ispa 2,3 fniss

Upload: as-rofy

Post on 19-Jul-2015

379 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pencahayaan 1.1 Ventilasi Menurut Sukar (2000), ventilasi adalah proses pergantian udara segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan. Berdasarkan kejadiannya ventilasi dibagi menjadi dua yaitu: a. Ventilasi alamiah Ventilasi alamiah berguna untuk mengalirkan udara di dalam ruangan yang terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu dan lubang angin.Selain itu ventilasi alamiah dapat juga menggerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai. b. Ventilasi buatan Ventilasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantaranya adalah kipas

angin,exhauster dan AC. Menurut Dinata (2007), syarat ventilasi yang baik adalah sebagai berikut:

9

10

1) Luas lubang ventilasi tetap minimal lima persen dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal lima persen dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan. 2) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu, dan lain-lain. 3) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat,dan lain-lain. Menurut Dinata (2007), secara umum penilaian ventilasi rumah dapat dilakukan dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan rollmeter. 1.2 Lantai Seperti diketahui bahwa lantai yang tidak kedap air dan tidak didukung ventilasi yang baik dapat menimbulkan peningkatan kelembaban dan kepengapan yang akan memudahkan penularan penyakit. Lantai tanah sebaiknya sudah tidak digunakan lagi karena tidak memenuhi syarat kesehatan antara lain: a. Tanah merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya bakteri dan vektor penyakit. b. Tanah yang lembab memungkinkan udara dalam ruangan lembab.

11

c. Bila lantai kering akan menimbulkan debu. d. Lantai tanah sulit dibersihkan. Dari keempat unsur di atas dapat menjadi faktor pendukung terjadinya ISPA (Depkes RI, 2001) Berdasarkan indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari sama dengan 10% dari luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah kurang dari 10% dari luas lantai rumah (Dinata 2007) 2. ISPA 2.1 Definisi Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran pernapasan Akut dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah mulai dari hidung hingga Alveoli beserta organ Adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Sedangkan Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (Alveoli). Terjadi pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada Bronkus masuknya kuman disebut Broncho pneumonia (Justin, 2007).

12

Istilah ISPA diadaptasi dari bahasa inggris Acute Respiratory Infection (ARI). Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh manusia dan berkembang biak. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah termasuk jaringan paru-paru dan organ adneksa saluran pernafasan. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti: sinus, ruang telinga bagian tengah dan selaput paru. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung selama 14 hari (Santoso, 2007). Berdasarkan pengertian di atas, maka ISPA adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Karna, 2006). 2.2 Etiologi ISPA Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lain. ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh Virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan mycoplasma. ISPA bagian bawah yang disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penangananya.

13

Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptcocus, Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain

(Anonim, 2002). 2.3 Cara penularan ISPA dapat terjadi karena transmisi organisme melalui AC (air conditioner), droplet dan melalui tangan yang dapat menjadi jalan masuk bagi virus. Penularan faringitis terjadi melalui droplet, kuman

menginfiltrasi lapisan epitel, jika epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi sehingga terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada sinusitis, saat terjadi ISPA melalui virus, hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat menghasilkan superinfeksi bakteri, sehingga dapat menyebabkan bakteri-bakteri patogen masuk ke dalam rongga-rongga sinus (WHO, 2008). 2.4 Klasifikasi ISPA ISPA terdiri dari sekelompok kondisi klinis dengan etiologi dan perjalanan klinis yang berbeda. Untuk memperjelas dan mempermudah pemahaman tentang ISPA, di klasifikasikan sebagai berikut: a. ISPA ringan

14

Seorang dinyatakan menderita ISPA ringan, jika ditemukan salah satu atau lebih dari tanda dan gejala yang meliputi: batuk, pilek, demam (dengan atau tanpa panas), dan suara serak. b. ISPA Sedang Seorang dinyataan ISPA sedang dijumpai tanda-tanda ISPA ringan disertai satu dan lebih tanda-tanda : 1) Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak berumur kurang dari satu tahun, atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu tahun atau lebih. Suhu lebih dari 390 C. 2) Tenggorokan berwarna merah 3) Timbul bercak bercak pada kulit menyerupai bercak campak. 4) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga. 5) Pernafasan bunyi seperti ngorok. 6) Pernafasan bunyi mencuit-cucit. c. ISPA Berat Tanda dan gejala ISPA yang berat meliputi ringan dan sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut : 1) Bibir atau kulit membiru. 2) Penarikan dada kedalam saat menarik nafas(tanda utama) pada bayi.

15

3) Nafas cepat dengan frekuensi lebih dari 60 kali pr menit atau adanya penarikan yang kuat dada sebelah bawah ke dalam pada bayi. 4) Stridor (pernafasan ngorok) dan anak tampak gelisah. 5) Anak tidak sadar atau kesadaran menuurun. 6) Tidak mampu atau tidak ada selera makan ( Depkes RI, 2002) 2.5 Tanda dan Gejala Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA (P2 ISPA) kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita, ditandai dengan adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya peningkatan frekwensi napas (napas cepat) sesuai golongan umur. Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua kelompok yaitu umur kurang dari 2 bulan dan umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun (Depkes RI,2002) Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran pernapasan disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (fast breathing) dimana frekwensi napas 60 kali permenit atau lebih, dan atau adanya tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing) (Depkes RI, 2002)

16

Bukan pneumonia apabila ditandai dengan napas cepat tetapi tidak disertai tarikan dinding dada ke dalam. Bukan pneumonia mencakup kelompok penderita dengan batuk pilek biasa yang tidak ditemukan adanya gejala peningkatan frekuwensi napas dan tidak ditemukan

tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (Depkes RI, 2002). 2.6 Tanda-tanda klinis: Tanda- tanda klinis ISPA adalah sebagai berikut: a. Pada system respiratorik adalah: tachypnea, nafas tidak teratur (apnea), retraksi dinding thorak, nafas cuping hidung, cyanosis, suara nafas lemah atau hilang, grunting expiratoir dan wheezing. b. Pada system cardial adalah: tachycardia, bradycardia, hypertensi, hypotensi dan cardiac arrest. c. Pada system cerebral adalah: gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, pupil bendung, kejang dan koma. d. 2.7 Pada hal umum adalah: letih dan berkeringat banyak.

Tanda-tanda laboratoris: a. b. c. Hypoxemia. Hypercapnia. Acidosis (metabolik dan atau respiratorik). d.Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk. Tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan

17

adalah: kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing, demam, dan dingin (Rasmaliah, 2004) 2.8 Faktor Resiko ISPA Menurut Soekidjo (2003) dalam bukunya menyebutkan bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan oleh HL. Blum, lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan, kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua, pelayanan kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap status kesehatan (Notoatmodjo,2005). Sedangkan menurut Blum yang dikutip oleh Sarwono (2004), menyatakan bahwa perilaku lebih besar peranya dalam menentukan pemanfaatan sarana kesehatan dibandingkan dengan penyediaan sarana kesehatan individu atau masyarakat. Pendapat L. Green (2001) yang dikutip oleh Sarwono (2004) menyatakan bahwa kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor diluar perilaku(non

perilaku). Faktor-faktor yang berperan dalam kejadian ISPA dapat berupa: a. Faktor Intrinsik 1) Umur dan jenis kelamin

Anak usia muda akan lebih sering menderita ISPA dari pada usia lanjut. Anak laki-laki lima kali lebih sering dari pada perempuan. Resiko

18

terkena penyakit ISPA lebih besar terjadi pada usia dibawah dua tahun. Karena status imunisasi dibawah usia dua tahun belum baik dan saluran pernafasan relatif sempit. 2) Status imunisasi Kegiatan imunisasi pada bayi diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, dimana beberapa penyakit itu mempunyai gejala yang mempunyai gejala yang menyerupai ISPA. 3) Status gizi Zat gizi atau nutrien adalah zat penting untuk aktifitas optimal fungsi fisiologis tubuh terutama sistem imun. Penyakit infeksi dan gangguan gizi sering memberatkan. 4) Pemberian vitamin A Pemberian vitamin A pada balita yang dilakukan 6 bulan sekali, dimaksudkan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. 5) Pemberian ASI Disamping sebagai nutrisi, ASI juga mengandung bahan-bahan anti infeksi atau bahan imunologik yaitu bahan yang penting dalam mencegah infeksi saluran pernafasan oleh bakteri taau virus. 6) Pendidikan terjadi secara bersamaan, dan keduanya saling

19

Umumnya tingkat pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap perilaku hidup sehat. 7) Penghasilan Tingkat penghasilan seseorang cukup berpengaruh terhadap sosial ekonomi, dan sosial ekonomi mempengaruhi perilaku terhadap kesehatan. b. Faktor ekstrinsik/lingkungan Faktor resiko ekstrinsik merupakan faktor yang ada diluar atau di sekeliling tubuh manusia. Pada kejadian ISPA, lingkungan rumah berpengaruh besar adalah: 1) Lubang asap dapur Berdasarkan keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah sehat, dapur yang sehat harus memiliki lubang asap dapur. Pembakaran yang terjadi di dapur rumah merupakan aktivitas manusia yang menjadi sumber peencemaran udara. Pengaruh terhadap kesehatan akan tampak apabila kadar zat pengotor meningkat sedemikian rupa sehingga timbul penyakit. Pengaruh zat kimia pertama-tama akan ditemukan pada system pernafasan dan kulit serta selaput lendir, selanjutnya apabila zat pencemar masuk ke peredaran darah, maka efek sistemik tidak dapat dihindari (Soemirat, 2000). Lubang asap dapur yang tidak memenuhi syarat menyebabkan:

20

a) Gangguan terhadap pernafasan dan mungkin dapat merusak alat-alat pernafasan b) Lingkungan rumah menjadi kotor c) Gangguan terhadap mata Dapur tanpa lubang asap relatif akan menimbulkan banyak polusi asap ke dalam rumah yang dapurnya menyatu dengan rumah dan kondisi ini akan berpengaruh terhadap kejadian pnemonia. 2) Letak dapur Ketersediaan ruangan khusus untuk memasak yang dipisahkan oleh sekat/dinding. Letak dapur sebaiknya terpisah dengan ruangan lain sehinga asap dapur tidak mencemari ruangan lain. Tata ruang dalam rumah biasa menjadi faktor kejadian ISPA pada balita. Salah satu diantara adalah letak dapur yang digunakan untuk aktivitas memasak keluarga dalam memenuhi kebutuhan makan setiap harinya. Peletakan dapur yang menjadi satu dengan rumah induk tanpa pemisah dapat menyebabkan polusi udara sap dapur menyebar ke dalam ruang rumah induk. Asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada dalam rumah bersama-sama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi (Depkes RI,2001).

21

3) Pencahayaan Pencahayaan dibutuhkan bukan untuk penerangan saja tetapi juga untuk mencegah penyakit. Pemenuhan kebutuhan sangat ditentukan oleh letak jendela. Oleh karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Seyogianya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 10% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan jendela diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk kedalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini, disamping sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya. 4) Langit - langit rumah Langit - langit rumah yaitu bagian dari rumah yang berada di bawah atap untuk menahan kotoran dari bagian atas rumah jatuh ke dalam ruangan. Sehingga keberadaan langit langit mampu mencegah terjadinya pencemaran udara dalam ruang ( indoor air polution). 5) Kepadatan hunian Mikroba tidak dapat bertahan lama di udara. Keberadaanya di udara tidak bebas dimungkinkan karena aliran udara tidak terlalu lancar. Oleh karena itu, mikoroba dapat berada di udara relatif lama. Dengan demikian kepadatan penghuni kemungkinan untuk memasuki tubuh semakin besar. Hal ini di bantu pula oleh taraf kepadatan penghuni ruangan, sehingga sebagian besar penularan penyakit infeksi lewat

22

udara ( Soemirat, 2000). Kepadatan hunian merupakan luas lantai dalam rumah di bagi jumlah anggota keluarga penghuni tersebut. Kepadatan penghuni dikategorikan menjadi standar ( 2 rang per 8m2 ) dan kepadatan tinggi yaitu lebih dari 2 orang per 8m2 dengan ketentuan anak kurang dari 1 tahun tidak diperhitungkan dan umur 1-10 tahun di hitung setengah. Semakin banyak penghuni rumah berkumpul dalam suatu ruangan kemungkinan mendapat resiko untuk terjadinya penularan penyakit akan lebih mudah, khususnya bayi yang relatif rentan terhadap penularan penyakit (Mukono, 2000). 6) Jenis bahan bakar Jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari seperti gas, minyak tanah, arang dan kayu bakar. Bahan bakar ini jika digunakan akan menghasilakan asap yang kapasitasnya berbeda satu sama lain. Kayu bakar paling banyak menghasilakan asap. Asap merupakan aerosol partikel yang terlarut dalam udara dengan kandungan unsur C, H, O dan mempunyai efek iritan. Sifat inilah yang mempercepat terjadinya ISPA (Soemirat, 2000). 7) Ventilasi Menurut Sukar (2000), ventilasi adalah proses pergantian udara segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan. Berdasarkan kejadiannya ventilasi dibagi menjadi dua yaitu:

23

a. Ventilasi alamiah Ventilasi alamiah berguna untuk mengalirkan udara di dalam ruangan yang terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu dan lubang angin.Selain itu ventilasi alamiah dapat juga menggerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai. b. Ventilasi buatan Ventilasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantaranya adalah kipas

angin,exhauster dan AC. Menurut Dinata (2007), syarat ventilasi yang baik adalah sebagai berikut: 1) Luas lubang ventilasi tetap minimal lima persen dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal lima persen dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan. 2) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu, dan lain-lain. 3) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat,dan lain-lain.

24

8) Jenis lantai Seperti diketahui bahwa lantai yang tidak kedap air dan tidak didukung ventilasi yang baik dapat menimbulkan peningkatan kelembaban dan kepengapan yang akan memudahkan penularan penyakit. Lantai tanah sebaiknya sudah tidak digunakan lagi karena tidak memenuhi syarat kesehatan antara lain: a) Tanah merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya bakteri dan vektor penyakit. b) Tanah yang lembab memungkinkan udara dalam ruangan lembab. c) Bila lantai kering akan menimbulkan debu. d) Lantai tanah sulit dibersihkan. Dari keempat unsur di atas dapat menjadi faktor pendukung terjadinya ISPA (Depkes RI, 2001) 9) Keberadaan Keluarga yang Merokok Polusi udara oleh CO terjadi selama merokok. Asap rokok mengandung CO dengan konsentrasi lebih dari 20.000 ppm selama dihisap. Konsentrasi tersebut terencerkan menjadi 400-500 ppm. Konsentrasi CO yang tinggi di dalam asap rokok yang terisap mengakibatkan kadar COHb di dalam darah meningkat. Selain berbahaya terhadap orang yang merokok, adanya asap rokok yang mengandung CO juga berbahaya bagi orang yang berada di sekitarnya karena asapnya dapat terisap.

25

Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar memberikan risiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok dilakukan oleh ibu bayi (Depkes RI, 2001). c. Faktor Perilaku Faktor perilaku merupakan kebiasaan sehari-hari yang dapat

mempengaruhi terjadinya penularan dan memperparah penyakit. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan adalah merupakan respon seseorang terhadap lingkungan kesehatan adalah merupakan respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh

pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku (Notoatmodjo, 2003). Faktor perilaku dalam pencegahan dan

penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya.

26

Peran aktif keluarga/masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit (Notoatmodjo, 2003) 2.9 Perawatan ISPA Menurut Benih (2008), untuk perawatan ISPA di rumah ada beberapa hal yang dapat dilakukan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA yaitu : a. Mengatasi panas (demam) Untuk anak usia dua bulan sampai lima tahun, demam dapat diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi di bawah dua bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan sehari empat kali setiap enam jam untuk waktu dua hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan.Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih dengan cara kain dicelupkan pada air (tidak perlu di tambah air es). b.Mengatasi batuk

27

Dianjurkan untuk memberikan obat batuk yang aman misalnya ramuan tradisional yaitu jeruk nipis setengah sendok teh dicampur dengan kecap atau madu setengah sendok teh dan diberikan tiga kali sehari. c. Pemberian makanan Dianjurkan memberikan makanan yang cukup gizi, sedikitsedikit tetapi berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebihlebih jika terjadi muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan. d. Pemberian minuman Diusahakan memberikan cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Hal ini akan membantu mengencerkan dahak, selain itu kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita. e. Lain-lain Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak yang demam. Membersihkan hidung pada saat pilek akan berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Diusahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama perawatan di rumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa

28

ke dokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan di atas diusahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama lima hari penuh dan setelah dua hari anak perlu dibawa kembali ke petugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang. 2.10 Definisi Balita Balita adalah anak-anak usia di bawah lima tahun, dibagi menjadi 2 kelompok usia yaitu 0-2 tahun dan usia anak-anak awal yaitu 2-5 tahun. Usia balita memiliki struktur organ yang masih imatur dibanding pada usia dewasa baik dari sistem imun, perubahan fisik maupun lainnya. Sistem yang masih imatur ini menjadikan balita menjadi rentan terhadap penyakit (Suratmadmaja, 2005). Menurut Tanuwidjaya dalam Narendra (2002), setiap anak akan melewati tahapan pertumbuhan dan perkembang sebagai berikut : a. Masa prenatal atau masa intrauterine (masa janin dalam

kandungan). Masa ini dibagi menjadi 2 periode : 1) Masa embrio ialah sejak konsepsi sampai umur kehamilan 8 minggu. Ovum yang telah terbuahi dengan cepat menjadi suatu organisme, terjadi diferensiasi yang berlangsung cepat, terbentuk sistem organ dalam tubuh.

29

2) Masa fetus ialah sejak umur 9 minggu sampai kelahiran. Masa ini terdiri dari dua periode : (a) Masa fetus dini, sejak usia 9 minggu sampai dengan trimester kedua kehidupan intrauterin, terjadi percepatan pertumbuhan, pembentukan jazad manusia sempurna dan alat tubuh telah terbentuk dan mulai berfungsi. (b) Masa fetus lanjut, pada trimester akhir pertumbuhan berlangsung pesat dan adanya perkembangan fungsifungsi. Pada masa ini terjadi transfer imunoglobulin G (IgG) dari darah ibu melalui plasenta. Akumulasi asam lemak essensial seri omega 3 (Docosa Hexanic Acid) omega 6 (Arachidocid acid) pada otak dan retina. b. Masa postnatal atau masa setelah lahir terdiri dari beberapa periode: 1) Masa neonatal (0-28 hari), terjadi terjadi adaptasi terhadap lingkungan dan perubahan sirkulasi darah, serta berfungsinya organ-organ tubuh. 2) Masa bayi, dibagi menjadi dua bagian : (a) Masa bayi dini (1-12 bulan), pertumbuhannya

yang pesat dan proses pematangan berlangsung secara kontinyu terutama meningkatnya fungsi sistem syaraf.

30

(b)

Masa

bayi

akhir

(1-2

tahun),

kecepatan

pertumbuhan mulai menurun dan terdapat kemajuan dalam perkembangan motorik dan fungsi ekskresi. Salah satu faktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam proses tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara pemeriksaan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan perkembangan kecerdasan, pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan gizi dan pendidikan kesehatan pada orang tua (Anonim, 2002). Kelompok yang paling rentan terkena ISPA adalah anak balita, usia 2 bulan-5 tahun. Diperlukan pengetahuan yang memadai agar orang tua bisa mengetahui dan menangani anaknya yang terkena ISPA sehingga tingkat kesembuhan anak bisa dicapai maksimal. Sebagian besar kematian balita di indonesia dipicu karena adanya ISPA bagian bawah atau pneumonia (Santoso,2007).

B. KERANGKA TEORI

31

Faktor intrisik a. Umur dan jenis kelamin b. Status imunisasi c. Status gizi d. Pemberian vit A e. Pemberian ASI f. pendidikan g. Penghasilan Faktor ekstrinsik a. b. c. d. e. f. g. h. Lubang asap dapur Letak dapur Pencahayaan Langit langit rumah Kepadatan hunian Jenis bahan bakar Jenis lantai Merokok ISPA

i. ventilasi Faktor perilaku

2.1 Kerangka teori

C. KERANGKA KONSEP

32

Variabel bebas Luas ventilasi dan luas lantai rumah

Variabel terikat

Kejadian

ISPA

Variable pengganggu Faktor Intrinsik a. Umur dan jenis kelamin b. Status imunisasi c. Status gizi d. Pemberian vit A e. Pemberian ASI f. Pendidikan g. Penghasilan Faktor ekstrinsik a. Lubang asap dapur Keterangan : : Diteliti : Tidak Diteliti 2.2 Kerangka Konsep b. Letak dapur c. Pencahayaan d. Langit langit rumah e. Kepadatan hunian f. Jenis bahan bakar g. Jenis lantai h. Merokok i. ventilasi D. Hipotesis Penelitian. Faktor perilaku

Ha : Ada hubungan perbandingan luas ventilasi dan luas lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita.

33

Ho : Tidak ada hubungan perbandingan luas ventilasi dan luas lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita.

BAB III METODE PENELITIAN

34

A.

Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik korelasional dengan

pendekatan case control. Analitik korelasional yaitu menggambarkan hubungan antara kedua variabel pada suatu situasi atau sekelompok subyek (Notoadmodjo, 2005). Dengan pendekatan case control yaitu observasi atau pengukuran terhadap variable bebas dan tergantung tidak dilakukan dalam satu waktu, melainkan variable tergantung (efek) dilakukan pengukuran terlebih dahulu, baru meruntut kebelakang untuk mengukur variable bebas (faktor resiko). Case control dilakukan dengan cara membandingkan dua kelompok yaitu kelompok kasus dan kontrol, kemudian ditelusuri secara retrospektif ada tidaknya faktor resiko yang berperan (Saryono, 2010) B. 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam suatu penelitian, penentuan sumber data dalam suatu penelitian sangat penting karena menentukan hasil penelitian (Saryono, 2010). Populasi pada penelitian ini adalah balita yang terkena ISPA pada tahun 2011 di wilayah Sruweng sebanyak 510. 2. Sampel 34 Puskesmas Populasi dan Sampel Penelitian

35

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2006). Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini dengan menggunakan rumus menurut Arikunto (2006) sebagai berikut:a) Jika populasi 100, maka sampel diambil 100%

b) Jika populasi berjumlah > 100, maka sampel diambil 10%- 15% atau 20%-25%. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan sampel adalah random sampling. Teknik random sampling adalah pengambilan sampel secara random atau secara acak. Semua individu dalam populasi baik secara sendiri-sendiri atau bersama- sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel ( Hadi, 2000) Berdasarkan batasan tersebut maka peneliti akan mengambil sampel sebesar 10% dari seluruh populasi yang berjumlah 510 balita, sehingga jumlah sampel dalam penelitian berjumlah 51 yang ISPA dan 51 yang tidak ISPA pada balita. 1. Kriteria Inklusi Anak usia balita (2 bulan-5 tahun). b. Menderita ISPA dan tidak menderita ISPA c. Diperiksakan ke puskesmas Sruweng d. Orang tua mau menjadi responden 2. Kriteria eksklusi :

.

36

a.

Terdapat

penyakit

lain

atau

keadaan yang mengganggu pengukuran maupun interpretasi hasil penelitian. b. kerja puskesmas sruweng. c. Responden menolak untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian. C. Tempat penelitian Tempat penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sruweng Kabupaten Kebumen. D. Variabel Penelitian Menurut Saryono (2010), variabel adalah ciri yang dimiliki anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain. Variabel dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel bebas (independen variable). Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau dianggap menentukan variabel terikat (Saryono,2010) Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah perbandingan luas ventilasi dan luas lantai rumah. 2. Variabel terikat (dependen variable) yaitu variabel yang di pengaruhi variabel bebas. variabel dependen di sebut juga kejadian, luaran, manfaat, efek atau dampak (Saryono,2010). dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sruweng, Kabupaten Kebumen. Pasien bukan berasal dari wilayah

37

E. Definisi Operasional Definisi Operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi/ pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Hidayat, 2008). Tabel 1.1 Definisi Operasional Variabel Definisi operasional Alat ukur Parameter Skala

Luas ventilasi Untuk mengetahui observasi dan luas lantai perbandingan luas rumah ventilasi dan luas lantai

Kejadian ISPA

Balita yang pernah Kuesioner didiagnosa oleh tenaga kesehatan

data Luas ventilasi Interval yang memenuhi syarat di rumah 10% dari luas lantai. Skor=1 Luas ventilasi di katakana tidak memenuhi syarat 10% dari luas lantai. Skor=0 Tingkat nominal kejadian ISPA diukur dengan

38

dimana keadaan balita mengalami ISPA, diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala sebagai berikut: batuk kering atau berdahak, pilek, ditenggorokan sakit pada saat menelan selama 3 bulan terakhir F. Instrumen penelitian

menggunakan pertanyaan berdasarkan jawaban responden mengenai kejadian ISPA. 1=ISPA. 2=Tidak ISPA.

Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data, agar pekerjaan lebih mudah dan hasilnya lebih baik dalam arti lebih lengkap, cermat, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah (Saryono, 2010). Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari responden dengan menggunakan tekhnik pengumpulan data berupa kuesioner dan observasi. Data sekunder didapat dari laporan bulanan program ISPA wilayah kerja Puskesmas Sruweng. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner bentuk tertutup, yaitu jawaban dalam kuesioner sudah ditentukan terlebih dahulu dan responden tidak diberi kesempatan memberikan jawaban lain (Notoatmodjo, 2002). Observasi untuk menentukan perbandingan luas ventilasi dan luas lantai di dalam rumah, peneliti melakukan observasi terhadap keadaan rumah. H. Data Yang Diperlukan

39

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer yaitu data secara langsung diambil dari obyek atau objek penelitian oleh penelitian perorangan maupun organisasi (Riwidikdo, 2008). Data primer penelitian ini yaitu ceklist observasi pengamatan langsung di lapangan tentang keadaan tempat tinggal balita di wilayah kerja puskesmas Sruweng, kabupaten kebumen. I. Teknik Analisa Data Pengambilan Data Dalam pengambilan data penulis mewawancarai ibu/keluarga balita di wilayah kerja puskesmas sruweng dengan kejadian ISPA. Analisis Data Pada penelitian ini analisis data yang dilakukan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Setelah semua data-data berhubungan dengan variabelvariabel yang ada dalam komponen variabel penelitian dikumpulkan. Kemudian dianalisis dengan langkah sebagai berikut yaitu : Analisis Univariat Pada analisis univariat data yang diperoleh dari hasil pengumpulan dapat disajikan bentuk tabel distribusi frekuensi, ukuran tendensi sentral atau grafik (Saryono, 2010). Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan dangan membuat tabel silang

.

(contingency) antara variabel bebas dan terikat yaitu untuk mengetahui

40

hubungan faktor pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita. Uji statistik yang digunakan Chi Square, dengan rumus :

Keterangan: X2 F0 Fh = Chi square = Frekuensi yang diperoleh dari hasil pengamatan sampel = Frekuensi yang diharapkan dalam sampel sebagai

pencerminan dari frekuensi yang diharapkan dari populasi. J. Teknik Pengolahan Data Pengolahan data merupakan proses yang sangat penting dalam penelitian. Oleh karena itu harus dilakukan dengan baik dan benar, Kegiatan dalam proses pengolahan data menurut Budiarto (2002), terdiri dari:1. Pemeriksaan Data (Editing)

Pemeriksaan data atau proses editing adalah memeriksa data yang telah dikumpulkan baik berupa daftar pertanyaan, kartu atau buku register. Yang dilakukan pada kegiatan memeriksa data adalah menjumlah dan melakukan koreksi.2. Pemberian Kode (Coding)

Untuk mempermudah pengolahan, sebaiknya semua variabel diberi kode terutama data klasifikasi. Pemberian kode dapat dilakukan sebelum dan

41

sesudah pengumpulan data dilaksanakan. Dalam pengolahan data selanjutnya, kode-kode tersebut dikembalikan lagi pada variabel aslinya. 3. Entry Data Memasukkan data yang telah diubah dan diberi kode dengan menggunakan fasilitas komputer.4. Penyusunan Data (Tabulasi)

Penyusunan data merupakan pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat dijumlah, disusun, dan ditata untuk disajikan dan dianalisa. K. Personal Yang Melakukan Personal yang melakukan penelitian adalah Tri Hartato NIM A1.0800483 Mahasiswa Semester VIII Program Studi SI Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong, Kabupaten Kebumen. L. Etika Penelitian Menurut Hidayat (2008), dalam melaksanakan penelitian khususnya jika yang menjadi subjek penelitian adalah manusia, maka penelitian harus memahami hak dasar manusia. Penelitian akan dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari institusi pendidikan kemudian mengajukan ijin kepada tempat penelitian dengan menekankan masalah prinsip dan etika meliputi :

42

1. Prinsip Manfaat a. Bebas dari penderitaan, artinya dalam penelitian ini tidak menggunakan tindakan yang menyakiti atau membuat responden menderita. b. Bebas dari eksploitasi, artinya data yang diperoleh tidak digunakan untuk hal-hal yang merugikan responden. 2. Prinsip Menghargai Hak a. Informed consent Sebelum dilakukan pengambilan data penelitian, calon responden diberi penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan, apabila calon responden bersedia untuk diteliti maka calon responden harus menandatangani lembar persetujuan tersebut, dan jika calon responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormatinya. b. Anonymity Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam pengolahan dan penelitian, peneliti akan menggunakan nomor atau kode responden. c. Confidientiality Informasi yang diberikan oleh responden serta semua data yang terkumpul dijamin kerahasiaanya oleh peneliti dengan cara lembar kuesioner disimpan/ dibakar.