isi blok 12
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Demam Berdarah Dengue
Definisi
Demam Berdarah Dengue adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue
dengan manisfestasi klinis demam, nyeri otot/ atau nyeri sendi yang disertai leukopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.Penyakit ini termasuk self
limiting disease.
Epidemiologi
DBD pertama kali ditemukan di Filipina tahun 1953. Kemudian menyebar ke seluruh negara
tropis dan subtropis. Kini sekitar 2,5 milyar (2/5 penduduk dunia) punya risiko terserang
virus dengue. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah mengalami letusan wabah
demam dengue dan DBD.(7) Setiap tahun diperkirakan terdapat 20 juta kasus infeksi dengue.
Di Indonesia Kasus DBD pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968. Kasusnya
makin lama makin meningkat dan menyebar ke seluruh pelosok Tanah Air. Dari 27 propinsi
di Indonesia tahun 1997, sebanyak 31.789 menderita DBD 705 di antaranya meninggal
dunia.Sedangkan pada tahun 1998, Sebanyak 65.968 orang menderita DBD dengan 1275
berakhir dengan kematian.
Studi epidemiologi di daerah tropis dan subtropik :
- Epidemi terjadi tiap 2-5 tahun
- Sebelum tahun 1997 kebanyakan menyerang usia < 15 tahun kini baik dewasa
maupun anak kasusnya seimbang.
- Meningkat pada musim hujan. Suhu dan turunnya hujan dapat mempengaruhi daya
tahan hidup, laju penularan, pola makan dan reproduksi nyamuk
Namun epidemiologi DBD dapat berbeda-beda tergantung pada kondisi geografis dan
serotipe virusnya.
Etiologi
Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus Dengue ;
- Virus RNA untai tunggal, ukuran 50 nm
- Famili Flaviviridae, Genus Flavivirus (
- Termasuk kelompok B Arthropod Borne virus (Arbo viruses)
- Terdiri dari 4 serotipe ; Den 1, Den 2, Den 3, Den 4
- Infeksi salah satu serotipe menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan dan kurang terhadap serotipe yang lainnya. Semua serotipe tersebar
di berbagai daerah Indonesia. Serotipe Den 3 paling dominan dan diasumsikan
menimbulkan manifestasi klinik yang berat.
- Vektor utama adalah nyamuk Aedes aegypti, sedangkan vektor sekunder
yang kurang efisien adalah nyamuk Ae. albopictus, Ae. polynesiensis,Ae.
scutellaris complex, Ae. finlaya niveus.Vektor sekunder kurang efisien karena
hidup dan berkembang biak di kebun atau semak-semak sehingga relatif jauh
kontak dengan manusia.
Vektor Utama (Ae. aegypti)
Dinamakan Ae. aegypti sebab pertama kali ditemukan di Mesir tahun 1905,kemudian
menyebar di seluruh dunia melalui kapal laut dan udara.
- Hidup optimal pada iklim tropis dan subtropis, biasa pada garis lintang
35U dan 35S
- Habitatnya adalah tempat-tempat penampungan air bersih yang tidak
langsung berhubungan dengan tanah. Suka istirahat pada benda-benda yang
tergantung dalam rumah.
- Tersebar luas di seluruh pelosok tanah air baik kota maupun desa, tidak
dapat hidup pada ketinggian >1000 m di atas permukaan laut
- Bersifat sangat antropofilik dan hidup dekat dengan manusia.
- Kemampuan jarak terbang 40-100 m dari tempat berkembang biaknya
- Dari telur hingga dewasa perlu waktu 10-12 hari
- Umur nyamuk betina rata-rata 6 minggu
- Hanya nyamuk betina yang mengigit dan menghisap darah.
- Hanya darah manusia yang dipilihnya untuk mematangkan telur
Cara penularan
Virus Dengue masuk ke tubuh nyamuk Ae. aegypti pada saat menghisap darah manusia yang
sedang terinfeksi virus dengue dalam keadaan viremia (2 hari sebelum panas sampai dengan
5 hari setelah demam). Bila terinfeksi, nyamuk tetap akan terinfeksi sepanjang hidupnya dan
siap menularkan virus ke manusia yang rentan. Nyamuk betina yang terinfeksi dapat
menularkan virus secara Transovarian. Dalam 8-10 hari virus dengue berlipat ganda dalam
epitel usus tengah nyamuk lalu migrasi ke kelenjar ludah nyamuk (probosis) (extrinsic
incubation period) dan siap ditularkan ke manusia bila nyamuk betina tersebut menggigitnya.
Dalam tubuh manusia, masa tunas yang diperlukan virus antara 4-6 hari sebelum
menimbulkan penyakit. (Intrinsic Incubation Period).
Patogenesis
Virus merupakan organisme yang hanya dapat hidup dalam sel hidup. Maka demi
kelangsungan hidupnya virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu, terutama
dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya
tahan pejamu.
Teori yang banyak dianut pada DBD adalah ; Teori hipotesis infeksi sekunder
(Secondary Heterogenous Infection Theory) dan Teori hipotesis Imunne Enhancement. Kedua
teori tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa manusia yang mengalami infeksi
yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog punya risiko berat lebih
besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan
mengenai virus lain yang menginfeksi membentuk kompleks antigen-antibodi. Kompleks
tersebut berikatan dengan Fc reseptor membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena
antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh, maka bebas bereplikasi
dalam sel makrofag.
Teori lainnyayaitu Antibody Dependent Enhancement (ADE) menyatakan bahwa suatu proses
akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue dalam mononuklear sebagai
tanggapan terhadap infeksi tersebut. Terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga mengakibatkan keadaan-
keadaan seperti hipovolemia dan syok.
Berdasarkan teori secondary Heterolog Infection bahwa akibat infeksi sekunder oleh tipe
virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi amnestik yang terjadi
dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi Limfosit yang menghasilkan
titer tinggi Antibodi Ig G anti dengue. Terbentuk kompleks virus- antigen-antibodi.
Kompleks tersebut mengaktifkan sistim komplemen; terutama C3 dan C5. Selanjutnya akibat
aktivasi C3 dan C5 dilepaskan C3a dan C5a yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari intravaskular ke ekstravaskular, yang
ditandai dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium, dan terdapat cairan dalam
rongga serosa ( efusi pleura, asites).
Selain mengaktivasi sistim komplemen, kompleks virus-antigen-antibodi juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivasi sistim koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah. Kedua faktor tersebut menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran
trombosit sehingga dikeluarkan ADP (Adenosin Diphosphate) akibatnya trombosit melekat
satu sama lain.
Agregasi trombosit menyebabkan :
- Penghancuran oleh RES (Retikulo Endotelial Sistim) sehingga mengakibatkan
trombositopenia
- Pengeluaran pletelet faktor III sehingga terjadi koagulopati konsumtif (KID) yang
ditandai oleh peningkatan FDP (Fibrinogen Degradation Product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan
- Gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlahnya cukup namun tidak
berfungsi baik
- Aktivasi koagulasi menyebabkan diaktifkannya faktor Hageman selanjutnya terjadi
aktivasi sistim kinin yang memacu peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
mempercepat terjadinya syok. Ke empat hal tersebutlah yang menyebabkan
perdarahan masif pada DBD.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis virus dengue sangat bervariasi tergantung daya tahan tubuh dan virulensi
virus itu sendiri. Mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan tidak spesifik
(Undifferentiated Fever), Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue dan Sindrom syok
Dengue (SSD).
DEMAM DENGUE
Pada demam dengue (DD) dapat dijumpai keadaan-keadaan berikut ; (1,3,4,7)
- Demam tinggi tiba-tiba (>39oC), menetap 2-7 hari, kadang bersifat Bifasik
- Muka kemerahan (Flushing Face)
- Nyeri seluruh tubuh ; nyeri kepala, nyeri belakang mata terutama bila digerakkan,
nyeri otot, nyeri tulang, nyeri sendi dan nyeri perut
- Mual, muntah-muntah, tidak nafsu makan
- Timbul ruam merah halus sampai petekie
- Laboratorium terdapat leukopeni hingga trombositopenia
Namun demam dengue yang disertai perdarahan harus dibedakan dengan DBD. Pada
penderita demam dengue tidak ada tanda-tanda kebocoran plasma dan sebaliknya.
DEMAM BERDARAH DENGUE
Perbedaan DD dengan DBD terletak pada patofisiologi penyakit tersebut, di mana pada DBD
terdapat kelainan homeostasis dan perembesan plasma yang dibuktikan dengan adanya
trombositopenia dan peningkatan hematokrit.
Kriteria diagnosis DBD menurut WHO 1997 :
a) Klinis
- Demam tinggi tiba-tiba selama 2-7 hari, tanpa sebab yang jelas
- Terdapat menifestasi perdarahan berupa ; uji turniket +, petekie, ekimosis,
purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan
atau melena
- Pembesaran hati (hepatomegali)
b) Laboratorium
- Trombositopenia (trombosit < 100.000/μl)
- Hemokonsentrasi ; peningkatan hematokrit >20%
Diagnosis ditegakkan dengan dua kriteria klinis + dua kriteria laboratoris. Efusi pleura dan
atau hipoalbuminemia memperkuat diagnosis.
Menurut WHO 1997, DBD dibagi menjadi 4 derajat, yaitu :.
I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji turniket +
II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain
III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan dalam, tekanan nadi
menurun <20 mmHg, hipotensi,sianosis sekitar mulut, kulit dingin dan
lembab, tampak gelisah
IV Syok berat, nadi tidak dapat diraba tekanan darah tidak dapat diukur
SINDROM SYOK DENGUE (SSD)
Biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun biasanya antara hari ke 3 sampai ke
7).
Gejala yang timbul sesuai dengan keadaan syok :
- Pasien tampak gelisah
- Akral dingin dan pucat, kulit lembab
- Hipotensi, penurunan tekanan nadi (<20 mmHg)
- Nadi cepat dan lemah
- Turgor kulit menurun
- Mata cekung
- Pada bayi ubun-ubun dapat terlihat cekung
Penatalaksanaaan
Demam Dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. (3,4,7) pasien dianjurkan:
- Tirah baring selama masa demam
- Pemberian antipiretik paracetamol untuk menurunkan panas
- Pemberian cairan dan elektrolit per oral seperti jus buah, sirup, dan susu
di samping air putih
- Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen
saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan
Demam Berdarah Dengue
a) Demam dapat di atasi dengan kompres air dingin antipiretik parasetamol 3x
sehari pemberian cairan per oral, periksa kadar Hematokrit berkala
b) Penggantian volume plasma
Indikasi pemberian cairan intravena :
- Pasien terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi
- Hematokrit semakin meningkat
Jenis cairan (rekomendasi WHO 1997)
1) Kristaloid
- Larutan Ringer Laktat (RL)
- Larutan Ringer Asetat
- Larutan Nacl 0,9% (garam faali)
- Dextrosa 5% dalam RL (D5/RL)
- Dextrosa 5% dalam RA (D5/RA)
- Dextrosa 5% dalam ½ larutan Nacl 0.9% (D5/ ½ LGF) (catatan : untuk
resusitasi syok digunakan RL/RA, tidak boleh Larutan yang mengandung
dextrosa)
2) Koloid
- Dextran 40
- Plasma
- Albumin
Pasien datang, beri cairan kristaloid 6-7 ml/kgBB /jam. Monitor tanda vital tiap 6 jam.
Selanjutnya evaluasi selama 12-24 jam. Bila selama observasi keadaan umum membaik
tetesan kurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam.
Bila observasi selanjutnya makin membaik kurangi tetesan menjadi 3 ml/kgBB/jam sampai
akhirnya setelah 24-48 jam cairan dihentikan. Bila keadaan makin buruk tetesan di naikkan
menjadi 10 ml/kgBB/jam.
Bila dalam 1 jam tidak ada perbaikan naikkan tetesan menjadi 15 ml/kgBB/jam. Bila terjadi
distres pernafasan dan Ht naik maka ganti menjadi cairan koloid 20-30 ml/kgBB/jam
maksimal 1500ml/kali. Tapi bila Ht turun berikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB. Bila
keadaan klinis membaik cairan disesuaikan.
Sindrom Syok Dengue
Segera beri infus kristaloid 10-20 ml/kgBB/30 menit berikut O2 2 lt/mnt. Untuk SSD berat
ditambah larutan koloid 10-20 ml/kgBB/kali diberikan bersamaan dengan lajur infus
kristaloid. Observasi tekanan darah tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam.
Periksa elektrolit dan gula darah.
Bila dalam 30 menit syok belum teratasi, penanganan sama seperti syok berat.
Bila syok teratasi dengan tanda-tanda yaitu penurunan Hb/Ht, tekanan nadi >20mmHg, nadi
kuat maka tetesan kurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam pertahankan hingga 24 jam atau sampai
klinis stabil dan Ht turun <40%.
Selanjutnya tetesan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam kemudian 5 ml/kgBB/jam kemudian
3ml/kgBB/jam hingga 48 jam setelah syok teratasi, bila keadaan makin membaik hentikan
cairan.
Bila syok belum teratasi sedangkan Ht menurun >40% berikan transfusi darah segar 10
ml/kgBB. Bila perdarahan masif berikan transfusi darah segar 20 ml/kgBB/jam dan lanjutkan
dengan kristaloid 10 ml/kgBB/jam.
Bila syok masih juga belum teratasi, pasang kateter urin untuk memonitor balans cairan. Dan
berikan obat-obatan vasopresor. Berikan terapi simtomatik sesuai indikasi.
Protokol 1 : Tersangka DBD
Pasien pulang bila : Hb,Ht normal, trombosit >100.000 /μl dalam 24 jam. Dengan catatan
kontrol kembali bila keadaan malin buruk. Bila masih meragukan, observasi dan berikan
infus kristaloid 500 cc per 4 jam, ulang Hb, Ht, trombosit.
Pasien di rawat bila Hb, Ht normal tapi trombosit < 100.000/ μl. Atau Hb, Ht tetap/meningkat
dengan trombosit normal/ menurun. Monitor vital serta jumlah urin tiap 4 jam.
Protokol 2 DBD : tanpa perdarahan masif dan syok
Berikan infus larutan kristaloid 4 jam/ kolf atau volume cairan kristaloid per hari yang
diperlukan, sesuai rumus berikut : 1500+(20x(BB dalam kg -20))
Bila Hb,Ht normal dan trombosit > 100.000 -150.000 maka cukup monitor lagi tiap 24 jam.
Tapi bila Hb, Ht meningkat periksa ulang tiap 12 jam. Setelah 24 jam bila Hb, Ht, dan
trombosit :
- Stabil, pasien boleh pulang
- Normal/ meningkat trombosit >100.000, ulang periksa tiap 12 jam selama 24 jam.
Bila normal dan stabil, boleh pulang.
- Klinis memburuk, menunjukkan tanda syok, terapi di sesuaikan seperti pada syok.
- Bila keadaan memburuk harus segera kembali dirawat
Protokol 3 : DBD dengan perdarahan spontan dan masif tanpa syok
Segera infus larutan kristaloid 4 jam/ kolf. Periksa tanda-tanda vital, darah perifer lengkap,
dan homeostasis tiap 4-6 jam. Bila ada tanda-tanda KID berikan heparin. Transfusi
komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh rozen plasma (FFP) diberikan bila terdapat
defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan PTT memanjang). Packed Red Cells (PRC)
diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g%. transfusi trombosit diberikan pada DBD dengan
perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000 disertai atau tanpa KID.
Pada kasus dengan KID pemeriksaan homeostasis diulang 24 jam kemudian, sedangkan pada
kasus tanpa KID pemeriksaan dikerjakan bila masih ada perdarahan. Penderita DBD dengan
gejala-gejala tersebut bila dijumpai di puskesmas perlu dirujuk dengan infus, idealnya dengan
plasma expander (dekstran) 1-1,5 lt/24 jam. Bila tidak tersedia dapat diberikan kristaloid.Juga
diberikan terapi simtomatik sesuai indikasi.
Protokol 4 : DBD dengan syok dan perdarahan spontan.
Fase awal segera berikan infus larutan kristaloid terutama RL 20 ml/kgBB/jam. Berikan O2
2-4 lt/mnt periksa elektrolit dan ureum, kreatinin. Evaluasi selama 30-120 menit. Syok
dikatakan teratasi bila keadaan umum membaik, keadaan Sistim Saraf Pusat baik, sistol di
atas 100 mmhg dengan tekanan nadi > 20 mmHg. Nadi kurang dari 100X/menit dengan
volume yang cukup. Akral hangat, tidak pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam. Bila syok
telah teratasi infus dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam lanjut evaluasi 60-120 menit berikut.
Bila klinis menjadi stabil kurangi lagi menjadi 4 jam/kolf. Selama ini periksa ulang Hb, Ht,
trombosit, serta elektrolit tiap 4-6 jam. Bila hemodinamik masih belum stabil dengan Ht
>30% anjuran kombinasi kristaloid dan koloid dengan perbandingan 3-4: 1 namun bila Ht
<30% berikan transfusi darah merah. Bila syok dari awal tidak teratasi langsung berikan lar
koloid 10-20 ml/kgBB/jam maksimal 1500 ml/24 jam. Bila Ht<30% segera transfusi darah
merah.
Bila syok masih juga belum teratasi berikan obat-obatan vasopresor seperti dopamin,
dobutamin atau epinefrin. Bila ternyata ada KID berikan heparin dan transfusi komponen
darah sesuai indikasi. Periksa homeostasis 24 jam setelah pemberian heparin. Tanpa KID
periksa homeostasis di ulang bila masih ada perdarahan. Berikan juga obat- obatan sesuai
gejala yang ada. (terapi simtomatik)
Protokol 5 : DBD dengan syok tanpa perdarahan
Pada dasarnya sama prinsipnya seperti protokol 4 hanya saja pemeriksaan klinis dan laboratorium dilakukan seteliti mungkin untuk menentukan kemungkinan perdarahan tersembunyi disertai KID, maka heparin dapat diberikan. Bila tidak didapatkan tanda- tanda perdarahan, walau hasil pemeriksaan homeostasis menunjukkan KID maka heparin tidak diberikan, kecuali bila ada perkembangan ke arah perdarahan.
KOMPLIKASI
Ensefalopati dengue
Merupakan komplikasi syok yang berkepanjangan dengan pendarahan, tetapi juga dapat
terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia,
hiponatremia, atau pendarahan dapat menyebabkan ensefalopati. Ensefalopati DBD bersifat
sementara. Bisa terjadi penurunan kesadaran menjadi apatis atau somnolen, dapat disertai
kejang atau tidak.
Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat syok yang tidak teratasi
dengan baik. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan
volume intravaskuler.
Oedem Paru
Oedem paru merupakan komplikasi yang penting yang mungkin terjadi akibat pemberian
cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai
panduan yang diberikan, biasanya tidak menyebabkan udem paru, karena perembesan plasma
masih terjadi. Tiap pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ruang ekstravakuler, apabila
cairan yang diberikan berlebih pasien akan mengalami distress pernapasan, disertai sembab
kelopak mata,dan ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto rontgen dada.
Sepsis
Merupakan akibat penggunaan jalur intravena yang terkontaminasi. Dapat mengakibatkan
syok hingga kematian akibat penanganan yang tidak adekuat.
UPAYA PENCEGAHAN
1. Pemberantasan secara kimiawi
- Pengasapan (Fogging)
- Bubuk Abate
2. Pemberantasan secara hayati dengan menggunakan agen hayati : ikan cupang,
larva ikan nila
3. Pemberantasan secara fisika (Gerakan 3M) :
- Menguras tempat-tempat penampungan air minimal seminggu sekali, dan
menaburkan bubuk Abate ke dalamnya
- Menutup rapat tempat-tempat penempungan air
- Mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan
KESIMPULAN
Demam Berdarah Dengue sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah dan korban
meninggal dunia yang tidak sedikit masih terus saja ada hingga saat ini. Terakhir kembali
mewabah pada awal tahun 2004 yang lalu. Penyakit ini disebabkan virus Dengue yang
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama. Manifestasi klinis penyakit
dapat bermacam-macam mulai dari demam tidak khas, demam dengue, demam berdarah
dengue, sindrom syok dengue, hingga berakhir kepada kematian. Terapi ditujukan terutama
pada pengantian volume plasma yang hilang. Selain dibarengi dengan terapi simtomatik
sesuai indikasi. Upaya pencegahan penyakit harus semakin ditingkatkan guna mencegah atau
mengurangi kasus, morbiditas serta mortalitas akibat DBD.
Daftar Pustaka
1) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I FKUI edisi III. Jakarta, 1996. Hal : 417-426.
2) Harrison’s Principles of Internal Medicine 14th edition volume 2. International edition.
USA,1998. Page: 1141-1145.
3) Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Departemen Kesehatan. Dirjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, edisi 2 tahun 2001.
4) Demam Berdarah Dengue. Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian. World
Heatlh Organization. Jakarta : EGC,1999.
6) Pangalila PEA. Demam Berdarah Dengue pada remaja/ dewasa. Presentasi pada
simposium Demam Berdarah Dengue, IPD FK Untar/RS Sumber Waras. Jakarta : 1997.
Demam Tifoid
Diagnosis Pembeda1
Penyakit-penyakit gastrointestinal, dan penyakit infeksi, contohnya tuberculosis, infective
endocarditis, brucellosis, lymphoma, and Q fever.
Epidemiologi2
Demam tifoid menyerang penduduk di semua Negara. Seperti penyakit menular lainnya,
tifoid banyak ditemukan di negara berkembang yang higiene pribadi dan sanitasi lingkungan
kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi tergantung dari lokasi, kondisi lingkungan setempat,
dan perilaku masyarakat. Angka insidens di Amerika Serikat tahun 1660 adalah 300-500
kasus per tahun dan terus menurun. Prevalensi di Amerika Latin sekitar 150/100.000
penduduk setiap tahunnya, sedangkan prevalensi di Asia jauh lebih banyak yaitu sekitar
900/10.000 penduduk per tahun. Meskipun demam tifoid menyerang semua umur, namun
golongan terbesar tetap pada usia 20 tahun.
Etiologi6
Disebabkan oleh bakteri bergenus Salmonella, dalam famili enterobacter. Demam tifoid
terutama disebabkan oleh Salmonella enterica subspecies enterica serotype Typhumurium,
yang biasa disingkat Salmonella Typhumurium. Serotipe-serotipe yang dapat menyebabkan
penyakit demam tifoid adalah Salmonella paratyphii A(serogroup A), Paratyphii B
(serogroup B), Cholerasuis (Serogroup C1), dan Typhi ( serogroup D).
Patofisiologi3-5
Bakteri Salmonella pada awalnya masuk ke tubuh host melalui makanan atau minuman.
Sebagian bakteri mati oleh asam lambung, dan bakteri yang masih hidup kemudian dapat
berkembang biak. Bila respon imun humoral di usus (IgA) buruk, bakteri akan menembus
sel-sel epitel, kemudian masuk ke lamina propia. Di lamina propia, bakteri tumbuh lagi, dan
difagosit oleh sel makrofag. Bakteri itu dapat tumbuh di sel makrofag, kemudian akan dibawa
ke plak peyeri ileum distal, dan kemudian ke kelenjar getah bening mesentrika. Lalu melalui
duktus torasikus, bakteri masuk ke pembuluh darah(bakterimia non asimptomatik) dan
menyebar ke seluruh jaringan retikuloendotelial, terutama hati dan limpa. Di organ ini,
bakteri keluar dari jaringan, dan berkembang biak di ruang sinusoid., dan selanjutnya masuk
pembuluh darah lagi menyebabkan bakterimia kedua. Di dalam hati, bakteri masuk ke
kantung empedu, dan berkembang biak disana, dan bersama cairan empedu diekskresikan
keluar tubuh melaui feses, dan bisa terjadi infeksi ulang ke host yang sama melalui feses.
Karena makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif, jika terjadi infeksi ulang, makrofag akan
melepas mediator inflamasi, yang menyebabkan berbagai gejala infeksi sistemik. Pada plak
peyeri, makrofag menjadi hiperaktif yang menimbulkan hyperplasia jaringan, dan dapat
menyebabkan perforasi usus, dan nekrosis jaringan. Endotoksin dari nakteri ini dapat
menyebabkan berbagai komplikasi.
Komplikasi3
a) Intestinal
Perdarahan usus, dan dapat juga terjadi perforasi usus
b) Ekstraintestinal
i) Kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis
ii) Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, thrombosis
iii) Paru: pneumonia, emphysema, pleuritis
iv) Hepatobilier: hepatitis, kolesistisis
v) Ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
vi) Tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis
vii)Neuropsikiatrik/ tifoid toksik.
Terapi1-5,7
c) Non Medika Mentosa
Perawatan terutama dengan istirahat cukup, dan pengawasan diet. Istirahat dilakukan
supaya tidak terjadi komplikasi, dan juga mempercepat masa penyembuhan. Pada
demam tifoid, sebaiknya diberi diet bubur saring, kemudian bila sudah agak membaik
bisa diberi bubur kasar, dan kemudian bila sudah membaik lagi diberi nasi.
Pengaturan diet ini berguna untuk menghidari komplikasi dari salurang cerna.
d) Medika Mentosa
i) Kloramfenikol
Merupakan obat pilihan utama yang dipakai dalam pengobatan demam tifoid, bila
bakteri masih belum resisten. Bekerja dengan menghambat enzim peptidil
transferase dari ribosom 50S bakteri. Memiliki efek samping, yaitu depresi
sumsum tulang belakang, reaksi saluran cerna, dan sindrom gray pada neonatus.
Obat ini diberi dengan dosis 4x500 mg /hari per oral atau intravena, sampai 7 hari
bebas panas. Penurunan demam rata-rata setelah 7,2 hari atau 5 hari. Obat ini
kurang efektif pada bakteri multi drug resistance. Kontraindikasi terhadapa wanita
hamil, karena dapat menyebabakan partus premature, kematian fetus intrauterine,
dan grey syndrome.
ii) Tiamfenikol
Struktur dan mekanisme mirip dengan kloramfenikol. Obat ini umumnya lebih
tidak aktif daripada kloramfenikol, namun memiliki efek samping yang lebih
ringan dari kloramfenikol. Dosisnya adalah 4x500 mg/ hari, dan demam biasa
turun pada hari ke-5 sampai ke-6. Kontaraindikasi pada wanita hamil.
iii) Kotrimoksazol
Terdiri dari Trimetoprim dan sulfametoksazol, yang mengambat reaksi enzimatik
obligat pada 2 tahap, sehingga lebih efektif. Efek samping biasa tidak ada, bila
diberikan sesuai dengan dosis, namun bisa terjadi anemia, megaloblastis,
leukopenia, atau trombositopenia. Pada pengobatan demam tifoid diberikan 2x2
tablet(1 tablet:400mg sulfametoksazol dan 80mg trimetoprim) selama 2 minggu.
Bakteri ini juga ada yang resisten terhadapa kotrimoksazol. Kontraindikasi pada
wanita hamil.
iv) Ampisilin dan amoksissilin
Merupakan obat golongan penisilin bersprektrum luas, bekerja dalam
menghambat pembentukan dinding sel mikroba. Efek samping, bisa muncul
berbagai reaksi alergi pada orang-orang tertentu, dan juga memiliki efek toksis
jika diberi dosis berlebih. Kemampuan menurunkan demam kurang disbanding
kloramfenikol. Dosis yang dianjurakan berkisar 50-150mg/kgBB selama 2
minggu. Obat ini dapat digunakan untuk pengobatana demam tifoid pada wanita
hamil.
v) Sefalosporin generasi ketiga
Mekanisme kerja mirip dengan golongan beta laktam lain, yaitu menghambat
sintesis dinding sel. Sefalosporin generasi ketiga umumnya bekerja kurang aktif
terhadap bakteri gram positif, namun sangat efektif terhadapa Enterobactericae.
Efek samping berupa efek alergi, nefrotoksik, dan diare. Golongan sefalosporin
generasi ketiga yang efektif adalah seftriakson, dengan dosis efektif 3-4 gram
dalam dekstrosa 100 cc selama ½ jam perinfus sekali sehari, dan diberikan 3
hingga 5 hari. Obat ini dapat digunakan dalam pengobatan demam tifoid pada
wanita hamil. Terdapat bakteri S.typhii yang resisten terhadap obat ini, namun
masih belum luas, karena itu obat ini masih efektif dalam mengobati demam
tifoid. Obat ini efektif dalam menghadapi NARST.
vi) Florokuinon
Bekerja dengan menggangu enzim DNA girase, sehingga menggangu proses
replikasi dan transkripsi bakteri. Efek samping dari obat golongan kuinolon adalah
kelainan saluran cerna, susunan saraf pusat, hepatotoksik, kardiotoksik,
disglikemia, fototoksik, dan lain-lain. Untuk terapi demam tifoid, dapat diberikan
norfloksasin dosis 2x 400 mg/hari selama 14 hari, atau siprofloksasin 2 x 500
mg/hari selama 6 hari, atau ofloksasin dosis 2x 400 mg/hari selama 7 hari, atau
perfloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari, atau fleroksasin dosis 400 mg/hari
selama 7 hari. Demam biasa lisis pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4, dan bisa
lebih lambat pada pemberian norfloksasin. Kontraindikasi kepada wanita hamil.
Golongan obat ini merupakan paling efektif dalam pengobatan demam tifoid,
namun ada bakteri salmonella yang resisten terhadapa florokuinolon,yaitu
Nalidixic Acid Resistant Salmonella Typhii (NARST).
vii)Azitromisin
Bekerja dalam menghambat sintesis protein, yaitu dengan mengikat secara
reversible ribosom 50S dari bakteri. Obat ini dapat mengurangi kegagalan klinis
dan durasi rawat inap. Selain itu obat ini dapat mengungi angka relaps dibanding
seftriakson. Obat ini juga efektif dalam menghadapi NARST, namun harganya
relative mahal.
Kesimpulan
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi Salmonella typhii. Gejala khas yang muncul adalah
demam yang naik perlahan-lahan, kenaikan suhu tubuh pada minggu pertama infeksi,
bradikardi relatif pada minggu kedua, dan nyeri tekan abdominal pada kuadran kanan bawah.
Selain itu, S.typhii dapat ditemukan di kultur darah, feses, dan urin. Untuk secara cepat
mengetahui adanya infeksi dapat digunakan berbagai tes serologi, yang paling sering adalah
tes serologi widal. Diagnosis pembeda dari demam tifoid adalah berbagai macam kelainan
gastrointestinal dan infeksi dari bakteri-bakteri. Patofisologi dari demam tifoid adalah bakteri
masuk melalui oral, kemudian berkolonisasi di usus, kemudian di fagosit oleh makrofag, lalu
masuk ke pembuluh darah, dan akhirnya akan berkembang lagi di jaringan
retikuloendothelial. Setelah itu terjadi bakteriemia kedua yang simptomatik. Komplikasi
berupa komplikasi intestinal dan ekstraintestinal. Pengobatan dengan pemberian berbagai
antibiotik, terutama kloramfenikol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chambers HF. Bacterial & chlamydial infections. In: McPhee SJ, Papadkis MA,
Tierney, Jr. LM, editor. Current medical diagnosis & treatment 2008. 47 th ed.USA:
The McGraw-Hill Companies; 2008.p.1250-4.
2. Demam Tifoid. In: Widoyono. Penyakit tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan,
& pemberantasannya. Semarang: Penerbit Erlangga; 2008.p.34-6.
3. Widodo D. Demam Tifoid. In:Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata K M,
Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V.Jakarta: InternaPublishing;
2009.p.2797-2805.
4. Buttler T, Scheld WM. Thypoid fever. In: Arrend WD, Armitage JO, Drazen Jm, Gill
GN, Griggs RC, Powell DW, et al. Cecil textbook of medicine. 22nd ed. USA:
Saunders; 2004.p.1847-50
5. Lesser CF, Miller SI. Salmonellosis. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser
SL, Longo DL, Jameseon JL. Harrison’s principle of internal medicine. 15th ed. USA:
McGraww-Hill; 2001.p.970-3.
6. The salmonella-arizona group. In: Brooks GF, Carrol KC, Butel JS, Morse SA,
Mietzner TA. jawetz, Melnick, & Adelberg;s medical microbiology. 25 th ed. USA:
Mc Graw-Hill;2004.p.221-5.
7. Antimikroba. In: Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi.
Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru; 2007.p.585-731.
Leptospirosis
Pendahuluan
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen yang
dikenal dengan nama Leptosira Interrogans . Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh
Weil pada tahun 1886 sebagai penyakit yang berbeda dengan penyakit lain yang juga ditandai
oleh ikterus. 1
Gejala penyakit ini sangat bervariasi mulai dari gejala infeksi ringan sampai dengan gejala
infeksi berat dan fatal. Dalam bentuk ringan, leptospirosis dapat menampilkan gejala seperti
influenza disertai nyeri kepala dan mialgia. Dalam bentuk parah (disebut sebagai Weil’s
syndrome), leptospirosis secara khas menampilkan gejala ikterus, disfungsi renal, dan diatesis
hemoragika. 2
Diagnosis leptospirosis seringkali terlewatkan sebab gejala klinis penyakit ini tidak spesifik
dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium. Dalam dekade belakangan
ini, kejadian luar biasa leptospirosis di beberapa negara, seperti Asia, Amerika Selatan dan
Tengah, serta Amerika Serikat menjadikan penyakit ini termasuk dalam the emerging
infectious diseases. 2
Definisi
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan
yang disebabkan kuman leptospira patogen dan digolongkan sebagai zoonosis. Penyakit ini
dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever,
infektious jaundice, field fever, cane cutter fever, canicola fever, nanukayami fever, 7-day
fever dan lain-lain. 3
Epidemiologi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang tersebar di seluruh dunia, disemua benua
kecuali Antartika, namun terbanyak didapati didaerah tropis. Penularan leptospirosis pada
manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Kuman leptospira
mengenai sedikitnya 160 spesies mamalia, seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut,
dan sebagainya. Binatang pengerat terutama tikus merupakan vektor yang paling banyak.
Tikus merupakan vektor utama dari L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada
manusia. Dalam tubuh tikus kuman leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta
berkembang biak di dalam epitel tubus ginjal tikus dan secara terus dikeluarkan melalui urin
saat berkemih.
Penyakit ini bersifat musiman, didaerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada
musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi
kelangsungan hidup kuman leptospira, sedangkan didaerah tropis insidens tertinggi terjadi
selama musim hujan.
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai Negara dengan insidens
leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga dunia untuk mortalitas.
Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Barat. Pada Kejadian Banjir Besar Di Jakarta tahun 2002, dilaporkan
lebih dari 100 kasus leptospirosis dengan 20 kematian. Epidemi leptospirosis dapat terjadi
akibat terpapar oleh genangan /luapan air (banjir) yang terkontaminasi oleh urin hewan yang
terinfeksi.
Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae, suatu
mikroorganisme spirocheata. Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies yaitu
L.interrogans yang patogen dan L. biflexa yang hidup bebas (non patogen atau saprofit).
Spesies L.interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi menjadi
banyak serovar menurut komposisi antigennya.
Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23. Beberapa serovar
L.interrogans yang dapat menginfeksi manusia di antaranya adalah L. Icterohaemorrhagiae,
L.manhao L. Javanica, L. bufonis, L. copenhageni, dan lain-lain. Serovar yang paling sering
menginfeksi manusia ialah L. icterohaemorrhagiae dengan reservoir tikus, L. canicola dengan
reservoir anjing, L. pomona dengan reservoir sapi dan babi. 2,3
Menurut West Indian med. j. vol.54 no.1 Mona Jan. 2005. Serogrup leptospira yang sering
menyebabkan leptospirosis adalah:
Tabel 1. Serogrup leptospira26
Kuman leptospira bersifat aquatic micro-organism dan slow-growing anaerobes, bentuknya
berpilin seperti spiral, tipis, organisme yang dapat bergerak cepat dengan kait di ujungnya
dan 2 flagella periplasmik yang dapat menembus ke jaringan. Panjangnya 6-20 µm dan lebar
0,1 µm ( lihat gambar 1). Kuman ini sangat halus tapi dapat dilihat dengan mikroskop
lapangan gelap dan pewarnaan perak. 3,4
Kuman leptospira dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air laut,
selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Kuman leptospira hidup dan
berkembang biak di tubuh hewan. Semua hewan bisa terjangkiti. Paling banyak tikus dan
hewan pengerat lainnya, selain hewan ternak. Hewan piaraan, dan hewan liar pun dapat
terjangkit. 2
Gambar 1. Leptospira
Penularan3,5
Penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung. Penularan langsung dapat
terjadi melalui darah, urin, atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira masuk
ke dalam tubuh pejamu; dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan; dan
dari manusia ke manusia meskipun jarang Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak
dengan genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang telah tercemar urin
binatang yang terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika terdapat luka / erosi pada kulit
atau selaput lendir. Terpapar lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang
utuh juga dapat menularkan leptospira.
Oleh karena leptospira diekskresi melalui urin dan dapat bertahan hidup berbulan-bulan ,
maka air memegang peranan penting sebagai alat transmisi.
Kelompok pekerjaan yang beresiko tinggi terinfeksi leptospirosis antara lain pekerja-pekerja
di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, tentara, pembersih selokan,
parit/saluran air, pekerja di perindustrian perikanan, atau mereka yang selalu kontak dengan
air seni binatang seperti dokter hewan, mantri hewan, penjagal hewan atau para pekerja
laboratorium.
Patogenesis2,3,4
Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman leptospira masuk kedalam
tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa utuh
yang melapisi mulut, faring, esofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi
droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski jarang, pernah dilaporkan
penetrasi kuman leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air saat banjir.
Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam lambung yang
mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak firulen gagal bermultiplikasi dan
dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah satu atau dua hari infeksi.
Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat
diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan
penyakit.
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga menimbulkan vaskulitis
disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis kuman leptospira yang penting adalah
perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada
kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri
gram (-) dan aktifitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan
trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal kuman
leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis
berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler,
sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan
perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal.
Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari
jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangya
sekresi bilirubin.
Gambar 2. Penularan dan manifestasi leptosirosis21
Dapat juga leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki
akiran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi
respon immunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan
dan terbentuk antibody spesifik. Walaupun demikian beberapa organism ini masih bertahan
pada daerah yang terisolasi secara immunologi seperti di dalam ginjal dimana bagian mikro
organism akan mencapai convoluted tubulus. Bertahan disana dan dilepaskan melaliu urin.
Leptospira dapat dijumpai dalam urin sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi
dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan
dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah
setelah terbentuknya agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikro organism hanya
dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiuria berlangsung 1-4 minggu.
Tiga mekanisme yang terlibat pada pathogenese leptospirosis : invasi bakteri langsung, faktor
inflamasi non spesifik, dan reaksi immunologi.
Masuk melalui luka di kulit, konjungtiva,
Selaput mukosa utuh
↓
Multiplikasi kuman dan menyebar melalui aliran darah
↓
Kerusakan endotel pembuluh darah kecil :
ekstravasasi Sel dan perdarahan
↓
Perubahan patologi di organ/jaringan
- Ginjal : nefritis interstitial sampai nekrosis tubulus, perdarahan.
- Hati : gambaran non spesifik sampai nekrosis sentrilobular disertai
hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.
- Paru : inflamasi interstitial sampai perdarahan paru
- Otot lurik : nekrosis fokal
- Jantung : petekie, endokarditis akut, miokarditis toksik
- Mata : dilatasi pembuluh darah, uveitis, iritis, iridosiklitis.
Patologi1,7,9
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung
jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena
kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbadaan antaraderajat
gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histology
yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata
dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa kerusakan bukan berasal dari struktur
organ. Lesi inflamasi menunjukan edema dan infiltrasi dari sel monosit, limfosit dan sel
plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan
disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal, leptospira juga dapat bertahan
pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan cerebrospinalis dalam fase
spiremia. Hal ini menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak
yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira
adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah.
Kelainan spesifik pada organ:
Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi pada
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat
nekrosis tubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi immunologis, iskemia, gagal
ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikro organism juga berperan menimbulkan kerusakan
ginjal.
Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan
proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan
leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim.
Jantung: epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium
dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma.
Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada
miokardium dan endikarditis.
Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal nekrotis,
vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi
langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
Pembuluh darah: Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis
yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan atau petechie pada
mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
Susunan saraf pusat: Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal (CSS) dan
dikaitkan dengan terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon
antibody, tidak p-ada saat masuk CSS. Diduga terjadinya meningitis diperantarai oleh
mekanisme immunologis. Terjadi penebalan meningen dengan sedikit peningkatan sel
mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling
sering disebabkan oleh L. canicola.
Weil Desease. Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus, biasanya
disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe kontinua.
Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis. Penyebab Weil
disease adalah serotype icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh serotype
copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatic atau
disfungsi vascular.
Manifestasi klinik3,4
Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 2 – 26 hari, biasanya 7 - 13 hari dan rata-rata 10
hari.
Gambaran klinik pada leptospirosis :
Yang sering: demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia,
conjungtivitis, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, fotofobia.
Yang jarang: pneumonitis, hemaptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali,
artralgia, gagal ginjal, periferal neuritis, pankreatitis, parotitis, epididimytis, hematemesis,
asites, miokarditis.
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas ( bifasik ) yaitu fase
leptospiremia/septikemia dan fase imun.
Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari)
Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira dalam darah dan css,
berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal,
rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pingang disertai nyeri
tekan pada otot tersebut. Mialgia dapat di ikuti dengan hiperestesi kulit, demam
tinggi yang disertai mengigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai
mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada
pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke
3-4 dapat di jumpai adanya conjungtivitis dan fotophobia. Pada kulit dapat
dijumpai rash yang berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-
kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini
berlangsung 4-7 hari. Jika cepat di tangani pasien akan membaik, suhu akan
kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali
normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun
setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam
kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.
Fase Imun (minggu ke-2)
Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab antibodi dapat terdeteksi
dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin, namun tidak dapat
ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini muncul sebagai
konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan berakhir dalam waktu 30
hari atau lebih.
Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala pada fase
pertama. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama beberapa hari,
namun ditemukan juga beberapa kasus dengan gejala penyakit bertahan sampai
beberapa minggu. Demam dan mialgia pada fase yang ke-2 ini tidak begitu
menonjol seperti pada fase pertama. Sekitar 77% pasien dilaporkan mengalami
nyeri kepala hebat yang nyaris tidak dapat dikonrol dengan preparat analgesik.
Nyeri kepala ini seringkali merupakan tanda awal dari meningitis.
Anicteric disesase ( meningitis aseptik ) merupakan gejala klinik paling utama yang
menandai fase imun anicteric Gejala dan keluhan meningeal ditemukan pada
sekitar 50 % pasien. Namun, cairan cerebrospinalis yang pleiositosis ditemukan
pada sebagian besar pasien. Gejala meningeal umumnya menghilang dalam
beberapa hari atau dapat pula menetap sampai beberapa minggu. Meningitis aseptik
ini lebih banyak dialami oleh kasus anak-anak dibandingkan dengan kasus dewasa
Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat diisolasi dari darah
selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang ditemukan adalah
nyeri perut disertai diare atau konstipasi ( ditemukan pada 30 % kasus ),
hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia. Uveitis ditemukan pada 2-10 %
kasus, dapat ditemukan pada fase awal atau fase lanjut dari penyakit. Gejala iritis,
iridosiklitis dan khorioretinitis ( komplikasi lambat yang dapat menetap selama
beberapa tahun ) dapat muncul pada minggu ketiga namun dapat pula muncul
beberapa bulan setelah awal penyakit.
Komplikasi mata yang paling sering ditemukan adalah hemoragia subconjunctival,
bahkan leptospira dapat ditemukan dalam cairan aquaeous. Keluhan dan gejala
gangguan ginjal seperti azotemia, piuria, hematuria, proteinuria dan oliguria
ditemukan pada 50 % kasus. Manifestasi paru ditemukan pada 20-70 % kasus. Selain
itu, limfadenopati, bercak kemerahan dan nyeri otot juga dapat ditemukan.
Fase Penyembuhan / Fase reconvalesence (minggu ke 2-4)
Demam dan nyeri otot masih bisa dijumpai yang kemudian berangsur-angsur
hilang.
1. Leptospirosis anikterik 1,10
- 90% dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat.
- Perjalanan penyakit leptospirosis anikterik maupun ikterik umumnya bifasik
karena mempunyai 2 fase, yaitu : 3
a. Fase leptospiremia/fase septikemia
- Organisme bakteri dapat diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal dan
sebagian besar jaringan tubuh.
- Selama fase ini terjadi sekitar 4-7 hari, penderita mengalami gejala
nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya.
- Karakteristik manifestasi klinis : demam, menggigil kedinginan, lemah dan
nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut.
- Gejala lain : sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, sakit
kepala regio frontal, fotofobia, gangguan mental, dan gejala lain dari
meningitis.
b. Fase imun atau leptospirurik
- sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urine dan
mungkin tidak dapat didapatkan lagi pada darah atau cairan serebrospinalis.
- Fase ini terjadi karena akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi dan
terjadi pada 0-30 hari atau lebih.
- Gangguan dapat timbul tergantung manifestasi pada organ tubuh yang timbul
seperti gangguan pada selaput otak, hati, mata atau ginjal.3
- Manifestasi klinik terpenting leptospirosis anikterik : meningitis aseptik yang
tidak spesifik sehingga sering tidak terdiagnosis.
- Pasien leptospirosis anikterik jarang diberi obat, karena keluhannya ringan,
gejala klinik akan hilang dalam kurun waktu 2 sampai 3 minggu.
- Merupakan penyebab utama fever of unknown origin di beberapa negara Asia
seperti Thailand dan Malaysia.
- Adanya conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis, limfadenopati,
splenomegali, hepatomegali dan ruam makulopapular dapat ditemukan
meskipun jarang.
- Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis dapat dijumpai pada pasien
leptospirosis anikterik maupun ikterik.
2. Leptospirosis ikterik 1,10
- Demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak
tumpang tindih dengan fase septikemia.
- Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah kuman
leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien dan
kecepatan memperoleh terapi yang tepat.
- Pasien tidak mengalami kerusakan hepatoselular, bilirubin meningkat, kadar
enzim transaminase serum hanya sedikit meningkat, fungsi hati kembali
normal setelah pasien sembuh.
- Leptospirosis sering menyebabkan gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi
perdarahan, yang merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil.
- Azotemia, oliguria atau anuria umumnya terjadi dalam minggu kedua tetapi
dapat ditemukan pada hari ketiga perjalanan penyakit.
- Pada leptospirosis berat, abnormalitas pencitraan paru sering dijumpai
meskipun pada pemeriksaan fisik belum ditemukan kelainan.
- Pencitraan yang paling sering ditemukan adalah patchy alveolar pattern yang
berhubungan dengan perdarahan alveoli yang menyebar sampai efusi pleura.
Kelainan pencitraan paru umumnya ditemukan pada lobus perifer paru bagian
bawah.
- Komplikasi berat seperti miokarditis hemoragik, kegagalan fungsi beberapa
organ, perdarahan masif dan Adult Respiratory Distress Syndromes (ARDS)
merupakan penyebab utama kematian yang hampir semuanya terjadi pada
pasien-pasien dengan leptospirosis ikterik.
- Penyebab kematian leptospirosis berat : koma uremia, syok septikemia, gagal
kardiorespirasi dan syok hemoragik.
- Faktor-faktor prognostik yang berhubungan dengan kematian pada pasien
leptospirosis hádala oliguria terutama oliguria renal, hiperkalemia, hipotensi,
ronkhi basah paru, sesak nafas, leukositosis (leukosit > 12.900/mm3), kelainan
Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan repolarisasi, infiltrat pada foto
pencitraan paru.
- Kelainan paru pada leptospirosis berkisar antara 20-70% pada umumnya
ringan berupa batuk, nyeri dada, hemoptisis, meskipun dapat juga terjadi Adult
Respiratory Distress Síndromes (ARDS) dan fatal.
- Manifestasi klinik sistem kardiovaskular pada leptospirosis dapat berupa
miokarditis, gagal jantung kongestif, gangguan irama jantung.
Tabel perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik :
Sindroma, Fase Gambaran klinik Spesimen laboratorium
Leptospirosis anikterik *
Fase leptospiremia (3-7
hari)
Fase imán (3-30 hari)
Demam tinggi, nyeri kepala,
mialgia, nyeri perut, mual,
muntah, conjunctival
suffusion.
Demam ringan, nyeri kepala,
muntah, meningitis aseptik
Darah, cairan
serebrospinal
urin
Leptospirosis ikterik
Fase leptospiremia dan
fase imán (sering menjadi
satu atau tumpang tindih)
Demam, nyeri kepala,
mialgia, ikterik, gagal ginjal,
hipotensi, manifestasi
perdarahan, pneumonitis
hemoragik, leukositosis.
Darah, cairan
serebrospinal (minggu I)
Urin (minggu II)
Tabel 2. perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik
* antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik (1-3 hari)
- Kasus leptospirosis jarang dilaporkan pada anak, mungkin karena tidak
terdiagnosis atau karena manifestasi klinis yang berbeda dengan orang
dewasa.
- Pada kasus yang berat dijumpai miokarditis, ruam deskuamasi yang
menyerupai penyakit Kawasaki, dengan perdarahan paru.
- Manifestasi klinis pada kasus ringan hádala demam dan gastroenteritis.
Tabel 3. Patofisiologi leptospirosis27
Dianosis2,3
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa riwayat pekerjaan pasien, apakah
termasuk kelompok orang dengan resiko tinggi seperti pekerja-pekerja di sawah, pertanian,
perkebunan, peternakan, pekerja tambang, tentara, pembersih selokan, dan gejala klinis
berupa demam yang muncul mendadak, nyeri kepala terutama dibagian frontal, nyeri otot,
mata merah / fotophobia, mual atau muntah, dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
demam, bradikardi, nyeri tekan otot , hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan
laboratorium darah rutin didapat leukositosis, normal, atau sedikit menurun disertai gambaran
neutrofilia dan LED yang meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukositouria, dan
sdimen sel torak. Bila terdapat hepatomegali maka bilirubin darah dan transaminase
meningkat. BUN, ureum, dan kreatinin bisa meningkat bila terdapat komplikasi pada ginjal.
Diagnosa pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologis.
Diagnosis leptospirosis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinis dan laboratorium.
dapat dibagi dalam 3 klasifikasi, yaitu :
Suspek
bila ada gejala klinis tapi tanpa dukungan tes laboratorium.
Probable
bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu
dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.
Definitif
bila hasil pemeriksaan laboratorium secara langsung positif, atau gejala klinis
sesuai dengan leptospirosis dan hasil MAT / ELISA serial menunjukkan
adanya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih
Table 4 : Approach to diagnosis of leptospirosis13
Table 5 : Endemicity and titer13
Dianosis banding2
Leptospirosis anikterik dapat di diagnosis banding dengan influenza, demam berdarah
dengue, malaria, pielonefritis, meningitis aseptik viral, keracunan makanan/bahan kimia,
demam tifoid, demam enterik.
Leptospirosis ikterik dapat di diagnosis banding dengan malaria falcifarum berat, hepatitis
virus, demam tifoid dengan komplikasi berat, haemorrhagic fevers with renal failure, demam
berdarah virus lain dengan komplikasi.
Tabel 6. Diagnosis banding leptospirosis22
Komplikasoi
Gagal Ginjal Akut14,15,16
Keterlibatan ginjal pada gagal ginjal akut sangat bervariasi dari insufisiensi ginjal ringan
sampai gagal ginjal akut (GGA) yang fatal. Gagal ginjal akut pada leptospirosis disebut
sindroma pseudohepatorenal. Selama periode demam ditemukan albuminuria, piuria,
hematuria, disusul dengan adanya azotemia, bilirubinuria, urobilinuria. Manifestasi klinik
gagal ginjal akut pada leptospirosis ada 2 tipe yaitu gagal ginjal akut ologuri dan gagal ginjal
akut non-oliguri dengan tipe katabolic, dimana produksi ureum lebih tinggi dari
60mg%/24jam. Disebut gagal ginjal oliguri bila produksi urin <500ml/24jam, dan disebut
anuri bila produksi urin <100ml/24jam. Prognosis gagal ginjal akut non oliguri lebuh baik
disbanding gagal ginjal non-ologuri. 27
Perdarahan Paru20
Kelainan paru berupa hemorrhagic pneumonitis, patogenesisnya tidak jelas diduga akibat dari
endotoksin langsung yang kemudian menyebabkan kersakan kapiler. Hemoptisis terjadi pada
awal septicemia. Perdarahan terjadi pada leura, alveoli, trakheobronkhial, kelainan berupa:
kongesti septum paru, perdarahan alveoli yang multifocal, infiltrasi sel mononuclear.
Manifestasi klinis: batuk, blood tinged sputum sampai terjadi hemoptisis masif sehingga
menyebabkan asfiksia. 13,20
Liver Failure20
Terjadinya ikterik pada hari ke 4-6, dapat juga terjadi pada hari ke-2 atau ke-9. Pada hati
terjadi nekrosis sentrolobuler dengan proliferasi sel Kupfer. Terjadi ikterik pada leptospirosis
disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
1. Kerusakan sel hati.
2. Gangguan fungsi ginjal, yang akan menurunkan sekresi bilirubin, sehingga
meningkatkan kadar bilirubin darah.
3. Terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler akan meningkatkan
kadar bilirubin.
4. Proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatik intrahepatik.
Kerusakan parenkim hati disebabkan antara lain: penurunan hepatic flow dan toksinyang
dilepas leptospira. Gambaran histopatologi tidak spesifik pada leptospirosis, karena disosiasi
sel hati, proliferasi histiositik dan perubahan peri porta terlihat juga pada penyakit infeksi
yang parah. 13,20
Perdarahan gastrointestinal
Perdarahan terjadi akibat adanya lesi endotel kapiler. 1,13
Shock20
Infeksi akan menyebabkan terjadinya perubahan homeostasis tubuh yang mempunyai peran
pada timbulnya kerusakan jaringan, perubahan ini adalah hipovolemia, hiperviskositas
koagulasi. Hipovolemia terjadi akibat intake cairan yang kurang, meningkatnya permeabilitas
kapiler oleh efek dari bahan-bahan mediator yang dilepaskan sebagai respon adanya infeksi.
Koagulasi intravaskuler, sifatnya minor, terjadi peningkatan LPS yang akan mempengaruhi
keadaan pada mikrosirkulasi sehingga terjadi stasis kapiler dan anoxia jaringan.
Hiperviskositas, akibat dari peleasan bahan-bahan mediator terjadi permeabilitas kapiler
meningkat, keadaan ini menyebabkan hipoperfisi jaringan sehingga menyokong terjadinya
disfungsi organ. 1,13
Miokarditis
Komplikasi pada kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa gangguan sistem konduksi,
miokarditis, perikarditis, endokarditis, dan arteritis koroner. Manifestasi klinis miokarditis
sangat bervariasi dari tanpa keluhan sampai bentuk yang berat berupa gagal jantung kongesif
yang fatal. Keadaan ini diduga sehubungan dengan kerentanan secara genetic yang berbeda-
beda pada setiap penderita. 13,20
Manifestasi klinik miokarditis jarang didapatkan pada saat puncak infeksi karena akan
tertutup oleh manifestasi penyakit infeksi sistemik dan batu jelas saat fase pemulihan.
Sebagian akan berlanjur menjadi bentuk kardiomiopati kongesif / dilated. Juga akan menjadi
penyebab aritmia, gangguan konduksi atau payah jantung yang secara structural dianggap
normal. 13,20
Enchepalophaty
Didapatkan gejala meningitis atau meningoenchepalitis, nyeri kepala, pada cairan
cerebrospinalis (LCS) didapatkan pleositosis, santokrom, hitung sel leukosit 10-100/mm3, sel
terbanyak sel leukosit neutrofil atau sel mononuclear, glukosa dapat normal atau rendah,
protein meningkat (dapat mencapai 100mg%). Kadang-kadang didapatkan tanda-tanda
menngismus tanpa ada kelainan LCS, sindroma Gullian Barre. Pada pemeriksaan patologi
didapatkan: infiltrasi leukosit pada selaput otak dan LCS yang pleositosis. Setiap serotip
leptospira yang patologis mungkin dapat menyebabkan meningitis aseptic, paling sering
Conikola, Icterohaemorrhagiae dan Pamoma.12,20
Penatalasanaan
Pencegahan 2,6,7
Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi yang
meliputi intervensi sumber infeksi, intervensi pada jalur penularan dan intervensi pada
penjamu manusia.
Kuman leptospira mampu bertahan hidup bulanan di air dan tanah, dan mati oleh
desinfektans seperti lisol. Maka upaya ”Lisolisasi” upaya "lisolisasi" seluruh permukaan
lantai , dinding, dan bagian rumah yang diperkirakan tercemar air kotor banjir yang mungkin
sudah berkuman leptospira, dianggap cara mudah dan murah mencegah "mewabah"-nya
leptospirosis.
Selain sanitasi sekitar rumah dan lingkungan, higiene perorangannya dilakukan dengan
menjaga tangan selalu bersih. Selain terkena air kotor, tangan tercemar kuman dari hewan
piaraan yang sudah terjangkit penyakit dari tikus atau hewan liar. Hindari berkontak
dengan kencing hewan piaraan.
Biasakan memakai pelindung, seperti sarung tangan karet sewaktu berkontak dengan air
kotor, pakaian pelindung kulit, beralas kaki, memakiai sepatu bot, terutama jika kulit ada
luka, borok, atau eksim. Biasakan membasuh tangan sehabis menangani hewan, ternak, atau
membersihkan gudang, dapur, dan tempat-tempat kotor.
Hewan piaraan yang terserang leptospirosis langsung diobati , dan yang masih sehat diberi
vaksinasi. Vaksinasi leptospirosis disarankan untuk manusia yang memiliki risiko tinggi
terjangkit, dan pemberiannya harus diulang setiap tahun. Di AS sejak Desember 2000 lalu,
ada anjuran bagi orang yang berisiko tinggi terjangkit leptospirosis diberikan terapi
profilaksis dengan doksisiklin 200 mg 1 x seminggu.
Tikus rumah perlu dibasmi sampai ke sarang-sarangnya. Begitu juga jika ada hewan pengerat
lain. Jangan lupa bagi yang aktivitas hariannya di peternakan, atau yang bergiat di ranch.
Kuda, babi, sapi, bisa terjangkit leptospirosis, selain tupai, dan hewan liar lainnya yang
mungkin singgah ke peternakan dan pemukiman, atau ketika kita sedang berburu, berkemah,
dan berolahraga di danau atau sungai. Selain itu penyediaan air minum juga harus terjaga
baik dan diklorinasi.
Ternak Babi merupakan hewan yang mampu bertahan dari infeksi akut yang dapat
mengeluarkan bakteri leptospira dalam jumlah besar dalam jangka waktu lama, bisa sampai
setahun. Hewan babi merupakan sumber penularan leptospirosis, disebut sebagai Swine
herd’s disease. Oleh karena itu, peternak babi diimbau agar mengandangkan ternaknya dan
jauh dari sumber air. Saluran buangan ternak hendaknya diarahkan ke tempat khusus
sehingga tidak mencemari lingkungan.
Medikal mentosa2,3,4,17
Terapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah Penicillin G, dosis dewasa
4 x 1,5 juta unit /i.m, biasanya diberikan 2 x 2,4 unit/i.m, selama 7 hari.
Tujuan Pemberian Obat Regimen
1. Treatment
a. Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 x 100 mg/oral atau
Ampisillin 4 x 500-750 mg/oral atau
Amoxicillin 4 x 500 mg/oral
b.Leptospirosis sedang/ berat Penicillin G 1,5 juta unit/6jam i.m atau
Ampicillin 1 g/6jam i.v atau
Amoxicillin 1 g/6jam i.v atau
Eritromycin 4 x 500 mg i.v
2. Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/oral/minggu
• Terapi untuk leptospirosis ringan
Pada bentuk yang sangat ringan bahkan oleh penderita seperti sakit flu biasa. Pada golongan
ini tidak perlu dirawat. Demam merupakan gejala dan tanda yang menyebabkan penderita
mencari pengobatan. Ikterus kalaupun ada masih belum tampak nyata. Sehingga
penatalaksanaan cukup secara konservatif.15
Penatalaksanaan konservatif
Pemberian antipiretik, terutama apabila demamnya melebihi 38°C
Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat.
Kalori diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen, dianjurkan
sekitar 2000-3000 kalori tergantung berat badan penderita. Karbohidrat dalam
jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Protein diberikan 0,2 – 0,5
gram/kgBB/hari yang cukup mengandung asam amino essensial.
Pemberian antibiotik-antikuman leptospira.
paling tepat diberikan pada fase leptospiremia yaitu diperkirakan pada minggu
pertama setelah infeksi. Pemberian penicilin setelah hari ke tujuh atau setelah
terjadi ikterus tidak efektif. Penicillin diberikan dalam dosis 2-8 juta unit, bahkan
pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta unit
(sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang
memberikan selama 10 hari.
Terapi suportif supaya tidak jatuh ke kondisi yang lebih berat. Pengawasan
terhadap fungsi ginjal sangat perlu.
Terapi untuk leptospirosis berat16
Antipiretik
Nutrisi dan cairan.
Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu makan penderita biasanya
menurun maka intake menjadi kurang. Harus diberikan nutrisi yang seimbang
dengan kebutuhan kalori dan keadaan fungsi hati dan ginjal yang berkurang.
Diberikan protein essensial dalam jumlah cukup. Karena kemungkinan sudah terjadi
hiperkalemia maka masukan kalium dibatasi sampai hanya 40mEq/hari. Kadar Na
tidak boleh terlalu tinggi. Pada fase oligurik maksimal 0,5gram/hari. Pada fase
ologurik pemberian cairan harus dibatasi. Hindari pemberian cairan yang terlalu
banyak atau cairan yang justru membebani kerja hati maupun ginjal. Infus ringer
laktat misalnya, justru akan membebani kerja hati yang sudah terganggu. Pemberian
cairan yang berlebihan akan menambah beban ginjal. Untuk dapat memberikan
cairan dalam jumlah yang cukup atau tidak berlebihan secara sederhana dapat
dikerjakan monitoring / balance cairan secara cermat.
Pada penderita yang muntah hebat atau tidak mau makan diberikan makan secara
parenteral. Sekarang tersedia cairan infus yang praktis dan cukup kandungan
nutrisinya.
Pemberian antibiotik
◦ Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta
unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan
ada yang memberikan selama 10 hari. Penelitian terakhir : AB gol.
fluoroquinolone dan beta laktam (sefalosporin, ceftriaxone) > baik dibanding
antibiotik konvensional tersebut di atas, meskipun masih perlu dibuktikan
keunggulannya secara in vivo.
Penanganan kegagalan ginjal.
Gagak ginjal mendadak adalah salah sati komplikasi berat dari leptospirosis.
Kelainan ada ginjal berupa akut tubular nekrosis (ATN). Terjadinya ATN dapat
diketahui dengan melihat ratio osmolaritas urine dan plasma (normal bila ratio <1).
Juga dengan melihat perbandingankreatinin urine dan plasma, ”renal failire index”
dll.
Pengobatan terhadap infeksi sekunder.
Penderita leptospirosis sangat rentan terhadap terjadinya beberapa infeksi
sekunderakibat dari penyakitnya sendiri atau akibat tindakan medik, antara lain:
bronkopneumonia, infeksi saluran kencing, peritonitis (komplikasi dialisis
peritoneal), dan sepsis. Dilaporkan kelainan paru pada leptospirosis terdapat pada
20-70% kasus (Kevins O Neal, 1991). Pengelolaan sangat tergantung dari jenis
komplikasi yang terjadi. Pada penderita leptospirosis, sepsis / syok septik
mempunyai angka kematian yang tinggi.
Penanganan khusus
1. Hiperkalemia diberikan kalsium glukonas 1 gram atau glukosa insulin
(10-20 U regular insulin dalam infus dextrose 40%)
Merupakan keadaan yang harus segera ditangani karena menyebabkan
cardiac arrest.
2. Asidosis metabolik diberikan natrium bikarbonas dengan dosis (0,3 x
KgBB x defisit HCO3 plasma dalam mEq/L)
3. Hipertensi diberikan antihipertensi
4. Gagal jantung pembatasan cairan, digitalis dan diuretik
5. Kejang
Dapat terjadi karena hiponatremia, hipokalsemia, hipertensi ensefalopati dan
uremia. Penting untuk menangani kausa ptimernya, mempertahankan
oksigenasi / sirkulasi darah ke otak, dan pemberian obat anti konvulsi.
6. Perdarahan transfusi
Merupakan komplikasi penting pada leptospirosis, dan sering mnakutkan.
Manifestasi perdarahan dapat dari ringan sampai berat. Perdarahan kadang0-
kadang terjadi pada waktu mengerjakan dialisis peritoneal. Untuk
menyampingkan enyebab lain perlu dilakukan pemeriksaan faal koagulasi
secara lengkap. Perdarahan terjadi akibat timbunan bahan-bahan toksik dan
akibat trpmbositopati.
7. Gagal ginjal akut hidrasi cairan dan elektrolit, dopamin, diuretik,
dialisis.17
Prognosis
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5 %
pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut menjadi 30-40 %
Faktor-faktor sebagai indikator prognosis mortalitas, yaitu :
Leptospirosis yang terjadi pada masa kehamilan menyebabkan mortalitas janin yang tinggi.1
Kesimpulan
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kuman leptospira.
Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara insidental. Leptospi Gejala
klinis sering tidak khas sehingga terlambat terdiagnosis.
Gejala klinis yang timbul mulai dari ringan sampai berat bahkan kematian, bila terlambat
mendapat pengobatan. Diagnosis dini yang tepat dan penatalaksanaan yang cepat akan
mencegah perjalanan penyakit menjadi berat. Pencegahan dini terhadap mereka yang
beresiko tinggi terekspos diharapkan dapat melindungi mereka dari serangan leptospirosis.1
Daftar pustaka
1. Zein Umar. (2006). “Leptospirosis”, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi 4.
FKUI : Jakarta. Hal.1845 - 1848.
2. Speelman, Peter. (2005). “Leptospirosis”, Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 16th ed, vol I. McGraw Hill : USA. Pg.988-991.
3. Dit Jen PPM & PL RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso. (2003). Pedoman Tatalaksana
Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit. Departemen
Kesehatan RI : Jakarta.
4. Dharmojono, Drh. Leptospirosis, Waspadailah Akibatnya!. Pustaka Populer Obor :
Jakarta. 2002.
5. Departemen Kesehatan, 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan
Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit, Leptospira. Hlm. 8-15. Bagian
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan : Jakarta.
6. Lestariningsih. 2002. Gagal Gin jal Akut Pada Lep tos pirosis — Kum pulan Makalah
Sim posium Lep tos pirosis . Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
7. World Health Organization/ International Leptospirosis Society. Human Leptospirosis
guidance for diagnosis, surveillance and control. Geneva : WHO.2003.109
8. Setyawan Budiharta, 2002. Epidemiologi Leptospirosis. Seminar Nasional Bahaya
Dan Ancman Leptospirosis, Yogyakarta, 3 Juni 2002.
9. Widarso, Yatim.F, 2000. Leptospirosis dan Ancamannya, Majalah Kesehatan No. 15
Tahun 2000. Departemen Kesahatan, Jakarta.
10. Iskandar Z; Nelwan RHH; Suhendro, dkk. Leptospirosis Gambaran Klinis di
RSUPNCM, 2002.
11. Riyanto B, Gasem MH, Pujianto B, Smits H. Leptospira sevoars in patients with
severe leptospirosis admitted to hospitals of Semarang. Buku Abstrak Konas VIII
PETRI, Malang, Juli 2002.
12. Gasem MH, Redhono D, Suharti C. Anicteric leptospirosis can be misdiagnosed as
dengue infection. Buku Abstrak Konas VIII PETRI, Malang, 2002
13. Niwattayakul K, Homvijitkul J, Khow O, Sitprija V. Leptospirosis in northeastern
Thailand: hypotention and complications. Southeast Asean J Trop Med Public Health
2002; 33: 155-60
14. Sion ML et al. Acute renal failure caused by leptospirosis and hantavirus infection in
an urban hospital. European Journal of Internal Medicine 13. 2002. 264-8
15. Daher EF, Noguera CB. Evaluation of penicillin therapy in patients with leptospirosis
and acute ranal failure. Rev Inst Med trop. S Paulo. 2000.42(6):327-32
16. Drunl W. Nutritional support in patients ARF. In; Acute Renal Failure; (Brenners &
Rector’s) ed WB Saunders. 2001: 465-83
17. Budiriyanto, M. Hussein Gasem, Bambang Pujianto, Henk L Smits : Serovars of
Leptospirosis in patients with severe leptospirosis admitted to the hospitals of
Semarang. Konas PETRI, 2002.
18. Grenn-Mckenzie J, Shoff WH. Leptospirosis in humans. Sept, 13, 2006.
http://www.emedicine.com/ped/topic/1298.htm
19. Anonymous. Leptospirosis. Sept. 2006. www.hpa.org.uk/infections/topics az
/zoonoses/leptospirosis/gen info.htm
20. http://eprints.undip.ac.id/12852/1/2005PPDS4403.pdf
21. http://www.infokedokteran.com/wp-content/uploads/
2010/04/3943463557_219650aaf5.jpg
22. http://4.bp.blogspot.com/_JNo1RsgGHH4/SGip9wROLqI/
AAAAAAAAAq0/1PSVnW4OGIc/s320/engalgo.gif
23. http://www.kalbe.co.id/files/dod/images/leptospirosis.jpg
24. http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Leptospira
25. http://www.vetmed.hokudai.ac.jp/organization/microbiol/_src/sc395/elepm.jpg
26. http://caribbean.scielo.org/img/revistas/wimj/v54n1/a09tab3.gif
27. http://www.physicianbyte.com/images/LEPTOSPIROSIS_Image1.jpg
28. http://www.nature.com/ki/journal/v72/n8/images/5002393f2.jpg
29. http://www.nature.com/ki/journal/v72/n8/images/5002393f1.jpg
Demam Kuning
Pendahuluan
Demam kuning (yellow fever) adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus
yellow fever. Kata “kuning” diambil dari keadaan beberapa pasiennya yang menjadi ikterik.
Penyakit ini pertama kali dikenal saat terjadi wabah pada tahun 1648 di daerah yang
dinamakan Dunia Baru.
Virus yellow fever diyakini berasal dari Afrika dan menyebar ke Dunia Baru melalui kapal-
kapal dagang pengangkut budak berlian. Vektor penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti.
Pada abad ke 18 dan abad ke 19 terjadi wabah epidemi di Europa dan meluas mencapai
daerah pantai, pelabuhan, sampai ke Swansea, Wales, dan di Amerika Utara dari New
Orleans sampai ke Boston dan St Louis. Epidemi di Philadelphia yang terjadi pada tahun
1793 dijelaskan secara rici oleh Benjamin Rush yang selamat dari wabah yellow fever
terakhir dilaporkan di New Orleans dan delta sungai Mississippi pada tahun 1905.
Seorang dokter di Havana, Kuba bernama Carloas Findlay pada tahun 1881 meyakini bahwa
penyakit ini disebarkan oleh nyamuk, dan kebenaran keyakinannya itu dibuktikan dokter
tentara Amerika Serikat bernama Walter Reed. Penemuan ini memungkinkan usaha
pencegahan melalui pengontrolan nyamuk, dan dibuktikan saat pembangunan terusan
Panama. Isolasi virus YF baru dapat dilakukan pada tahun 1928.
Epidemiologi
Yellow fever ditemukan di hutan tropis Afrika dan Amerika Selatan, sampai awal abad ini
menyebabkan epidemi yang luas di Karibia dan daerah subtropis Amerika Utara sampai ke
Baltimore dan Philadelphia.
Di Afrika terdapat sebanyak 33 negara dengan jumlah penduduk 508 juta jiwa berada di
daerah endemi yellow fever. Daerah ini terletak antara 15° Lintang Utara (LU) sampai 10°
Lintang Selatan (LS). Di benya Amerika, penyakit ini endemik di 9 negara di Amerika
Selatan dan beberapa di kepulauan Karibia. Negara yang paling berisiko antara lain Bolivia,
Brazil, Columbia, Ekuador, dan Peru.
Setiap tahunnya diperkirakan sekitar 200.000 kasus yellow fever dengan 30.000 diantaranya
meninggal dunia. Kasus impor ditemukan di negara-negara yang sebenarnya bebas yellow
fever, di Asia belum pernah dilaporkan adanya kasus yellow fever , tetapi tetap berisiko
karena primata yang sesuai dan nyamuk sebagai vektor ditemukan secara luas.
Wabah masih terjadi sampai dengan tahun 2003 terutama di beberapa negara Afrika Barat
seperti Burkina Faso, Ghana, Liberia, Guinea, dan Pantai Gading dan Brazil. Sampai saat ini
beberapa kasus masih terus dilaporkan.
Etiologi
Virus yellow fever termasuk genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus ini suatu virus RNA
untai tunggal, dan positive sense. Virionnya berbentuk sferis dan memiliki pembungkus
(envelope), berukuran antara 35-45 nm, dan genomnya terdiri atas 10.862 nukleotida.
Pembungkus dua lapis lipid (lipid bilayer envelope) ini mengandung protein matriks (M) dan
protein pembungkus (E). Memiliki juga tiga protein struktur C, M, dan E) serta beberapa
protein nonstruktur (NS).
Virus ini dapat diinaktivasi dengan kloroform, ether dan sinar ultraviolet sedangkan pada
suhu 4°C tahan satu bulan dan dalam keadaan beku kering dapat tahan bertahun-tahun.
Terdapat perbedaan genotipe antara isolat yang diperoleh dari Afrika dan Amerika Selatan.
Ada dua genotipe yang bersirkulasi di Afrika dan satu atau dua di Amerika Selatan.
Penularan
Inang alami virus yellow fever di hutan adalah primata seperti monyet dan chimpanse. Di
Afrika vektor utamanya adalah nyamuk Aedes seperti Aedes aegypti, Ae. africanus, Ae. opok,
Ae. Iluteocephalus, Ae. furcifer dan Ae. tTaylori. Sedangkan di Amerika terutama ditularkan
oleh Aedes aegypti dan Haemagogus.
Dikenal ada tiga siklus penularan yaitu tipe demam kuning hutan (jungle yellow fever), tipe
demam kuning urban (urban yellow fever) dan sylvatic yellow fever. Tipe silvatik hanya
ditemukan di padang savanna Afrika.
Di Amerika siklus jungle yellow fever ditularkan antar kera oleh nyamuk genus Haemogogus
dan Sabethes, sedangkan penularan di perkotaan oleh Aedes aegypti.
Siklus kera-nyamuk-kera di hutan Afrika dilakukan oleh nyamuk Ae africanus, sedangkan
sylvatic yellow fever dilakukan oleh beberapa spesies Aedes seperti Ae. simpsoni yang
menularkan virus yellow fever dari kera ke manusia. Di Afrika siklus urban dipertahankan
oleh Ae. aegypti.
Lamanya siklus intrinsik pada nyamuk adalah 4 hari pada suhu 37°C dan 18 hari pada suhu
18°C. Nyamuk tetap infektif selama kira-kira 2-4 bulan. Telah diperlihatkan kemungkinan
adanya penularan transovarial.
Patofisiologi dan Patologi
Virus memasuki sel secara endositosis melalui reseptor yang sesuai. Sintesis RNA virus
terjadi di sitoplasma sedangkan protein virus di retikulum endoplasma. Virion menjadi
matang di retikulum endoplasma dan dengan proses fusi eksositosis dikeluarkan melewati sel
membran. Pada saat awal proses ini terjadi di sel retikulo endotelialdi limfonodi, sumsum
tulang, limpa dan sel Kupffer, selanjutnya terjadi viremia dan menyebar ke seluruh organ.
Sel hati mengalami degenerasi, ditemukan daerah nekrosis sentral, badan Councilman dan
perlemakan. Kerusakan pada hati ini secara klinis ditandai dengan timbulnya ikterus. Ginjal
membesar dan bengkak. Glomerulus ginjal menunjukkan adanya proliferasi mesangial dan
edema endotel kapiler. Degenerasi dan nekrosis sel miokardium serta gangguan konduksi
dapat ditemui dan antigen virus daoat dideteksi dari sel miokardium.
Respons seluler dan humoral dapat terjadi dan bertanggung jawab untuk mengeliminasi virus
dari tubuh. Viremia menghilang setelah 5 hari.
Organ lain dapat terkena seperti kelenjar adrenal, sel otak dan pada epidemi di Sudan dan
Ethiopia di tahun 1960 banyak ditemukan kasus meningoensefalitis. Pada kasus berat dapat
disertai diatesis hemoragik. Perdarahan berat dapat terjadi di saluran cerna, paru, limpa, hati
dan ginjal. Kematian terjadi sebagai akibat dari kerusakan hati dan atau ginjal. Pada pasien
yang sembuh jaringan yang hilang langsung mengalami regenerasi dan terjadi hipertrofi pada
sel yang bertahan hidup.
Gambaran Klinis
Yellow Fever klasik merupakan penyakit bifasik, ada 3 stadium yaitu: infeksi, remisi dan
intoksikasi. Gambaran klinisnya bisa berupa infeksi subklinis, infeksi mirip influenza atau
pada 15-25% kasus dapat terjadi fulminan dan menyebabkan kematian dalam beberapa hari.
Setelah masa inkubasi selama 3-6 hari timbul demam secara mendadak dan menggigil diikuti
dengan sakit kepala, sakit punggung, mialgia, nausea dan muntah. Bisa juga dijumpai muka
dan konjungtiva merah, tanda faget dan bradikardi relatif.
Setelah 3 -4 hari, gejala dan demam menghilang selama beberapa jam sampai satu atau 2 hari
dan hanya berulang pada pasien yang berkembang menjadi intoksikasi fulminan.
Tipe demam adalah bifasik (dromedaris). Fase demam pertama berhubungan dengan fase
akut penyakit dan disertai bradikardi relatif. Selanjutnya demam menurun yang berhubungan
dengan fase remisi serta meningkat lagi dan penyakit memberat pada fase intoksikasi.
Penyakit berkembang menjadi demam berdarah multisistem ditandai dengan badan menjadi
kuning (sesuai nama penyakit ini), disfungsi renal dan manifestasi perdarahan yang dapat
menyebabkan hipotensi bahkan terjadi renjatan yang fatal. Perdarahan mukosa, perdarahan
pada luka bekas jarum suntik, perdarahan gastrointestinal dapat hebat sebagai akibat sintesis
faktor pembekuan oleh sel hati menurun, disfungsi platelet dan koagulasi intravaskular
diseminata (KID).
Enzim transaminase meningkat sebagai petunjuk sel hati dan pada kasus berat daoat menjadi
sindroma hepatorenal.
Oliguri dan azotemia terjadi akibat adanya muntah dan ekstravasasi cairan. Adanya oliguri
dan peningkatan kreatinin mungkin disebabkan oleh nefritis glomerulus primer dan nefritis
intersisialis, selanjutnya bisa diikuti oleh tubular nekrosis akut sebagai akibat dari hipotensi.
Miokarditis yang terjadi dapat diketahui dengan pemeriksaan EKG. Adanya gejala enselofati
terjadi akibat adanya edema serebri yang berhubungan dengan gagal fungsi hati dan ginjal.
Infeksi sekunder karena bakteri seperti bakteriemi dan pneumoni sering terjadi dan
menyebabkan kematian.
Angka kematian sekitar 5-10% sedangkan pada pasien yang mengalami stadium intoksikasi
angka kematian lebih tinggi yaitu mencapai 20%-50%.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada kasus ringan antara lain malaria, infeksi Dengue.
Kasus berat harus didiagnosis banding dengan leptospirosis, demam tifoid, hepatitis viral
akut dan demam berdarah viral lainnya seperti Ebola, Lassa, Marburg, demam berdarah
Congo-Crimea, DHF, dan demam Rift Valley.
Pengobatan
Tidak ada pengobatan yang spesifik. Terapi dengan ribavirin pada binatang percobaan
ternyata tidak efektif.
Terapi suportif ditujukan langsung untuk mengoreksi kehilangan cairan dan mempertahankan
stabilitas hemodinamik. Penanganan dan pencegahan hipoglikemi, pemberian antagonis H2
atau inhibitor pompa proton (PPI) bisa dilakukan. Pemberian vitamin K dan Fresh Frozen
Plasma (FFP) disarankan untuk menangani gangguan koagulasi. Bila terjadi gagal ginjal akut
maka dialisis dapat ditempuh.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain gagal hati, gagal ginjal akut, edema paru,
miokarditis, ensefalitis. Perdarahan, KID sampai renjatan dapat pula terjadi, dan tentu
kematian.
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan pengontrolan vektor, juga mencegah gigitan nyamuk
seperti tidur memakai kelambu, aplikasi mosquito repellents pada kilit dan pakaian juga
dianjurkan.
Vaksinasi dengan virus yang dilemahkan (live attenuated) 17D sangat efektif. Strain Asibi
dipakai sebagai bahan vaksin ini. Karena diproduksi dengan mempergunakan embrio ayam
maka mereka yang alergi terhadap telur tidak boleh divaksinasi. Beberapa negara
mewajibkan pelancong untuk divaksinasi yellow fever sebelum berkunjung ke daerah
endemis, dan revaksinasi dianjurkan setiap 10 tahun walaupun antibodi dapat bertahan
sampai 40 tahun.1
Daftar pustaka
1.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I FKUI edisi VI. Jakarta, 2009. Hal : 2780-82.
Demam Chikungunya
Definisi
Chikungunya berasal dari bahasa Swahili berdasarkan gejala pada penderita, yang berarti
“posisi tubuh meliuk atau melengkung” (that which contorts or bends up),mengacu pada
postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi hebat (arthralgia). Nyeri sendi ini,
menurut lembar data keselamatan (MSDS) Kantor Keamanan Laboratorium Kanada,
terutama terjadi pada lutut, pergelangan kaki, persendian tangan dan kaki.
Chikungunya ialah sejenis demam dan boleh dikatakan ‘bersaudara’ dengan demam
berdarah, karena ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypty maupun albopictus. Bedanya, jika
virus demam berdarah menyerang pembuluh darah, sedangkan virus Chikungunya
menyerang sendi dan tulang. Penyakit demam Chikungunya ini merupakan penyakit
endemik. Wabah penyakit ini pertama kali menyerang di Tanzania, Afrika pada tahun 1952.
Etiologi
Penyakit chikungunya disebabkan oleh sejenis virus yang disebut virus Chikungunya. Virus
ini termasuk keluarga Togaviridae, genus alphavirus atau “group A” antropho borne viruses.
Virus ini telah berhasil diisolasi di berbagai daerah di Indonesia. Sejarah Chikungunya di
Indonesia Penyakit ini berasal dari daratan Afrika dan mulai ditemukan di Indonesia tahun
1973.
Vektor penular utamanya adalah Aedes aegypti (the yellow fever mosquito), nyamuk yang
sama juga menularkan penyakit demam berdarah dengue. Meski masih “bersaudara” dengan
demam berdarah, penyakit ini tidak mematikan, namun virus ini juga dapat diisolasi dari
nyamuk Aedes africanus, Culex fatigans dan Culex tritaeniorrhynchus. Aedes albopictus (the
Asian tiger mosquito) mungkin juga berperanan dalam penyebaran penyakit ini di kawasan
Asia. Dan beberapa jenis spesies nyamuk tertentu di daerah Afrika juga ternyata dapat
menyebarkan penyakit Chikungunya.
Akan tetapi, nyamuk yang membawa darah bervirus didalam tubuhnya akan kekal terjangkit
sepanjang hayatnya. Tidak ada bukti yang menunjukkan virus Chikungunya dipindahkan oleh
nyamuk betina kepada telurnya sebagaimana virus demam berdarah.
Virus chikungunya termasuk kelompok virus RNA yang mempunyai selubung, merupakan
salah satu anggota grup A dari arbovirus, yaitu alphavirus dari famili Togaviridae. Dengan
mikroskop elektron, virus ini menunjukkan gambaran virion yang sferis yang kasar atau
berbentuk poligonal dengan diameter 40-45 nm (nanometer) dengan intibidiameter 25-30 nm.
Kemudian berjangkit di Kuala Tungkal, Martapura, Ternate, Yogyakarta, selanjutanya
berkembang ke wilayah-wilayah lain. Jumlah kasus chikungunya tahun 2001 sampai bulan
Februari 2003 mencapai 9318 tanpa kematian.
Sejak tahun 2003, terdapat beberapa wabah yang berlaku di kepulauan Pasifik termasuk
Madagaskar, Comoros, Mauritius dan La Reunion, dengan jumlah meningkat terlihat selepas
bencana tsunami pada Desember 2004.
Patofisiologi
Penularan demam Chikungunya terjadi apabila penderita yang sakit digigit oleh nyamuk
penular , kemudian nyamuk penular tersebut menggigit orang lain. Virus menyerang semua
usia, baik anak-anak maupun dewasa di daerah endemis (berlaku dengan kerap di suatu
kawasan atau populasi dan senantiasa ada). Selain manusia, primata lainnya diduga dapat
menjadi sumber penularan. Selain itu, pada uji hemaglutinasi inhibisi, mamalia, tikus,
kelelawar, dan burung juga bisa mengandung antibodi terhadap virus Chikungunya.
Seseorang yang telah dijangkiti penyakit ini tidak dapat menularkan penyakitnya itu kepada
orang lain secara langsung. Proses penularan hanya berlaku pada nyamuk pembawa. Masa
inkubasi dari demam Chikungunya berlaku di antara satu hingga tujuh hari, biasanya berlaku
dalam waktu dua hingga empat hari. Manifestasi penyakit berlangsung tiga sampai sepuluh
hari.
Gejala
Gejala penyakit ini sangat mirip dengan demam berdarah. Hanya saja kalau Chikungunya
akan membuat semua persendian terasa ngilu.
a. Demam
Biasanya demam tinggi, timbul mendadak disertai menggigil dan muka kemerahan. Demam
penyakit ini ditandai dengan demam tinggi mencapai 39-40 derajat C. Secara mendadak
penderita akan mengalami demam tinggi selama lima hari, sehingga dikenal pula istilah
demam lima hari.
b. Sakit persendian
Nyeri sendi merupakan keluhan yang sering muncul sebelum timbul demam dan dapat
bermanifestasi berat, sehingga kadang penderita “merasa lumpuh” sebelum berobat. Sehingga
ada beberapa orang yang menamainya sebagai demem tulang atau flu tulang. Sendi yang
sering sering dikeluhkan: sendi lutut, pergelangan , jari kaki dan tangan serta tulang belakang.
c. Nyeri otot
Nyeri bisa pada seluruh otot atau pada otot bagian kepala dan daerah bahu. Kadang terjadi
pembengkakan pada otot sekitar mata kaki.
d. Bercak kemerahan (ruam) pada kulit
Bercak kemerahan ini terjadi pada hari pertama demam, tetapi lebih sering pada hari ke 4-5
demam. Lokasi biasanya di daerah muka, badan, tangan, dan kaki, terutama badan dan
lengan. Kadang ditemukan perdarahan pada gusi.
e. Sakit kepala
Sakit kepala merupakan keluhan yang sering ditemui, conjungtival injection dan sedikit
fotophobia.
f. Kejang dan penurunan kesadaran
Kejang biasanya pada anak karena panas yang terlalu tinggi, jadi bukan secara langsung oleh
penyakitnya.
g. Gejala lain
Gejala lain yang kadang dijumpai adalah pembesaran kelenjar getah bening di bagian leher
dan kolaps pembuluh darah kapiler. Selain itu, kadang dijumpai mata merah yang diikuti
dengan gejala flu. Sehingga banyak orang awam yang mengira ini adalah penyakit demam
biasa.
Gejala yang timbul pada anak-anak sangat berbeda seperti nyeri sendi tidak terlalu nyata dan
berlangsung singkat. Ruam juga lebih jarang terjadi. Tetapi pada bayi dan anak kecil timbul:
Bedanya dengan demam berdarah dengue, pada Chikungunya tidak ada perdarahan hebat,
renjatan (shock) maupun kematian. Pada virus DBD akan ada produksi racun yang
menyerang pembuluh darah dan menyebabkan kematian. Sedangkan pada virus penyebab
chikungunya akan memproduksi virus yang menyerang tulang
Diagnosis
Untuk memperoleh diagnosis akurat perlu beberapa uji serologik antara lain uji hambatan
aglutinasi (HI), serum netralisasi, dan IgM capture ELISA. Tetapi pemeriksaan serologis ini
hanya bermanfaant digunakan untuk kepentingan epidemiologis dan penelitian, tidak
bermanfaat untuk kepentingan praktis klinis sehari-hari.
Demam Chikungunya dikenal sebagai flu tulang (break-bone fever) dengan gejala mirip
dengan demam dengue, tetapi lebih ringan dan jarang menimbulkan demam berdarah.
Artralgia, pembuluh darah konjungtiva tampak nyata, dengan demam mendadak yang hanya
berlangsung 2-4 hari. Pemeriksaan serum penderita untuk uji netralisasi menunjukkan adanya
antibodi terhadap virus Chikungunya.
Gejala utama terkena penyakit Chikungunya adalah tiba-tiba tubuh terasa demam diikuti
dengan linu di persendian. Bahkan, karena salah satu gejala yang khas adalah timbulnya rasa
pegal-pegal, ngilu, juga timbul rasa sakit pada tulang-tulang, ada yang menamainya sebagai
demam tulang atau flu tulang. Dalam beberapa kasus didapatkan juga penderita yang
terinfeksi tanpa menimbulkan gejala sama sekali atau silent virus chikungunya.
Virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti ini akan berkembang biak di dalam tubuh
manusia. Virus menyerang semua usia, baik anak-anak maupun dewasa di daerah endemis.
Secara mendadak penderita akan mengalami demam tinggi selama lima hari, sehingga
dikenal pula istilah demam lima hari.
Pada anak kecil dimulai dengan demam mendadak, kulit kemerahan. Ruam-ruam merah itu
muncul setelah 3-5 hari. Mata biasanya merah disertai tanda-tanda seperti flu. Sering
dijumpai anak kejang demam. Gejala lain yang ditimbulkan adalah mual, muntah kadang
disertai diare.
Pada anak yang lebih besar, demam biasanya diikuti rasa sakit pada otot dan sendi, serta
terjadi pembesaran kelenjar getah bening. Pada orang dewasa, gejala nyeri sendi dan otot
sangat dominan dan sampai menimbulkan kelumpuhan sementara karena rasa sakit bila
berjalan. Kadang-kadang timbul rasa mual sampai muntah. Pada umumnya demam pada anak
hanya berlangsung selama tiga hari dengan tanpa atau sedikit sekali dijumpai perdarahan
maupun syok.
Penyakit ini tidak sampai menyebabkan kematian. Nyeri pada persendian tidak akan
menyebabkan kelumpuhan. Setelah lewat lima hari, demam akan berangsur-angsur reda, rasa
ngilu maupun nyeri pada persendian dan otot berkurang, dan penderitanya akan sembuh
seperti semula. Penderita dalam beberapa waktu kemudian bisa menggerakkan tubuhnya
seperti sedia kala. Meskipun dalam beberapa kasus kadang rasa nyeri masih tertinggal selama
berhari-hari sampai berbulan-bulan. Biasanya kondisi demikian terjadi pada penderita yang
sebelumnya mempunyai riwayat sering nyeri tulang dan otot.
Pada pendertita demam Chikungunya akut tipikal mengalami gejala klinis dalam beberapa
hari hingga 2 minggu. Tetapi seperti infeksi dengue, West Nile fever, o'nyong-nyong fever
dan demam arbovirus lainnya, beberapa penderita mengalami kelelahan berkepanjangan
(prolonged fatigue) dalam beberapa minggu. Dalam beberapa literatur tidak pernah
dilaporkan kejadian kematian, kasus neuroinvasive, dan kasus perdarahan dalam penyakit ini.
Meskipun ditularkan oleh nyamuk yang sama dengan penyakit demam berdarah, tetapi
karakteristik penyakit ini berbeda. Bedanya pada Chikungunya tidak ada perdarahan hebat,
renjatan (shock) maupun kematian.
Setelah terjadi infeksi virus ini tubuh penderita akan membentuk antibodi yang akan
membuat mereka kebal terhadap wabah penyakit ini di kemudian hari. Dengan demikian,
dalam jangka panjang penderita relatif kebal terhadap penyakit virus ini.
Pengobatan
Tidak ada vaksin maupun obat khusus untuk Chikungunya. Pengobatan terhadap penderita
ditujukan terhadap keluhan dan gejala yang timbul. Perjalanan penyakit ini umumnya cukup
baik, karena bersifat “self limited disease”, yaitu akan sembuh sendiri dalam waktu tertentu.
Tetapi apabila kecurigaan penyakit adalah termasuk campak atau demam berdarah dengue,
maka perlu kesiapsiagaan tatalaksana yang berbeda, penderita perlu segera dirujuk apabila
terdapat tanda-tanda bahaya.
Chikungunya tidak menyebabkan kematian atau kelumpuhan. Dengan istirahat cukup, obat
demam, kompres, serta antisipasi terhadap kejang demam, penyakit ini biasanya sembuh
sendiri dalam tujuh hari. Masih banyak anggapan di kalangan masyarakat, bahwa
demam Chikungunya atau flu tulang atau demam tulang sebagai penyakit yang berbahaya,
sehingga membuat panik. Tidak jarang pula orang meyakini bahwa penyakit ini dapat
mengakibatkan kelumpuhan. Memang, sewaktu virus berkembang biak di dalam darah,
penderita merasa nyeri pada tulang-tulangnya terutama di seputar persendian sehingga tidak
berani menggerakkan anggota tubuh. Namun, perlu diperhatikan bahwa hal ini bukan berarti
terjadi kelumpuhan. Melainkan lebih dari sekedar keengganan si penderita melakukan
gerakan karena rasa ngilu pada persendian.
Bagi penderita sangat dianjurkan makan makanan yang bergizi, cukup karbohidrat dan
terutama protein dapat meningkatkan daya tahan tubuh, serta minum air putih sebanyak
mungkin untuk menghilangkan gejala demam. Perbanyak mengkonsumsi buah-buahan segar
(sebaiknya minum jus buah segar). Vitamin peningkat daya tahan tubuh juga bermanfaat
untuk untuk menghadapi penyakit ini, karena daya tahan tubuh yang bagus dan istirahat
cukup bisa membuat rasa ngilu pada persendian cepat hilang.
Belum ditemukan imunisasi yang berguna sebagai tindakan preventif. Namun pada penderita
yang telah terinfeksi timbul imunitas / kekebalan terhadap penyakit ini dalam jangka panjang.
Pengobatan yang diberikan umumnya untuk menghilangkan atau meringankan gejala klinis
yang ada saja (symptomatic therapy), seperti pemberian obat panas, obat mual/muntah,
maupun analgetik untuk menghilangkan nyeri sendi.
Pencegahan
Satu-satunya cara mencegah penyakit ini adalah membasmi nyamuk pembawa virusnya,
termasuk memusnahkan sarangpembiakan larva untuk menghentikan rantai hidup dan
penularannya. Cara sederhana yang sering dilakukan masyarakat misalnya:
- Menguras bak mandi, paling tidak seminggu sekali. Mengingat nyamuk tersebut
berkembang biak dari telur sampai dewasa dalam kurun waktu 7-10 hari.
- Menutup tempat penyimpanan air
- Mengubur sampah
- Menaburkan larvasida.
-Memelihara ikan pemakan jentik
- Pengasapan
- Pemakaian anti nyamuk
-Pemasangan kawat kasa di rumah.
Selain itu, nyamuk juga menyenangi tempat yang gelap, lembab, dan pengap. Pintu dan
jendela rumah dibuka setiap hari mulai dari pagi hingga sore, agar udara segar dan sinar
matahari dapat masuk, sehingga terjadi pertukaran udara dan pencahayaan yang sehat.
Insektisida yang digunakan untuk membasmi nyamuk ini adalah dari golongan malation,
sedangkan themopos untuk mematikan jentik-jentiknya. Malation dipakai dengan cara
pengasapan, bukan dengan menyemprotkan ke dinding. Hal ini dikarenakan nyamuk Aedes
aegypti tidak suka hinggap di dinding, melainkan pada benda-benda yang menggantung.
Halaman atau kebun di sekitar rumah harus bersih dari benda-benda yang memungkinkan
menampung air bersih, terutama pada musim hujan seperti sekarang. Pintu dan jendela rumah
sebaiknya dibuka setiap hari, mulai pagi hari sampai sore, agar udara segar dan sinar matahari
dapat masuk, sehingga terjadi pertukaran udara dan pencahayaan yang sehat. Dengan
demikian, tercipta lingkungan yang tidak ideal bagi nyamuk tersebut.
Pencegahan individu dapat dilakukan dengan cara khusus seperti penggunaan obat oles kulit
(insect repellent) yang mengandung DEET atau zat aktif EPA lainnya. Penggunaan baju
lengan panjang dan celana panjang juga dianjurkan untuk dalam keadaan daerah tertentu
yang sedang terjadi peningkatan kasus.
Kesimpulan
Penyakit chikungunya disebabkan oleh sejenis virus yang disebut virus Chikungunya. Virus
ini termasuk keluarga Togaviridae, genus alphavirus atau “group A” antropho borne viruses.
Virus ini telah berhasil diisolasi di berbagai daerah di Indonesia. Sejarah Chikungunya di
Indonesia Penyakit ini berasal dari daratan Afrika dan mulai ditemukan di Indonesia tahun
1973.
Virus chikungunya termasuk kelompok virus RNA yang mempunyai selubung, merupakan
salah satu anggota grup A dari arbovirus, yaitu alphavirus dari famili Togaviridae.
Penularan demam Chikungunya terjadi apabila penderita yang sakit digigit oleh nyamuk
penular , kemudian nyamuk penular tersebut menggigit orang lain. Virus menyerang semua
usia, baik anak-anak maupun dewasa di daerah endemis (berlaku dengan kerap di suatu
kawasan atau populasi dan senantiasa ada).
Gejalanya adalah demam, sakit persendian, nyeri otot, bercak kemerahan pada kulit, dan sakit
kepala.
Untuk memperoleh diagnosis akurat perlu beberapa uji serologik antara lain uji hambatan
aglutinasi (HI), serum netralisasi, dan IgM capture ELISA.
Pengobatan terhadap penderita ditujukan terhadap keluhan dan gejala yang timbul.
Perjalanan penyakit ini umumnya cukup baik, karena bersifat “self limited disease”, yaitu
akan sembuh sendiri dalam waktu tertentu.
Chikungunya tidak menyebabkan kematian atau kelumpuhan. Dengan istirahat cukup, obat
demam, kompres, serta antisipasi terhadap kejang demam, penyakit ini biasanya sembuh
sendiri dalam tujuh hari.
Bagi penderita sangat dianjurkan makan makanan yang bergizi, cukup karbohidrat dan
terutama protein dapat meningkatkan daya tahan tubuh, serta minum air putih sebanyak
mungkin untuk menghilangkan gejala demam. Perbanyak mengkonsumsi buah-buahan segar
(sebaiknya minum jus buah segar).
Cara mencegah penyakit ini adalah membasmi nyamuk pembawa virusnya, termasuk
memusnahkan sarangpembiakan larva untuk menghentikan rantai hidup dan penularannya.
Cara sederhana yang sering dilakukan masyarakat misalnya:
- Menguras bak mandi, paling tidak seminggu sekali. Mengingat nyamuk tersebut
berkembang biak dari telur sampai dewasa dalam kurun waktu 7-10 hari.
- Menutup tempat penyimpanan air
- Mengubur sampah
- Menaburkan larvasida.
-Memelihara ikan pemakan jentik
- Pengasapan
- Pemakaian anti nyamuk
-Pemasangan kawat kasa di rumah.
Insektisida yang digunakan untuk membasmi nyamuk ini adalah dari golongan malation,
sedangkan themopos untuk mematikan jentik-jentiknya. Malation dipakai dengan cara
pengasapan, bukan dengan menyemprotkan ke dinding. Hal ini dikarenakan nyamuk Aedes
aegypti tidak suka hinggap di dinding, melainkan pada benda-benda yang menggantung.1
Daftar pustaka
1.Diunduh dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Chikungunya, pada tanggal 10 Agustus 2013.
2. Diunduh dari: http://medicastore.com/penyakit/3011/demam_chikungunya.html, pada tanggal 10 Agustus 2013