupun tampak adanya fluktuasi. Pada
hari keenam, enzim kasar tersebut dipanen. Selama kultur masal 1 liter dalam
bioreaktor selama 6 hari, pH menurun perlahan dari 5,6-4,8. Pada panen hari ke-6
diperoleh pH optimum sebesar 4,8 (Tabel 5.3 dan Gambar 5.1).
129
-0.200
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
0 1 2 3 4 5 6 7
Lama Inkubasi (Hari)
Akt
ivita
s Enz
im (U
/m
MnP LiPLakase
Tabel 5.3 Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) oleh isolat Pleurotus EB9 secara ekstraseluler pada substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor
Inkubasi hari ke- MnP LiP Lakase MnP pekat
LiP dengan blanko air pH
H0 0.041 0.197 0.000 0.000 0.251 5.6
H1 0.000 0.143 0.623 0.103 0.000 5.6
H2 0.048 0.000 0.891 0.000 0.000 5.5
H3 0.083 0.000 0.694 0.200 0.000 5.4
H4 0.117 0.000 0.926 0.000 0.000 5.1
H5 0.124 0.000 0.836 0.028 0.179 4.9
H6 0.213 0.000 0.970 0.200 0.000 4.8
Gambar 5.1 Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) oleh isolat Pleurotus EB9 secara ekstraseluler dengan substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor.
Perbandingan antara Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 hasil produksi
yang sudah diberi amonium sulfat untuk memekatkan kadar enzimnya, diketahui
bahwa Pleurotus EB9 menghasilkan MnP sebesar 0,138 U/ml dan aktivitas LiP
tidak terdeteksi dan lakase sebesar 0,914 U/ml sedangkan pada isolat Pleurotus
EA4 aktivitas MnP tidak terdeteksi dan produksi LiP dan lakase, berturut-turut
adalah 0,179 dan 0,086 U/mL (Tabel 5.4).
Dari penelitian pendahuluan dan produksi enzim skala kecil dan skala
besar di atas, dilanjutkan untuk melihat ekspresi lakase, MnP dan LiP pada isolat
Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 dengan substrat kayu sengon pada skala kecil
menggunakan bioreaktor dengan penggoyangan. Untuk mengetahui potensinya
130
dalam menghasilkan MnP, pada kedua isolat dilakukan juga uji HPLC terhadap
isolasi enzim.
Tabel 5.4 Perbandingan Ekspresi enzim MnP, LiP dan Lakase (U/ml) secara
ekstraseluler oleh isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 yang sudah dipekatkan dengan amonium sulfat (As)
Enzim Metode Aktivitas (U/ml)_____________ Pleurotus EB9-As Pleurotus EA4-As
MnP Oksidasi guaiakol MnSO4 Pada λ 465 nm 0,138 TTd LiP Oksidasi veratryl alkohol menjadi Veratraldehid pada λ 310 nm TTd 0,179 Lakase Oksidasi ABTS pada λ 420 nm 0,914 0,086
TTd = Tidak terdeteksi
Ekspresi MnP, LiP dan Lakase Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 Dalam Produksi Skala Kecil
Secara visual, reaksi yang menunjukkan adanya aktivitas enzim adalah
perubahan warna menjadi kuning sampai oranye pada campuran reaksi pada MnP,
perubahan warna menjadi merah pada campuran reaksi LiP dan pada aktivitas
lakase, adanya perubahan warna menjadi hijau sampai kebiruan pada campuran
(Gambar 5.2).
Gambar 5.2 Reaksi secara visual pada uji aktivitas MnP (A), LiP (B) dan lakase
(C) pada Pleurotus EB9 setelah inkubasi satu sampai 6 hari (H0 sampai H6) dibandingkan dengan kontrol (K).
K H1 H2 H3 H4 H5 H6
K H1 H2 H3 H4 H5 H6
K H1 H2 H3 H4 H5 H6
A
B
C
131
Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 pada pengujian ekspresi enzim juga
dibandingkan dengan ekspresi enzim dari isolat Pleurotus EB6, P. chrysosporium
PC dan P. ostreatus HO. Dalam pelaksanaan pengujian terdapat catatan yang
diduga dapat mempengaruhi ekspresi enzim yaitu lama penyimpanan enzim kasar
yang belum murni serta suhu tempat penyimpanan (Tabel 5.5). Berdasarkan lama
penyimpanan enzim kasarnya, perbandingan aktivitas enzim yang dapat dilakukan
adalah antara lain: 1) Ekspresi MnP, LiP dan lakase pada Pleurotus EB9
dibandingkan dengan Pleurotus EA4; 2) Ekspresi MnP Pleurotus EB6, P.
chrysosporium PC dan P. ostreatus HO dan; 3) Ekspresi LiP Pleurotus EB6, P.
chrysosporium PC dan P. ostreatus HO; 4) Ekspresi lakase Pleurotus EB6, P.
chrysosporium PC dan P. ostreatus HO.
Tabel 5.5 Lama penyimpanan enzim dari mulai panen sampai analisis ekspresi
enzim Pleurotus EB9, Pleurotus EA4, Pleurotus EB6, P. chrysosporium PC dan P. ostreatus HO
Lama penyimpanan dari panen sampai uji ekspresi enzim (hari)
Pleurotus EB9 Pleurotus EA4 Pleurotus EB6 P. chrysosporium
PC P. ostreatus
HO Hari ke- 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
1 36 36 36 28 36 36 61 31 72 61 31 72 61 31 72 2 35 35 35 27 35 35 60 30 71 60 30 71 60 30 71 3 34 34 34 26 34 34 59 29 70 59 29 70 59 29 70 4 33 33 33 25 33 33 58 28 69 58 28 69 58 28 69 5 32 32 32 24 32 32 57 27 68 57 27 68 57 27 68 6 31 31 31 23 31 31 56 26 67 56 26 67 56 26 67 7 30 30 30 22 30 30 55 25 66 55 25 66 55 25 66 8 29 29 29 21 29 29 54 24 65 54 24 65 54 24 65 9 28 28 28 20 28 28 53 23 64 53 23 64 53 23 64 10 27 27 27 19 27 27 52 22 63 52 22 63 52 22 63 11 26 26 26 18 26 26 51 21 62 51 21 62 51 21 62
Keterangan: 1 = lakase; 2 = MnP; 3 = LiP Suhu tempat penyimpanan -20oC
1. Ekspresi MnP, LiP dan Lakase Pada Pleurotus EB9 Dan Pleurotus EA4
Ekspresi MnP dan LiP pada Pleurotus EB9 tidak terdeteksi, hanya
aktivitas lakase yang dihasilkan oleh Pleurotus EB9 yang mulai muncul pada hari
ke-6 dan meningkat pesat pada hari ke-10 (1,384 U/ml) (Gambar 5.3). Lama
penyimpanan enzim kasar selama 26 sampai 36 hari pada suhu sekitar -20oC
berpengaruh terhadap aktivitas MnP dan LiP, namun tidak terhadap lakase.
132
Aktivitas MnP dan LiP oleh Pleurotus EA4 tampak berfluktuasi, hasil ini
diduga disebabkan ketidakstabilan enzim ekstraseluler atau adanya kebocoran
pada sel jamur, sesuai dengan pendapat Kerem et al. (1992) dalam penelitiannya.
Hasil penelitian ini diduga disebabkan kurangnya ulangan (hanya 2 ulangan) dan
dilakukan dalam botol, yang harus dibuka ketika tiap kali dilakukan pengambilan
ekstrak kasar dengan cara mengambil langsung menggunakan mikropipet.
Ekspresi lakase pada Pleurotus EA4 tidak terdeteksi. Isolat Pleurotus EA4
mencapai aktivitas MnP tertinggi pada hari ke-9 (0,124 U/ml). Isolat Pleurotus
EA4 mencapai aktivitas LiP tertinggi pada hari ke-6 (0,430 U/ml) (Gambar 5.3).
Lama penyimpanan enzim kasar pada suhu -20oC selama 18 sampai 28 hari, dan
dipindahkan pada suhu -80oC dengan total penyimpanan 26 sampai 36 hari
sebelum pengujian berpengaruh terhadap aktivitas lakase, MnP dan LiP.
Gambar 5.3 Ekspresi MnP, LiP dan lakase isolat Pleurotus EB9 (A) dan Pleurotus EA4 (B).
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
1.400
1.600
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Lama Inkubasi (Hari)
Aktivita
s Enz
im (U
/ml)
Lakase
MnP
LiP
A
-0.100
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Lama Inkubasi (Hari)
Akt
ivita
s Enz
im (U
/ml)
Lakase
MnP
LiP
B
133
2. Ekspresi MnP, LiP dan Lakase Pleurotus EB6, P. chrysosporium PC dan P. ostreatus HO
Demikian juga pengujian ekspresi MnP pada Pleurotus EB6, P.
chrysosporium PC dan P. ostreatus HO kemungkinan dipengaruhi lama
penyimpanan enzim kasar dan suhu tempat penyimpanan, oleh karena itu
pembandingan tiap enzim ligninolitik hanya antar isolat, dan bukan dalam satu
isolat. Ekspresi MnP, LiP dan lakase pada hasil penelitian ini tampak berfluktuasi.
P. chrysosporium PC mempunyai ekspresi MnP tidak signifikan dengan puncak
pada hari ke-9 dan ekspresi MnP oleh P. ostreatus HO tidak terdeteksi. Pada
kondisi tersebut, Pleurotus EB6 mencapai aktivitas MnP tertinggi pada hari ke-3
(0,145 U/ml) (Gambar 5.4).
Gambar 5.4 Tingkat ekspresi MnP (A), LiP (B) dan lakase (C) Pleurotus EB6, P. chrysosporium PC dan P. ostreatus HO.
P. chrysosporium PC mempunyai ekspresi LiP tertinggi pada hari ke-2
(0,699 U/ml). P. ostreatus HO mempunyai ekspresi LiP tertinggi pada hari ke-2
-0.020
0.000
0.020
0.040
0.060
0.080
0.100
0.120
0.140
0.160
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Lama Inkubasi (Hari)
Aktivita
s MnP
(U/m
l)
Pleurotus EB6
P. chrysosporium PC
P. ostreatus HO
A
-0.1000.000
0.1000.200
0.3000.400
0.5000.600
0.7000.800
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Lama Inkubasi (Hari)
Aktivitas LiP (U
/ml)
Pleurotus EB6
P. chrysosporium PC
P. ostreatus HO
B
-0.100
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
0.700
0.800
0.900
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Lama Inkubasi (Hari)
Aktivitas Lakase (U
/ml)
Pleurotus E6
P. chrysosporium PC
P. ostreatus HO
C
Pleurotus EB6
134
(0,466 U/ml). Pada kondisi tersebut, Pleurotus EB6 mencapai aktivitas LiP
tertinggi pada hari ke- ke-2 (0,394 U/ml) (Gambar 5.4).
Ekspresi lakase pada P. chrysosporium PC tidak terdeteksi. P. ostreatus
HO mempunyai ekspresi lakase tertinggi pada hari ke-9 (0,817 U/ml). Pada
kondisi tersebut, Pleurotus EB6 mencapai aktivitas lakase tertinggi pada hari ke-
ke-7 (0,273 U/ml) (Gambar 5.4).
Ekspresi MnP, LiP dan Lakase Serta Bobot Kering Miselium P. djamor EB9 dan Pleurotus EA4 Dalam Produksi Skala Kecil
Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 dilihat tingkat ekspresi enzim dan
hubungannya dengan bobot kering miselium. Dalam pelaksanaan pengujian
terdapat catatan yang diduga dapat mempengaruhi ekspresi enzim yaitu lama
penyimpanan enzim kasar serta suhu tempat penyimpanan (Tabel 5.6). Oleh
karena itu, maka perbandingan aktivitas enzim dan bobot kering miseliumnya
yang dapat dilakukan adalah: 1) Ekspresi MnP Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4
pada hari ke-3-30; 2) Ekspresi LiP Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 pada hari
ke-3-30; 3) Ekspresi lakase Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 pada hari ke-3-30
dan; 4) Ekspresi lakase, MnP dan LiP Pleurotus EB9 pada Pleurotus EA4 pada
hari ke-18-30.
Tabel 5.6. Lama penyimpanan enzim kasar dari mulai panen sampai analisis
ekspresi enzim Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4
Lama penyimpanan untuk lakase (hari)
Lama penyimpanan untuk MnP (hari)
Lama penyimpanan untuk LiP (hari)
Hari ke-
Pleurotus EB9 (-60oC)
Pleurotus EA4 (-60oC)
Pleurotus EB9 (-60oC)
Pleurotus EA4 (-60oC)
Pleurotus EB9
(-60oC)
Pleurotus EA4
(-60oC) 3 26 26 47 47 34 34 6 23 23 43 43 31 31 9 20 20 41 41 28 28
12 17 17 40 40 25 25 15 14 14 37 37 22 22 18 49 49 49 49 49 49 21 46 46 46 46 46 46 24 43 43 43 43 43 43 27 40 40 40 40 40 40 30 37 37 37 37 37 37
135
Produksi enzim isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 diamati setiap 3
hari sekali selama 30 hari. Ekspresi MnP, LiP dan lakase pada hasil penelitian ini
tampak berfluktuasi. Isolat Pleurotus EB9 menghasilkan ekspresi MnP tertinggi
pada hari ke-9 (0,145 U/ml). Isolat Pleurotus EA4 menghasilkan ekspresi MnP
tertinggi pada hari ke-18 (0,310 U/ml).
Gambar 5.5 Tingkat ekspresi MnP (A), LiP (B) dan lakase (C), serta bobot kering
miselium (D) Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 .
-0.200
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33
Lama Inkubasi (Hari)
Akt
ivita
s La
kase
(U/m
l)
Pleurotus EB9
Pleurotus EA4
C
-0.050
0.000
0.050
0.100
0.150
0.200
0.250
0.300
0.350
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33
Lama Inkubasi (Hari)
Akt
ivita
s M
nP (U
/ml)
Pleurotus EB9
Pleurotus EA4
A
-0.1000.0000.1000.2000.3000.4000.5000.6000.700
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33
Lama Inkubasi (Hari)
Akt
ivita
s Li
P (U
/ml)
Pleurotus EB9Pleurotus EA4
B
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
0 5 10 15 20 25 30 35
Lama Inkubasi (Hari)
Bob
ot K
erin
g (g
ram
)
Pleurotus EB9Pleurotus EA4
D
136
Isolat Pleurotus EB9 menghasilkan ekspresi LiP tertinggi pada hari ke-24
(0,430 U/ml). Isolat Pleurotus EA4 menghasilkan ekspresi LiP tertinggi pada hari
ke-15 (0,609 U/ml). Isolat Pleurotus EB9 menghasilkan ekspresi lakase tertinggi
pada hari ke-6 (0,970 U/ml). Isolat Pleurotus EA4 menghasilkan ekspresi lakase
tertinggi pada hari ke-27 (0,616 U/ml) (Gambar 5.5).
Data pengukuran bobot kering miseliumnya menunjukkan bahwa bobot
kering Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 cenderung semakin menurun seiring
lamanya masa inkubasi. Bobot kering Pleurotus EB9 paling tinggi terlihat pada
hari ke-3 dan Pleurotus EA4 pada hari ke-9 (Gambar 5.5). Tingkat ekspresi MnP,
LiP dan lakase isolat yang tinggi ternyata tidak terjadi pada bobot kering miselium
yang tinggi, tapi sebaliknya, terjadi pada bobot kering yang lebih rendah. Namun
pada Pleurotus EB9 ekspresi enzim MnP dan LiP puncak terjadi pada bobot
kering miselium yang tinggi, yaitu pada hari ke 15 dan Pleurotus EA4 pada panen
hari ke 24 (Gambar 5.5).
Isolasi MnP Dengan Kolom Kromatografi Cair
1. Tahap Pemurnian Dengan Presipitasi 40% Ammonium Sulfat
Purifikasi parsial hanya dilakukan pada Pleurotus EB9 penghasil MnP
tertinggi dengan menggunakan media cair (1000 ml) dan substrat lignin alami
berupa serbuk kayu sengon. Aktivitas enzim ekstraseluler diukur dari filtrat
menunjukkan bahwa Pleurotus EB9 mempunyai ekspresi MnP yang semakin
meningkat dengan semakin bertambahnya masa inkubasi. Produksi skala besar
Pleurotus EB9 yang sudah diberi amonium sulfat 40% menghasilkan aktivitas
MnP dan lakase yang signifikan, tapi produksi LiP tidak terdeteksi. Produksi
enzim pada Pleurotus EB9 yang telah dipekatkan dengan 40% amonium sulfat
(Pleurotus EA4-AS) diperoleh peak pada fraksi ke 96 (Tabel 5.7).
Produksi enzim skala besar dengan bioreaktor juga dilakukan terhadap
Pleurotus EA4, tujuannya selain untuk pembanding juga untuk melihat adanya
potensi produksi MnP. Produksi skala besar isolat Pleurotus EA4 yang sudah
diberi amonium sulfat 40% menghasilkan aktivitas LiP dan lakase, namun MnP
tidak terdeteksi (Tabel 5.7).
137
Tabel 5.7 Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) Pleurotus EB9 dengan substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor dengan Pleurotus EB9-AS, Pleurotus EB9-F dan isolat Pleurotus EA4-AS
Lama Inkubasi Mn-P Li-p Lakase H0 0,041 0,224 0 H1 0,05 0,0701 0,623 H2 0,048 0 0,891 H3 0,083 0 0,694 H4 0,117 0 0,926 H5 0,124 0,06 0,836 H6 0,213 0 0,97 EB9-AS 0,138 0 0,914 EB9-F 0,062 0 0 EA4-AS 0 0,179 0,086
Keterangan: EB9-AS: Produksi enzim Pleurotus EB9 yang sudah diberi 40% amonium sulfat; EB9-F: Produksi enzim pada Pleurotus EB9-AS diperoleh peak pada fraksi ke 96 yang kemudian diambil; EA4-AS: Produksi skala besar isolat Pleurotus EA4 yang sudah diberi amonium sulfat 40%
2. Tahap Pemurnian Dengan Kolom Kromatografi Cair Penelitian isolasi MnP isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 dimulai
dengan kromatografi kolom dan SDS-PAGE fraksi hasil kromatografi kolom
tersebut. Untuk isolat Pleurotus EA4 menggunakan kromatografi kolom terbuka
penukar ion dengan matriks DEAE dan matriks Phenyl, sedang untuk Pleurotus
EB9 menggunakan kromatografi kolom terbuka penukar ion dengan matriks
DEAE.
Hasil ekstraksi dan purifikasi enzim kasar Pleurotus EA4, pada perlakuan
inkubasi 4 hari maupun 12 hari tidak diperoleh pita-pita yang menunjukkan
keberadaan MnP atau enzim, walaupun sudah ditambahkan amonium sulfat 40%.
Hal ini menunjukkan bahwa isolat Pleurotus EA4 tidak menghasilkan MnP,
sehingga tidak dilakukan eksperimen lebih lanjut (Gambar 5.6).
Isolasi enzim MnP Pleurotus EB9 yang difermentasi 6 hari tanpa diberi
amonium sulfat tidak menghasilkan enzim karena diduga konsentrasinya kurang
pekat. Setelah diberi amonium sulfat 40%, diperoleh beberapa fraksi enzim dari
mulai enzim kasar sampai hasil elusi 0,1, 0,2, 0,3 dan 0,4% NaCl dan pita dengan
bobot molekul kira-kira 43 kDa yang merupakan bobot molekul rata-rata MnP
(Gambar 5.7).
138
Keterangan: Pada sampel pemekatan 40% amonium sulfat sebelum kromatografi, diperoleh
aktivitas (U/mL): MnP, 0; LiP, 0,179; lakase, 0,086. Buffer pp+AS: buffer pirofosfat dan ammonium sulfat; M: marker LMW
Gambar 5.6 SDS-PAGE hasil kromatografi kolom gel hidrofobik (Phenyl-
Sepharose) terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat isolat Pleurotus EA4.
Keterangan: Pada sampel pemekatan 40% AS sebelum kromatografi, diperoleh aktivitas (U/mL):
MnP, 0, 138; LiP, 0; lakase, 0,914; Crude E4 12 h ink: ekstrak kasar Pleurotus EA4 umur kultur 12 hari inkubasi.
Gambar 5.7 SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar anion (DEAE-Sepharose) terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat isolat Pleurotus EB9.
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Lane : M = LMW 1 = ekstrak AS 60 % 2 = elusi 0.04% buffer pp+AS 3 = elusi 0.08 % buffer pp+AS 4 = elusi 0.12% buffer pp+AS 5 = elusi 0.16% buffer pp+AS 6 = elusi 0.20% buffer pp+AS 7 = elusi 0.24% buffer pp+AS 8 = elusi 0.28% buffer pp+AS 9 = elusi 0.32% buffer pp+AS 10= elusi 0.36% buffer pp+AS 11= elusi 0.40% buffer pp+AS 12= ekstrak kasar
14,420,1
30,0
45,0
66,097,0kDa
139
Gambar 5.8 Kromatogram pemurnian protein sampel Pleurotus EB9-amonium
sulfat 40% dengan gel kromatografi.
Ekstrak kasar Pleurotus EB9 yang sudah diberi amonum sulfat kemudian
disentrifugasi. Endapan yang diperoleh dilarutkan dengan buffer pirofosfat pH 7
sebanyak 10 ml dan didialisis dengan buffer yang sama sebanyak 2 liter selama 17
jam. Hasil pemurnian protein menunjukkan bahwa aktivitas MnP muncul pada
fraksi ke 96 (Gambar 5.8). Purifikasi parsial MnP dilakukan dengan mengelusi
endapan yang telah dilarutkan ke dalam kolom kromatografi gel HiPrep 16/60
Sephacryl S-200 resolusi tinggi (GE Biosciences) menggunakan buffer 10 mM
potassium fosfat pH 7,0, dengan kecepatan alir 0,3 mL/menit dan fraksinasi 1,5
mL/fraksi pada HPLC AKTA Purifier (GE Biosciences).
Pada Gambar 5.9 disajikan fraksi 96 kromatografi gel isolat Pleurotus EB9
yang kemudian dilakukan SDS-PAGE dan hasilnya terdapat pita yang sangat jelas
dengan bobot molekul sekitar 41,7 sampai dengan 43 kDa yang diperkirakan
bobot molekul MnP.
Aktivitas spesifik MnP untuk Pleurotus EB9 filtrat enzim kasar sebesar
1,092 U/mg, sedangkan aktivitas spesifik enzim MnP untuk Pleurotus EB9 40%
amonium sulfat (presipitas 40% AS) sebesar 1,605 U/mg. Aktivitas spesifik MnP
untuk Pleurotus EB9-Fraksi 96 kromatografi gel diperoleh sebesar 4,133 U/mg
protein. Kemungkinan tingkat kemurnian total akan jauh lebih besar, karena
hanya 1 ml yang diambil untuk HPLC dari 40 ml contoh (Tabel 5.8).
140
Keterangan: M: marker; 1: lajur 1, yaitu sampel awal sebelum kromatografi gel; 2: lajur 2, fraksi
96 Gambar 5.9 SDS-PAGE hasil kromatografi kolom gel terhadap sampel pemekatan
40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9.
Hasil tahapan purifikasi disajikan pada Tabel 5.8, terlihat bahwa persen
perolehan kembali (recovery) MnP yang didapat sebesar 4,133 U/mg protein
dengan kemurnian 3,8 kali. Tingkat keberhasilan pemurnian (yield) ini masih
sangat rendah, sehingga di kemudian hari masih perlu diperbaiki tahap pemurnian
yang lebih efektif.
Tabel 5.8 Aktivitas enzim MnP dari Pleurotus EB9 pada tahapan pemurnian parsial
Konsentrasi Protein Aktivitas MnP No.
Sampel Volume Sampel
(ml) mg/ml Mg per volume
total
U/ml Unit per volume
total
U/mg
Tingkat Kemurnian
(x)
Yield (%)
1 Filtrat kasar
550 0,195 107,25 0,213 117,15 1,092 1,0 100
2 Presipitas 40% AS
40 0,086 3,44 0,138 5,52 1,605 1,5 4,7
3 Fraksi 96 kromatografi
gel
1 0,015 0,015 0,062 0,06 4,133 3,8 0,05
141
Pembahasan
Hasil uji pendahuluan dalam percobaan untuk melihat ekspresi enzim
ligninolitik jamur kelompok Pleurotus tersebut, menunjukkan bahwa isolat
Pleurotus EA4, Pleurotus EB6, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB24 dan P.
ostreatus HO tidak menghasilkan MnP dengan jumlah signifikan. Sementara
Pleurotus EB9 paling tinggi menghasilkan MnP dalam substrat serbuk gergajian
kayu sengon.
Penelitian yang sama dilakukan pada ketujuh isolat dengan penentuan
aktivitas ligninolitik MnP ekstrak. Isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4,
diketahui memiliki kemampuan dalam proses delignifikasi material lignoselulosa
yaitu substrat kayu sengon. Produksi skala besar untuk isolasi MnP dengan
memakai isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 dilakukan dengan
menggunakan substrat kayu sengon dan menggunakan bioreaktor. Sesuai dengan
hipotesis yang disampaikan, bahwa isolat spesies jamur yang berbeda memiliki
aktivitas ligninase yang berbeda. Ternyata bahwa jenis isolat dan juga media
berpengaruh dalam produktivitas enzim ligninolitik. Dalam penelitian ini media
yang digunakan adalah media yang mengandung mangan yang dimodifikasi dari
Brown et al. (1990), yaitu dengan penambahan serbuk kayu sengon sebanyak 8
gram/l. Penambahan sumber lignin alami diharapkan dapat meningkatkan
aktivitas enzim. Karena sumber lignin alami serbuk kayu sengon ini juga dapat
memperbaiki pertumbuhan jamur liar yang diuji.
Aktivitas MnP, LiP dan lakase pada produksi skala kecil oleh jamur
kelompok Pleurotus dalam penelitian tampak berfluktuasi, hasil ini diduga
disebabkan ketidakstabilan enzim ekstraseluler atau adanya kebocoran pada sel
jamur, sesuai dengan pendapat Kerem et al. (1992). Hasil penelitian ini diduga
juga disebabkan kurangnya ulangan (hanya 2 ulangan) dan dilakukan dalam botol,
yang harus dibuka ketika tiap kali dilakukan pengambilan ekstrak kasar dengan
cara mengambil langsung menggunakan mikropipet. Disarankan pada penelitian
yang akan datang, kultur dilakukan di dalam bioreaktor yang memudahkan dalam
pengambilan ekstrak kasar tanpa harus mengganggu pertumbuhan jamur.
142
Produksi enzim skala besar pada isolat Pleurotus EB9 menghasilkan MnP
dan lakase yang signifikan, sementara produksi LiP tidak terlalu signifikan.
Aktivitas MnP mulai muncul pada hari ke-3 inkubasi, dan semakin meningkat
seiring masa inkubasi sampai hari ke enam. Demikian juga aktivitas lakase, yang
mulai muncul sejak satu hari inkubasi, walaupun tampak adanya fluktuasi. Pada
hari keenam, enzim kasar tersebut dipanen. Selama kultur masal 1 liter dalam
bioreaktor selama 6 hari, pH menurun perlahan dari 5,6-4,8. Pada panen hari ke-6
diperoleh pH optimum sebesar 4,8. Penurunan pH secara perlahan sebesar lebih
kurang 0,8 selama 6 hari inkubasi menunjukkan pertumbuhan miselium yang
optimum, yang menunjukkan respirasi berjalan normal. Gangguan seperti
kurangnya aerasi pada kultivasi ini dapat mengakibatkan penurunan pH secara
drastis menjadi 2,8 pada hari ke 6.
Perbandingan antara Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 hasil produksi
yang sudah diberi amonium sulfat untuk memekatkan kadar enzimnya, diketahui
bahwa Pleurotus EB9 menghasilkan MnP sebesar 0,138 U/ml dan aktivitas LiP
tidak terdeteksi dan lakase sebesar 0,914 U/ml sedangkan pada isolat Pleurotus
EA4 aktivitas MnP tidak terdeteksi dan produksi LiP dan lakase, berturut-turut
adalah 0,179 dan 0,086 U/mL. Menurut Sarkar et al. (1997), manganese
peroksidase pada media glucose-amonium tartrate atau glukose-peptone, muncul
pada hari ke 3 dan maksimal pada hari ke 6, kemudian akan menurun. Deteksi
dilakukan dengan heme absorban pada λ 410 nm, sedang pada P. chrysosporium
maksimal pada hari ke 5 dengan λ 415 nm, dan pada P. radiata dapat dideteksi
pada λ 610 nm. Jenis isolat dan media berpengaruh pada produktivitas enzim
ligninolitik.
Aktivitas spesifik MnP untuk Pleurotus EB9 filtrat enzim kasar sebesar
1,092 U/mg, sedangkan aktivitas spesifik enzim MnP untuk Pleurotus EB9
dengan presipitas 40% amonium sulfat sebesar 1,605 U/mg. Aktivitas spesifik
MnP untuk Pleurotus EB9-Fraksi 96 kromatografi gel yang diperoleh sebesar
4,133 U/mg protein dengan kemurnian 3,8 kali. Hasil rangkuman data pemurnian
MnP dari Pleurotus EB9, menunjukkan tingkat keberhasilan pemurnian (yield)
yang masih sangat rendah, sehingga dikemudian hari masih perlu diperbaiki tahap
pemurnian yang lebih efektif. Dalam percobaannya, Sarkar et al. (1997)
143
melaporkan bahwa medium pepton meningkatkan hasil MnP pada P. ostreatus
sampai 65% dan faktor purifikasi 25. Pada P. eryngii, P. ostreatus, P.
pulmonarius dan P. sajor-caju, MnP tidak terdeteksi bila ditumbuhkan dalam
media cair dengan ammonium tartrate sebagai sumber N, aktivitas tinggi MnP
diperoleh pada medium pepton mendekati 3 U/ml pada kultur P. eryngii.
Fraksi 96 kromatografi gel isolat Pleurotus EB9 yang kemudian dilakukan
SDS-PAGE dan hasilnya terdapat pita yang sangat jelas dengan bobot molekul
sekitar 41,7 sampai dengan 43 kDa yang diperkirakan bobot molekul MnP. Hasil
ini diyakini bahwa isolat Pleurotus EB9 menghasilkan MnP yang telah berhasil
dimurnikan dan menunjukkan bobot molekul 43 kDa.
Ligninolitik berhubungan dengan produksi enzim ekstraseluler
pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih. Dua enzim yang
berperan dalam proses tersebut adalah lakase, LiP dan MnP (Howard et al. 2003;
Kirk et al. 1978).
Lakase merupakan enzim multi-copper yang dapat mengkatalis reaksi
oksidasi beberapa substrat seperti polifenol, substituen penol, diamin dan
beberapa senyawa anorganik (Thurston 1994). Mekanisme reaksi enzimatik yang
terjadi oleh lakase adalah reaksi oksidasi satu elektron. Dibutuhkan peranan
molekul oksigen sebagai penerima elektron dan kemudian membentuk molekul
air. Ketika reaksi oksidasi berlangsung, substrat kehilangan satu elektronnya dan
biasanya terbentuk radikal fenoksi bebas (Thurston 1994) yang berperan sebagai
intermediet. Radikal bebas yang tidak stabil tersebut dapat melangsungkan reaksi
oksidatif enzimatik selanjutnya atau reaksi non-enzimatik seperti hidrasi,
disproporsionasi dan polimerisasi (Thurston 1994).
Lakase telah banyak menjadi subyek penelitian untuk dimanfaatkan secara
luas oleh karena lakase sifat spesifiknya yang rendah terhadap substrat-
substratnya (Cavallazzi et al. 2004; Thurston 1994). Pemanfaatan lakase sangat
luas diterapkan dalam berbagai bidang antara lain dalam proses bioremediasi dan
biodegradasi polutan organik pada tanah seperti klorofenol (Ahn et al. 2002), dan
polisiklik aromatik hidrokarbon (Han et al. 2004), pada proses dekolorisasi dan
detoksifikasi pada pewarna tekstil (Abadulla et al. 2000) serta digunakan sebagai
144
bleaching pada proses biodelignifikasi pada pulp industri kertas (Bourbonnais dan
Paice 1992).
Lignin peroksidase (EC.1.11.1.14; diarilpropan: oksigen, hidrogen
peroksida oksidoreduktase; bobot molekul antara 38 dan 43 kDa) dan MnP
(EC.1.11.1.13; Mn(II): H2O2 oksidoreduktase; bobot molekul antara 43 dan 49
kDa) merupakan glikoprotein yang memiliki sebuah protoporfirin IX sebagai
gugus prostetik dan membutuhkan hidrogen peroksida sebagai oksidan (Hatakka
1994; Tien dan Kirk 1984; Gold dan Alic 1993).
Enzim ekstraseluler LiP dan MnP memiliki peranan yang sangat penting
dalam proses biodelignifikasi. LiP memiliki kemampuan mengkatalis beberapa
reaksi oksidasi antara lain pemecahan ikatan Cα-Cβ rantai samping propil non
fenolik komponen aromatik lignin, oksidasi benzil alkohol, oksidasi fenol,
hidroksilasi benzylic methylene groups dan pemecahan cincin aromatik komponen
non phenolik senyawa lignin (Tien dan Kirk 1984). Sedangkan MnP diketahui
memiliki kemampuan mengoksidasi baik komponen fenolik maupun non fenolik
senyawa lignin.
Seperti enzim peroksidase lainnya, LiP memiliki siklus katalitik yang
dinamakan mekanisme ping-pong. Reaksi yang terjadi yakni H2O2 mengoksidasi
enzim pada keadaan awal (resting enzyme) dengan dua elektron membentuk
senyawa intermediet I, senyawa tersebut kemudian mengoksidasi substrat
aromatik dengan menggunakan satu elektron membentuk senyawa intermediet II
dan produk radikal bebas. Senyawa intermediet II yang dihasilkan dapat kembali
mengoksidasi substrat lainnya sehingga terbentuk enzim awal dan produk radikal
bebas (Cullen dan Kersten 1992). Terbentuknya radikal bebas secara spontan atau
bertahap inilah yang mengakibatkan lepasnya ikatan antar molekul dan beberapa
inti pada cincin aromatik.
Prinsip fungsi MnP adalah bahwa enzim tersebut mengoksidasi Mn2+
membentuk Mn3+ dengan adanya H2O2 sebagai oksidan. Aktivitasnya dirangsang
oleh adanya asam organik yang berfungsi sebagai pengkelat atau penstabilkan
Mn3+. Mekanisme reaksi yakni MnP pada keadaan awal dioksidasi oleh H2O2
membentuk MnP-senyawa I yang dapat direduksi oleh Mn2+ dan senyawa fenol
membentuk MnP-senyawa II. Senyawa tersebut kemudian direduksi kembali oleh
145
Mn2+ tetapi tidak oleh fenol membentuk enzim keadaan awal dan produk
(Wariishi et al. 1989). Adanya Mn2+ bebas sangat penting untuk menghasilkan
siklus katalitik yang sempurna.
Manganese peroksidase dihasilkan oleh P. ostreatus (Sarkar et al. 1997)
dan juga oleh P. crysosporium (Brown et al. 1990) dan oleh Phlebia radiata
(Vares et al. 1995). Masing-masing jamur menghasilkan kombinasi enzim yang
berbeda-beda, misalnya ada yang hanya menghasilkan LiP dan MnP, MnP dan
lakase, atau jamur yang menghasilkan LiP dan lakase (Kerem dan Hadar 1998).
Sampai saat ini isolat jamur pelapuk putih P. chrysosporium banyak menjadi
obyek para peneliti dikarenakan menghasilkan aktivitas LiP dan MnP yang tinggi.
Seperti halnya pada lakase selain potensi dalam proses biodelignifikasi, lignin
peroksidase dan mangan peroksidase berpotensi dalam proses biobleaching dan
biopulping pulp serta proses degradasi senyawa-senyawa berbahaya.
Terdapat dua tipe jamur pelapuk putih yaitu : a) yang menghasilkan LiP,
MnP dan lakase dan 2) tanpa LiP (Hatakka 1994). LiP dan MnP secara umum
telah dikarakterisasi pada P. chrysosporium, dan produksi lakase telah dilaporkan
pada jamur ini dengan media dengan selulosa sebagai sumber karbon (Srinivasan
et. al. 1995). Umumnya jamur pelapuk putih, termasuk P. eryngii dan P.
ostreatus, termasuk grup kedua. Ketidakadaan LiP pada tipe kedua ini
menyebabkan degradasi lignin lebih condong dalam jerami gandum (Martinez et
al. 1994 dalam Sarkar et al. 1997). Menurut Peláez et al. (1995) tipe ini
menghasilkan juga aril alkohol oksidase (AAO). Meskipun tanpa LiP, spesies
tersebut mampu mendegradasi lignin jerami gandum (Martinez et. al. 1996), yang
merupakan sifat penting untuk aplikasi bioteknologi yang berhubungan dengan
industri pulp dan kertas dan makanan hewan. Spesies ini juga menghasilkan aryl-
alcohol oxidase (AAO) (Peláez et. al. 1995) sebuah enzim yg berpartisifasi dalam
produksi hidrogen peroksida yang penting untuk aksi MnP (Guillén et.al. 1996).
Studi-studi saat ini menunjukkan pengaruh positif Mn2+ pada degradasi lignin
oleh Pleurotus (Camarero et. al. 1996).
Pleurotus spp. diketahui mempunyai daya delignifikasi yang selektif
dibanding P. chrysosporium yang delignifikasinya tidak selektif (Kerem et al.
146
1992). Hal ini merupakan potensi yang besar untuk industri pulp, khususnya
dalam proses biobleaching dan biopulping (Jurasek dan Paice 1990).
Aktivitas ligninolitik jamur pelapuk putih seperti pada Trametes versicolor
dan P. chrysosporium meningkat pada media tumbuh yang kandungan karbon
sederhana dan nitrogennya rendah (Eaton dan Hale 1993; Katagiri et al. 1995).
Namun berdasarkan hasil penelitian Sugipriatini (1998) diketahui bahwa
penambahan glukosa dapat menekan pertumbuhan maupun aktivitas ligninolitik
salah satu jamur pelapuk putih Ganoderma spp.. Beberapa jamur liar diketahui
memiliki kemampuan mendegradasi lignin yang tinggi dan dalam
pertumbuhannya menggunakan lignin sebagai sumber karbon (Artiningsih et al.
2000). Ho et al. (1990) juga mengemukakan bahwa penambahan 0,25% pulp pada
media inokulum mendorong kecepatan pertumbuhan C. versicolor dengan
memperpendek periode lag bleaching dari 2 hari menjadi 1 hari dan mempertinggi
proses rangkaian pemutihan pulp.
Karakterisasi ligninolitik isolat-isolat jamur uji pada substrat gergajian
kayu sengon menunjukkan bahwa Pleurotus EB9, Pleurotus EA4 dan Pleurotus
EAB7 mempunyai potensi ligninolitik. Namun dalam aktivitas enzim Pleurotus
EB9 lebih menonjol dibanding isolat lainnya. Perbedaan potensi isolat Pleurotus
dalam biodegradasi diduga karena kondisi kultur yang berbeda yaitu antara media
padat dan cair juga diduga dapat mempengaruhi aktivitas enzim. Pada media
padat, enzim yang disekresikan lebih terkonsentrasi atau mengumpul karena
mempunyai kerapatan atau densitas molekulnya yang tinggi. Pada media cair,
enzim yang terinduksi akan mudah menyebar dan molekul enzimnya akan
bereaksi dengan substrat yang berada cukup jauh karena disebarkan oleh air.
Selain itu dengan menggunakan media cair, maka dapat dilakukan pengadukan,
sehingga proses degradasi substrat lebih merata dan sempurna. Kultivasi media
yang padat akan mempersulit pengadukan. Menurut laporan Ho et al. (1990) dan
Reid et al. (1990) pengadukan secara mekanik dengan kecepatan 110-220 putaran
per menit telah dapat mencegah penggumpalan dan proses pemutihan biologis
berjalan sempurna. Menurut Herliyana (1997) proses pemutihan pulp kayu akasia
dan pulp kayu pinus dengan menggunakan P. chrysosporium pada kondisi aerasi
maupun non-aerasi menghasillkan perubahan warna pulp yang masih belum
147
merata, yaitu terlihat masih adanya warna gelap pada sebagian pulp pinus. Selain
faktor aerasi dan tidak adanya pengadukan, ukuran gumpalan pulp juga diduga
menjadi salah satu faktor penyebab belum meratanya degradasi lignin pada pulp.
Degradasi lignin, prinsipnya merupakan proses oksidatif dan tidak-spesifik
oleh jamur pelapuk putih. Proses tersebut berhubungan dengan lignin peroxidase
dan sistem kompleks dengan beberapa enzim (ligninolytic, H2O2-producing and
reductases) dan reduced oxygen species (Kirk dan Farrell 1987; Hatakka 1994;
Guillén et. al. 1996). Enzim-enzim ligninolitik, LiP, MnP dan lakase,
mengkatalisis oksidasi satu elektron unit lignin aromatic radicals yang memulai
depolimerisasi non-enzymatic. Jamur yang menghasilkan MnP ini adalah P.
ostreatus (Sarkar et al. 1997), P. chrysosporium (Brown et al. 1990) dan Phlebia
radiata (Vares et al. 1995). Enzim ini akan menghasilkan produk berupa Mn 3+
dan air, reaksinya adalah MnSO4 + H2O2 ↔ Mn 3+ + H2O.
Terdapat tiga MnP yang berbeda telah dipurifikasi dari P. ostreatus dan
satu MnP isoenzyme telah dipetakan (Becker dan Sinitsyn 1993; Asada et. al.
1995). MnP isoenzymes pada P. eryngii menunjukkan sifat katalitik yang telah
dikarakterisasi dari media glukosa pepton (Martinez et. al. 1996).
Sifat biokimia dan molekuler MnP isoenzymes yang dihasilkan P. eryngii
dan P. ostreatus dalam media glucose-peptone telah dianalisis. Dua DNA probes
untuk P. eryngii dan P. ostreatus diperoleh dengan PCR untuk mendeteksi
homologi diantara gen-gen MnP pada kedua jamur tersebut (Sarkar et. al. 1997).
Simpulan
Isolat dengan MnP yang signifikan yaitu Pleurotus EB9 dan Pleurotus
EA4 kemudian dipurifikasi MnP-nya. Berdasarkan hasil yang telah didapatkan,
bahwa produk enzim ligninolitik dipengaruhi oleh kondisi media, jenis isolat, dan
suhu serta lama penyimpanan. Isolat Pleurotus EB9 menunjukkan ekspresi lakase
dan MnP yang signifikan pada media cair, namun untuk LiP tidak terdeteksi.
Sebaliknya isolat Pleurotus EA4 menunjukkan ekspresi lakase dan LiP yang
signifikan, namun untuk MnP tidak terdeteksi.
148
Isolasi enzim dengan kolom kromatografi cair dari Pleurotus EA4 tidak
didapatkan pita-pita yang menunjukkan keberadaan MnP. Hal ini menunjukkan
bahwa Pleurotus EA4 tidak menghasilkan enzim MnP.
SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar ion (DEAE-Sepharose)
terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9 diperoleh
pita dengan bobot molekul kira-kira 43 kDa, yang merupakan BM rata-rata MnP.
Selanjutnya hasil pemurnian dengan kolom gel kromatografi HiPrep 16/60
Sephacryl S-200 resolusi tinggi diperoleh peak pada fraksi ke 96. SDS PAGE
hasil kromatografi kolom gel terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat
dari Pleurotus EB9 diyakini bahwa Pleurotus EB9 menghasilkan MnP.
Data pemurnian MnP dari Pleurotus EB9 menunjukkan bahwa tingkat
pemurnian masih sangat rendah (3,8). Aktivitas spesifik MnP yang diperoleh
sekitar 4,133 U/mg protein.
6. IDENTIFIKASI BERDASARKAN KARAKTER FISIOLOGIS, LIGNINOLITIK DAN MORFOLOGIS ENAM ISOLAT KELOMPOK
Pleurotus ASAL BOGOR
(Identification Based Physiological, Ligninolytical and Morphological Characters of Six Isolates of Pleurotus Group of Bogor)
Abstrak
Lebih dari 24 isolat jamur pelapuk putih kelompok Pleurotus diisolasi dari beberapa tempat di Bogor. Enam isolat diantaranya dapat membentuk tubuh buah pada media serbuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria). Enam isolat tersebut adalah Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB9. Identifikasi dilakukan berdasarkan karakter fisiologi, ligninolitik dan morfologi. Karakter fisiologi mencakup tipe koloni kultur dan laju pertumbuhan koloni pada media PDA, MEA dan MPA, serta reaksi oksidasi dengan menggunakan media malt yang mengandung asam galat (AAG) dan asam tanat (AAT). Karakter ligninolitik meliputi produksi enzim ligninase khususnya manganese peroksidase (MnP). Karakter morfologis secara makroskopis dan mikrokopis meliputi penampakan tubuh buah secara visual, jumlah tangkai, ukuran pileus dan tangkai, panjang dan lebar basidiospora, sistidia dan basidia. Teknik parafin untuk membuat preparat mengacu pada modifikasi SPM (2002). Pengamatan morfologi dilakukan dengan mikroskop cahaya, mikroskop lusida, teknik mikroskop elektron payaran (SEM). Selain foto mikroskopik dan makroskopik, dilakukan pula line-drawing oleh pelukis berlisensi. Terminologi untuk deskripsi karakteristik morfologi makroskopis mengacu pada Corner (1981 dan 1994) dan Brown (1981). Terminologi untuk deskripsi karakteristik tekstur koloni jamur mengacu pada Stalpers (Rayner dan Boddy 1988). Terminologi karakteristik mikroskopik mengacu pada Rayner dan Boddy (1988), Corner (1981 dan 1994) dan Brown (1981).
Hasil identifikasi enam isolat yang dapat membentuk tubuh buah adalah lima isolat Hohenbuehelia petaloides yang terdiri atas EB14-2 (cokelat-muda), EB24 (cokelat keabu-abuan), EA4 (cokelat muda), EAB7 (cokelat keabu-abuan), dan EB6 (cokelat keabu-abuan) serta Pleurotus djamor EB9 (pink). Analisis kelompok isolat berdasarkan karakterisasi fisiologi dan morfologi menunjukkan bahwa P. djamor EB9 berbeda dengan H. petaloides. Produksi enzim ligninase khususnya MnP P. djamor EB9 dan H. petaloides EA4 juga berbeda.
Kata-kata Kunci: Jamur pelapuk putih kelompok Pleurotus, P. djamor EB9, H.
petaloides, morfologi, identifikasi
150
Abstract
More than 24 isolates of white-rot fungi of Pleurotus group were isolated from various places in Bogor. Six among them were able to form fruit body on sengon (Paraserianthes falcataria) wood sawdust medium. Those six isolates are Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB9. The identification was based on its physiological, ligninolytical, and morphological characters. The physiological character includes colony type culture and colony growth rate on PDA, MEA, and MPA mediums, and the oxidation reaction using malt medium that contain galat (AAG) and tannic (AAT) acids. The ligninolytical character includes the production of ligninase enzyme, especially manganese peroksidase (MnP) of P. djamor EB9 and H. petaloides EA4. The morphological character, macroscopically and microscophically, includes the visual appearance of fruit body, the number of stalks, the sizes of pileus and stalk, the lengths and widths of basidospora, sistidia, and basidia. The paraphine technique in making preparats was referred to microtom methode/SPM modification (2002). The morphological observation was done by using light microscope, lucida microscope, and scanning electron microscope (SEM). Beside microscopic and macroscopic photos, line-drawing was also conducted by licensed painter. The terminology of macroscopic morphological characteristic description was referred to Corner (1981 and 1994) and Brown (1981). The terminology of fungi colony texture characteristic description was referred to Stalpers (Rayner and Boddy 1988). The terminology of microscopic characteristic was referred to Rayner and Boddy (1988), Corner (1981 and 1994) and Brown (1981). The identification result of six isolates that were able to form fruit body are five isolates of Hohenbuehelia petaloides, which are EB14-2 (light brown), EB24 (gray brown), EA4 (light brown), EAB7 (gray brown), and Eb6 (gray brown), and also Pleurotus djamor EB9 (pink). The analysis result of isolate group based on physiological and morphological characters showed that P. djamor EB9 is different with H. petaloides. The production of ligninase enzyme, especially MnP, of P. djamor EB9 and H. petaloides EA4 are also different. Keywords: White-rot fungi of Pleurotus group, P. djamor EB9, H. petaloides,
morphology, identification
151
Pendahuluan
Beberapa jamur pleurotoid adalah jamur pelapuk kayu (Alexopoulos et al.
1996; Dix dan Webster 1995) dan lignicolous (hidup di dalam, pada atau di luar
kayu) (Brown 1981). Jamur pleurotoid adalah jenis jamur yang mempunyai ciri-
ciri penting di lapangan sebagai berikut: a). tidak mempunyai cincin, b). tidak
mempunyai volva, c). konsistensi tangkai padat, d). attachment tangkai: tangkai
pendek atau absen (pinggir, kurang dari 2 cm), eksentrik atau lateral; e).
attachment lamela, fungi berlamela melanjut (deccurent), f). bentuk (shape) dari
pileus (tudung): bentuk tudung agak membulat, lonjong dan melengkung seperti
cangkang tiram, dan g). tipe pinggiran pileus: pinggiran (margin) inrolled (muda)
lurus (straight) (tua), bergelombang (wavy)–bergaris (strite-slighly) (tua) (Largent
1973). Ciri-ciri lainnya juga adalah berukuran kecil sampai besar, berwarna
bervariasi (putih, krem, abu-abu, violet, sampai hitam), lunak, licin, daging
basidiokarp tebal, berbau sedap; spora bulat-elips, mempunyai dinding tipis dan
halus, spora non-amiloid, jejak spora umumnya putih; kadang-kadang jamur ini
dapat tumbuh tunggal, biasanya ditemukan banyak tubuh buah pada satu kali
pengamatan, berkelompok, berkerumun, bersusun seperti rak; habitatnya
umumnya pada kayu daun jarum dan kayu daun lebar; dan diketahui beberapa
spesiesnya bersifat edible, diantaranya yang terkenal adalah kelompok Pleurotus
(Brown 1981; Largent 1973).
Masing-masing jamur menghasilkan kombinasi enzim ligninase yang
berbeda-beda. Mekanisme degradasi lignin oleh kelompok Pleurotus belum
banyak dipelajari seperti pada P. chrysosporium. Namun dari beberapa studi yang
dilakukan, terlihat enzim yang bertanggungjawab untuk degradasi lignin pada
jamur Pleurotus bervariasi.
Terdapat lebih kurang 67 spesies kelompok Pleurotus, termasuk
diantaranya mempunyai sinonim Hohenbuehelia, yang berhasil dikumpulkan dan
dilaporkan oleh para peneliti seluruh dunia, sejak Roussel (1805) pertama kali
memberi nama Pleurotus (LR 2004). Hohenbuehelia, masih dimasukkan ke dalam
Pleurotus (Dennis 1953; Largent 1973; Desjardin 1999), namun beberapa peneliti
memisahkannya dari Pleurotus (Watling dan Gregory 1989; Albertó et al. 1998;
152
Corner 1981). Hohenbuehelia memiliki banyak kemiripan ketika di lapangan
dengan Pleurotus spp. dan di alam banyak tumbuh pada substrat kayu. Namun
demikian, Hohenbuehelia belum banyak dilaporkan potensinya dalam
mendegradasi lignin, termasuk Hohenbuehelia asal Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang
jamur pelapuk putih kelompok Pleurotus lokal dengan cara karakterisasi
berdasarkan aspek morfologi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati
karakteristik secara morfologi yaitu dengan pengamatan langsung terhadap
fenotip organisme tersebut. Peubah yang diamati dalam karakter morfologis
diantaranya adalah karakter morfologis secara makroskopis maupun mikroskopis
seperti contohnya jumlah tangkai, ukuran pileus dan tangkai, panjang dan lebar
basidiospora, sistidia dan basidia, serta karakter kultur isolat jamur.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Patologi Hutan, Departemen
Silvikultur dan Laboratorium Kimia Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, Pusat Studi Ilmu Hayat,
Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, dan
di Rumah Jamur Departemen Biologi FMIPA di Tajur, Laboratorium Anatomi
dan Morfologi Tumbuhan dan Rumah Jamur, Departemen Biologi FMIPA, IPB
dan di Laboratorium Mikologi, Bogoriense Herbarium LIPI dan Laboratorium
SEM LIPI Zoologi IPB, Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein
Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Cibinong dan Laboratorium Bioteknologi dan Biologimolekuler, Lembaga Riset
Perkebunan Indonesia (LRPI), Bogor, pada bulan Mei 2004 sampai Januari 2007.
Pertumbuhan Isolat Kelompok Pleurotus pada Media Agar
Koloni miselium keenam isolat kelompok Pleurotus yaitu Pleurotus
EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan
Pleurotus EB9 ditumbuhkan pada media MEA. Mula-mula koloni masing-masing
153
isolat dipotong dengan cork bor dengan diameter 7 mm, dan setiap potong koloni
miselium dikulturkan pada media dalam cawan Petri berdiameter 90 mm. Media
yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar (PDA), Malt Extract Agar (MEA)
1,5% dan Malt Peptone Agar (MPA) 1,5%. Media MEA ada yang dimodifikasi
dengan penambahan serbuk gergajian kayu sengon (Malt Extract Agar Sengon)
(MEAS) atau serbuk jerami padi (Malt Extract Agar Jerami) (MEAJ). Masing-
masing isolat jamur tersebut diinkubasi pada suhu kamar 29(+1)oC dan diukur laju
pertumbuhannya berdasarkan diameter koloni miseliumnya setiap hari selama
sepuluh hari inkubasi.
Pertumbuhan Jamur Pelapuk Putih Kelompok Pleurotus pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon
Percobaan ini bertujuan untuk melihat karakter morfologis secara
makroskopis maupun mikroskopis. Kultivasi dengan media serbuk gergajian kayu
ini dilakukan seperti pada Chapter 1.
Media serbuk gergajian kayu sengon yang sudah diinokulasi dengan bibit
disimpan di ruang inkubasi, kemudian yang sudah penuh dengan miselium
disimpan di ruang pemeliharaan atau ruang produksi sampai keluar tubuh buah.
Uji ini dilakukan dengan 4-10 ulangan. Tubuh buah yang sudah matang petik
tersebut kemudian dipanen. Tubuh buah tersebut kemudian diamati sifat-sifat
morfologi tubuh buahnya. Tubuh buah yang muncul kemudian diinokulasikan
potongan daging basidiokarpnya pada medium agar (MEA atau media yang paling
optimum). Isolat murni ini kemudian digunakan untuk karakterisasi morfologi dan
identifikasi.
Karakterisasi Morfologi Jamur Pleurotoid Kelompok Pleurotus Secara Makroskopis dan Mikroskopis
Selanjutnya dilakukan karakterisasi jamur, yang meliputi karakter
morfologis tubuh buah secara makroskopis dan mikroskopis. Identifikasi
genus/spesies dilakukan berdasarkan morfologi basidiokarp dengan mengacu pada
Corner (1981 dan 1994) dan Brown (1981). Hasil yang diperoleh kemudian
dicocokkan dengan hasil yang ditulis oleh peneliti-peneliti tersebut dan
154
berdasarkan pustaka lainnya. Terminologi untuk deskripsi karakteristik tekstur
koloni jamur mengacu pada Stalpers (Rayner dan Boddy 1988). Terminologi
karakteristik mikroskopik mengacu pada Rayner dan Boddy (1988), Corner (1981
dan 1994) dan Brown (1981).
Ciri-ciri morfologi yang dijadikan dasar dalam identifikasi jamur adalah
pertama, pengamatan pada bentuk dan warna permukaan atas basidiokarp.
Basidiokarp dipotong melintang menjadi dua bagian mulai dari pangkalnya untuk
mengukur ketebalan basidiokarp keseluruhan, jaringan daging atau konteks, dan
jaringan lamela.
Kedua, selanjutnya dibuat sediaan pileipelis dan pileosistidia, cap trama,
gill trama, dan himenium untuk melihat basidia dan pleurosistidia dan
seilosistidia. Ketiga, dibuat sediaan radial stipitipelis dan stem trama kalau ada,
basidiospora, lapisan kutis dan jaringan lamela. Basidiospora dikeluarkan dari
jaringan lamela dengan cara membuat jejak spora di atas kertas berwarna gelap.
Keempat, dibuat irisan lapisan kutis dan jaringan lamela dibuat dengan
pisau silet atau mikrotom yang tajam sehingga diperoleh irisan dengan ketebalan
sekitar 10 µm. Sediaan ini dibuat semipermanen dengan menambahkan laktofenol
sebelum ditutup dengan kaca penutup. Sediaan digunakan untuk mengukur
panjang dan lebar basidiospora, bentuk dan ukuran elemen kutis, mengukur
jaringan lamela serta lebar spesimen. Setiap spesimen diukur 20-25 basidiospora,
3 jaringan lamela dan 3 spesimen.
Pengamatan morfologi dilakukan dengan mikroskop cahaya, mikroskop
lusida, teknik mikroskop elektron payaran (SEM) dan juga teknik mikrotom
dengan metode parafin. Selain foto mikroskopik dan makroskopik, dilakukan pula
line-drawing oleh pelukis berlisensi yaitu Ahmad Satari (Biotrop).
Preparasi Isolat Untuk Pengamatan Dengan Mikroskop Elektron Payaran
Mikroskop elektron payaran (SEM) ini berguna untuk melihat struktur
eksternal suatu obyek dalam bentuk stereo (3 dimensi). Preparasi sampai
pemotretan dilakukan pada himenium tubuh buah hasil kultivasi pada isolat
Pleurotus EA4, Pleurotus EB6, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB9 dan P ostreatus
HO. Tahap-tahap pekerjaan dengan menggunakan SEM mengacu pada Slayter
155
dan Slayter (1992) yang telah dimodifikasi, yang terbagi menjadi 4 tahap yakni: a)
Preparasi (persiapan), b) Penempelan, c) Coating dan d) Pemotretan.
Preparasi terdiri atas 5 tahap yaitu : 1) Cleaning, spesimen dicuci dengan
garam fisiologis atau buffer coccodylate + 2 jam 4oC dan diagitasi dalam
ultrasonik (sonycation) selama 5 menit; 2) Pre-fixation, spesimen difiksasi
dengan larutan 2.5% glutaraldehyde selama 12 jam, 4oC; 3) Post-fixation, spesimen difiksasi dengan 2% tannic acid selama 6 jam pada suhu 4oC,
selanjutnya dicuci dengan buffer coccodylate 4oC selama 15 menit sebanyak 4
kali, kemudian dicuci dengan larutan O5O4 1% selama 2-4 jam pada suhu 4oC,
setelah itu kemudian dicuci dengan aquades selama 15 menit pada suhu 4oC; 4)
dehidrasi dan direndam dengan alkohol 50% selama 5 menit sebanyak 4 kali pada
suhu 4oC, kemudian direndam alkohol 75% selama 25 menit pada suhu 4oC,
selanjutnya direndam alkohol 80-85% selama 20 menit pada suhu 4oC, dan
kemudian direndam dengan alkohol 94% selama 20 menit pada suhu ruang 29oC
+ 1oC, dan terakhir direndam dengan ADS (alkohol absolut) selama 10 menit pada
suhu ruang; dan 5) T-Butanol freeze drying dilakukan selama 10 menit sebanyak 2
kali, kemudian dikering bekukan di dalam vacuum chamber pada suhu -3oC atau
-20oC selama 2 jam sampai kandungan t-butanol hilang.
Spesimen yang telah kering direkatkan pada speciment stub dengan
menggunakan selotipe karbon 2 sisi. Selotipe dipotong sepanjang diameter
spesiment stub dan kemudian direkatkan pada spesiment stub. Selanjutnya kertas
pemisah kedua dilepas dan potongan himenium yang diinginkan diletakkan
dengan hati-hati di atasnya.
Coating atau pelapisan permukaan spesimen dengan emas dilakukan
dengan cara logam emas diuapkan secara vakum sehingga melapisi permukaan
spesimen, proses ini dilakukan dengan bantuan vacuum evaporation device.
Terakhir, pemotretan untuk pengamatan dan pengambilan foto struktur eksternal
spesimen menggunakan mikroskop elektron payaran.
Teknik Mikrotom Dengan Metode Parafin
Teknik mikrotom dengan metode parafin digunakan untuk mendapatkan
sayatan spesimen yang tipis. Metode parafin menggunakan seri larutan Johansen
156
dengan Tertier Butil Alkohol (TBA) sebagai dehidran (modifikasi SPM 2002).
Metode ini terdiri atas 10 tahap yaitu a) Fiksasi, b) Pencucian, c) Dehidrasi dan
penjernihan, d) Infiltrasi, e) Penanaman (blok), f) Penyayatan, g) Perekatan, h)
Pewarnaan, i) Penutupan, dan j) Pemberian label.
Uraian dari tahap-tahap di atas adalah sebagai berikut: a) Fiksasi, bahan
difiksasi dalam larutan FAA (formaldehid 5 bagian: asam asetat glasial 5 bagian :
etanol 70% 90 bagian) selama 24 jam; b) Pencucian, larutan fiksatif dibuang dan
dicuci dengan etanol 50% sebanyak 3 kali dengan waktu penggantian masing-
masing selama 0,5 jam; c) Dehidrasi dan penjernihan, dilakukan secara bertahap
dengan merendam bahan dalam larutan seri Johansen I-VI dengan komposisi
dalam Tabel 6.1, waktu perendaman untuk Johansen VII dilakukan dalam botol
yang berisi 1/3 bagian parafin beku; d) Infiltrasi, wadah berisi material dan
campuran TBA, minyak parafin disimpan pada suhu kamar selama 1-4 jam (tutup
dibuka), kemudian disimpan dalam oven (58oC) selama 12 jam (tutup dibuka) dan
selanjutnya seluruh parafin dituang, diganti dengan parafin cair baru (dilakukan 3
kali penggantian setiap 6 jam) dan disimpan pada suhu 58oC; e) Penanaman
(blok), semua cairan parafin dituang dan diganti dengan parafin cair murni dan
disimpan di dalam oven dengan suhu 58oC selama 1 jam, selanjutnya material
tersebut siap diblok; f) Penyayatan, blok yang sudah dirapikan ditempel pada
holder dan disayat dengan mikrotom putar setebal 10µm; g) Perekatan, sayatan
direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi albumin-gliserin dan ditetesi air,
selanjutnya gelas obyek tersebut dipanaskan pada hot-plate dengan suhu 45 oC
selama 3-5 jam; h) Pewarnaan, dilakukan pewarnaan ganda safranin 2% dalam air
dan fastgreen 0,5% dalam etanol 95%. Berturut-turut gelas obyek direndam ke
dalam larutan berikut secara berturut-turut xilol 1 (5 menit), xilol 2 (5 menit),
etanol absolut 2 kali (masing-masing 5 menit), etanol 95% (5 menit), etanol 70%
(5 menit), etanol 50% (5 menit), etanol 30% (5 menit), akuades (2 menit), safranin
2% (12 jam/semalam), akuades (2 menit), etanol 30% (3 menit), etanol 50% (3
menit) etanol 70% (3 menit), etanol 95% (3 menit), fast-green 0,5% (5 menit),
etanol absolut 2 kali (masing-masing 5 menit), xilol 1 dan xilol 2 (masing-masing
5 menit); i) Penutupan, bahan diberi media entellan atau canada balsam dan
157
ditutup dengan penutup; dan j) Pemberian label dengan cara ditempel pada sisi
kiri gelas obyek.
Tabel 6.1 Komposisi masing-masing larutan Johansen dan lama perendaman
pada metode parafin tahap dehidrasi dan penjernihan
Larutan Johansen Komposisi larutan
I II III IV V VI VII Air 50% 30% 15% - - - -
Etanol 95% 40% 50% 50% 45% - - -
Etanol 100% - - - - 25% - -
Tertier butil alkohol 10% 20% 35% 55% 75% 100% 50%
Minyak parafin - - - - - - 50%
Waktu perendaman 2 jam 24 jam 2 jam 2 jam 2 jam 24 jam
Sumber: SPM 2002
Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam karakterisasi morfologi
adalah rancangan acak lengkap (RAL). Pengolahan data analisis ragam
menggunakan SAS9 dan analisis kelompok berdasarkan karakter morfologi
menggunakan aplikasi SPSS13.
Hasil dan Pembahasan
Identifikasi Berdasarkan Karakter Fisiologi, Ligninolitik dan Morfologi
Lebih dari 24 isolat jamur pelapuk putih pleurotoid kelompok Pleurotus
telah ditemukan dari beberapa tempat di Bogor dan diisolasi basidiokarp-nya.
Selanjutnya 17 isolat diantaranya dikultivasi untuk memperoleh tubuh buah.
Diantara 17 isolat tersebut, ada enam isolat yang berhasil membentuk tubuh buah.
Keenam isolat dengan kode awal dan kode setelah identifikasi berdasarkan hasil
karakterisasi morfologi dan fisiologi disajikan pada Tabel 6.2. Setelah dilakukan
identifikasi secara morfologi dan fisiologi, keenam isolat tersebut adalah
Pleurotus djamor EB9 yang berwarna pink dan Hohenbuehelia petaloides EB14-2
(cokelat muda), H. petaloides EB24 (cokelat keabu-abuan), H. petaloides EA4
158
(cokelat muda), H. petaloides EAB7 (cokelat keabu-abuan), dan H. petaloides
EB6 (cokelat keabu-abuan).
Tabel 6.2 Isolat-isolat jamur kelompok Pleurotus yang ditemukan di daerah Ciherang, Bogor
No. Kode awal Setelah identifikasi Ciri-ciri tudung: bentuk, warna, diameter
terkecil-terbesar (cm). Konsistensi. Pinggiran. Tekstur daging. Panjang dan diameter tangkai (cm). Jejak spora
1. Pleurotus EB14-2 H. petaloides EB14-2 Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,6)-(3-6). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,5). Putih.
2. Pleurotus EB24 H. petaloides EB24 Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan-putih keruh, (1,4-2,4)-(2,5-3). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-2,5), (1-1,8). Putih.
3. Pleurotus EA4 H. petaloides EA4 Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,4)-(2,5-3,2). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1,2), (0,6-1,6). Putih.
4. Pleurotus EAB7 H. petaloides EAB7
Seperti tiram, sendok, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan -putih keruh, (0,7-1,2)-(1,6-2,8). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-0,9), (0,6-1,3). Putih.
5. Pleurotus EB6 H. petaloides EB6 Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan-putih keruh, (0,5-2,0)-(3-4,3). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-1,2),(1,1-1,4). Putih.
6. Pleurotus EB9 P. djamor EB9 Seperti tiram, kipas, ginjal. Merah muda (pink)-putih keruh, (1,4-2,8)-(3-4). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (1,45-2), (0,38-1,2). Merah muda.
Deskripsi Karakter Koloni Kultur dan Fisiologis Isolat Jamur Pada Media Agar
Karakter Koloni Kultur. Penampakan koloni kultur H. petaloides EB14-
2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7, H. petaloides
EB6, P.djamor EB9 dan P. ostreatus HO pada beberapa jenis medium seperti
PDA, MEA, MEAS, MEAJ dan MPA disajikan pada Gambar 6.1. Penampakan
kultur dari genus Hohenbuehelia yaitu H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24,
H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7 dan H. petaloides EB6 pada beberapa
jenis media secara umum mempunyai tipe appresed dan downy, serta beberapa
159
silky. Penampakan koloni P.djamor EB9 pada beberapa jenis media secara umum
mempunyai tipe velvety dan cottony, atau downy, sedang P. ostreatus HO secara
umum mempunyai tipe cottony dan plumose, beberapa velvety (Tabel 6.3 dan
Gambar 6.1).
Tabel 6.3 Tipe koloni kultur ketujuh isolat kelompok Pleurotus pada beberapa jenis media
Tipe koloni kultur pada media
MEA No. Isolat
PDA MEA MEAS MEAJ
MPA
1. H. petaloides EB14-2 appresed appresed, downy
appresed, downy
appresed, downy
appresed
2. H. petaloides EB24 appresed, downy
appresed, downy
appresed, downy
appresed, downy
appresed
3. H. petaloides EA4 appresed appresed, downy
appresed, downy, silky
appresed, downy silky
appresed
4. H. petaloides EAB7 appresed ,
appresed, downy
appresed, downy, silky
appresed, downy
appresed, downy
5. H. petaloides EB6 appresed appresed, downy
appresed, downy, silky
appresed, downy, silky
appresed
6. P. djamor EB9 velvety cottony
downy, velvety cottony
downy, velvety
velvety, cottony
velvety, cottony
7. P. ostreatus HO velvety, cottony, plumose
velvety, cottony, plumose
cottony, plumose
cottony, plumose
cottony
Berdasarkan pengamatan di atas diketahui bahwa penampakan koloni
kultur satu isolat pada media yang sama dapat berbeda. Di sisi lain, penampakan
kultur pada media yang berbeda dapat sama. Hal ini menunjukkan adanya faktor
lain yang mempengaruhi penampakan kultur suatu isolat selain faktor genetik dan
media. Walaupun demikian, tipe kultur suatu spesies isolat menunjukkan ciri khas
yang unik yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.
Jamur yang tumbuh pada medium padat dapat membentuk koloni yang
mempunyai miselium udara (aerial mycelium) yang tumbuh pada atau di atas
permukaan agar dan miselium yang menembus permukaan agar (submerged
mycelium) (Rayner dan Boddy 1988). Kedua jenis miselium tersebut mempunyai
beberapa istilah yang berbeda yang dibedakan atas tipe atau karakterisasi tertentu.
Pada isolat-isolat yang diujikan pada penelitian ini juga terlihat adanya perbedaan
tipe, yang kemudian diberi nama dalam bahasa Inggris serta definisinya.
160
Isolat H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H.
petaloides EAB7, dan H. petaloides EB6 memiliki koloni kultur tipe appresed dan
downy. Tipe appresed yaitu koloni miselium dengan posisi rendah pada
permukaan agar, keadaan ini pada beberapa cendawan merupakan taraf pertama
dalam pertumbuhan miselium udara, kemudian miselium ini dapat berubah
menjadi bentuk lain. Contoh tipe appresed adalah terlihat pada gambar Aa dan Ba
(Gambar 6.1). Tipe downy yaitu koloni miselium berwarna putih, halus, tidak
terlalu tebal, mempunyai hifa pendek, tersebar di atas permukaan miselium yang
tampaknya seperti tertutup dengan bulu halus, seperti terlihat pada gambar Ab, Dc
dan Bd. Namun pada H. petaloides EB4 dan H. petaloides EAB7, miseliumnya
kadang-kadang menunjukkan tipe silky. Tipe silky yaitu koloni tertutupi dengan
berkas miselium yang paralel, panjang, kurang lebih rebah dan sering mengkilat
seperti sutera yang disisir, contohnya adalah terlihat pada gambar Cb, Cc, Db dan
Dd (Gambar 6.1).
Isolat P. djamor EB9 menunjukkan tipe downy (gambar Fa), velvety dan
cottony. Tipe velvety adalah lapisan miselium berbentuk tenunan padat dengan
helaian rambut yang jelas, tebal, lurus dan pendek seperti beludru, misalnya
seperti pada gambar Fb. Tipe cottony adalah bermiselium tegak, agak panjang (3-
5 mm) dan tunggal memencar ke semua arah, misalnya seperti pada gambar Fc,
tipe ini dapat menjadi tipe velvety apabila rambut-rambut panjang menjadi kusut
dan rebah (Gambar 6.1).
P. ostreatus (HO) memiliki tipe koloni velvety (gambar Gc), cottony
(gambar Ga) dan plumose. Tipe plumose adalah miselium berwarna putih atau
putih kekuning-kuningan. Ukuran hifa pendek dan berkelompok, menyebar ke
segala arah, tetapi memiliki titik pusat penyebaran yang susunannya mirip kipas
angin, misalnya seperti pada gambar Gd (Gambar 6.1).
161
Gambar 6.1 Penampakan dan tipe koloni kultur. A. H. petaloides EB14-2, tipe appresed pada (a) MEAS, (c) MPA, dan (d) MPA, tipe downy pada (b) MEAS dan (e) MEAJ; B. H. petaloides EB24, tipe appresed pada (a) MEAS, (b) MEAS, (c) MPA dan (e) MPA, dan tipe downy pada (d) PDA; C. H. petaloides EA4, tipe appresed pada (a) MEAS dan (d) PDA, tipe silky pada (b) MEAS dan (c) MEAJ; D. H. petaloides EAB7, tipe silky pada (a, b dan d) MEAS dan tipe downy pada (c) MEAS; E. H. petaloides EB6, tipe appresed pada (a) MEAS, tipe downy pada (b dan d) MEAS, dan tipe silky pada (c) MEAJ; F. P.djamor EB9, tipe downy pada (a) MEAS, tipe velvety pada (b) MEAS, tipe cottony pada (c) MPA dan (d) MEAJ; G. P. ostreatus HO, tipe cottony pada (a) MPA, tipe plumose pada (b) MEA dan (d) MEAS dan tipe velvety pada (c) PDA
a b c d
a b c d e
A
a b c d e
B
a b c d
C
D
E a b c d
b
F
a c d
G
a b c d
b
162
Karakter Fisiologis Laju Pertumbuhan. Berdasarkan karakter koloni
kultur dan karakter fisiologis pada media MEA, maka untuk identifikasi dengan
melihat pola kunci H. petaloides adalah A-P-S-1.1.1.1.9.2.1.1.3.1.2, pola kunci P.
djamor adalah A-P-I-1.1.1.1.9.2.1.1.2.1.2 dan pola kunci P. ostreatus adalah A-P-
I-1.1.1.1.9.2.1.1.1.1.2 (Tabel 6.4).
Perbedaan yang paling menonjol pada pola kunci H. petaloides, P. djamor
EB9 dan P. ostreatus HO pada media MEA tersebut, adalah laju pertumbuhan. H.
petaloides mempunyai laju perumbuhan lambat (S) yaitu menghasilkan diameter
koloni berkisar antara 2 sampai 5 cm dalam 14 hari inkubasi. P. djamor EB9 dan
P. ostreatus HO mempunyai laju perumbuhan sedang (I) yaitu menghasilkan
diameter koloni lebih dari 9 cm dalam 14 hari inkubasi (Tabel 6.4). Dapat juga
dikatakan H. petaloides mempunyai laju pertumbuhan “3”, atau laju
pertumbuhannya lambat dan koloninya baru menutup cawan Petri setelah 5-6
minggu inkubasi. P. djamor EB9 mempunyai laju pertumbuhan “2”, atau laju
pertumbuhannya sedang dan koloninya baru menutup cawan Petri setelah 2-4
minggu inkubasi. Sedangkan P. ostreatus HO mempunyai laju pertumbuhan “1”,
atau laju pertumbuhannya cepat dan koloninya sudah menutup cawan Petri setelah
1-2 minggu inkubasi (Tabel 6.4) (Nobles 1948).
Reaksi Oksidasi pada Media AAG dan AAT. Hasil penelitian
menunjukkan semua isolat kelompok Pleurotus mempunyai reaksi positif pada
medium asam tanat (AAT) dan asam galat (AAG). Hal ini ditandai secara visual
dengan terbentuknya zona coklat terang sampai coklat gelap pada medium AAT
dan AAG di sekitar miselium koloni isolat. Reaksi oksidasi pada media AAT dan
AAG yang cukup kuat dimiliki oleh P. ostreatus HO, P. djamor EB9 dan H.
petaloides EA4. Reaksi oksidasi yang positif pada AAG dan AAT menunjukkan
semua isolat kelompok Pleurotus merupakan jamur pelapuk putih. Diduga bahwa
isolat kelompok Pleurotus yang diujikan pada media AAG dan AAT
mengeluarkan enzim ektraseluler oksidase dengan terjadinya reaksi oksidasi
dengan asam galat ataupun asam tanat.
163
Tabel 6.4 Pola kunci H. petaloides (H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7, H. petaloides EB6), P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO pada media MEA
No. Kode Nama Karakter H. petaloides P. djamor P. ostreatus 1. A Warna koloni putih √ √ √ 2. P Test oksidasi pada asam galat
positif √ √ √
3. S/I S. Lambat, 2-5 cm dalam 14 hari; I. Kecepatan sedang, lebih dari 9 cm dalam 14 hari
S.√ I.√ I.√
4. 1 substrat pada pohon/kayu daun lebar
√ √ √
5. 1 warna koloni putih setelah enam minggu ditumbuhkan
√ √ √
6. 1 muncul zona difusi karena reaksi dengan media aag dan aat
√ √ √
7. 1 mempunyai clamp connection √ √ √ 8. 9 tidak ditemukan struktur spesial
pada miselium √ √ √
9. 2 tidak ada clamidospora √ √ √ 10. 1 terdapat konidia √ √ √ 11. 1 terdapat oidia √ √ √ 12. 3/2/1 3. laju pertumbuhan slow, cawan
tertutup setelah 5-6 minggu; 2. laju pertumbuhan dengan kecepatan moderat, cawan tertutup setelah 2-4 minggu; 1. laju pertumbuhan dengan kecepatan rapid, cawan tertutup setelah 1-2 minggu
3.√ 2. √ 1.√
13. 1 muncul tubuh buah sebelum 6 minggu inkubasi
√ √ √
14. 2 tidak ada efek pada media, atau bila ada, warnanya tidak lebih dari kuning madu
√ √ √
Ciri-ciri lainnya pada MEA: 15. Ada aerial miselium √ √ √ 16. Sambungan apit banyak √ √ √ 17. Ada hifa skeletal √ √ √ 18. Konidia/oidia banyak √ √ 19. Hifa binding/spiral √ √ 20. Structur spesial (seperti kristal
besar) √
21. Suhu optimum pada MEA 20/29 29 29 (Nobles 1948)
Deskripsi Karakter Ligninolitik Kelompok Pleurotus Berdasarkan Produksi Enzim Ligninase Khususnya MnP
Dari hasil penelitian ini nampak isolat Pleurotus EB9 menghasilkan MnP
dan juga lakase yang signifikan, sementara produksi LiP tidak terlalu signifikan.
Aktivitas MnP mulai muncul pada hari ke-3 inkubasi, dan semakin meningkat
164
-0.200
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
0 1 2 3 4 5 6 7
Lama Inkubasi (Hari)
Akt
ivita
s Enz
im (U
/m
MnP LiPLakase
seiring masa inkubasi sampai hari ke enam. Demikian juga aktivitas lakase, yang
mulai muncul sejak satu hari inkubasi, walaupun tampak adanya fluktuasi. Pada
hari keenam, enzim kasar tersebut dipanen. Selama kultur masal 1 liter dalam
bioreaktor selama 6 hari, pH menurun perlahan dari 5,6-4,8. Pada panen hari ke-6
diperoleh pH optimum sebesar 4,8 (Gambar 6.2).
Gambar 6.2 Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) oleh isolat Pleurotus EB9 secara ekstraseluler dengan substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor.
Produksi enzim skala besar dengan bioreaktor juga dilakukan pada H.
petaloides EA4. Hasil produksi enzim P. djamor EB9 dan H. petaloides EA4 hasil
produksi diketahui bahwa P. djamor EB9 menghasilkan lakase dan MnP, namun
aktivitas LiP tidak terdeteksi, sedangkan isolat H. petaloides EA4 menghasilkan
lakase dan LiP namun aktivitas MnP tidak terdeteksi (Tabel 6.5).
Tabel 6.5 Ekspresi enzim MnP, LiP dan Lakase (U/ml) secara ekstraseluler oleh
isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 yang sudah dipekatkan dengan amonium sulfat (As)
Enzim Metode Aktivitas (U/ml)_____________ Pleurotus EB9-As Pleurotus EA4-As
MnP Oksidasi guaiakol MnSO4 Pada λ 465 nm 0,138 TTd LiP Oksidasi veratryl alkohol menjadi Veratraldehid pada λ 310 nm TTd 0,179 Lakase Oksidasi ABTS pada λ 420 nm 0,914 0,086
TTd = Tidak terdeteksi
Pada SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar ion (DEAE-
Sepharose) terhadap sampel pemekatan 40% AS dari H. petaloides EA4, tidak
165
didapatkan pita-pita yang menunjukkan keberadaan enzim MnP. Aktifitasnya juga
tidak diperoleh hasil yang bagus. Hal di atas menunjukkan bahwa H. petaloides
EA4 tidak menghasilkan enzim MnP.
Deskripsi Karakter Morfologi Kelompok Pleurotus Asal Bogor
Deskripsi karakter morfologi baik makroskopis maupun mikroskopis tiap
isolat diuraikan di bawah ini dan gambarnya terlihat pada Gambar 6.3 untuk H.
petaloides EB14-2, Gambar 6.4 untuk H. petaloides EB24, Gambar 6.5 untuk H.
petaloides EA4, Gambar 6.6 untuk H. petaloides EAB7, Gambar 6.7 untuk H.
petaloides EB6, Gambar 6.8 untuk P. djamor EB9, dan Gambar 6.9 untuk P.
ostreatus HO sebagai pembanding standar.
1. H. petaloides EB14-2
H. petaloides EB14-2. Pileus seperti tiram, seperti kipas-ginjal (rounded
fabelliform) (di lapangan dan hasil kultivasi), seperti sendok sepatu (shoehorn-
like), seperti rangkaian bunga dengan 3-4 tudung (hasil kultivasi). -Permukaan
bagian tengah berlekuk (depressed), basah-gelatinous tapi tidak lengket (ketika
basah), di tengah sedikit berbulu (canescent). -Warna: cokelat muda (pale
brown)-putih keruh (off white). –Diameter terkecil 1-1,6 cm dan terbesar 3-6 cm
(di lapangan), terkecil 1-1,6 cm dan terbesar 3-7,3 cm (hasil kultivasi). -
Konsistensi lunak dan berdaging. -Pinggiran (margin) melengkung ke arah
himenium (inrolled) (muda) lurus (straight) (tua), bergelombang (wavy)–bergaris
(strite-slighly) (tua). -Daging tudung (context) putih, tebal, kenyal (tua), ada
lapisan gelatin (gelatinous layer) di atas lapisan daging (flesh). -Lamela (gills)
melanjut (decurrent) turun ke arah dasar tangkai, menyempit (narrow). -Spasi
antar lamela dekat (close)–sangat rapat (very crowded) + 20-160
lamela/tudung. -Warna lamela putih (whitish)–krem (creamy). –Anak lamela
(Serie of lamellulae) 2-7 seri. -Tangkai (stipe) di sisi (lateral), tidak di tengah
(eksentrik), padat (solid), pendek, halus (smooth), berbulu. -Warna tangkai
pangkal-ujung krem-putih keruh. -Panjang 0,6-1 cm, diameter 0,9-1,5 cm (di
lapangan dan hasil kultivasi). –Sambungan apit (clamp connection) ada.
166
Sumber: Gambar Elis Nina Herliyana dengan line drawing oleh Ahmad Satari
Gambar 6.3 H. petaloides EB14-2. a. Tubuh buah di lapangan. b. Tubuh buah hasil kultivasi. c. Potongan melintang tubuh buah. d. Basidioles. e. Cheilocystidia dan pleurocystidia. f. Spora. g. Miselium pada kultur, nampak ada spora aseksual (tanda panah) dan sambungan apit.
a
b
c
d
e
f
g
5 µm
5 µm
5 µm
5 µm
5 µm
1 cm
1 cm
1 cm
167
-Menempel pada substrat dengan rizomorf (rhizomorph). -Bau (odor) tepung
(meal). -Rasa (taste) hambar (mild). -Edibilitas, dimakan oleh masyarakat
sekitar Ciherang Kabupaten Bogor.
Jejak spora (spore print) putih. -Basidiospora 5,2-7,1 x 3,2-4,5 µm.
-Basidia 16,9-26,0 x 3,5-5 µm. -Pleurosistidia berdinding tebal (thick-
walled) (metuloid), sering dijumpai (common), 18,2-62,3 x 12,9-19,5 µm.
Habitat dan substrat, beberapa (scattered)–mengelompok
(gregarious) pada serbuk gergajian kayu campuran seperti akasia, jeunjing, kayu
merah, karet dan sebagainya yang sudah lapuk di tempat penggergajian, Bogor.
Koleksi –oleh Elis Nina Herliyana: -Indonesia, Jawa-Barat, desa Ciherang,
Kabupaten Bogor, Mei 2004.
2. H. petaloides EB24
H. petaloides EB24. Pileus seperti tiram, seperti kipas-ginjal (di
lapangan dan hasil kultivasi), seperti rangkaian bunga dengan 3-4 tudung (hasil
kultivasi). -Permukaan bagian tengah berlekuk, basah-gelatinous tapi tidak
lengket (ketika basah), di tengah sedikit berbulu. -Warna: cokelat keabu-abuan
(grayish brown)-putih keruh. – Diameter terkecil 1,4-2,4 cm dan terbesar 2,5-3
cm (di lapangan), terkecil 1,4-2,4 cm dan terbesar 4-9,5 cm (hasil kultivasi). -
Konsistensi lunak dan berdaging. -Pinggiran melengkung ke arah
himenium (muda) lurus (tua), bergelombang–bergaris (tua). -Daging tudung
putih, tebal, kenyal (tua), ada lapisan gelatin di atas lapisan daging. -Lamela
melanjut turun ke arah dasar tangkai, menyempit. -Spasi antar lamela
dekat–sangat rapat +16-100 lamela/tudung. -Warna lamela putih–krem. -–Anak
lamela 2-7 seri. -Tangkai di sisi, tidak di tengah (eksentrik), padat (solid),
pendek, halus, berbulu. -Warna tangkai pangkal-ujung krem-putih keruh. -
Panjang 0,6-2,5 cm, diameter 1-1,8 cm (di lapangan dan hasil kultivasi). –
Sambungan apit ada. -Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -
Rasa hambar. -Edibilitas, dimakan oleh masyarakat sekitar Ciherang
Kabupaten Bogor.
168
Sumber: Gambar Elis Nina Herliyana dengan line drawing oleh Ahmad Satari
Gambar 6.4 H. petaloides EB24. a. Tubuh buah hasil kultivasi. b. Tubuh buah di lapangan. c. Cheilocystidia dan pleurocystidia. d. Basidioles dan basidia. e. Spora. f. Miselium pada kultur, nampak ada spora aseksual dan sambungan apit.
a
b
c
d
e
f
5 µm 5 µm
5 µm
5 µm
5 µm
1 cm
1 cm
1 cm
169
Jejak spora putih. -Basidiospora : 3,9-5,2 x 2,6-4,6 µm. -Basidia
15-18 x 3,5-5 µm. -Pleurosistidia berdinding tebal (metuloid), sering
dijumpai, 48-66 x 12-16 µm.
Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok pada serbuk gergajian
kayu campuran seperti akasia, jeunjing, kayu merah, karet dan sebagainya yang
sudah lapuk di tempat penggergajian, Bogor.
Koleksi –oleh Elis Nina Herliyana: -Indonesia, Jawa-Barat, desa
Ciherang, Kabupaten Bogor, Mei 2004.
3. H. petaloides EA4
H. petaloides EA4. Pileus seperti tiram, seperti kipas-ginjal (di lapangan
dan hasil kultivasi), seperti terompet dengan satu sisi terbuka ke arah tangkai,
seperti rangkaian bunga dengan 3-4 tudung (hasil kultivasi). -Permukaan bagian
tengah berlekuk, basah-gelatinous tapi tidak lengket (ketika basah), di tengah
sedikit berbulu. -Warna: cokelat muda-putih keruh. –Diameter terkecil 1-1,4 cm
dan terbesar 2,5-3,2 cm (di lapangan), terkecil 1-2,4 cm dan terbesar 3-7 cm (hasil
kultivasi). -Konsistensi lunak dan berdaging. -Pinggiran menggulung ke
arah himenium (muda) lurus (tua), bergelombang–bergaris (tua). -Daging
tudung putih, tebal, kenyal (tua), ada lapisan gelatin di atas lapisan daging. -
Lamela melanjut turun ke arah dasar tangkai, menyempit. -Spasi antar
lamela dekat–sangat rapat +18-120 lamela/tudung. -Warna lamela putih–
krem. - Anak lamela 2-7 seri. -Tangkai di sisi, tidak di tengah, padat,
pendek, halus, berbulu. -Warna tangkai pangkal-ujung krem-putih keruh. -
Panjang 0,6-1,2 cm, diameter 0,6-1,6 cm (di lapangan), panjang 0,6-2 cm,
diameter 0,6-1,7 cm (hasil kultivasi). –Sambungan apit ada. -Menempel pada
substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -Rasa hambar. -Edibilitas, dimakan
oleh masyarakat sekitar Ciherang Kabupaten Bogor.
Jejak spora putih. -Basidiospora 3,9-7,8 x 2,0-6,5 µm. -Basidia
15,6-29,6 x 2,5-5 µm. -Pleurosistidia berdinding tebal (metuloid), sering
dijumpai, (39,1)41,5-90,9 x (5,2)10,3-(19,5)16,9 µm.
170
Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok pada serbuk gergajian
kayu campuran yang sudah lapuk, Bogor.
Koleksi –oleh Elis Nina Herliyana: -Indonesia, Jawa-Barat, desa
Ciherang, Kabupaten Bogor, Mei 2004.
Sumber: Gambar Elis Nina Herliyana dengan line drawing oleh Ahmad Satari
Gambar 6.5 H. petaloides EA4. a. Tubuh buah di lapangan. b. Tubuh buah hasil kultivasi, dan pada kondisi tertentu (c). d. Potongan melintang tubuh buah. e. Cheilocystidia dan pleurocystidia. f. Spora. g. Basidioles dan basidia. h. Trichoderm pada permukaan pileus (pileipelis) dengan pileosistidia. i. Miselium pada kultur, nampak ada spora aseksual (konidia) dan sambungan apit.
a
b
c
d
e
f g
h i
5 µm
5 µm
5 µm
5 µm
5 µm
5 µm
1 cm
1 cm
1 cm
171
4. H. petaloides EAB7
H. petaloides EAB7. Pileus seperti tiram, seperti sendok (petaloid-
flabelliform) (muda), seperti kipas-ginjal (di lapang dan hasil kultivasi), seperti
rangkaian bunga dengan 3-4 tudung (hasil kultivasi). -Permukaan bagian tengah
berlekuk, basah-gelatinous tapi tidak lengket (ketika basah), di tengah sedikit
berbulu. -Warna: cokelat keabu-abuan-putih keruh. –Diameter terkecil 0,7-1,2
cm dan terbesar 1,6-2,8 cm (di lapang), terkecil 1,2-2,2 cm dan terbesar 4,6-8 cm
(hasil kultivasi). -Konsistensi lunak dan berdaging. -Pinggiran menggulung
ke arah himenium (muda) lurus (tua), bergelombang–bergaris (tua). -Daging
tudung putih, tebal, kenyal (tua), ada lapisan gelatin di atas lapisan daging. -
Lamela melanjut turun ke arah dasar tangkai, menyempit. -Spasi antar
lamela dekat–sangat rapat +13-180 lamela/tudung. -Warna lamela putih–
krem. –Anak lamela 2-7 seri. -Tangkai di sisi, tidak di tengah, padat, pendek,
halus, berbulu. -Warna tangkai pangkal-ujung krem-putih keruh. -Panjang 0,6-
0,9 cm, diameter 0,6-1,3 cm (di lapangan dan hasil kultivasi). –Sambungan apit
ada. -Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -Rasa hambar. -
Edibilitas, dimakan oleh masyarakat sekitar Ciherang Kabupaten Bogor.
Jejak spora putih. -Basidiospora 2,6-6,5 x 1,3-3,9 µm. -Basidia
15,6-29,9 x 2,5-5 µm. -Pleurosistidia berdinding tebal (metuloid), sering
dijumpai, 44,2-64,9 x 10,3-19,5 µm.
Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok pada serbuk gergajian
kayu campuran yang sudah lapuk di tempat penggergajian, Bogor.
Koleksi –oleh Elis Nina Herliyana: -Indonesia, Jawa-Barat, desa
Ciherang, Kabupaten Bogor, Mei 2004.
172
Sumber: Gambar Elis Nina Herliyana dengan line drawing oleh Ahmad Satari
Gambar 6.6 H. petaloides EAB7. a. Tubuh buah di lapangan. b. Tubuh buah
hasil kultivasi. c. Potongan melintang tubuh buah. d. Cheilocystidia dan pleurocystidia. e. Basidioles dan basidia. f. Miselium pada kultur, nampak ada spora aseksual (konidia) dan sambungan apit. g. Spora.
a
b
c
d
5 µm
5 µm
e
f 5 µm
5 µm
1 cm
1 cm
1 cm
1 cm
173
5. H. petaloides EB6
H. petaloides EB6. Pileus seperti tiram, seperti kipas-ginjal (di lapangan
dan hasil kultivasi), seperti rangkaian bunga dengan 3-4 tudung (hasil kultivasi). -
Permukaan bagian tengah berlekuk, basah-gelatinous tapi tidak lengket (ketika
basah), di tengah sedikit berbulu. -Warna: cokelat keabu-abuan-putih keruh. –
Diameter terkecil 0,5-2,0 cm dan terbesar 3-4,3 cm (di lapangan), terkecil 0,5-
2,7 cm dan terbesar 3-7,3 cm (hasil kultivasi). -Konsistensi lunak dan
berdaging. -Pinggiran menggulung ke arah himenium (muda) lurus (tua),
bergelombang–bergaris (tua). -Daging tudung putih, tebal, kenyal (tua), ada
lapisan gelatin di atas lapisan daging. -Lamela melanjut turun ke arah dasar
tangkai, menyempit. -Spasi antar lamela dekat–sangat rapat +12-100
lamela/tudung. -Warna lamela putih–krem. - Anak lamela 2-7 seri. -
Tangkai di sisi, tidak di tengah, padat, pendek, halus, berbulu. -Warna
tangkai pangkal-ujung krem-putih keruh. -Panjang 0,6-1,2 cm, diameter 1,1-1,4
cm (di lapangan), panjang 0,6-1,4 cm, diameter 1,1-1,9 cm (hasil kulivasi). –
Sambungan apit ada. -Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -
Rasa hambar. -Edibilitas, dimakan oleh masyarakat sekitar Ciherang
Kabupaten Bogor.
Jejak spora putih. -Basidiospora 3,9-6,5 x 2,6-3,9 µm. -Basidia
(12)17,1-23,4 x 3,5-5 µm. -Pleurosistidia berdinding tebal (metuloid),
sering dijumpai, (23,4)25,4-(90,9)64,9 x 5,2-16,9 µm.
Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok pada serbuk gergajian
kayu campuran seperti akasia, jeunjing, kayu merah, karet dan sebagainya yang
sudah lapuk di tempat penggergajian, Bogor.
Koleksi –oleh Elis Nina Herliyana: -Indonesia, Jawa-Barat, desa
Ciherang, Kabupaten Bogor, Mei 2004.
174
Sumber: Gambar Elis Nina Herliyana dengan line drawing oleh Ahmad Satari
Gambar 6.7 H. petaloides EB6. a. Tubuh buah di lapangan. b. Tubuh buah
hasil kultivasi. c. Basidioles. d. Cheilocystidia dan pleurocystidia. e. Miselium pada kultur, nampak ada spora aseksual (konidia) dan sambungan apit. dan f. Spora.
a b
c
d
e
f
5 µm
5 µm
5 µm
5 µm
5 µm
1 cm
1 cm
175
6. P. djamor EB9
P. djamor EB9. Pileus seperti tiram, seperti kipas –ginjal (di lapangan
dan hasil kultivasi), seperti bunga dengan lekukan-lekukan yang tidak beraturan,
seperti payung (convex) (hasil kultivasi). -Permukaan bagian tengah berlekuk,
tidak ada ornamentasi. –Warna merah muda (pink)-putih keruh. -Diameter
terkecil 1,4-2,8 cm dan terbesar 3-4 cm (di lapangan), terkecil 1,4-2,8 cm dan
terbesar 7-14 cm (hasil kultivasi). -Konsistensi lunak dan berdaging. -
Pinggiran menggulung ke arah himenium (muda), lurus (tua), bergelombang–
bergaris (tua). -Daging tudung putih, tebal, kenyal (tua). -Lamela melanjut
turun ke arah dasar tangkai. -Spasi antar lamela dekat–sangat rapat, +40-
200 lamela/tudung. –Warna lamela putih–krem. - Anak lamela 2-7 seri. -
Tangkai di sisi, eksentrik, di tengah, melancip ke bawah, padat (solid), pendek-
panjang, halus, tak ada ornamentasi (glabrus). -Warna pangkal-ujung, krem-putih
keruh. -Panjang 1,45-2 cm. -Diameter 0,38-1,2 cm (di lapangan),
Panjang 1,45-7(11,5) cm. -Diameter 0,38-1,25 cm (hasil kultivasi). Menempel
pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -Rasa hambar. –Edibilitas,
dimakan oleh masyarakat sekitar Ciherang Kabupaten Bogor.
Jejak spora putih-merah muda. -Basidiospora 5,19-9,09 x 3,89-5,19
µm. -Basidia 15-17,5 x 3,5-5,5 µm. -Cheilosistidia jarang dijumpai
(uncommon), 13-41,6 x 3,9-8,5 µm.
Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok atau serumpun
(caespitose) pada serbuk gergajian kayu campuran seperti akasia, jeunjing, kayu
merah, karet dan sebagainya yang sudah lapuk di tempat penggergajian, Bogor.
Pada dahan Ketapang lapuk, Bogor.
Koleksi –oleh Elis Nina Herliyana: -Indonesia, Jawa-Barat, desa
Ciherang, Kabupaten Bogor, Mei 2004.
176
Sumber: Gambar Elis Nina Herliyana dengan line drawing oleh Ahmad Satari
Gambar 6.8 P. djamor EB9. a. Tubuh buah. b. Potongan melintang tubuh buah. c. Cheilocystidia. d. Basidioles. e. Spora. f. Miselium pada kultur, nampak ada spora aseksual (konidia) dan sambungan apit.
a
b c
c
d e
5 µm
f
5 µm
5 µm
5 µm
5 µm
5 µm
1 cm
1 cm
177
7. P. ostreatus HO
P. ostreatus HO. Pileus seperti tiram, seperti payung (hasil kultivasi). -
Permukaan bagian tengah berlekuk, mamilate (umbo), tidak ada ornamentasi. –
Warna abu-abu-putih keruh. -Diameter terkecil 0,5-2,6 cm dan terbesar 4,6-15
cm (hasil kultivasi). -Konsistensi lunak dan berdaging. -Pinggiran
menggulung ke arah himenium (muda), lurus (tua), bergelombang–bergaris (tua).
-Daging tudung putih, tebal, setelah tua tidak kenyal. -Lamela melanjut turun
ke arah dasar tangkai. -Spasi antar lamela dekat–sangat rapat, +45-300
lamela/tudung. –Warna lamela putih–krem. - Anak lamela 2-7 seri. -
Tangkai di sisi, eksentrik, di tengah, silinder, sedikit menyempit pada dasar
(equal), padat (solid), pendek-panjang, halus, tak ada ornamentasi. -Warna
pangkal-ujung, krem-putih keruh. -Panjang 2,5-3,7 cm. -Diameter 0,85-1,85
cm (hasil kultivasi). Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -
Rasa hambar. –Edibilitas, dimakan dan dibudidayakan di Cibodas dan
Bogor.
Jejak spora putih. -Basidiospora 6,5-10,4 x 3,9-5,2 µm. -Basidia
(13)19,5-(27)24,7 x 4,6-6,5 µm. -Pleurosistidia jarang dijumpai
(uncommon), 19,5-32,5 x 3,9-6,5 µm.
Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok atau serumpun
(caespitose) pada serbuk gergaji campuran yang sudah lapuk, di Bogor. Pada
pohon atau dahan lapuk.
Bahan yang diuji- Eksotik asal Hongkong dibudidayakan di dataran
tinggi Cibodas, Kabupaten Cianjur, Mei 2004,
178
Sumber: Gambar Elis Nina Herliyana dengan line drawing oleh Ahmad Satari
Gambar 6.9 P. ostreatus HO. a. Tubuh buah. b. Cheilocystidia dan pleurocystidia. c. Basidioles dan basidia. d. Spora, beberapa berkecambah (tanda panah). e. Miselium pada kultur, nampak sambungan apit pada miselium generatif dan miselium sceletal serta miselium binding.
a
5 µm
5 um
b c
d
e
5 µm
5 µm
5 µm
5 µm
1 cm
1 cm
179
Karakter Morfologi Tubuh Buah Jamur Secara Makroskopis
Secara umum kelima isolat H. petaloides (EB14-2, EB24, EA4, EAB7 dan
EB6) mempunyai ciri-ciri makroskopis hampir sama satu sama lain kecuali pada
ukuran diameter pileus dan warna pileus segar ketika masih kecil atau muda
(Gambar 6.10). Sebaliknya P. djamor EB9 mempunyai karakter morfologi yang
berbeda dibanding isolat liar lainnya. Perbandingan karakter morfologi secara
makroskopis yang paling menonjol antara genus Pleurotus (P. djamor EB9 dan P.
ostreatus HO) dengan isolat H. petaloides adalah: pada bentuk, permukaan, warna
dan ukuran pileus, ukuran tangkai dan daging tudung dengan lapisan gelatin:
1 Isolat H. petaloides mempunyai bentuk pileus unik seperti rangkaian bunga
dengan 3-4 tudung pada hasil kultivasi (Gambar 6.10 Ae, Bb, Ce, Dd, Ed,
dan Ee), sedangkan P. djamor EB9 mempunyai bentuk pileus unik seperti
payung namun tidak simetris (Gambar 6.10 Fc dan Ff).
2 Isolat H. petaloides mempunyai permukaan pileus yang basah-gelatinous
tapi tidak lengket (ketika basah), dan di tengahnya sedikit berbulu,
sedangkan P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO mempunyai permukaan
pileus yang tidak basah-gelatinous ketika basah.
3 Isolat H. petaloides mempunyai pileus dengan warna dominan cokelat
muda atau cokelat keabu-abuan-putih keruh (Gambar 6.10 A, B, C, D dan
E), sedangkan Pleurotus mempunyai pileus dengan warna yang lebih
bervariasi seperti pink pada P. djamor EB9 (Gambar 6.10 F) dan putih
keabu-abuan pada P. ostreatus HO(Gambar 6.10 G).
4 Isolat H. petaloides mempunyai rata-rata diameter pileus terbesar lebih
kecil (antara 4,1-5,4 cm) dibanding rata-rata diameter pileus P. djamor EB9
terbesar (7,5 cm) dan rata-rata diameter pileus P. ostreatus HO terbesar (6,6
cm) (Gambar 6.13).
180
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 6.10 Berbagai penampakan tubuh buah kelompok Pleurotus. a. Penampakan di lapang. b, c, d, e dan f. Penampakan hasil kultivasi. A. H. petaloides EB14-2. B. H. petaloides EB24. C. H. petaloides EA4. D. H. petaloides EAB7. E. H. petaloides EB6. F. P. djamor EB9. G. P. ostreatus HO. Skala ( : +1 cm).
G
b c d e
F a b
c d f
e
E
a b c d e
D
C
a b c d e
B a
b b c
A
a b c d e
b c d e a b c d e
181
5. Isolat H. petaloides mempunyai rata-rata jumlah tangkai yang secara nyata
lebih kecil (antara 1,8-4,1 buah) dibanding rata-rata jumlah tangkai P.
djamor EB9 (9 buah) dan rata-rata jumlah tangkai P. ostreatus HO (8,2
buah) (Gambar 6.11).
6. Isolat H. petaloides mempunyai rata-rata ukuran tangkai terpendek secara
nyata lebih kecil (antara 0,3-0,5 cm) dibanding rata-rata ukuran tangkai
terpendek P. djamor EB9 (1,0 cm) dan rata-rata ukuran tangkai terpendek
P. ostreatus HO (1,0 cm) (Gambar 6.12).
7. Isolat H. petaloides mempunyai rata-rata ukuran tangkai terpanjang secara
nyata lebih kecil (antara 0,7-1,0 cm) dibanding rata-rata ukuran tangkai
terpanjang P. djamor EB9 (3,0 cm) dan rata-rata ukuran tangkai terpanjang
P. ostreatus HO (1,9 cm) (Gambar 6.12).
8. Isolat H. petaloides mempunyai daging tudung yang kenyal ketika tua,
sedangkan genus Pleurotus (P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO)
mempunyai daging tudung yang tetap lunak ketika tua.
1. Tangkai
Jumlah tangkai P. djamor EB9 rata-rata lebih besar dibanding jumlah
tangkai lima isolat dari genus Hohenbuehelia. Jumlah tangkai dikelompokkan
menjadi dua kelompok yang secara nyata berbeda, pertama kelompok dari genus
Pleurotus (P. djamor EB9 (9,0) dan P. ostreatus HO (8,9)) dan kedua kelompok
dari genus Hohenbuehelia (H. petaloides EA4 (4,1), EB24 (3,6), EAB7 (3,3),
EB14-2 (3,3) dan EB6 (1,8)) (Gambar 6.11).
Tabel 6.6 Rata-rata jumlah tangkai jamur kelompok Pleurotus pada panen pertama, kedua, ketiga dan keempat
Jumlah Tudung
Panen ke-
H.. petaloides
EB14-2
H. petaloides
EB24
H. petaloides
EA4
H. petaloides
EA7
H. petaloides
EB6
P. djamor
EB9
P. ostreatus
HO 1 3,67 3,50 4,75 4,67 1,67 18,00 15,60 2 2,50 3,50 4,25 4,00 1,33 7,25 12,00 3 3,67 2,25 3,75 2,00 2,33 8,00 4,80 4 3,17 5,25 3,75 2,67 1,67 2,75 3,00
Total 13,01 14,50 16,50 13,34 7,00 36,00 35,40
182
a a
b b b b
b
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
Jenis Isolat
Jum
lah
Tang
kai
1. P. djamor EB9 2. P. ostreatus HO 3. H. petaloides EA4
4. H. petaloides EB24 5. H. petaloides EAB7 6. H.petaloides EB14-2
7. H. petaloides EB6
1 72 3 654
1,9b
1,0a
3,0a
1,0a 0,9c0,5b
0,8c
0,4b
1,0c
0,3b0,7c
0,3b
0,8c
0,3b
0,00,51,01,52,02,53,03,5
Ukuran tangkai terpendek Ukuran tangkai terpanjang
Jenis Isolat
Uku
ran
Tang
kai (
cm)
1. P. djamor EB9 2. P. ostreatus HO 3. H. petaloides EB64. H. petaloides EA4 5. H. petaloides EAB7 6. H.petaloides EB14-27. H. petaloides EB24
1 321765432 7654
Faktor jenis isolat tidak berpengaruh nyata terhadap diameter tangkai
tubuh buah isolat jamur. Namun faktor waktu panen berpengaruh nyata terhadap
diameter tangkai tubuh buah isolat jamur.
Faktor jenis isolat berpengaruh nyata terhadap ukuran tangkai terpendek
isolat jamur, sedang faktor waktu panen dan interaksi antara isolat dan waktu
panen tidak berpengaruh nyata terhadap ukuran tangkai terpendek isolat jamur.
Ukuran tangkai terpendek isolat dikelompokkan menjadi dua kelompok yang
secara nyata berbeda yaitu pertama, kelompok dari genus Pleurotus (P. djamor
EB9 dan P. ostreatus HO) dan kedua, kelompok dari genus Hohenbuehelia
(Gambar 6.12).
Gambar 6.11 Jumlah tangkai rata-rata tujuh isolat kelompok Pleurotus.
Gambar 6.12 Tangkai terpendek dan terpanjang rata-rata tujuh isolat kelompok Pleurotus.
183
1,9a
7,5a
1,6a
6,6a
1,7a
5,4b
1,9a
4,7b
1,6a
4,5b
1,5a
4,4b
1,4a
4,1b
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
Diameter pileus terbesar Diameter pileus terkecil
Jenis Isolat
Dia
met
er P
ileus
(cm
)
1. P. djamor EB9 2. P. ostreatus HO 3. H. petaloides EAB74. H. petaloides EB24 5. H. petaloides EB6 6. H. petaloides EA47. H.petaloides EB14-2
1 1765432 65432 7
Faktor jenis isolat berpengaruh nyata terhadap ukuran tangkai terpanjang
isolat jamur. Ukuran tangkai terpanjang dari ketujuh isolat dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok yang berbeda nyata (Gambar 6.12). P. djamor EB9 (3,0
cm) dipisahkan dengan P. ostreatus HO (1,9 cm), dan genus Hohenbuehelia (H.
petaloides EA7 (1,0 cm), EB6 (0,9 cm), EB24 (0,8 cm), EA4 (0,8 cm) dan EB14-
2 (0,7 cm)) berada dalam satu kelompok tersendiri.
2. Pileus
Faktor jenis isolat, faktor waktu panen dan faktor interaksi antara isolat
dan waktu panen tidak berpengaruh nyata terhadap diameter pileus terkecil isolat
jamur. Diameter pileus terkecil pada ketujuh isolat tidak berbeda nyata, sehingga
tidak dapat menjadi alat untuk mengelompokkan (Gambar 6.13).
Gambar 6.13 Diameter pileus terbesar dan terkecil rata-rata tujuh isolat kelompok Pleurotus.
Faktor jenis isolat dan faktor waktu panen berpengaruh nyata terhadap
diameter pileus terbesar isolat jamur. Diameter pileus terbesar dari ketujuh isolat
dikelompokkan menjadi dua kelompok yang secara nyata berbeda yaitu pertama,
kelompok dari genus Pleurotus dan kedua, kelompok dari genus Hohenbuehelia
(Gambar 6.13).
184
Karakter Morfologi Tubuh Buah Jamur Secara Mikroskopis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelima isolat EB14-2, EB24, EA4,
EAB7, dan EB6 mempunyai sistidia berdinding tebal yang disebut metuloid dan
lapisan gelatin pada tudungnya, sehingga dimasukkan ke dalam genus
Hohenbuehelia, sedangkan, P. djamor EB9 tidak mempunyai lapisan gelatin dan
sistidianya tidak berdinding tebal (Gambar 6.15 dan 6.16).
Secara umum bentuk dan ukuran basidiospora, basidia dan sistidia kelima
isolat H. petaloides dibandingkan dengan P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO
cukup berbeda (Gambar 6.18, 6.20, 6.23).
P. djamor EB9 mempunyai persamaan karakter morfologi dengan
dibanding isolat liar lainnya. Persamaan karakter morfologi secara mikroskopis
yang paling menonjol antara genus Pleurotus dengan kelima isolat H. petaloides
adalah pada warna jejak spora, bentuk basidiospora, basidia dan adanya
sambungan apit pada miselium:
1. Jejak spora umumnya berwarna putih, namun pada Pleurotus ada jejak
spora yang berwarna pink muda,
2. Bentuk basidiospora Pleurotus dan H. petaloides yang bulat sampai elips,
3. Basidiospora Pleurotus dan H. petaloides mempunyai dinding tipis dan
halus,
4. Basidiospora Pleurotus dan H. petaloides bersifat non-amiloid, artinya
kalau diberi larutan Melzer’s iodine warnanya tidak berubah menjadi biru,
berarti tidak mengandung amilum/pati,
5. Umumnya mempunyai sambungan apit,
6. Bentuk basidia Pleurotus dan H. petaloides dengan 4 sterigmata.
P. djamor EB9 mempunyai karakter morfologi yang berbeda dibanding
isolat liar lainnya. Perbandingan karakter morfologi secara mikroskopis yang
paling menonjol antara genus Pleurotus (P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO)
dengan kelima isolat H. petaloides yaitu pada bentuk dan ukuran basidiospora,
basidia dan sistidia:
1 Bentuk basidiospora H. petaloides lebih bulat dibanding bentuk
basidiospora genus Pleurotus yang lebih elips, terlihat dari perbandingan
panjang dan lebar basidiosporanya (Gambar 6.14),
185
2 Ukuran panjang basidiospora H. petaloides lebih pendek secara nyata
dibanding ukuran panjang basidiospora P. djamor EB9 dan P. ostreatus
HO (Gambar 6.19),
3 Lebar basidiospora H. petaloides juga lebih pendek dibanding lebar
basidiospora P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO walaupun tidak secara
nyata (Gambar 6.19),
4 Ukuran basidia H. petaloides yang lebih panjang dibanding ukuran basidia
P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO (Gambar 6.20 dan 6.21),
5 Lebar basidia H. petaloides lebih pendek dibanding lebar basidia P.
djamor EB9 dan P. ostreatus HO (Gambar 6.21),
6 Bentuk sistidia H. petaloides yang berdinding tebal (metuloid) (Gambar
6.14 dan 6.15),
7 Ukuran sistidia H. petaloides yang lebih panjang dibanding ukuran sistidia
P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO (Gambar 6.22 dan 6.23),
8 Lebar sistidia H. petaloides yang lebih panjang dibanding lebar sistidia P.
djamor EB9 dan P. ostreatus HO (Gambar 6.22).
9 H. petaloides mempunyai lapisan gelatin di atas lapisan daging pileus,
sedangkan genus Pleurotus (P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO) terlihat
tidak mempunyai lapisan gelatin di atas lapisan daging pileus (Gambar
6.16).
186
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 6.14 Penampakan mikroskopik. A. H. petaloides EB14-2. B. H. petaloides EB24. C. H. petaloides EA4. D. H. petaloides EAB7. E. H. petaloides EB6. F. P. djamor EB9. G. P. ostreatus HO. Aa, Ba, Ca, Da, Ea, Fa, dan Ga. Basidiospora. Ab, Bb, Cb, Cc, Db, Eb, Ec, Fb, Fd, Fe, Ff dan Gc. Sistidia. Miselium pada (Ac) lapisan gelatin, (Bc1) lapisan pileipelid, (Bc2) lapisan gelatin, (Bc3) lapisan daging, (Cd) pileipelid. Dc1 dan Gb. Clamp connection. Dc2. Oidia. Fc. Struktur khusus. Gd. Basidia. Skala ( : 5 µm).
a b c d G
b c
a E
b a c D
1 2
a b c d C
a b
a b c A
B
c
1 2
3
f
a
d e b c
F
f
187
Hasil penelitian menunjukkan kelima isolat yang terdiri atas EB14-2,
EB24, EA4, EAB7, dan EB6 mempunyai sistidia berdinding tebal yang disebut
metuloid, sehingga kelima isolat tersebut dimasukkan ke dalam genus
Hohenbuehelia, sedangkan, P. djamor EB9 mempunyai sistidia yang tidak
berdinding tebal (Gambar 6.15).
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 6.15 Sistidia berdinding tipis pada P. djamor EB9 (A) dan Sistidia berdinding tebal (metuloid) pada H. petaloides (B) (tanda panah). Skala ( : +1,3µm).
Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa isolat H. petaloides EB14-2,
EB24, EA4, EAB7, dan EB6 mempunyai lapisan gelatin di atas lapisan daging
pileus, sedangkan genus Pleurotus (P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO) terlihat
tidak mempunyai lapisan gelatin di atas lapisan daging pileus (Gambar 6.16).
B
A
188
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 6.16 Karakter morfologi pada irisan melintang tudung. A. P. ostreatus
HO dan B. P. djamor EA9, yang tidak memiliki lapisan gelatin. C. H. petaloides EB14-2, D. H. petaloides EB24, E. H. petaloides EA4, F. H. petaloides EAB7, dan G. H. petaloides EB6, yang mempunyai lapisan gelatin yang hialin (LG). Skala ( : +5 µm).
Untuk memperoleh nama spesies maka dilakukan pengamatan pada
sistidia di tempat-tempat yang spesifik seperti pada lapisan gelatin. H. petaloides
mempunyai ciri khas berupa adanya sistidia pada pileipelis dan lapisan gelatin
A B
C
L
D
L
F
L
G
L
E
L
189
(Corner 1994). Isolat EB14-2, EB24, EA4, EAB7, dan EB6 diketahui mempunyai
sistidia pada pileipelis dan lapisan gelatin (Gambar 6.17).
Sumber: Foto Elis Nina Herliyana
Gambar 6.17 Sistidia pada lapisan gelatin (A dan B) dan Sistidia pada pileipelis
H. petaloides EB6 (C dan D) (tanda panah). Skala ( : +1,3 µm).
1. Basidiospora
Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopis isolat yang diuji,
maka diperoleh panjang basidiospora berkisar antara 4,7 sampai 8,1 µm dan lebar
basidiospora berkisar antara 2,7 sampai 4,2 µm. Ukuran panjang dan lebar
basidiospora tiap isolat dibandingkan dan dirangkum pada Gambar 6.18 untuk
melihat sebaran tiap kelompok isolat.
A B
C D
190
7.006.005.004.003.002.001.00
Lebar
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
Pa
nja
ng
P. ostreatus HOP. djamor EB9H. petaloides EAB7
H. petaloides EB6H. petaloides EA4
H. petaloides EB24H. petaloides EB14-2
Gambar 6.18 Plot antara panjang dengan lebar basidiospora ketujuh isolat yaitu
H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7, H. petaloides EB6, P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO.
Ukuran panjang basidiospora rata-rata ketujuh isolat dapat dikelompokkan
menjadi empat kelompok yang secara nyata berbeda. P. ostreatus HO mempunyai
panjang basidiospora rata-rata terbesar (8,1 µm), secara kelompok terpisah dari P.
djamor EB9 (7,4µm). H. petaloides EB14-2 (6,4 µm) dan H. petaloides EA4 (5,9
µm) berada dalam satu kelompok. Ketiga isolat H. petaloides lainnya (H.
petaloides EAB7 (4,7 µm), EB24 (4,7 µm) dan EB6 (4,7 µm)) berada dalam
kelompok dengan panjang basidiospora paling pendek (Gambar 6.19). Lebar
basidiospora pada ketujuh isolat tidak berbeda nyata, sehingga tidak dapat
menjadi alat untuk mengelompokkan (Gambar 6.19).
191
4,2a
8,1a
4,2a
7,4b
3,9ab
6,4c
4,0ab
5,9c
2,7d
4,7d3,7bc
4,7d3,3c
4,7d
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
Panjang basidiospora lebar basidiospora
Jenis Isolat
Uku
ran
basi
dios
pora
(u
m)
1. P. ostreatus HO 2. P. djamor EB9 3. H.petaloides EB14-24. H. petaloides EA4 5. H. petaloides EAB7 6. H. petaloides EB247. H. petaloides EB6
1 21765432 76543
Gambar 6.19 Panjang dan lebar basidiospora rata-rata dari tujuh isolat jamur kelompok Pleurotus.
2. Basidia
Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopis panjang basidia
kelompok isolat yang diuji berkisar antara 16,4 sampai 23,9 µm dan lebar
basidiospora berkisar antara 3,7 sampai 5,4 µm. Ukuran panjang basidia dari yang
terbesar sampai yang terkecil berturut-turut pada ketujuh isolat tidak signifikan
sehingga tidak dapat menjadi alat untuk mengelompokkan sesuai genus (Gambar
6.21). Ukuran lebar basidia ketujuh isolat dapat dikelompokkan sesuai dengan
spesiesnya, yang secara nyata berbeda yaitu pertama, P. ostreatus HO (5,4 µm),
kedua, P. djamor EB9 (4,4 µm) dan ketiga, kelompok dari genus Hohenbuehelia
(H. petaloides EB24 (4,0 µm), EB14-2 (4,0 µm), EA4 (3,8 µm) dan EAB7 (3,7
µm)) kecuali H. petaloides EB6 (4,1 µm), yang tidak berbeda nyata dengan P.
djamor EB9 dan H. petaloides EB24 (Gambar 6.21).
192
765432
lebar
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
Pan
jan
g
P. ostreatus HOP. djamor EB9H. petaloides EB6
H. petaloides EB24H. petaloides EB14-2
H. petaloides EAB7H. petaloides EA4
21,2b
5,4a
16,4d
4,4b
18,8c
4,1bc
16,7d
4,0c
22,1b
4,0c
22,8ab
3,8c
23,9a
3,7c
0,05,0
10,015,020,025,030,0
Lebar basidia Panjang basidia
Jenis Isolat
Uku
ran
basi
dia
(um
)
1. P. ostreatus HO 2. P. djamor EB9 3. H. petaloides EB64. H. petaloides EB24 5. H.petaloides EB14-2 6. H. petaloides EA47. H. petaloides EAB7
1 321765432 7654
Gambar 6.20 Plot antara panjang dengan lebar basidia ketujuh isolat yaitu H.
petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7, H. petaloides EB6, P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO
Gambar 6.21 Lebar dan panjang basidia rata-rata dari tujuh isolat jamur
kelompok Pleurotus.
193
45,9c
17,5a
50,6bc
14,8b
59,8ab
14,2b
68,4a
13,7b
52,2bc
13,1b
25,5d
6,3c
26,0d
5,2c
0,010,020,030,040,050,060,070,080,0
Lebar sistidia Panjang sistidia
Jenis Isolat
Uku
ran
Sist
idia
(um
)
1. H.petaloides EB14-2 2. H. petaloides EAB7 3. H. petaloides EB244. H. petaloides EA4 5. H. petaloides EB6 6. P. djamor EB97. P. ostreatus HO
1 1765432 65432 7
20.0015.0010.005.00
Lebar
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
Panj
ang
P. ostreatus HOP. djamor EB9H. petaloides EB6
H. petaloides EB24H. petaloides EB14-2
H. petaloides EAB7H. petaloides EA4
3. Sistidia
Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopis isolat-isolat
tersebut, maka diperoleh panjang sistidia berkisar antara 25,5 sampai 67,3 µm dan
lebar sistidia berkisar antara 5,2 sampai 17,5 µm (Gambar 6.22).
Gambar 6.22 Panjang sistidia rata-rata dari tujuh isolat jamur kelompok Pleurotus.
Gambar 6.23 Plot antara panjang dengan lebar sistidia ketujuh isolat yaitu H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7, H. petaloides EB6, P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO.
194
Ukuran panjang sistidia rata-rata dari ketujuh isolat dapat dibagi menjadi
lima kelompok. Secara umum, genus Hohenbuehelia (H. petaloides EA4 (68,4
µm) , EB24 (59,8 µm), EB6 (52,2 µm), EAB7 (50,6 µm) dan EB14-2 (45,9 µm))
ada pada empat kelompok pertama dengan panjang sistidia di atas 40 µm,
sedangkan genus Pleurotus (P. ostreatus HO (26,0 µm) dan P. djamor EB9 (25,5
µm)) berada di kelompok kelima dengan panjang sistidia di bawah 40 µm
(Gambar 6.22). Perbandingan panjang dengan lebar sistidia dari tiap isolat dibuat
dalam bentuk plot untuk melihat sebarannya (Gambar 6.23)
Analisis Kelompok Berdasarkan Karakter Morfologis Jamur Kelompok Pleurotus
Analisis kelompok berdasarkan karakter morfologis dilakukan terhadap
peubah karakter morfologis, yang terdiri atas jumlah tangkai, ukuran pileus dan
tangkai, panjang dan lebar basidiospora, sistidia dan basidia.
Gambar 6.24 Dendogram berdasarkan karakter morfologis dari tujuh isolat jamur
yaitu P. djamor EB9, P. ostreatus HO, H. petaloides EB6, H. petaloides EAB7, H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4.
Hasil analisis kelompok berdasarkan karakter morfologis menunjukkan P.
djamor EB9 dan P. ostreatus HO sangat dekat dengan persamaan 98%
membentuk kelompok pertama. H. petaloides EB6, H. petaloides EAB7 dan H.
petaloides EB14-2 juga sangat dekat dengan persamaan 98% membentuk
Jarak Antar Kelompok
195
kelompok kedua. H. petaloides EB24 dan H. petaloides EA4 juga cukup dekat
dengan persamaan 96%, dengan membentuk kelompok kecil ketiga. Kelompok
kedua dan ketiga dengan persamaan 94% membentuk kelompok besar. Kelompok
pertama bergabung dalam kelompok besar dengan persamaan 75%. Berdasarkan
karakter morfologis, P. djamor EB9 lebih dekat kekerabatannya dengan P.
ostreatus HO dibanding dengan H. petaloides (Gambar 6.24).
Pembahasan
Nama Spesies Setelah Identifikasi Berdasarkan Karakter Fisiologi, Ligninolitik dan Morfologi
Enam isolat asal Bogor telah diidentifikasi berdasarkan hasil karakterisasi
fisiologi, ligninolitik dan morfologi. Keenam isolat tersebut adalah P. djamor EB9
(Pleurotus EB9) yang berwarna pink dan kelima isolat lainnya adalah H.
petaloides yang terdiri atas H. petaloides EB14-2 (Pleurotus EB14-2) (cokelat-
muda), H. petaloides EB24 (Pleurotus EB24) (cokelat keabu-abuan), H.
petaloides EA4 (Pleurotus EA4) (cokelat muda), H. petaloides EAB7 (Pleurotus
EAB7) (cokelat keabu-abuan), dan H. petaloides EB6 (Pleurotus EB6) (cokelat
keabu-abuan).
Deskripsi Berdasarkan Karakter Fisiologis dan Karakter Koloni Kultur Isolat Jamur Pada Media Agar
Pada penelitian ini diketahui bahwa penampakan tipe koloni kultur satu
isolat pada media yang sama dapat berbeda. Demikian juga pada media yang
berbeda dapat menampakkan koloninya sama. Hal ini menunjukkan adanya faktor
lain yang mempengaruhi penampakan koloni kultur suatu isolat selain faktor
genetik dan media. Walaupun demikian, tipe kultur suatu spesies isolat
menunjukkan ciri khas yang unik yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.
Jamur yang tumbuh pada medium padat dapat membentuk koloni yang
mempunyai miselium udara (aerial mycelium) yang tumbuh pada atau di atas
permukaan agar dan miselium yang menembus permukaan agar (submerged
196
mycelium) (Rayner dan Boddy 1988). Kedua jenis miselium tersebut mempunyai
beberapa istilah yang berbeda yang dibedakan atas tipe atau karakterisasi tertentu.
Terdapat dua tipe jamur pelapuk putih yaitu : a) yang menghasilkan LiP,
MnP dan lakase dan 2) tanpa LiP (Hatakka 1994). LiP dan MnP secara umum
telah dikarakterisasi pada P. chrysosporium, dan produksi lakase telah dilaporkan
pada jamur ini dengan media dengan selulosa sebagai sumber karbon (Srinivasan
et. al. 1995). Hasil penelitian pada isolat Pleurotus EB9 menunjukkan ekspresi
lakase dan MnP yang signifikan pada media cair, namun untuk LiP tidak
terdeteksi. Sebaliknya isolat Pleurotus EA4 menunjukkan adanya ekspresi lakase
dan LiP yang signifikan, namun untuk MnP tidak terdeteksi.
Umumnya jamur pelapuk putih, termasuk P. eryngii dan P. ostreatus,
termasuk grup kedua. Ketidakadaan LiP pada tipe kedua ini menyebabkan
degradasi lignin lebih preferen dalam jerami gandum (Martinez et al. 1994 dalam
Sarkar et al. 1997). Menurut Peláez et al. (1995) tipe ini menghasilkan juga aril
alkohol oksidase (AAO). Meskipun tanpa LiP, spesies tersebut mampu
mendegradasi lignin jerami gandum secara preferensi (Martinez et. al. 1996),
merupakan sifat penting untuk aplikasi bioteknologi yang berhubungan dengan
industri pulp dan kertas dan makanan hewan. Spesies ini juga menghasilkan aryl-
alcohol oxidase (AAO) (Peláez et. al. 1995), sebuah enzim yg berpartisifasi dalam
produksi hidrogen peroksida (Guillén et.al. 1996), yang penting untuk aksi MnP.
Studi-studi saat ini menunjukkan pengaruh positif Mn2+ pada degradasi lignin
oleh Pleurotus, menyarankan pentingnya MnP dalam proses (Camarero et. al.
1996).
Karakter Morfologi Kelompok Pleurotus Asal Bogor Secara Makroskopis Secara makroskopis, pada kondisi tertentu terutama di lapangan antara
genus Pleurotus dan genus Hohenbuehelia sulit dibedakan sehingga dapat
dikatakan keduanya menyerupai Pleurotus atau disebut juga kelompok Pleurotus.
Genus Hohenbuehelia dikenal beberapa spesiesnya mempunyai nama sinonim
Pleurotus, contohnya adalah H. petaloides yang dikenal juga dengan nama
Pleurotus petaloides (Brown 1981). Namun demikian, dari penelitian ini diketahui
197
penampakan makroskopis kedua jenis jamur ini mempunyai persamaan dan
perbedaan.
Karakter Morfologi Kelompok Pleurotus Asal Bogor Secara Mikroskopis
Pada penelitian ini diperoleh pada kelima isolat yang terdiri atas EB14-2,
EB24, EA4, EAB7, dan EB6 mempunyai sistidia berdinding tebal yang disebut
metuloid dan adanya lapisan gelatin pada tudungnya, sehingga kelima isolat
tersebut dimasukkan ke dalam genus Hohenbuehelia. Sedangkan, P. djamor EB9
tidak mempunyai lapisan gelatin dan sistidianya tidak berdinding tebal.
Ciri-ciri kelompok Pleurotus adalah berukuran kecil sampai besar,
berwarna bervariasi (putih, krem, abu-abu, violet, sampai hitam), lunak, licin,
daging basidiokarp tebal, berbau sedap; spora bulat-elips, mempunyai dinding
tipis dan halus, spora non-amiloid, jejak spora umumnya putih; kadang-kadang
jamur ini dapat tumbuh tunggal, biasanya ditemukan banyak tubuh buah pada satu
kali pengamatan, berkelompok, berkerumun, bersusun seperti rak; habitatnya
umumnya pada kayu daun jarum dan kayu daun lebar; dan diketahui beberapa
spesiesnya bersifat edible (Brown 1981; Largent 1973).
Genus Hohenbuehelia dikenal beberapa spesiesnya mempunyai nama
sinonim Pleurotus spp., seperti H. petaloides yang juga bernama Pleurotus
petaloides (Brown 1981). Secara mikroskopis, genus Hohenbuehelia mempunyai
perbedaan dengan genus Pleurotus yaitu pada genus Hohenbuehelia mempunyai
sistidia berdinding tebal yang disebut metuloid serta adanya lapisan gelatin pada
tudungnya (Largent dan Baroni 1988; Pegler 1987). Pada penelitian ini, kelima
isolat yang terdiri atas EB14-2, EB24, EA4 EAB7, dan EB6 mempunyai metuloid
dan lapisan gelatin pada tudungnya, sehingga kelima isolat tersebut dimasukkan
ke dalam genus Hohenbuehelia. Sedangkan, P. djamor EB9 tidak mempunyai
lapisan gelatin dan sistidianya tidak berdinding tebal.
Untuk memperoleh nama spesies maka dilakukan pengamatan pada
adanya sistidia di tempat-tempat yang spesifik seperti pada lapisan gelatin dan H.
petaloides mempunyai ciri khas berupa adanya sistidia pada pileipelis dan lapisan
gelatin (Corner 1994). Sifat permukaan pileus tergantung dari bentuk sel yang
198
melapisi bagian tersebut, seperti adanya lapisan gelatin di atas lapisan daging.
Spesies yang mempunyai lapisan gelatin pada basidiokarpnya biasanya termasuk
ke dalam jamur ephemeral di bawah tajuk, termasuk diantaranya Auricularia,
Campanella, Filoboletus, Hohenbuhelia, Favolaschia, Marasmiellus, Mycena,
Micromphale, Resupinatus, dan Tremella. Diduga bahwa daerah dengan gelatin
tersebut memberi perlindungan dari kekeringan. Kemampuan basidiokarp jamur
marasmioid untuk menyegarkan dengan kelembaban setelah kekeringan berguna
dalam sebuah lingkungan aerial, dimana kelembaban relatif berfluktuasi lebih
tajam dibanding pada lantai hutan (Hedger 1985).
Isolat Pleurotus EB9 berdasarkan karakter-karakter morfologi dinamai P.
djamor EB9. Berdasarkan karakter morfologis, P. djamor EB9 lebih dekat
kekerabatannya dengan P. ostreatus HO dibanding dengan H. petaloides.
Karakteristik morfologi ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, namun
setiap organisme tetap mempunyai sifat dasar yang memudahkan dalam
mengenalinya.
Menurut Corner (1981), P. djamor (Fr.) Boedijn mempunyai sinonim
Lentinus djamor Fr. (Epicr 1838), juga sinonim Pleurotus flabellatus Berk. et Br.
(1871), juga sinonim Crepidotus djamor (Fr.) (1972) karakteristiknya diantaranya
: P. djamor . Pileus seperti sendok sepatu, seperti tiram, seperti kipas –ginjal,
seperti payung. -Permukaan bagian tengah berlekuk, tidak ada ornamentasi. –
Warna putih-putih keruh (muda), menjadi kuning, oker pucat, oker kecokelat-
cokelatan pucat mulai dari dasar pileus (tua). –Ukuran panjang 2-7 cm, lebar 2,5-
11 cm. -Konsistensi lunak dan berdaging. -Pinggiran menggulung ke arah
himenium (muda), lurus (tua), bergelombang–bergaris (tua). -Daging tudung
putih, tebal 0,5-4(-6) mm, kenyal (tua). -Lamela melanjut turun ke arah dasar
tangkai. -Spasi antar lamela primer dekat–sangat rapat, +12-20
lamela/tudung, lebar 2-4 mm. –Warna lamela putih–krem. -Anak lamela 3-5
(-7) seri. -Tangkai di sisi, eksentrik, di tengah, melancip ke bawah, padat (solid),
pendek-panjang, halus, tak ada ornamentasi (glabrus). -Warna pangkal-ujung,
krem-putih keruh. -Panjang 2-12 x 2-5 cm. Menempel pada substrat dengan
rizomorf. -Bau tepung. -Rasa hambar. –Edibilitas, edibel.
199
Jejak spora putih keruh-krem. -Basidiospora (5,5-)6-8,7 x 3,0-
4,0µm, 6-10 x 3,0-4,0 (Petch) µm, halus, silindrik, berdinding tipis, aguttate,
inamiloid. -Basidia 20-25 x 5-6 µm, sterigmata 4, tidak ada acerose basidioles,
tebal subhimenium 12-20 µm, dengan 2-3 µm hifa interwoven. –Cheilocystidia
jarang dijumpai (uncommon), 20-40 x 6-11 (-13) µm, umumnya sebagai basidia
clavate steril, beberapa subventricose, mucronate atau capitate, berdinding tipis,
steril, tidak ada Pleurosistidia. Hifa dimitic dengan sel skeletal terminal yang
meruncing; -hifa generatif, lebar 2-14(-20) µm, mempunyai sambungan apit,
inflating, dengan dinding yang tipis, panjang sel 20-220 µm, cabang pada sebuah
sudut lebar, membentuk tubuh buah; -sel skeletal, lebar 3-7 µm pada dasar,
meruncing sampai ujung berdinding tipis, lebar 1,5-2,5 µm, dinding menebal
dengan lumen sempit, panjang sampai 1200µm (?lebih), jarang bercabang.
Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok atau serumpun
(caespitose) pada batang, cabang atau tunggul pohon mati di hutan primer atau
sekunder, kadang-kadang pada ruangan terbuka, pada petiol tanaman palem-
paleman, pada buluh bambu. Pantropik : spesies yang paling umum ditemukan di
daerah tropik Asia.
Berdasarkan kunci varitas dari P. djamor (Corner 1981), menurut penulis
P. djamor EB9 dapat dimasukkan ke dalam P. djamor var. roseus karena
mempunyai lamela yang berwarna pink. Karakter lainnya menurut Corner (1981)
adalah ukuran spora dalam kisaran 7-10 x 3-4 µm, yaitu 5,19-9,09 x 3,89-5,19
µm. P. djamor var. roseus mempunyai karakteristik tambahan yaitu warna pink
atau salem-pink, warna berubah menjadi putih-kekuningan (tua), pleuropodal,
secara umum mendekati imbricate. Basidia 18-27 x 6-7µm. Cheilosistidia 30-45 x
8-14µm. –generatif hifa, lebar 3-18µm, panjang sel 30-220 µm, kadang-kadang
dengan beberapa sambungan apit yang gagal terbentuk pada septum. Pada
permukaan pileus pada beberapa kasus terdapat pileosistidia berdinding tipis -75 x
12µm, clavate sampai ventricos, obtuse, halus, tidak bersatu ke dalam palisade.
Warna pink di dalam sitoplasma hifa generatif dan sebagian basidia, tetapi jejak
spora putih. Dilaporkan terdapat di Srilanka, Malaysia Peninsula, Borneo, New
Guinea, Pulausolomon, Brasil. Menurut Corner (1981) P. djamor var. roseus
200
dengan jejak spora berwarna putih ini adalah sinonim dari Pl. roseus (Pegler 1972
dalam Corner 1981).
Menurut Corner (1981), jamur dengan warna pink, sering dianggap P.
djamor, padahal ada kemungkinan merupakan varietas yang berbeda, yang
mungkin jarang ditemukan, tapi mempunyai penyebaran luas. Seperti Pl.
leptogramme Berk.et Br. (Petch 1924 dalam Corner 1981), atau Pl. incarnatus
dengan ukuran panjang spora berkisar 6-10µm. Atau seperti Pl. incarnatus Hongo
(1973) dari Jepang yang mempunyai perbedaan hanya karena jejak sporanya
berwarna pink.
Pendapat penulis bahwa P. djamor EB9 dapat dimasukkan ke dalam P.
djamor var. roseus, namun ada perbedaan yaitu warna jejak spora yang berwarna
merah muda pupus, tidak berwarna putih. Sehingga melihat karakter yang
beragam pada P. djamor yang berwarna pink ini, ada kemungkinan P. djamor
EB9 ini dapat saja merupakan varietas yang berbeda dengan yang lainnya.
Pleurotus diklasifikasikan oleh beberapa peneliti dalam Alexopoulos et al.
(1996) dan Chang dan Miles (1989) adalah sebagai berikut : Super Kingdom:
Eukariota; Kingdom: Mycetes (Fungi); Divisi: Mycota; Sub Divisi: Eumycotina;
Phylum: Basidiomycota; Kelas: Hymenomycetes (Basidiomycetes); Sub Klas:
Holobasidiomycetidae; Ordo: Agaricales; Famili: Tricholomataceae; Genus:
Pleurotus; Species: Pleurotus spp..
Menurut Segedin et al. (1995), Pleurotus diklasifikasikan ke dalam famili
tersendiri yaitu Pleurotaceae. Menurut Moncalvo et al. (2002), Hohenbuehelia
juga mempunyai famili yang sama dengan Pleurotus yaitu Pleurotaceae. Dalam
famili ini hanya ada dua genus yaitu Pleurotus dan Hohenbuehelia, hal ini
berdasarkan penelitian terbaru dengan menggunakan uji genetik molekuler RNA.
Simpulan
Berdasarkan hasil identifikasi enam isolat asal Bogor yang diuji adalah P.
djamor EB9 (Pleurotus EB9) yang berwarna pink dan H. petaloides bagi kelima
isolat lainnya yang terdiri atas H. petaloides EB14-2 (Pleurotus EB14-2) (cokelat-
muda), H. petaloides EB24 (Pleurotus EB24) (cokelat keabu-abuan), H.
201
petaloides EA4 (Pleurotus EA4) (cokelat muda), H. petaloides EAB7 (Pleurotus
EAB7) (cokelat keabu-abuan), dan H. petaloides EB6 (Pleurotus EB6) (cokelat
keabu-abuan).
Isolat H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H.
petaloides EAB7, dan H. petaloides EB6 umumnya memiliki koloni kultur tipe
appresed dan downy, sedang isolat P. djamor EB9 menunjukkan tipe downy, tipe
velvety dan cottony dan P. ostreatus (HO) memiliki tipe koloni velvety, cottony
dan plumose.
Genus Pleurotus sp. dan genus Hohenbuehelia sp. mempunyai perbedaan
yaitu pada genus Hohenbuehelia mempunyai sistidia berdinding tebal (metuloid),
serta adanya lapisan gelatin pada tudungnya.
Berdasarkan karakter morfologis, P. djamor EB9 lebih dekat
kekerabatannya dengan P. ostreatus HO dibanding dengan H. petaloides.
Karakteristik morfologi ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, namun
setiap organisme tetap mempunyai sifat dasar yang memudahkan dalam
mengenalinya.
PEMBAHASAN UMUM
Eksplorasi jamur pelapuk putih kelompok Pleurotus telah dilakukan pada
bulan Mei 2004 dari 14 tempat di Bogor. Jamur umumnya tumbuh pada tempat-
tempat yang lembab dan cukup air dan membentuk tubuh buah pada musim hujan
dan pada saat itulah waktu yang tepat untuk mengoleksinya. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan jenis jamur kelompok Pleurotus hanya ditemukan di areal
kebun dan tempat penggergajian kayu di kecamatan Ciherang (+ 501 m dpl). Di
tempat tersebut terdapat tumpukan serbuk gergajian yang sudah melapuk dan di
sekelilingnya terdapat banyak tanaman tahunan yang cukup rapat, serta dekat
dengan areal pemukiman masyarakat. Menurut informasi, isolat jamur tersebut
biasa dikonsumsi oleh masyarakat di sekitarnya.
Isolat jamur kelompok Pleurotus tersebut relatif sulit diisolasi dan
mempunyai laju pertumbuhan miselium pada media agar yang lambat. Minimnya
isolat yang mampu menghasilkan tubuh buah pada media buatan diduga karena
isolat-isolat liar tersebut masih beradaptasi terhadap lingkungan yang berbeda
dengan habitat aslinya. Selain itu kemungkinan adanya kompetisi dengan jamur
kayu lain yang juga sama-sama tumbuh di lapangan, atau karena terjadinya
mating dengan jenis Pleurotus dan membentuk tubuh buah yang berbeda.
Sebanyak 24 isolat kelompok Pleurotus berhasil diisolasi, dan enam isolat
diantaranya dapat membentuk tubuh buah pada substrat serbuk gergajian kayu
sengon yaitu Pleurotus EB9 (pink), Pleurotus EB14-2 (coklat-muda), Pleurotus
EB24 (coklat keabu-abuan), Pleurotus EA4 (coklat muda), Pleurotus EAB7
(coklat keabu-abuan), dan Pleurotus EB6 (coklat keabu-abuan). Jamur pleurotoid
selain kelompok Pleurotus yang umum ditemukan di daerah Bogor adalah
Schizophillum spp., Lentinus spp., Panellus spp., dan Crepidotus spp.
Secara fisiologis, laju pertumbuhan koloni lima isolat asal Bogor yaitu
Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7 dan EB6 termasuk lambat (0,3-3,3
mm/hari) atau baru dapat menutupi cawan Petri dengan diameter 90 mm setelah
5-6 minggu. Laju pertumbuhan koloni Pleurotus EB9 termasuk sedang (2,3-
5,7mm/hari) atau dapat menutupi cawan setelah 2-4 minggu. Laju pertumbuhan
koloni P. ostreatus HO termasuk cepat (6,1-10,9 mm/hari) atau dapat menutupi
203
cawan setelah 1-2 minggu. Seluruh isolat dapat tumbuh pada media MPA, MEA
dan PDA, serta tumbuh optimal pada temperatur sekitar 20-29(+1)oC dengan pH
media antara pH 6-7.
Hasil penelitian terhadap karakter fisiologi pada media AAG dan AAT
menunjukkan bahwa semua isolat jamur kelompok Pleurotus asal Bogor tersebut
merupakan jamur pelapuk putih. Diantara isolat yang berpotensi sebagai agens
biopulping dan biobleaching adalah Pleurotus EA4, Pleurotus EB9 dan
pembandingnya yaitu P. ostreatus HO. Ketiga jamur tersebut menunjukkan reaksi
oksidasi pada kedua media tersebut cukup kuat.
Isolat P. ostreatus HO memberikan respon terhadap hasil panen dan nilai
efisiensinya kemudian diikuti isolat Pleurotus EB9. Hasil analisis kelompok
karakter fisiologis menujukkan bahwa terdapat dua spesies yang berbeda yang
digambarkan dengan adanya dua kelompok besar dari enam isolat jamur asal
Bogor di atas. Hal ini sesuai dengan hipotesis kedua yaitu karakter fisiologi yang
berbeda dapat menunjukkan spesies yang berbeda.
Faktor isolat, waktu panen maupun interaksi antara faktor isolat dan faktor
panen berpengaruh nyata terhadap total bobot basah jamur, serta faktor isolat
berpengaruh nyata terhadap nilai efisiensi biologi (EB). Dengan waktu 156 hari P.
ostreatus HO dapat menghasilkan nilai EB tertinggi yaitu 119% dan pada
Pleurotus EB9 dengan waktu 112,5 hari juga cukup tinggi (81,4%). Menurut
Gunawan (1997), nilai EB Pleurotus spp. pada media serbuk gergajian kayu
sengon dapat mencapai 52,6%. Pada media jerami padi dengan waktu 30-45 hari
dapat mencapai 100% (Chang dan Miles 1989). Kisaran kelembaban pada saat
kultivasi belum sesuai dengan kondisi untuk pertumbuhan jamur yang optimum
yaitu 50-68% (pagi) dan 50-78% (sore). Menurut Oei (2003) kelembaban yang
dibutuhkan untuk pemunculan primordia adalah 90%, sedangkan pada saat tubuh
buah mulai berkembang dibutuhkan kelembaban yang lebih rendah yaitu 80-85%.
Pleurotus EB9 mempunyai fase vegetatif pada substrat serbuk gergajian
kayu sengon paling singkat (14 hari). Isolat tersebut diduga mempunyai
kemampuan menghasilkan enzim-enzim ekstraseluler yang tinggi untuk
memecahkan struktur senyawa karbon dan nitrogen. Walaupun pada media agar,
isolat tersebut secara nyata mempunyai laju pertumbuhan lebih lambat dibanding
204
P. ostreatus HO. Oleh karena itu, laju pertumbuhan koloni pada media agar tidak
mencerminkan laju pertumbuhan miselium pada media produksi. Perbedaan yang
cukup besar antara lama fase vegetatif dan reproduktif isolat-isolat jamur yang
diuji menunjukkan bahwa tiap-tiap isolat memiliki karakteristik yang berbeda-
beda dalam mengambil nutrisi untuk pertumbuhannya.
Pertumbuhan jamur pelapuk kayu dapat dihambat oleh kelembaban yang
terlalu tinggi, karena terbatasnya pemasukan oksigen (Tambunan dan Nandika
1989). Lingkungan fisik lainnya seperti gas, cahaya, konsentrasi ion hidrogen,
aerasi, serta lingkungan biologis seperti interaksi dengan mikroorganisme lain
juga mempengaruhi laju dekomposisi bahan lignoselulosa oleh jamur (Bels-
Koning 1962; Allison dan Kneebone 1962; Flegg 1953; Chang dan Hayes 1978).
Menurut Bailey dan Ollis (1988), faktor fisik terutama pH dan suhu juga
mempengaruhi aktifitas enzim selulolitik selain dipengaruhi oleh sumber karbon
dan nitrogen.
Hasil penelitian karakter ligninolitik pada beberapa chips kayu bahan pulp,
menunjukkan bahwa Pleurotus EB9 mempunyai potensi mendegradasi kayu pinus,
akasia dan sengon yang paling besar dan secara nyata berbeda dibanding P.
ostreatus HO. Isolat yang lain seperti Pleurotus EA4 dan Pleurotus EAB7
mempunyai tingkat degradasi dan laju dekomposisi yang cukup rendah terhadap
kayu pinus maupun akasia.
Untuk kepentingan proses biopulping dan biobleaching, bahan polimer
kayu yang harus dikurangi adalah kadar ligninnya, sedangkan kadar selulosa dan
hemiselulosa diharapkan masih utuh, sehingga tingkat degradasi dan laju
dekomposisi yang tinggi pada bahan chips kayu tersebut belum tentu
menguntungkan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat degradasi pada
kayu sengon oleh jamur secara nyata lebih besar dibanding pada kayu pinus dan
akasia.
Kandungan zat ekstraktif juga mempengaruhi tingkat keawetan kayu
terhadap gangguan-gangguan mikroba atau hewan pendegradasi kayu. Namun
hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu daun lebar lebih mudah didegradasi
dibanding kayu daun jarum. Kayu pinus lebih sukar didegradasi oleh jamur
dibanding kayu sengon dan akasia. Hal ini diduga disebabkan zat ekstraktif yang
205
sangat penting pada pinus, yaitu resin yang diduga mempunyai peranan penting
dalam menolak serangan serangga ataupun penyerang-penyerang lain seperti
jamur (Haygreen dan Bowyer 1993).
Struktur dan komposisi lignin juga mempengaruhi tingkat degradasi suatu
isolat jamur. Lignin kayu daun lebar disusun oleh koniferil alkohol dan sinafil
alkohol dengan suatu perbandingan tertentu tergantung pada faktor tempat tumbuh
dan spesies yang secara umum lebih mudah diuraikan oleh jamur pelapuk putih
dibanding lignin pada kayu daun jarum yang hanya disusun oleh koniferil alkohol
dan sangat sedikit sinafil alkohol (Faix et al. 1985 dalam Reid et al. 1990).
Hasil penelitian menunjukkan penampakan bidang transversal kayu pinus
dan akasia setelah diuji dengan P. ostreatus HO menunjukkan miselium menyebar
di dalam sel-sel kayu melalui noktah-noktah. Dinding sel di sekitarnya yang
dilewati miselium terlihat terdegradasi dan warnanya lebih terang. Perubahan
warna tersebut diduga karena degradasi terutama pada kandungan ligninnya
sehingga warnanya menjadi lebih terang. Struktur kayu akasia dan sengon berbeda
dengan kayu pinus. Kayu daun lebar tersusun atas jenis-jenis sel yang berbeda
dengan variasi proporsi yang luas dan terlihat lebih kompleks. Mekanisme infeksi
isolat-isolat jamur yang diinokulasikan pada kayu akasia dan sengon hampir mirip
dengan mekanisme infeksi pada pinus, dimana kayu pada dasarnya adalah sistem
tertutup, sehingga miselium jamur umumnya masuk lewat dinding sel atau
selaput-selaput noktah agar dapat secara sempurna menginfeksi ke struktur kayu.
Pengaruh infeksi jamur terhadap sifat-sifat kayu adalah menurunnya bobot,
kekuatan dan kalori, perubahan warna, bau dan struktur mikroskopis (Tambunan
dan Nandika 1989).
Sifat dinding miselium jamur yang kaku memungkinkan miselium yang
lebih tua umurnya melekat erat pada substrat, dan ditambah dengan dihasilkannya
enzim ekstraselular mengakibatkan miselium mampu membuat lubang kecil
menembus dinding sel kayu. Sistem percabangan miselium yang menyebar
memungkinkan miselium menguasai substrat/jaringan kayu secara menyeluruh.
Sel jari-jari kayu daun lebar dan daun jarum berperan dalam proses degradasi
kayu, karena menyediakan jalan bagi distribusi transversal bahan-bahan simpanan,
dan juga dapat menjadi jalan menyebarnya miselium ke sel-sel lain disekitarnya.
206
Jamur pelapuk putih sering mendegradasi lignin dan selulosa secara progresif
terhadap serat kayu keras dan trakeid kayu lunak yaitu dari lumen ke arah lamela
tengah yang mengakibatkan penipisan dinding (Nicholas 1987).
Hasil penelitian menunjukkan kadar lignin substrat yang rendah setelah
diinokulasi isolat-isolat jamur tersebut, menunjukkan isolat-isolat mempunyai
potensi ligninolitik yang cukup besar. Penurunan kadar lignin substrat terbesar
juga diperoleh setelah diinokulasi oleh Pleurotus EB9. Penurunan kadar lignin
oleh isolat-isolat jamur tersebut berkisar antara 10,7 sampai dengan 89.7%.
Pleurotus EB9 mempunyai kemampuan menurunkan kadar lignin sampai 89,7%.
Penurunan kadar selulosa oleh isolat-isolat jamur tersebut berkisar antara 18,9
sampai dengan 87,4%, sedangkan Pleurotus EB9 juga dapat menurunkan kadar
selulosa tertinggi yaitu 87,4%. Kadar hemiselulosa menunjukkan berfluktuasi. Hal
ini diduga karena adanya sejumlah bahan penyusun kayu yang tidak terukur
terdegradasi oleh jamur seperti kadar zat ekstraktif .
Hasil analisis kelompok berdasarkan kadar komponen kayu ini
menunjukkan bahwa antar isolat mempunyai karakter ligninolitis yang berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada fase vegetatif, Pleurotus EB9
mempunyai kemampuan meningkatkan kelarutan zat ekstraktif sebesar 26,2% dan
menurunkan kadar lignin dan kadar selulosa sebesar berturut-turut 20,8%, dan
20,1%, serta kadar hemiselulosa meningkat sebesar 70,6%. Isolat Pleurotus EB9
mempunyai fase vegetatif yang sangat singkat yaitu 14 hari dan menyebabkan
penurunan bobot kering sisa degradasi yang paling kecil yaitu 1,0%.
Pada fase vegetatif, isolat Pleurotus EAB7 dan Pleurotus EA4 masing-
masing mempunyai kemampuan meningkatkan kelarutan zat ekstraktif masing-
masing sebesar 30,2% dan 17,2% dan menurunkan kadar lignin dan kadar selulosa
dan peningkatan kadar hemiselulosa (37,55%). Namun kedua isolat tersebut
mempunyai fase vegetatif yang cukup panjang (73,7 dan 78,6 hari) dan
menyebabkan penurunan bobot kering sisa degradasi sebesar 8,8% dan 18,7%.
Isolat P. ostreatus HO pada fase vegetatif, mempunyai kemampuan
meningkatkan kelarutan zat ekstraktif (18,9%) dan menurunkan kadar lignin dan
kadar selulosa sebesar berturut-turut sebesar 42,7% dan 49,7%, dan tampak ada
peningkatan kadar hemiselulosa (4,3%). Isolat tersebut mempunyai fase vegetatif
207
19,5 hari dan menyebabkan penurunan bobot kering sisa degradasi sebesar 32,0%.
P. ostreatus diketahui merupakan jamur pelapuk putih yang lebih selektif terhadap
lignin dibanding P. chrysosporium (Kerem et al. 1992).
Hasil analisis kelompok berdasarkan penurunan kadar lignin, selulosa dan
hemiselulosa pada fase vegetatif memperlihatkan Pleurotus EB9 dan Pleurotus
EAB7 (EB7) sangat dekat dengan persamaan 94% dan membentuk kelompok
sendiri. P. ostreatus HO berada dengan isolat lainnya dalam kelompok yang
berbeda. Hasil analisis kelompok berdasarkan pada fase reproduktif
memperlihatkan Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 sangat dekat dengan
persamaan 95% dan dengan Pleurotus EB24 membentuk kelompok besar kedua,
sedangkan P. ostreatus HO berada dengan isolat lainnya dalam kelompok yang
berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat yang paling baik untuk agens
biopulping dan biobleaching adalah Pleurotus EB9, walaupun masih terdapat
peningkatan kelarutan dalam NaOH 1% (KDNaOH1) sebesar 19,7%, yang
mengindikasikan adanya polisakarida yang terdegradasi yang relatif rendah.
Pleurotus EB9 pada masa panen ke-4, pada fase reproduktif, mampu menurunkan
kadar lignin sampai 89,7%. Hal ini menunjukkan adanya penurunan kadar
selulosa dan juga hemiselulosa yang tertinggi dengan masa inkubasi yang cukup
lama. Menurut Chang dan Hayes (1978), setelah terbentuk tubuh buah
(basidiokarp) fraksi holoselulosa, α-selulosa dan lignin direduksi kira-kira
mencapai 80%. Zadrazil (1975 dalam Chang dan Hayes 1978) mengatakan bahwa
hasil dekomposisi kompleks lignoselulosa oleh P. osteratus adalah 50% menjadi
substrat yang dibebaskan sebagai gas CO2, 20% sebagai air, 20% sebagai residu
kompos, dan 10% menjadi tubuh buah. Hasil akhir menunjukkan kandungan
nitrogen dan mineral meningkat selama pertumbuhan.
Peningkatan kadar hemiselulosa pada substrat diduga disebabkan oleh
terjadinya degradasi lignin dan selulosa atau bahan penusun kayu yang lain oleh
satu isolat jamur pada satu masa inkubasi yang lebih cepat sehingga kadar
hemiselulosa relatif meningkat dan rasio holoselulosa/lignin (H/L) substrat serbuk
gergajian kayu menurun. Selain mendegradasi lignin, jamur kelompok Pleurotus
208
juga menghasilkan enzim lain, diantaranya selulase dan protease, hemiselulosa
dan aminopeptidase (Chang dan Quimio 1982).
Kelompok Pleurotus merupakan dekomposer bahan organik utama yang
dapat secara efisien dan selektif menguraikan lignoselulosa tanpa perlakuan
pendahuluan secara kimia atau biologi. Beberapa contoh bahan lignoselulosa
adalah jerami padi, ampas tebu, sisa gergajian, kulit coklat, pulp kopi dan batang-
batang kapas. Hadar et al. (1993) menemukan bahwa selama 4 minggu proses
kultivasi padat, kadar lignin menurun secara nyata. Pleurotus spp., diketahui
mempunyai daya delignifikasi yang selektif dibanding P. chrysosporium (Kerem
et al. 1992).
Analisis kelompok karakter ligninolitis menunjukkan pengelompokkan
berdasarkan karakter ligninolitis ternyata berbeda dengan pengelompokkan
berdasarkan karakter fisiologis. Hal tersebut menunjukkan, antar isolat
mempunyai karakter ligninolitis yang berbeda.
Hasil percobaan untuk melihat ekspresi enzim lligninolitik jamur
kelompok Pleurotus, menunjukkan bahwa isolat Pleurotus EA4, Pleurotus EB6,
Pleurotus EAB7, Pleurotus EB24 dan P. ostreatus HO tidak menghasilkan MnP
secara signifikan, namun Pleurotus EB9 menghasilkan MnP paling tinggi dalam
substrat serbuk gergajian kayu sengon.
Penelitian yang sama dilakukan pada ketujuh isolat dengan penentuan
aktivitas ligninolitik MnP ekstrak. Isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4,
diketahui memiliki kemampuan dalam proses delignifikasi bahan lignoselulosa
substrat kayu sengon. Produksi skala besar untuk isolasi MnP dengan memakai
isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 dilakukan dengan menggunakan substrat
kayu sengon dan menggunakan bioreaktor. Sesuai dengan hipotesis yang
disampaikan, bahwa isolat spesies jamur yang berbeda memiliki aktivitas
ligninase yang berbeda. Ternyata jenis isolat dan juga media berpengaruh dalam
produktivitas enzim ligninolitik. Dalam penelitian ini media yang digunakan
adalah media yang mengandung mangan yang dimodifikasi dari Brown et al.
(1990), yaitu dengan penambahan serbuk kayu sengon sebanyak 8 gram/l.
Penambahan sumber lignin alami diharapkan dapat meningkatkan aktivitas enzim.
209
Karena sumber lignin alami serbuk kayu sengon ini juga dapat memperbaiki
pertumbuhan jamur liar yang diuji.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat Pleurotus EB9 menghasilkan
MnP dan lakase yang signifikan, sementara produksi LiP tidak terlalu signifikan.
Aktivitas MnP mulai muncul pada hari ke-3 inkubasi, dan semakin meningkat
seiring masa inkubasi sampai hari ke enam. Demikian juga aktivitas lakase, yang
mulai muncul sejak hari pertama inkubasi, walaupun berfluktuasi.
Perbandingan antara Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 hasil produksi
yang sudah diberi amonium sulfat, diketahui bahwa Pleurotus EB9 menghasilkan
MnP sebesar 0,138 U/ml dan lakase sebesar 0,914 U/ml, aktivitas LiP tidak
terdeteksi, sedangkan pada isolat Pleurotus EA4 aktivitas MnP tidak terdeteksi
dan produksi LiP dan lakase, berturut-turut adalah 0,179 dan 0,086 U/mL.
Menurut Sarkar et al. (1997), manganese peroksidase pada media glucose-
amonium tartrate atau glukose-peptone, muncul pada hari ke 3 dan maksimal pada
hari ke 6, kemudian akan menurun. Deteksi dilakukan dengan heme absorban
pada λ 410 nm, sedang pada P. chrysosporium maksimal pada hari ke 5 dengan λ
415 nm, dan pada P. radiata dapat dideteksi pada λ 610 nm.
Hasil penelitian ekspresi enzim, diketahui isolat Pleurotus EB9 lebih
selektif terhadap lignin pada fase vegetatif. Hal ini diduga karena enzim
ligninasenya yaitu lakase yang cukup signifikan dan MnP, sedangkan LiP tidak
terdeteksi. Lakase merupakan enzim multi-copper yang dapat mengkatalis reaksi
oksidasi beberapa substrat seperti polifenol, substituen penol, diamin dan
beberapa senyawa anorganik (Thurston 1994). Mekanisme reaksi enzimatik yang
terjadi oleh lakase adalah reaksi oksidasi satu elektron, sehingga dibutuhkan
peranan molekul oksigen sebagai penerima elektron dan kemudian membentuk
molekul air. Ketika reaksi oksidasi berlangsung, substrat kehilangan satu
elektronnya dan biasanya terbentuk radikal fenoksi bebas yang berperan sebagai
intermediet. Radikal bebas yang tidak stabil tersebut dapat melangsungkan reaksi
oksidatif enzimatik selanjutnya atau reaksi non-enzimatik seperti hidrasi,
disproporsionasi dan polimerisasi (Thurston 1994).
Enzim lakase telah banyak menjadi subyek penelitian untuk dimanfaatkan
secara luas karena sifat spesifiknya yang rendah terhadap substrat-substratnya
210
(Cavallazzi et al. 2004; Thurston 1994). Pemanfaatan lakase sangat luas
diterapkan dalam berbagai bidang antara lain dalam proses bioremediasi dan
biodegradasi polutan organik pada tanah seperti klorofenol (Ahn et al. 2002) dan
polisiklik aromatik hidrokarbon (Han et al. 2004), atau pada proses dekolorisasi
dan detoksifikasi pada pewarna tekstil (Abadulla et al. 2000) serta digunakan
sebagai bleaching pada proses biodelignifikasi pada pulp industri kertas
(Bourbonnais dan Paice 1992).
Masing-masing jamur menghasilkan kombinasi enzim yang berbeda-beda,
misalnya ada yang hanya menghasilkan LiP dan MnP, MnP dan lakase, atau
jamur yang menghasilkan LiP dan lakase (Kerem dan Hadar 1998). Terdapat dua
tipe jamur pelapuk putih yaitu : a) yang menghasilkan LiP, MnP dan lakase dan 2)
tanpa LiP (Hatakka 1994). LiP dan MnP secara umum telah dikarakterisasi pada
P. chrysosporium, dan produksi lakase telah dilaporkan pada jamur ini dengan
media dengan selulosa sebagai sumber karbon (Srinivasan et. al. 1995).
Umumnya jamur pelapuk putih, termasuk P. eryngii dan P. ostreatus, termasuk
grup kedua. Meskipun tanpa LiP, spesies tersebut mampu mendegradasi lignin
jerami gandum (Martinez et. al. 1996), yang merupakan sifat penting untuk
aplikasi bioteknologi yang berhubungan dengan industri pulp dan kertas serta
makanan hewan. Spesies ini juga menghasilkan aryl-alcohol oxidase (AAO)
(Peláez et. al. 1995) sebuah enzim yg berpartisifasi dalam produksi hidrogen
peroksida yang penting untuk aksi MnP (Guillén et.al. 1996). Studi-studi saat ini
menunjukkan pengaruh positif Mn2+ pada degradasi lignin oleh Pleurotus yang
cukup kuat (Camarero et. al. 1996).
SDS-PAGE hasil kromatografi kolom gel hidrofobik (Phenyl-Sepharose)
dan penukar ion (DEAE-Sepharose) terhadap sampel pemekatan 40% amonium
sulfat dari Pleurotus EA4, tidak didapatkan pita-pita yang menunjukkan
keberadaan MnP. Hal ini menunjukkan bahwa Pleurotus EA4 tidak memproduksi
MnP.
SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar ion terhadap sampel
pemekatan 40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9, diperoleh pita dengan bobot
molekul kira-kira 43 kDa yang merupakan bobot molekul rata-rata MnP yang
telah diketahui.
211
Selanjutnya supaya lebih baik pemisahannya maka dilakukan pemurnian
dengan kolom kromatografi gel HiPrep 16/60 Sephacryl S-200 High Resolution
(GE Biosciences) flow rate 0,3 ml/min dan fraksinasi 1,5 ml/fraksi, buffer 10 mM
potasium fosfat pH 7,0 dan HPLC AKTA Purifier (GE Biosciences), dan
diperoleh peak aktivitas MnP pada fraksi ke 96. Selanjutnya SDS PAGE hasil
kromatografi kolom gel terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat dari
Pleurotus EB9 diperoleh MnP yang telah berhasil dimurnikan dan menunjukkan
bobot molekul 43 kDa.
Hasil tahapan purifikasi menunjukkan aktivitas enzim MnP spesifik untuk
Pleurotus EB9 filtrat enzim kasar sebesar 1,092 U/mg. Aktivitas enzim MnP
spesifik untuk Pleurotus EB9 40% amonium sulfat sebesar 1,605 U/mg. Aktivitas
enzim MnP spesifik untuk Pleurotus EB9-Fraksi 96 kromatografi gel sebesar
4,133 U/mg (dengan catatan hanya 1 ml yang diambil untuk HPLC, kemungkinan
tingkat kemurnian total akan jauh lebih besar). Dari data tersebut dapat dilihat
bahwa persen recovery (perolehan kembali) MnP yang didapat sebesar 4,133
dengan kemurnian 3,8 kalinya.
Dalam percobaannya, Sarkar et al. (1997) melaporkan bahwa medium
pepton meningkatkan hasil MnP pada P. ostreatus sampai 59% dan faktor
purifikasi 36. Pada P. eryngii, P. ostreatus, P. pulmonarius dan P. sajor-caju,
MnP tidak terdeteksi bila ditumbuhkan dalam media cair dengan ammonium
tartrate sebagai sumber N, aktivitas tinggi MnP diperoleh pada medium pepton
mendekati 3 U/ml pada kultur P. eryngii.
Dalam hipotesis, isolat spesies jamur yang berbeda memiliki aktivitas
ligninase yang berbeda. Ternyata bahwa jenis isolat dan media berpengaruh pada
produktivitas enzim ligninolitik. Ligninolitik berhubungan dengan produksi enzim
ekstraseluler pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih. Dua
enzim yang berperan dalam proses tersebut adalah fenol oksidase (lakase) dan
peroksidase (lignin peroksidase (LiP) dan manganese peroksidase (MnP))
(Howard et al. 2003; Kirk et al. 1978).
Lignin peroksidase (EC.1.11.1.14; diarilpropan: oksigen, hidrogen
peroksida oksidoreduktase; bobot molekul antara 38 dan 43 kDa) dan MnP
(EC.1.11.1.13; Mn(II): H2O2 oksidoreduktase; bobot molekul antara 43 dan 49
212
kDa) merupakan glikoprotein yang memiliki sebuah protoporfirin IX sebagai
gugus prostetik dan membutuhkan hidrogen peroksida sebagai oksidan (Hatakka
1994; Tien dan Kirk 1984; Gold dan Alic 1993).
Enzim ekstraseluler LiP dan MnP memiliki peranan yang sangat penting
dalam proses biodelignifikasi. LiP memiliki kemampuan mengkatalis beberapa
reaksi oksidasi antara lain pemecahan ikatan Cα-Cβ rantai samping propil non
fenolik komponen aromatik lignin, oksidasi benzil alkohol, oksidasi fenol,
hidroksilasi benzylic methylene groups dan pemecahan cincin aromatik komponen
non phenolik senyawa lignin (Tien dan Kirk 1984). Sedangkan MnP diketahui
memiliki kemampuan mengoksidasi baik komponen fenolik maupun non fenolik
senyawa lignin.
Manganese peroksidase umumnya dihasilkan oleh P. ostreatus (Sarkar et
al. 1997), oleh P. crysosporium (Brown et al. 1990) dan Phlebia radiata (Vares et
al. 1995). Sampai saat ini isolat jamur pelapuk putih P. chrysosporium banyak
menjadi obyek para peneliti dikarenakan menghasilkan aktivitas LiP dan MnP
yang tinggi. Seperti halnya pada lakase selain potensi dalam proses
biodelignifikasi, lignin peroksidase dan mangan peroksidase berpotensi dalam
proses biobleaching dan biopulping pulp serta proses degradasi senyawa-senyawa
berbahaya.
Morfologi isolat jamur yang berbeda menunjukkan spesies yang berbeda.
Isolat spesies jamur yang berbeda memiliki karakter fisiologi yang berbeda. Isolat
spesies jamur yang berbeda memiliki aktivitas ligninase yang berbeda. Analisis
kelompok isolat berdasarkan karakterisasi fisiologi dan morfologi menunjukkan
bahwa P. djamor EB9 berbeda dengan kelima isolat H. petaloides. Produksi
enzim ligninase khususnya MnP P. djamor EB9 dan H. petaloides EA4 juga
berbeda.
Secara makroskopis, pada kondisi tertentu terutama di lapangan antara
genus Pleurotus dan genus Hohenbuehelia sulit dibedakan sehingga dapat
dikatakan keduanya menyerupai Pleurotus atau disebut juga kelompok Pleurotus.
Genus Hohenbuehelia dikenal beberapa spesiesnya mempunyai nama sinonim
Pleurotus, contohnya adalah H. petaloides yang dikenal juga dengan nama
Pleurotus petaloides (Brown 1981). Namun demikian, dari penelitian ini diketahui
213
penampakan makroskopis kedua jenis jamur ini mempunyai persamaan dan
perbedaan. Setelah identifikasi, keenam isolat tersebut adalah Pleurotus djamor
EB9 yang berwarna pink dan Hohenbuehelia petaloides bagi kelima isolat lainnya
yang terdiri atas H. petaloides EB14-2 (cokelat muda), H. petaloides EB24
(cokelat keabu-abuan), H. petaloides EA4 (cokelat muda), H. petaloides EAB7
(cokelat keabu-abuan), dan H. petaloides EB6 (cokelat keabu-abuan).
Secara umum diantara kelima isolat H. petaloides (EB14-2, EB24, EA4,
EAB7 dan EB6) mempunyai ciri-ciri makroskopis hampir sama kecuali beberapa
perbedaan pada ukuran diameter pileus dan warna pileus segar ketika masih kecil
atau muda, namun pada kondisi tertentu, menampakkan warna dan fenotipe yang
serupa yaitu berbentuk seperti tiram, seperti kipas-ginjal (di lapangan dan hasil
kultivasi) dan seperti rangkaian bunga dengan 3-4 tudung (hasil kultivasi). Secara
mikroskopis antara genus Pleurotus sp. dan genus Hohenbuehelia sp. mempunyai
perbedaan yaitu pada genus Hohenbuehelia mempunyai sistidia berdinding tebal
(metuloid), serta adanya lapisan gelatin pada tudungnya.
Pendapat penulis bahwa P. djamor EB9 dapat dimasukkan ke dalam P.
djamor var. roseus, namun ada perbedaan yaitu warna jejak spora yang berwarna
merah muda pupus, tidak berwarna putih. Sehingga melihat karakter yang
beragam pada P. djamor yang berwarna pink ini, ada kemungkinan P. djamor
EB9 ini dapat saja merupakan varietas yang berbeda dengan yang lainnya.
Berdasarkan karakter morfologis, P. djamor EB9 lebih dekat
kekerabatannya dengan P. ostreatus HO dibanding dengan H. petaloides. Menurut
Segedin et al. (1995), Pleurotus diklasifikasikan ke dalam famili tersendiri yaitu
Pleurotaceae. Menurut Moncalvo et al. (2002), Hohenbuehelia juga mempunyai
famili yang sama dengan Pleurotus yaitu Pleurotaceae. Dalam famili ini hanya
ada dua genus yaitu Pleurotus dan Hohenbuehelia, hal ini berdasarkan penelitian
terbaru dengan menggunakan uji genetik molekuler RNA.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Beberapa jenis jamur pleurotoid yang ditemukan di daerah Bogor adalah
Schizophillum spp., Lentinus spp., Panellus spp., Crepidotus spp.. Kelompok
Pleurotus hanya ditemukan dari satu daerah yaitu di areal kebun dan tempat
penggergajian kayu di kecamatan Ciherang (+ 501 m dpl). Sekitar 24 isolat jamur
pelapuk putih pleurotoid kelompok Pleurotus telah diisolasi dan 17 isolat
diantaranya dikultivasi pada media serbuk gergajian kayu sengon. Enam isolat
kelompok Pleurotus diantaranya dapat membentuk tubuh buah seperti Pleurotus
pada media serbuk gergajian kayu sengon, yaitu Pleurotus EB9, Pleurotus EB14-
2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7 dan Pleurotus EB6.
Dari hasil penelitian ini diharapkan Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4
sebagai jamur pelapuk putih potensial karena mempunyai reaksi pada AAG dan
AAT yang cukup kuat, terutama Pleurotus EB9 yang mempunyai lama fase
vegetatif yang lebih singkat dibanding isolat yang lain termasuk P. ostreatus HO.
Karakter fisiologi yang berbeda dapat menunjukkan spesies yang berbeda.
Isolat Pleurotus EB9 berbeda dengan kelima isolat lain yaitu Pleurotus EB14-2,
EB24, EA4, EAB7, dan EB6. Pleurotus EB9 mempunyai kekerabatan lebih dekat
dengan P. ostreatus HO dibanding dengan isolat-isolat kelompok Pleurotus
lainnya.
Isolat paling tinggi tingkat degradasinya adalah Pleurotus EB9 pada kayu
pinus (40,1%) dan pada kayu akasia (38,1%). Isolat paling tinggi ke-2 adalah P.
ostreatus HO pada akasia (31,8%) pada minggu ke-6. Rata-rata tingkat degradasi
oleh Pleurotus EB9 dan P.ostreatus HO pada kayu sengon adalah yang tertinggi,
kemudian diikuti kayu akasia dan pinus.
Hasil analisis ragam ketujuh isolat kelompok Pleurotus pada kayu pinus
dan akasia menunjukkan bahwa lama inkubasi, jenis isolat, dan interaksi antara
jenis isolat dan lama inkubasi berpengaruh nyata terhadap tingkat degradasi kayu.
Besar penurunan bobot kering kayu berbanding lurus dengan tingkat degradasi
maupun dengan laju dekomposisi. Cara serangan isolat-isolat jamur yang
215
diinokulasikan pada kayu akasia dan sengon hampir mirip dengan cara
serangannya pada pinus.
Isolat spesies jamur yang berbeda memiliki kemampuan yang berbeda
dalam mendegradasi satu jenis media (media serbuk gergajian kayu sengon). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada fase vegetatif, Pleurotus EB9 merupakan
isolat yang mempunyai kemampuan meningkatkan kelarutan zat ekstraktif sebesar
26,2% dan menurunkan kadar lignin dan kadar selulosa berturut-turut sebesar
20,8% dan 20,1%, dan tampak peningkatan kadar hemiselulosa sebesar 70,6%,
serta mempunyai peningkatan KDNaOH1 sebesar 19,7%, yang menunjukkan
rendahnya degradasi pada selulosa maupun hemiselulosa. Isolat Pleurotus EB9
tersebut mempunyai fase vegetatif yang sangat singkat yaitu 14 hari dan
menyebabkan penurunan bobot kering sisa degradasi yang paling kecil yaitu 1,0%.
Oleh karena itu, maka isolat yang paling baik untuk agens biopulping dan
biobleaching adalah Pleurotus EB9.
Berdasarkan hasil yang telah didapatkan, bahwa produk enzim ligninolitik
dipengaruhi oleh kondisi media, jenis isolat, dan suhu serta lamanya penyimpanan.
Isolat Pleurotus EB9 menunjukkan ekspresi lakase dan MnP yang signifikan pada
media cair, namun untuk LiP tidak terdeteksi. Sebaliknya isolat Pleurotus EA4
menunjukkan ekspresi lakase dan LiP yang signifikan, namun untuk MnP tidak
terdeteksi.
Hasil penelitian ekspresi enzim menunjukkan isolat Pleurotus EB9 lebih
selektif terhadap lignin pada fase vegetatif. Hal ini diduga karena enzim-enzim
ligninasenya yaitu lakase yang lebih banyak dibanding MnP, sedangkan LiP tidak
terdeteksi. Lakase mempunyai sifat spesifik yang rendah terhadap substrat-
substratnya. Ketiadaan LiP tidak mengurangi potensi jamur dalam mendegradasi
lignin bahkan menyebabkan degradasi lebih spesifik terhadap lignin. MnP
diketahui memiliki kemampuan mengoksidasi baik komponen fenolik maupun
non fenolik senyawa lignin.
Isolasi enzim dengan kolom kromatografi cair dari Pleurotus EA4 tidak
didapatkan pita-pita yang menunjukkan keberadaan MnP. Hal ini menunjukkan
bahwa Pleurotus EA4 tidak menghasilkan enzim MnP. SDS-PAGE hasil
kromatografi kolom penukar ion (DEAE-Sepharose) terhadap sampel pemekatan
216
40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9 diperoleh pita dengan bobot molekul
kira-kira 43 kDa, yang merupakan BM rata-rata MnP. Selanjutnya hasil
pemurnian dengan kolom gel kromatografi HiPrep 16/60 Sephacryl S-200
resolusi tinggi diperoleh peak pada fraksi ke 96. SDS PAGE hasil kromatografi
kolom gel terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9
diyakini bahwa Pleurotus EB9 menghasilkan MnP.
Data pemurnian MnP dari Pleurotus EB9 menunjukkan bahwa tingkat
pemurnian masih sangat rendah (3,8), sehingga perlu tahap pemurnian yang lebih
efektif. Aktivitas spesifik MnP yang diperoleh sekitar 4,133 U/mg protein.
Hasil identifikasi terhadap enam isolat asal Bogor yang diuji, satu isolat
diketahui adalah P. djamor EB9 (Pleurotus EB9) yang berwarna pink dan lima
isolat lainnya adalah H. petaloides yang terdiri atas H. petaloides EB14-2
(Pleurotus EB14-2) (cokelat-muda), H. petaloides EB24 (Pleurotus EB24)
(cokelat keabu-abuan), H. petaloides EA4 (Pleurotus EA4) (cokelat muda), H.
petaloides EAB7 (Pleurotus EAB7) (cokelat keabu-abuan), dan H. petaloides
EB6 (Pleurotus EB6) (cokelat keabu-abuan).
Isolat H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H.
petaloides EAB7, dan H. petaloides EB6 umumnya memiliki koloni kultur tipe
appresed dan downy, sedang isolat P. djamor EB9 menunjukkan tipe downy, tipe
velvety dan cottony dan P. ostreatus (HO) memiliki tipe koloni velvety, cottony
dan plumose.
Genus Pleurotus sp. dan genus Hohenbuehelia sp. mempunyai perbedaan
yaitu pada genus Hohenbuehelia mempunyai sistidia berdinding tebal (metuloid),
serta adanya lapisan gelatin pada tudungnya.
Berdasarkan karakter morfologis, P. djamor EB9 lebih dekat
kekerabatannya dengan P. ostreatus HO dibanding dengan H. petaloides.
Karakteristik morfologi ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, namun
setiap organisme tetap mempunyai sifat dasar yang memudahkan dalam
mengenalinya.
217
Saran
Dari hasil penelitian ini beberapa hal yang dapat disarankan untuk
penelitian lanjutan adalah meningkatkan kelembaban relatif (RH) dan mengurangi
kadar air substrat serta memperhatikan lingkungan fisik lainnya seperti gas,
cahaya, konsentrasi ion hidrogen, aerasi, serta lingkungan biologis seperti
interaksi dengan mikroorganisme lain karena mempengaruhi laju dekomposisi
bahan lignoselulosa oleh jamur.
Keseragaman bobot kering awal dan ukuran kayu, serta waktu inokulasi
oleh isolat jamur dan meratanya penempatan sampel di dalam botol disarankan
menjadi perhatian pada penelitian tingkat bidegradasi dan laju dekomposisi pada
bahan kayu. Isolat jamur sebaiknya ditumbuhkan pada media agar terlebih dahulu
baru kemudian dimasukkan bahan kayunya yang sudah diberi malt ekstrak.
Penelitian biodegradasi substrat pada jenis kayu lainnya disarankan dapat
menjadi topik penelitian dengan menganalisa polisakarida hasil kelarutan dalam
NaOH 1% dianjurkan untuk melihat jenis polisakarida apa yang terdegradasi
sehingga dapat diketahui enzim-enzim yang dihasilkannya.
Untuk melihat ekspresi enzim, sebaiknya kultur untuk induksi enzim
dilakukan di dalam bioreaktor yang memudahkan dalam pengambilan ekstrak
kasar, yang sebaiknya juga segera diuji aktivitasnya setelah dipanen atau disimpan
pada suhu -70 sampai -80(+1)oC.
Tingkat keberhasilan pemurnian (yield) MnP pada Pleurotus EB9 pada
penelitian ini masih sangat rendah, sehingga diharapkan pada masa yang akan
datang diperbaiki dengan tahap pemurnian yang lebih efektif, dengan optimasi
lingkungan seperti perlakuan media, aerasi atau suhu dan lama inkubasi. Aktivitas
lakase pada Pleurotus EB9 pada produksi skala besar cukup tinggi, sehingga
disarankan untuk diteliti lebih lanjut sampai pemurnian serta karakterisasinya.
Isolat yang berpotensi dalam penelitian ini dapat ditingkatkan potensinya dengan
cara-cara induksi ataupun mutasi atau dengan teknik biologi molekuler.
Identifikasi isolat kelompok Pleurotus tersebut disarankan juga dapat
dilakukan secara genetik seperti dengan cara RAPD dan untuk melihat regulasi
enzimatiknya.
218
Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat yang paling baik untuk agens
biopulping dan biobleaching adalah Pleurotus EB9 pada fase vegetatif. Oleh
karena itu isolat ini dapat diteliti kemungkinan penerapannya dalam proses
biopulping dan biobleaching pada bahan-bahan lignoselulosa dan untuk produksi
enzim MnP dan lakase.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi AL. 1987. Biologi Ganoderma boninense Pat. Pada Kelapa Sawit (Elaesis guinensis Jacq.) dan Pengaruh Beberapa Mikroba Tanah Antagonistik terhadap Pertumbuhan [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Abadulla E, Tzanov T, Costa S, Robra KH, Cavoca-Paulo A, Gubitz GM. 2000.
Decoloration and Detoxification of Textile Dyes with a Laccase from Trametes hirsute. J App Environ Microbiol 66: 3357-3362.
Abdurahim M et al. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid III. Bogor: Badan
penelitian dan Pengembangan Hutan. Achmadi SS. 1988. Diktat Kimia Kayu. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut
Pertanian Bogor. Ahn MY, Dec J, Kim JE, Bollog JM. 2002. Treatment of 2,4-diclhorophenol
Polluted Soil With Free and Immobilized Laccase. J Environ Qual 31:1509-1515.
Albertó E, Fazio A, Wright JE. 1998. Reevaluation of Hohenbuehelia nigra and
species with close affinities. Mycologia 90 (1):142–150. Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology, Ed ke-4.
New York: John Wiley and Sons, Inc. Allison WH, Kneebone LR. 1962. Influence of compost pH and casing soil pH
on mushroom production. Mush Sci 5:81-89 Anonim. 2006. Laccase. http://www.chem.ox.ac.uk/icl/faagroup/laccase.html
[April 2006]. Artiningsih T, Simbolon H, Suhirman, Osaki M. 2000. Diversity of
Aphyllophorales fungi isolated from Tanjung Puting National Park, Central Kalimantan and its Potentiality for Lignin Decompotion. Berita Biologi 5:313-322.
Asada Y, Watanabe A, Ohtsu Y, Kuwahara M. 1995. Purification and
Characterization of an Aryl-alcohol Oxidase from The Lignin-degrading Basidiomycete Phanerochaete chrysosporium. Biosci Biotechnol Biochem 59:1339-1341.
Bailey JE, Ollis DF. 1988. Dasar-dasar Rekayasa Biokimia (Terjemahan).
Bogor: Pusat Antar Universitas, IPB.
220
Basuki T. 1994. Biopulping, Biobleaching dan Biodegradasi Limbah Industri Pulp dan Kertas oleh Jamur Basidiomycetes Phanerochaete chrysosporium [Laporan Penelitian]. Bandung: Pusat Antar Universitas, ITB.
Becker HG, Sinitsyn AP. 1993. Mn-peroxidase from Pleurotus ostreatus: the
action on lignin. Biotechnol Lett 15:289-294. Bels-Koning HD. 1962. Preliminary note on the analysis of the composting
process. Mush Sci 5: 30-37. Bourbonnais R, Paice MG. 1990. Oxidation of Non-phenolic Substrates. An
Expanded Role for Laccase in Lignin Biodegradation. FEBS Lett 267: 99-102.
Bourbonnais R, Paice MG. 1992. Demethylation and Delignification of Kraft
Pulp by Trametes versicolor Laccase in the Presence of 2,2’-azinobis (3-ethylbenzthiazoline-6-sulphonate). J Appl Microbiol Biotechnol 36: 823-827.
Brown DEG. 1981. Trial Field Key to the Pleurotoid Species. Di dalam: Gibson
I, editor. The Northwest Prepared for the Pacific Northwest Key. Spokane Mushroom Club. Pasific Northwest Key Council.
Brown JA, Glenn JK, Gold MH. 1990. Manganese Regulates Expression of
Manganese Peroxidase by Phanerochaete chrysosporium. J Bacteriol 6: 3125-3130.
Bumpus JA, Tien M, Wright D, Aust SD. 1985. Oxidation of Persistent
Environmental Pollutans by a White-rot Fungus. Science 228:1434-1436. Buswell JA et al. 1996. Lignocellulolytic enzyme profiles of edible mushroom
fungi. World J of Mycrobiol and Biotechnol 12:537-542. Camarero S, Böckle B, Martínez MJ, Martínez AT. 1996. Manganese-mediated
lignin degradation by Pleurotus pulmonarius. Appl Environ Microbiol 62:1070-1072
Campbell NA, Jane BR, Lawrence GM. 2002. Biologi. Ed ke-5. Lestari R,
penerjemah: Safitri A, Simarmata L, Hardani HW, editor. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Carlile MJ, Watkinson SC, Goodway GW. 2001. The Fungi. London: Academic
Press. Casey JP. 1980. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. Vol ke-1
Ed ke-3. New York: Wiley Interscience Publisher Inc.
221
Cavallazzi JRP, Oliveira MGA, Kasuya MC.M. 2004. Laccase Production by Lepista sordida. Brazilian J Microbiol 35: 261-263.
Chang ST, Hayes WA, editor. 1978. The Biology and Cultivation of Edible
Mushrooms. New York: Academic Press. Chang ST, Miles PG. 1989. Edible Mushrooms and Their Cultivation. Boca
Raton: CRC Press, Inc. Chang ST, Quimio TH, editor. 1982. Tropical Mushrooms Biological Nature
and Cultivation Methods. Hong Kong: The Chinese University Press of Hong Kong.
Corner EJH. 1981. The Agaric Genera Lentinus, Panus and Pleurotus with
Particular Reference to Malaysian Species. Beihefte zur Nova Hedwigia Heft 69.
Corner EJH. 1994. On the Agaric Genera Hohenbuehelia and Oudemansiella
part I. Hohenbuehelia. Gardens’ Bul Singapura 46 (1):1-47/50-75. Cullen D, Kersten P. 1992. Fungal enzymes for lignocellulose degradation. Di
dalam: Kinghorn JR, Turner G, editor. Applied Molecular Genetics of Filamentous Fungi. London: Chapman and Hall. hlm 100-103.
Cullen D, Kersten P. 1996. Enzymology and Molecular Biology of Lignin
Degradation. The Mycota III Biochemistry and Molecular Biology BrambI/Marzluf, editor. Springer-Verlug Berlin Heidelberg. hlm 295-306.
Daneault C, Leduc C, Valade JL. 1994. The Use of Xylanases in Kraft Pulp
Bleaching [ulasan]. TAPPI J 77: 125-131 Daru TP. 1999. Kandungan Komponen Serat Ampas Tebu Hasil Fermentasi
Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus L.). Buletin Budidaya Pertanian 5 (1-2): 52 – 58.
Dennis RWG. 1953. Some Pleurotoid Fungi From The West Indies. Kew Bull ( )
31-45. Desjardin DE. 1999. Spring Fungi of The Sierra Nevada. San Fransisco State
University. Dharmaputra, O.S., Gunawan, A.W., Nampiah. 1989. Mikologi Dasar, Penuntun
Praktikum. Bogor: Depdikbud, Ditjen Dikti, PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor.
Dix NJ, Webster J. 1995. Fungal Ecology. Chambridge: Chapman and Hall.
222
Djarijah NM, Djarijah AS. 2001. Jamur Tiram Pembibitan, Pemeliharaan dan Pengendalian Hama-Penyakit. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Eaton RA, Hale MDC. 1993. Wood Decay, Pests and Protection. London:
Chapman and Hall. Eggert C, Temp U, Eriksson KE. 1996. The Ligninolytic System of the White-
rot Fungus Pycroporus cinnabarinus: Purification and Characterization of the Laccase. J Appl Environ Microbiol 62: 1151-1158.
Enari TM. 1983. Microbial cellulases. Di dalam: Forgaty WM, editor. Microbial
Enzymes and Biotechnology. New York: Applied Science Publisher. Eriksson KE, Blanchette RA, Ander P. 1990. Microbial and Enzymatic
Degradation of Wood and Wood Components. Heidelberg: Springer-Verlag.
Fengel D, Wegener G. 1984. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi.
Sastrohamidjojo H, penerjemah; Prawirohatmodjo S, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions.
Flegg PB. 1953. Pore space and related properties of casing materials. Mush Sci
2: 149-161. Gardner DE. 1996. Acacia koa: A Review of its Disease and Associated Fungi.
Honolulu. Hawai. http://www.botany.hawaii.edu/.../koa Gerraway MO, Evant RC. 1984. Fungal Nutrition and Physiology. New York:
John Wiley and sons. Gold MH, Alic M. 1993. Moleculer Biology of the Lignin-degrading
Basidiomycete Phanerochaete chrysosporium. Mycrobiol Rev 57: 605-622.
Griffin D. 1994. Fungal Physiology. New York: John Wiley and Sons. Grist DH. 1965. Rice. Ed ke-3. London: Lowe and Boydine LTD. Guillén F, Martínez MJ, Martínez AT. 1996. Di dalam: Messner K, Srebotnik E,
editor. Biotechnology in the Pulp and Paper Industry: Recent Advances in Applied and Fundamental Research. Facultas-Universitätsverlag. Vienna. hlm. 389-392.
Gunawan AW. 1997. Status Penelitian Biologi dan Budi Daya Jamur di Indonesia.
J Hayati 12:80-84.
Gunawan AW. 2000. Usaha Pembibitan Jamur. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.
223
Hadar Y, Kerem Z, Gorodecki B. 1993. Biodegradation of Lignocellulotic Agricultural Wastes by Pleurotus ostreatus. J Biotechnol 30:133-139.
Hadi S. 1999. Ekofiologi Fungi. Patologi Hutan dan Perkembangannya di
Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Hammel KE et al. 1993. Ligninolysis by a Purified Lignin Peroxidase. J of Biol
Chem 268(17): 12274-12281. Han MJ, Choi HT, Song HG. 2004. Degradation of Phenanthrene by Trametes
versicolor and Its Laccase. J Microbiol 42: 94-98. Harismah K. 2002. Daun Jambu Biji Untuk Sariawan.
Http://www.suaramerdeka.com/harian/0206/15/ragam [20 Agustus 2004]. Hasibuan S. 2007. Identifikasi Karakteristik Organisasi Yang Mempengaruhi
Upaya Implementasi Produksi Bersih :Studi Kasus Pada Industri Pulp Dan Kertas [Thesis Magister]. Bandung: Teknik Dan Manajemen Industri Bidang Khusus Manajemen Industri, Institut Teknologi Bandung.
Hatakka A. 1994. Lignin Modifying Enzyme from Selected White-rot Fungi:
Production and Role in Lignin Degradation. FEMS Microbiol Rev 13: 125-135.
Haygreen JG, Bowyer JL. 1993. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar.
Hadikusumo SA, penerjemah: Prawirohatmodjo S, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Forest Products And Wood Science, An Introduction.
Hedger J. 1985. Tropical agarics, resource relations and fruiting peridicity. Di
dalam: Moore D, Cassetton LA, Wood DA, Frankland JC, editor. Developmental biology of higher plants. Cambridge: Cambridge University Press. hlm 41-86.
Heinzkill M, Messner K. 1997. The Ligninolytic System of Fungi. Di dalam:
Anke T, editor. Fungal Biotechnology. Weinheim: Chapman and Hall. hlm 213-223.
Heinzkill M, Bech L, Halkier T, Schneider P, Anke T. 1998. Characterization of
Laccase and Peroxidase from Wood-Rotting Fungi (Family Coprinaceae). J Appl Environ Microbiol 64: 1601-1606.
Herliyana EN. 1997. Potensi Schizophyllum commune dan Phanerochaete
chrysosporium umtuk Pemutihan Pulp Kayu Acacia mangium dan Pinus merkusii [Thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
224
Herliyana EN. 2004. Studi Fisiologis Fungi Tiram Pleurotus spp. Yang Berbeda Secara Genetik. Bogor: Proyek Pengembangan Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Higley TI, Kirk TK. 1979. Mechanisms of Wood Decay and The Unique
Features of Heart-rots. Symposium on Wood Decay J 69: 1151-1157. Higley TL, Dashek WV. 1998. Biotechnology in the Study of Brown- and
White-rot Decay. Di dalam: Bruce A, Palfreyman JW, editor. Forest Products Biotechnology. London: Taylor and Francis Ltd. hlm 15-36.
Ho C, Jurasec L, Paice MG. 1990. The Effect of Inoculum on Hardwood Kraft
Pulp with Coriolus versicolor. J Pulp and Paper Sci 16:J78-J82. Houston DF, Kohler GO. 1970. Nutritional Properties of Rice. Washington DC:
National Academy of Science. Howard L, Abotsi L, Jansen van Rensburg E, Howard S. 2003. Lignocellulose
Biotechnology: Issues of Bioconversion and Enzyme Production. African J Biotechnol 2(12): 602-619
Jurasek LC, Paice MG. 1990. The Effect of Inoculum on Bleaching of
Hardwood Kraft Pulp with Coriolus versicolor. J Pulp and Paper Sci 16:78-82.
Kartika L, Yustina MPD, Gunawan AW. 1995. Campuran serbuk gergaji kayu
sengon dan tongkol jagung sebagai media budidaya jamur tiram putih. Hayati Jurnal Biosains 2(1): 23-27.
Katagiri N, Tsutsumi Y, Nishida T. 1995. Correlation of Brightening with
Cumulative Enzyme Activity Related to Lignin Biodegradation During Biobleaching of Kraft Pulp by White-rot Fungi in the Solid-state Fermentation System. J App Environ Microbiol 61:617-622.
Kerem Z, Friesem D, Hadar Y. 1992. Lignocellulose Degradation During Solid
State Fermentation Pleurotus ostreatus versus Phanerochaete chrysosporium. Appl Environ Microbiol 4:1121-1127.
Kerem Z, Hadar Y. 1998. Lignin-degrading Fungi. Mechanisms and Utilization.
Di dalam: Altman A, editor. Agricultural Biotechnology. New York: Marcel Dekker. hlm 351-365.
Kirk TK, Schultz E, Connors WJ, Lorenz LF, Zeikus JG. 1978. Influence of
Culture Parameters on Lignin Metabolism by Phanerochaete chrysosporium. Arch Microbiol 32:131.
225
Kirk TK, Higuchi T, Chang H. 1980. Lignin Biodegradation: Microbiology, Chemistry and Potential Applications (1). Florida: CRC Press, Inc. hlm 61-72.
Kirk TK, Cowling EB. 1984. Biological decomposition of solid wood. Di
dalam: Rowell RM, editor. The Chemistry of Solid Wood. Washington DC: American Chemical Society. hlm 455-487.
Kirk TK, Farrel RL. 1987. Enzymatic “Combustion”: The Microbial
Degradation of Lignin. Ann. Rev Microbiol 41: 465-565. Kirk TK, Chang HM. 1990. Biotechnology in Pulp and Paper Manufacture.
New York: Butterworth-Heinemann. Kollman FFP. 1968. Principle of Wood Science and Technology. Berlin: Solid
Wood vol 1. Kushendrarini P. 2003. Analisis Budidaya untuk Peningkatan Produksi Jamur
Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) [Thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
[LR] Landcare Research. 2004. Pleurotus spp. in Research.
http://nzfungi.landcareresearch.co.nz. [2 Oktober 2006] Largent DL. 1973. How to Identify Mushrooms to Genus I: Macroscopic
Features. California: Mad River Press, Inc. Largent DL, Baroni TJ. 1988. How to Identify Mushrooms to Genus VI: Modern
Genera. California: Mad River Press, Inc. Leatham GF, Crawford RL, Kirk TK. 1983. Degradation of Phenolic
Compounds and Ring Cleavage of Catechol by Phanerochaete chrysosporium. J Appl Environ Microbiol 46:191-197.
Lowry OH, Rosebrough NJ, Farr AL, Randal RJ. 1951. Protein measurement
with the folin phenol reagent. J Biol Chem 193: 265-275. Madan M, Vasudevan P, Sarma S. 1987. Cultivation of Pleurotus sajor-saju on
Different Wastes. J Biological Wastes 22: 241-250. Malik J, Santoso A, Rachman O. 2007. Sari hasil Penelitian Mangium (Acasia
mangium Wild). Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Martínez MJ, Ruiz-Dueñas FJ, Guillén F, Martínez AT. 1996. Purification and
Catalytic Properties of Two Manganese-peroxidase Isoenzymes from Pleurotus eringii. Eur J Biochem 237: 424-432.
226
Meulenhoff IWM, Sofyan K, Achmadi SS. 1977. Penuntun Praktikum Kimia Kayu. Bogor; Fakultas Kehutanan, IPB.
Moncalvo J et al. 2002. One hundred and seventeen clades of euagarics. Moll
Phylogen and Evol 23: 357-400. Moore E, Landecker E. 1996. Fundamentals of The Fungi. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc. Moriya H et al. 2001. Yak1p,aDYRK family kinase, translocates to the nucleus
and phosphorylates yeast Pop2p in response to a glucose signal. Genes Dev 15:1217-1228.
Muladi S, Kusuma IW, Korsadchia O, Patt R. 2000. The Elementary Chlorine
Free Bleaching (ECF) of Some Indonesian Timber Estate Wood Species. Di dalam: Shimada M et al., editor. Sustainable Utilization of Forest Products: Socio-Economical and Ecological Management of Tropical Forests. Proceedings of the Third International Wood Science Symposium. Kyoto. hlm 335-340.
Muñoz C, Guillén F, Martínez AT, Martínez MJ. 1997. Laccase isoenzymes of
Pleurotus eringii: Characterization, Catalityc Properties, and Participation in Activation of Molecular Oxygen and Mn2+ Oxidation. J Appl Environ Microbiol 63(6): 2166-2174.
Nicholas DD. 1987. Kemunduran (Deteriorasi) Kayu dan Pencegahannya dengan
Perlakukan-perlakuan Pengawetan. Yoedodibroto H, penerjemah. Surabaya: Airlangga Univ Press.
Nobles MK. 1948. Studies in Forest Pathology VI. Identification of Cultures of
Wood Rotting Fungi. Can J of Res 26:281-414. Nurhayati T. 1988. Analisis Kimia 75 Jenis Kayu dari Beberapa Lokasi di
Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5(10):6-11. Oei P. 2003. Mushroom Cultivation, Appropriate Technology for Mushroom
Growers. Leiden, Netherlands: Backhuys Publishers. Olson JS. 1963. Energy Storage and the Balance of Producer and Decomposers
in Ecological Systems. Ecology 44: 322-331. Oriaran TP, Labosky PJr, Blankenhorn PR. 1990. Kraft Pulp and Papermaking
Properties of Phanerochaete chrysosporium Degraded Aspen. TAPPI J 7:147-152.
Paice MG, Jurasek L, Ho C, Bourbannais R, Archibald F. 1989. Direct
Biological Bleaching of Hardwood Kraft Pulp with The Fungus Coriolus versicolor. TAPPI J 72: 217-221.
227
Palonen H. 2004. Role of Lignin in the Enzymatic Hydrolysis of Lignocellulose. VTT Biotechnology. hlm11-16.
Pandit IKN, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu Sebagai
Bahan Baku. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Pegler DN. 1983. The genus Lentinus. Kew Bull Addit Ser 10: 281 hlm. Pegler DN. 1987. A revision of the Agaricales of Cuba 2. Spesies described by
Earle and Murrill. Kew Bull 42:585 hlm. Peláez F, Martínez MJ, Martínez AT. 1995. Screening of 68 Spesies of
Basidiomycetes for Enzymes Involved in Lignin Degradation. Mycol Res 99: 37-42.
Perez J, Jeffries TW. 1992. Role of Manganese and Organic Acid Chelators in
Regulating Lignin Degradation and Biosynthesis of Peroxidases by P. chrysosporium. J Appl Environ Microbiol 58:2402-2409.
Pickard MA, Vandetrol H, Ramon R, vazquez-Duhalt R. 1999. High Production
of Ligninolitic Enzymes from White-rot Fungi in Cereal Bran Liquid Medium. Can J Microbiol 45:627-631.
Priyadi TU, Akhmadi. 2000. Teknik Budidaya Jamur Kayu. Disampaikan pada
Pelatihan Budidaya Jamur Kayu, Mbrio Food Laboratory dan Pusbangtepa LPM IPB, 3-4 November.
Quimio TH. 1985. Physiological consideration of Auricularia spp.. Di dalam:
Chang ST, Quimio TH, editor. Tropical Mushrooms Biological Nature and Cultivation Methods. Hong Kong: The Chinese University Press of Hong Kong.
Rayner ADM, Boddy L. 1988. Fungal Decomposition of Wood: Its Biology and
Ecology. Chichester: John Wiley and Sons. Reid ID, Paice MG, Ho C, Jurasek L. 1990. Biological Bleaching of Softwood
Kraft Pulp with the Fungus Trametes (Coriolus) versicolor. TAPPI J 8:149-153.
Rini DS. 2002. Minimasi Limbah dalam Industri Pulp dan Paper. Jakarta:
Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah. Royse DJ. 2000. Cultivation of Oyster Mushroom. Penn State College of
Agricultural Sciences. The Pennsylvania State University. www.cas.psu.edu
228
Sarajar CG. 1975. Penuntun Praktikum Anatomi Kayu. Bogor: Fakultas Kehutanan, IPB. 49 hlm.
Sarkar S, Martínez AT, Martínez MJ. 1997. Biochemical and Moleculler
Characterization of a Manganese Peroxidase Isoenzyme from Pleurotus ostreatus. Biochimica et Biophysica Acta 1339:23-30.
Segedin BP, Buchanan PK, Wilkie JP. 1995. Studies in the Agaricales of New
Zealand 4 new species, new records and renamed species of Pleurotus (Pleurotaceae). Austral Syst Bot 8:453-482.
Slayter EM, Slayter HS. 1992. Light and Electron Microscopy. Cambridge
University Press. Srinivasan C, D’Souza T, Boominathan K, Reddy CA. 1995. Demonstration of
Laccase in the White-rot Basidiomycete Phanerochaete chrysosporium BKM-F1767. J App Environ Microbiol 61:4274-4277.
[SPM] Staf Pengajar Mikroteknik. 2002. Penuntun Praktikum Mikroteknik.
Bogor: Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Sudiasto S. 2001. Diktat Pharmacognosy. Bogor: Jurusan Budidaya Pertanian,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sugipriatini D. 1998. Pengaruh Sumber Karbon terhadap Aktivitas Lignolitik
Ganoderma spp. [Skripsi]. Bogor: Departemen Biologi, FMIPA, IPB. Suprapti S. 1987. Pembudidayaan Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)
Dengan Media Limbah Kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 4(3):50-53. Suprapti S. 2000. Petunjuk Teknis Budidaya Jamur Tiram pada Media Serbuk
Gergaji. Bogor: Pusat Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan.
Tambunan E. 2006. RI Berpeluang Tingkatkan Ekspor Pulp dan Paper. Di
dalam Berita Indonesia, Selasa 31 Oktober 2006. Jakarta: Dinas perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Barat. http://www.disperindag-jabar.go.id/?pilih=lihat&id=1679 [2 Agustus 2007]
Tambunan B, Nandika D. 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. [Bahan
pengajaran]. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen Pendidikan Tinggi dan PAU Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
[TAPPI] Technical Association of The Pulp and Paper Industry. 1996. Metered
Size Press Forum, Proceeding of The Tappi 1996 Metered Size Press Forum. Atlanta: Tappi Press.
229
Thurston CF. 1994. The Structure and Function of Fungal Laccase. J Microbiol 140:19-26.
Tien M, Kirk TK. 1984. Lignin-degrading Enzyme from Phanerochaete
chrysosporium: Purification, Characterization, and Catalytic Properties of a Unique H2O2-requiring Oxygenase. Proc Natl Acad Sci USA 81:2280-2284.
Trotter DC. 1990. Biotechnology in The Pulp and Paper Industry: A Review.
Part 1. J TAPPI 4:198-204. Vares T, Kalsi M, Hatakka A. 1995. Lignin Peroksidases, Manganes
Peroksidases and Other Ligninolytic Enzymes Produced by Phlebia radiata during Solid-State Fermentation of Wheat Straw. J App Environ Microbiol 61(10): 3515-3520.
Wariishi H, Dunford HB, MacDonald ID, Gold MH. 1989. Manganese
Peroxidase from the Lignin-degrading Basidiomycete Phanerochaete chrysosporium: Transient-state Kinetics and Reaction Mechanism. J. Biol Chem 264: 3335-3340.
Watling R, Gregory NM. 1989. British Fungus Flora Agarics and Boleti 6
Crepidotaceae, Pleurotaceae and other pleurotoid agarics. Edinburgh: Royal Botanic Garden.
Wenzl HFJ. 1970. The Chemical Technology of Wood. New York: Academic
Press. Wibisana A. 2000. Mempelajari Penggunaan Ekstrak Tauge, Sorghum dan Kayu
Karet Sebagai Media Produksi Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus (Jacq. Ex Fr.) Kummer [Skripsi]. Bogor: Fateta IPB.
Widarmana S, Tambunan B, Padlinurjaji IM, Sarajar CG. 1984. Kini Menanam
Esok Memanen. Proceeding Lokakarya Pembangunan timber Estate. Bogor: Fahutan IPB.
Widiastuti H, Gunawan AW. 1991. Pemanfaatan limbah pabrik kertas sebagai
campuran medium dalam budi daya jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Di dalam: Darnaedi D et al., editor, Biologi Menunjang Ketahanan Bangsa Melalui Perbaikan Mutu Pangan, Kesehatan dan Lingkungan. Volume 1 Prosiding Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X 24-26 September 1991. Bogor: Perhimpunan Biologi Indonesia dan PAU Ilmu Hayat IPB.
230
Wilcox WW. 1987. Degradasi dalam Hubungannya dengan Struktur Kayu. Yoedodibroto H, penerjemah. Di dalam: Nicholas DD, editor. Kemunduran (Deteriorasi) Kayu dan Pencegahannya dengan Perlakuan-Perlakuan Pengawetan. Jilid I. New York: Syracuse University Press. hlm 131-173. Terjemahan dari: Wood Deterioration and Its Prevention by Presrvative Treatments. Volume I.
Witarto AB. 2000. Study on the Conformational Stability of Beta-propeller
Proteins [Ph.D. thesis]. Tokyo: Department of Biotechnology, Tokyo University of Agriculture and Technology.
Wulansari F. 2001. Pengaruh bekatul padi dan pollard Gandum pada Media
Tanam Terhadap hasil Panen tubuh Buah jamur Tiram putih (Pleurotus ostreatus) [Skripsi]. Bogor: Fateta IPB.
Yuliansyah et al. 2007. Pemutihan Pulp Secara Biologi dan Bebas Klor pada
Pulp Kayu HTI. Di dalam: Kumpulan Abstrak Makalah Seminar Nasional Mapeki (Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia) X, “Peningkatan Ekonomi Rakyat Melalui Pengembangan Teknologi Pengolahan Hasil Hutan”. Pontianak Kalbar 9-11 Agustus 2007. Pontianak. hlm C18.
LAMPIRAN
232
Lampiran 1. Bagan alir kerja dan lingkup penelitian
• Uji Degradasi Kayu 3 • Analisis Kimia Substrat
4 • Ekspresi dan Isolasi Enzim 5
Eksplorasi Jamur Pelapuk Kayu Kelompok Pleurotus Asal Bogor 1
Morfologi dan Identifikasi
Karakter Fisiologi 2
Potensi Ligninolitik
• Fisiologi dan ligninolitik
• Tubuh Buah
Makroskopis 6 Mikroskopis
• Kultur Miselium Makroskopis 6 Mikroskopis
Media Suhu pH AAG AAT Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon 2
Karakteristik Kelompok Pleurotus Lokal (Asal Bogor)
Informasi Ilmiah yang Menjadi Landasan Pengetahuan untuk Pemanfaatan Jamur Kelompok Pleurotus Sebagai Agens Biobleacing dan Biopulping
233
LINGKUP PENELITIAN
III. MORFOLOGI I. FISIOLOGI II. LIGNINOLITIK
A. KULTIVASI Media
suhu
pH
AAG, AAT
4
Fase Vegetatif
Fase Reproduktif
C. ANALISIS KIMIA
SUBSTRAT
B. UJI DEGRADASI
KAYU
Makros-kopis
Mikros-kopis
Tubuh buah
Kultur Miselium
Makros-kopis
Mikros-kopis
D. ISOLASI ENZIM
Produksi Enzim
Purifikasi Enzim Mnp
Efisiensi Biologi
Tingkat Degradasi
Pengamatan Mikroskopis
Selulosa
Hemiselulosa
Lignin
Zat Ekstraktif
KETERANGAN 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 adalah nomor Chapter Garis a = Tubuh buah hasil kultivasi diambil juga untuk data morfologi Garis b = Substrat dari hasil kultivasi kemudian dianalisis kimianya Garis c = Data hasil chapter 7 menjadi salah satu pertimbangan utama selain dari chapter lain dan terutama
dari produksi enzim dan uji aktivitas pada chapter 8
1 2
3
5 6
7
8
a b c
234
Lampiran 2 Rata-rata tingkat degradasi dan laju dekomposisi pada kayu bahan pulp oleh isolat kelompok Pleurotus
Jenis kayu
Jenis isolat
Lama Inkubasi (minggu)
Bobot kering awal (gram)
Bobot kering awal
konversi (gram)
Bobot kering akhir
(gram)
Bobot kering akhir
konversi (gram)
Tingkat Degradasi
(%) Laju dekomposisi
(mg/minggu)
k (laju dekomposisi) konversi
(mg/minggu)
Pinus Pleurotus EB14-2 2 1.77 1.50 1.75 1.49 0.92 4.61 4.61 4 1.62 1.50 1.57 1.45 3.19 8.10 8.10 6 1.31 1.50 1.26 1.45 3.64 6.19 6.19 8 1.45 1.50 1.43 1.48 1.38 1.73 1.73 Rata-rata 1.54 1.50 1.50 1.47 2.28 5.16 5.16 Pinus Pleurotus EB24 2 1.77 1.50 1.75 1.49 0.93 4.67 4.67 4 1.59 1.50 1.57 1.48 1.49 3.74 3.74 6 1.30 1.50 1.26 1.43 4.87 8.29 8.36 8 1.48 1.50 1.44 1.46 2.37 3.00 3.00 Rata-rata 1.53 1.50 1.51 1.46 2.41 4.93 4.94 Pinus Pleurotus EA4 2 1.30 1.50 1.28 1.48 1.13 5.71 5.71 4 1.06 1.50 1.03 1.45 3.24 8.25 8.25 6 1.27 1.50 1.20 1.41 5.86 10.07 10.07 8 1.39 1.50 1.35 1.46 2.52 3.19 3.19 Rata-rata 1.25 1.50 1.21 1.45 3.19 6.80 6.80 Pinus Pleurotus EAB7 2 1.30 1.50 1.28 1.49 1.00 5.01 5.01 4 1.06 1.50 1.03 1.47 2.32 5.87 5.87 6 1.45 1.50 1.39 1.44 4.24 7.23 7.23 8 1.25 1.50 1.22 1.47 1.91 2.42 2.42 Rata-rata 1.26 1.50 1.23 1.46 2.37 5.13 5.13 Pinus Pleurotus EB6 2 1.40 1.50 1.39 1.49 0.73 3.67 3.67 4 1.15 1.50 1.14 1.48 1.32 3.31 3.31 6 1.39 1.50 1.34 1.45 3.29 5.59 5.59 8 1.36 1.50 1.34 1.48 1.49 1.88 1.88 Rata-rata 1.32 1.50 1.30 1.47 1.71 3.61 3.61
235
Lampiran 29 (Lanjutan)
Jenis kayu
Jenis isolat
Lama Inkubasi (minggu)
Bobot kering awal (gram)
Bobot kering awal
konversi (gram)
Bobot kering akhir
(gram)
Bobot kering akhir
konversi (gram)
Tingkat Degradasi
(%)
Laju dekomposisi (mg/minggu)
k (laju dekomposisi) konversi
(mg/minggu)
Pinus Pleurotus EB9 2 1.09 1.50 1.08 1.48 1.33 6.71 6.72 4 1.16 1.50 1.01 1.31 12.75 29.98 34.13 6 1.12 1.50 0.67 0.90 40.12 56.07 86.25 8 1.25 1.50 1.23 1.48 1.59 2.01 2.01 Rata-rata 1.15 1.50 1.00 1.29 13.95 23.69 32.28 Pinus P. ostreatus HO 2 1.23 1.50 1.21 1.48 1.56 7.86 7.86 4 1.16 1.50 1.15 1.46 2.90 7.30 7.37 6 1.19 1.50 0.89 1.14 24.33 36.29 46.46 8 1.15 1.50 1.13 1.48 1.15 1.45 1.45 Rata-rata 1.18 1.50 1.10 1.39 7.48 13.23 15.79 Akasia Pleurotus EB14-2 2 1.80 1.50 1.76 1.47 2.32 11.74 11.74 4 1.47 1.50 1.39 1.42 5.22 13.41 13.41 6 1.61 1.50 1.55 1.44 3.97 6.76 6.76 8 1.78 1.50 1.75 1.47 2.02 2.55 2.55 Rata-rata 1.67 1.50 1.61 1.45 3.38 8.61 8.61 Akasia Pleurotus EB24 2 1.76 1.50 1.72 1.47 2.06 10.49 10.49 4 1.51 1.50 1.43 1.42 5.51 14.19 14.19 6 1.59 1.50 1.54 1.45 3.03 5.13 5.13 8 1.76 1.50 1.71 1.46 2.35 2.97 2.97 Rata-rata 1.65 1.50 1.60 1.45 3.24 8.20 8.20 Akasia Pleurotus EA4 2 1.74 1.50 1.70 1.47 2.30 11.63 11.63 4 1.57 1.50 1.46 1.39 7.51 19.55 19.55 6 1.36 1.50 1.33 1.47 2.27 3.83 3.83 8 1.43 1.50 1.38 1.45 3.35 4.26 4.26 Rata-rata 1.52 1.50 1.46 1.44 3.86 9.82 9.82
236
Lampiran 29 (Lanjutan)
Jenis kayu
Jenis isolat
Lama Inkubasi (minggu)
Bobot kering awal
(gram)
Bobot kering Awal konversi
(gram)
Bobot kering
Akhir (gram)
Bobot kering Akhir konversi
(gram)
Tingkat Degradasi
(%)
Laju dekomposisi (mg/minggu)
k (laju dekomposisi) konversi
(mg/minggu)
Akasia Pleurotus EAB7 2 1.74 1.50 1.72 1.48 1.26 6.32 6.32 4 1.47 1.50 1.37 1.40 6.55 16.96 16.96 6 1.23 1.50 1.19 1.45 3.22 5.47 5.47 8 1.21 1.50 1.19 1.47 1.95 2.47 2.47 Rata-rata 1.41 1.50 1.37 1.45 3.25 7.80 7.80 Akasia Pleurotus EB6 2 1.71 1.50 1.67 1.46 2.35 11.91 11.91 4 1.47 1.50 1.41 1.44 3.97 10.14 10.14 6 1.21 1.50 1.18 1.46 2.96 5.02 5.02 8 1.22 1.50 1.19 1.46 2.34 2.97 2.97 Rata-rata 1.40 1.50 1.36 1.46 2.91 7.51 7.51 Akasia Pleurotus EB9 2 1.99 1.50 1.98 1.49 0.35 1.76 1.76 4 1.72 1.50 1.51 1.32 12.20 32.93 32.93 6 1.96 1.50 1.20 0.93 38.07 53.66 80.41 8 1.94 1.50 1.92 1.49 0.93 1.17 1.17 Rata-rata 1.90 1.50 2.03 1.31 12.89 22.38 29.07 Akasia P. ostreatus HO 2 1.99 1.50 1.98 1.49 0.56 2.78 2.78 4 2.01 1.50 1.93 1.44 3.93 10.02 10.02 6 1.74 1.50 1.20 1.02 31.78 45.85 64.26 8 1.85 1.50 1.82 1.48 1.42 1.80 1.80 Rata-rata 1.90 1.50 2.00 1.36 9.42 15.11 19.71 Sengon Pleurotus EB9 2 2.00 1.50 1.67 1.25 16.57 90.66 90.66 4 1.39 1.50 1.12 1.20 19.67 54.78 54.78 6 2.00 1.50 1.51 1.13 24.67 47.23 47.23 8 1.79 1.50 1.39 1.18 21.62 30.68 30.68 Rata-rata 1.79 1.50 1.42 1.19 20.63 55.84 55.84 Sengon P. ostreatus HO 2 2.06 1.50 1.71 1.25 16.84 92.31 92.31 4 2.07 1.50 1.58 1.15 23.50 66.97 66.97 6 1.61 1.50 1.31 1.22 18.95 35.02 35.02 8 2.08 1.50 1.61 1.16 22.98 32.67 32.67 Rata-rata 1.96 1.50 1.55 1.19 20.57 56.74 56.74