bab 1 ,2,3 final

Upload: karissa-mayangsunda-philomela

Post on 11-Jul-2015

320 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Rumusan Masalah 1.1.1 Latar belakang

Transportasi merupakan salah satu aspek yang sangat krusial di wilayah perkotaan. Permasalahan transportasi dan teknik perencanaanya mengalami revolusi yang pesat sejak tahun 1980-an (Ofyar Z. Tamin,1997:1). Berdasarkan data pada tahun 1997, terjadi ketidakseimbangan antara jumlah angkutan umum dengan jumlah perjalanan orang yang harus dilayani. Hal ini berdampak pada semrawutnya arus lalu lintas dan kemacetan.

Kemacetan lalu lintas Kota Bandung telah menyebabkan kerugian yang sangat besar baik dalam segi produktivitas maupun pemborosan BBM. Bila dirupiahkan, bilangannya sudah mencapai 1,78 miliar rupiah /hari di Kota Bandung pada tahun 2007 (Ofyar Z. Tamin,2007). Angka ini diperkirakan akan terus meningkat jika kemacetan lalu lintas Kota Bandung tidak segera diatasi. Oleh karena itu, angkutan massal dengan kapasitas di atas duapuluh orang dengan menerapkan countra route arus balik sangat diperlukan. Kelebihan arus balik ini yaitu (1) tidak perlu mengubahpintu bus, (2) jalur bus tidak bisa dimasuki kendaraan lain, dan (3) tidak mengubah tata bangunan perhentian. Dengan meninjau hal-hal tersebut, Trans Metro Bandung sebagai langkah konkret pemerintah atas program angkutan massal seharusnya dapat menjawab permasalahan lalu lintas yang ada di

1

2

kota Bandung atau paling tidak daerah Jalan Soekarno Hatta yang menjadi target peluncuran Trans Metro Bandung. Namun, pada kenyataannya, peluncuran Trans Metro Bandung tersendat walau akhirnya dapat dioperasikan mulai tanggal 24 September 2009. Faktor penyebab penangguhan peluncuran ini ialah penolakan dari para sopir angkot, kebijakan pemeritah, serta proses tender dan pembangunan.

Setelah enam bulan pengoperasian, belum ada perubahan yang berarti pada lalu lintas Kota Bandung. Bahkan, dari target pendapatan uang tiket pada bulan pertama sebesar Rp 86 juta baru terpenuhi Rp 34 juta (http://www.koranjakarta.com/berita-detail-terkini.php?id=8608). Sementara masyarakat belum menunjukkan respon yang positif. Jika demikian, tujuan peluncuran Trans Metro Bandung untuk penataan kota dan mengatasi kemacetan dapat diprediksi tidak akan tercapai. Untuk itu, dibutuhkan suatu strategi yang dapat membenahi sistem yang tidak tepat pada pengoperasian Trans Metro Bandung sehingga dapat mencapai tujuan awal peluncuran Trans Metro Bandung. Dengan demikian, Trans Metro Bandung dapat diberdayakan sesuai dengan fungsinya.

1.1.2

Rumusan masalah

Bedasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah strategi apa yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi Trans Metro Bandung dalam mengatasi kemacetan Kota Bandung.

3

1.2 Ruang Lingkup kajian Untuk menjawab rumusan masalah di atas, akan penulis kaji hal-hal berikut. 1. Gambaran Umum Trans Metro Bandung2. Latar Belakang Peluncuran Trans Metro Bandung 3. Pendanaan dan Sistem Pengelolaan Trans Metro Bandung 4. Infrastruktur Penunjang Trans Metro Bandung 5. Kondisi Angkutan Kota di Sekitar Lokasi Pengoperasian Trans Metro

Bandung 6. Kondisi Masyarakat di Sekitar Lokasi Pengoperasian Trans Metro Bandung7. Penataan Trayek dan Pengkondisian Lokasi Pengoperasian Trans Metro

Bandung8. Rekayasa Sosial Masyarakat di Sekitar Lokasi Pengoperasian Trans Metro

Bandung 1.3 Tujuan Penulisan Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk menemukan strategi tepat untuk mengoptimalkan fungsi Trans Metro Bandung sesuai fungsinya.

1.4 Anggapan Dasar

4

Kondisi angkutan umum di Bandung cukup memprihatinkan. Itu terbukti dengan tingkat pelayanan rendah (jadwal tak pasti, kecepatan rendah, kedatangan tidak teratur), kurang manusiawi (berdesakan dan berdiri), daya angkut terbatas, tingkat kecelakaan relatif masih tinggi, dan pengelolaan buruk (KOMPAS: Jumat, 23 Januari 2009).

1.5 HipotesisBerdasarkan anggapan dasar yang diperoleh, penulis menurunkan suatu hipotesis bahwa jika Trans Metro Bandung pada kenyataannya memiliki tingkat pelayanan yang rendah (jadwal tak pasti, kecepatan rendah, kedatangan tidak teratur), kurang manusiawi (berdesakan dan berdiri), daya angkut terbatas, tingkat kecelakaan relatif masih tinggi, dan pengelolaan buruk, sistem transportasi ini dikatakan cukup memprihatinkan sehingga dibutuhkan strategi untuk mengoptimalisasinya.

1.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data 1.6.1 Metode Metode yang digunakan adalah deskriptif analitis karena penelitian ini bertujuan mendeskripsikan data yang diperoleh baik dari berbagai rujukan maupun dari lapangan kemudian dianalisis

1.6.2 Teknik pengumpulan data Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah: 1. studi kepustakaan 2. observasi lapangan

5

3. wawancara 4. penyebaran angket

1.7 Sistematika penulisan Penulisan laporan penelitian ini terbagi atas empat bab. Bab pertama pendahuluan berisi latar belakang dan rumusan masalah, ruang lingkup kajian, tujuan penulisan, anggapan dasar, metode dan teknik pengumpulan data, hipotesis, serta sistematika penulisan. Pada bab dua, teori dasar, akan penulis bahas definisi angkutan massal, jenis ,trayek, infrastrutur penunjang, pendanaan ,dan sistem pengelolaan angkutan massal. Pada bab tiga sebagai bab analisis akan penulis kaji gambaran umum Trans Metro Bandung, latar belakang peluncurannya, pendanaan dan sistem pengelolaannya, infrastruktur penunjangnya, sistem pengelolaannya, pengaruhnya terhadap transportasi di sekitarnya, kondisi masyarakat di sekitar lokasi pengoperasiannya, penataan trayek beserta pengondisian Lokasi

Pengoperasiannya, dan rekayasa sosial masyarakat di sekitar lokasi pengoperasian Trans Metro Bandung. Bab empat, bab terakhir merupakan simpulan dari hasil pembahasan. Pada bab ini dikemukakan juga saran-saran agar pengoperasian Trans Metro Bandung lebih baik dari sebelumnya.

6

BAB II TEORI DASAR ANGKUTAN MASSAL

2.1 Dasar Hukum dan Definisi Angkutan Massal UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Pasal 158 menyebutkan, (1) Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum di kawasan perkotaan. (2) Angkutan massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan: (a) mobil bus yang berkapasitas angkut massal; (b) lajur khusus; (c) trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek angkutan massal; (d) angkutan pengumpan. Yang dimaksud dengan "angkutan massal berbasis jalan" adalah sistem angkutan yang menggunakan bus dengan lajur khusus yang terproteksi sehingga memungkinkan peningkatan kapasitas angkut yang bersifat massal.

Mass Rapid Transit, juga disebut sebagai Angkutan massal, adalah layanan transportasi penumpang, biasanya dengan jangkauan lokal, yang tersedia bagi siapapun dengan membayar ongkos yang telah ditentukan. Angkutan ini biasanya beroperasi pada jalur khusus tetap atau jalur umum potensial yang terpisah dan

7

7

digunakan secara eksklusif, sesuai jadwal yang ditetapkan dengan rute atau lini yang didesain dengan perhentian-perhentian tertentu, walaupun Mass Rapid Transit dan trem terkadang juga beroperasi dalam lalu lintas yang beragam. Ini dirancang untuk memindahkan sejumlah besar orang dalam waktu yang bersamaan (Lloyd Wright,2003:2).

2.2 Jenis Angkutan Massal Angkutan massal dibagi atas tiga jenis, yaitu Bus Rapid Transit, Heavy Rail Transit dan Light Rail Transit. 2.2.1 Heavy Rail Transit Sistem heavy rail transit adalah sistem angkutan menggunakan kereta berkinerja tinggi, mobil rel bertenaga listrik yang beroperasi di jalur-jalur khusus eksklusif, biasanya tanpa persimpangan, dengan bangunan stasiun besar (TCRP, 1988).

2.2.2 Light Rail Transit Light Rail Transit (LRT) adalah sistem jalur kereta listrik metropolitan yang dikarakteristikkan atas kemampuannya menjalankan gerbong atau kereta pendek satu per satu sepanjang jalur-jalur khusus eksklusif pada lahan bertingkat, struktur menggantung, subway, atau biasanya di jalan, serta menaikkan dan menurunkan penumpang pada lintasan atau tempat parkir mobil (TCRP, 1998). Sistem LRT mencakup pula jalur-jalur trem, meskipun perbedaan utama adalah bahwa trem seringkali beroperasi tanpa jalur khusus eksklusif, dalam lalu lintas campuran.

8

2.2.3 Bus Rapid Transit Bus Rapid Transit adalah satu bentuk angkutan berorientasi pelanggan dan mengkombinasikan stasiun, kendaraan, perencanaan, dan elemen-elemen sistem transportasi pintar ke dalam sebuah sistem yang terpadu dan memiliki satu identitas unik. Ciri-ciri Bus Rapid Transit termasuk koridor busway pada jalur terpisah - sejajar atau dipisahkan secara bertingkat - dan teknologi bus yang dimodernisasi.

2.3 Keutamaan Strategis Sistem Transportasi Massal Kota-kota berkembang tengah mengalami lalu lintas yang sangat cepat memburuk dan kondisi lingkungan yang terkait. Sebagai langkah awal, diperlukan komitmen politis untuk memberikan prioritas terhadap moda transportasi yang efisien (berkendara, berjalan kaki, bersepeda). Pengalaman di kota-kota maju menunjukkan bahwa sistem MRT cenderung berdampak kecil terhadap pola penggunaan lahan. Ini yang menuntun banyak ahli untuk merekomendasikan bahwa sistem MRT yang adaptif dapat digunakan, dan bukannya mencoba untuk mempengaruhi pola penggunaan lahan, melainkan daripada mengadaptasi pola penggunaan lahan yang sudah ada.

Namun demikian, di banyak kota berkembang sepertinya pengaruh MRT terhadap penggunaan lahan semakin meningkat, karena kota-kota seperti itu seringkali menjalankan ekspansi ruang dengan pesat. Kecenderungan saat ini. Misalnya masyarakat yang berkendara menuju gerbang dan komplek perumahan bertaman

9

hijau di banyak kota di Asia Tenggara - seringkali menyukai bentuk kota yang tergantung pada mobil, namun sistem MRT berkualitas dapat membantu menghalangi kecenderungan semacam itu dengan cara mempertahankan pertumbuhan di sepanjang koridor utama dan di pusat-pusat kota.

Secara teoritis kita diberitahu bahwa kota-kota sebaiknya mengikuti pendekatan yang berimbang, menggunakan sistem MRT komplementer yang sesuai dengan keadaan setempat, pada prakteknya - khususnya di kotakota berkembang sekali sistem MRT dikembangkan, banyak pihak cenderung menjadi akrab dengan sistem tersebut, sementara jenis angkutan lain diabaikan. Kota-kota berkembang sering kekurangan kapasitas institusional untuk mengembangkan sistem ganda secara simultan. Ini terjadi di hampir semua kota-kota berkembang yang saat ini telah menjalankan sistem berbasis kereta, termasuk contohnya Kuala Lumpur, Bangkok, Kairo, Buenos Aires dan Manila. Di semua kota ini, angkutan bus sudah diabaikan.

2.4 Infrastrutur Penunjang Angkutan Massal Dalam mendukung pelaksanaan fungsinya, Mass rapid transit atau transportasi massal memerlukan beberapa infrastruktur penunjang, antara lain adalah sebagai berikut: 2.4.1 Jalur prioritas bus Jalur bus merupakan jalan raya atau jalan yang dikhususkan terutama untuk busbus, baik sepanjang hari maupun selama periode tertentu. Bisa digunakan oleh

10

kendaraan lain dalam kondisi tertentu, misalnya saat memutar, atau oleh taksi, sepeda atau ketika lalu lintas sangat padat. Jalur bus, yang digunakan secara luas di Eropa bahkan di kota-kota kecilnya sekalipun, semakin banyak diaplikasikan di kota-kota berkembang seperti Bangkok, dimana bus-bus yang berjalan pada jalur berkebalikan dapat bergerak dengan cepat melewati parahnya kemacetan.

2.4.2 Busway Busway merupakan jalan khusus bagi kendaraan yang didesain untuk digunakan secara eksklusif oleh bus-bus. Jalur ini bisa saja dibangun pada, di atas, atau di bawah tanah dan mungkin pada jalur khusus terpisah atau di dalam koridor jalan raya. Beberapa bentuk sistem busway adalah tampilan dari banyak sistem Bus Rapid Transit.

2.5 Keistimewaan Angkutan Massal 2.5.1 Penggunaan lahan Pertimbangan-pertimbangan efisiensi lahan yang serupa diterapkan pada seluruh moda MRT, walaupun pada prakteknya hanya berkembang sebagai isu kebijakan yang mempertimbangkan bus-bus dan beberapa versi LRT karena sistem kereta benar-benar sudah dipisahkan dari kendaraan lain. Seringkali BRT dan LRT mencakup pengalokasian ulang lahan jalan yang ada untuk moda-moda yang lebih efisien, sementara Metro biasanya benar-benar terpisah tingkatannya dan tak memiliki dampak terhadap kapasitas jalan, kecuali ditinggikan dalam kondisi dimana mungkin terdapat sedikit pengurangan kapasitas jalan.

11

2.5.2 Kecepatan dan kapasitas penumpang Seluruh bentuk MRT beroperasi dengan kecepatan dan kapasitas penumpang relatif tinggi, dan persyaratan mendasar sebuah MRT dalam satu kota berkembang adalah bahwa ia dapat membawa sejumlah besar penumpang, dengan cepat. Tempat dimana Metro diaplikasikan di kota-kota berkembang, seringkali selama ini merupakan jenis MRT tercepat, sementara sistem LRT dan BRT biasanya beroperasi pada kecepatan rata-rata antara 20 dan 30 km/jam.

2.5.3 Integrasi Seluruh sistem MRT memerlukan interchange (tempat berganti kendaraan) dengan elemenelemen sistem transportasi umum lain dan integrasi dengan modamoda sistem transportasi lain seperti mengendarai mobil, berjalan kaki dan bersepeda. Shanghai contohnya, menyediakan interchange yang sangat baik antara Metro/sepeda dan Metro/pejalan kaki serta Metro/Bus pada beberapa stasiun utama. Metro di Mexico City terintegrasi secara fisik dengan bandar udara internasional dan terminal bus utama. Sistem BRT di Kuritiba juga memiliki integrasi sangat baik dengan trotoar untuk pejalan kaki dan tempat parkir taksi. BRT di San Paolo terintegrasi dengan baik dengan sistem Metro. Integrasi buruk terlihat pada beberapa kereta bawah tanah yang menggunakan sistem MRT, misalnya di Kuala Lumpur dan Manila.

2.5.4 Tingkat pelayanan

12

Dibandingkan dengan jenis yang berbasis jalan tak terpisah seperti bus biasa, taksi dan paratransit, sistem MRT biasanya menawarkan layanan paling unggul. Keunggulan nyata layanan ini seperti:1. Terminal & interchange

2. Kebersihan 3. Citra pemasaran modern 4. Informasi penumpang 5. Pengendali suhu 6. Integrasi moda 7. Integrasi dengan atraksi perjalanan utama Dalam sejarahnya sistem berbasis kereta telah lebih baik dalam indikator tingkat layanan, walaupun keberhasilan Bus Rapid Transit saat ini bersaing dengan konsep-konsep tradisional.

2.6 Biaya Angkutan Massal 2.6.1 Biaya modal Biaya modal biasanya mencakup biaya-biaya perencanaan dan kosntruksi sebagaimana peralatan teknis dan modal berputar. Biaya-biaya modal tergantung pada perluasan pemisahan bertingkat dan jalur khusus, seperti halnya pada kondisi-kondisi khusus geologis dan harga-harga material bangunan dan buruh, namun juga perluasan untuk prosedur-prosedur dan lembaga-lembaga perencana. Allport (2000) menunjukkan bahwa efektivitas dari prosedur perencanaan memberikan kontribusi pada besarnya perkembangan biaya modal. Studi

13

mendapati bahwa sistem Metro yang serupa di negara-negara berkembang sangat jauh lebih mahal.

Tabel I memberikan penilaian kasar tentang faktor-faktor yang mempengaruhi biaya-biaya modal MRT berbasis kereta. Faktor-faktor dan pengaruhpengaruh serupa dapat diasumsikan untuk mengaplikasikan sistem BRT. Pengaruh Dominan Faktor - Pengelolaan/ pengorganisasian kualitas - Sistem baru, atau perluasan Besar progresif dari sistem yang ada - Kondisi tanah (konstruksi bawah tanah, dan pondasi untuk viaduk yang ditinggikan - kekuatan dan topografi kota (penyimpangan kegunaan, kedekatan ke bangunan, kemampuan untuk menghindari kemacetan, perlindungan terhadap gempa bumi) - Syarat-syarat desain dan keamanan - Biaya-biaya pendanaan Moderat - Kedalaman dan pengaturan air - Biaya lahan

14

- Kompetisi dalam pasokan alat Kecil dan pasar konstruksi - Pajak dan kewajiban - Keistimewaan sistem (kereta panjang, AC, akses khusus dll) Tabel I Pengaruh Beberapa Faktor Terhadap Pembiayaan

2.6.2 Biaya operasional Biaya operasional meliputi gaji, bensin dan perawatan baik kendaraan maupun nya. Jika membandingkan harga-harga biaya operasional antara jenis-jenis angkutan massal seperti itu (misalnya BRT dengan kereta), orang harus yakin bahwa perbandingan variabel-variabel penyerupaan sekarang tengah dibuat. Sistem BRT secara khusus menyusutkan biaya pembelian kendaraan di dalam kalkulasi biaya operasional, sementara sistem kereta terkadang mendata modal berputar sebagai biaya modal. Lebih jauh lagi, karena struktur biaya kereta yang tinggi, perawatan dan penggantian suku cadang tertentu kadang diberi modal juga. Untuk membuat perbandingan yang benar, perlu dibuat penyesuaian-penyesuaian untuk memastikan bahwa modal dan biaya operasional dikategorikan secara tepat. Sistem kereta pasti memiliki keuntungan operasional yang tampak dari sudut pandang biaya tenaga kerja, khususnya terkait dengan biaya pengemudi. Pelatih bus masing-masing memerlukan seorang pengemudi sementara beberapa pelatih kereta yang saling terhubung hanya membutuhkan satu pengemudi.

BAB III

15

ANALISIS STRATEGI PENGOPTIMALAN TRANS METRO BANDUNG DI WILAYAH KOTA BANDUNG

3.1 Gambaran Umum Trans Metro Bandung Trans Metro Bandung adalah Mass Rapid Transit yang beroperasi di sepanjang Jalan Soekarno-Hatta, Bandung. Sejak dilakukan uji coba pada Senin, 22

Desember 2008, sistem transportasi ini banyak menuai kritik dari kalangan masyarakat. Bahkan pada hari dilakukannya uji coba, sistem angkutan massa ini hanya bertahan beberapa jam saja karena tersendat oleh demo supir angkot yang tidak menerima jika TMB beroperasi di jalur yang sudah menjadi trayek mereka. Menurut data, terdapat sebelas jurusan angkot yang searah dengan jurusan TMB.

Berbeda sampai saat ini, jumlah Bus yang beroperasi yaitu sebanyak sepuluh unit dengan enam belas shelter yang ditempatkan di sepanjang jalur

pengoperasiannya. Ditinjau dari segi keoptimalannya, TMB sampai saat ini belum bisa menjawab persoalan masyarakat berupa kemacetan di jalan Soekarno Hatta sehingga bisa dikatakan sistem ini belum optimal.

3.2 Latar Belakang Peluncuran Trans Metro Bandung

16

Konsep buslane TMB adalah imitasi dari program busway yang ada di Jakarta. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kemacetan lalu lintas di Bandung. TMB sendiri mulai direncanakan sejak akhir tahun 2006 . Sepuluh unit bus TMB didatangkan dari Departemen Perhubungan (Dephub) pusat tanggal 27 Desember15

2006. Rencananya pada Januari 2007 akan dilangsungkan diuji coba, tapi rencana ini tertunda sampai April 2007 dengan alasan semua infrastrukturnya belum siap. Sampai Mei 2007 sama sekali tidak terlihat adanya pembangunan fisik TMB di sepanjang jalan bypass. Pada awalnya Dishub berencana menggunakan jalur tengah dengan memberi pembatas berupa tulisan TMB di aspal jalan dan plang di atas trotoar. Akan tetapi, rencana ini terbentur Strategic Road Infrastructure Proggrame (SRIP) dari Bina Marga pusat yang akan membangun flyover jalan layang di beberapa persimpangan seperti Jalan Kopo, Jalan Moh. Toha, dan Jalan Buahbatu.

Pada akhirnya Dishub mengalah dan mendapat izin menggunakan lajur kiri (jalur lambat) dari Dirjen Perhubungan Darat, 28 april 2008. Ini berarti jalur TMB bersinggungan atau sejalan dengan angkot-angkot yang trayeknya melewati bypass. Dishub mulai mengadakan lelang tender operator yang akhirnya dimenangkan oleh DAMRI pada 24 Juli 2008. Lelang investasi shelter pun dibuka untuk masyarakat umum karena TMB ini tidak mendapatkan suntikan dana dari APBD. Rancangan jumlah dan lokasi shelter pun dibuat yaitu sebanyak 32 unit shelter yang dibangun di 16 titik berseberangan yaitu di Jalan Elang, Cibeureum, Holis, Caringin, Leuwipanjang, Perumahan Mekar Wangi, LPKIA, Cidurian,

17

MTC, Perumahan Metro Margahayu Raya, Riung Bandung, Kantor Perumahan Sarana, Pasar Gedebage, Perumahan Cempaka Arum, dan Cibiru. Akan tetapi pada kenyataannya TMB tetap saja tidak mengalami kemajuan. Inilah yang membuat Dephub yang telah menyumbang sepuluh unit bus merasa kesal karena menganggap Dishub Bandung tidak serius menangani program ini. Sampai pada akhirnya mereka mengancam bantuan bus itu akan ditarik lagi ke pusat jika TMB tidak segera dioperasikan. Kenyataan ini membuat Kadishub Bandung, Timbul Butar-Butar, kalang kabut. Beliau pun menegaskan bahwa TMB akan dioperasikan pertengahan Desember 2008. Sayangnya, rencana ini mendapat penolakan besar-besaran dari para sopir angkot yang berujung rusuh.

3.3 Infrastruktur Penunjang Trans Metro Bandung Berdasarkan hasil pemantauan langsung penulis ke lapangan, dapat diamati infrastruktur penunjang Trans Metro Bandung adalah sebagai berikut: 3.3.1 Bus Bus Trans Metro Bandung, sampai saat makalah ini ditulis, terdiri atas sepuluh unit. Setiap unitnya terdiri atas tujuh belas kursi dan beberapa pegangan tangan bagi penumpang yang berdiri. Bahan bakarnya yaitu solar.Gambar 3.1 Bus Trans Metro Bandung

18

3.3.2 Jalan Lintasan bus Trans Metro Bandung tidak tergolong busway maupun jalur prioritas bus. Sistem ini menggunakan ruas jalan bypass yang biasa dilalui oleh kendaraan lainnyaGambar 3.2 Lintasan Trans Metro Bandung seperti

angkot, bus DAMRI, sepeda motor,

maupun kendaraan pribadi. Hal ini membuat upaya pemerintah dalam mengurangi angka kemacetan di Jalan Soekarno-Hatta (pada jam kerja khususnya) tidak berjalan signifikan.

3.3.3 Shelter Shelter adalah tempat pemberhentian bus. Bentuknya berupa tenda yang di dalamnya terdapat kursi panjang dan sejenis pijakan bagi penumpang, baik yang akan naik bus maupun turun.Gambar 3.3 Shelter Trans Metro Bandung

19

Gambar 3.4 Kursi tunggu penumpang

Gambar 3.4 Pijakan kaki

3.4 Kondisi Angkutan Kota di Sekitar Lokasi Pengoperasian Trans Metro Bandung 3.4.1 Kepemilikan angkot Angkot yang beroperasi di kota Bandung terbagi dalam dua macam kepemilikan, yaitu angkot yang dimiliki sendiri dan angkot yang dimiliki oleh orang lain, dalam hal ini adalah pengusaha angkot yang menyewakan angkotnya untuk dikemudikan oleh sopir angkot. Pemilik angkot di kota Bandung ada yang sekaligus menjadi sopir angkotnya sendiri. Pemilik angkot ini membeli angkot dengan modal sendiri sehingga awalnya memiliki orientasi untuk mengembalikan modal pembelian angkot. Namun, karena angkotnya dimiliki sendiri, tidak ada target pendapatan (setoran) yang harus dicapai setiap hari, tetapi tetap mengejar pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, ada juga pemilik usaha angkot yang hanya bertindak sebagai pemilik saja dengan menyerahkan pengoperasian angkot kepada pekerja/sopir yang sudah bersepakat sebelumnya. Kesepakatan itu terutama mengenai besarnya biaya yang harus disetorkan kepada pemilik angkot setiap harinya.

20

Pendapatan bersih yang didapat sopir angkot setiap harinya adalah pendapatan sopir angkot di hari itu dikurangi yang disetorkan. Ada juga kesepakatan mengenai siapa yang menanggung bahan bakar angkot, serta perawatan angkot. Pemilik usaha angkot umumnya tidak hanya memiliki satu angkot saja, dan bisa jadi bukan hanya satu trayek saja yang dimilikinya. Semuanya bebas, yang penting memiliki izin menyelenggarakan usaha angkot seperti yang diatur oleh pemerintah. Namun, banyaknya jumlah angkot yang beroperasi juga diatur dan diawasi oleh Dinas Perhubungan kota Bandung. Penulis tidak berhasil mendapatkan jumlah angkot yang dimiliki sendiri dan dimiliki pengusaha angkot di kota Bandung, sehingga tidak dapat membahas lebih lanjut mengenai hal ini.

3.4.2 Jam kerja Setiap trayek angkot memiliki waktu beroperasi yang berbeda-beda. Angkotangkot yang melewati terminal utama di kota Bandung, seperti terminal Cicaheum, Kebon Kalapa (Abdul Muis), dan Leuwipanjang, beroperasi selama 24 jam penuh. Meski tidak semua angkot di trayek-trayek tersebut yang beroperasi selama 24 jam, tetapi penumpang yang ingin menggunakan jasa angkot di trayektrayek tersebut masih dapat dilayani karena ada angkot yang masih beroperasi. Di luar itu, angkot-angkot hanya beroperasi sampai dengan batas waktu tertentu, dan beroperasi kembali keesokan harinya lagi. Waktu bekerja seorang sopir angkot di kota Bandung berbeda-beda. Ada yang mengoperasikan angkotnya sendiri selama

21

sehari, ada yang berbagi waktu kerja mengemudikan satu angkot dengan sopir lain, dan ada menggunakan sistem sopir tembak.

Angkot yang dioperasikan sendirian bisa dimiliki sendiri atau disewakan oleh pengusaha angkot. Keuntungannya, pendapatan yang diperoleh bisa lebih besar, tetapi konsekuensinya lebih menguras tenaga dan waktu beristirahat. Ada juga yang satu angkot tetapi berbagi waktu mengemudikannya antara dua sopir angkot. Berapa lama atau berapa rit waktu bekerja satu sopir disepakati bersama antar dua sopir angkot tersebut. Jika angkot tersebut disewakan pengusaha angkot, maka setoran untuk pengusaha angkot juga dibagi dua antara dua sopir angkot. Pendapatan seorang sopir angkot dihitung dari kelebihan setorannya. Pendapatan memang bisa lebih sedikit dibanding sendirian, tetapi waktu kerja lebih singkat. Selain dua cara di atas, ada juga sopir angkot yang menyerahkan pengoperasian angkot kepada orang lain yang sebelumnya tidak bekerja secara tetap sebagai sopir angkot, atau biasa disebut sopir tembak atau sopir batangan. Sopir angkot menuntut setoran untuknya sebesar tertentu, tetapi angkot dioperasikan oleh sopir tembak ini. Seberapa banyak sistem angkot di kota Bandung menganut berbagai sistem tersebut, peneliti tidak mendapatkan datanya.

3.4.3 Retribusi Retribusi yang harus dibayarkan sopir angkot adalah sebesar Rp. 1.500,00/hari/ terminal. Pada kenyataannya, yang dibayarkan oleh sopir angkot berbeda dengan yang telah diatur oleh Perda Kota Bandung No. 12/2008. Berdasarkan wawancara

22

dan pengamatan yang dilakukan terhadap beberapa sopir angkot di Bandung, jumlah dan cara pembayaran retribusi terminal ini tidak sesuai dengan Perda Kota Bandung tersebut. Setiap trayek memiliki dua terminal di masing-masing ujung rutenya. Oleh karena itu, retribusi terminal yang dibayarkan seharusnya adalah sebesar Rp. 3.000,00/hari. Namun, yang ditagihkan oleh petugas dari Dishub adalah sebesar Rp. 6.000,00/hari. Cara penagihannya pun 11 dengan cara

diborong 4 kali sekaligus, yang seharusnya menurut peraturan seperti yang disebutkan di bab sebelumnya bahwa penagihan retribusi tidak dapat diborongkan.

3.4.4 Trayek angkot Angkot-angkot yang beroperasi di kota Bandung melintasi berbagai jalanan di kota Bandung yang terbagi dalam 38 trayek atau jurusan. Tiap trayek memiliki nomor dan ciri-ciri angkot tersendiri. Adapun trayek-trayek angkot di kota Bandung adalah sebagai berikut:

23

Tabel II Trayek Angkot di Kota Bandung

3.5 Kondisi Masyarakat di Sekitar Lokasi Pengoperasian Trans Metro Bandung

24

Panjangnya trayek trans metro bandung, yaitu pada ruas Jalan Soekarno Hatta berdampak pada heterogenitas masyarakat di sekitar daerah pengoperasiannya. Begitupun penumpang Trans Metro Bandung. Masyarakat rata-rata telah setuju dengan adanya bus Trans Metro Bandung. Dari sampel yang didata, 90% telah menyetujui dan merasakan manfaat Trans Metro Bandung. Rata-rata masyarakat memilih Trans Metro Bandung sebagai sarana transportasinya karena biaya yang murah dan fasilitas yang baik. Biaya Trans Metro Bandung memang relative murah, karena sepanjang ruas jalan Soekarno hatta, baik dekat maupun jauh, hanya dikenai biaya Rp 3000,00 untuk penumpang umum dan Rp 1500,00 untuk mahasiswa dan pelajar. Biaya tersebut termasuk jika penumpang menggunakan bus bolak-balik trayek. Fasilitas pada Trans Metro Bandung relative lebih baik daripada angkot sehingga masyarakat memilih menggunakan Trans Metro Bandung untuk jarak yang jauh. Trans Metro Bandung telah memiliki AC dan tempat duduk yang berjok.

Disamping sambutan yang positif, Trans Metro Bandung juga mendapat reaksi negative dari tukang angkot. Hal tersebut disebabkan karena Trans Metro Bandung menyebabkan penumpang angkot beralih pada Trans Metro Bandung. Selain itu, masyarakat pengguna Trans Metro Bandung juga masih mengeluhkan ketidak kondusifan kondisi Trans Metro Bandung pada saat jam-jam sibuk. membludaknya penumpang tidak diimbangi dengan kapasitas Trans Metro Bandung. Akibatnya, penumpang harus berdesakan di dalam Bus. Hal ini berkaitan dengan ketidaksiapan infrastruktur Trans Metro Bandung.

25

3.6 Pengaruh Trans Metro Bandung Terhadap Transportasi di Sekitarnya Pada dasarnya memang Bandung harus punya public transport yang memadai ,mengingat perkembangan Bandung yang sangat pesat kehadiran public transport merupakan salah satu solusi dari ancaman bencana kemacetan. Ruas dan Panjang jalanan di Bandung tidak mungkin di tambah sementara jumlah pengguna mobil yang memasuki kota ini selalu bertambah. Kehadiran TMB sebenarnya merupakan upaya yang baik , namun memang perlu memikirkan dampak sosial yang akan terjadi. Selain aspek fisik, ada hal lainnya yang perlu diperhatikan yaitu masalah sosial. Hal itu, disebabkan karena trayek TMB bersinggungan dengan jalur angkutan kota.

Trans Metro Bandung (TMB) yang Senin, 22 Desember 2008 mulai uji coba akhirnya hanya bertahan beberapa jam saja karena demo besar-besaran dan sedikit anarkis dari para sopir angkutan kota (angkot) yang tidak menerima atau lebih tepatnya menolak TMB. Terjadi kekacauan karena pemkot Bandung tidak menyediakan win-win solution untuk semua pihak supaya program ini bisa berjalan aman dan mulus. Intinya, dari awal program ini ditolak mentah-mentah oleh para sopir angkot karena trayek mereka bersinggunggan langsung dengan TMB. Bukan hanya satu jurusan angkot, tetapi ada sebelas jurusan lain yang searah dengan trayek TMB. Apalagi, penghasilan mereka selama ini sudah menurun dengan naiknya harga BBM dan banyaknya penumpang yang beralih ke motor.

26

Adanya aksi anarkistis berupa penghadangan, perusakan, bahkan penganiayaan dari para sopir dan pengusaha angkot menandakan telah munculnya konflik sosial dari keberadaan TMB. Ada empat aktor utama yang berkonflik di sini, yaitu Pemerintah Kota Bandung (Dinas Perhubungan), Damri (operator TMB), sopir, dan pengusaha angkot. Dalam hal ini sopir adalah pihak yang paling terjepit posisinya. Sopir terjepit karena ditekan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dirinya dan para pengusaha angkot terkait dengan setoran. Sopir seperti menjadi sapi perahan bagi kepentingan pengusaha angkot. Sebab, pengusaha angkot menerapkan sistem setoran bagi angkotnya. Pengusaha angkot tidak mau tahu soal operasionalisasi angkotnya, seperti pengaturan frekuensi, jadwal, dan waktu tempuh. Yang penting jumlah setoran dipenuhi sopir.

Karena dikejar-kejar setoran, sopir akhirnya membanting tulang agar memperoleh pendapatan melebihi jumlah setoran. Akibatnya, sopir dalam menjalankan tugasnya sering kali berperilaku seenaknya demi mengejar setoran, seperti mengebut, menaikkan dan menurunkan penumpang seenaknya, melanggar aturan lalu lintas, angkot penuh sesak penumpang, bahkan menurunkan penumpang di tengah jalan sebelum sampai tujuan. Singkat kata, karena kondisi tersebut, sopir sangat sensitif terhadap kebijakan angkutan umum yang dikeluarkan pemerintah. Sopir akan merasa kepentingan ekonominya terganggu bila ada kebijakan seperti perubahan tarif, penambahan armada, perubahan rute, dan penambahan rute. Bahkan, sopir bisa begitu gampang tersulut sehingga tak mengherankan sering

27

muncul aksi mogok, yang sayang pada kasus-kasus tertentu menjurus pada aksi anarkistis. Pengusaha angkot juga akan merasa kepentingan ekonominya terganggu tatkala setoran dari sopir berkurang, bahkan bisa berakibat tidak adanya sopir yang mau mengoperasikan angkot. Maka, wajar saja pengusaha angkot pun tidak menyetujui keberadaan TMB karena dikhawatirkan pendapatan mereka berkurang akibat setoran sopir yang tidak memenuhi target.

3.7 Penataan Trayek dan Pengondisian Lokasi Pengoperasian Trans Metro Bandung Sistem angkutan umum massal dibutuhkan bagi kota yang berpenduduk satu juta jiwa atau lebih. Ini bukan lagi teori karena sudah terbukti di mana-mana. Bus, dengan kapasitas di atas dua puluh orang sudah dapat digolongkan pada angkutan massal mini. Usaha angkot memang membuka peluang lapangan kerja, namun harus dibatasi sampai pada jumlah tertentu, bukan ditambah demi kepentingan memperbesar pundi-pundi pendapatan asli daerah (PAD) atau dalih menampung pengangguran. Dalih ini justru merampas lahan garapan usaha yang sudah ada. Akibatnya, sediaan armada berlebihan dan turunnya disiplin masyarakat serta rebutan penumpang di antara para pengemudi angkot adalah wujud kelebihan sediaan armada tersebut.

Kemacetan lalu lintas di Kota Bandung sudah menyebabkan kerugian amat besar baik diukur dari hilangnya waktu produktif maupun pemborosan BBM. Bila dirupiahkan bilangannya sudah mencapai Rp 1,78 miliar/hari di Bandung dua

28

tahun yang lalu (Tamin, Ofyar Z., Prof.), diperkirakan sekarang sudah mencapai sekitar Rp 2 miliar/hari. Kerugian satu minggu sudah cukup untuk membangun satu bangunan parkir. Oleh karena itu, pengoperasian angkutan umum massal tidak perlu ditunda lagi.

Salah satu biang kemacetan adalah kendaraan umum yang berhenti di sembarang tempat. Kuncinya ada di tangan pengemudi. Bila pengemudi hanya melayani penumpang di perhentian tetap, penumpang pun akan terpaksa menurut. Budaya rebutan, termasuk rebutan penumpang sudah harus ditinggalkan. Semua penumpang harus naik/turun pada perhentian yang ditentukan. Tidak semua perhentian harus dilengkapi dengan sangau (atap pelindung atau shelter), sebagian perhentian cukup dilengkapi dengan rambu dan teluk perhentian. Pengemudi dan penumpang yang naik/turun tidak di tempat yang ditetapkan harus dikenai sanksi berat.

Sistem operasi angkutan umum sudah harus dikembalikan pada sistem perhentian tetap karena Kota Bandung pernah menerapkan cara ini namun kemudian diabaikan begitu saja. Tak ada sanksi bagi pengemudi yang melanggar ketentuan, atau pemerintah sudah bosan mengatur warganya yang susah diatur dan tidak mau teratur. Belajar dari penerapan jalur khusus bus (busway) di Jakarta, seyogianya Kota Bandung menerapkan arus balik (contra route) dalam pengoperasian TMB dan menggunakan jalur tengah. Ada beberapa kelebihan arus balik. (1) Tidak perlu mengubah pintu bus (pintu bus tetap di kiri), sehingga setiap bus dapat

29

beroperasi di jalur khusus bus. (2) Jalur bus tidak bisa dimasuki kendaraan lain karena arahnya berlawanan. (3) Tidak mengubah tata bangunan perhentian.

Penerapan arus balik memerlukan persiapan serius menyangkut fasilitas perhentian, jembatan (terowongan) penyeberangan yang nyaman bagi pejalan dan difabel di setiap perhentian. Semua angkutan dengan bus (kapasitas minimum dua puluh orang) disalurkan melalui jalur khusus bus, sedangkan angkot menggunakan lajur konvensional (kiri) dan searah dengan arus kendaraan pribadi. Secara bertahap semua angkutan umum (kecuali taksi) diarahkan menggunakan jalur khusus bus.

UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Pasal 158 menyebutkan, (1) Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum di kawasan perkotaan. (2) Angkutan massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan: (a) mobil bus yang berkapasitas angkut massal; (b) lajur khusus; (c) trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek angkutan massal; (d) angkutan pengumpan. Yang dimaksud dengan "angkutan massal berbasis jalan" adalah sistem angkutan yang menggunakan bus dengan lajur khusus yang terproteksi sehingga memungkinkan peningkatan kapasitas angkut yang bersifat massal.

30

Pola layanan angkutan umum dari mana-mana ke mana-mana sudah harus ditinggalkan. Yang utama adalah orang dari mana-mana dapat ke mana-mana. Angkutan adalah perpindahan orang, barang dan/atau jasa dari satu tempat ke tempat lain. Jadi, yang pokok adalah mobilitas orang, barang dan/atau jasa, bukan mobilitas kendaraan. Angkutan umum yang lain berfungsi menjadi angkutan pengumpan ke/dari titik-titik simpul perangkutan (terminal atau perhentian) sehingga tercipta hierarki sistem perangkutan umum. Seyogianya hierarki jalan sesuai dengan hierarki moda. Akibatnya, tentu saja perlu ada jalur operasi angkot sedemikian rupa sehingga antarmoda terjadi simbiosis saling menghidupi. Di samping itu, sudah lama Kota Bandung menelaah kemungkinan pengoperasian angkutan umum massal berbasis rel. Sayang, studi yang menghabiskan dana cukup besar tak pernah ditindaklanjuti.

3.8 Rekayasa Sosial Masyarakat di Sekitar Lokasi Pengoperasian Trans Metro Bandung Persiapan operasionalisasi TMB perlu mendapatkan penilaian dari aspek sosial. Kadang kita melupakan aspek sosial suatu proyek pembangunan karena lebih mementingkan aspek finansial dan teknis belaka. Adanya aksi unjuk rasa hingga aksi anarkistis adalah buah dari tidak diperhatikannya aspek sosial. Aspek sosial TMB ini bisa meliputi pemahaman masyarakat terhadap pentingnya TMB, analisis dampak sosial TMB yang menyangkut keuntungan dan kerugian sosial, serta partisipasi masyarakat terhadap kelangsungan TMB. Aspek pemahaman masyarakat terhadap TMB berupaya memberikan informasi tentang TMB dan

31

mendapatkan persepsi masyarakat terhadap TMB. Masyarakat di sini meliputi pengguna (penumpang) dan penyedia angkutan umum dari swasta (sopir dan pengusaha angkutan kota) serta pengguna kendaraan pribadi. Informasi yang disampaikan kepada mereka harus jelas, utuh, dan transparan sehingga TMB benar-benar dipahami secara keseluruhan.

Analisis dampak sosial TMB sangat diperlukan untuk mengetahui dampak sosial yang bakal muncul. Hasil analisis ini akan dipergunakan sebagai bahan masukan sehingga berguna untuk mengurangi risiko sosial TMB. Contoh nyata adalah berkurangnya pendapatan sopir angkutan kota, terutama untuk rute angkutan umum yang bersinggungan dengan rute TMB. Partisipasi masyarakat terhadap kelangsungan TMB merupakan hal yang sangat penting bagi terpeliharanya TMB pada masa mendatang. Manfaat partisipasi masyarakat adalah munculnya rasa tanggung jawab dan memiliki terhadap TMB. Contoh nyata dari partisipasi masyarakat ini ialah memelihara kebersihan bus TMB dengan tidak membuang sampah sembarangan. Kalau bersih, tentu bus TMB nyaman dinaiki. Selama ini penilaian dari aspek sosial terkadang masih diremehkan para perencana dan pembuat kebijakan dalam proses pembangunan. Padahal, hakikatnya suatu aktivitas pembangunan harus memberikan manfaat positif bagi kehidupan masyarakat. Perlu diingat, bila tinjauan aspek sosial sudah layak, gejala konflik sosial bisa dihindari sedini mungkin.

32

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan Trans Metro Bandung merupakan transportasi yang diluncurkan pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi kemacetan dan membantu transportasi masyarakat. Hingga kini, komponen infrastruktur Trans Metro Bandung belum dapat dikatakan baik. Dampaknya, pengoperasian Trans Metro Bandung belum dapat mencapai tujuan awalnya. Untuk itu, diperlukan langkah konkret dalam upaya pengoptimalan fungsinya. Hal-hal yang dapat dilakukan ialah penataan infrastruktur penunjang operasional, penataan trayek, dan rekayasa sosial. Hal tersebut diharapkan dapat membentuk opini positif dari masyarakat dan membenahi sistem yang belum tertata sehingga Trans Metro Bandung dapat dioperasikan dengan optimal dalam melayani masyarakat. Dengan demikian, target pemerintah dapat tercapai.

4.2 Saran Dalam pengoperasian Trans Metro Bandung diperlukan komitmen dari berbagai pihak, yaitu pemerintah, pelaksana pembangunan operator, dan masyarakat sebagai pengguna. Dalam hal ini, pemerintah memegang peranan sentral dalam menyosialisasi Trans Metro Bandung kepada masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah dituntut untuk berperan aktif dalam membentuk opini masyarakat tentang sistem transportasi yang ideal.