isi politik hukum finish 5

24
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan semata, artinya negara mengakui dan menganut paham kedaulatan hukum. Jadi kekuasaan hukum terletak diatas segala kekuasaan yang ada dalam negara dan segala kekuasaan harus tunduk pada hukum. Selain itu, Indonesia juga negara demokrasi yang menganut faham kedaulatan rakyat. Antara faham kedaulatan hukum dan faham kedaulatan rakyat harus tetap seiring dan sejalan, sehingga mewujudkan duet integral secara harmonis berdasarkan prinsip monodualistis. Dengan karakteristik negara hukum yang berhaluan pada negara kesejahteraan (welfare state), intensitas campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat semakin berkembang, sehingga peranan hukum administrasi negara semakin dominan. Dengan demikian administrasi negara memerlukan kemerdekaan/kebebasan (fries ermessen) dalam melaksanakan fungsinya. 1

Upload: rere

Post on 14-Sep-2015

227 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Politik Hukum 2012

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan semata, artinya negara mengakui dan menganut paham kedaulatan hukum. Jadi kekuasaan hukum terletak diatas segala kekuasaan yang ada dalam negara dan segala kekuasaan harus tunduk pada hukum. Selain itu, Indonesia juga negara demokrasi yang menganut faham kedaulatan rakyat. Antara faham kedaulatan hukum dan faham kedaulatan rakyat harus tetap seiring dan sejalan, sehingga mewujudkan duet integral secara harmonis berdasarkan prinsip monodualistis.

Dengan karakteristik negara hukum yang berhaluan pada negara kesejahteraan (welfare state), intensitas campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat semakin berkembang, sehingga peranan hukum administrasi negara semakin dominan. Dengan demikian administrasi negara memerlukan kemerdekaan/kebebasan (fries ermessen) dalam melaksanakan fungsinya.

Pada suatu negara hukum modern tugas pokok negara tidak saja terletak pada pelaksanaan hukum, tetapi juga mengejar dan menciptkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk mencapai tujuan itu, administrasi negara memerlukan kemerdekaan/kebebasan atau pouvoir discretionnaire dalam melaksanakan fungsinya. Tetapi di luar itu, administrasi negara pada prinsipnya harus tetap berpegang pada asas legalitas sebagai salah satu asas negara hukum sehingga tidak bertindak sewenang-wenang.

Dengan luasnya cakupan tugas-tugas administrasi negara dan pemerintahan menjadi alasan berikutnya diperlukannya peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan administrasi pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kekuasaan merupakan sumber kewenangan dan konflik merupakan konsekuensi yang ditimbulkan dari pelaksanaan kewenangan yang tidak jelas. Hal ini sepenuhnya telah lama disadari oleh Weber sebagai bapak reformasi birokrasi, bahwa konflik merupakan konsekuensi dari tuntutan struktur birokratis terhadap adanya otoritas kewenangan untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Pemberian dan penggunaan kewenangan secara tidak terkontrol oleh hukum dan pengawasan masyarakat dapat menjerumuskan para penguasa birokrasi dan pejabat pemerintahan kepada perbuatan yang sewenang-wenang. Oleh sebab itulah, maka dalam hal pembentukan produk hukum yang nantinya dapat mengontrol jalannya birokrasi perlua adanya batasan-batasan yang tegas dan jelas serta memberikan manfaat kepada masyarakat banyak. Disinilah kemudian muncul asas-asas umum Pemerintahan yang baik yang dalam prakteknya, secara yuridis mengikat penyelenggara negara untuk dilaksanakan dalam tugas dan fungsinya.

Berbicara lebih jauh mengenai asas-asas umum pemerintahan yang baik, didalam konsep pemikiran tata kelola pemerintahan, setiap badan atau pejabat pemerintahan dalam menjalankan tanggung jawabnya wajib melaksanakan asas-asas umum pemerintahan yang baik tersebut. Dengan mempedomani asas-asas tersebut, maka diharapkan bahwa nantinya setiap kebijakan yang diambil oleh pejabat public dapat berjalan sesuai dengan koridor hukum yang ada.Diantara asas-asas umum pemerintahan yang baik yang paling mendasar adalah larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang. Sementara disisi lain, peraturan juga memberikan wewenang kepada pemerintah untuk bertindak dan membuat suatu aturan hukum yang menyimpang dari asas legalitas. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah diskresi.Dalam aplikasi riilnya di dunia nyata, dipertegas bahwa walaupun kewenangan untuk keluar dari jalur yang ada telah diberikan, namun badan atau pejabat pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat, sehingga dengan demikian, penerapan asas diskresi akan dapat menjadi salah satu point untuk mewujudkan pemerintahan yang baik.

Bila berpedoman pada ilmu hukum tata pemerintahan (bestuurs recht), terdapat 2 jenis produk hukum yang dilahirkan oleh Pemerintah, yaitu : Regelling (peraturan perundang-undangan) dan Beschikking (keputusan). Kewenangan pemerintah untuk membuat keputusan maupun peraturan perundang-undangan tergantung dari kebutuhan publik dan kegunaan dari produk hukum tersebut. Adapun Secara teoritis, perbedaan kedua produk hukum tersebut dapat kita lihat melalui 3 indikator penting, yakni : 1. Mengenai subjek hukum yang diatur; 2. Tempat berlakunya produk hukum tersebut; dan 3. Waktu, tempo, atau saat berlakunya produk hukum tersebut. Kemudian berdasarkan pada ketiga indikator tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa jika suatu produk hukum tidak terikat kepada 3 indikator tersebut, maka produk hukum tersebut harus berbentuk peraturan. Sebaliknya, jika ketiga unsur tersebut terpenuhi, maka produk hukum yang dilahirkan oleh Pemerintah berbentuk keputusan. Dan didalam kepustakaan hukum publik terutama dalam hukum administrasi, wewenang pemerintah berdasarkan sifatnya dapat dilakukan pembagian, sebagai berikut :

1. Wewenang yang bersifat terikat : merupakan wewenang yang harus sesuai dengan aturan dasar yang menentukan waktu dan keadaan wewenang tersebut dapat dilaksanakan, termasuk rumusan dasar isi dan keputusan yang diambil.

2. Wewenang bersifat fakultatif : merupakan wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat administrasi, namun demikian tidak ada kewajiban atau keharusan untuk menggunakan wewenang tersebut dan sedikit banyak masih ada pilihan lain walaupun pilihan tersebut hanya dapat dilakukan dalam hal dan keadaan tertentu berdasarkan aturan dasarnya.

3. Wewenang bersifat bebas : merupakan wewenang badan atau pejabat pemerintahan (administrasi) dapat menggunakan wewenang secara bebas untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkan, karena peraturan dasarnya member kebebasan kepada penerima wewenag tersebut.

Merujuk pada uraian diatas maka yang bersifat bebas ini termasuk bebas dalam mengeluarkan kebijakan, berlandaskan pada asas diskresi atau discretionare principle atau asas kebebasan bertindak yaitu pemerintah dapat membuat hukum tanpa dasar hukum.

Membahas lebih dalam mengenai asas diskresi, maka dapat dapat dijabarkan bahwa asas diskresi dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah discretion atau discretion power, di Indonesia lebih popular dikenal dengan istilah diskresi yang Secara etimologis, istilah freies Ermerssen berasal dari bahasa Jerman, freiartinya bebas, lepas, tidak terikat, merdeka. Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat, dan merdeka. Sedangkan Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu.

Secara praktis, kewenagan freise ermessen pemerintahan yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk kebijaksanaan memiliki dua aspek penting dan sebagai aspek pokok, yakni :

a. Kebebasan untuk menafsirkan yang berkaitan dengan ruang lingkup dan batas-batas wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar pemberian wewenang.

b. Kebebasan untuk menentukan sikap tindak, artinya bertindak atau tidak berdasarkan penilaian sendiri dengan cara begaimana dan kapan wewenang yang dimiliki tersebut dilaksanakan, penilaian ini memiliki sifat subyektif, yakni berdasarkan nuraninya sendiri dalam pengambilan keputusan.

Secara umum dapat dipahami bahwa Asas diskresi ini muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari paham negara welfare state adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Namun didalam praktiknya, pembentukan diskresi tidak jarang mengundang dilema ditengah-tengah masyarakat. Disatu sisi, ketika kewenangan untuk mengeluarkan diskresi terlalu sering digunakan, maka dikhawatirkan akan tercipta kesewenang-wenangan atau tindakan otoriter. Sementara disisi lain, ketika para pejabat Tata Usaha Negara justru tidak bersedia untuk melakukannya, maka tujuan pembangunan nasional, khususnya dalam rangka mewujudkan Negara kesejahteraan menjadi hal yang mustahil. Disinilah kehadiran diksresi menjadi sangat dilematis Sehingga menjadi menarik untuk membahas dan menganalisa lebih dalam mengenai keunggulan dan kelemahan penggunaan asas diskresi dalam memproduksi hukum.BAB IIPERMASALAHAN

2.1Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, terdapat dua buah permasalahan yang penting untuk dibahas secara lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :1. Bagaimanakah pembatasan penggunaan Asas Diskresi dalam Sistem Hukum Indonesia ?

2. Apakah keunggulan dan kelemahan penggunaan Asas Diskresi dalam memproduksi produk hukum ? BAB IIPEMBAHASAN

3.1 Pembatasan Terhadap Asas Diskresi

Dalam kehidupan bernegara, pemerintah diharuskan megambil suatu keputusan secara cepat menyangkut fungsinya, baik fungsi memerintah maupun fungsi pelayanan. Disamping itu, pengambilan keputusan yang tidak mendasar kepada peraturan yang lebih tinggi, juga turut dibenarkan dengan adanya asas diskresi. Akan tetapi, terdapat kekhawatiran akan adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam penggunaan langkah diskresi ini. Darisana kemudian, pemerintah diharuskan tunduk terhadap syarat-syarat dan ketentuan diskresi tersebut, yang diantaranya meliputi :

1. Diskresi diperbolehkan jika terjadi kekosongan hukum (rechtsvakum);

2. Diskresi diperbolehkan jika terdapat ruang kebebasan interpretasi;

3. Diskresi diperboleh jika ada delegasi perundang-undangan; dan

4.Diskresi diperbolehkan demi pemenuhan kepentingan umum, sebagai bagian pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintah kepada masyarakat.

Namun dalam perkembangannya dari keempat aspek ini masih menjadi perdebatan dikalangan ahli hukum, dimana definisi kepentingan umum disini masih dianggap kabur dan multi tafsir, sehingga mengundang protes dimana-mana. Bahkan beberapa produk hukum Pemerintah seperti Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 junto Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pencabutan Hak Atas Nama Demi Kepentingan Umum, ditengarai menggunakan otoritas Eksekutif (pemerintahan) yang terlalu berlebihan atau melampaui kewenangan sebagaimana yang diamanatkan di dalam peraturan perundang-undangan.

Menurut padangan Prof. Muchsan dalam penyampaian mata kuliah Politik Hukum di Universitas Gadjah Mada Yogjakarta, pelaksanaan diskresi oleh aparat pemerintah dibatasi oleh 4 hal, yakni :1. Apabila terjadi kekosongan hukum, 2. Adanya kebebasan interpretasi, 3. Adanya delegasi perundang-undangan, Demi pemenuhan kepentingan umum.

Ada beberapa alasan terjadinya diskresi meliputi :

a) Mendesak dan alasannya mendasar serta dibenarkan motif perbuatannya

b) Peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam menetapkan kebijaksanaan diskresi, khusus untuk kepentingan umum, bencana alam dan keadaan darurat, yang penetapannya dapat dipertanggung jawabkan secara hukum

c) Untuk lebih cepat, efisien dan efektif dalam mencapai tujuan yang diamanatkan UUD RI dan undang-undang, penyelenggaraan pemerintahan Negara dan untuk keadilan serta kesejahteraan masyarakat.

Secara riil di dalam kontek Indonesia sebagai Negara hukum berimplikasi pada wewenang bebas bertindak tersebut tidak dapat digunakan tanpa batas dan tidak bisa hanya pendekatan kekuasaan saja, akan tetapi harus ada pembatasan-pembatasan tertentu. Adapun pembatasan-pembatasan yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku atau hukum positif

b. Hanya ditujukan untuk kepentingan umum

Sementara Sjachran Basah secara tersirat berpendapat bahwa pelaksanaan freies ermessen tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.

Dalam rancangan Undang-Undang Diskresi juga disebutkan poin-poin yang membatasi diskresi, diantaranya meliputi :

1. Hak yang mamiliki seseorang pejabat yang memiliki wewenang delegasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan seorang pejabat.

2. Untuk mengatasi suatu kasus dan permasalahan umum, atau bencana alam, atau Negara dalam keadaan darurat.

3. Karena konstitusi dan undang-undang yang berlaku belum jelas atau belum mengatur.

Dan diluar ketentuan tersebut, didalam RUU Administrasi Publik terutama Pasal 25 dinyatakan bahwa (kaitannya dengan diskresi) :

1. Jika seorang pejabat administrasi pemerintahan harus menggunakan diskresi dalam pembuatan suatu keputusan administrasi pemerintahan, pejabat yang bersangkutan wajib memperhatikan tujan pemberian diskresi, batas-batas hukum yang berlaku serta kepentingan umum.

2. Batas-batas hukum yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :

a. Tidak bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia, b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, c. Wajib menerapkan asas-asas umum pemerntahan yang baik, d. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan

Batas-batas diskresi bagi seseorang pejabat administrasi pemerintahan yang menggunakan diskresi dalam pembuatan suatu keputusan administrasi pemerintahan, wajib memperhatikan :1. Tujuan dari pemberian diskresi, 2. Dasar hukum yang berlaku, 3. Kepentingan umum, 4. Negara dalam keadaan darurat, bencana alam 5. Dapat dipertanggungjawabkan sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik :

Selain itu perlu diperhatikan pula bahwa dalam diskresi terdapat batas prosedural murni yang meliputi: a. Tidak ada kepentingan antara pejabat dengan produk diskresi b. Adanya persetujuan dari masyarakat, jika diskresi akan merugikan c. Didasarkan pertimbangan dan perbuatan hukum pejabat administrasi pemerintahan berdasarkan fakta yang benar.3.2Keunggulan dan Kelemahan Penggunaan Asas Diskresi Dalam Memproduksi Produk Hukum

Pemahaman umum membawa prespektif kita bahwa diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari paham negara welfare state adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesiapun merupakan bentuk negara kesejahteraan modern sebagaimana tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Namun dalam praktiknya dapat kita lihat sendiri bahwa penggunaan diskresi tidak jarang mengundang dilema ditengah-tengah masyarakat. Dimana disatu sisi, ketika kewenangan untuk mengeluarkan diskresi terlalu sering digunakan, maka dikhawatirkan akan tercipta kesewenang-wenangan atau tindakan otoriter. Sementara disisi lain, ketika para pejabat Tata Usaha Negara justru tidak bersedia untuk melakukannya, maka tujuan pembangunan nasional, khususnya dalam rangka mewujudkan Negara kesejahteraan menjadi hal yang mustahil. Disinilah kemudian kehadiran diksresi menjadi sangat dilematis sehingga perlu dipertegas batasannya dan ruang lingkup penggunaannya sehingga mampu mewujudkan tujuan dari negara.

Dalam kaitannya dengan konsepsi negara hukum modern, diatur jelas bahwa adminsitrasi negara tidak hanya sekedar melaksanakan undang-undang, melainkan demi terselenggaranya negara hukum dalam arti materiil, memerlukan adanya freies ermessen/asas diskresi. Asas diskresi ini hanya diberikan kepada lembaga eksekutif beserta seluruh jajarannya, baik tingkat pusat maupun daerah. Karena itu dalam penggunaan asas diskresi yang melanggar atau merugikan hak warga negara, maka terhadap pemerintah dapat dimintai pertanggungjawaban melalui pengadilan.

Secara umum dapat kita jabarkan bahwa terdapat dua landasan produk hukum yaitu:

1. Landasan peraturan hukum positif/peraturan yang berlaku; Misalnya: Undang-Undang, Peraturan Daerah, peraturan pemerintah.2. Landasannya Kebijakan; Produk hukum sudah ada, tetapi dikesampingkan. Hal ini diperbolehkan, dikarenakan di dalam hukum administrasi negara dikenal adanya azas diskresi. Hal ini bukan berarti dikesampingkannya sama sekali asas legalitas, karena sikap tindak adminisitrasi negara harus dapat diuji berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi ataupun berdasarkan ketentuan hukum yang tidak tertulis.

Kemudian harus dipertegas dan diperjelas kembali bahwa menurut Prof. Muchsan, diskresi hanya boleh dilakukan dalam empat hal:

1. Apabila terjadi rechts vacuum (kekosongan hukum); Dengan perkembangan yang semakin cepat dalam masyarakat pada suatu negara modern saat ini, maka dituntut pula kesiapan administrasi negara untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi itu. Di dalam negara berkembang, laju masyarakat lebih cepat daripada produk hukum. Dalam hal ini, bagi negara yang menganut asas legalitas sudah barang tentu akan banyak terjadi kekosongan hukum (rechts vacuum). Asas legalitas tidak dapat lagi dipertahankan secara kaku, sebab administrasi negara bukan hanya terompet dari suatu peraturan perundang-undangan, melainkan dalam melaksanakan tugasnya itu mereka wajib bersikap aktif demi terselenggaranya tugas-tugas servis publik, yang kesemuanya itu tidak dapat ditampung oleh hukum yang tertulis saja. Sehingga riil sangat diperlukan asas diskresi dalam pemerintahan suatu negara.

2. Apabila terjadi kebebasan interpretas atau kebebasan penafsiran ; ditujukan kepada para pembentuk produk hukum dalam membuat aturan harus jelas, jangan sampai menimbulkan kebebasan penafsiran yang pada akhirnya diberlakukannya asas diskresi. 3. Apabila terjadi delegasi perundang-undangan; dimana ini diskresi dimungkinkan bila produk hukum yang ada tidak memberi penjelasan secara lengkap dengan substansi yang dikehendaki. Ini artinya produk hukum tersebut memberi delegasi kepada masing-masing produk hukum yang lebih rendah untuk mengatur sendiri substansi yang dikehendaki.4. Demi pemenuhan kepentingan umum ; Kepentingan umum yang ideal seharusnya (sollen) dibuat dalam bentuk undang-undang, karena kepentingan umum menyangkut kehendak rakyat yang dalam hal ini di wakili oleh DPR, dimana produk hukum yang dihasilkan oleh DPR adalah undang-undang. Selama ini, peraturan mengenai kepentingan umum dibuat dalam bentuk: Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri yang merupakan kewenangan pemerintah (eksekutif), dikhawatirkan hal tersebut akan disalahgunakan oleh pemerintah (eksekutif) dengan alasan demi kepentingan umum.

Penggunaan diskresi dari pejabat publik yang mana pun, tentunya harus dilandasi oleh semangat dan tekad untuk senantiasa mempertanggungjawabkan kebijakan sikap dan tindakannya. Siapa pun yang menggunakan diskresi secara keliru, berarti tidak melandasi diskresi dengan pertanggungjawaban pribadi, korps, serta profesinya. Selain pertanggung jawaban, kaidah hukum, nilai-nilai standar di tengah masyarakat, hak asasi manusia dan lain-lain, penggunaan diskresi pun harus diberi landasan pendahuluan kepentingan publik.

Prioritas kepentingan publik, biasanya lebih mudah dibicarakan, daripada dilaksanakan, hal ini disebabkan karena orang-orang yang menggunakan diskresi, terbiasa terlena oleh kewenangan ekstra dimaksud, sehingga membentuk kesadaran mendasar, bahwa dengan sendirinya penerapan diskresi selalu berujung pengutamaan kepentingan publik, dalam rincian ketertiban umum, pelayanan prima, keamanan masyarakat, dan lain-lain sejenis. Bila diskresi dijalankan sesuai dengan ketentuan dan pra syarat yang ada, maka sangat diyakini bahwa persoalan ketertiban umum, keamanan masyarakat, pelayanan prima kepada konsumen, atau lain-lain sejenis akan dapat teratasi dengan baik. Agar pelaksanaan setiap diskresi benar-benar sesuai dengan harapan, maka baik oleh pelaku diskresi maupun sasaran diskresi seyogianya harus saling bersedia dan mampu mawas diri. Kesediaan introspeksi, di samping retrospeksi, diharap dapat mendorong penggunaan diskresi secara benar, baik dan bertanggungjawab. Sehingga dengan demikian, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa diskresi akan berdampak pada terwujudnya pemerintahan yang baik.

Dan dalam aplikasinya seringkali ditemukan bahwa penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum mengundang suatu dilema, karena disatu sisi apabila asas ini digunakan dengan tidak cermat dan hati-hati maka akan menimbulkan perbuatan yang sewenang-wenag dari aparat pembuatnya namun apabila ada suatu peristiwa yang menyangkut kepentingan umum yang tidak ada peraturannya dan mendesak untuk segera dilakukan maka asas diskresi dapat diterapkan untuk menanggulangi hal tersebut. Dan disisi lain sebagai sesuatu yang memberikan ruang gerak bagi administrasi negara, maka asas diskresi dapat berperan dalam mengisi, melengkapi, dan mengembangkan hukum administrasi negara. Sehingga dengan demikian tidak akan terjadi kekosongan hukum dalam hukum administrasi. Menyadari peranannya yang demikian itu maka asas diskresi membawa konsekuensi menyimpangi asas legalitas.3.3Kesimpulan

Dalam penggunaan asas diskresi diperlukan adanya batas toleransi sebagai kunci tolok ukurnya, baik secara moral maupun hukum. Dengan ini dimaksudkan bahwa penggunaan asas diskresi haruslah dapat dimintai pertanggungjawaban, sehingga tidak boleh semata-mata didasarkan pada pertimbangan yang subjektif individual yang kemudian dapat merugikan masyarakat luas. Penggunaan asas diskresi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan mempunyai keunggulan dan kelemahan. Adapun keunggulan dalam penggunaan asas diskresi antara lain tidak terjadi kekosongan hukun dan sifat pemerintahan yang fleksibel. Sedangkan kelemahan dalam penggunaan asas diskresi yaitu aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang dan sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah kebijakan pejabat atau aparatur pemerintah yang kontraproduktif dengan keinginan atau para pelaku pembangunan lainnya.3.4Saran Dalam penggunaan asas diskresi hendaknya dibuat suatu peraturan yang mengatur secara konkret mengenai batasan-batasan untuk dilakukannya diskresi sehingga tidak menimbulkan banyak spekulasi dan menanggulangi produk-produk hukum yang merugikan rakyat namun berlandaskan asas diskresi. Keunggulan dan kelemahan dalam penggunaan asas diskresi harus ditelaah secara mendalam, terutama dalam kaitannya oleh pembentuk produk hukum, sehingga dalam pembentukan suatu produk hukum dapat diformulasikan produk hukum yang lebih mampu mengatur sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yang sebelumnya sering menimbulkan kebingungan publik (kekosongan hukum, penafsiran yang berbeda dan pemahaman mengenai pemenuhan kepentingan umum yang berbeda agar tidak timbul kesewenang-wenangan dalam negara atas nama diskresi)15